Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENGANTAR ILMU FIQIH

Disusun Oleh:
Reza Juliansyah

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS AL IHYA
KUNINGAN

2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang atas berkah dan rahmat-Nya penulis bisa menulis makalah dalam keadaan
sehat wal afiyat.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Habibana Wanabiyana
Muhammad SAW. Karenanya lah kita dapat merasakan manis nya beribadah dan menuntut
ilmu sesuai ajarannya.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini belum dikatakan sempurna,
maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari seluruh pihak sehingga
makalah ini bisa dikatakan sempurna.

Wassalam

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................................... i
Daftat Isi ..................................................................................................................... ii
BAB 1 Pendahuluan .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 1
BAB 2 Pembahasan .................................................................................................... 2
A. Pengertian Fiqih dan Ilmu Fiqih .............................................................................. 2
B. Hubungan Fiqih dengan Ushul Fiqih ....................................................................... 2
C. Tujuan mempelajari Ilmu Fiqih ............................................................................... 3
D. Hukum dan pembagiannya, Mahkum Bih, Mahkum Fih, dan Mahkum Alaih
berdasarkan objek, peristiwa, dan subjek ..................................................................... 3
E. Dalil dalam Hukum Islam ........................................................................................ 7
F. Sumber-sumber Hukum Islam .................................................................................
10
G. Madzhab dalam Fiqih .............................................................................................
11
H. Ijtihad, Ittiba’, Taqlid dan Talfiq ........................................................................... 15
BAB 3 Penutup ......................................................................................................... 16
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 16
B. Saran-saran ........................................................................................................... 17
Sunber Referensi ........................................................................................................ 17
ii

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah,logis dan
memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan
gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan ritual-
ritual. Pembekalan materi yang baik dalam lingkup sekolah, akan membentuk pribadi yang
mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang luhur. Sehingga memudahkan
peserta didik dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di zaman
modern sekarang semakin banyak masalah-masalah muncul yang membutuhkan kajian fiqih
dan syari’at. Oleh karena itu, penulis membutuhkan dasar ilmu dan hukum Islam untuk
mengetahuinya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang di uraikan di atas, maka yang menjadi pembahasan
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa itu Fiqih dan Ushul Fiqih?
2. Bagaimana hubungan Ilmu Fiqih dengan Ushul Fiqih?
3. Apa tujuan mempelajari Ilmu Fiqih?
4. Apa itu hukum dan pembagiannya?
5. Jelaskan Dalil dalam Hukum Islam!
6. Sebutkan sumber-sumber Hukum Islam!
7. Sebutkan Madzhab-madzhab dalam Fiqih!
8. Apa itu Ijtihad, Ittiba’, Taqlid, dan Talfiq?

C. Tujuan Penulisan
Mengetahui latar belakang dan rumusan masalah tersebut diharapkan tulisan ini bisa
menjadi pengetahuan dan pegangan bagi penulis. Untuk mewujudkan semua itu, ada
beberapa tujuan dan nilai guna yang akan di capai, antara lain:
1. Untuk mengetahui bagaimana makna dari pengertian Fiqih dan Ilmu Fiqih
2. Untuk mengetahui Hubungan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih
3. Untuk mengetahui tujuan mempelajari Ilmu Fiqih
4. Untuk mengetahui bagaimana Hukum dan pembagiannya
5. Untuk Mengetahui Dalil dalam Hukum Islam
6. Untuk Mengetahui Sumber-sumber Hukum Islam
7. Untuk Mengetahui Madzhab dalam Fiqih
8. Untuk Mengetahui apa itu Ijtihad, Ittiba’, Taqlid, dan Talfiq

BAB 2
PEMBAHASAN
A.Pengertian Fiqih dan Ilmu Fiqih
Para ulama sepakat bahwa tindakan manusia baik berupa perbuatan maupun ucapan,
dalam hal ibadah maupun muamalah berupa tindak pidana ataupun perdata, masalah akad
atau pengelolaan, dalam syariat islam semuanya masuk dalam wilayah hukum.
Pengertian Fiqih secara bahasa (etimologi) berasal dari lafal faqiha, yafqahu, fiqhan
yang berarti mengerti atau paham. Sedangkan pengertian Fiqih secara istilah (terminologi)
fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang praktis yang di ambil dari dalil-dalil
terperinci. 1
B.Hubungan Fiqih dengan Ushul Fiqih
Kaidah fiqih merupakan petunjuk operasional dalam mengistibahtkan hukum islam,
dengan melihat kepada hikmah dan rahasia-rahasia tasyri. Sedangkan kaidah Ushul memuat
pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya baik al-Quran maupun sunnah dengan
menggunakan pendekatan secara kebahasaan. Namun kedua kaidah tersebut merupakan
patokan dalam mengistibahtkan duatu hukum, satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan, pada sasarannya menetapkan hukum Islam
terhadap mukallaf. Sebagai contoh Surah Al-Maidah: 3.2 Ilmu Ushul Fiqih, Muhammad Abu
zahrah
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ُ‫ير َو َمٓا أُ ِه َّل لِ َغي ِْر هَّللا ِ بِ ِهۦ َو ْال ُم ْن َخنِقَةُ َو ْال َموْ قُو َذةُ َو ْال ُمتَ َر ِّديَة‬
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِز‬ ْ ‫ُح ِّر َم‬
‫اأْل َ ْز ٰل ِم   ٰۚ ذلِ ُك ْم‬uِ‫ ُموا ب‬u‫ب َوأَ ْن تَ ْستَ ْق ِس‬ ِ u‫ص‬ ُ ُّ‫ا ُذبِ َح َعلَى الن‬uu‫ا َذ َّك ْيتُ ْم َو َم‬uu‫بُ ُع إِاَّل َم‬u‫الس‬ َّ ‫ َل‬u‫يحةُ َو َمٓا أَ َك‬ َ ‫َوالنَّ ِط‬
‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم‬ ُ ‫وْ َم أَ ْك َم ْل‬uuَ‫ۚ الي‬
ْ   ‫وْ ِن‬uu‫اخ َش‬ ْ ‫وْ هُ ْم َو‬uu‫رُوا ِم ْن ِدينِ ُك ْم فَاَل ت َْخ َش‬uuَ‫س الَّ ِذينَ َكف‬ َ ِ‫وْ َم يَئ‬uuَ‫ۗ الي‬ ْ   ‫ق‬ ٌ uu‫فِ ْس‬
‫ف‬ ٍ ِ‫ ان‬u‫ر ُمت ََج‬u َ u‫ ٍة َغ ْي‬u ‫ص‬ َ ‫طُ َّر ِفى َم ْخ َم‬u ‫اض‬ ْ ‫ا  ۚ فَ َم ِن‬uuً‫ ٰل َم ِدين‬u ‫يت لَ ُك ُم اإْل ِ ْس‬ ُ u‫ض‬ ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِى َو َر‬ ُ ‫َوأَ ْت َم ْم‬
ِ ‫إِّل ِ ْث ٍم  ۙ فَإ ِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر ر‬
‫َّحي ٌم‬
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang
disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan
pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam
(anak panah) (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus
asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barang
siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang."

