Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH USHUL FIQH II

KAIDAH-KAIDAH FIQHIYAH
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Suhar. AM

 
Kelompok : 8
1. Rismawati (201191661)
2. Bayu Andhika (2011916)
3. Taufik Eria Putra (201191662)
4. Ikromi (2011916)
5. Eko Julian Saputra (20119166)
 
 

 
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS AGAMA ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI 2022
 
 

KATA PENGANTAR
Assalammu‘alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Puji syukur kehadirat allah swt,  karena berkat rahmatnya kami bisa menyelesaikan
makalah yang berjudul “Kaidah-Kaidah Fiqhiyah”Makalah ini di ajukan guna untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ushul FiqhII.Kami mengucapkan terimah kasih kepada
semua rekan-rekan yang telah membantu sehinggah makalah ini dapat di selesaikan
dengan tepat waktu, dan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.Semoga makalah ini dapat memberi manfaat untuk pengembangan
wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Aamiin
Jambi, 2022
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...............................................................................................................

Daftar Isi.........................................................................................................................

Bab
I.................................................................................................................................

Pendahuluan...................................................................................................................

A. Latar Belakang.............................................................................................................

B. Rumusan Masalah........................................................................................................

C. Tujuan..........................................................................................................................

Bab II...............................................................................................................................

Pembahasan....................................................................................................................

A. Pengertian Kaedah Fiqhiyah........................................................................................

B. Kedudukan dan Urgensi Kaidah


Fiqhiyah....................................................................

C. Sumber dan Istidlal Qawa’id al-


Fiqhiyah.....................................................................

1. Sumber Kaidah Fiqhiyah....................................................................................

2. Istidlal Kaidah Fiqhiyah.....................................................................................

D. Faedah Ilmu Qawa’id al-


Fiqhiyah................................................................................

E. Buku-buku tentang Qawa’id al-Fiqhiyah.....................................................................

F. Kaidah-Kaidah Fiqhiyah Asasiyah...............................................................................

Bab
III..............................................................................................................................

Kesimpulan.....................................................................................................................

Daftar Pustaka................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Qowa’idul fiqiyyah atau kaidah-kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum
(kulli)yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa
kelompok yang pula merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam
mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara
menggolongkan masalahmasalah yang serupa dengan suatu kaedah. Para fuqoha pada
umumnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kaidah fiqhiyyah
ialah hukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagianbagiannya
atau cabang-cabangnya. Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa setiap qaidah
fiqhiyyah telah mengatur dan menghimpun beberapa banyak masalah fiqh dari
berbagai bab dan juga diketahui bahwa para fuqoha’ telah benar-benar
mengembalikan masalah-masalah hukum fiqh kepada kaidah-kaidahnya. Maka,
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat penting dan
menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan tetapi tidak sedikit orang yang kurang
memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya bagi kaum muslim untuk
mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih
seorang muslim akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqih, karena kaidah
fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu juga akan menjadi
lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus,
adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Dengan mempelajari kaidah fiqih,
diharapkan pada akhirnya juga bisa menjadi lebih moderat dalam menyikapi masalah-
masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga kaum muslimbisa mencari solusi
terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat
dengan lebih baik.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian dari Kaidah Fiqhiyah


2.Apa Urgensi Kaidah Fiqhiyah

3. Apa Sumber Istidlal Qawa'id al Fiqhiyah

4. Apa itu Faedah ilmu qawa’id al-fiqhiyah

5. Apa Saja Buku-Buku Qawa'id al Fiqhyah

6. Apa itu Kaidah-Kaidah Fiqhiyah Asasiyah

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Pengertian dari Kaedah Fiqiyah

