KAIDAH-KAIDAH FIQHIYAH
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Suhar. AM
Kelompok : 8
1. Rismawati (201191661)
2. Bayu Andhika (2011916)
3. Taufik Eria Putra (201191662)
4. Ikromi (2011916)
5. Eko Julian Saputra (20119166)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS AGAMA ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI 2022
KATA PENGANTAR
Assalammu‘alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Puji syukur kehadirat allah swt, karena berkat rahmatnya kami bisa menyelesaikan
makalah yang berjudul “Kaidah-Kaidah Fiqhiyah”Makalah ini di ajukan guna untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ushul FiqhII.Kami mengucapkan terimah kasih kepada
semua rekan-rekan yang telah membantu sehinggah makalah ini dapat di selesaikan
dengan tepat waktu, dan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.Semoga makalah ini dapat memberi manfaat untuk pengembangan
wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Aamiin
Jambi, 2022
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................................
Daftar Isi.........................................................................................................................
Bab
I.................................................................................................................................
Pendahuluan...................................................................................................................
A. Latar Belakang.............................................................................................................
B. Rumusan Masalah........................................................................................................
C. Tujuan..........................................................................................................................
Bab II...............................................................................................................................
Pembahasan....................................................................................................................
Bab
III..............................................................................................................................
Kesimpulan.....................................................................................................................
Daftar Pustaka................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qowa’idul fiqiyyah atau kaidah-kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum
(kulli)yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa
kelompok yang pula merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam
mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara
menggolongkan masalahmasalah yang serupa dengan suatu kaedah. Para fuqoha pada
umumnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kaidah fiqhiyyah
ialah hukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagianbagiannya
atau cabang-cabangnya. Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa setiap qaidah
fiqhiyyah telah mengatur dan menghimpun beberapa banyak masalah fiqh dari
berbagai bab dan juga diketahui bahwa para fuqoha’ telah benar-benar
mengembalikan masalah-masalah hukum fiqh kepada kaidah-kaidahnya. Maka,
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat penting dan
menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan tetapi tidak sedikit orang yang kurang
memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya bagi kaum muslim untuk
mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih
seorang muslim akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqih, karena kaidah
fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu juga akan menjadi
lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus,
adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Dengan mempelajari kaidah fiqih,
diharapkan pada akhirnya juga bisa menjadi lebih moderat dalam menyikapi masalah-
masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga kaum muslimbisa mencari solusi
terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat
dengan lebih baik.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Istilah kaidah-kaidah fiqh adalah terjemahan dari bahasa arab al-qawa‟id al-fiqhiyah.
Al-qawa‟id merupakan bentuk plural (jamak) dari kata al-qa‟idah yang secara
kebahasaan berarti dasar, aturan atau patokan umum. Pengertian ini sejalan dengan
Al-Ashfihani yang mengatakan bahwa qa`idah secara kebahasaan berarti fondasi atau
dasar (al-Ashfihani, 1961: 409). Kata al-qawa`id dalam Al-Qur`an ditemukan dalam
surat al- Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 juga berarti tiang, dasar atau
fondasi, yang menopang suatu bangunan. Sedangkan kata al-fiqhiyah berasal dari kata
al-fiqh yang berarti paham atau pemahaman yang mendalam (al-fahm al-„amiq) yang
dibubuhi ya‟ an-nisbah untuk menunjukan penjenisan atau pembangsaan atau
pengkategorian. Dengan demikian, secara kebahasaan, kaidah-kaidah fiqh adalah
dasar-dasar, aturan-aturan atau patokan-patokan yang bersifat umum mengenai jenis-
jenis atau masalah-masalah yang masuk dalam kategori fiqh.Secara kemaknaan
(istilah ulama ushul al-fiqh) kaidah-kaidah fiqih dirumuskan dengan redaksi-redaksi
yang berbeda. Sebagai sampel, dikemukakan beberapa rumusan ahli hukum Islam,
sebagai berikut : Pertama, menurut at-Taftazani, kaidah adalah hukum yang bersifat
umum (kulli) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya (juz`i) dimana hukum yang
juz`i itu menjadi bagian dari hukum yang umum atau kulli (Ali Shabah, 1967. 1: 20).
