Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KB dan Asuransi

Mata Kuliah : Fiqih Kontemporer

Kelompok 4 :

Suprita Dwi Putri Utami (18671024)


Bobi Candra (18671004)

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Curup


Fakultas Ekonomi Syariah Prodi Hukum Tata Negara
Tahun Ajaran 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
nantikan syafa’atnya di akhirat nanti. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas
limpahan rahmat sehatnya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Fiqih
Kontemporer dengan judul ”KB dan Asuransi”
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demkian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Curup, Juni 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover
Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………………..........4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………….4

BAB II PEMBAHASAN
A. Keluarga berencana ............................................................................................5
B. Asuransi dalam Khazanah Fikih Kontemporer....................................................8

BAB III PENUTUP


Kesimpulan……………………………………………………………………………......13

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Keluarga berencana diakui sebagai program nasional, pionir dalam usaha keluarga
berencana adalah organisasi swasta, sedangkan peranan pemerintah melakukan supervisi dan
menyokong program tersebut selama program ini searah dengan program dari pemerintah.
Pemerintah belum mengambil alih semua tanggung jawab, karena itu dirasa perlu mendirikan
suatu lembaga yang semi pemerintah (LKBN). Kemudian pemerintah mengakui keluarga
berencana sebagai bagian dari integral dari program pembangunan, berhasilnya program
keluarga berencana hanya dapat dicapai bila pemerintah mengambil alih semua tanggung
jawabnya termasuk biayanya.

Umumnya pembangunan nasional diarahkan untuk memecahkan persoalan-persoalan


dengan latar belakang ekonomi. Bila ekonomi tumbuh dengan kenaikan 5% sedangkan
penduduk bertambah 2,8%, dapat diharapkan dalam jangka waktu lama pendapatan per
kapita akan bertambah walaupun keluarga berencana tidak dilakukan. Berhasilnya
perkembangan ekonomi bersama-sama dengan penurunan pertumbuhan penduduk pasti akan
membawa kesejahteraan dan perbaikan.

kehidupan bangsa dengan lebih cepat. Sebaliknya bila penduduk terus bertambah
tanpa diawasi suatu kesengsaraan tidak dapat dihindarkan. Berpasangan-pasangan dalam
hukum merupakan pola hidup yang ditetapkan oleh Allah swt. bagi umat-Nya sebagai sarana
untuk memperbanyak keturunan dan mempertahankan hidup setelah Dia membekali dan
mempersiapkan masing-masing pasangan agar dapat menjalankan peran mereka untuk
mencapai tujuan tersebut dengan sebaik-baiknya. Dengan pernikahan, manusia dapat
menjalankan fitrahnya dengan cara yang baik, terhindar dari terputusnya garis keturunan, dan
para perempuan terjaga dari peran sebagai pemuas nafsu bagi setiap laki-laki yang
menginginkannya.

B. Rumusan Masalah
1. Hukum melakukan KB?
2. Bagaimana asuransi dalam pandangan ulama fiqih kontemporer?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Keluarga Berencana

Ada dua pengertian tentang keluarga berencana ialah pengertian secara umum dan
pengertian secara khusus.
1. Pengertian umum keluarga berencana adalah suatu usaha yang mengatur banyaknya jumlah
kelahiran sedemikian rupa sehingga bagi ibu maupun bayinya dan bagi ayah serta
keluarganya atau masyarakat yang bersangkutan tidak akan menimbulkan kerugian sebagai
akibat langsung dari kelahiran tersebut.
2. Pengertian secara khusus keluarga berencana dalam kehidupan sehari-hari berkisar pada
pencegahan konsepsi atau pencegahan terjadinya pembuahan mencegah pertemuan antara sel
mani (spermatozoa) dari pria dan sel telur (ovum) dari wanita sekitar persetubuhan.