2
Fiqih jinayah, Nurul Irfan, M. Musyrofah. Ed.1 Cet,1 Cet,5
1.
Ilmu Ushul Fiqih, Muhammad Abu Zahrah
2.

C.Tujuan mempelajari Ilmu Fiqih


Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa tujuan akhir yang hendak dicapai dari ilmu
fiqih ialah penerapan hukum syariat kepada amal perbuatan manusia, baik tindakan maupun
perkataannya.3 abdul wahab khallaf mempelajarinya orang akan tahu mana yang diperintah
dan mana yang dilarang, mana yang sah mana yang batal, mana yang halal dan mana yang
haram dan lain sebagainya. Ilmu ini diharapkan muncul sebagai rujukan bagi para hakim
pada setiap keputusannya, bagi para hukum di setiap gagasan dan pendapatnya, dan juga bagi
setiap mukallaf pada umunya dalam upaya mereka mengetahui hukum syariat dari berbagai
masalah yang terjadi akibat tindak tanduk mereka sendiri.4
D. Hukum dan pembagiannya, Mahkum Bih, Mahkum Fih, dan Mahkum Alaih
berdasarkan objek, peristiwa, dan subjek
Hukum
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti mencegah atau memutuskan. Menurut
terminologi Ushul Fiqih kata Hukum (hukm) berarti ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang
berhubungan dengan amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa perintah, larangan, anjuran
untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan, takhir yang berarti kebolehan untuk
orang mukallaf untuk memilih antara mlakukan dan tidak melakukan, atau ketentuan yang
menetapkan suatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (pengahalang).5
Maksud dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya dalam definisi tersebut ialah ayat-
ayat hukum dalam al-Quran dan Hadist hukum dalam sunnah Rasulullah yang mengatur amal
perbuatan manusia. Misalnya firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah akad-akad (perjanjian) itu ...” (Q.S al-Maidah:5 ayat 1). Ayat tersebut adalah
ketentuan Allah tentang kewajiban memenuhi janji.
Jadi yang disebut hukum dalam kajian Ushul Fiqih adalah ayat -ayat atau sunnah
Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia. Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan,
bahwa yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya itu, ada yang secara
langsung seperti al-Quran dan Sunnah, dan ada pula yang secara tidak langsung seperti
ketentuan-ketentuan yang ditunjukkan oleh ijma, qiyas, dan dalil-dalil hukum lainnya seperti
akan dijelaskan kemudian.
Ketentuan-ketentuan seperti itu adalah ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya juga
secara tidak langsung, karena lada dasarnya ketentuan-ketentuan seperti itu bersumber dari
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Secara garis besar para Ulama ushul fiqih membagi hukum
kepada dua macam, yaitu: hukum taklifi dan hukum wadh'i

3
3.Abdul Wahab Khallaf, op.cit hlm 14

4.Prof. Dr. Alaidin Koto, MA. SH op.cit hlm 10

5.Ir.Dr. Khisni, SH. MH

Hukum Taklifi
Hukum Taklifi memuat tuntutan dan pilihan, yaitu tuntutan Allah yang berkaitan
dengan perintah untuk berbuat sesuatu perbuatan. Di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan
uang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf, baik berbentuk perintah yang tegas
(wajib), anjuran untuk melakukan (sunnah), larangan (haram), anjuran untuk tidak melakukan
(makruh), atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat (mubah).6
Didalam agama islam, bentuk hukum Taklifi yang berupa tuntutan tidak memberatkan
pelakunya, dan selalu berada dalam batasan kemampuan seorang mukalaf. Berikut beberapa
bentuk hukum Taklifi :
Wajib
Wajib ialah tuntutan yang bersifat tegas dari syariat untuk dilakukan, dan tak boleh
ditinggalkan oleh seorang mukalaf. Meskipun pahala adalah urusan Allah, dijelaskan bahwa
menjalankan kewajiban akan diberi pahala bagi yang melakukan dan diancam dengan dosa
bagi yang meninggalkannya.7
Mandhub (Sunnah)
Mandhub ialah lafadz lain dari sunnah, nafal, tathawu’, mustahab, atau mustahsan,
yang artinya tuntunan untuk melaksanakan perbuatan, dimana tuntutan itu tidak bersifat
tegas. Mandhub atau sunnah sendiri secara lughawi memiliki arti seruan untuk sesuatu yang
penting. Secara istilah didefinisi kan sebagai sesuatu yang diberi pahala bagi orang yang
melakukan, dan tidak disiksa atau di ancam dengan dosa orang yang meninggalkan nya.8
Mubah
Mubah adalah pilihan antara berbuat dan tidak berbuat. Secara istilah Mubah berarti
suatu yang diberi kemungkinan oleh pembuat hukum (Allah) untuk memilih antara
melakukan atau meninggalkan. Ia boleh melakukan atau tidak.9
Makruh
Makruh adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan itu
tidak tegas. Makruh secara lughawi berarti yang tidak disukai, yang dibenci atau yang buruk.
Dan secara istilah didefinisikan sebagai sesuatu yang apabila ditinggalkan mendapat pahala
dan apabila dikerjakan pelaku nya tidak berdosa.10
Haram
Haram adalah untuk meninggalkan sesuatu dengan tuntutan yang tegas. Haram secara
lughawi berarti sesuatu yang lebih banyak kerusakannya, suatu larangan, sesuatu yang
dituntut untuk tidak melakukannya.11