2. Untuk Mengetahui Urgensi kaidah Fiqhiyah

3. Untuk Mengetahui sumber Istidlal Qawa'id al Fiqhiyah

4. Untuk Mengetahui Ilmu Qawa'id al Fiqhiyah

5. Untuk Mengetahui apa saja Buku-Buku Qawa'id al Fiqhiyah

6. Untuk Mengetahui Kaidah-Kaidah Fiqhiyah Asayiyah


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dari kaidah Fiqhiyah

Istilah kaidah-kaidah fiqh adalah terjemahan dari bahasa arab al-qawa‟id al-fiqhiyah.
Al-qawa‟id merupakan bentuk plural (jamak) dari kata al-qa‟idah yang secara
kebahasaan berarti dasar, aturan atau patokan umum. Pengertian ini sejalan dengan
Al-Ashfihani yang mengatakan bahwa qa`idah secara kebahasaan berarti fondasi atau
dasar (al-Ashfihani, 1961: 409). Kata al-qawa`id dalam Al-Qur`an ditemukan dalam
surat al- Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 juga berarti tiang, dasar atau
fondasi, yang menopang suatu bangunan. Sedangkan kata al-fiqhiyah berasal dari kata
al-fiqh yang berarti paham atau pemahaman yang mendalam (al-fahm al-„amiq) yang
dibubuhi ya‟ an-nisbah untuk menunjukan penjenisan atau pembangsaan atau
pengkategorian. Dengan demikian, secara kebahasaan, kaidah-kaidah fiqh adalah
dasar-dasar, aturan-aturan atau patokan-patokan yang bersifat umum mengenai jenis-
jenis atau masalah-masalah yang masuk dalam kategori fiqh.Secara kemaknaan
(istilah ulama ushul al-fiqh) kaidah-kaidah fiqih dirumuskan dengan redaksi-redaksi
yang berbeda. Sebagai sampel, dikemukakan beberapa rumusan ahli hukum Islam,
sebagai berikut : Pertama, menurut at-Taftazani, kaidah adalah hukum yang bersifat
umum (kulli) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya (juz`i) dimana hukum yang
juz`i itu menjadi bagian dari hukum yang umum atau kulli (Ali Shabah, 1967. 1: 20).
Kedua, an-Nadwi mengutip at-Tahanawi mengatakan bahwa kaidah adalah sesuatu
yang bersifat umummencakup seluruh bagian-bagiannya, manakala hukum dari
bagian-bagian sebelumnya itu telah diketahui (an-Nadwi, 1986: 40). Ketiga, menurut
as-Subki (t.t, 2: 10) kaidah-kaidah fiqih adalah suatu perkara hukum yang bersifat
kulli (umum) bersesuaian dengan partikular-partikular (hukum-hukum cabang) yang
banyak, yang darinya (dari hukum-hukum kulli) diketahui hukum-hukum masing-
masing partikular atau hukum cabang tersebut. Keempat, menurut az-Zarqa yang
dikutip oleh A. Rahman (1976:10), kaidah fiqih adalah dasar-dasar fiqih yang bersifat
kulli, dalam bentuk teks-teks perundang-undangan ringkas, mencakup hukum-hukum
syara‟ yang umum pada peristiwa-peristiwa yang termasuk di bawah tema-nya
(maudu‟nya).Dari rumusan-rumusan di atas, dipahami bahwa sifat kaidah fiqih itu
adalah kulli atau umum, yang dirumuskan dari fiqih-fiqih yang sifatnya partikular
(juz‟iyah). Jadi kaidah fiqih adalah generalisasi hukum-hukum fiqih yang partikular.
Kendatipun demikian, menurut kebiasaan, setiap sesuatu yang bersifat kulli, termasuk
kaidah-kaaidah fiqih ini, ditemukan pengecualian (istitsna), pengkhususan
(takhshish), penjelasan (tabyin) dan perincian (tafshil). Hal ini disebabkan, karena ada
kemungkinan-kemungkinan partikular-partikular atau hukum-hukum cabang tertentu
yang tidak dapat dimasukan dalam kaidah tersebut, berdasarkan spesifikasi atau
kekhususan tertentu. Pengecualian tersebut akan terlihat dalam contoh-contoh kasus
dari setiap kaidah sebagaimana yang akan dikemukakan kemudian.Mencermati uraian
sebelumnya, penulis dapat meringkaskan bahwa kaidah-kaidah fiqih adalah
generalisasi-generalisasi hukum fiqh yang sifatnya umum atau aghlabiyah (mencakup
sebagian besar maslah-masalah fiqih) dan tertuang dalam bentuk proposisi-proposisi
yang sempurna, sekalipun terkadang sangat sederhana. Perlu dikemukakan, bahwa
ada perbedaan antara kaidah-kaidah fiqih (al-qawa‟id al-fiqhiyyah) dan kaidah-kaidah
ushul (al-qawa‟id al-ushuliyyah). Kaidah fiqih adalah generalisasi fiqih yang dapat
dijadikan rujukan para ulama dalam menetapkan hukum-hukum fiqih yang tercakup
dalam kaidah tersebut. Sedangkan kaidah-kaidah ushul adalah aturan-aturan umum
yang menjadi sandaran dalam penetapan hukum fiqih yang orientasinya kepada aspek
kebahasaan Al-Qur‟an dan Sunnah, yang karenanya juga disebut dengan kaidah
istinbathiyah dan kaidah-kaidah lughawiyah (al-Syafi‟i, 1983:4-5). Ringkasnya,
kaidah fiqh adalah generalisasi hukum fiqh yang telah dirumuskan dalam bentuk
proposisi-proposisi. Sedangkan kaidah ushul adalah generalisasi bentuk-bentuk dan
makna-makna lafaz dalam Al-Qur‟an dan Sunnah baik yang terumuskan dalam
proposisi-proposisi atau tidak.