Keluarga berencana (KB) adalah istilah yang mungkin sudah lama anda kenal. KB
artinya mengatur jumlah anak sesuai kehendak anda, dan menentukan sendiri kapan anda
ingin hamil. Ada beberapa metode pencegahan kehamilan, atau penjarangan kehamilan, atau
kontrasepsi, bisa anda pilih sendiri. Cara-cara kontrasepsi menurut adat kebiasaan adalah
pemakaian ramuan jamu-jamu , mengurut, atau memijat rahim, memakai perintang bikinan
sendiri, senggama terputus(koitus interuptus), berpantang dan membatasi hubungan badan
hanya pada waktu-waktu yang kurang subur dalam rangkaian haid, yaitu menghindari waktu
ovulasi yang biasanya jatuh pada pertengahan antara haid menurut perhitungan tanggal.
Cara kontrasepsi modern, yang khasiatnya tidak menetap adalah pantang berkala, pengukuran
suhu badan setiap hari untuk menentukan waktu ovulasi secara lebih tepat, penggunaan
perintang mekanis (kondom, diafragma), pemakaian zat kimia pembunuh sperma (sel benih
pria), pemakaian alat yang dimasukkan kedalam rahim dan pemakaian hormon untuk
mencegah pembuahan (dengan minum pil tiap hari dan dengan suntikan tiap bulan atau tiap 3
bulan).

Pria atau wanita dapat dimandulkan dengan jalan vasektomi atau tubektomi
(pemotongan tuba) untuk mendapatkan khasiat kontrasepsi yang menetap dan tidak dapat
dikembalikan. Kesuburan yang tak terkendali memungkinkan untuk menikmati kesehatan
dengan sepenuhnya. Cara kontrasepsi modern memberi upaya yang manjur untuk

5
merencanakan keluarga. Seperti yang terdapat pada Undang-Undang No. 52 Tahun 2009
Pasal 25 Ayat 1 disebutkan bahwa ”Suami dan/atau istri mempunyai kedudukan, hak dan
kewajiban yang sama dalam melaksanakan keluarga berencana”. Akan tetapi, tidak boleh
bertentangan dengan norma agama seperti yang terdapat pada Undang-Undang No. 52 Tahun
2009 Pasal 24 Ayat 3 menjelaskan bahwa “penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi dilakukan
dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi agama, norma budaya, etika, serta
segi kesehatan”

Keluarga Berencana termasuk masalah yang kontroversial sehingga tidakditemukan


bahasannya oleh imam-imam madzhab. Secara umum, sehingga kini di kalangan umat islam
ada dua kubu antara yang membolehkan keluarga berencana dan yang menolak keluarga
berencana. Ada beberapa alasan dari para ulama yang memperbolehkan keluarga berencana,
diantaranya dari segi kesehatan ibu dan ekonomi keluarga.
Allah swt. berfirman,
“Dan janganlah kalian membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang
akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar”(Al isra’[17]:31)14
Serta hadits Nabi:
“nikahlah, berketurunanlah dan berbanyak-banyaklah, sesungguhnya aku bangga dengan
kalian pada hari kiamat”. (HR. Bukhari-Muslim)

Contoh metode pencegahan kehamilan yang pernah dilakukan di zaman Rasulullah


SAW adalah azl yakni mengeluarkan air mani di luar vagina istri atau yang lazim di sebut
sanggama terputus, namun tidak dilarang oleh Rasulullah SAW. Dari zabir berkata: “Kami
melakukan azl di zaman Rasulullah SAW, dan rasul mendengarnya dan tidak
melarangnya(HR MUSLIM)”. Sedangkan metode dizaman ini yang tentunya belum pernah
dilakukan di zaman Rasulullah SAW membutuhkan kajian yang mendalam dan melibatkan
ahli medis dalam menentukan kebolehan dan keharamannya. hukum keluarga berencana
dalam islam dapat dilihat dari 2(dua) pengertian:

a. Tahdid An-Nasl (Pembatasan Kelahiran)


Jika program keluarga berencana dimaksudkan untuk membatasi kelahiran, maka
hukumnya haram. Islam tidak mengenal pembatasan kelahiran. Bahkan terdapat banyak
hadits yang mendorong umat islam untuk memperbanyak anak seperti yang terdapat pada