4
6-11. https://ushulfiqih.com/hukum-taklifi-dan-wadhi/

Hukum Wadhi’
Hukum Wadhi ada tiga macam, yaitu berupa sebab, syarat, dan mani (penghalang)
adanya hukum syariat, dan tiga hal lainnya terkait hukum perbuatan mukalaf apakah sah,
fasid, atau batal. Artinya apabila sesuatu hukum Taklifi yang dikerjakan itu ada sebabnya,
telah memenuhi syarat-syaratnya, dan tidak ada mani’ (pengahalang), maka perbuatan itu
dinyatakan sudah memenuhi ketentuan hukum (sah). Hukum wadhi juga menjelaskan adanya
‘azimah atau rukhsah (keringanan).12 Berikut rincian-rincian hukum wadhi’.
Sebab
Sebab adalah suatu sifat atau kondisi yang keberadaannya menjadi tanda atau sebab
adanya hukum syariat. 13
Syarat
Syarat adalah sesuatu yang keberadaan hukum syariat tergantung kepadanya. Syarat
berada diluar hukum syariat.14
Mani’ (penghalang)
Mani’ atau oenghalang adalah suatu sifat atau kondisi yang keberadaannya
menghalangi adanya hukum. 15
Sah / Shahih
Shahih adalah hukum yang telah memenuhi ketentuan syarat, yaitu telah terpenuhi
unsur sebab, syarat, dan tidak mani’ (penghalang). Apabila sesuatu perbuatan yang dituntut
adanya sebab, telah memenuhi syara-syaratnya, dan tidak ada mani’ (pengahalang), maka
perbuatan itu dianggap sudah memenuhi ketentuan hukum (sah).16
Bathil
Bathil atau batal adalah hukum yang tidak memenuhi aturan syariat. Disebut bathil
apabila tidak terpenuhinya kualifikasi adanya sebab, syarat dan tidak adanya mani’
(penghalang).17
‘Azimah
Azimah adalah hukum-hukum yang berlaku untuk seluruh mukalaf sejak semula.18
Rukhsah (keringanan)
Rukhsah adalah perubahan hukum gang berubah dari hukum asalnya, karena ada
alasan-alasan tertentu.19

5
12-19. https://ushulfiqih.com/hukum-taklifi-dan-wadhi/

Mahkum Bih / Mahkum Fih


Mahkum Fih atau sering dikenal dengan Mahkum Bih atau arti dalam bahasa
Indonesia nya adalah objek hukum adalah perbuatan mukalaf atau muslim yang sudah dewasa
yang eikwnai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama serta sehat akalnya.20
Salah satu contoh kewajiban seorang mukalaf yakni membayar zakat yang dijelaskan
di Q.S al-Baqarah ayat 277, dan larangan yang diperuntukkan untuk mukalaf adalah zina
sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S al-Isra ayat 32. Perbuatan mukalaf berkaitan dengan
hukum dan firman Allah yang berisi perintah dan larangan dalam Islam.
Syarat sahnya taklif ada dua, pertama perbuatan/ pekerjaan yang dibebankan pada
mukalaf itu maklum (dapat diketahui) secara sempurna. Tidak sah membebankan sesuatu
yang tidak diketahui. Oleh karena itulah Taklif-taklif yang terdapat dalam al-Qur’an yang
bersifat global seperti sholat dan zakat itu diterangkan oleh Rasulullah SAW. Dengan jelas.
Kedua, pekerjaan tersebut mampu dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukalaf, karena tujuan
taklif adalah untuk dipatuhi. Sehingga ketika pekerjaannya dikuar batas kemampuan mukalaf
maka ketaatan tidak mungkin terwujud. Ada dua hal yang terkait erat dengan syarat.
Pertama, taklif itu tidak berupa perbuatan yang mustahil untuk dilakukan. Misalnya
menyuruh manusia terbang tanpa sayap, mengangkat gunung, dan lain-lain. Kedua, taklif
berkenaan dengan perbuatan yang berada di bawah kendali manusia. Para ulama sepakat
bahwa bahwasanya seorang mukalaf itu tidak akan di siksa kecuali karena meninggalkan
perbuatan ibadah yang mampu ia lakukan, seperti sholat dan tidak disiksa karena perbuatan
ibadah yang tidak mampu ia lakukan, seperti ibadah haji ketika belum mampu.21
Syarat-syarat taklif
a. Mukalaf mampu memahami taklif yang ditujukan padanya, baik mengetahui sendiri
maupun dengan perantara.
Hal ini dikarenakan tujuan dari taklif adalah agar ditaati dan dipatuhi, sehingga orang
yang tidak mampu memahami perintah syari tidak mungkin bisa patuh. Jadi pemahaman pada
perintah syari’ merupakan fondasi dari taklif.22
b. Berakal
Orang yang tidak berakal seperti anak kecil, orang gila dan orang yang sedang tidur
itu tidak ada taklif atas mereka. Karena taklif itu merupakan khitab dan khitab pada orang
yang tidak berakal dan tidak mempunyai pemahaman itu mustahil.23

6
20. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mahkum_Fih

21-23. TAHKIM, Jurnal peradaban dan Hukum Islam, Hal. 95-96

Ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW:


