Anda di halaman 1dari 13

A.

Pengertian Pinjam meminjam

Pinjam meminjam dalam bahasa Arab disebut Ariyah.


Kata Ariyah menurut bahasa artinya pinjaman. Pinjam-meminjam
menurut istilah Syara ialah akad berupa pemberian mamfaat suatu benda
halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak
mengurangi atau merusak benda itu dan dikembalikan setelah diambil
memfaatnya.

Allah swt. Berfirman:

Artinya;

Dan tolong-memolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,


dan jangan tolong memolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-nya. (Al-
Maidah: 2).
Rasullullah saw. Bersabda:

Artinya;

Dan Allah menolong hamba-n-Nya selama hamba itu mau menolong


saudaranya.

Dalam hadis lain Rarulullah saw. Bersabda:

Artinya;

Dari Abu Umamah ra. Dari Nabi saw. bersabda, Pinjaman itu harus
dikembalikan dan orang yang meminjam dialah yang berutang, dan utang itu
wajib dibayar. (HR. At-Turmudzi).

Pinjam Meminjam Ribawi

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu secara marfu:

Artinya ;

Setiap pinjaman yg membawa manfaat keuntungan adl riba.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: Hadits ini diriwayatkan oleh Haris
ibnu Abi Usamah dan di dalam sanad ada seorang rawi yang gugur
periwayatan . Hadits ini memiliki syahid yang dhaif pula dari Fadhalah bin
Ubaid yg diriwayatkan oleh Al-Baihaqi Pendukung lain adalah hadits mauquf
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Salam radhiyallahu anhu .
Al-Hafizh juga mengatakan dalam At-Talkhish : Dalam sanad hadits ini ada
Sawar ibnu Mushab dia adl rawi yg matruk .

Hadits ini didhaifkan pula oleh Ibnul Mulaqqin dalam Khulashah Al-Badrul
Munir Abdul Haq di dalam Al-Ahkam Ibnu Abdil Hadi dlm At-Tanqih dan Al-
Imam Al-Albani rahimahullahu dlm Irwa`ul Ghalil .

Ketahuilah tiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan


teranggap riba . Namun karna hadits dhaif tentu kita tidak boleh memakai
sebagai hujjah. Ha saja makna hadits di atas terpakai diperkuat oleh ushul
syariat dan telah dinukilkan ada ijma para ulama dalam masalah ini.
Sebagaimana dinukilkan oleh Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullahu
bahwa tiap pinjam meminjam yang di dalam dipersyaratkan sebuah
keuntungan penambahan kualitas ataupun kuantitas termasuk riba. Pinjam
meminjam pada asal adalah perbuatan kebaikan dimana seseorang
memberikan kepada yg lain suatu barang atau uang untuk nanti
dikembalikan yg sama pada waktu yg telah disepakati. Namun manakala ada
penambahan dalam pengembalian atau dikembalikan dengan sesuatu yang
lebih bagus/baik terjadilah riba.

Dalam hal ini ada beberapa syubhat yg beredar di tengah kaum muslimin yg
sengaja disebarkan oleh ahlus syubhat yang dipandang tokoh oleh sebagian
orang. Kami nukilkan secara ringkas beberapa syubhat tersebut berikut
jawaban dari kitab Syarhul Buyu war Riba Min Kitabid Darari yang ditulis
guru kami Asy-Syaikh Abdurrahman bin Umar bin Mari Al-Adni
hafizhahullah.
Beliau hafizhahullah menyatakan ada pihak-pihak yang tidak menganggap
riba pinjam meminjam yg memberi faedah. dalam hal ini mereka
menggunakan dua sudut pandang:

1. Riba yg diharamkan hanyalah riba jahiliah yaitu riba dalam hutang


piutang. Misalnya seseorang menghutangi orang lain dengan perjanjian akan
dibayar dalam tempo tertentu namun ternyata sampai tempo yg ditentukan
orang yang berhutang belum melunasinya. Akibat si pemberi piutang
memberi denda dengan jumlah tertentu yang harus dibayarkan bersama
hutang sehingga bertambahlah jumlah hutang dari orang yang berhutang
tersebut.
Adapun pembayaran tambahan yang telah disebutkan di awal akad pinjam
meminjam mereka mengatakan bahwa itu bukan riba yg diharamkan.
Mereka yg berpendapat seperti ini di antara Muhammad Rasyid Ridha
penulis Tafsir Al-Manar murid Muhammad Abduh serta diikuti oleh
Abdurrazzaq As-Sanhawuri seorang pakar hukum di masa ini. Mereka
menguatkan pendapat tersebut dengan beberapa dalil/perkara berikut ini:

a. Gambaran riba jahiliah yang ayat-ayat Al-Qur`an diturunkan tentang


hanyalah berupa engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah.
Jawaban terhadap dalil mereka ini adalah:

1) Hal ini tdk bisa diterima krn sebenar riba jahiliah itu memiliki dua
bentuk:
Bentuk pertama: Bentuk yg masyhur yaitu engkau bayar sekarang atau
hutangmu bertambah
Bentuk kedua: Penetapan ada tambahan pembayaran/ pengembalian dari
jumlah yg semesti dibayarkan sejak awal akad. Bentuk seperti ini adl riba
jahiliah disebutkan dlm Ahkamul Qur`an karya Al-Imam Al-Jashshash.

2) Kalaupun dianggap bahwa ayat-ayat tentang riba yg ada dlm surah Al-
Baqarah hanya mencakup bentuk yg pertama namun sebenar ayat tersebut
juga bisa dijadikan sebagai dalil akan haram ziyadah yg dipersyaratkan di
awal akad. Karena kedua bentuk ini sama-sama menerima ziyadah hanya
bila telah jatuh tempo.

3) Ziyadah yg dipersyaratkan dlm akad hutang piutang khusus pada mata


uang serta yg serupa dgn kedua sebagai alat pembayaran seperti uang
kertas memang tdk dinyatakan keharaman oleh ayat-ayat yg berbicara
tentang riba. Namun demikian pengharaman disebutkan dlm Sunnah.
Untuk lbh jelas perhatikanlah contoh berikut ini: Bila seseorang datang ke
bank lalu berkata Berikan pinjaman kepada saya sebesar Rp. 100.000-.
Pihak bank mengatakan Kami akan memenuhi permintaan anda namun
kami catat dlm pembukuan kami jumlah Rp. 120.000- sampai akhir tahun.
Memang ayat-ayat tentang riba tdk menunjukkan keharaman bentuk seperti
ini namun hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menunjukkan
secara jelas keharamannya. dlm hadits disebutkan tentang enam macam
barang yg terkena hukum riba:




Artinya;

Emas dgn emas perak dgn perak burr dgn burr syair dgn syair kurma dgn
kurma dan garam dgn garam harus sama timbangan dan tangan dgn tangan
. Barangsiapa menambah atau minta tambah berarti dia jatuh dlm riba.

Bila pihak bank memberikan pinjaman Rp. 100.000- kepada orang tersebut
namun dicatat jumlah Rp. 120.000- hingga waktu setahun berarti pihak yang
berhutang dan yang memberi piutang tidak berpegang dengan dua
ketetapan yang disebutkan dalam hadits di atas yaitu:

Mereka yg melakukan muamalah seperti ini berarti telah mengumpulkan dua


macam riba riba fadhl dan riba nasi`ah .

b. Menurut mereka riba jahiliah dilarang karna mengambil ziyadah dari


pokok harta . Hal itu terjadi karna tertunda pembayaran hutang kepada
pihak yg memberi piutang bukan disebabkan ingin memberikan
kemanfaatan kepada si pemberi hutang.
Dijawab: Sebab yg disebutkan ini juga ada pada akad pinjam meminjam yg
mensyaratkan pembayaran tambahan.