6
firman Allah, “Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin.
Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepada kalian.”(al isra’[15]:31)
b. Tanzhim An-Nasl (Pengaturan Kelahiran)
Jika program keluarga berencana dimaksudkan untuk mencegah kehamilan dengan
berbagai cara dan sarana, maka hukumnya mubah, bagaimanapun motifnya. Berdasarkan
keputusan yang telah ada sebagian ulama menyimpulkan bahwa pil-pil untuk mencegah
kehamilan tidak boleh di konsumsi. Karena Allah subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan untuk
hamba-Nya sebab-sebab untuk mendapatkan keturunan dan memperbanyak jumlah umat.
Rasulullah SAW artinya:”nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena
sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat lain di hari
kiamat”(dalam riwayat lain: dengan para nabi di hari kiamat). Vasektomi adalah bedah untuk
sterilisasi pria-pengikatan dan pemotongan saluran benih agar sperma tidak keluar dari buah
zakar. Saluran benih tertutup, sehingga tidak dapat menyalurkan spermatozoa. Cara ini
dipakai untuk kontrasepsi mantap pria. Vasektomi dilakukan oleh ahli bedah urolog dan
memerlukan waktu sekitar 20 menit. Selama vasektomi, vas deferens dari setiap testis dijepit,
dipotong, atau diklem. Setelah prosedur ini, sperma masih diproduksi di testis, tapi terhalangi
sehingga tidak keluar untuk bercampur dengan air mani yang diejakulasi dari penis.
Namun terdapat hadits yang melarang untuk mengebiri diri sendiri. Ibnu Mas’ud ra. Berkata
“Kami akan bereperang bersama-sama dengan Nabi, maka kami bertanya kepada Rasulullah
saw, hai Rasulullah bolehkan kamu mengebiri diri? Maka Rasulullah melarang kami
melakukannya (HR. Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan beberapa hadits diatas maka program keluarga berencana vasektomi


ataupun tubektomi diharamkan dalam Islam, karena mengebiri orang lain saja dilarang
apalagi untuk mngebiri diri sendiri. Karena dalam Islam tidak terdapat ayat di Alquran atau
hadits yang melarang umat muslim untuk berketurunan banyak.
Untuk melanjutkan keturunan juga dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi manusia Pasal 10 Ayat 1 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah” Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munasnya tahun 1983 tentang
kependudukan, Kesehatan dan Keluarga Berencana memutuskan bahwa ber-KB tidaklah
dilarang, dan penggunaan berbagai alat kontrasepsi dapat dibenarkan dengan sedikit eksepsi
yaitu pemasangan/pengontrolan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR/IUD) harus dipasang
oleh tenaga medis/paramedis wanita, atau tenaga medis pria, dengan syarat harus didampingi

7
oleh suami wanita akseptor tersebut atau wanita lain (untuk menghilangkan fitnah). Adapun
dengan vasektomi dan tubektomi, tidaklah dapat dibenarkan oleh hukum Islam, kecuali
karena alasan tertentu dan sangat darurat. Alasan mengapa agama ini tidak mengijinkan
umatnya menggunakan alat kontrasepsi jenis apapun karena bukan semata-mata ajaran agama
tersebut, tetapi juga alasan ketika secara universal. Bahwa, siapa pun tidak boleh mencampuri
atau mengintervensi kehidupan. Pembuahan, yakni bertemunya sel telur dengan sperma
adalah proses kehidupan yang tidak boleh diintervensi atau dihalang-halangi dengan
kontrasepsi apapun. Tetapi bila Keluarga Berencana yang dilakukan oleh pasangan suami
istri dengan sistem kalender atau pantang berkala, maka cara ber-KB ini dibolehkan, dan
tidak termasuk mengintervensi proses kehidupan.