‫رفع القلم عنثالثة عن النا ىم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون حتى يفيق‬
Artinya: “Kewajiban itu dihapuskan apda tiga golongan, yaitu orang yang tidur sampai ia
bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.
Adapun pendapat jumhur ‘ulama terkait kewajiban zakat fitrah bagi anak kecil itu senenarnya
itu bukan taklif untuk anak kecil, tetapi bagi walinya.
Mahkum ‘Alaih
Menurut Alaudin Koto, yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih adalah mukallaf yang
perbuatannya berhubungan dengan hukum syari’. Atau dengan kata lain, mahkum ‘alaih
adalah orang mukalaf yang menjadi tempat (objek) khitab (berlakunya hukum) syari’.
Dinamakan mukalaf sebagai mahkum ‘alaih karena dialah yang dikenai (dibebani) hukum
syara’. Singkatnya, mahkum ‘alaih adalah orang atau si mukalaf itu sendiri. Sedang
perbuatannya disebut mahkum bih.23
Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih.
Ada dua persyaratan yang harus dipenuhi agar seorang mukalaf sah untuk dtaklifi.
Pertama, orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu sendiri dengan perantaraan
orang lain, karena orang yang mampu memahami dalil-dalil itu tidak mungkin mematuhi apa
yang ditaklifkan kepadanya. Kemampuan memahami dalil-dalil taklif hanya dapat terwujud
dengan akal, karena akal adalah alat untuk mengetahui apa yang ditaklifkan itu. Dan oleh
karena itu akal adalah hal tersembunyi dan sulit diukur, maka Allah menyangkutkan taklif itu
ke hal-hal yang menjadi tempat anggapan adanya akal, yaitu baligh. Barang siapa yang telah
baligh dan tidak terlihat cacat akalnya berarti ia telah cukup kemampuan untuk ditaklifi.
Karena itu anak-anak dan orang gila tidak dikenai taklif karena mereka tidak punya alat untuk
memahami taklif tersebut. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk, karena
dalam keadaan demikian mereka tidak dapat memahami apa-apa yang ditaklifkan kepadanya.
Kedua, orang tersebut “ahli” (cakap) bagi apa yang ditaklifkan padanya. Ahli yang dimaksud
adalah layak untuk kepantasan yang terdapat pada diri seseorang, misalnya seseorang
dikatakan ahli untuk mengurus wakaf, berarti ia pantas untuk diserahi tanggung jawab
mengurus harta wakaf.24
E. Dalil dalam Hukum Islam
Secara etimologi (bahasa) sumber berarti asal dari segala sesuatu atau tempat merujuk
sesuatu. Adapun secara terminologi (istilah) dalam ilmu ushul, sumber diartikan sebagai
rujukan yang pokok atau utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu berupa al-Qur’an dan
as-Sunnah.25

7
23-24. TAHKIM, Jurnal peradaban dan Hukum Islam Hal. 98-99

25. http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195510071990011-DEDENG_ROSIDIN/SUMBER_HUKUM.pdf

Dalil, secara bahasa artinya petunjuk pada sesuatu baik yang bersifat material maupun
yang bersifat non material. Sedangkan menurut Istilah, suatu petunjuk yang di jadikan
landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat praktis, baik yang
kedudukannya qath’i (pasti) atau dhani (relatif), atau dengan kata lain, dalil adalah segala
sesuatu yang menunjukan kepada madlul. Madlul itu adalah hukum syara yang amaliyah dari
dalil.26
Dalil dapat dilihat dari berbagai segi : Dari segi asalnya, dari segi ruang limgkupnya,
dari segi kekuatannya.
Dalil ditinjau dari segi asalnya
Ditinjau dari asalnya, dalil ada dua macam:
1.Dalil Naqli yaitu dalil-dalil yang berasal dari nash langsung, yaitu Alquran dan as-sunnah.
2.Dalil aqli, yaitu dalil -dalil yang berasal bukan dari nash langsung, akan tetapi dengan
menggunakan akal pikiran, yaitu Ijtihad.
Bila direnungkan, dalam fiqih dalil akal itu bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari
Alquran dan as-Sunnah, tetapi prinsif-prinsif umumnya terdapat dalam Alquran dan As-
Sunnah.27
Dalil ditinjau dari ruang lingkupnya
Dalil ditinjau dari ruang lingkupnya ada dua macam, yaitu:
1. Kully yaitu dalil yang mencakup banyak satuan hukum. Dalil Kulli ini adakalaya
berupa ayat Alquran, dan berupa hadits, juga adakalanya berupa Qaidah-qaidah Kully.
Dalil kully dari Qaidah ini, memberi arti bahwa segala sesuatu yang tadinya sulit akan
menjadi mudah. Dalil kulli dari Qaidah kulliyah ini tetap kembali kepada semangat atau
didasari oleh isyarat Alquran dan al-Sunnah.
2. Juz'i, atau Tafsili yaitu dalil yang menunjukan kepada satu persoalan dan satu hukum
tertentu, seperti
‫يا ا يها الذين ا منوا كتب عليگم الصيام‬
Ayat ini djsebut dall juz’i karena menunjukan kepada perbuatan puasa saja.28

8
26-28. http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195510071990011-DEDENG_ROSIDIN/SUMBER_HUKUM.pdf

Dalil ditinjau dari daya kekuatannya


Dalil ditinjau dari daya kekuatannya ada dua, yaitu Dalil Qath'i dan dalil Dhanni.29
1. Dalil Qath'i,
Dalil Qath'i ini terbagi kepada dua macam, yaitu :
a. Dalil Qath'i al-Wurud, yaitu dalil yang meyakinkan bahwa datangnya dari Allah
(al-Quran) dan datang dari Rasulullah (Hadist mutawatir) Alquran seluruhnya Qath'i
wurudnya, dan tidak semua hadits qath'i wurudnya.30
b. Dalil Qath'i Dalalah, yaitu dalil yang kata-katanya atau ungkapan kata-katanya
menunjukkan arti dan maksud tertentu dengan tegas dan jelas sehingga tidak mungkin
dipahamkan lain. Contoh
١٢: ‫ النساء‬.‫ولكم نصف ما ترك ارواجكم ان لم يكن لهن ولد‬
Dan bagimu ( para suami) separuh dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak.
Ayat ini tidak bisa diartikan lain, kecuali menunjukkan bahwa suami mendapat
setengah dari harta peninggalan istri jika istrinya tidak mempunyai anak.31
2.Dalil Dhanni.
Dalil Dhanni, terbagi kepada dua macam pula yaitu: Dhanni al-Wurud dan Dhanni al-
Dalalah.32
a.Dhanni al-Wurud, yaitu dalil yang memberi kesan yang kuat atau sangkaan yang
kuat bahwa datangnya dari Nabi saw. Tidak ada ayat Alquran yang dhanni wurud, adapun
hadits ada yang dhanni wurudnya yaitu hadits ahad.33
b.Dhanni al-Dalalah, yaitu dalil yang kata-katanya atau ungkapan kata-katanya
memberi kemungkinan - kemungkinan arti dan maksud lebih dari satu. Tidak menunjukkan
kepada satu arti dan maksud tertentu.Dan wanita yang ditalak hendaklah menahan dirinya
(beriddah) tiga kali quru.34
Kata Quru dalam ayat di atas bisa diartikan haid dan bisa diartikan suci. Oleh karena
itu para ula sering berbeda pendapat dalam menentukan hukum dari ayat tersebut di atas.Dari
pengertian dalil yang diungkapkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa; Alquran dan al-
Sunnah juga disebut sebagai dalil hukum, disamping sebagai sumber hukum Islam. Karena
itu dari sisi ini, apa yang dikemukakan Abdul Wahab Khalaf bahwa al-Adillah al-Ahkam
identik dengan Mashadir al-Ahkam ( sumber hukum).Dari sini pula dapat dikatakan bahwa
seperti, Ijma, Qiyas, mashlahah mursalah, istihsan dan lain sebagainya tidak dapat dikatakan
sebagai sumber hukum Islam, karena dalil-dalil ini hanya bersifat al-Kasyf wa al-Izhar li al-
Hukum artinya hanya menyingkap dan memunculkan yang ada dalam Alquran dan al-
Sunnah.

