Anda di halaman 1dari 27

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Ijtihad

Pasca Rasulullah SAW wafat, aktifitas Ijtihad merupakan tren keilmuan

yang berkembang pesat. Keberadaannya berfungsi sebagai pelayanan umat,

merekomendasikan solusi problematika aktual yang berkembang dengan corak

kehidupan tiap-tiap generasinya, tanpa terlepas dari mainstream syariat.

Sehingga lahirlah kekayaan dibidang ilmu fiqih yang tiada taranya dalam sejarah.

Iklim keilmuan semacam ini berlangsung hingga pertengahan kurun waktu tahun

ke empat hijriyah.

Kata ijtihad (Al- ijtihad) berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah

(daya, kemampuan atau kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al

masyaqqah (kesulitan, kesukaran) dari itu secara harfiah, ijtihad adalah suatu

ungkapan dari pengerahan daya kemampuan untuk mewujudkan sesuatu yang di

tuju. Karenanya, kosakata ijtihad hanya digunakan untuk sesuatu yang

mengandung beban dan kesulitan. Sedangkan secara terminologis, terdapat

beberapa pendefinisian sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa pakar, yaitu:1

1. Pengerahan kemampuan dalam mendapatkan pengetahuan bertaraf asumtif

(zhann) atas hukum-hukum syara, dengan upaya maksimal dimana

kemampuan diri tidak dapat lagi memberikan sesuatu yang lebih dari itu.

1
Abdullah Umar, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Forum Karya Ilmiah, 2004), Hlm 314
10

Definisi ini diungkapkan oleh Al-Amudi dan ibn Al-Hajib. Dengan

pengertian ini ijtihad hanya belum mencakup pengetahuan bertaraf zhanni,

kebenaran qathi (pasti) belum tercakup didalamnya.

2. Pengerahan kemampuan dari seorang mujtahid dalam mencapai keyakinan

atas hukum-hukum syara. Definisi yang diungkapkan Al-Ghazali ini

berkebalikan dari definisi pertama, yakni hanya mengkaitkan ijtihad dengan

objek hukum berdimensi kebenaran pasti, padahal sebagian besar produk

ijtihad adalah pengetahuan bertaraf zhanni.

3. Pengerahan kemampuan dalam menentukan hukum-hukum syara. Definisi

yang dilontarkan Al-Baidlawi ini mencakup dimensi kebenaran rasio

(aqliyah) dan dokstrinsial (naqliyyah), kebenaran pasti (qathi) dan

kebenaran asumtif (zhanni).

4. Al-Zarkasyi mendefinisikan bahwa ijtihad adalah pengerahan segala

kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syariat berdimensi praktik

(amaliyah) dengan jalan menggalinya dari sumber-sumbernya(istinbath).

Definisi mengecualikan aktifitas penggalian hukum-hukum syariat

berdimensi keyakinan.

Sedangkan pengertian ijtihad yang sering dikemukakan para ulama ushul

al fiqh adalah definisi Imam al-Ghazali yang dikutib oleh Ahmad Zahra, ijtihad

adalah Pengerahan kemampuan seseorang mujtahid dalam rangka memperoleh

pengetahuan tentang hukum syara. 2

2
Ahmad Zahra, Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta: LKiS, 2004), Hlm 97
11

Definisi diatas setidaknya mengandung tiga unsur ijtihad, yaitu:

1. Pengerahan segenap kemampuan, yang berarti ijtihad merupakan usaha

jasmani, rohani, tenaga, pikiran, waktu maupun biaya dan bukan ala

kadarnya.

2. Seorang mujtahid, yang mengandung arti bahwa ijtihad hanya mungkin dan

boleh dilakukan oleh seorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu,

sehingga mencapai tingkatan mujtahid, dan bukan oleh sembarang orang.

3. Guna memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara yang

mengandung arti bahwa capaian ijtihad adalah ketentuan hukum yang

menyangkut tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan pengamalan

ajaran agama.

Dikalangan ahli fiqih, ijtihad merupakan terminology yang berjenjang.

Ada yang digolongkan ijtihad mutlaq. Ada juga yang disebut ijtihad muqoyyad

atau muntasib. Yang pertama adalah ijtihad seorang ulama dalam bidang fiqih,

bukan saja menggali hukum-hukum baru, melainkan juga memakai metode baru,

hasil pemikiran orisinil. Inilah tingkatan ijtihad para peletak madzhab, yang pada

pertumbuhan fiqih, sekitar abad 2-3 hijriyah, jumlahnya mencapai belasan. Tapi

karena seleksi sejarah akhirnya yang bertahan dalam arti diikuti mayoritas umat

Islam hanyalah empat; Abu Hanifah (peletak madzhab Hambali), Malik bin Anas

(peletak madzhab Maliki), Muhammad bin Idris as-Syafii (peletak madzhab

Syafii), dan Ahmad bin Hanbal(peletak madzhab Hanbal).