Kedua, an-Nadwi mengutip at-Tahanawi mengatakan bahwa kaidah adalah sesuatu
yang bersifat umummencakup seluruh bagian-bagiannya, manakala hukum dari
bagian-bagian sebelumnya itu telah diketahui (an-Nadwi, 1986: 40). Ketiga, menurut
as-Subki (t.t, 2: 10) kaidah-kaidah fiqih adalah suatu perkara hukum yang bersifat
kulli (umum) bersesuaian dengan partikular-partikular (hukum-hukum cabang) yang
banyak, yang darinya (dari hukum-hukum kulli) diketahui hukum-hukum masing-
masing partikular atau hukum cabang tersebut. Keempat, menurut az-Zarqa yang
dikutip oleh A. Rahman (1976:10), kaidah fiqih adalah dasar-dasar fiqih yang bersifat
kulli, dalam bentuk teks-teks perundang-undangan ringkas, mencakup hukum-hukum
syara‟ yang umum pada peristiwa-peristiwa yang termasuk di bawah tema-nya
(maudu‟nya).Dari rumusan-rumusan di atas, dipahami bahwa sifat kaidah fiqih itu
adalah kulli atau umum, yang dirumuskan dari fiqih-fiqih yang sifatnya partikular
(juz‟iyah). Jadi kaidah fiqih adalah generalisasi hukum-hukum fiqih yang partikular.
Kendatipun demikian, menurut kebiasaan, setiap sesuatu yang bersifat kulli, termasuk
kaidah-kaaidah fiqih ini, ditemukan pengecualian (istitsna), pengkhususan
(takhshish), penjelasan (tabyin) dan perincian (tafshil). Hal ini disebabkan, karena ada
kemungkinan-kemungkinan partikular-partikular atau hukum-hukum cabang tertentu
yang tidak dapat dimasukan dalam kaidah tersebut, berdasarkan spesifikasi atau
kekhususan tertentu. Pengecualian tersebut akan terlihat dalam contoh-contoh kasus
dari setiap kaidah sebagaimana yang akan dikemukakan kemudian.Mencermati uraian
sebelumnya, penulis dapat meringkaskan bahwa kaidah-kaidah fiqih adalah
generalisasi-generalisasi hukum fiqh yang sifatnya umum atau aghlabiyah (mencakup
sebagian besar maslah-masalah fiqih) dan tertuang dalam bentuk proposisi-proposisi
yang sempurna, sekalipun terkadang sangat sederhana. Perlu dikemukakan, bahwa
ada perbedaan antara kaidah-kaidah fiqih (al-qawa‟id al-fiqhiyyah) dan kaidah-kaidah
ushul (al-qawa‟id al-ushuliyyah). Kaidah fiqih adalah generalisasi fiqih yang dapat
dijadikan rujukan para ulama dalam menetapkan hukum-hukum fiqih yang tercakup
dalam kaidah tersebut. Sedangkan kaidah-kaidah ushul adalah aturan-aturan umum
yang menjadi sandaran dalam penetapan hukum fiqih yang orientasinya kepada aspek
kebahasaan Al-Qur‟an dan Sunnah, yang karenanya juga disebut dengan kaidah
istinbathiyah dan kaidah-kaidah lughawiyah (al-Syafi‟i, 1983:4-5). Ringkasnya,
kaidah fiqh adalah generalisasi hukum fiqh yang telah dirumuskan dalam bentuk
proposisi-proposisi. Sedangkan kaidah ushul adalah generalisasi bentuk-bentuk dan
makna-makna lafaz dalam Al-Qur‟an dan Sunnah baik yang terumuskan dalam
proposisi-proposisi atau tidak.