9
30-34. http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195510071990011-DEDENG_ROSIDIN/SUMBER_HUKUM.pdf

Karena suatu dalil yang membutuhkan dalil lain untuk dijadikan hujjah, tidaklah dapat
dikatakan sumber, karena yang dikatakan sumber itu harus berdiri sendiri. Disamping itu,
keberadaan suatu dalil, seperti Ijma, Qiyas dan istihsan misalnya, tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Alquran dan as-Sunnah. Oleh sebab itu, para
ahli ushul Fiqh sering menyebut terhadap adillah ahkam seperti Ijma, Qiyas dan sebagainya,
sebagai turuq istinbath al-Ahkam yaitu metode dalam menetapkan hukum.36

F. Sumber-sumber hukum islam


Sumber hukum Islam dapat dibagi menjadi dua bagian yakni sumber hukum Islam
materil yakni sumber hukum yang bentuk hukum dalam sebuah negara dan sumber hukum
formil yaitu sumber isi hukum yang menentukan corak isi hukum. Sumber hukum formal
inilah yang kemudian disebut sebagai mashadir al-ahkam, sementara al-adillah asy-
syar‟iyyah merupakan sumber hukum materil. Istilah mashadir al-ahkam sendiri tidak
dikenal dalam catatan-catatan para ahli hukum masa klasik. Karena pada umumnya para ahli
hukum klasik menggunakan istilah al-adillah asy-syar‟iyyah. Secara umum kedua istilah ini
memiliki mengertian yang berbeda antara satu sama lain. Mashadir berarti sumber, yakni
wadah yang darinya digali norma-norma hukum tertentu, sedangkan al-adillah berarti dalil,
yakni petunjuk yang akan membawa kepada hukum tertentu.37
1. Alquran
Alquran dan wahyu memiliki kaitan yang erat, karena Alquran merupakan bagian dari
wahyu Allah. Menurut etimologi, wahyu sendiri bermakna isyarat yang cepat (termasuk
bisikan dalam hati dan ilham), surat, tulisan dan segala sesuatu yang disampaikan kepada
orang lain untuk diketahui. Sedangkan secara istilah wahyu adalah pengetahuan seseorang di
dalam dirinya serta diyakininya bahwa pengetahuan itu datang dari Allah baik dengan
perantara atau tanpa perantara.38
2.Al-Hadist
Sumber hukum Islam yang kedua adalah Al-Hadist, yakni segala sesuatu yang
berlandaskan pada Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perilaku, diamnya beliau. Di
dalam Al-Hadist terkandung aturan-aturan yang merinci segala aturan yang masih global
dalam Al-quran. Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan
dengan sunnah, maka dapat berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun
persetujuan dari Rasulullah SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum Islam.39

10
36-37. e. Khairil, Sumber Hukum Islam https //repository.uinsu.ac.id

38. Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

3.Ijma’
Kesepakatan seluruh Ulama Mujtahid pada suatu masa setelah zaman Rasulullah
SAW. Atas sebuah perkara dalam “Agama” dan “ijma” yang dapat dipertanggung jawabkan
adalah yang terjadi di zaman Sahabat, Tabi’in (setelah sahabat), dan Tabi’ut (setelah tabiin).
Karena setelah zaman mereka lara Ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan
perselilisihan semakin banyak sehingga tak dapat dipastikan bahwa semua Ulama sepakat.40
4.Qiyas
Sumber hukum Islam yang keempat setelah Al-Quran, Al-Hadits, dan Ijma’ adalah
Qiyas. Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al quran
ataupun hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak
diketahui hukumnya tersebut.41
G. Madzhab dalam Fiqih.
Kata madzhab menurut ahli bahasa ialah tempat untuk pergi ataupun jalan. Dari segi
istilah, madhzab berarti hukum-hukum yang terdiri atas kumpulan permasalahan. Dengan
pengartian ini, maka terdapat persamaan makna antara bahasa dan istilah, yaitu madzhab
menurut bahasa adalah jalan yang menyampaikan seseorang kepada satu tujuan tertentu di
kehidupan dunia ini, sedangkan hukum-hukum juga dapat menyampaikan seseorang kepada
satu tujuan di akhirat.42
a. Abu Hanifah, An-Nu’man Bin Tsabit (80-150 H) Pendiri Madzhab Hanafi
Namanya al-Imam al-Azham Abu Hanifah, an-Nu'man bin Tsabit bin Zuwatha al-
Kufi. Dia adalah keturunan orang-orang Persia yang merdeka (bukan keturunan hamba
sahaya). Dilahirkan pada tahun 80 H dan meninggal pada tahun 150 H (semoga Allah SWT
merahmatinya). Dia hidup di dua zaman pemerintahan besar. Yaitu pemerintahan Bani
Umayyah dan Bani Abbasiyah. Dia adalah generasi atba' at-tabi'in. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa Abu Hanifah termasuk kalangan tabi'in. Dia pernah bertemu dengan
sahabat Anas bin Malik dan meriwayatkan hadist darinya, yaitu hadist yang artinya,
"Menuntut Ilmu adalah fardhu bagi setiap Muslim".43
Imam Abu Hanifah adalah imam ahlurra'yu dan ahli fiqih Iraq, juga pendiri madzhab
Hanafi. Asy-Syafi'i pernah berkata, "Manusia memerlukan al-Imam Abu Hanifah dapam
bidang Fiqih". Abu Hanifah pernah menjadi pedagang kain di Kufah. Abu Hanifah menuntut
ilmu hadist dan fiqih dari ulama-ulama yang terkenal. Dia belajar ilmu fiqih selama 18 tahun
kepada Hammad bin Abi Sulaiman yang mendapat didikan (murid) dari Ibrahim an-Nakha'i.
Abu Hanifah sangat berhati-hati dalam menerima hadist. Dia menggunakan Qiyas dan
istihsan secara meluas. Dasar madzhabnya ialah Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma', Qiyas, dan
Istihsan. Dia telah menghasilkan sebuah kitab dalam bidang Ilmu Kalam, yaitu al-Fiqh al-
Akbar dan dia juga mempunyai al-Musnad dalam bidang hadist. Tidak ada penulisan dia
dalam bidang ilmu fiqih.44