12

Sedang ijtihad muqayyad atau muntasib adalah ijtihad yang terbatas pada

upaya penggalian hukum (istinbath al ahkam), dengan piranti atau metode yang

dipinjam dari hasil pemikiran orang lain. Misalnya, dalam lingkup madzhab

Syafii kita mengenal nama-nama, seperti an-Nawawi, artinya Rofii atau imam

haramain. Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan fungsi itu dengan

otoritas yang diakui(mutamad), tetapi metode (manhaj) yang digunakan adalah

manhaj Imam Syafii.3

Dalam hal ini, ijtihad bukan saja mencari kebenaran atau hukum-hukum

yang berhubungan dengan hukum fiqih yang ada, melainkan juga membahas

masalah-masalah yang berkaitan dengan isu sentral dalam sejarah pemikiran

politik dan termasuk juga pemikiran politik islam.

Pencarian konsep tentang Negara merupakan salah satu isu sentral dalam

sejarah pemikiran politik, termasuk pemikiran politik Islam. Pemikiran politik

Islam sesungguhnya merefleksikan upaya pencarian landasan intelektual bagi

fungsi dan peranan Negara atau pemerintahan sebagai faktor instrumental untuk

memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Pemikiran politik Islam

dalam hal ini merupakan ijtihad dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam

dalam konteks system dan proses politik yang sedang berkembang.4

B. Syarat-Syarat Ijtihad

3
Sahal Mahfud, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 2003), Hlm 38-39
4
Ridwan, Paradigma Politik NU Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik, (Yogyakarta;
Pustaka pelajar, 2004), Hlm 146-147
13

Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan sebagai pekerjaan

mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan

tersendiri. Jadi, tidak dapat dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme

Islam tidak memilih-milih para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan

menyangkut ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi

permasalahannya bukan disitu, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang

memerlukan kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak mungkin semua orang

akan dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu.

Seperti dalam dunia kedokteran, memang hak semua orang untuk bisa berbicara

tentang kesehatan, tetapi tidak semua memiliki otoritas melakukan diagnosis dan

membuat resep, kecuali dokter. Sebab jika semua orang diberi wewenang

melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatna adalah bahaya bagi kehidupan

manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua orang melakukan ijtihad

maksudnya: ijtihad mutlak, maka akibatnya pun akan membahayakan kehidupan

umat.5

Dalam sejarah Islam, terdapat banyak tokoh ahli yang berhasil

merumuskan jalan pendekatan (pembangunan madzhab) atau mujtahid yang

meliputi berbagai bidang, terutama di bidang fiqih. Di dalam berijtihad para

mujtahid menggunakan beberapa metode, dan dua diantaranya yang paling

banyak dipergunakan (semua madzhab mempergunakan), yaitu ijma dan qiyas.

5
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad As Syaukani Relavansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), Hlm 87
14

Maka lazim disebutkan bahwa dasar-dasar ajaran Islam bersumber kepada Al-

Quran, Hadist, Ijma, Qiyas, meskipun Ijma dan Qiyas berada di bawah Al-

Quran dan Hadist. Dalam rangka menggali dan mengembangkan hukum islam

para imam madzhab mengadakan pemeriksaan dan penelitian yang mendalam

dari sumber-sumbernya dengan menggunakan metode yang kemudian

melahirkan kaidah-kaidah fiqhiyyah, dan yang kemudian melahirkan ilmu ushul

al-fiqh. Untuk pertama kali kaidah-kaidah ini disusun secara sistematis oleh

Imam Syafii.6

Ijtihad mesti disertai pemahaman, sedang setiap pemahaman memerlukan

keahlian, sementara keahlian membutuhkan persyaratan. Sebagaimana halnya

setiap ilmu ada ahli dan pakar di bidangnya yang telah memenuhi persyaratan

sesuai ketentuan dalam bidang tersebut. Orang yang tidak ahli di bidangnya tentu

tidak dapat dan tidak boleh memaksakan diri untuk berijtihad.7

Ada banyak rumusan mengenai persyaratan mujtahid yang diajukan para

ulama dengan variasi peristilahan yang berbeda namun dapat dikatakan

mengandung substansi yang hamper sama. Disini cukup dijelaskan persyaratan

yang dianggap pokok dan menjadi semacam kesepakatan ulama yang

mengemukakan syarat-syarat bagi seseorang yang berhak dan layak menjadi

mujtahid, yaitu:

6
Roziqin Daman, Mendidik NU Dilema Percaturan Politik NU Paska Khitthoh, (Yogyakrta:
Gama Media, 2001), Hlm 26-27
7
Ahmad Zahra, Tradisi Intelektual NU , Hlm 107
15

1. Menguasai al-Quran dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya. Penguasaan

terhadap al-Quran yang dimaksud adalah hafal (kalau mungkin) atau

hamper hafal seluruhnya dan memahami kandungannya, terutama ayat-ayat

yang terkait dengan hukum, yang menurut al-Ghazali ada sekitar 500 ayat.