Seperti dikemukakan para ulama, berdasarkan materinya, hukum Islam itu dapat
diklasifikasikan kepada dua macam yaitu : Pertama, hukum ibadah, seperti sholat,
puasa, zakat, haji dan lain-lain. Hukum-hukum semacam ini dimaksudkan adalah
untuk merealisir dan merupakan implementasi dari kesadaran mendalam seorang
hamba akan tujuan utama hidupnya, yaitu untuk mengabdi kepada-Nya. Kedua,
hukum-hukum mu‟amalah (hukum yang berkenaan dengan kemasyarakatan dalam
arti luas), seperti transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, sanksi- sanksi hukum
kejahatan dan sebagainya, selain dari masalah ibadah mahdhah.
Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqih tersebut, para ahli hukum Islam akan
merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum suatu masalah dengan
memproyeksikan masalah-masalah yang akan ditentukan hukumnya itu kepada kaidah
fiqih yang menampungnya. Sehubungan dengan ini, Muhammad Hamzah yang
dikutip A. Rahman (1976: 17) mengemukakan bahwa : “Masalah-masalah fiqh itu
hanya dapat dipahami dengan mudah melalui kaidah-kaidah fiqih. Karena itu,
menghafal dan memahami kaidah-kaidah tersebut sangat bermanfaat”.
Sehubungan dengan hal tersebut, Muhammad Hamzah dalam kitabnya al-Fawa‟id al-
Bahiyah yang dikutip Asymuni A. Rahman (1976:17) juga mengatakan bahwa
masalah-masalah fiqih dapat diikat dengan kaidah- kaidah, yang karenanya
memahami kaidah-kaidah tersebut sangat urgen. Pandangan ini sejalan dengan suatu
proposisi yang telah dirumuskan oleh para ahli hukum Islam yang berbunyi : “Barang
siapa yang memelihara atau memahami ushul maka ia akan sampai kepada sasaran,
dan barang siapa yang memelihara (memahami) kaidah-kaidah maka ia akan sampai
kepada tujuan-tujuan yang diinginkan.”
Mencermati pernyataan di atas, dapat kita pahami bahwa kaidah-kaidah fiqih itu
menduduki fungsi signifikan dan peranan yang sangat urgen dalam pemeliharaan dan
pengembangan hukum Islam. Fungsi dan peranan kaidah-kaidah fiqih (al-qawa‟id al-
fiqhiyyah) bagi para pemikir hukum Islam dimaksud dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama, kaidah fiqih itu dapat dijadikan sebagai rujukan ahli atau peminat hukum
dalam rangka memudahkan mereka untuk penyelesaian masalah- masalah fiqih yang
mereka hadapi, dengan mengkategorikan masalah-masalah yang serupa dalam
lingkup satu kaidah. Kedua, sebagai media atau alat untuk menafsirkan nash-nash
dalam rangka penetapan hukum, terutama yang masuk dalam kategori ma lam yu‟lam
min ad-din bi ad-dharurah, yaitu hukum-hukum yang tidak diterangkan secara tegas
dalam Al-Qur‟an atau Sunnah, karena dalilnya masih bersifat zanni. Ketiga, fiqih itu
sesungguhnya suatu pengetahuan atau kompetensi untuk dapat melakukan persamaan-
persamaan suatu masalah dengan masalah-masalah yang serupa.
Sekaitan dengan urgensi kaidah-kaidah fiqih ini, Washil dan Azzam dalam
muqaddimah buku mereka yang berjudul al-Madkhal fi al-Qawa‟id al-Fiqhiyah wa
atsaruha fi al-ahkam asy-syari‟iyah, mengungkapkan:
Dengan demikian, kaidah fiqih ini masih tetap urgen untuk dijadikan pedoman dalam
penyelesaian hukum Islam kontemporer, sekalipun ada di antaranya yang tidak di
sepakati oleh para ulama. Said Aqil Husein Al-Munawwar (2011:23-24)
mengemukakan bahwa di antara kaidah fiqih, ada yang disepakati ulama tentang
kehujjahannya dalam mengistinbathkan hukum, dan ada yang masih diperselisihkan.