B. Asuransi dalam Khazanah Fikih Kontemporer

Jika ditilik ke dalam khazanah fiqih Islam kontemporer, akan kita jumpai berbagai
silang pendapat di kalangan para pemikir Islam dalam menentu- kan hukum asuransi ini. Ada
yang mengatakan bahwa asuransi itu hukumnyaharam secara mutlak dengan dasar bahwa di
dalam akad asuransi terdapat unsur riba, dan riba jelas-jelas dilarang oleh agama. Ada pula
yang ber pendapat bahwa asuransi termasuk perkara syubhat, dengan alasan tidak ada yang
secara tegas menunjukkan hukumnya, halal atau haram. Selain itu, ada pula ulama yang
membolehkan sebagaian bentuk asuransi dan mengharamkan sebagian lainnya, karena
menurut mereka asuransi termasuk ke dalam kategori muamalah yang mengandung manfaat.
Dewan Yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Mekkah, Saudi Arabia, menganggap bahwa
semua transaksi asuransi modern termasuk asuransi jiwa dan niaga adalah bertentangan
dengan ajaran Islam, akan tetapi Dewan menyetujui adanya “Asuransi Koperatif.” Syaikh
Ahmad Musthafâ al-Zarqâ’ mengatakan bahwa hukum asuransi adalah boleh (mubâh), karena
hukum asal dari segala sesuatu itu adalah halal/boleh (alibâhah), di samping juga syarak
tidak hanya membatasi pada akad klasik yang sudah diketahui saja, dan juga tidak melarang
adanya bentuk akad baru yang muncul kemudian sesuai kebutuhan zaman selama tidak
bertentangan dengan aturan akad syariah dan syaratsyaratnya secara umum, di samping juga
karena adanya kesesuaian antara akad asuransi dengan akad-akad mumalah yang berkembang
pada masa pra Islam yang diakui kebolehannya oleh syariah, seperti akad muwâlah, nizhâm
‘aqilah, dan lain-lain.

8
Berbeda dengan dua pakar hukum Islam di atas, Yûsûf al-Qaradlâwi dalam “AlHalâl
wa alHaram fi alIslâm” mengatakan bahwa diharamkan nya asuransi konvensional karena
(1) semua anggota asuransi tidak membayar uangnya itu dengan maksud tabarru’, bahkan
nilai ini sedikitpun tidak terlintas,
(2) lembaga atau perusahaan asuransi pada umumnya memutar/ menginvestasikan kembali
dana-dana tersebut dengan jalan riba. Muhammad Abu Zahrah membolehkan asuransi yang
bersifat sosial (ta’mîn ta’âwuni), dan mengharamkan yang bersifat komersial. Alasan
membolehkan yang bersifat sosial kurang lebih sama dengan alasan mereka yang
membolehkan asuransi secara umum, demikian juga alasan mengharamkan asuransi yang
bersifat komersial sama dengan alasan mereka yang mengharamkan asuransi.

Dari penjelasan di atas perbedaan pendapat tentang asuransi ber kisar pada empat status
hukum; boleh, haram, syubhat, hukum yang membedakan antara asuransi sosial dan asuransi
komersial. Dan secara garis besar penulis di sini mempetakannya menjadi dua kelompok per
bedaan, karena alasan mereka yang mengatakan asuransi komersial itu tidak boleh dan
syubhat, sama dengan alasan mereka yang mengharamkan asuransi.

Dengan demikan, asuransi sebagai bentuk muamalah baru dalam dunia ekonomi
modern merupakan masalah ijtihâdiyyah dan khilâfiyyah dalam khazanah fikih Islam
kontemporer, yaitu masalah yang status hukumnya didapat dari hasil ijtihad dan oleh sebab
itu belum ada kesepakatan tentang status hukumnya. Perbedaan hasil ijtihad ini muncul
karena banyak faktor, di antaranya perbedaan cara melihat kasus, perbedaan latar belakang
pendidikan, dll.

Perdebatan tentang Hukum Asuransi


Pada prinsipnya berbagai bentuk muamalah modern dapat diterima selama hal
tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Islam tidak menafikan bahwa
kreasi manusia terhadap berbagai bentuk muamalah akan senantiasa berkembang sesuai
dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan yang mereka capai. Menyadari hal
tersebut, para ulama menyusun sebuah kaidah fikih yang sangat fleksibel dan elastis sebagai
acuan dalam menyoroti suatu masalah baru, yaitu “alashl fi almu’âmalah alibâhah hattâ
yadullu aldalîl ‘alâ tahrîmih” 25
artinya,

9
“prinsip dasar dalam persoalan mu’amalah adalah boleh (dilakukan) sampai ada dalil yang
menunjukkan keharamannya”.

