Anda di halaman 1dari 11

PENGGUNAAN METODE MULTISENSORI UNTUK MEMBANTU

KESULITAN MEMBACA PADA ANAK PENYANDANG DISLEKSIA DI


KOTA BANDUNG

Akbar Malik Adi Nugraha


akbarmalikan@gmail.com
Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro,
Jalan Prof. Soedharto, S.H., Tembalang, 50277, Jawa Tengah, Indonesia

Abstract
This study aims to describe the use of multisensory methods for children with dyslexia and
explain how it affects reading skills. The theory used in this research is psycholinguistic theory.
Sources of data in this study were three children with dyslexia and one teacher of multisensory
methods in the city of Bandung. The research method used is descriptive qualitative. Data
collection was obtained through the listening method and the speaking method. Data analysis
using the agih method. Presentation of data using formal and informal methods. The results
obtained are the use of multisensory methods is applied through various stages with three use
strategies, namely program continuity, systemic learning, and strategic learning approaches. The
use of the multisensory method has been shown to have a significant impact on the reading
ability and cognitive abilities of children with dyslexia with the prerequisite given when the child
is a maximum of eight years old.
Keywords: multisensory method, psycholinguistics, reading difficulties, people with dyslexia.

Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan metode multisensori bagi anak
penyandang disleksia dan menjelaskan bagaimana dampaknya terhadap kemampuan membaca.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori psikolinguistik. Sumber data dalam
penelitian ini adalah tiga anak penyandang disleksia dan satu pengajar metode multisensori di
Kota Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data
didapatkan melalui metode simak dan metode cakap. Analisis data menggunakan metode agih.
Penyajian data menggunakan metode formal dan informal. Hasil penelitian yang diperoleh adalah
penggunaan metode multisensori diterapkan melalui berbagai tahapan dengan tiga strategi
penggunaan, yaitu kontinuitas program, pembelajaran yang sistemik, dan pendekatan belajar
yang strategis. Penggunaan metode multisensori terbukti berdampak signifikan terhadap
kemampuan membaca dan kemampuan kognitif anak penyandang disleksia dengan prasyarat
diberikan ketika anak berusia maksimal delapan tahun.
Kata kunci: metode multisensori, psikolinguistik, kesulitan membaca, penyandang disleksia.
Pendahuluan (output) berupa aspek produktif. Kedua
aspek keterampilan berbahasa tersebut
Manusia perlu memiliki keterampilan
bekerja secara utuh untuk membentuk suatu
berbahasa agar bisa mengaktualisasikan diri
sistem kebahasaan yang dimiliki seseorang.
dalam kegiatan bermasyarakat. Proses
Penyerapan bahasa dalam kegiatan
aktualisasi diri dalam masyarakat membuat
menyimak dan membaca merupakan hal
manusia secara alami menjadi makhluk
biasa yang dilakukan semua orang sejak
sosial. Peran manusia sebagai makhluk
kecil. Dalam istilah lain, penyerapan bahasa
sosial perlu didukung oleh keterampilan
disebut juga pemerolehan bahasa. Langacker
berbahasa sebagai sarana komunikasi sosial
(dalam Tarigan, 2009) menjelaskan
(Soeparno, 2002). Jika seseorang memiliki
“Pemerolehan bahasa merupakan jenis yang
hambatan ketika mempelajari keterampilan
sama dan umum, dalam arti bahwa semua
berbahasa, maka secara tidak langsung ia
manusia mempelajari satu dan merupakan
akan sulit bergabung dalam suatu
jenis khusus, dalam arti bahwa hanya
lingkungan sosial. Oleh karena itu,
manusialah yang mempelajari satu.”
keterampilan berbahasa pada seorang
(Tarigan, 2009: 227).
manusia menjadi sangat penting agar
Proses penyerapan atau pemerolehan
seseorang bisa menjalani hidup dengan baik
bahasa dilakukan semua manusia sejak kecil.
di tengah kehidupan sosial.