Bagian yang disepakati sebagai hujjah, apabila sumbernya adalah al-Kitab, Sunnah
atau apabila kaidah itu mempunyai dasar dari al- Kitab dan Sunnah. Berhujjah dengan
kaidah-kaidah fiqih semacam ini berarti mengikuti atau berhujjah dengan dasarnya.
QawaidFiqhiyyah adalah sebuah disiplin ilmu yang menjadi dasar memberikan alasan
terhadap para ulama dalam memberikan alasan dari hukum yang mereka perpegangi.
Terbentuknya QawaidFiqhiyyah sebagai sebuah ilmu, tidak terlepas dari sumber –
sumber yang menjadi dasar sehingga menjadi sebuah QawaidFiqhiyyah. Adapun
sumber-sumber QawaidFiqhiyyah di antaranya :
A. Al quran
Al Quranul Karim merupakan sumber pokok dan dalil utama bagi hukum syariat
Islam. Kumpulan firman – firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw dan dinukilkan dengan jalan mutawatir.
Ayat – ayat Al quran Allah turunkan dengan cara yang terpisah – pisah menurut
kejadian dan peristiwa dalam masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu peristiwa
tersebut di dalam istilah hukum Islam di sebut asbabun nuzul.
Aturan – aturan hukum syariat ini berlakunya berangsur – angsur menurut situasi
sebab – sebab turunnya ayat, disesuaikan dengan kemampuan umat pada masa
dahulu. Membutuhkan stategi tepat untuk pendekatan kepada masyarakat jahiliyyah
untuk meninggalkan kebiasaan yang dilarang oleh syariat Islam dan mengubah hukum
mereka yang sudah kuno dengan hukum baru. Hal itu dapat dilihat dengan jelas
seperti aturan larangan minum khamar dan maisir.
Kebanyakan hukum yang ada dalam Al quran bersifat umum dan tidak membicarakan
soal – soal juz’i, dengan artian tidak satu persatu dijelaskan secara rinci dalam Al
quran. Karena itu, Al quran membutuhkan penjelasan – penjelasan. Di antaranya
melalui Hadits. Dapat diketahui bahwa ayat Al quran yang umum seperti masalah
shalat, zakat, jihad dan urusan – urasan lainnya, dijelaskan dengan Hadits. Selain itu,
untuk menyingkapi persoalan kekinian yang membutuhkan jawaban untuk persoalan
ini, maka para ulama menggunakan ijma’ dan qiyas dalam mengambil suatu hukum.
QawaidFiqhiyyah bersumber dari teks Al quran untuk menyusun suatu kaidah, seperti
kaidah المشقة تجلب التيسير (Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan). Dalil yang
menjadi patokan dari kaidah ini yaitu dalam surat AlBaqarah ayat 185
... يريد هللا بكم العسر و ال يريد بكم العسر ...
ال يكلف هللا نفسا اال وسعها
Dan contoh kaidah lain yaitu الضرر يزال ( Kemudharatan itu harus dihilangkan), ayat
Al quran yang senada dengan kaidah ini adalah surat Al-Baqarah ayat 231:
B. Sunnah
Sunnah merupakan segala yang dinukilkan atau diberitakan dari Nabi saw, baik
berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan nabi. Melihat dari pengertian di atas,
sunnah dapat dibagi atas : SunnahQauliyyah, SunnahFi’liyyah, dan
SunnahTaqririyyah.
Sunnah ada kalanya mutawatir dan ada kalanya ahad. Ulama sepakat bahwa hadits
mutawatir dapat menjadi hujjah. Berkenaan hadits ahad, para ulama berbeda
pendapat dalam menjadi kan hadits ahad sebagai hujjah. Namun hadits yang shahih
yang dapat diterima untuk dijadikan hujjah, dan menjadi sumber kaidah.
