Anda di halaman 1dari 4

Konsepsi Halal Dalam Hukum Islam

A. Pengertian Halal
Secara bahasa, halal adalah terminology normatif yang memiliki fungsi dogmatis, yaitu
identitas internal yang menggambarkan polaritas keagamaan yang pure dan natural. Istilah
halal adalah legitimasi keagamaan yang diproyeksikan memberikan pandangan agama secara
positif tentang suatu perilaku manusiawi baik berupa tindakan, ucapan, maupun sikap-sikap
atas suatu benda bernyawa.
Halal (halla, yahillu, hillan = membebaskan, melepaskan, memecahkan, membubarkan,
dan membolehkan. Segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika
menggunakannya.1 Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih sering digunakan untuk
merujuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut dalam
Islam. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk kepada segala sesuatu
yang diizinkan menurut hukum Islam (aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian dll)
Terdapat 10 prinsip halal haram yang digunakan dalam memandang konsepsi halal yang
terdapat dalam hukum Islam.
1) Hukum asal segala sesuatu adalah diperbolehkan,
2) Menetapkan halal haram semata-mata merupakan hak Allah,
3) Mengharamkan perkara halal dan menghalalkan perkara haram sama saja dengan
menyekutukan Allah,
B. Pembahasan
Islam hadir dalam dimensi yang luas sebagai ajaran ketuhanan yang bersifat kewahyuan
keberlanjutan (continues revelation). Artinya, Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw.
merupakan tuntunan para nabi sebelumnya. Karena itu substansi ideologis yang terkandung
dalam ajaran Islam merupakan ajaran yang masih berhubungan dan berkaitan erat dengan
ajaran luhur agama-agama sebelumnya, seperti ibadah haji dan kurban. Dalam hukum Islam,
terdapat nilai-nilai esensial yang bersifat prinsipil dalam mengatur persoalan halal dan haram.
Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Hukum asal segala sesuatu adalah diperbolehkan


Prinsip pertama yang dibangun dalam Islam adalah adanya kaidah dalam hukum
Islam menyatakan sebagai berikut :

‫األصل على األشياء اإالبحة‬


“Asal hukum atas benda adalah boleh.” Kaidah ini menunjukkan bahwa asal
hukum semua benda dengan segala perbedaan dan motifnya adalah halal. Ungkapan ini
bersifat umum dan menjadi dasar pemikiran tentang konsepsi halal dalam hukum Islam,
berdasarkan alQur’an dan Sunnah.
Al-Qur’an yang menjadi rujukan adalah ayat 29 Surat al-Baqarah sebagai berikut:

... ‫هو الذي خلق لكم ما يف األرض مجيعا‬


Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. Ayat ini
dilengkapi dengan ayat lain dalam Surat Luqman ayat 20 :
‫أمل تروا أن هلال سخر لكم ما يف السموات وما يف األرض‬
‫ وأسبغ عليكم نعمه ظاهرة وابطنة‬...
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.

Hal ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu tersebut secara
mutlak, Allah lah yang menundukkan dan memberikan segalanya untuk manusia, selama
Allah tidak menegaskan larangan terhadap sesuatu tersebut. Manusia boleh sebebas-
bebasnya menikmati apa yang sudah Allah berikan tersebut. Terkecuali jika muncul
larangan yang tegas tentang keharaman atas benda atau sesuatu. Dalam hadits
diriwayatkan bahwa Salman Al-Farisi pernah menceritakan kisah Rasulullah Saw.
pernah ditanya tentang kehalalan mentega, keju, dan keledai hutan. Beliau menjawab,
“Apa yang dihalalkan Allah dala Kitab-Nya adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya
adalah haram. Apa yang didiamkan-Nya maka sesuatu itu termasuk yang dimaafkanNya
untukmu.”Rupanya Rasulullah Saw tidak ingin menjawab pertanyaan sahabat satu
persatu, tetapi Rasulullah justru menggiring mereka kepada satu kaidah tentang
kehalalan dalam Islam. Menurut Yusuf Qardhawi bahwa hukum asal yang bersifat
membolehkan tidak hanya terbatas pada sesuatu dan zat saja, tetapi meliputi perbuatan
dan tingkah laku yang selanjutnya disebut sebagai adat dan muamalat

2. Menetapkan halal haram semata-mata merupakan hak Allah


Islam memberikan batas kewenangan dalam menentukan hukum halal-haram.
Dengan kata lain, Islam tidak mengakui sebagai hak manusia sebagai makhluk untuk
menentukannya. Barang siaoa makhluk manusia mencoba mengambil alih hak
menentukan hukum halal haram, maka sesungguhnya ia sudah melampaui batas karena
telah melangkahi wewenang Allah. Seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an Surat Asy-
Syuura ayat 21:
... ‫أم هلم شركاء شرعوا هلم من الدين ما مل أيذن به هلال‬
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? …
Dalam ayat lain Allah juga berfirman :
‫وال تقولوا مال تصف ألسنتكم الكذب هذا حال ل وهذا حرام لتتوروا‬
‫على هلال الكذب إن الذين يتورون على‬
. ‫هلال الكذب ال يتلحون‬
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebutsebut oleh lidahmu
secara dusta „ini halal dan ini haram‟, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah. Sesungguhnya orangorang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl; 116)
Dari ayat tersebut para ulama fiqh sepakat bahwa hak menentukan sesuatu
sebagai halal atau haram sepenuhnya berada di tangan Allah, baik melalui penjelasan
yang qath‟i di dalam al-Qur’an maupun melalui penjelasan hadits Nabi. Tugas manusia
tidak lebih hanyalah sekedar menjelaskan hukum-hukum Allah yang berkaitan halal dan
haram tersebut, seperti yang ditegaskan dalam ayat 119 Surat alAn’am : ... ‫وقد فصل لكم‬
‫ م~~ا ح~~رم عليكم‬... Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu.
Dengan demikian, tugas manusia bukan menetapkan hukum syariat bagi manusia
baik yang diperbolehkan maupun yang tidak diperbolehkan. Karena itu menjadi
kewajaran bila para ulama mujtahid atau imam fuqaha’ berusaha untuk menghindari
fatwa karena takut terjatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal haram.