B. Urgensi Kaidah Fiqhiyah

Seperti dikemukakan para ulama, berdasarkan materinya, hukum Islam itu dapat
diklasifikasikan kepada dua macam yaitu : Pertama, hukum ibadah, seperti sholat,
puasa, zakat, haji dan lain-lain. Hukum-hukum semacam ini dimaksudkan adalah
untuk merealisir dan merupakan implementasi dari kesadaran mendalam seorang
hamba akan tujuan utama hidupnya, yaitu untuk mengabdi kepada-Nya. Kedua,
hukum-hukum mu‟amalah (hukum yang berkenaan dengan kemasyarakatan dalam
arti luas), seperti transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, sanksi- sanksi hukum
kejahatan dan sebagainya, selain dari masalah ibadah mahdhah.

Dewasa ini, hukum-hukum mu‟amalah tersebut telah berkembang pesat dan


mengambil bentuk berbagai disiplin ilmu yang mengandung berbagai persoalan
hukum, seperti terlihat dalam kitab-kitab ushul al-fiqh kontemporer, ketika
membicarakan masalah pembagianhukum. Dengan demikian, wilayah pembahasan
dan masalah-masalah hukum Islam itu sangat luas, sehingga untuk “menghafalnya”
satu persatu atau untuk menentukan hukum masing-masingnya tidak mudah bagi
orang yang mempelajari hukum Islam, bahkan ahli sekalipun. Oleh karena itu, solusi
alternatif yang dapat dilakukan dalam mengatasinya adalah dengan merumuskan
kaidah-kaidah fiqih yang merupakan generalisasi dari masalah-masalah fiqih tersebut,
dan setiap generalisasi dapat menampung masalah-masalah yang serupa.

Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqih tersebut, para ahli hukum Islam akan
merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum suatu masalah dengan
memproyeksikan masalah-masalah yang akan ditentukan hukumnya itu kepada kaidah
fiqih yang menampungnya. Sehubungan dengan ini, Muhammad Hamzah yang
dikutip A. Rahman (1976: 17) mengemukakan bahwa : “Masalah-masalah fiqh itu
hanya dapat dipahami dengan mudah melalui kaidah-kaidah fiqih. Karena itu,
menghafal dan memahami kaidah-kaidah tersebut sangat bermanfaat”.

Sejalan dengan pernyataan Muhammad Hamzah di atas, al-Qarafi mengemukakan


bahwa: kaidah-kaidah fiqih ini sangat urgen dan bermanfaat, dengan menguasainya
membuat ahli hukum itu mulia dan berprestise. Barang siapa menetapkan hukum-
hukum cabang yang partikular- partikularnya bersesuaian, tanpa menggunakan
kaidah-kaidah kuliyah, maka hukum cabang itu akan saling bertentangan dan berbeda,
bahkan menjadi kacau. Sejauh itu, (tanpa penggunaan kaidah-kaidah fiqih), seseorang
perlu menghafal hukum-hukum cabang yang sangat banyak, sehingga akan
menghabiskan energi. Dengan demikian, siapapun yang memahami kaidah-kaidah
fiqih, maka ia tidak perlu menghafal hukum-hukum cabang yang jumlahnya sangat
banyak, karena hukum-hukum cabang tersebut telah masuk dalam kaidah kulliyah
atau kaidah umum tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, Muhammad Hamzah dalam kitabnya al-Fawa‟id al-
Bahiyah yang dikutip Asymuni A. Rahman (1976:17) juga mengatakan bahwa
masalah-masalah fiqih dapat diikat dengan kaidah- kaidah, yang karenanya
memahami kaidah-kaidah tersebut sangat urgen. Pandangan ini sejalan dengan suatu
proposisi yang telah dirumuskan oleh para ahli hukum Islam yang berbunyi : “Barang
siapa yang memelihara atau memahami ushul maka ia akan sampai kepada sasaran,
dan barang siapa yang memelihara (memahami) kaidah-kaidah maka ia akan sampai
kepada tujuan-tujuan yang diinginkan.”

