Anda di halaman 1dari 21

Negara dan Konstitusi

KATA PENGANTAR
 
Assalamu`alaikum Wr.Wb.
 
Dengan Mengucap Syukur Alhamdulillah Berkat Rahmat Alloh SWT,
penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas pembuatan makalah dalam mata kuliah kewarganegaraan dengan
pokok bahasan Negara dan konstitusi.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penyusun
hadapi, namun dengan semangat dan kerja sama antara tim penyusun dan dibantu
semua pihak akhirnya penyusunan makalah ini terselesaikan.
Dalam kesempatan ini penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada Ibu
Martini selaku Dosen mata kuliah kewarganegaraan yang telah membantu
mengarahkan dan memberi batasan penyusunan materi makalah, serta terima kasih
pula rekan-rekan mahasiswa kelas A Jurusan Pendidikan Teknik Mesin Angkatan
2007 Universitas Negeri Jakarta yang turut memberikan informasinya.
Penyusun sangat menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna, sehingga kritik dan sarannya yang membangun sangat penyusun harapkan
agar dapat berbuat lebih baik lagi dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan dapat
memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya.
 
Jakarta, Desember 2007
 
    Penyusun
 
DAFTAR ISI
 
JUDUL ………………………………………………………………………....    i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………....    ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………...   iii
 
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………  
1                                                     
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………   1
1.2 Pembatasan Masalah dan Identifikasi Masalah ………………………   2   
1.2.1 Pembatasan Masalah …………………………………………………   2
1.2.2 Identifikasi Masalah ……………………………………………………   3
 
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan …………………………………………   3
1.3.1 Tujuan Penulisan ………………………………………………………   3
1.3.2 Manfaat Penulisan …………………………………………………….    4
 
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………    5
2.1 Sejarah Ketatanegaraan ……………………………………………….     5
2.2 Pandangan Terhadap Amandemen UUD 1945 ……………………..     7
2.3 Catatan-Catatan Terhadap Hasil Perubahan ………………………..   11
2.4 Pandangan Penolakan Terhadap Amandemen UUD 1945 ………..   23
 
BAB III KESIMPILAN ………………………………………………………..  26
 
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………  27
 
BAB I
PENDAHULUAN
 
1.1 Latar Belakang
 
Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena
yang menjadi causa prima penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi
kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial-politik, bobroknya managemen negara
yang mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya
kepastian hukum akibat telah dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia
1945. Itu terjadi karena fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945
bukanlah bangunan yang demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal
dan juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada
penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian  bergantung pada
penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan
kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959 – 1966) dan
orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa
dengan masih menggunakan UUD yang all size itu akan berperilaku sama dengan
penguasa sebelumnya.
 
Keberadaan UUD 1945 yang  selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini
telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada
hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan 
berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial”
baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang
dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini
menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju
kearah  sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang.  Dengan
demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini 
menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa.
 
Realitas yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen
bersama dalam setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana
cara mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam
situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik dan
terpenting dari proses perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan dapat terlihat
apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga masyarakat, dan apakah
telah menentukan bagi  pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia yang
demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan
kemanusiaan.
 
Dengan  melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah
rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan
sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah mencerminkan
kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat berarti bagi
perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi menjadi monumen
sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.
 
1.2  Pembatasan Masalah dan Identifikasi Masalah
 
1.2.1 Pembatasan Masalah
 
Dalam sistem kenegaraan, masalah perundang – undangan merupakan hal yang
sangat penting bagi jalannya sistem pemerintahan suatu negara, disebabkan
berjalannya sistem pemerintahan tidak lepas dari rujukan yang mesti dilaksanakan
dalam perundang – undangan negara.
 
masalah kontroversi perubahan UUD 1945 yang masih menjadi perbincangan,
merupakan bahan yang kami bahas dalam makalah ini.
 
1.2.2 Identifikasi masalah
 
Dalam prosesnya, amandemen UUD 1945 menimbulkan perdebatan, penyusun
mengidentifikasi beberapa masalah pokok sebagai berikut :
1.                            Sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia sejak awal terbentuknya
UUD 1945 sampai saat kini.
2.                            Permasalahan yang kencenderungan terjadi perdebatan sehingga
timbulnya pra-kontra terhadap perumusan amandemen UUD 1945.
3.                            Beberapa pendapat terhadap amandemen UUD 1945.
 
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
 
1.3.1 Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan tugas makalah ini adalah :
1.                        Menganalisa sejauh mana proses perkembangan amandemen dan
beberapa pendapat tentang amandemen UUD 1945.
2.                        menjabarkan beberapan pendapat pro-kontra terhadap amandemen
UUD 1945.
 
 
 
 
1.3.2 Manfaat Penulisan
Sedangkan manfaat yang diharapkan dapat diperoleh adalah sebagai berikut :
1.                     Meningkatkan pengetahuan tentang negara dan konstitusi negara
Republik Indonesia
2.                     Lebih mengenal kembali Undang-undang dasar negara Republik
Indonesia
3.                     Mengikuti proses perkembangan perundangan Republik Indonesia.
 