Pemerolehan bahasa berlangsung di dalam
Keterampilan berbahasa dibagi
otak setiap orang ketika memproses bahasa
menjadi dua kategori, yaitu aspek reseptif
pertama (Chaer, 2015: 167). Kegiatan
dan aspek produktif (Mulyati, 2014: 4).
menyimak secara sederhana sudah dilakukan
Aspek reseptif bersifat penerimaan dan
sejak usia empat bulan ketika bayi mulai
penyerapan bahasa yang didapatkan dari
bisa melihat gerak bibir sang ibu dan
kegiatan menyimak dan membaca.
mencoba membedakan suara pada setiap
Sementara itu, aspek produktif berkaitan
kata (Wardhana, 2013). Proses pemerolehan
dengan pemroduksian bahasa, baik lisan
bahasa dari kegiatan menyimak terus
maupun tulisan, yang dihasilkan dari
berlangsung sampai dewasa menjadi suatu
kegiatan berbicara dan menulis. Dengan kata
keterampilan bahasa. Proses penyerapan
lain, aspek reseptif adalah masukan (input)
bahasa dalam kegiatan membaca dimulai
yang diperoleh seseorang untuk diproses
pada usia 5-6 tahun (Herlina, 2019). Dengan
dalam otak agar bisa menghasilkan keluaran
demikian, kegiatan aspek reseptif dalam kenyataannya menjadi hal yang sangat sulit
keterampilan berbahasa sudah diperoleh dilakukan sebagian anak kecil. Dengan
sedini mungkin oleh setiap orang. begitu, membaca tidak bisa disimplifikasi
Kebanyakan orang melalui fase sebagai suatu hal yang biasa dan sederhana
pemerolehan bahasa pada masa kecil dengan yang pasti bisa dilalui setiap anak.
mudah. Umumnya, anak normal mampu Gangguan otak yang menyebabkan
memperoleh bahasa ibu dengan baik pada kesulitan membaca disebut dengan disleksia.
usia 0-5 tahun (Hurlock dalam Ariyanti, Disleksia adalah gangguan dalam proses
2016). Namun, fakta mengungkap bahwa membaca (Haifa dkk., 2020). Kesulitan
terdapat sebagian kecil anak yang sangat membaca yang dialami seseorang bisa
kesulitan mengeja dan membaca (Lidwina, benar-benar dinyatakan sebagai gangguan
2012). Ketika mereka masih belajar pada disleksia setelah ia melalui pemeriksaan
tahap reseptif saja sudah sulit, apalagi ketika psikologis. Gangguan disleksia tidak bisa
sudah harus berlanjut pada tahap produktif. didiagnosis sendiri oleh seseorang yang
Dalam penelitian ini, tanpa merasa kesulitan dalam membaca, tetapi
mengeyampingkan kegiatan menyimak, harus dinyatakan oleh psikolog dan dokter.
proses reseptif yang diteliti lebih jauh adalah Anak penyandang disleksia harus
kegiatan membaca. menggunakan metode membaca khusus agar
Kesulitan mempelajari keterampilan bisa menyerap isi teks. Salah satu metode
bahasa tahap awal akan berdampak pada membaca yang dipelajari adalah metode
proses kognitif. Lidwina (2012) multisensori yang menjadi variabel dalam
memaparkan bahwa anak dengan kesulitan penelitian ini. Jumlah penyandang disleksia
membaca akan mengalami ketertinggalan di Indonesia diperkirakan 5 juta dari 50 juta
dalam kegiatan akademik di sekolah. anak sekolah (Pratamawati dkk., 2015).
Gangguan belajar kognitif membuat anak Dengan jumlah penyandang yang cukup
kehilangan percaya diri dan memunculkan banyak, penelitian disleksia dari perspektif
masalah emosional seperti konsep diri yang psikolinguistik untuk variabel kegiatan
negatif, demotivasi belajar, hingga frustasi membaca belum banyak dilakukan.
dan depresi (Widyorini dan Tiel, 2017). Penelitian disleksia lebih banyak dilakukan
Tahap reseptif dalam keterampilan bahasa oleh ilmu psikologi atau ilmu pendidikan.
melalui kegiatan membaca pada Penelitian psikolinguistik yang kurang
banyak terhadap isu disleksia disertai jumlah Study Center bernama Flarencine Mila
penyandang disleksia yang tinggi adalah menjadi informan untuk melengkapi data
alasan pengambilan topik ini. yang didapatkan dari observasi.