11
40-41. Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

42-44. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 1

b. Imam Malik bin Anas (93-179 H) Pendiri Madzhab Maliki.


Imam Malik bin Anas bin Amir Al-Asbahi ialah tokoh dalam bidang fiqih dan hadist
di Darul hijrah (Madinah) setelah zaman tabi’in. Dia dilahirkan pada zaman al-Walid bin
Abdul Malik, dan meninggal di Madinah pada zaman pemerintahan ar-Rasyid dia tidak
pernah keluar daerah meninggalkan Madinah. Sama seperti Imam Abu Hanifah, dia hidup
dalam dua zaman pemerintahan, yaitu pemerintahan Bani Umayyah, dan Bani Abbasiyah,
tetapi, hidupnya lebih lama pada zaman pemerintahan Bani Abbasiyah. Negara telah
berkembang luar dalam kedua masa pemerintahan ini, hingga kelautan Atlantik di barat dan
ke negeri China di timur. Juga, telah sampai ketengah-tengah benua Eropa, yaitu ketika
negara Spanyol berhasil dikuasai. 45
Imam Malik menuntut ilmu kepada Ulama-ulama Madinah. Diantara mereka adalah
abdul rohman bin hurmuz. Dia lama berguru dengan Abdul Rohman ini. Dia juga menerima
hadist dari para ulama hadist seperti Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Shihab az-Zuhri
gurunya dalam fiqih ialah Robi’ah bin Abdul Rohman, yang terkenal dengan robi’ah ar-
Ra’yi. 46
Imam Malik adalah imam dalam ilmu hadist dan fiqih kitab dia Al-Muwaththa’
adalah sebuah kitab besar dalam hadist dan fiqih. Imam asy-Syafi’i, “Malik adalah guru saya,
saya menuntut ilmu darinya. Dia adalah Hujjah diantara saya dengan Allah Tidak ada
seorang pun yang berjasa oada saya melebihi jasa Imam Malik. Jika nama ulama disebut,
maka nama maliklah yang paling bersinar”. Dia membangun madzhabnya berdasarkan dua
puluh dasar. Lima dari al-Qur’an dan Lima dari as-Sunnah. yaitu Nash al-Kitab zahirnya
yakni umumnya, mafhum al-mukhalafah, mafhumnya yakni mafhum al-muaaqoh,
tanbihnya yakni peringatan al-Qur’an terhadap ‘Illah seperti firman Allah, “... Karena semua
itu kotor atau Fisq.” (al-An’am ayat 145) 47
c. Muhammad Idris Asy-syafi'i (150-204 H) pencetus Madzhab Syafi’i.
Al-Imam Abu Abdullah, Muhammad bin Idris al-Quraisyi al-Hasyini al-Muththalibi
ibnul Abbas bin Utsman bin Syafi'i (rahimakumullah). Silsilah nasabnya bertemu dengan
datuk Rasulullah SAW yaitu Abdu Manaf. Dia dilahirkan di Ghazzah Palestina pada tahun
150 H, yaitu pada tahun wafatnya Abu Hanifah. Dan dia wafat di Mesir pada tahun 204 H 48
Setelah kematian ayahnya pada masa dia berumur dua tahun, ibunya membawa Imam
Syafi'i ke Mekah, yang merupakan kampung halaman asal keluarganya. Imam Syafi'i diasuh
dan dibesarkan dalam keadaan yatim. Dia telah menghafal Al-Qur'an semasa kecil. Dia
pernah tinggal bersama Kabilah Hudzail di al-Badiyah, satu Kabilah yang terkenal dengan
kefasihan bahasa arabnya. Imam syafi'i banyak mempelajari dan menghafal syair mereka.
Imam syafi'i adalah tokoh bahasa dan sastra Arab. Al-Ashmu'i pernah berkata bahwa syair
Hudzail telah diperbaiki oleh seorang pemuda Quraisy bernama Muhammad bin Idris, ini
jelas menunjukan bahwa dia adalah Imam dalam bidang bahasa Arab dan memainkan
peranan penting dalam perkembangannya.49

12
45-49. Prof Dr. Wahbah Azu-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 1

d. Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani (164-241 H) pencetus Madzhab Hambali.