BAB II
PEMBAHASAN
 

2.1 Sejarah ketatanegaraan

Saat founding fathers menerima diberlakukannya UUD 1945 yang dicetuskan Prof
Soepomo pada sidang PPKI 18 Agustus 1945 telah menyadari, UUD 1945 hanya bersifat
sementara atau istilah Bung Karno "undang-undang dasar kilat". Mereka semua committed
jika kelak keadaan mengizinkan, bangsa Indonesia akan melaksanakan pemilu untuk
membuat UUD baru yang definit berasas kedaulatan rakyat.

Sejarah ketatanegaraan kita yang menggunakan konstitusi UUD 1945 sebagai


landasan struktural telah menghasilkan berbagai sistem pemerintahan yang berbeda-beda,
bahkan pernah bertolak belakang secara konseptual.

Dalam periode revolusi, hanya di masa kabinet Soekarno-Hatta yang pertama


(Agustus 1945-sampai keluar Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945), berarti hanya dua bulan
kita menerapkan UUD 1945 yang "asli" yang kekuasaan sepenuhnya di tangan Presiden.
Maklumat Wakil Presiden No X mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan dari
Presidensial ke Parlementer, meski tetap menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi.
Pada 1949 bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945 dengan Konstitusi RIS dan
tahun 1950 lagi-lagi diganti dengan UUD Sementara 1950, tetapi tetap menganut paham
demokrasi konstitusional meski dengan sistem berlainan. Baru tahun 1955 pertama kali
diselenggarakan pemilu dan dibentuk Majelis Konstituante untuk membuat UUD baru yang
definitif.

Sebelum tugasnya selesai, Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno


5 Juli 1959. Bukan disebabkan Konstituante tak berhasil atau mengalami deadlock dalam
menyusun UUD baru sebagaimana diajarkan dalam semua buku pelajaran sejarah versi
pemerintah, tetapi karena ada kepentingan politik dari kalangan militer dan pendukung
Soekarno.

Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, timbul
kembali pemerintahan otoriter di bawah panji Demokrasi Terpimpin Soekarno dilanjutkan
rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi Pancasila.

Dalam masa pemerintahan transisi, baik di zaman Habibie, Abdurrahman Wahid,


Megawati sebelum Pemilu 2004, kita menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945 mengatur
penyelenggaraan kekuasaan negara karena sifatnya yang multi-interpretasi. Pemegang
kekuasaan negara bisa melakukan berbagai distorsi dan devisiasi nilai-nilai demokrasi dan
sistem pemerintahan.

kondisi dewasa ini dikhawatirkan kita menghadapi bahaya pengulangan sejarah,


adanya sisa-sisa kalangan militer dan pendukung Soekarno yang menghendaki kembalinya
"Demokrasi Terpimpin". Dulu mereka berhasil menjegal Majelis Konstituante dengan
memakai "pedang" Dekrit 5 Juli 1959. Atau pendukung Soeharto yang menghendaki
kembalinya "Demokrasi Pancasila" yang dengan landasan UUD 1945 yang "murni dan
konsekuen" berhasil berkuasa selama 32 tahun.

Tuntutan untuk kembali ke UUD 1945 jelas diwarnai nostalgia atau sindrom pada
kekuasaan otoriter dan totaliter yang pernah dinikmati di masa lampau dan merasa
"kehilangan" atau tak bisa eksis lagi untuk membangun kekuatan politik dalam konteks UUD
1945 hasil amandemen.

 
2.2 Pandangan Terhadap Amandemen UUD 1945

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan/lembaga politik yang


diposisikan “tertinggi” karena dianggap representasi dari  kedaulatan rakyat adalah badan
yang dianggap memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD. Hal ini didasari pula
pada ketetentuan pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “untuk melakukan
perubahan  UUD ditentukan dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang hadir”. Ditambah ketentuan lain yang
terdapat dalam pasal 3 UUD 1945 bahwa tugas dari MPR adalah menetapkan UUD,
disamping memilih dan menetapkan Presiden dan Wapres serta membuat GBHN.
 
Sepanjang reformasi dalam sidang-sidangnya, MPR telah mengubah UUD 1945
sebanyak empat kali. Pada perubahan yang pertama, MPR mengubah 9 pasal UUD 1945
yang berkenaan dengan soal kewenangan eksekutif-legislatif serta pembatasan masa
jabatan eksekutif (presiden). Sedangkan pada perubahan yang kedua, MPR tidak hanya
mengubah tapi juga menambah muatan materi yang terkandung didalamnya. Perubahan
dan penambahan itu  menyangkut soal wilayah negara, warga negara dan penduduk, hak
asasi manusia,  kewenangan DPR, Pemerintahan Daerah (otonomi daerah), Pertahanan
dan Keamanan Negara, Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu kebangsaan.
 
Diakui bahwa dalam perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama
dengan dimuatnya soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme
yang mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam
konstitusi. Selain itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi
eksekutif (presiden), telah mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif heavy.
Dan sebagai perimbangannya diberikan kewenangan-kewenangan kepada DPR, sebagai
upaya untuk  memberdayakan legislatif terutama dalam fungsinya melakukan kontrol
terhadap eksekutif. Perubahan ini berangkat dari pengalaman pemerintahan yang terjadi
selama ini dengan sangat kuatnya eksekutif (presiden) dan lemahnya DPR, sehingga
“tidak ada” kontrol sama sekali dari DPR terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman
dengan pemerintahan yang didominasi eksekutif dan tiadanya kontrol terhadapnya telah
berlangsung lebih dari 32 tahun dan itu menimbulkan akibat-akibat seperti yang dialami
saat ini.
 