Pengumpulan data dilakukan melalui
Metode
observasi dan wawancara. Analisis data
Penelitian ini menggunakan metode dilakukan menggunakan sejumlah teknik
kualitatif berbentuk deskriptif. Fokus lanjutan, yaitu teknik lesap, teknik ganti, dan
penelitian ini adalah anak-anak penyandang teknik sisip untuk mengetahui kemampuan
disleksia pada tingkat SD dan SMP dengan membaca subjek penelitian.
rentang usia 6-13 tahun. Penelitian
Pembahasan
dilakukan di tiga lokasi: Sekolah Link Study
Center, Rumah Anak Spesial, dan Sekolah A. Tahapan dan Strategi Penggunaan
Metode Multisensori
Luar Biasa (SLB) C Terate. Tiga lokasi
Penelitian dilakukan di tiga lokasi, yaitu
tersebut berada di Kota Bandung. Pemilihan
Sekolah Link Study Center, Rumah Anak
lokasi sebanyak tiga tempat bertujuan agar
Spesial, dan SLB C Terate. Penggunaan
hasil penelitian bersifat representatif untuk
metode multisensory di Sekolah Link Study
mewakili sejumlah populasi anak
Center diterapkan melalui enam tahapan,
penyandang disleksia di Kota Bandung.
yaitu berdoa, pengondisian kelas,
Sumber data primer dalam penelitian ini
pembelajaran berbasis metode multisensori,
terdiri dari tiga orang anak penyandang
eksplorasi memilih material, intervensi
disleksia, yaitu DGH (8 tahun), ADP (13
bersifat individu, dan penutupan kelas
tahun) dan VS (13 tahun). DGH berasal dari
dengan berdoa. Tahapan utama ada pada
Rumah Anak Spesial, sedangkan ADP dan
tahap ketiga, yakni pembelajaran berbasis
VS bersekolah di SLB C Terate. Selain tiga
metode multisensori. Penerapan metode
subjek utama yang sudah disebutkan,
multisensori di Sekolah Link Study Center
terdapat 14 anak yang menjadi subjek
berjalan sangat variatif, karena mereka
pengamatan, mereka bersekolah di Link
memiliki media pembelajaran atau material
Study Center dan berusia 6-13 tahun. Selain
yang melimpah. Penggunaan metode
anak-anak penyandang disleksia, guru
multisensori di Sekolah Link Study Center
menjadi informan dalam penelitian ini. Guru
untuk membantu kesulitan membaca dimulai
sekaligus kepala sekolah di Sekolah Link
dengan membuka material (alat bantu
belajar) kreatif berupa kertas-kertas material belajar sambil menelusuri lekuk
berwarna yang bertuliskan huruf-huruf. bentuk huruf. Dengan demikian, metode
Masing-masing kertas bertuliskan satu huruf multisensori digunakan dengan melibatkan
dengan ukuran cukup besar dan terdapat setiap sensor atau indera yang ada.
gambar di sampingnya. Gambar tersebut
Penggunaan metode multisensori di
memiliki inisial sesuai huruf yang ada pada
Rumah Anak Spesial meliputi enam tahapan,
kertas. Misalnya huruf <h> untuk
yaitu membuat anak fokus melalui
<harimau>, <b> untuk <badak>, <c> untuk
permainan (games), pembelajaran dengan
<cicak>. Mereka diajarkan mengeja dengan
material, latihan soal, istirahat dan
telaten oleh guru pendamping. Seluruh unsur
mengembalikan konsentrasi, kembali
multisensori yang terdiri dari visual,
melakukan pembelajaran dengan material,
auditori, kinestetik, dan taktil (VAKT)
dan penutupan kelas dengan berdoa. Subjek
terpenuhi dalam metode tersebut. Aspek
penelitian di Rumah Anak Spesial adalah
visual dilakukan ketika siswa melihat huruf
DGH, siswa sekolah dasar (SD) kelas dua. Ia
dan gambar yang ada di samping huruf.
kesulitan membaca apabila menemukan
Selanjutnya, siswa diminta menyebutkan
huruf <b> dan <d>, sehingga sering tertukar.