Sedang yang dimaksud ilmu-ilmu terkait dengan pehaman al-Quran antara

lain ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat, nasikh-mansukh (penggantian

suatu ayat dengan ayat yang lain).

2. Menguasai al-Hadits al-shahih(hadist yang sahih) terutama yang

berhubungan dengan hukum dan harus memahami ilmu-ilmu yang berkait

dengannya, seperti ilmu dirayah dan riwayah, sebab-sebab wurud

(terjadinya) Hadits dan sebagainya. Seorang mujtahid tidak dituntut hafal

semua Hadits tentang hukum, melainkan cukup mengetahui letaknya ketika

hendak dipergunakan. Tetapi jika hafal seluruh ayat maupun hadist hukum

tentu lebih baik dan sempurna.

3. Menguasai ilmu ushul al-fiqh beserta kaidah-kaidahnya. Penguasaan

terhadap ilmu ini penting karena dengannya dapat diketahui kaidah-kaidah

istinbath hukum yang berguna untuk memastikan suatu dalil dan mengambil

suatu kesimpulan dalam rangka menetapkan hukumsuatu masalah. Al-

Ghazali menganggap penguasaan terhadap ilmu ushul al-fiqh merupakan

syarat yang penting di samping ilmu hadist dan ilmu bahasa.

4. Memahami tujuan pokok syariat Islam (maqosid asy-syariah). Seorang

mujtahid harus mengetahui tujuan-tujuan pokok syariat Islam agar tidak


16

keliru lantaran terjebak dan terpaku pada hukum-hukum yang bersifat juziy

(bagian) tanpa mempertimbangkan maksud-maksud hukum yang bersifat

kulliy (keseluruhan).

5. Harus bertaqwa kepada Allah SWT. Syarat ini terutama dikaitkan dengan

dapat diterima atau tidaknya fatwa yang dikeluarkan sebagai hasil ijtihad

yang dilakukan, dan tidak berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki untuk

melakukan ijtihad.8

6. Mengetahui obyek ijma mujtahid generasi terdahulu, sehingga seorang

mujtahid tidak mencetuskan suatu hukum yang menyalahi garis consensus

pendahulunya. Dalam permasalahan ini, seorang mujtahid tidak harus hafal

semua permasalahan yang telah disepakati dalam forum ijma. Yang menjadi

keharusan hanyalah memastikan bahwa hukum yang dicetuskan tidak

melanggar garis consensus para mujtahid, adakalanya sintesa hukum yang

tercetuskan tersebut bersesuaian dengan salah satu madzhab ulama, atau ia

memiliki dugaan kuat bahwa kasus yang dihadapinya merupakan

permasalahan kontemporer yang belum mendapatkan penyikapan hukum

dari generasi sebelumnya.

7. Memiliki cakrawala luas dalam penguasaan bahasa arab dari sisi vocabulary

(lughat), gramatika (nahwu-sharf), sastra dan gaya bahasa (maani-bayan),

dengan sekedar pengetahuannya untuk memahami komunikasi orang arab

8
Ibid, Hlm 108-110
17

dengan kebiasaan pemakaiannya, berupa kata-perkata dan susunan kata,

makna umum dan khusus, hakikat dan majas, serta mutlaq dan muqoyyad.9

Pembekuan kualifikasi ijtihad itu, satu sisi untuk menghindari aktifitas

yang liberal, akan tetapi di pihak lain, berdampak pada menurunnya aktifitas

ijtihad yang pada gilirannya akan menciptakan generasi taklid pada diri umat

Islam.

Memang jika melihat sejarah, liberialisme patut dicurigai, karena ia

dapat memicu konflik internal berupa pertarungan ideologis antara faksi-faksi

politik islam, sebagaimana tampak misalnya pada kasus pemahlukan al-Quran

pada masa khalifah Mamun, yang kemudian menjadi perang terbuka antara

kubu sunni dengan mutazilah. Hanya saja, seperti dikatakan oleh Nurcholis

Majid, pelukisan tentang kegiatan ijtihad sebagai sesuatu yang sangat eksklusif

itu telah melahirkan persepsi salah. Umat Islam telah salah baca (misreading),

sehingga dalam sejarah masyarakat muslim sempat tumbuh pandangan yang

mentabukan ijtihad. Sikap pentabuan ijtihad ini bagaimanapun juga tidak bisa

dibenarkan, walaupun ia lahir dari obsesi para ulama akan ketertiban dan

ketenangan, khususnya dimasa-masa kekacauan menjelang keruntuhan Baghdad.