Dengan penambahan kewenangan kepada DPR, terutama dalam soal fungsi legislasi
dan pengawasannya dapat dikatakan telah terjadi pergeseran bandul politik ke arah
legislatif. Namun pergeseran itu sendiri, masih belum menampakkan secara jelas sistem
pemerintahan yang akan diterapkan. Mengingat hanya ada dua model pemerintahan yang
dianut negara-negara demokrasi lainnya, antara sistem pemerintahan presidensiil atau
parlementer. Indonesia dikategorikan menganut sistem percampuran (quasi) antara
keduanya berdasarkan distribusi kekuasaan bukan atas dasar pemisahan kekuasaan.
Sistem dengan pencampuran semacam nampaknya akan masih menyisakan persoalan-
persoalan, jika dikaitkan dengan kejelasan masing-masing hak dan kewenangan lembaga-
lembaga negara serta relasi (check and balances). Perubahan dan penambahan
kewenangan kepada DPR itu nampaknya hanya memindah masalah baru dan
memperpanjang krisis politik, karena tidak berangkat dari kerangka dasar disertai
pemahaman yang jelas. Kesemuanya masih menggantung, apalagi perubahan itu juga
tidak dilakukan secara bersamaan, masih menyisakan soal yudikatif (kekuasaan
kehakiman yang mandiri) yang belum diubah yang selama ini juga tidak lepas dari
dominasi eksekutif.
 
Satu hal mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya sebagai
lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis, karena
perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan lembaga legeslatif. MPR yang
dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi rakyat dan dapat melakukan kontrol
terhadap kekuasaan lainnya menjadi super body yang tidak dapat dikontrol. Meskipun
telah ada pemikiran dan kehendak dari masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi
dan peran MPR terkait dengan keinginan pemilihan presiden secara langsung menjadi
sistem bikameral atau meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945
itu belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.
 
Disamping mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah
memutuskan untuk tidak mengubah Pembukaan, Sistem Pemerintahan Presidensiil dan
Konsep Negara Kesatuan. Keputusan untuk tidak mengubah ketiga hal tersebut secara
politis memang terkesan telah menjadi kehendak mayoritas bangsa. Namun keputusan itu
tidak berangkat dari kenyataan yang ada dan disertai pemahaman dan penerimaan publik
yang rasional. MPR terlalu tergesa-gesa menutup ruang publik yang hendak
mempertanyakan kembali esensi dari ketiganya dan publik dipaksa untuk menerima
sesuatu yang diluar kehendak dan pada kenyataannya adalah berbeda. Ruang publik itu
telah dipenjara secara politis oleh MPR.
 
Dalam soal negara kesatuan misalnya, masyarakat telah menggugat konsep negara
kesatuan dan ingin menggantikannya dengan negara federal untuk menghindar dari
sentralisasi dan eksploitasi yang selama ini terjadi dalam negara kesatuan. Sedangkan
penetapan sistem pemerintahan presidensiil, pada kenyataannya masih ada unsur-unsur
pemerintahan parlementarian yang dianut dan diterapkan. Bahkan kalau mau jujur saat ini
model pemerintahan yang diterapkan sudah condong jauh kearah parlementarian.
 
Terhadap soal pembukaan, MPR tidak memberikan alasan yang tepat dan cukup
rasional diterima publik. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan pada penghargaan
terhadap para pendiri bangsa yang telah merumuskan itu, kekhawatiran bubarnya negara
kalau itu diubah dan adanya deologi negara pancasila dalam pembukaan. Sesungguhnya
kekhawatiran bubarnya negara jika pembukaan diubah tidaklah beralasan, karena secara
historis para founding fathers yang merumuskan pembukaan itu juga telah mengubahnya
dalam pembukaan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dan perubahan pembukaan itu
ternyataa tidak menyebabkan bubarnya negara. Dengan “ditutupnya” ruang publik untuk
dapat menerima ketiga hal tersebut secara obyektif dan rasional, dikhawatirkan akan tetap
menimbulkan persoalan dikemudian hari. Ibaratnya seperti bom waktu yang setiap saat
bisa meledak, tuntutan dan gugatan terhadap pembukaan, sistem presidensiil dan negara
kesatuan bisa muncul sewaktu-waktu.
 
Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa hasil perubahan UUD 1945
tidak menunjukkan perubahan yang mendasar bagi bangunan negara Indonesia yang
demokratis kedepan. Mengingat peran konstitusi sebagai sumber dari segala sumber
hukum dan sebagai kerangka kerja demokrasi yang mengatur dan menentukan posisi serta
hubungan lembaga presiden, legeslatif dan yudikatif,  juga pemerintahan yang bersifat
desentralistik,  hasil perubahan-perubahan UUD 1945 belum memberikan jaminan soal
itu. Lebih dari itu, hasil perubahan UUD 1945 belum menjadikan identitas nasional baru
yang sesuai dengan kebutuhan, aspirasi dan semangat yang berkembang saat ini.
 