Rasulullah saw selalu menyampaikan segala sesuatu dengan cara singkat, padat, lugas
dan mudah dipahami. Dengan demikian, ucapan beliau banyak menjadi inspirasi
dalam lahirnya qawaidfihiyyah. Contoh kaidah yang merujuk kepada sunnah atau
hadits yaitu :
األمور بمقاصدها ( hukum semua perkara itu sesuai dengan tujuan atau niatnya)
Kaidah ini berkaitan dengan dalil hadits yang disampaikan oleh Rasulullah yang
berbunyi, انما االعمال بالنيات “sesungguhnya amal perbuatan bergantung pada niatnya”
“Tidak boleh membuat mudharat terhadap diri sendiri dan tidak b oleh
memudharatkan orang lain”
C. Ijma’
Setelah Al Quran dan Sunnah, maka Ijma’ sebagai sumber ketiga menurut para ulama
sebagai sumber hukum syari’at Islam. Ijma’ merupakan suatu kemufakatan atau
kesatuan pendapat para ahli muslim yang mujtahid dalam segala zaman mengenai
sesuatu ketentuan hukum syari’at.
Ijma’ sebagai hujjah dengan berdasarkan dalil Al quran yaitu dalam potongan ayat
surat An nisa ayat 115
ياايها الذين امنوا اطيعوا هللا و اطيعوا الرسول و اولي األمر منكم
“wahai orang – orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu
kepada Rasul dan ulil amri dari kamu sekalian...”
D. Ijtihad
Dalam ijtihad, adapun contoh kaidah yang digunakan yaitu “ijtihad yang lalu, tidak
bisa dibatalkan ijtihad yang baru”
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan
sekarang”
Dari kaidah di atas maksudnya yaitu ijihat yang satu tidak dapat membatalkan ijtihad
yang lain, tidak dapat diganggu gugat, selagi tidak ada ijtihad yang lebih kuat yang
dapat membantah.
E. Qiyas
Qiyas dari segi bahasa merupakan mengukurkan sesuatu atas lainnya dan
mempersamakannya.
Secara istilah ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada
ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.
4. Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi cabang dan sama dengan yang terdapat pada
pokok
F. Istihsan
Istihsan ialah meninggalkan hukum sesuatu hal/peristiwa yang bersandar kepada dalil
syara’ menuju kepada hukum lain yang bersandar kepada dalil syara’ pula, karena ada
suatu dalil syara’ yang mengharuskan peninggalan tersebut.
Dalam istihsan, ada dua dalil untuk menetapkan hukum sesuatu hal, kemudian
seseorang mujtahid meninggalkan salah satu dalil yang jelas/ kuat untuk menuju
kepada dalil yang lain, karena ada sesuatu hal
Salah satu kaidah yang menjadikan istihsan sebagai sumber qawaid yaitu
“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar
madaratnya dengan dikerjakan lebih ringan kepada mudaratnya”
G. Istishab
Secara istilah, melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah
ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan
hukum tersebut.
Contoh kaidah yang merujuk kepada istishab:
“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya”
H. MashlahahMursalah
“Sesuatu yang lebih mampu mewujudkan kemaslahatan dalam tiap wilayah lebih
didahulukan”
I. Urf
‘Urf ialah apa yang biasa dijalankan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan.
Dengan kata lain ialah adat istiadat.
2. Apa yang dibiasakan orang, baik kata-kata maupun perbuatan, menjadi pedoman
hidup mereka yang membutuhkan.
Salah satu contoh kaidah yang menjadikan Urf sebagai sumber qawaidnya
العادة محكمة
J. SadduzZari’ah
KAIDAH PERTAMA
Artinya : "Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi
(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu". (QS. Al Ahzab : 5)
Apabila seseorang berkata : "saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya
minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hiba, tapi dengan permintaan
uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual-beli
KAIDAH KEDUA
ٕانالشيطانلئاتىاحدكموهوفىصالتهفيقوللهٔاحدثتفالينصرفحتىيسمعصوتأاويجدريحا.