Imam Abu Abdullah, Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Asad al-Zuhaili asy-Syaibani,
dilahirkan dan dibesarkan di Baghdad. Wafat disana pada bulan Rabi'ul Awwal, (semoga
Allah SWT merahmatinya). Dia telah mengembara untuk menuntut ilmu di beberapa kota
seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman, Syam, dan Jazirah.50
Imam Ahmad belajar fiqih kepada Imam asy-Syafi'i semasa dia berada di Baghdad.
Akhirnya, Imam Ahmad menjadi seorang mujtahid mustaqil. Jumlah gurunya melebihi 100
orang. Dia berusaha mengumpulkan As-Sunnah dan menghafalnya, hingga dia terkenal
sebagai Imam al-Muhaddifsun pada zamannya. Ini juga berkat kemurahan gurunya, Husyaim
bin Basyir bin Abu Khazim al-Bukhari al-Ashl (104 -183 H). 51
Dia adalah tokoh dalam bidang hadits, sunnah, dan fiqih. Ibrahim al-Harbi berkata,
"Aku memandang Ahmad, seolah-olah Allah SWT telah menghimpunkan ilmu ulama yang
terdahulu dan yang kemudian kepadanya." Ketika meninggalkan Baghdad menuiu ke Mesir,
Imam asy-Syafi'i berkata, "Aku keluar dari Baghdad dan aku tidak meninggalkan orang yang
lebih takwa dan paling alim di bidang fiqih selain Ibnu Hambal." 52
e. Abu Sulaiman bin Dawud bin Ali Al-Shifani Az-Zahiri.
Dia Dilahirkan di Kufah pada tahun 202 H dan meninggal di Baghdad pada tahun 270
H. Dia adalah pencetus Madzhab az-Zahir. 53
Dia merupakan pemimpin golongan ahli Zahir. Dia meletakkan asas madzhab ini, dan
kemudian dikembangkan oleh Abu Muhammad Ali bin Sa'id bin Hazm al-Andalusi (384-406
H) yang telah mengarang beberapa buah kitab, yang utama ialah al-Muhalla di bidang fiqih
dan al-lhkam fi Ushul al-Ahkam di bidang Usul Fiqih. 54
Imam Dawud adalah di antara hufazh Hadist (golongan yang sampai kepada martabat
al-Hafizh dalam Hadist), ahli fiqih yang mujtahid, dan mempunyai madzhab yang tersendiri
setelah dia mengikut Madzhab Syafi'i di Baghdad. 55
Asas Madzhab Zahiri ialah beramal dengan zahir Al-Qur'an dan As-Sunnah selama
tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dikehendaki darinya ialah bukan makna yang
zahir. fika tidak ada nash, maka berpindah kepada ijma dengan syarat hendaklah ia
merupakan ijma seluruh ulama. Mereka juga menerima ijma sahabat. fika tidak didapati nash
atau ijma, mereka menggunakan istishab, yaitu al-ibahah al-hasliyyah (kemubahan yang
natural/asal). 56
f. Zaid bin Ali Zainal Abidin Ibnul Husain Wafat (122 H).
Dia adalah imam golongan Syiah Zaidiyyah yang dianggap sebagai madzhab ke-5
selain madzhab yang empat. 57
Dia adalah imam pada zamannya dan merupakan ahli ilmu dalam berbagai bidang.
Karena ketinggian ilmunya di bidang 'Ulumul Qur'an, Qiro'at, dan fiqih, maka dia digelari
sebagai halif Al-Qur'an. Dia telah menulis kitab fiqih berjudul al-Majmu' merupakan kitab
fiqih yang tertua dicetak di Itali. Kitab ini telah disyarahi oleh al-Allamah Syarafuddin al-
Hussain ibnul Haimi al-Yamani ash-Shan'ani (meninggal 1221 H), dalam kitab yang berjudul
ar-Rawdhun Nadhir Syarh Maimu' al-Fiqh al-Kobir dalam empat.58

13
50-58. Prof. Dr. Wahbah Azu-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 1

Abu Khalid al-Wasithi merupakan rawi Hadist-hadist Majmu' dan pengumpul fiqih
madzhab Zaid. Dikatakan bahwa jumlah hasil karyanya mencapai 15 naskah kitab. Di
antaranya adalah kitab al-Majmu' di bidang Hadist, namun penisbatan kitab ini kepada imam
Zaid diragui.59
g. Al-Imam Abu Abdullah Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir Ali Zainal
Abidin Ibnul Husain (80-148 H/699-765 M) pencetus Madzhab Imamiyah.
Adapun Abu fa'far Muhammad ibnul Hasan ibnul Farrukh ash-Shaffar al-A'raj al-
Qummi (meninggal 290 H) adalah orang yang menyebarkan madzhab Syi'ah Imamiyyah
dalam bidang fiqih.60
Golongan Imamiyyah mengatakan bahwa 12 imam adalah maksum. Imam yang
pertama ialah Imam Abul Hasan Ali al-Murtadha, dan yang terakhir ialah Muhammad al-
Mahdi al-Hujjah, yang mereka dakwa dia tersembunyi dialah imam yang masih hidup. 61
Ibnu Farrukh ialah tokoh yang menyebarkan fiqih Syi'ah Imamiyyah di Persia dalam
kitabnya Baqta'ir ad-Darajat fi 'Ulum Aali Muhammad, wa Ma Khashshahumullah bih. Kitab
ini telah dicetak pada tahun 1285 H.62
Sebelum itu, kitab pertama kali dalam fiqih ialah risalah al-Halal wal-Haram yang
dikarang oleh Ibrahim bin Muhammad Abu Yahya al-Madani al-Aslami yang dia riwayatkan
dari Imam fa'far ash-Shadiq.63
Kemudian anaknya, Ali ar-Ridha menulis kitab Frqh ar-Ridha, dicetak pada tahun
274H Teheran. Ibnu Farrukh al-A'raj, muncul Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq al-Kulaini
ar-Razi yang merupakan syaikh golongan Syi'ah yang mati pada tahun 328 H. Dia telah
menulis buku al-Kafi fi 'IIm ad-Din. Di dalamnya terdapat 6.099 hadits yang diriwayatkan
melalui Ahlul Bait. Bilangan ini lebih banyak daripada bilangan hadits yang terdapat dalam
kitab hadits yang enam (yaitu al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan
Ibnu Majah).64
h. Abusy Sya'Tsa’ At-Tabi’i, Jabir bin Zaid (meninggal 193 H) pencetus Madzhab
Ibadiyyah.
Madzhab ini dinisbahkan kepada Abdullah bin Ibadh at-Tamimi [meninggal B0 H).
Jabir bin Zaid adalah ulama tabi'in yang mengamalkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dia murid
Ibnu Abbas r.a.. Usul fiqh lbadiyyah sama seperti usul madzhab-madzhab lain yang
berpegang kepada Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma, qiyas, istidlal, atau istinbath dengan semua
cara termasuk a/-rstih san, istishlah, mashalih mursalah, istishhab, qaul ash'Shahabi, dan lain-
lain. Pendapat yang muktamad menurut mereka ialah ilham yang diperoleh oleh orang selain
Nabi Muhammad saw. tidak dapat menjadi hujiah dalam hukum syara' bagi orang selain yang
mendapat ilham tersebut. Adapun seorang mujtahid yang mendapat ilham, maka ilham itu
tidak menjadi hujjah baginya kecuali dalam persoalan yang tidak ada dalil muttafaq 'alaih
(dipersetujui oleh semua) dalam penetapan hukumnya, dan itu merupakan istihsan yang
dikenal pada madzhab yang lain. Mereka tidak mau dinamakan al-Khawarij atau al-
Khawamis. Mereka lebih dikenal dengan Ahlud Da'wah, Ahlul Istiqamah, dan Jama'ah al-
Muslimin.65