 
 
 
2.3  Catatan- CatatanTerhadap Hasil Perubahan
 
Catatan-catatan ini ditujukan untuk dapat melihat secara komprehensif dan menelaah
lebih jauh beberapa kekurangan-kelemahan dari hasil amandement UUD 1945. Guna
memudahkan pemahaman, catatan dibawah ini dibuat sistematikanya berdasarkan
tema/issue (bab perubahan) yang dilakukan, yakni sebagai berikut;
 
 
1. Hak Asasi Manusia (HAM)
 
Dimuatnya materi soal hak asasi manusia dalam perubahan UUD 1945,  merupakan
satu langkah maju, karena sebelumnya dalam UUD 1945 dapat dikatakan “tidak ada”
sama sekali materi atau bab tersendiri soal HAM. Dirumuskannya  materi HAM dalam
bab tersendiri diharapkan akan memberikan perlindungan dan jaminan bagi pelaksanaan
HAM di Indonesia. Rumusan HAM ini dibuat di Sidang Tahunan MPR 2000 dalam Bab
XA Pasal 28 Perubahan Ke-II UUD 1945 yang perumusannya terdiri dari 10 pasal (A – J).
Beberapa persoalan-kelemahan yang terdapat dalam rumusan HAM ini adalah:
 
§           Rumusan-rumusan HAM ini, bila dijabarkan keseluruhan, secara substansial
rumusan-rumusan yang dihasilkan tidak mengelaborasi secara rinci seluruh hak asasi
manusia, sehingga terkesan bahwa Anggota MPR tidak dilandasi pemahaman yang
mendalam tentang esensi HAM yang harus diatur dalam UUD. Hal ini terlihat pula
dalam contoh hak yang diberikan untuk warga negara dalam pasal 28 D (3) “Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan “
hanya diatur dalam satu pasal. Padahal masih banyak lagi sesungguhnya hak-hak
yang hakikatnya diberikan kepada warga negara sebagai konsekuensi kalau UUD
adalah hukum dasar yang substansinya antara lain mengenai bagaimana hubungan
antara negara dan warga negara. Apabila ditinjau dari tujuan negara sebagaimana
diatur dalam Pembukaan UUD maka ada hak-hak yang secara khusus hanya dimiliki
dan diberikan oleh negara hanya untuk warganegara. Oleh karena itu, ketentuan hak
asasi warga negara ini harus diatur serta  dalam mengelaborasi ketentuan mengenai
hak asasi manusia perlu kiranya dibedakan antara hak yang diberikan kepada setiap
orang dengan hak yang diberikan kepada warga negara.
 
§           Penyusunan pasal-pasal HAM itu juga kurang sistematis dan tidak didasari pada
pembidangan HAM dalam hak politik, hak sipil, hak ekonomi, hak sosial-budaya. Hal
ini dapat dilihat, misalnya dipisahkannya hak bekerja dengan hak memilih pekerjaan,
begitu pula hak pendidikan dipisahkan dengan hak memilih pendidikan dan
pengajaran. Malah perumusannya disatukan atau dicampurbaur antara satu soal
dengan soal lain. Bahkan dalam beberapa soal perumusannya disebut disebut dua kali
yakni. Misalnya soal penyiksaan dalam pasal 28 G (2) dan 28 I (1), demikian  pula
soal hak beragama (pasal 28E ayat 1 dan pasal 28I ayat 1) dan  hak hidup (pasal 28A
dan pasal 28I ayat (1).
 
§           Rumusan – rumusan HAM itu juga tidak sesuai dengan Deklarasi Umum HAM atau
International Covenant on Civil  and Political Rights (ICCPR), masih rancu,
menimbulkan ketidakjelasan dan persoalan/kontroversi baru, hal ini dapat dilihat dari
rumusan-rumusan Rumusan pasal 28D  (2) yang berbunyi “setiap orang   berhak
untuk bekerja…” rumusan semacam itu ada pemikiran berusaha untuk
menghilangkan/ menyembunyikan tanggungjawab negara. Berbeda esensinya dengan
rumusan yang berbunyi “setiap orang berhak atas pekerjaan…”, seperti yang
tertuang dalam pasal 23 ayat 1 DUHAM. Demikian pula dalam rumusan pasal lainnya
seperti berhak untuk mendapat pendidikan (pasal 28 C ayat 1) berhak untuk
memperoleh informasi (pasal 28 F). Seharusnya adalah kewajiban negara untuk
melindungi apa-apa yang telah diakui sebagai hak asasi seseorang bukan malah
menyembunyikannya.
 
§           Pasal 28I (3) yang berbunyi “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Rumusan ini
mengundang pertanyaan apa yang dimaksud dengan “dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban itu”? Penggunaan kata ‘tradisional’ lebih
mengarah kepada pengertian yang sempit, yang hanya berkaitan dengan identitas
budaya tidak menerjemahkan secara lebih luas mencakup hak ekonomi, sosial,
budaya dan politik.
 
§           Dalam perumusan pasal 28 I (1) dimasukkan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut (prinsip non retroaktif) yang lengkapnya berbunyi “hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Adanya
penegasan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut karena belum ada
aturan ketentuan sebelumnya atau dikenal dengan asas nonretroaktif telah
mengadposi secara mentah Konvensi Hak Sipil dan Politik tanpa mengetahui prinsip
dasarnya. Prinsip itu memang merupakan prinsip hukum pidana modern yang oleh
sistem hukum internasional ditempatkan sebagai hak yang bersifat sekunder ketika
berhadapan dengan asas keadilan dan adanya kejahatan HAM berat, sebagaimana
dimaksud Konvensi Geneva 1949.
 