Mencermati pernyataan di atas, dapat kita pahami bahwa kaidah-kaidah fiqih itu
menduduki fungsi signifikan dan peranan yang sangat urgen dalam pemeliharaan dan
pengembangan hukum Islam. Fungsi dan peranan kaidah-kaidah fiqih (al-qawa‟id al-
fiqhiyyah) bagi para pemikir hukum Islam dimaksud dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama, kaidah fiqih itu dapat dijadikan sebagai rujukan ahli atau peminat hukum
dalam rangka memudahkan mereka untuk penyelesaian masalah- masalah fiqih yang
mereka hadapi, dengan mengkategorikan masalah-masalah yang serupa dalam
lingkup satu kaidah. Kedua, sebagai media atau alat untuk menafsirkan nash-nash
dalam rangka penetapan hukum, terutama yang masuk dalam kategori ma lam yu‟lam
min ad-din bi ad-dharurah, yaitu hukum-hukum yang tidak diterangkan secara tegas
dalam Al-Qur‟an atau Sunnah, karena dalilnya masih bersifat zanni. Ketiga, fiqih itu
sesungguhnya suatu pengetahuan atau kompetensi untuk dapat melakukan persamaan-
persamaan suatu masalah dengan masalah-masalah yang serupa.

Sekaitan dengan urgensi kaidah-kaidah fiqih ini, Washil dan Azzam dalam
muqaddimah buku mereka yang berjudul al-Madkhal fi al-Qawa‟id al-Fiqhiyah wa
atsaruha fi al-ahkam asy-syari‟iyah, mengungkapkan:

Kaidah-kaidah fiqih (al-qawa‟id al-fiqhiyah) merupakan instrumen yang membantu


seorang ahli fiqih (faqih) untuk memahami masalah-masalah partikular (al-juz`iyat),
masalah-masalah yang mirip dan serpa (al-asybah wa an-nazha`ir) di dalam semua
pokoh bahasan fiqih. Kaidah-kaidah ini sangat banyak dan bercabang-cabang. Dari
sini, seorang ahli hukum fiqih tidak dapat memahami segala isi kajian huku Islam,
kecuali jika ia mempelajari kaidah-kaidah fiqih. Semakin tinggi tingkat penguasaan
seorang ahli fiqih akankaidah-kaidah fiqih ini, maka tingkat kemampuannya semakin
naik dan derajatnya akan semakin meningkat, sehingga terbukalah jalan baginya
menuju prosedur untuk berfatwa (Washil dan Azzam, 2013).

Dengan demikian, kaidah fiqih ini masih tetap urgen untuk dijadikan pedoman dalam
penyelesaian hukum Islam kontemporer, sekalipun ada di antaranya yang tidak di
sepakati oleh para ulama. Said Aqil Husein Al-Munawwar (2011:23-24)
mengemukakan bahwa di antara kaidah fiqih, ada yang disepakati ulama tentang
kehujjahannya dalam mengistinbathkan hukum, dan ada yang masih diperselisihkan.
Bagian yang disepakati sebagai hujjah, apabila sumbernya adalah al-Kitab, Sunnah
atau apabila kaidah itu mempunyai dasar dari al- Kitab dan Sunnah. Berhujjah dengan
kaidah-kaidah fiqih semacam ini berarti mengikuti atau berhujjah dengan dasarnya.

C. SUMBER – SUMBER QAWAID FIQHIYYAH

QawaidFiqhiyyah adalah sebuah disiplin ilmu yang menjadi dasar memberikan alasan
terhadap para ulama dalam memberikan alasan dari hukum yang mereka perpegangi.
Terbentuknya QawaidFiqhiyyah sebagai sebuah ilmu, tidak terlepas dari sumber –
sumber yang menjadi dasar sehingga menjadi sebuah QawaidFiqhiyyah. Adapun
sumber-sumber QawaidFiqhiyyah di antaranya :

A.    Al quran

Al Quranul Karim merupakan sumber pokok dan dalil utama bagi hukum syariat
Islam. Kumpulan firman – firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw dan dinukilkan dengan jalan mutawatir.

Ayat – ayat Al quran Allah turunkan dengan cara yang terpisah – pisah menurut
kejadian dan peristiwa dalam masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu peristiwa
tersebut di dalam istilah hukum Islam di sebut asbabun nuzul.

Aturan – aturan hukum syariat ini berlakunya berangsur – angsur menurut situasi
sebab – sebab turunnya ayat, disesuaikan dengan kemampuan umat pada masa
dahulu. Membutuhkan stategi tepat untuk pendekatan kepada masyarakat jahiliyyah
untuk meninggalkan kebiasaan yang dilarang oleh syariat Islam dan mengubah hukum
mereka yang sudah kuno dengan hukum  baru. Hal itu dapat dilihat dengan jelas
seperti aturan larangan minum khamar dan maisir.