c. Muhammad Rasyid Ridha berdalil juga dari sisi bahasa. Ia berkata


Huruf lif dan lam pada kata adalah lil-ahd sehingga riba yg dilarang dan
dicerca adalah riba yang dikenal dimaklumi dan diketahui kalangan orang 2
jahiliah yaitu engkau bayar atau hutangmu bertambah.
Dijawab: Kalaulah dianggap alif dan lam yg ada pada kata riba tersebut
lil-ahd yakni Rabb kita menyebutkan keharaman riba atas sesuatu yg
tertentu yg biasa dilakukan orang2 jahiliah mk As-Sunnah telah
menyebutkan keharaman bentuk riba yg lain . Sehingga lafadz riba menjadi
sebuah hakikat syariat di mana didudukkan pada seluruh bentuk riba.
Apalagi memang di antara mereka ada yg mengatakan Riba adl lafadz yg
global penafsiran disebutkan dlm As-Sunnah.
d. Muhammad Rasyid Ridha juga berdalil dgn akal. Ia berkata Ancaman
yg keras dan cercaan yg demikian menikam tidaklah mungkin diberikan
kecuali kepada dosa-dosa yg besar. Bila ada seseorang menukar 1 real perak
dgn 4 real perak dgn serah terima yg ditunda sampai waktu tertentu apakah
bisa diterima oleh akal bahwa perbuatan seperti ini dikenakan ancaman yg
disebutkan dlm ayat-ayat yg melarang riba berupa diperangi oleh Allah
Subhanahu wa Taala dan Rasul-Nya? Yang bisa diterima oleh akal hanyalah
bila bentuk seperti bentuk yg awal yaitu engkau bayar atau hutangmu
bertambah.

Jawabannya: Menggunakan akal dan pendapat dlm perkara yg telah


disebutkan nash- secara syari adl sesuatu yg sia-sia. Sungguh keumuman
dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah telah mencakup hal yg ditolak tersebut.

e. Muhammad Rasyid Ridha pun berdalil bahwa riba jahiliah adl riba yg
menyebabkan kerusakan kemudaratan meruntuhkan rumah-rumah dan
memutuskan silaturahim.
Dijawab: Mensyaratkan tambahan pembayaran/pengembalian di awal akad
justru lbh besar dan lbh tampak kedzaliman daripada tambahan yg
ditetapkan setelah jatuh tempo. Karena dlm riba jahiliah seseorang memberi
satu pinjaman kepada orang lain utk dikembalikan dlm tempo sebulan
misalnya. Ketika telah jatuh tempo orang yg meminjamkan berkata kepada
pihak yg dipinjami Engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah .
Sehingga persyaratan tambahan di awal akad tentu lbh tampak dan lbh jelas
kedzalimannya.
Kemudian apa yg dianggap masuk akal oleh Muhammad Rasyid Ridha justru
bertentangan dgn nash dan tdk sepantas ditanyakan Mengapa? dan
Bagaimana? kepada nash. Karena Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

Artinya;

Hanyalah ucapan kaum mukminin bila mereka dipanggil kepada Allah dan
Rasul-Nya agar Allah dan Rasul-Nya menghukumi di antara mereka mereka
akan mengatakan Kami dengar dan kami taat.

f. Muhammad Rasyid Ridha berargumen dgn ucapan-ucapan ulama utk


membatasi riba yg dilarang hanyalah engkau bayar atau hutangmu
bertambah. Di antara ulama yg disebutkan adl Malik Ath-Thabari Al-Qurthubi
Ath-Thahawi Asy-Syathibi Ibnu Rusyd Al-Mawardi An-Nawawi dan Ibnu Hajar
Al-Haitsami.
Jawabannya: dlm hal ini ada perbedaan antara membatasi bentuk dgn
membatasi hukum. Tatkala ulama yg disebutkan di atas memaparkan hal itu
yg mereka maukan adl menerangkan tentang riba yg masyhur dan
dikenal/dimaklumi yaitu riba engkau bayar atau hutangmu bertambah.
Bukan utk membatasi hokum riba hanya pada bentuk seperti ini. Beda hal
dgn apa yg dipegangi oleh Muhammad Rasyid Ridha. Dan ketahuilah pada
sebagian ucapan ulama yg disebutkan justru didapatkan bantahan terhadap
pendapat Muhammad Rasyid Ridha di mana

mereka menyatakan bahwa ini adl bentuk riba jahiliah dan Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam telah menerangkan bentuk-bentuk riba lain yg diharamkan
seperti riba fadhl dan riba nasi`ah.