Rumusan itu telah memutlakkan prinsip non retroaktif dan tidak membuka peluang
bagi digunakannya prinsip-prinsip hukum internasional seperti yang tertuang dalam
pasal 11(2) DUHAM dan pasal 15 (1-2) ICCPR (Konvensi Hak Sipil dan Politik).
Berarti, rumusan itu tidak menyerap seluruh aspirasi dalam DUHAM dan ICCPR
yang mengakui adanya kewenangan untuk mengadili para pelanggaran HAM masa
lalu, yang dianggap sebagai kejahatan menurut hukum nasional maupun internasional.
Meskipun ada klausul lain dalam pasal 28 J (2)  yang menyatakan wajib tunduk pada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, hal ini bisa berdampak serius
mengingat bahwa penempatan pasal ini ada dalam konstitusi yang  merupakan hukum
tertinggi yang tidak mungkin dikalahkan peraturan perundangan dibawahnya. Oleh
karena itu keberadaan pasal itu bukan untuk melindungi para pelanggar HAM
melainkan untuk tempat persembunyian para pelaku pelanggaran HAM.
 
Perumusan pasal ini juga dipandang sangat lemah, dan menjadi dilematis apabila
diterapkan. Artinya, dengan memasukkan hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan oleh siapapun (non derogable) kedalam UUD, jika dikaitkan
dengan ketentuan hak fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana pula
dicantumkan dalam UUD akan berakibat pada masalah pelanggaran hak asasi
manusia. Sementara di pihak lain, keterbatasan dana pemerintah yang selalu menjadi
alasan untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar dapat diterima
masyarakat. Maka dari itu perlu dipertimbangkan secara serius apakah asas non
derogable tetap akan dipertahankan dalam UUD atau dihilangkan, apalagi bila
mengingat bahwa PBB sendiri hanya meletakkan non derogable rights dalam
kovenan, yang statusnya sama dengan undang-undang. Karena sepertinya kita
mengikat tangan sendiri, suatu hal yang kurang disadari oleh para anggota MPR
 
 
2. System Pemerintahan
 
   
Yang akan dicermati soal sistem pemerintahan ini adalah rumusan
perubahan yang  berkenaan dengan pemberian kewenangan/kekuasaan kepada Legeslatif 
(DPR) dan pengurangan kewenangan presiden serta pembatasan masa jabatannya.
 
§           Terhadap pemberian kewenangan/kekuasaan kepada DPR dapat terlihat dalam
rumusan-rumusan perubahan pertama UUD 1945. Yakni dalam soal presiden
mengangkat duta/konsul dan penerimaan/penempatan duta negara lain (pasal 13),
presiden memberi amnesti dan abolisi (pasal 14 ayat 2), presiden membentuk
departemen (pasal 17 ayat 4), harus dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan
DPR. Sedangkan dalam perubahan yang kedua kekuasaan DPR ini ditambah dengan
memiliki hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat untuk
menjalankan fungsinya (pasal 20A ayat 2).
 
Perubahan-perubahan tersebut menunjukkan adanya upaya pemberdayaan dan
meningkatkan peran DPR, yang secara tidak langsung pula menandakan pembatasan
kewenangan presiden yang besar, termasuk dalam hal ini ketika presiden memberikan
grasi dan rehabilitasi harus dengan pertimbangan MA (pasal 14 ayat 1) dan dalam
memberikan gelar serta tanda jasa yang harus diatur dengan undang-undang (pasal
15).  Perubahan-perubahan itu menjadikan lembaga DPR “setara” dengan presiden
sebagai balance sekaligus kontrol terhadap peranan presiden.
 
Namun konsekwensinya yang terjadi kemudian adalah terhambatnya proses-proses
pemulihan yang harus dilakukan oleh presiden karena kesemuanya harus melalui
mekanisme atau prosedur DPR. Sebagai contoh, hal ini dapat dilihat dari tertundanya
pembebasan Sdr. Budiman Sujatmiko karena harus menunggu proses dari DPR dan
pembubaran Departemen Sosial dan Penerangan yang menimbulkan konflik antara
Presiden dan DPR. Hal ini menjadi dilematis, satu sisi  pemberian kekuasaan itu
membuat DPR menjadi “kuat” dan disisi lain membuat presiden menjadi “lemah”
tidak berdaya. Kontruksi semacam ini nampaknya juga tidak menguntungkan juga
bagi jalannya demokrasi.
 
Perubahan dengan semangat “parlementarian” itu, telah menempatkan DPR pada
posisi  yang kurang proporsional karena tidak berangkat dari kebutuhan yang paling
urgen yang sekarang dibutuhkan. Sama seperti halnya perubahan pada pasal 7  yang
telah membatasi masa jabatan presiden dan wapres hanya untuk dua periode. Artinya,
meskipun masa jabatan dan kekuasaan presiden tidak dibatasi seperti yang tertuang
diatas, diyakini dalam masa transisi tidak akan terjadi lagi penyalahgunaan kekuasaan
lagi oleh presiden. Kebebasan berekspresi, berorganisasi dan pers yang telah dijamin
dapat menjadi kontrol yang efektif kepada kekuasaan presiden. 
 