Kebanyakan hukum yang ada dalam Al quran bersifat umum dan tidak membicarakan
soal – soal juz’i, dengan artian tidak satu persatu dijelaskan secara rinci dalam Al
quran. Karena itu,  Al quran membutuhkan penjelasan – penjelasan. Di antaranya
melalui Hadits. Dapat diketahui bahwa ayat Al quran yang umum seperti masalah
shalat, zakat, jihad dan urusan – urasan lainnya, dijelaskan dengan Hadits. Selain itu,
untuk menyingkapi persoalan kekinian yang membutuhkan jawaban untuk persoalan
ini, maka para ulama menggunakan ijma’ dan qiyas dalam mengambil suatu hukum.

QawaidFiqhiyyah bersumber dari teks Al quran untuk menyusun suatu kaidah, seperti
kaidah ‫المشقة‬ ‫تجلب‬ ‫التيسير‬ (Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan). Dalil yang
menjadi patokan dari kaidah ini yaitu dalam surat AlBaqarah ayat 185

... ‫يريد‬ ‫هللا‬ ‫بكم‬ ‫العسر‬ ‫و‬ ‫ال‬ ‫يريد‬ ‫بكم‬ ‫العسر‬ ...

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran


bagimu . . .

Surat Al-Baqarah ayat 286

‫ال‬ ‫يكلف‬ ‫هللا‬ ‫نفسا‬ ‫اال‬ ‫وسعها‬

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”


Dari prinsip-prinsip yang termuat dalam teks ayat di atas memberikan isyarat bahwa
dalam hukum syar’i tidak didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan
hambanya. Pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan.

Dan contoh kaidah lain yaitu  ‫الضرر‬ ‫يزال‬ ( Kemudharatan itu harus dihilangkan), ayat
Al quran yang senada dengan kaidah ini adalah surat Al-Baqarah ayat 231:

‫وال تمسكوهن ضراراً لتعتدوا‬

“janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan


demikian kamu menganiaya mereka”

B.     Sunnah

Sunnah merupakan segala yang dinukilkan atau diberitakan dari Nabi saw, baik
berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan nabi. Melihat dari pengertian di atas,
sunnah dapat dibagi atas : SunnahQauliyyah, SunnahFi’liyyah, dan
SunnahTaqririyyah.

Sunnah ada kalanya mutawatir dan ada kalanya ahad. Ulama sepakat bahwa hadits
mutawatir dapat  menjadi hujjah. Berkenaan hadits ahad, para ulama berbeda
pendapat dalam menjadi kan hadits ahad sebagai hujjah. Namun hadits yang shahih
yang dapat diterima untuk dijadikan hujjah, dan menjadi sumber kaidah.

Rasulullah saw selalu menyampaikan segala sesuatu dengan cara singkat, padat, lugas
dan mudah dipahami. Dengan demikian, ucapan beliau banyak menjadi inspirasi
dalam lahirnya qawaidfihiyyah. Contoh kaidah yang merujuk kepada sunnah atau
hadits yaitu :

‫األمور بمقاصدها‬   ( hukum semua perkara itu sesuai dengan tujuan atau niatnya)

Kaidah ini berkaitan dengan dalil hadits yang disampaikan oleh Rasulullah yang
berbunyi, ‫انما االعمال بالنيات‬  “sesungguhnya amal perbuatan bergantung pada niatnya”

Contoh lain seperti kaidah  ‫الضرر يزال‬  ( kemudharatan itu harus dihilangkan).

Kaidah ini sama dengan hadits Nabi sawyang isinya:

)‫(رواه ابن ما جه‬   ‫ال ضرر وال ضرار‬

“Tidak boleh membuat mudharat terhadap diri sendiri dan tidak b oleh
memudharatkan orang lain”

C.    Ijma’
Setelah Al Quran dan Sunnah, maka Ijma’ sebagai sumber ketiga menurut para ulama
sebagai sumber hukum syari’at Islam. Ijma’ merupakan suatu kemufakatan atau
kesatuan pendapat para ahli muslim yang mujtahid dalam segala zaman mengenai
sesuatu ketentuan hukum syari’at.

Ijma’ sebagai hujjah dengan berdasarkan dalil Al quran yaitu dalam potongan ayat
surat An nisa ayat 115

‫ياايها‬ ‫الذين‬ ‫امنوا‬ ‫اطيعوا‬ ‫هللا‬ ‫و‬ ‫اطيعوا‬ ‫الرسول‬ ‫و‬ ‫اولي‬ ‫األمر‬ ‫منكم‬

“wahai orang – orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu
kepada Rasul dan ulil amri dari kamu sekalian...”

