Anda di halaman 1dari 6

Hutang - Piutang

Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk
ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke surga,
dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke neraka.
Islam memuji pedagang yang menjual barang kepada orang yang tidak mampu membayar
tunai, lalu memberi tempo, membolehkan pembelinya berutang. Islam menjanjikan pedagang
itu berpotensi masuk surga, sebagaimana hadits Rasulullah saw: “Bahwasanya ada seseorang
yang meninggal dunia lalu dia masuk surga, dan ditanyakanlah kepadanya, ‘amal apakah
yang dahulu kamu kerjakan?’ Ia menjawab, ‘Sesungguhnya dahulu saya berjualan. Saya
memberi tempo (berutang) kepada orang yang dalam kesulitan, dan saya memaafkan
terhadap mata uang atau uang.” (HR. Muslim)
Menurut ulama pensyarah hadits, kata-kata “memaafkan terhadap mata uang atau uang” di
situ adalah, bahwa yang bersangkutan memberikan kemurahan kepada pengutang dalam
membayar utangnya. Bila terdapat sedikit kekurangan pembayaran dari yang semestinya,
kekurangan itu di abaikan dengan hati lapang.
 
Keutamaan/fadhilah bagi pemberi utang:
 Siapa yang memberi pinjaman atas kesusahan orang lain, maka dia ditempatkan di
bawah naungan singgasana Allah pada hari kiamat. (HR. Thabrani, Ibnu Majah,
Baihaqi)
 Barangsiapa meminjamkan (harta) kepada orang lain, maka pahala shadaqah akan
terus mengalir kepadanya setiap hari dengan jumlah sebanyak yang dipinjamkan,
sampai pinjaman tersebut dikembalikan. (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah).
Contohnya, si Fulan meminjam uang sebesar Rp. 1.000 kepada Fulanah. Fulanah akan
mengembalikan uang tersebut dalam tempo 10 hari. Maka selama sepuluh hari itu si
Fulan mendapatkan pahala shadaqah Rp. 1.000 setiap harinya.
 Dua kali memberikan pinjaman, sama derajatnya dengan sekali bershadaqah. (HR.
Bukhari, Muslim, Thabrani, Baihaqi).
 
Menghindari Utang.
 
Sebaliknya, Islam menyuruh pembeli menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu
membeli dengan tunai. Karena utang, menurut Rasulullah SAW, penyebab kesedihan di
malam hari dan kehinaan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlaq, kata
Rasulullah, “Sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia sering berkata lantas
berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
 
Rasulullah pernah menolak menshalatkan jenazah sesorang yang diketahui masih
meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Sabda Rasulullah,
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.” (HR. Muslim).
 
Bagaimana Islam mengatur berutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan
menghindarkan dari api neraka ? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:
 
Adab Umum
 Agama membolehkan adanya utang-piutang, untuk tujuan kebaikan. Tidak dibenarkan
meminjam atau memberi pinjaman untuk keperluan maksiat. (HR. Bukhari, Muslim,
Ibnu Majah, Hakim)
 Pembayaran tidak boleh melebihi jumlah pinjaman. Selisih pembayaran dan pinjaman
dan pengembalian adalah riba. Jika pinjam uang sejuta, kembalinya pun sejuta, tidak
boleh lebih. Boleh ada kelebihan pembayaran, berubah hadiah, asal tidak diakadkan
sebelumnya. (HR. Bukhari, Muslim, Abdur Razak).
 Jangan ada syarat lain dalam utang-piutang kecuali (waktu) pembayarannya. (HR.
Ahmad, Nasa’i).
 
Adab untuk pemberi utang
 Sebaiknya memberi tempo pembayaran kepada yang meminjam agar ada kemudahan
untuk membayar. (HR. Muslim, Ahmad).
 Jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah ditentukan. (HR. Ahmad)
 Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut penuh maaf. (HR. Bukhari, Muslim,
Tirmidzi).
 Boleh menyuruh orang lain untuk menagih utang, tetapi terlebih dahulu diberi nasihat
agar bersikap baik, lembut dan penuh pemaaf kepada orang yang akan ditagih. (HR.
Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Hakim).
 