Di antara bentuk muamalah yang kemudian direkayasa dan dikembangkan oleh para ilmuan
modern adalah asuransi.
Dilihat dari segi tujuan dan sasaran yang akan dicapai sebagaimana yang telah dikemukakan
pada pembahasan sebelumnya, bahwa asuransi mempunyai nilai positif bagi kehidupan
manusia karena prinsip ta’ âwun dan takâful ijtimâ’i merupakan termasuk bagian dari ajaran
Islam yang amat fundamental sebagaimana termaktub dalam Q.s. al-Mâ’idah [5]: 2, “dan
tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa.

Namun pada tataran operasional, konsep ideal dengan tujuan dan sasaran yang baik di suatu
perusahaan asuransi itu, terkadang terkesan adanya ketidaksesuaian antara konsep atau teori
idealnya dengan praktik yang terjadi di lapangan. Di sinilah kemudian muncul persoalan dan
perbedaan pendapat para ulama fikih kontemporer tentang kedudukan hukum asuransi
tersebut.

Terkait dengan persoalan perbedaan pendapat ini, penulis akan memetakanperbedaan


pendapat tersebut, berikut argumentasi-argumentasi masing-masing kelompok kepada dua
kutub, yakni pendapat yang mengharamkan asuransi dan yang membolehkan asuransi.
Kelompok pertama diwakili oleh Wahbah al-Zuhayli,27 al-Sayyid Sâbiq,28 Jalâl Mushtafâ
al-Shayyâd,29 Husain Hâmid Hasan,30 Yusuf al-Qaradlâwi, 31 Muhammad Bakhit al-
Muthi’i,32 Abd al-Rahmân Qarâ’ah,33 dan Shâdiq Muhammad Amin.

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah


(1) perusahaan asuransi yang ada selama ini dalam mengivestasikan dan mereasuransikan
dana atau premi para pemegang polis dengan cara praktik riba,
(2) asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi. Membantah alasan yang
membolehkan, mereka mengatakan keridhaan kedua belah pihak tidak menjadi
ukuran karena antara pemakan riba dan wakilnya sama-sama ridha,
(3) mengandung unsur ketidakjelasan,
(4) mengandung unsur riba/rente,
(5) mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang polis kalau tidak bisa melanjutkan
pembayaran preminya, bisa Masjfuk Zuhdi membagi perbedaan ulama dalam kasus

10
asuransi menjadi 4 (empat) pendapat, namun dalam makalah ini penulis
mempetakannya menjadi dua kelompok karena alasan kelompok yang mengatakan
asuransi itu syubhat hampir sama dengan yang mengharamkannya, demikian pula
yang mengatakan tidak haram secara mutlak alasannya hampir sama dengan yang
mengatakan haram hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan,
(6) di samping akad ta’mîn mengandung unsur riba, ia juga mengandung unsur
murâhanah,
(7) bahwa akad ta’mîn termasuk akad spekulatif dan mengandung gharar,dan
(8) hidup dan mati manusia dijadikan obyek bisnis, yang berarti mendahuluitakdir Tuhan
Yang Mahakuasa.

Kelompok kedua diwakili oleh ‘Abd al-Rahmân Isâ,35 Muhammad al-Bâhi,36 Abd al-
Munshif Mahmûd, 37Abd al-Wahhâb al-Khallâf, 38’Ali al- Khafîf, 39Taufiq ‘Ali Wahbah,
40 Muhammad Yûsûf Mûsa,41 dan lain-lain.

Kebolehan asuransi menurut kelompok ini mengacu pada sejumlah alasan, yakni
(1) praktik perusahaan asuransi saat ini tidak lain bertujuan untuk memberi kan khidmah
(pelayanan) kepada masyarakat, berupa jaminan atas ada nya resiko dan musibah yang
menimpa,
(2) akad ta’mîn menyerupai akad muwâlah karena pada kedua belah pihak adanya
kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan,
(3) akad ta’mîn menyerupai nizhâm ‘awâqil dalam Islam,
(4) akad ta’mîn termasuk akad mudlârabah
(5) akad ta’mîn bukanlah akad jual-beli, akan tetapi termasuk akad tadlâmun/takâfuli
antara para peserta asuransi dalam menghadapi musibah dan meringankan dampaknya, (6)
akad ta’mîn termasuk akad mu’âwadlah (pertukaran).