2. Membatasi riba hanya dlm jual beli saja. Adapun dalam pinjam
meminjam riba tidaklah berlaku. Mereka berdalil sebagaimana berikut:

a. Ayat-ayat riba menyebutkan secara global dan ditafsirkan oleh


haditshadits Rasulullah saw. Namun dalam hadits tersebut hanya disebutkan
jual beli dan tdk ada penyebutan qardh.
Jawabannya: Telah disebutkan ada ijma tentang berlaku riba dlm qardh.

b. Mereka berdalil dgn penukilan dari fuqaha dan ulama Hanafiah yg


membatasi riba hanya dlm jual beli.
Jawabannya: Telah disebutkan penukilan yg lain dari ulama dan fuqaha
tersebut tentang penetapan ada riba dlm qardh sebagaimana dlm jual beli.

c. Mereka berdalil bahwa sebagian fuqaha Hanafiah menjadikan qardh


sebagai analogi dari berderma sehingga tdk terjadi riba di dalamnya. Karena
yg nama riba hanya berlangsung pada sesuatu yg di dlm ada penggantian.
Jawabannya: Para fuqaha tersebut walaupun mereka menjadikan qardh
sebagai perbuatan derma pada awal namun pada akhir mereka menjadikan
perlu pengganti yg berarti riba bisa terjadi di dalamnya. Mereka menyatakan
hal ini secara jelas.
Adapun ucapan mereka bahwa qardh adl berderma bila memang tujuan utk
memberikan manfaat dan berbuat baik. Sedangkan qardh yg disyaratkan
ada ziyadah di dlm mk maksud atau tujuan adl meminta penggantian. Ada
syarat minta tambah ini menjadikan muamalah tersebut sama dgn jual beli
bukan lagi semata-mata qardh. Karena qardh hanyalah dilakukan utk tujuan
berbuat baik dan memberi manfaat bagi yg dipinjami. Beda hal dgn qardh yg
ada syarat minta tambah. Qardh yg seperti ini bukan bertujuan berbuat
ihsan dan memberi manfaat tapi tujuan meminta ganti mendapat untung
dan ziyadah.

d. Mereka berdalil dgn haditshadits yg menunjukkan boleh pengembalian


dgn tambahan dlm masalah qardh seperti hadits:

Artinya;
Sebaik-baik kalian adl yg paling baik pembayarannya.

Jawabannya: Hadits seperti ini dibawa pemahaman kepada qardh yg tdk ada
persyaratan minta tambah dlm pengembalian. Sebagaimana orang yg
meminjamkan telah berbuat ihsan kepada orang yg dipinjami mk
disyariatkan pula bagi orang yg dipinjami utk berbuat ihsan kepada orang yg
meminjamkan. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:



Artinya;
Tidaklah balasan kebaikan melainkan kebaikan pula .
Maka hal ini masuk dalam permasalahan membalas kebaikan dengan
kebaikan pula.
Demikian beberapa syubhat yang ada dalam pinjam meminjam yang
mengandung unsur riba. Sebagai penutup bagus sekali untuk kita nukilkan di
sini nasihat dari Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan
hafizhahullah. Beliau berkata Wajib bagi seorang muslim untuk
memerhatikan dan berhati-hati dari qardh yang mensyaratkan ada
tambahan. Hendaklah ia mengikhlaskan niat dlm qardh tersebut dan juga
dlm melakukan amal shalih yg lain. Karena tujuan dari qardh ini bukanlah utk
menambah harta secara hakiki namun hanyalah utk menambah harta secara
maknawi yaitu taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Taala dgn memenuhi
hajat orang2 yg membutuhkan dan hanya menginginkan pengembalian yg
sesuai dgn besar pinjaman . Bila yg seperti ini menjadi tujuan dlm qardh
niscaya Allah Subhanahu wa Taala akan menurunkan barakah
penambahan/pertumbuhan dan kebaikan pada harta.
B. Hukum Pinjam Meminjam (Al-Ariyyah)