 Adapun kaidah yang berdasarkan pada ijma’ yaitu :

  (Tidak ada ijtihad jika sudah ada nash) ‫ال‬ ‫اجتهاد‬ ‫مع‬ ‫النص‬

D.    Ijtihad

Ijtihad dalam pengertian bahasa yaitu meluangkan kesempatan dan mencurahakan


kesungguhan. Adapun dalam pengertian istilah yaitu meluangkan kesempatan dalam
usaha untuk mengetahui ketentuan – ketentuan hukum dalam dalil Syari’at

Segala persoalan hukum ulama – ulama mujtgahid selalu memakai ketentuan –


ketentuan nash kecuali jika pada suatu persoalan tidak terdapat dalil nash
mengungkapkan, maka disini mereka mengqiyaskan perkara ini kepada perkara lain
yang memiliki sama illatnya.

Dalam ijtihad, adapun contoh kaidah yang digunakan yaitu “ijtihad yang lalu, tidak
bisa dibatalkan ijtihad yang baru”

Hal ini berdasarkan perkataan dari Umar Bin Kattab :

“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan
sekarang”

Dari kaidah di atas maksudnya yaitu ijihat yang satu tidak dapat membatalkan ijtihad
yang lain, tidak dapat diganggu gugat, selagi tidak ada ijtihad yang lebih kuat yang
dapat membantah.

E.     Qiyas

Qiyas dari segi bahasa merupakan mengukurkan sesuatu atas lainnya dan
mempersamakannya.
Secara istilah ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada
ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.

Adapun rukun qiyas ada empat macam

1.      Asal (pokok) yaitu yang menjadi ukuran (maqis ‘alaih)

2.      Far’un (cabang) yaitu yang diukur (maqis) atau yang diserupakan

3.      Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabang

4.      Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi cabang dan sama dengan yang terdapat pada
pokok

Salah satu kaidah yang mirip dengan qiyas yaitu

‫الحوادث تضاف الي اقرب األوقاف‬

 “sesuatu yang baru terjadi disandarkan pada waktu terdekatnya”

F.     Istihsan

Istihsan ialah meninggalkan hukum sesuatu hal/peristiwa yang bersandar kepada dalil
syara’ menuju kepada hukum lain yang bersandar kepada dalil syara’ pula, karena ada
suatu dalil syara’ yang mengharuskan peninggalan tersebut.

Dalam istihsan, ada dua dalil untuk menetapkan hukum sesuatu hal, kemudian
seseorang mujtahid meninggalkan salah satu dalil yang jelas/ kuat untuk menuju
kepada dalil yang lain, karena ada sesuatu hal

Salah satu kaidah yang menjadikan istihsan sebagai sumber qawaid yaitu

“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar
madaratnya dengan dikerjakan lebih ringan kepada mudaratnya”

G.    Istishab

Dari segi bahasa perkataan Istishab diambil dari perkataan 


“istishabtumakaanafilmaadhi” artinya saya membawa serta apa yang telah ada waktu
yang lampau sampai sekarang.

Secara istilah, melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah
ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan
hukum tersebut. 
Contoh kaidah yang  merujuk kepada istishab:

‫االصل بقاء ما كان علي ما كان ما لم يكن ما يغيره‬

“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya”

H.    MashlahahMursalah

Merupakan kebaikan (mashlahah) yang tidak disinggung-singgung syara’, untuk


mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan kalau dikerjakan akan membawa
manfaat atau menghindari keburukan.

Salah satu kaidahnya

‫أنه يقدم في كل والية من هو‬

“Sesuatu yang lebih mampu mewujudkan kemaslahatan dalam tiap wilayah lebih
didahulukan”

I.       Urf

‘Urf ialah apa yang biasa dijalankan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan.
Dengan kata lain ialah adat istiadat.

Alasan pengambilan ‘Urfdiantaranya

1.      Syari’at Islam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan kebiasaan urf


yang berlaku padda bangsa Arab, seperti syarat kafaah dalam perkawinan dan urut-
urutan perwalian dalam nikah dan pewarisan harta pusaka atas dasar ashabah.

2.      Apa yang dibiasakan orang, baik kata-kata maupun perbuatan, menjadi pedoman
hidup mereka yang membutuhkan.

Salah satu contoh kaidah yang menjadikan Urf sebagai sumber qawaidnya

‫العادة محكمة‬

“adat istiadat itu ditentukan sebagai hukum”

J.      SadduzZari’ah

Yaitu menumbat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.