§           Perubahan lainnya yang terjadi adalah dalam soal pengajuan dan pengesahan
undang-undang. Berdasarkan perubahan pertama pasal 5 UUD 1945, presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, sedangkan dalam perubahan
pasal 20 (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Kekuasaan ini
tidak hanya DPR secara institusional namun juga secara personal anggota DPR
mempunyai hak mengajukan usul  rancangan undang-undang (pasal 21). Perubahan
ini menempatkan DPR pada posisi sebagai pemegang kekuasaan pembuat undang-
undang yang sebelumnya dipegang oleh presiden.
 
Namun ada ketentuan lainnya yg mengatur bahwa dalam pembahasan rancangan
undang-undang dibahas oleh DPR bersama presiden untuk mendapat persetujuan
bersama. (pasal 20 ayat 2). Dan dalam pasal 20 (5) disebutkan “Dalam hal rancangan
UU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan  wajib
diundangkan”. Dua ketentuan ini membikin rancu dan mengundang kontroversi
karena menempatkan secara bersama kewenangan presiden dan DPR dapat
mengesahkan undang-undang, disatu sisi. Disisi lainnya dari ketentuan ini
menimbulkan adanya abuse of  power  terhadap kewenangan DPR untuk
mengusulkan rancangan undang-undang sekaligus untuk memaksa Presiden agar
mensahkan RUU yang diajukan DPR tersebut. Karena dari usulan rancangan UU
yang diajukan DPR kepada Presiden itu, pada akhirnya Presiden tidak mempunyai
hak apakah akan  menyetujui ataukah menolak RUU yang diusulkan DPR itu. Selain
itu ketentuan ini juga menimbulkan kendala lain  apakah memang ketentuan ini
berlaku surut terhadap RUU yang belum disahkan Presiden sebelum adanya
amandemen kedua UUD. Misalnya dalam kasus RUU Penanggulangan Keadaan
Bahaya (RUU PKB) dan RUU Serikat Pekerja, yang hingga kini menggantung tidak
jelas nasib penentuannya.
 
Rupanya pula pengertian pemegang kekuasaan membentuk undang-undang ini tidak
dicermati secara benar, karena dalam amandemen pasal 20 (4) menyatakan bahwa
Presiden mengesahkan Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama DPR
dan Presiden untuk menjadi undang-undang. Dalam kekuasaan membuat undang-
undang, ada 3 hal pokok yang terkandung, yaitu persetujuan yang dilakukan oleh
DPR dan Presiden, pernyataan mengesahkan RUU untuk menjadi UU, dan
kewenangan mengundang UU. Dalam hal ini, perihal pernyataan mengesahkan RUU
oleh Presiden menimbulkan pertanyaan, dan itu termasuk bagian dari kekuasaan
proses penerapan kekuasaan membentuk undang-undang. Seharusnya, jika mau
konsisten prosedur itu menjadi kewenangan DPR sesuai dengan bunyi pasal 20 (1)
Amandemen UUD 1945. Dengan kata lain DPR lah yang harus mengesahkan RUU
menjadi UU berdasarkan asas kedaulatan rakyat.
 
§         Perubahan-perubahan dalam konteks sistem pemerintahan itu nampaknya cenderung
memberi penguatan – terutama fungsi kontrolnya -- kepada DPR dengan melakukan
pemangkasan terhadap peran dan kewenanangan presiden. Perubahan itu ditambah
lagi dengan adanya Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 yang mengaharuskan adanya
persetujuan DPR jika Presiden mengangkat Panglima TNI dan Kapolri, yang
sebelumnya merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana diatur dalam pasal 10
UUD 1945. Rumusan –rumusan ini dapat dikatakan masih menggunakan sebagian
sistem presidensiil dan sebagian sistem parlementer, yang amat rentan menimbulkan
konflik antara Presiden dan DPR.
 
§           Terhadap perubahan yang menyatakan bahwa “presiden ialah warga negara
Indonesia asli” (pasal 6) apa yang menjadi ukuran “asli” itu tidaklah jelas. Rumusan
ini dapat menimbulkan penafsiran diskriminatif  terhadap hak warga negara untuk
menduduki jabatan di pemerintahan (presiden).
 
§           Terhadap penambahan pasal 9 yang menyatakan “jika MPR/DPR tidak dapat
mengadakan sidang, Presiden dan Wapres bersumpah /berjanji dihadapan pimpinan
MPR dengan disaksikan oleh pimpinan MA”. Rumusan ini nampaknya mengadopsi
dari Ketetapan MPR No.VII/MPR/1973 yang dipakai sebagai landasan yuridis
pengunduran diri Soeharto sebagai presiden. Rumusan semacam ini dapat
menimbulkan penafsiran yang beragam, terutama bagi faktor kepentingan politis baik
yang dilakukan untuk kepentingan presiden sendiri maupun fraksi-fraksi politik di
MPR. Dikarenakan masih belum jelasnya apa yang dimaksud dengan tidak dapat
mengadakan sidang, apa syarat-syaratnya atau dalam kondisi yang bagaimana
MPR/DPR itu dikatakan tidak dapat mengadakan sidang.
 