Al-Ariyyah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain dalam jangka
waktu tertentu lalu dikembalikan kepada pemilik.

Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa (Al


Maaidah 2).

Ketika Rasulullah saw. meminjam baju besi dari Shafwan bin Umaiyyah,
Shafwan berkata, Apakah ini perampasan hai Muhammad ?. Maka
Rasulullah saw. bersabda, Namun Al Ariyyah itu harus diganti.

Hukum-hukumnya :

Harus sesuatu yang boleh dipinjamkan. dan jangan tolong-


menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Al Maaidah
2)

Jika yang meminjamkan mensyaratkan kepada peminjam untuk


mengganti barang yang dipinjamkan jika mengalami kerusakan, maka
pihak peminjam wajib mengganti. Jika yang meminjamkan tidak
mensyaratkan, tetapi barang rusak bukan karena keteledoran
peminjam, maka disunnahkan untuk mengganti, tidak diwajibkan.
Tetapi jika rusak karena keteledoran peminjam, maka wajib diganti
walaupun pemilik tidak mensyaratkannya. Rasulullah Shalallahu Alaihi
wa Salam bersabda, Tangan berkewajiban atas apa yang
diambilnya hingga ia menunaikannya. (HR Abu Daud dan
Tirmidzi, Al Hakim mengshahihkannya).

Peminjam harus menanggung biaya pengangkutan pada saat


pengembalian.

Peminjam tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Boleh


meminjamkan lagi ke orang lain dengan izin dari pemilik.
Jika seseorang meminjamkan kebun untuk ditembok, peminjam tidak
boleh mengambil lagi hingga temboknya roboh. Jika meminjamkan
sawah untuk ditanami, peminjam tidak boleh mengambilnya hingga
panen usai.

Jika meminjamkan dalam jangka waktu tertentu, peminjam


disunnahkan untuk tidak mengambil barangnya sebelum masa
waktunya habis.

D. Rikun Pinjam Meminjam

Rukun pinjam meminjam ada empat macam dengan syaratnya masing-


masing sebagai berikut:

1. Orang-orang yang meminjamkan, disyaratkan;

a. Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang


dipaksa anak kecil tidak sah meminjamkan.

b. Barang yang dipinjamkan itu milik sendiri atau menjadi tanggung


jawab orang yang meminjamkannya.

2. Orang-orang yang meminjam, disyaratkan;

a. Berhak menerima kebaikan. Oleh sebab itu, orang gila atau anak kecil
tidak sah meminjam.

b. Hanya mengambil manfaat dari barang dari barang yang dipinjam.

3. Barang yang dipinjam, disyaratkan;

a. Ada manfaatnya

b. Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh karena
itu, makanan yang setelah dimanfaatkan menjadi habis atau berkurang
zatnya tidak sah dipinjamkan.

4. Akad, yaitu ijab dan qabul.

Pinjam-meminjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil


manfaatnya dan harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya.
Pinjam-meminjam berakhir apabila salah satu dari kedua belah pihak
meninggal dunia atau gila. Barang yang dipinjam dapat diminta kembali
sewaktu-waktu, karena pinjam meminjam bukan merupakan perjanjian yang
tepat.
Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dengan yang
meminjam barang tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka
yang dibenarkan adalah yang meminjamkan dikuatkan dengan sumpah. Hal
ini didasarkan padda hokum asalnya yaitu belum dikembalikan.