Adab bagi pengutang
 Sebaik-baik orang adalah yang mudah dalam membayar utang (tidak menunda-
nunda). (HR. Bukhari, Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidzi).
 Yang berutang hendaknya berniat sungguh-sungguh untuk membayar. (HR. Bukhari,
Muslim)
 Menunda-nunda utang padahal mampu adalah kezaliman. (HR. Thabrani, Abu
Dawud).
 Barangsiapa menunda-nunda pembayaran utang, padahal ia mampu membayarnya,
maka bertambah satu dosa baginya setiap hari. (HR. Baihaqi).
 Bagi yang memiliki utang dan ia belum mampu membayarnya, dianjurkan banyak-
banyak berdoa kepada Allah agar dibebaskan dari utang, serta banyak-banyak
membaca surat Ali Imran ayat 26. (HR. Baihaqi)
 Disunnahkan agar segera mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) setelah dapat
membayar utang. (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ahmad).
 
Bila ada orang yang masuk surga karena piutang, kelak akan ada juga orang yang kehabisan
amal baik dan akan masuk neraka karena lalai membayar utang. Sabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa (yang berutang) di dalam hatinya tidak ada niat untuk membayar utangnya,
maka pahala kebaikannya akan dialihkan kepada yang memberi piutang. Jika masih belum
terpenuhi, maka dosa-dosa yang memberi utang akan dialihkan kepada orang yang berutang.”
(HR. Baihaqi, Thabrani, Hakim).
Pinjam Meminjam Dalam Islam (Al Ariyyah)
 HUKUM AL ARIYYAH
Al Ariyyah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain dalam jangka waktu tertentu lalu
dikembalikan kepada pemilik.
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam  kebajikan dan takwa…” (Al Maaidah 2)
Ketika Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam meminjam baju besi dari Shafwan bin
Umaiyyah, Shafwan berkata, “Apakah ini perampasan hai Muhammad ?”. Maka Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “Namun Al Ariyyah itu harus diganti.”
Hukum-hukumnya :
 Harus sesuatu yang boleh dipinjamkan. “…dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran…” (Al Maaidah 2)
 Jika yang meminjamkan mensyaratkan kepada peminjam untuk mengganti barang
yang dipinjamkan jika mengalami kerusakan, maka pihak peminjam wajib mengganti.
Jika yang meminjamkan tidak mensyaratkan, tetapi barang rusak bukan karena
keteledoran peminjam, maka disunnahkan untuk mengganti, tidak diwajibkan. Tetapi
jika rusak karena keteledoran peminjam, maka wajib diganti walaupun pemilik tidak
mensyaratkannya. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “Tangan
berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.” (HR Abu
Daud dan Tirmidzi, Al Hakim mengshahihkannya).
 Peminjam harus menanggung biaya pengangkutan pada saat pengembalian.
 Peminjam tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Boleh meminjamkan
lagi ke orang lain dengan izin dari pemilik.
 Jika seseorang meminjamkan kebun untuk ditembok, peminjam tidak boleh
mengambil lagi hingga temboknya roboh. Jika meminjamkan sawah untuk ditanami,
peminjam tidak boleh mengambilnya hingga panen usai.
 Jika meminjamkan dalam jangka waktu tertentu, peminjam disunnahkan untuk tidak
mengambil barangnya sebelum masa waktunya habis.
Dalam ajaran Islam, Allah, Taala telah memberikan petunjuk agar urusan pinjam –
meminjam ini harus ditulis; dengan syarat-syaratnya kapan pinjaman akan dikembalikan,
kalau dicicil berapa dan berapa lama, kapan penyelesaiannya.

 Seringkali orang merasa berkeberatan untuk menuliskan urusan pinjam-meminjam ini,


dengan alasan bahwa kami berteman sangat dekat dan bersahabat sangat kental, kami
bersaudara dekat, dan kalau kami menuliskannya, maka seolah-olah kami tidak saling
mempercayai. Atau karena merasa jumlahnya pinjamannya ini sedikit atau tidak banyak,
maka kami segan untuk menuliskannya.

 Padahal perintah dalam Islam sudah tegas, ialah harus ditulis, berapa pun besarnya atau
dengan siapa pun. Perintah ini harus diikuti atau ditaati, sebagai orang beriman yang takwa;
yang meminjam harus menulisnya dengan benar dan dengan perasaan takut kepada Tuhan;
jumlahnya syarat-syaratnya, cicilannya, waktu penyelesaiannya.

 Kadang-kadang pinjaman ini kecil, seperti untuk urusan dapur; tetapi perintahnya ialah
tetap harus ditulis, kalau Anda tidak ingin berakhir dengan pertengkaran, dan menjadi jauh
dari Tuhan.