Salah satu rujukan kaidah yaitu


“Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan”

kaidah fikih yang utama, yaitu :

KAIDAH PERTAMA

ِ َ‫ أُال ُم ْو ُربِ ِمق‬.١


‫اص ِدهَا‬

Setiap sesuatu bergantung pada maksud/niat pelakunya

Dalil kaidah ini antara lain adalah firman Allah SWT :

ۡ ٌ ۬ َ‫س َعلَ ۡيڪُمۡ ُجن‬


َ ‫احفِي َمٓاَأ ۡخطَأتُمبِ ِه‬
ۡ‫ۦولَ ٰـ ِكن َّماتَ َع َّمد َۡتقُلُوبُ ُكم‬ َ ‫َولَ ۡي‬

Artinya : "Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi
(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu". (QS. Al Ahzab : 5)

Hadist Rasulullah dari Umar bin Khattabr.a :

‫ِإنَّ َمااَأْل ْع َمالُبِالنِّيَّ ِة َولِكُاِّل ْم ِرٍئ َمانَ َوى‬

Artinya : "Sesungguhnya amal tergantung niatnya, dan setiap orang hanya


mendapatkan sesuai niatnya".
Contoh : 

Apabila seseorang berkata : "saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya
minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hiba, tapi dengan permintaan
uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual-beli

KAIDAH KEDUA

ِّ‫ اليَقِ ْينُاَل يُ َزالُبِالشَّك‬.٢

Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan

Dasar kaidah ini Hadist Rasulullah SAW :

‫ ٕانالشيطانلئاتىاحدكموهوفىصالتهفيقوللهٔاحدثتفالينصرفحتىيسمعصوتأاويجدريحا‬.

‫ رواهٕابنماجهؤاحمد‬.

Artinya : "Sesungguhnya Setan akan mendatangi salah satu dari kalian yang sedang
melaksanakan shalat, lalu berkata kepadanya "Engkau telah hadats". (Jika itu terjadi)
Maka janganlah berpindah (membatalkan shalatnya) sampai dia (orang yang shalat)
mendengar suara atau mencium bau." (H.R. Ibnu Majah& Ahmad).

Contoh :

Terjadi perselisihan penjual dan pembeli, pembeli ingin mengembalikan barangnya


dan berkata bahwa barang tersebut seharga 15 ribu, sedang penjual berkata harga
tersebut adalah 20 ribu. Maka yang dianggap yakin adalah harga penjual.
KAIDAH KETIGA

ِ ‫شقَّةُت َْجلِبُالتَّ ْي‬


‫س ْي َر‬ َ ‫ ال َم‬.٣

Kesukaran/kesulitan itu dapat mendatangkan/ menarik kemudahan

Al-masyaqqah berarti al-ta'ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran.


sedang al-taysir berarti kemudahan.

Hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi


mukallaf, maka syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu
melaksanakannyan tanpa kesulitan dan kesukaran.

Kesulitan yang membawa kepada kemudahan antara lain dalam perjalanan (safar),
sakit (maridh), terpaksa yang membahayakan kehidupan, lupa, tidaktahu,
kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh)

Dasar kaidah ini adalah QS Al Baqarah : 286 dan Al Hajj : 78

Contoh :

Seseorang yang meminjam barang kepunyaan orang yang dikenalnya, kemudian


barang tersebut telah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada
pemiliknya, maka penggantinya adalah barang yang sama mereknya, ukurannya atau
diganti dengan harga barang tersebut dengan harga di  pasaran.

KAIDAH KEEMPAT
‫الض َر ُريُزَ ا ُل‬
َ .٤

Kemadaratan harus dihilangkan

Dasar kaidah ini adalah firman Allah dalam QS Al Baqarah ayat 231 dan hadist
Rasulullah :

‫ رواهٔاحمدوابنماجهوالطبراني‬. ‫ الضرروالضرار‬.

"Tidak boleh (ada) bahaya dan menimbulkan bahaya." (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, dan
Thabrani)

Contoh :

Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan


tersebut mengakibatkan kemudharatan bagi rakyat

KAIDAH KELIMA

ٌ‫ ال َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬.٥

"Adat kebiasaan dapat dijadikan rujukan hukum."

Dasar kaidah ini adalah firman Allah SWT 


ِ ‫َاش ُرو ُهنَّبِ ۡٱل َم ۡع ُر‬
‫وف‬ ِ ‫َوع‬

Artinya : "dan pergaulilah mereka secara patut"

Hadist Rasulullah SAW :

‫ رواهٔاحمد‬. ‫افهوعنداللهسيى‬
ٔ ‫ ـــفمارٔاىالمسلمونحسنافهوعنداللهحسنومارٔاواسي ٔى‬.