14

E. Etika Pinjam Meminjam

Hudhur aba telah mengingatkan kita dalam khutbah beliau aba tanggal
13-8-2004, agar para Ahmadi dengan secermatnya mengikuti petunjuk yang
ada di dalam KS Alquran (2 :283284: Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu berhutang pada sesamamu, hendaklah menuliskannya ..)
dalam hal urusan transaksi terutama mengenai hal pinjam dan
meminjamkan, supaya ditaati dengan penuh ketakwaan, takut kepada Allah,
agar terhindar dari hal-hal yang buruk, yang memalukan, seperti
pertengkaran, dan kehinaan.

Dalam hubungan di masyarakat acapkali kita terpaksa membuat


transaksi seperti meminjam dan meminjamkan. Dan disebabkan urusan
pinjam dan meminjamkan ini acapkali terjadi pertengkaran dan permusuhan
di antara saudara dan di antara teman-teman, yang bisa sampai ke
pengadilan, dan dapat menyebabkan kebangkrutan dan kehinaan.

Dalam ajaran Islam, Allah, Taala telah memberikan petunjuk agar


urusan pinjam meminjam ini harus ditulis; dengan syarat-syaratnya kapan
pinjaman akan dikembalikan, kalau dicicil berapa dan berapa lama, kapan
penyelesaiannya.

Seringkali orang merasa berkeberatan untuk menuliskan urusan


pinjam-meminjam ini, dengan alasan bahwa kami berteman sangat dekat
dan bersahabat sangat kental, kami bersaudara dekat, dan kalau kami
menuliskannya, maka seolah-olah kami tidak saling mempercayai. Atau
karena merasa jumlahnya pinjamannya ini sedikit atau tidak banyak, maka
kami segan untuk menuliskannya.

Padahal perintah dalam Islam sudah tegas, ialah harus ditulis, berapa
pun besarnya atau dengan siapa pun. Perintah ini harus diikuti atau ditaati,
sebagai orang beriman yang takwa; yang meminjam harus menulisnya
dengan benar dan dengan perasaan takut kepada Tuhan; jumlahnya syarat-
syaratnya, cicilannya, waktu penyelesaiannya.
Kadang-kadang pinjaman ini kecil, seperti untuk urusan dapur; tetapi
perintahnya ialah tetap harus ditulis, kalau Anda tidak ingin berakhir dengan
pertengkaran, dan menjadi jauh dari Tuhan.

Syaitan bisa berusaha untuk memberikan salah pengertian di dalam


hati orang-orang; oleh karena itu, ikutilah perintah Tuhan ini dengan
perasaan takwa, sehingga syaitan tidak bisa menjauhkan manusia dari
Tuhan-nya.

15

Karena yang ada dalam keadaan terpepet atau terdesak, atau


membutuhkan itu adalah pihak peminjam, maka orang yang meminjam
itulah yang menulisnya, bagaimana syarat-syaratnya yang ia akan penuhi.
Kalau peminjam tidak dapat menulis maka walinya-lah yang akan
menulisnya sesuai keinginan atau kemampuan peminjam.

Dalam transaksi besar, seperti jual beli besar, maka diperlukan 2 orang
saksi laki-laki; 1 orang saksi laki-laki dapat diganti dengan 2 saksi
perempuan, sehingga jika wanita yang satu itu lupa maka yang lainnya bisa
mengingatkannya.

Pihak yang meminjamkan, karena ia berada di pihak yang memiliki


fasilitas dan diberikan kemampuan, perlu berbaik hati, bersifat pemurah,
atau melonggarkan diri, sehingga mau memenuhi atau mengikuti
persyaratan yang dikemukakan peminjam.

Ahmadi jangan ikut kebiasaan orang-orang, tetapi Ahmadi harus ikut


perintah Islam; kalau tidak menurut, maka akan menjauh dari Tuhan.

Janganlah meminjam; kecuali ada hal mendesak, ada hal yang tak
terhindarkan.