3. Mengharamkan perkara halal dan menghalalkan perkara haram sama saja


menyekutukan Allah
Selain mencap semua orang yang suka menghalalkan atau mengharamkan
sesuatu, Islam telah mengkhususkan mereka dengan beban yang lebih berat dan keras.
Persoalannya adalah pandangan seperti itu dianggap sebagai pembatasan dan
penyempitan bagi manusia atas apa yang sesungguhnya telah diperluas bagi mereka.
Nabi Saw. sendiri telah berusaha memerangi sikap keras dan berlebihan tersebut dengan
segala cara. Nabi mencela orang-orang yang melakukannya dan mengabarkan kerugian
yang akan mereka alami, sebagaimana sabda beliau ‫ هلك املتنطعون قاهال‬: ‫قا ل رسو ل هلال صلعم‬
‫ث~~االث‬. Rasulullah Saw. bersabda : “Celakalah orang-orang yang melampaui batas”.
Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Dalam sabda yang lain disebutkan bahwa
Nabi saw. menyampaikan risalah, “Aku diutus membawa ajaran lurus dan toleran.”
Maksudnya adalah lurus dalam urusan akidah dan tauhid serta toleran dalam hal
bertindak dan menetapkan hukum. Tindakan mengharamkan yang halal sama halnya
dengan perbuatan syirik. Karena itu Allah menentang keras orang-orang musyrik Arab
karena perbuatan syirik mereka menyembah berhala, sekaligus upaya mereka
mengharamkan makanan-makanan yang justru bermanfaat buat mereka, baik yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Padahal Allah tidak mengizinkan perbuatan tersebut, di antaranya adalah
keharaman al-bahirah, assa‟ibah, al-wasilah, dan al-hami. Bahirah adalah unta betina
yang telah melahirkan sebanyak lima kali dan anak yang kelima adalah jantan. Lalu unta
betina itu dibelah telinganya dan kemudian dilepaskan serta tidak boleh ditunggangi dan
diambil susunya.
Sa‟ibah adalah unta betina yang dinazarkan untuk persembahan berhala yang
dibebaskan berkeliaran. Al-wasilah adalah seekor anak domba jantan yang lahir dari
domba betina dan dilahirkan secara kembar dengan dua jenis kelamin berbeda. Anak
domba jantan tersebut tidak boleh disembelih karena akan dijadikan sesembahan
berhala.
Sedangkan al-Hami adalah unta yang tidak boleh diganggu karena telah
menghamili unta betina sepuluh kali dan biasanya dijadikan persembahan berhala. Al-
Qur’an sendiri menentang keras tradisi Arab yang mengharamkan hewan-hewan
tersebut. Lihat dan perhatikanlah ayat berikut ini

: ‫َم ا َجَع َل اُهّٰلل ِم ۢۡن ِحَب َرۡي ٍة َّو اَل َس ٓاَبٍة َّو اَل َو ِص ۡي ٍةَل َّو اَل َح اٍم ۙ َّو ٰلـِكَّن اِذَّل ۡيَن َكَفُر ۡو ا َيۡفُرَت ۡو َن َعىَل اِهّٰلل اۡلـَكِذ َب ؕ َو َاۡك ُرَث ۡمُه اَل‬
‫ِٕٮ‬
١٠٣ ‫َيۡع ِقُلۡو َن‬
‫َو ِا َذ ا ِق ۡيَل َلُهۡم َتَع اَلۡو ا ِا ىٰل َم ۤا َاۡنَز َل اُهّٰلل َو ِا ىَل الَّر ُس ۡو ِل َقاُلۡو ا َح ۡس ُبَنا َم ا َو َج ۡد اَن َعَلۡي ِه ٰا َبٓاَء اَن ؕ َاَو َلۡو اَك َن ٰا َبٓاُؤ ۡمُه اَل َيۡع َلُمۡو َن َش ۡيـًٔــا‬
١٠٤ ‫َّو اَل ۡهَيَتُد ۡو َن‬

“Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, sa‟ibah, wasilah,


dan ham. Akan tetapi orang-oranng kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan
kebanyakan mereka tidak mengerti. Apabila dikatakan kepada mereka : Marilah
mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul. Mereka menjawab :
Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. Dan
apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk.” (QS. Al-
Ma’idah : 103-104)
Hal yang dapat dipahami, bahwa ayat tersebut diturunkan dalam proporsi periode
Mekkah (Makkiyah) yang menunjukkan fakta bahwa ayat tersebut bertujuan untuk
memperkuat pondasi akidah, tauhid dan akhirat dalam Islam. Selain itu, dalam
pandangan Islam tradisi pengharaman hewan yang dilakukan masyarakat Arab jahiliyah
tersebut bukanlah persoalan cabang (furu‟iyyah) dan ringan, tetapi persoalan prinsipil
dan menyeluruh.

Anda mungkin juga menyukai