14
59-65. Prof Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 1

H. Ijtihad, Ittiba’, Taqlid dan Talfiq.


a. Ijtihad.
Secara bahasa Ijtihad (‫ )اجتهاد‬berasal dari akar kata ‫ الجهد‬yang berarti at-Thaaqatu (‫الطا‬
‫ )قة‬artinya upaya sungguh-sungguh. Bentuk kata Ijtihad bersepadan dengan Ifti’al (‫ )افتعال‬yang
berarti menunjukkan arti keadaan lebih (mubalaghah) atau maksimal dalam suatu tindakan
atau perbuatan.66 Dimana bentuk kata mashdar-nya ada dua bentuk yang berbeda artinya:
1. Jahdun ‫ جهد‬dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius. Contohnya Firman
Allah SWT:
‫واقسمواباهلل جهد ايمنهم‬
Dan Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan... (QS. Al-An’am
(6): 109)
2.Juhdun dengan arti kesanggupan atau kemampuan yang di dalamnya terkandung arti sulit,
berat, dan susah. Contohnya Firman Allah SWT yang artinya
..... dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar
kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. (QS. At-Taubah (9): 79).
Jadi, secara bahasa ijtihad adalah berusaha atau berupaya dengan bersungguh-sungguh.
Ijtihad dalam pengertian istilah, menurut Al-Ghazali (w. 505 H) bahwa ijtihad adalah
pengerahan kemampuan oleh mujtahid dalam mencari tentang hukum syara’.

b. Ittiba’
Perkataan ittiba’ dalam bahasa Arab, berasal dari kata kerja (fi’il): ‘ittaba’a,
yattabi’u, ittiba’an, muttabi’un, yang berarti menurut atau mengikuti, seperti ungkapan: ‫اتبعه‬
‫( اومشنى خلفه‬Ia telah mengikutinya), maksudnya ia berjalan mengiringi di belakangnya.
Imam Ahmad berkata:
Ittiba” adalah kita mengikuti pendapat yang datang dari Nabi, dari Sahabat, kemudian yang
datang dari tabi’in yang diberikan kebajikan.
Jadi ittiba’ menurut ulama ushul fikih adalah mengikuti atau menuruti semua yang
diperintahkan dan menjauhi yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dengan perkataan lain
adalah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Rasulullah
SAW baik berupa perintah atau larangan. 67

15
66. Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Hal. 109

67. Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Hal. 154

c. Taqlid
Taqlid berasal dari kata qalada, yuqalidu, taqlidan, yang memiliki bermacam-macam
arti, antara lain: mengalungi, seperti: ‫( قلده القالدة‬Ia mengalungi-lehernya dengan kalung), dapat
berarti pula meniru seperti ‫( قلده من كذا‬Ia menirunya dari yang demikian), dapat bermakna
mengikuti, seperti ‫( قلده فى كذا‬Ia mengikuti seseorang tentang sesuatu) Para ahli ushul fikih,
mengartikan taqlid dengan: Penerimaan perkataan seseorang sedang engkau tidak
mengetahui dari mana asal perkataan itu.68
Atau taqlid merupakan suatu istilah yang berarti sebuah amalan. Istilah ini
pengertiannya berkembang berkenaan dengan seekor binatang qurban yang pada lehernya
digantungkan sebuah tanda dengan demikian binatang tersebut tidak akan digunakan untuk
kepentingan lain.69
d. Talfiq
Talfiq secara bahasa bermakna penemuan, perpaduan atau menggabung, atau
merapatkan dua tepi yang berbeda, seperti perkataan ‫( تلفيق الشوب‬mempertemukan dua tepi
kain kemudian menjahitnya).
Adapun secara istilah talfiq adalah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu
peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab.70

BAB 3
PENUTUP
A.Kesimpulan
Setelah membahas dan menguraikan penjelasan makalah ini, maka penulis dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ulama-ulama Fiqih kadang kala memiliki kesepakatan yang sama dan kadang kala
juga berbeda, ini dikarenakan banyaknya referensi-referensi dari berbagai Madzhab.
2. Setiap pendapat-pendapat Ulama pasti memiliki kebenarannya masing-masing sesuai
Madzhab maupun Ilmu yang dipelajarinya.

16
68. Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Hal. 232

69. Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Hal. 324

70. Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Hal. 322

B.Saran-saran
Penulisan Makalah ini adalah upaya penulis untuk mengetahui dan memahami Ilmu
Fiqih dengan berbagai macam penjelasan, di samping itu perlu sekali penulis di bimbing oleh
Guru yang lebih memahami terkait Ilmu Fiqih.
Dengan adanya makalah ini, semoga kita bisa memahami penjelasan mengenai Ilmu
Fiqih ini. Namun, penulis sudah berupaya untuk mencapai gambaran yang sempurna. Penulis
mengucapkan mohon maaf sebesar-besarnya. Sekian dan cukup kiranya Penulis
mengucapkan Terima kasih.

Sumber Referensi

Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih,

Prof Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 1

Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

e. Khairil, Sumber Hukum Islam https //repository.uinsu.ac.id

http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195510071990011-DEDENG_ROSIDIN/SUMBER_HUKUM.pdf

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mahkum_Fih

TAHKIM, Jurnal peradaban dan Hukum Islam,

Fiqih jinayah, Nurul Irfan, M. Musyrofah.

Ilmu Ushul Fiqih, Muhammad Abu Zahrah

https://ushulfiqih.com/hukum-taklifi-dan-wadhi/

17

Anda mungkin juga menyukai