Satu kali terjadi di Rabwah zaman dulu. Hadhrat Mirza Syarif Ahmad ra
bersama seorang temannya masuk di grocery toko bahan makanan; ketika
berbelanja uang beliau kurang, lalu temannya membayarkan
kekurangannya. Maka ketika pulang dan sampai di depan pintu gerbang
rumahnya, Hadhrat Mirza Syarif Ahmad masuk ke dalam rumahnya, dan
minta agar temannya tetap memegang bungkusan belanjaannya. Setelah
keluar lagi, dan beliau membayar uang yang tadi di-pinjamkan oleh
temannya itu, maka beliau berkata, nah sekarang bisa saya ambil bungkusan
belanjaan ini, karena saya telah melunasi uang saudara yang dipakai
berbelanja itu.
Kalau meminjam uang dalam mata uang lain, seperti UK Pound
Sterling, dan berjanji akan dibayar nanti dengan uang Rupees, setelah
pulang, maka ini harus ditulis dengan jelas, tentang kurs mata uang dan
waktu penyelesaiannya.

Kalau sampai di pengadilan, merubah tulisan atau apa yang tertulis,


atau menyangkal apa yang ditulis, maka Allah akan menghukum.

Kalau memaksa saksi, Allah akan menghukumnya.

Jika menyimpang, maka akan menjauh dari Tuhan.

Yang bertanggung-jawab di dalam urusan pinjam meminjam ini adalah:


1. Orang yang meminjam, 2. Yang meminjamkan dan 3. Para saksi.

16

Ada kalanya peminjam tidak dapat memenuhi apa yang dijanjikannya.


Maka yang pihak yang meminjamkan perlu bersifat lunak, dan berbaik hati;
apalagi jika yang meminjam itu dikarenakan kemiskinan atau kekurangan.

Yang meminjamkan dapat mengundurkan jangka waktu penyelesaian


pinjamannya; atau memberikan keringanan, atau bahkan membebaskannya
sebagai sedekah. Allah Taala akan memberikan ganjaran dan pahala. Karena
Allah adalah Maha Pemurah.

Dalam perjalanan Isra, Hadhrat Rasulullah saw membaca tulisan di


pintu gerbang: Yang memberikan pinjaman dan menolong membebaskan
hutangnya, diberi pahala 18 kali dari pada sedekah.

Beliau saw bertanya mengapa, karena tidak mengerti.?

Yang diberi sedekah belum tentu ia membutuhkannya, sedangkan yang


terpaksa meminjam adalah karena kebutuhannya yang benar-benar
mendesak, atau karena kemiskinannya. Karena Allah adalah Maha Pemurah;
dan Dia memberikan fasilitas dan kemampuan kepada orang yang
dikehendaki oleh Nya.

F. Kewajaiban Peminjam Meminjam

Orang yang meminjam barang orang lain, ia berkewajiban untuk:


1. Mengembalikan barang itu kepada pemilliknya jika telah selasai.
Rasulullah saw. bersabda:

Artinya:

Pinjaman itu wajib dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus


membayar. (HR. Abu Dawud).

2. Mengganti apabila barang itu hilang atau rusak. Dalam satu hadis yang
diriwatkan Shafwan Bin Ummayyah, bahwa Nabi saw. pada waktu Perang
Hunain meminjam beberapa buah baju perang kepada Shafwan. Ia bertanya
kepada Rasulullah, Apakah ini pengembalian paksa wahai Rasulullah?
Rasulullah menjawab:

Artinya:

Bukan, tetapi ini adalah pinjaman yang dijamin (akan diganti apabila rusak
atau hilang). (HR. Abu Dawud).

17

3. Merawat barang pinjaman dengan baik selama ditangannya.

Rasul Allah saw. besabda:

Artinya:

Kewajiban peminjam merawat apa yang dipinjamnya, sehingga ia


mengembalikan barang itu. (HR. Ahmad).

Anda mungkin juga menyukai