 
3.  Pemerintahan Daerah
 
§           Secara umum perumusan yang terkandung dalam pasal 18 ini tidak mensistematisir
apa yang sesungguhnya harus diatur dalam UUD perihal otonomi daerah. Hampir
semua obyek yang merupakan proporsi undang-undang diatur dalam pasal ini.
Seperti soal, pembagian wilayah (ps 18 ayat 1), pemilihan kepala daerah dan DPRD
(ps 18 ayat 3&4), sampai soal pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (ps. 18B
ayat 2). Kalaupun itu mau diatur dalam UUD, persoalan kemudian adalah bias apa
yang hendak ditekankan karena harus diatur (atribusi) lagi dalam undang-undang,
dan apa yang hendak dikonsepsikan dalam konstitusi ini perihal pemerintahan daerah
(otonomi daerah). Hal ini berkenaan dengan adanya beragam format pengaturan
perundang-undangan tentang pemerintahan daerah/otonomi daerah, yakni di
Amandemen Kedua UUD 1945, TAP MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan UU No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah.
 
§           Penggunaan kata “dibagi” dalam perumusan “Negara kesatuan RI dibagi atas daerah
provinsi-provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota….” dapat
menimbulkan kontradiksi. Karena pengertian “dibagi” ini tergantung dari
interprestasi pemerintah pusat yang tidak didasari realitas dan aspirasi masing-
masing daerah. Dan seharusnya digunakan kata terdiri yang lebih menunjukan
prinsip independensi dan egalitarian dalam mewujudkan otonomi daerah. Dalam
kasus lain, meskipun prinsip pemerintahan daerah dengan otonomi daerah itu
merupakan hakikat dalam konteks negara kesatuan, namun disisi lain pada kenyataan
adanya tuntutan untuk membebaskan daerah (merdeka) seperti Aceh dan Papua, serta
kehendak untuk merubah bentuk negara kesatuan menjadi federalisme tidak bisa
dinafikkan begitu saja. Sehingga penempatan konsep pemerintahan daerah ini dalam
konstitusi masih manjadi kendala, karena bisa jadi itu bukan merupakan rumusan
yang final berdasarkan kehendak politis seluruh rakyat Indonesia.
 
§           Konsepsi otonomi daerah dalam rumusan pasal 18 (5) yang berbunyi “ Pemerintah
Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,…” berbeda maknanya dengan apa
yang sebelumnya dirumuskan dalam UU No. 22 tahun 1999 yakni Otonomi yang
luas, nyata dan bertanggungjawab. Dampak dari perbedaan ini disamping
menimbulkan kotradiksi hukum, juga akan menimbulkan interpretasi yang beragam
dalam pelaksanaannya.
4.  Wilayah Negara
 
Masalah wilayah negara dirumuskan dalam Bab IX A pasal 25 E yang menyatakan bahwa
“Negara Kesatuan RI adalah sebuah negara kesatuan yang berciri Nusantara dengan
wilayah dan hak-haknya ditetapkan dengan UU”. Disini ada ketidakjelasan apa yang
dimaksud dengan  “yang berciri Nusantara” itu? apa yang kemudian menjadi tolak
ukurnya? Bagaimana penentuannya yang meskipun akan diatur kembali lewat UU,
namun tetap seharusnya dari penentuan wilayah ini, dengan mengacu hukum
internasional, untuk mencegah terulangnya kembali “ekspansi” dalam kasus Timur-
Timor.
           
 
5. Warga Negara dan Penduduk
 
Dalam pasal 27 (3) bab tentang warga negara disebutkan bahwa, setiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Seharusnya hal mengenai
pembelaan negara ini cukup menjadi hak dan bukan menjadi kewajiban warga negara.
Dengan kewajiban itu  akan memudahkan siapapun yang mempunyai kewenangan (dalam
hal ini alat negara yang bernama TNI) untuk melakukan mobilisasi secara paksa terhadap
warga negara. Upaya ini amat rentan terhadap kemungkinan terjadinya konflik horizontal
yang dapat menimbulkan kerusuhan-kekerasan dalam skala yang luas.
 
 
6.      Pertahanan dan Keamanan
 
Dalam pasal 35 ayat 1 amandemen II UUD 1945  disebutkan bahwa “Tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan negara.” Dalam hal usaha
pertahanan negara ini seharusnya bukan menjadi kewajiban tetapi menjadi hak dan
kehormatan bagi warga negara. Bila hal ini menjadi suatu kewajiban bagi warga negara,
maka terlihat adanya paksaan  dari negara kepada warga negaranya untuk ikut serta dalam
usaha pertahanan negara.
Ketentuan pasal 35 amandemen II UUD 1945 (tentang Pertahanan dan Keamanan
Negara) ini memperbaharui  ketentuan dari pasal 30 UUD 1945 (tentang Pertahanan
Negara). Dalam ketentuan pasal 35 Amandemen UUD 1945 ini dipisahkan antara
kekuatan pertahanan  dan keamanan negara yang semula berada dalam satu sistem
(Sistem HANKAMARATA),  dimana sistem Pertahanan dipegang oleh kekuatan TNI
dan sistem  keamanan yang dipegang oleh POLRI. Dari pemisahan kedua sistem ini, yang
perlu dicermati kemudian adalah siapa yang berwenang untuk menengahi apabila suatu
saat terjadi persinggungan antara kekuatan pertahanan dan keamanan. Dengan adanya
ketentuan pasal 35 ini berarti pula harus pula diperhatikan ketentuan peraturan-peraturan
dibawah UUD yang berkaitan dengan TNI dan POLRI, (misalnya RUU Kepolisian) agar
antara peraturan satu dengan lainnya tidak saling bertentangan.
 