huruf dan gambar apa yang ia baca untuk
Upaya penggunaan metode multisensori agar
memenuhi aspek auditori. Tidak hanya itu,
DGH bisa membedakan dua huruf tersebut
siswa pun diminta untuk mengembangkan
dilakukan dengan cara memberi warna pada
daya ingat dan imajinasinya dengan diminta
huruf <b> dan <d>, <b> diberi warna biru,
menirukan gerak atau suara dari gambar
sementara <d> warna merah. Sebelum
yang ditunjuk, contohnya harimau. Ketika
membaca teks, DGH diberi tahu bahwa yang
siswa menemukan gambar-gambar tertentu
berwarna biru itu <b>, sedangkan yang
yang bisa digambarkan melalui gerakan,
berwarna merah itu <d>. Penggunaan warna
guru akan mendorong siswa untuk
bertujuan agar siswa dapat mengidentifikasi
menggerakan badannya menyerupai gambar
huruf sekaligus bunyi huruf yang biasanya ia
yang siswa lihat. Misalnya huruf <m> untuk
keliru ketika membacanya. Pemberian warna
<mobil>, mereka berpura-pura mengendarai
tersebut tidak berhenti pada awal
mobil sambil menirukan suara raungan
mengenalkan kata, tetapi digunakan ketika
mobil. Sementara taktil atau sentuhan,
membaca teks. Teks yang dibaca oleh DGH
mereka langsung menyentuh kertas-kertas
dibuat oleh Rumah Anak Spesial dengan
material yang khusus, yaitu teks yang di berdoa. Subjek penelitian di SLB C Terate
dalamnya huruf <b> dan <d> memiliki adalah ADP dan VS, mereka siswa SMP
warna berbeda, yaitu biru dan merah. Jika berusia 13 tahun. Praktik penggunaan
DGH menemukan kebingungan saat metode multisensori di SLB C Terate
membaca, maka ia tinggal mengingat dimulai dengan belajar membaca dengan
kembali bahwa huruf yang berwarna biru itu bantuan media visual. Siswa diminta
menunjukkan huruf <b>, sementara merah membaca kata demi kata yang disertai
untuk huruf <d>. gambar di atas kata-kata tersebut.
Pembelajaran membaca masih berada pada
Pemberian warna pada huruf <b> dan
tahapan awal, yaitu membaca kata demi kata
<d> bermaksud untuk memenuhi sensor
yang familier dan mudah mereka jumpai
visual atau penglihatan. DGH membaca teks
dalam keseharian, seperti macam-macam
dengan lantang, dipandu oleh tutor apabila
sayuran, aneka hewan, hingga beragam
terdapat teks yang dibaca keliru. Saat
perkakas di rumah. Metode multisensori
membaca teks yang berisikan huruf <b> dan
tergambar dalam pembelajaran ini. Sensor
<d>, pembacaan terhadap teks lebih
visual digunakan ketika mengidentifikasi
ditekankan. Kalau perlu, pada awal-awal
kata dengan gambar yang tersedia dalam
teks, kata-kata tertentu yang berisikan huruf
media belajar. Sensor auditori dipakai ketika
<b> dan <d> diulang beberapa kali oleh
siswa mengeja dan mencoba menyebutkan
DGH dengan dicontohkan terlebih dahulu
kata yang mereka baca. Hasil pembacaan itu,
oleh tutor. Pembacaan teks dengan
baik apabila keliru ataupun tepat, akan
melantangkan suara adalah upaya
diucap ulang oleh guru. Siswa diminta untuk
memaksimalkan sensor auditori atau
mengikutinya sebanyak tiga kali. Jika
pendengaran. Sementara kinestetik dan
kemampuan membaca murid masih belum
taktil, DGH menyentuh dan menyusuri teks
cukup mahir, maka huruf-huruf yang
pada kertas menggunakan jarinya.
menyusun kata tersebut akan diurai dan
Penggunaan metode multisensori di diucap satu per satu. Sensor kinestetik atau
SLB C Terate meliputi lima tahapan, yaitu gerakan tergambarkan melalui kegiatan
berdoa, kelas dimulai dengan mewarnai, menirukan bentuk dari kata yang dimaksud.