Di samping alasan-alasan di atas, faktor manfaat juga menjadi alasan bagi mereka
membolehkan asuransi. Di antara manfaat asuransi menurut mereka adalah (1) sebagai sarana
atau langkah kehati-hatian dan tindakan preventif, (2) adanya rasa ketenangan dan keamanan,
(3) dapat membantu mengurangi beban ketika terjadi musibah, yang belum tentu sanggup
ia tanggung sendiri, (4) sebagai sarana untuk kemajuan ekonomi dan pembangunan, (5)
termasuk akad mudlârabah, dimana peserta asuran sebagai penanam modal dan pihak
asuransi sebagai pengemban usaha, dan keuntungan di antara mereka dibagi sesuai akad, (6)

11
mengandung manfaat dan kepentingan umum (mashlahah ‘âmah), sebab premi-premi yang
terkumpul bisa diinvestasikan untuk proyek -prpyek yang produktif dan untuk pembangunan.

Metode Penetapan Hukum Asuransi

Bila kita cermati pandangan dari kedua kelompok di atas, maka dapat ditemukan
kesamaan metode dalam pemaparan argumentasi, di mana kedua pihak menggunakan metode
qiyâs42 (analogi) dalam menetapkan hukum asuransi. Pada kelompok yang mengharamkan
asuransi, metode qiyâs ini dapat dilihat, misalnya, asuransi dianalogikan dengan riba, la’ab
Almaysir (permainan judi), bay’i’ garar (jual beli dengan unsur pe nipuan), dan lain-lain. Dan
pada kelompok yang membolehkan asuransi, metode qiyâs ini misalnya, tampak ketika
mereka menganalogikan asuransi dengan akad mudlârabah43, muwâlah 44 dan nizhâm al‘
awâqil 45 dalam Islam.

12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Keluarga berencana (KB) adalah istilah yang mungkin sudah lama anda kenal.
KB artinya mengatur jumlah anak sesuai kehendak anda, dan menentukan sendiri kapan anda
ingin hamil. program keluarga berencana vasektomi ataupun tubektomi diharamkan dalam
Islam, karena mengebiri orang lain saja dilarang apalagi untuk mngebiri diri sendiri. Karena
dalam Islam tidak terdapat ayat di Alquran atau hadits yang melarang umat muslim untuk
berketurunan banyak.
Untuk melanjutkan keturunan juga dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi manusia Pasal 10 Ayat 1 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah” Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munasnya tahun 1983 tentang
kependudukan, Kesehatan dan Keluarga Berencana memutuskan bahwa ber-KB tidaklah
dilarang, dan penggunaan berbagai alat kontrasepsi dapat dibenarkan dengan sedikit eksepsi
yaitu pemasangan/pengontrolan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR/IUD) harus dipasang
oleh tenaga medis/paramedis wanita, atau tenaga medis pria, dengan syarat harus didampingi
oleh suami wanita akseptor tersebut atau wanita lain (untuk menghilangkan fitnah). Adapun
dengan vasektomi dan tubektomi, tidaklah dapat dibenarkan oleh hukum Islam, kecuali
karena alasan tertentu dan sangat darurat.

Masalah asuransi adalah masalah ijtihâdiyyah dan sekaligus khilâfiyyah yang terjadi
di kalangan pakar hukum Islam kontemporer. Artinya, suatu masalah yang belum mempunyai
ketetapan hukum secara mutlak. Dua kelompok yang mempunyai pendapat yang berbeda –
boleh dan tidak boleh – pada dasarnya sepakat menyatakan bahwa riba, maysir, dan bay’
garar itu adalah sesuatu yang diharamkan karena adanya kezaliman, unsur perjudian dan
penipuan di dalamnya, dan inilah ‘illat mengapa praktik muamalah seperti itu dilarang,
namun kemudian mereka berbeda pendapat dalam merefleksikan ‘illat tersebut dalam kasus
asuransi modern.

13
DAFTAR PUSTAKA

http://siat.ung.ac.id/files/wisuda/2016-1-2-74201-271412201-bab1-
03012017055622.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/194962-ID-asuransi-dalam-
pandangan-ulama-fikih-kon.pdf

14

Anda mungkin juga menyukai