Dari UUD 1945, masih ada ketentuan pasal yang menimbulkan  kendala. Misalnya dari
ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa Presiden memegang kekuasaan
tertinggi atas AD, AL, dan AU. Dengan demikian kewenangan untuk mengangkat
Panglima AD, AL, dan AU pun berada di tangan Presiden. Sehingga kedudukan
Panglima TNI sejajar atau bahkan diatas  kedudukan menteri, bila mengingat pula
Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 bahwa untuk penentuan Panglima TNI/Kapolri harus
melalui persetujuan DPR.. kebijakan itu amat bertentangan dengan kehendak tuntutan
dicabutnya dwifungsi TNI dan penempatan kontrol militer dibawah sipil. Nampaknya
masih ada upaya konsolidasi militer dan menarik-narik kembali militer kekancah politik.
Jadi hanya tinggal dua negara didunia ini yang Panglima TNI berada tidak di bawah
Menhankam, yaitu Indonesia dan Myanmar.
 
 
 
2.4 Pandangan Penolakan Terhadap Amandemen UUD 1945

Adanya pro dan kontra amandemen UUD 1945 dilihat dari perspektif
konstitusionalisme adalah karena belum jelasnya konsep kenegaraan (staatsidee) yang kita
anut, apakah paham kenegaraan integralistik atau demokrasi konstitusional.

Secara umum perumusan amandemen UUD 1945 ada beberapa kelemahan mendasar, yaitu :

Pertama, terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain
ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian
amandemen itu.

Kedua, menyangkut masalah teknik yuridis, yakni lemahnya kemampuan legal drafting
dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika yang rancu
maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang
tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir. Namun, adanya kelemahan
tersebut tidak berarti kita harus kembali kepada UUD 1945.

Adapun beberapa alasan penolakan atas amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan
sebagai berikut :

-         Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif. Konstitusi ini
masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara dan aspek protektif
individu dalam hak asasi manusia  aspek restriktif ini merupakan koreksi langsung
terhadap, misalnya, tiadanya pembatasan masa jabatan presiden di masa Presiden
Soeharto. Demikian pula peningkatan otonomi daerah yang membatasi kekuasaan
pusat. Selain sifatnya restriktif, amandemen UUD 1945 juga memiliki aspek integratif
yang tercermin dari pembentukan DPD, yang diharapkan dapat membantu
penyampaian aspirasi daerah. Amandemen UUD 1945 memiliki pula aspek protektif
dengan dicantumkannya 10 pasal (28A sampai 28J) tentang HAM, proteksi bahasa
daerah, dan masyarakat adat. 

-         dibuat Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan oleh komisi independen.

-         Amandemen UUD 1945 ini juga tak memiliki content draft yang utuh, penjelasan
mengenai pasal-pasal yang diamandemen pun minim. Selain itu, partisipasi publik
rendah. Publik tidak diberi peluang menilai perubahan yang dilakukan.

-         amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting dilihat
dari segi kedaulatan :

o       tiadanya kemampuan rakyat pemilih menarik kedaulatan mereka

o       tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil terhadap militer

o       tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun Yogyakarta,
sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan
otonomi.

tampak amandemen belum bersifat membatasi (restriktif) kekuasaan legislatif


terhadap    pemilih, militer terhadap sipil, dan pemerintah pusat terhadap daerah
otonomi khusus.

-         Hilangnya Kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.  "Salah satu contoh
terjadinya perombakan itu pada pasal 1 ayat 2 UUD 45 yang berbunyi kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sekarang dirombak
menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD,
perombakan itu membawa implikasi perubahan hukum yaitu hilangnya eksistensi
konstitusional MPR dan tidak lagi penyelenggara negara yang tertinggi. Hal ini akan
menimbulkan kontroversi.

-         kurangnya kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan melakukan koreksi atas
pihak yang dititipi kedaulatan, yakni DPR.Rakyat pemilih tidak dapat melakukan
impeachment pada wakil rakyat yang tidak menjalankan aspirasi mereka. Sebaliknya,
pola pemecatan pejabat eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga legislatif
                                                            BAB III

KESIMPULAN

 
Melihat dengan adanya pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Maka
penyusun dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Permasalahan pokok yang mengakibatkan terjadinya perdebatan adalah
perumusan amandemen UUD 1945 yang multitafsir., yakni lemahnya
kemampuan legal drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal,
yang tampak dari segi sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang
dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang tumpang
tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir
2. Perbedaan perdapat yang terjadi pula terkait dengan masalah konseptual.
MPR tidak memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas tentang
arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu.
3. keempat amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang
penting dilihat dari segi kedaulatan. Pertama, tiadanya kemampuan rakyat
pemilih menarik kedaulatan mereka. Kedua, tidak dicantumkan supremasi
otoritas sipil terhadap militer. Ketiga, tidak tercantumnya otonomi khusus
Aceh dan Papua maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi
dapat mengurangi arti kekhususan otonomi. 
DAFTAR PUSTAKA
 
http://www.pikiran-rakyat.com/
 
http://www.mpr.go.id/
 
Catatan terhadap hasil rumusan amandemen pertama dan kedua UUD 1944, KRHN,maret,
2001

Anda mungkin juga menyukai