belajar membaca dengan bantuan visual, Misalnya kata yang dibaca adalah pisang,
latihan soal, dan penutupan kelas dengan maka tangan mereka bergerak membentuk
pisang. Sementara sensor taktil atau itu sudah melenyap dan hilang. Jadi itu
harus kontinu, ya, gak pernah boleh
sentuhan, untuk beberapa benda terdapat
terputus” (Francine Mila, Kepala
miniatur replika mainan yang terbuat dari Sekolah Link Study Center).
plastik atau karet. Mereka menyebutkan Mila menegaskan durasi intervensi
kata-kata tertentu sambil menyentuh benda- dapat berpengaruh terhadap signifikansi
benda tersebut sebagai material belajar. Jika kemampuan membaca anak disleksia.
benda yang dibaca tidak ada mainannya, Intervensi bisa berdampak signifikan jika
maka mereka cukup menyentuh kertas dilakukan pada usia di bawah delapan tahun.
belajar dengan mengikuti lekuk pada gambar Anak disleksia yang diberikan intervensi
tersebut. Dengan demikian, setiap unsur maksimal ketika usianya delapan tahun
dalam metode multisensori (visual, auditori, hampir dipastikan akan bisa membaca.
kinestetik, dan taktil) terpenuhi dalam “Kalau kita intervensi di bawah usia
pembelajaran membaca anak penyandang delapan tahun pasti bisa menjadi
lancar. Enggak akan kebalik-balik, ada
disleksia di SLB C Terate. sesekali kebalik-balik, tapi tidak akan
sangat parah. Dengan syarat, intervensi
Strategi penggunaan metode sebelum usia delapan tahun. Maksimal
banget intervensi itu berarti dia harus
multisensori terdapat tiga poin, yaitu
join ketika usia tujuh, kita intervensi
kontinuitas, pembelajaran sistemik, dan selama setahun, dan tidak terputus. Itu
bisa kita bilang tingkat
pendekatan belajar yang strategis.
keberhasilannya tinggi. Tapi kalau
Kontinuitas berarti penerapan intervensi udah di atas usia delapan, no, berat”
(Francine Mila, Kepala Sekolah Link
multisensori dilakukan dalam jangka waktu
Study Center).
yang panjang dan tidak terputus. Flarencine
Upaya identifikasi bahwa anak
Mila, Kepala Sekolah Link Study Center
mengidap disleksia atau tidak harus
berkata bahwa kontinuitas memegang
dilakukan sedari awal, karena jika intervensi
peranan penting agar anak penyandang
dilakukan terlambat, di atas usia delapan
disleksia bisa memiliki progres membaca
tahun, maka progres kemampuan membaca
yang signifikan.
akan lambat dan berat. Kemampuan
“Faktor keberhasilan itu: satu, harus membaca pada anak disleksia yang telah
rutin dilakukan, enggak bisa terputus.
mendapatkan intervensi sekian lama pun
Jadi kayak sekarang nih, ke-skip hari
Sabtu dan Minggu, pelajaran hari tidak berarti sempurna tanpa cela, melainkan
Jumat itu wajib diulang di hari Senin,
lancar dan memiliki pemahaman yang cukup
karena saya yakin dan percaya bahwa
terhadap teks yang dibaca. Dengan begitu, pada kategori perubahan kata yang bersifat
penyandang disleksia mungkin saja sesekali berbeda. Kekeliruan membaca DGH pada 13
salah membaca jika menemukan kondisi- kata tersebut:
kondisi tertentu, misalnya membaca dengan
1. Kata <harganya> dibaca [haña]
tergesa-gesa atau membaca dalam keadaan
2. Kata <ryansyah> dibaca [raƒah]
lelah. Meskipun terkadang ada salah baca,
3. Kata 2019 <dua ribu sembilan
anak penyandang disleksia tetap bisa
belas> dibaca [dUa sǝmbilan]
membaca dengan lancar dan mampu
4. Kata streetfood <stritfud> dibaca
memahami isi teks jika diberikan intervensi
[sifUd]
multisensori secara kontinu.