 Syaitan bisa berusaha untuk memberikan salah pengertian di dalam hati orang-orang; oleh
karena itu, ikutilah perintah Tuhan ini dengan perasaan takwa, sehingga syaitan tidak bisa
menjauhkan manusia dari Tuhan-nya.

 Karena yang ada dalam keadaan terpepet atau terdesak, atau membutuhkan itu adalah pihak
peminjam, maka orang yang meminjam itulah yang menulisnya, bagaimana syarat-syaratnya
yang ia akan penuhi. Kalau peminjam tidak dapat menulis maka walinya-lah yang akan
menulisnya sesuai keinginan atau kemampuan peminjam.

 Dalam transaksi besar, seperti jual beli besar, maka diperlukan 2 orang saksi laki-laki; 1
orang saksi laki-laki dapat diganti dengan 2 saksi perempuan, sehingga jika wanita yang satu
itu lupa maka yang lainnya bisa mengingatkannya.

 Pihak yang meminjamkan, karena ia berada di pihak yang memiliki fasilitas dan diberikan
kemampuan, perlu berbaik hati, bersifat pemurah, atau melonggarkan diri, sehingga mau
memenuhi atau mengikuti persyaratan yang dikemukakan peminjam.

 Ahmadi jangan ikut kebiasaan orang-orang, tetapi Ahmadi harus ikut perintah Islam; kalau
tidak menurut, maka akan menjauh dari Tuhan.

 Janganlah meminjam; kecuali ada hal mendesak, ada hal yang tak terhindarkan.

 Satu kali terjadi di Rabwah zaman dulu. Hadhrat Mirza Syarif Ahmad ra bersama seorang
temannya masuk di grocery toko bahan makanan; ketika berbelanja uang beliau kurang, lalu
temannya membayarkan kekurangannya. Maka ketika pulang dan sampai di depan pintu
gerbang rumahnya, Hadhrat Mirza Syarif Ahmad masuk ke dalam rumahnya, dan minta agar
temannya tetap memegang bungkusan belanjaannya. Setelah keluar lagi, dan beliau
membayar uang yang tadi di-pinjamkan oleh temannya itu, maka beliau berkata, nah
sekarang bisa saya ambil bungkusan belanjaan ini, karena saya telah melunasi uang saudara
yang dipakai berbelanja itu.

 Kalau meminjam uang dalam mata uang lain, seperti UK Pound Sterling, dan berjanji akan
dibayar nanti dengan uang Rupees, setelah pulang, maka ini harus ditulis dengan jelas,
tentang kurs mata uang dan waktu penyelesaiannya.

 Kalau sampai di pengadilan, merubah tulisan atau apa yang tertulis, atau menyangkal apa
yang ditulis, maka Allah akan menghukum.

 Kalau memaksa saksi, Allah akan menghukumnya.

 Jika menyimpang, maka akan menjauh dari Tuhan.

 Yang bertnggung-jawab di dalam urusan pinjam meminjam ini adalah: 1. Orang yang
meminjam, 2. Yang meminjamkan dan 3. Para saksi.

 Ada kalanya peminjam tidak dapat memenuhi apa yang dijanjikannya. Maka yang pihak
yang meminjamkan perlu bersifat lunak, dan berbaik hati; apalagi jika yang meminjam itu
dikarenakan kemiskinan atau kekurangan.

 Yang meminjamkan dapat mengundurkan jangka waktu penyelesaian pinjamannya; atau


memberikan keringanan, atau bahkan membebaskannya sebagai sedekah. Allah Taala akan
memberikan ganjaran dan pahala. Karena Allah adalah Maha Pemurah.

 Dalam perjalanan Isra’, Hadhrat Rasulullah saw membaca tulisan di pintu gerbang: “Yang
memberikan pinjaman dan menolong membebaskan hutangnya, diberi pahala 18 kali dari
pada sedekah”.

Beliau saw bertanya mengapa, karena tidak mengerti.?

Yang diberi sedekah belum tentu ia membutuhkannya, sedangkan yang terpaksa meminjam
adalah karena kebutuhannya yang benar-benar mendesak, atau karena kemiskinannya.
Karena Allah adalah Maha Pemurah; dan Dia memberikan fasilitas dan kemampuan kepada
orang yang dikehendaki oleh Nya.

Anda mungkin juga menyukai