رواهٕابنماجهؤاحمد.
Artinya : "Sesungguhnya Setan akan mendatangi salah satu dari kalian yang sedang
melaksanakan shalat, lalu berkata kepadanya "Engkau telah hadats". (Jika itu terjadi)
Maka janganlah berpindah (membatalkan shalatnya) sampai dia (orang yang shalat)
mendengar suara atau mencium bau." (H.R. Ibnu Majah& Ahmad).
Contoh :
Kesulitan yang membawa kepada kemudahan antara lain dalam perjalanan (safar),
sakit (maridh), terpaksa yang membahayakan kehidupan, lupa, tidaktahu,
kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh)
Contoh :
KAIDAH KEEMPAT
الض َر ُريُزَ ا ُل
َ .٤
Dasar kaidah ini adalah firman Allah dalam QS Al Baqarah ayat 231 dan hadist
Rasulullah :
رواهٔاحمدوابنماجهوالطبراني. الضرروالضرار.
"Tidak boleh (ada) bahaya dan menimbulkan bahaya." (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, dan
Thabrani)
Contoh :
KAIDAH KELIMA
رواهٔاحمد. افهوعنداللهسيى
ٔ ـــفمارٔاىالمسلمونحسنافهوعنداللهحسنومارٔاواسي ٔى.
Artinya : ".... apa yang kaum muslim anggap baik, maka baik pula menurut Allah.
Dan apa yang kaum muslim anggap buruk, maka buruk pula menurut Allah." (H.R.
Ahmad).
Contoh :
Berbagai pandangan para ulama tentang manfaat mempelajari kaidah fiqh, antara lain:
“Dengan kaidah fikih kita tahu hakikat dari fikih, obyek pembahasan fiqh, cara
pengambilan fiqh dan rahasia-rahasia fiqh, menjadi terampil di dalam memahami fiqh
dan menghadirkan fiqh”.16 “Sesungguhnya kaidah-kaidah fiqh itu menggambarkan
nilai- nilai fiqh, kebaikan dan keutamaan serta intinya. Dari bentuk dan uraian tentang
kaidah fiqh menampakkan pola pikir fiqh Islam yang sangat luas dan mendalam dan
tampak pula kekuatan filosofinya yang rasional serta kemampuannya di dalam
mengumpulkan fiqh dan mengembalikan kepada akarnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan manfaat mempelajari kaidah fiqh, antara lain:
kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh. Sebab, kaidah-kaidah fiqh itu
berkaitan dengan materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya. Dengan kaidah-kaidah
fiqh kita akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi
titik temu dari masalah-masalah fiqh. 2.Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh
akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi, yaitu
dengan memasukkan atau menggolongkan suatu masalah ke dalam salah satu kaidah
fiqh yang ada.
3. Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi
dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat kebiasaan yang
berlainan.
4. Orang yang menguasai kaidah-kaidah fiqh akan menjadi mulia dan tinggi
kedudukannya.
7.Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan
takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
8. Orang yang menguasai kaidah-kaidah fiqh di samping kaidah ushul, akan memiliki
keluasaan ilmu, dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada kebenaran,
kebaikan, dan keindahan
E. Buku QawaidFiqhiyyah”
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qowaid fiqhiyah berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua suku kata, yauitu
Qawaiddan Fiqhiyah.Qawaid bentuk jama’ dari kata qa’idah yang secara etimologi
berarti dasar atau fontasi (al-asas).Secara terminology, at-taftazani mendefinisikan
qa’idah dengan “hukum yang bersifat universal dandapatditerapkan pada seluruh
bagian-bagiannya yang mana persoalan-persoalanya tersebut dapat dikenali darinya”
Suhendi, Hendi, 2011. Fiqh Muamalah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.