Artinya : ".... apa yang kaum muslim anggap baik, maka baik pula menurut Allah.
Dan apa yang kaum muslim anggap buruk, maka buruk pula menurut Allah." (H.R.
Ahmad).

Contoh :

Transaksi kurs mata uang (sharf), penyelesaian transaksi tersebut diadministrasikan


sampai 2 hari kemudian setelah transaksi, hal tersebut dibenarkan.

D. Faedah ilmu qawa’id al-fiqhiyah

Berbagai pandangan para ulama tentang manfaat mempelajari kaidah fiqh, antara lain:
“Dengan kaidah fikih kita tahu hakikat dari fikih, obyek pembahasan fiqh, cara
pengambilan fiqh dan rahasia-rahasia fiqh, menjadi terampil di dalam memahami fiqh
dan menghadirkan fiqh”.16 “Sesungguhnya kaidah-kaidah fiqh itu menggambarkan
nilai- nilai fiqh, kebaikan dan keutamaan serta intinya. Dari bentuk dan uraian tentang
kaidah fiqh menampakkan pola pikir fiqh Islam yang sangat luas dan mendalam dan
tampak pula kekuatan filosofinya yang rasional serta kemampuannya di dalam
mengumpulkan fiqh dan mengembalikan kepada akarnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan manfaat mempelajari kaidah fiqh, antara lain:

1. Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh

kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh. Sebab, kaidah-kaidah fiqh itu
berkaitan dengan materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya. Dengan kaidah-kaidah
fiqh kita akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi
titik temu dari masalah-masalah fiqh. 2.Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh
akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi, yaitu
dengan memasukkan atau menggolongkan suatu masalah ke dalam salah satu kaidah
fiqh yang ada.

3. Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi
dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat kebiasaan yang
berlainan.

4. Orang yang menguasai kaidah-kaidah fiqh akan menjadi mulia dan tinggi
kedudukannya.

5. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh, dapat memberikan solusi dari berbagai


perbedaan pendapat di kalangan ulama, atau setidaknya menguatkan pendapat yang
lebih mendekati kaidah-kaidah fiqh.

6. Orang yang mengetahui kaidah-kaidah fiqh akan mengetahui rahasia-rahasia dan


semangat hukum-hukum Islam yang tersimpul di dalam kaidah-kaidah fiqh.

7.Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan
takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.

8. Orang yang menguasai kaidah-kaidah fiqh di samping kaidah ushul, akan memiliki
keluasaan ilmu, dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada kebenaran,
kebaikan, dan keindahan

E. Buku QawaidFiqhiyyah”

 Buku Saku Manzhumah Al-QAWAID Al-FIQHIYYAH As-Sadiy. ...

 BUKUQAWAIDFIQHIYYAH MUAMALAH - AHMAD MUSADAD -


LITERASI NUSANTARA. ...

 BUKUQAWAIDFIQHIYYAH IQTISHADIYAH EDISI 2 - AHMAD


MUSADAD. ...

 BukuQawaidFiqhiyyah Muamalah kaidah-kaidah fiqih hukum ekonomi


syariah - Ahmad Musadad.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Qowaid fiqhiyah berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua suku kata, yauitu
Qawaiddan Fiqhiyah.Qawaid bentuk jama’ dari kata qa’idah yang secara etimologi
berarti dasar atau fontasi (al-asas).Secara terminology, at-taftazani mendefinisikan
qa’idah dengan “hukum yang bersifat universal dandapatditerapkan pada seluruh
bagian-bagiannya yang mana persoalan-persoalanya tersebut dapat dikenali darinya”

Sumber kaidah fiqhiyah

 Kaidah fiqhiyah bersumber dari Al-Qur’an


 Kaidah fiqhiyah bersumber dari Hadits
 Kaidah fiqhiyah bersumber dari ucapan mujtahid
 Kaidah fiqhiyah bersumber dari sahabat Nabi
 Kaidah fiqhiyah bersumber dari Ijtihad dan Qiyas
DAFTAR PUSTAKA

Fathurrahman Azhari, 2015. Qawaid Fiqhiyah Muamalah, Banjarmasin,Lembaga


Pemberdayaan Kualitas Ummat Banjarmasin.

Suhendi, Hendi, 2011. Fiqh Muamalah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Suhar,2014. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Gaung Persada Press


Group.

Sayyid Sabiq, 1987. Fiqh Sunnah, Bandung, PT. Alma’arif.

Anda mungkin juga menyukai