5. Kata <disambangi> dibaca
B. Kemampuan Membaca dan Kognitif [disambuŋi]
DGH 6. Kata <rolling> dibaca [kollIŋ]
DGH diberikan teks wacana yang berisikan 7. Kata <keju> dibaca [keja]
172 kata. DGH mampu membaca dengan 8. Kata <berbalut> dibaca [bǝrbatUt]
tempo yang cukup stabil. DGH hanya keliru 9. Kata <tak> dibaca [tida?]
membaca 13 kata dalam teks tersebut. 10. Kata <pas> dibaca [pantas]
Dengan begitu, DGH mampu membaca 159 11. Kata <berapa> dibaca [bǝbǝrapa]
kata dengan benar. Jika dihitung secara 12. Kata <pecinta> dibaca [panciña]
matematis, maka kemampuan membaca 13. Kata <dan> dibaca [yaŋ]
DGH memiliki akurasi ketepatan hingga
Kemampuan kognitif DGH ada pada
92,44%.
tahapan memahami, ia bisa menjawab
Bentuk kekeliruan membaca DGH dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang
beragam, yaitu menghilangkan beberapa bersifat memanggil kembali (recalling) isi
huruf dalam kata, menambahkan huruf, teks yang telah dibaca. DGH pun bisa
menggantikan huruf tertentu dengan huruf mengaitkan pemahaman teks pada
lain, dan memperpanjang kata. DGH pengalaman pribadinya, hal tersebut menjadi
membaca 13 kata DGH secara keliru. tanda bahwa DGH memahami teks dengan
Uraiannya adalah 4 kata melesapkan fonem, baik.
4 kata menggantikan fonem tertentu pada
kata menjadi fonem lain, 2 kata menyisipkan
fonem di tengah kata, dan 3 kata termasuk
C. Kemampuan Membaca dan Kognitif peneliti menangkap kemampuan kognitif
ADP ADP masih pada tahap mengingat, sehingga
Teks yang dibaca ADP memuat 203 kata. tidak dipaksakan untuk menjawab
ADP mampu membaca dengan sangat baik pertanyaan-pertanyaan yang lebih kompleks.
dengan tempo yang stabil. Meski dikatakan
D. Kemampuan Membaca dan Kognitif
sudah mampu membaca dengan sangat VS
lancar, pembacaan ADP terhadap teks masih
Teks yang dibaca oleh VS sama seperti teks
memiliki beberapa kesalahan membaca.
yang dibaca oleh ADP memuat 203 kata.
ADP keliru membaca 3 kata dari 203 kata
Hasil pembacaan VS cukup baik, ia hanya
dalam teks wacana. Dengan begitu, ADP
keliru membaca 3 kata dari 203 kata yang
bisa membaca 200 kata dengan tepat. Angka
termuat dalam teks wacana. Ia mampu
tersebut tidak timpang, dengan kata lain
membaca 200 kata dengan benar. Dengan
kesalahan yang dilakukan ADP termasuk
demikian, akurasi ketepatan membaca VS
pada kesalahan minor. Dengan demikian,
mencapai 98,5%. Kata yang dibaca secara
akurasi ketepatan membaca ADP bisa
keliru oleh VS hanya tiga kata, yaitu:
mencapai 98,5%. Kata yang dibaca secara
keliru oleh ADP hanya tiga kata, yaitu: 1. Kata <bersendawa> dibaca
[bǝrsandawa]
1. Kata <merintih> dibaca [mǝrintah]
2. Kata <angkutan> dibaca [angkOtan]
2. Kata <keras> dibaca [karas]
3. Kata <pegunungan> dibaca
3. Kata <keringatnya> dibaca
[pegUdUŋan]
[kǝrIŋǝtan]
Kemampuan kognitif VS berada dalam
Asesmen kemampuan kognitif ADP
tahapan yang lebih tinggi daripada dua
melalui sejumlah pertanyaan
subjek sebelumnya. Hal tersebut didukung
menggambarkan kemampuan kognitif ADP
oleh intervensi multisensori yang sudah
masih ada pada tahap mengingat, belum bisa
lebih lama VS dapatkan. Sebelum VS masuk
masuk ke tahapan selanjutnya. Pertanyaan
sekolah SLB C Terate, ia terlebih dahulu
yang diberikan peneliti pun masih berkisar
menjalani masa studi di SD formal dan
pada tahap mengingat, karena tahap
kemudian pindah ke SLB pada usia sembilan
mengingat merupakan prasyarat untuk bisa
tahun. Perjalanan pendidikan VS
lanjut pada tahap memahami. Dengan
menggambarkan bagaimana kemampuan
begitu, pada saat melakukan asesmen,
membaca dan kognitifnya berkembang intervensi diberikan sebelum berusia delapan
sebagaimana ia mendapatkan intervensi tahun. Jika intervensi baru diberikan pada
sedari awal. saat anak berusia lebih dari delapan tahun,
perkembangan akan tetap ada, tetapi proses
Simpulan
dan progresnya akan lebih berat, khususnya
Penggunaan metode multisensori sebagai
kemampuan kognitif. Anak penyandang
intervensi bagi anak penyandang disleksia
disleksia yang mendapatkan intervensi di
diterapkan melalui beberapa tahapan. Secara
atas delapan tahun bisa saja memiliki
umum, tahapan tersebut adalah pengondisian
kemampuan membaca yang baik secara
kelas, penggunaan material, latihan soal, dan
teknis, tetapi tidak disertai dengan
intervensi yang bersifat individu. Setiap
pemahaman kognitif yang mumpuni.
sekolah memiliki penerjemahan dan
Dengan begitu, kemampuan membaca harus
pendekatan yang berbeda dalam
berbanding lurus dengan kemampuan
menggunakan metode multisensori. Meski
kognitif, sehingga anak tidak hanya lancar
demikian, esensi dan nilai penggunaan
membaca secara teknis, melainkan memiliki
metode multisensori untuk membantu
kemampuan kognitif yang optimal.
kesulitan membaca pada anak penyandang
disleksia tetap sama, yaitu penggunaan Daftar Pustaka
material sebagai alat bantu media Ariyanti, Mega. 2016. “Peningkatan
pembelajaran dan pengajaran dilakukan Kemampuan Pelafalan Fonem Bahasa
dengan cara yang menyenangkan. Sementara Indonesia Anak Down Syndrome: Studi
itu, strategi dalam penggunaan metode Kasus SDLB Muhammadiyah
multisensori mencakup tiga hal, yakni Jombang”. Skripsi. Semarang:
kontinuitas program, pembelajaran yang Universitas Diponegoro.
sistemik, dan pendekatan belajar yang Chaer, Abdul. (2015). Psikolinguistik Kajian
strategis. Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Haifa, Nisrina, Ahmad Mulyadiprana, &
Penggunaan metode multisensori
Resa Respati. 2020. “Pengenalan Anak
memiliki dampak yang signifikan terhadap
Pengidap Disleksia”. Pedadidaktika.
perkembangan kemampuan membaca anak
7(2): 21-32.
penyandang disleksia, tetapi harus
Herlina, Emmi Silvia. 2019. “Membaca
memenuhi prasyarat tertentu, yaitu
Permulaan untuk Anak Usia Dini dalam
Era Pendidikan 4.0”. Jurnal Pionir Prosiding Seminar Nasional PGSD
LPPM Universitas Asahan. 5(4): 332- UPY.
342. Soeparno. 2002. Dasar-Dasar Linguistik.
Lidwina, Soeisniwati. 2012. “Disleksia Yogyakarta: Tiara Wacana.
Berpengaruh Pada Kemampuan Tarigan, Henry Guntur. 2009.
Membaca dan Menulis”. Jurnal STIE Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Semarang. 4(3): 9-17. Wardhana, I Gede Neil Prajamukti. 2013.
Mulyati, Yeti. 2014. Hakikat Keterampilan “Perkembangan Bahasa Anak 0-3
Berbahasa. Universitas Terbuka. Tahun dalam Keluarga”. Jurnal
Pratamawati, Tiyas, Ani Solikhah, & Siti Linguistik. 20(39): 95-101.
Haryani. 2015. “Perspektif Negatif Widyorini & Tiel. 2017. Disleksia: Deteksi,
terhadap Anak Disleksia Tanpa Diagnosis Penanganan di Sekolah dan
Mempedulikan Potensi yang Dimiliki”. Rumah. Jakarta: Prenada.

Anda mungkin juga menyukai