Harga yang di bayar mahal dari eksklusivisme itu adalah: Tenggelamnya umat

islam dalam lubang kegelapan (obscurantism) dalam pemikiran islam.10

9
Abdullah Umar, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Hlm 317-319
10
Sahal Mahfud, Era Baru Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Cermin, 2004), Hlm 55
18

Dari itu, al-Syaukani mengakui keabsahan penggunaan metode-metode

ijtihad yang digunakan oleh jumhur ulama ushul fiqih dalam batas-batas yang

masih terkait dengan teks-teks al-Quran dan Hadist. Oleh sebab itu,

sebagaimana akan dilihat, al-Syakhani tetap menggunakan qiyas, istinbath,

istihlah, sadd al-dzariah, tetapi dengan memberikan persyaratan-persyaratan,

agar tidak terlalu jauh keluar dari koridor nash-nash al-Quran dan Hadist. Al-

Syakuani mengatakan, sebagaimana di kutip oleh Nasrun Rusli dalam buku

Konsep Ijtihad As-Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di

Indonesia;

Seharusnya bagi seorang mujtahid, dalam melakukan ijtihad,

mempraktikkan dalam ijtihadnya dan bersikap konsisten atasnya dengan:

pertama hendaklah ia melihat nash-nash al-Quran dan al-Sunnah; jika nash-nash

itu ditemukannya, didahulukannya daripada yang lain. Akan tetapi, jika tidak

ditemukannya, ia (harus) berpegang dengan dzahir dari keduanya dengan

menggunakan manthuq atau mafhum-nya. Jika itupun tidak ditemukannya,

(hendaklah) ia memperhatikan perbuatan-perbuatan Nabi saw, sesudah ia taqrir

beliau bagi segelintir umatnya. Setelah itu (ia melihat) ijma, jika ia memandang

ijma dapat dijadikan hujjah. Kemudian (ia memperhatikan) qiyas dengan

menggunakan ketentuan illah, baik secara keseluruhan atau sebagian, sesuai

dengan yang dibutuhkan ijtihadnya.11

11
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad As Syaukani Relavansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia, Hlm 80
19

C. Metode Ijtihad

Adapun obyek pembahasan ushul fiqh adalah segala sesuatu yang

berkaitan dengan metode yang digunakan oleh faqih (ahli hukum Islam) didalam

mengeluarkan hukum dari dalilnya. Jadi, ushul fiqh membahas dan menjelaskan

cara-cara beristimbath : bagaimana cara menetapkan hukum dari dalil-dalilnya. 12

Seperti yang dikatakan Muhammad Salam Madzkur yang dikutip oleh Ahmad

Zahra dalam buku yang berjudulTradisi Intelektual NU, bahwa metode ijtihad

dibagi menjadi tiga macam, yaitu Metode bayaniy, qiyasiy dan istislahiy.13

1. Metode bayaniy

Metode ijtihad bayaniy adalah suatu cara istinbath (penggalian dan

penetapan) hukum yang bertumpu pada kaidah-kaidah lughawiyah

(kebahasaan) atau makna lafaz. Metode ini membicarakan cara pemahaman

suatu nas, baik al-Quran maupun as-Sunnah, dari berbagai aspek yang

mencangkup makna lafaz sesuai bentuknya (am: umum, khas: khusus,

mutlaq: tak terbatas, muqayyad: terbatas, amr: perintah, nahy: larangan, serta

lafaz musytarak: bermakna ganda), makna lafaz sesuai pemakaiannya

(haqiqah: makna asal/sebenarnya, majaz: bukan arti sebenarnya), analisis

lafaz sesuai kekuatannya dalam menunjukkan makna (muhkam, mufassar,

nas dan zahir, atau mutasyabih, mujmal, musykil dan khafiy) dan analisis

12
A.Jazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan dan penerapan hokum Islam, (Jakarta:
Kencana, 2006), Hlm 21
13
Ahmad Zahra, Tradisi Intelektual NU,Hlm. 110
20

dalalah suatu lafaz (yang menurut ulama Hanafiyah ada empat macam

dalalah, yaitu al-ibarah, al-isyariyyah, ad-dalalah dan al-iqtida; sedang

menurut ulama Malikiyah, Syafiiya dan Hanabilah ada dua macam, yaitu:

mantuq dan mafhum, yang masing-masing terbagi dua, yakni mantuq sarih:

yang jelas dang hair sarih: yang tidak jelas, serta mafhum muwafaqah dan

mukhalafah).14

2. Metode qiyasiy

Metode ijtihad qiyasiy adalah suatu cara istibath hukumdengan

membawa sesuatu yang belum diketahui hukumnya melalui nas (baik al-

Quran maupun as-Sunah) dalam rangka menetapkan atau menafikan

hukumnya karena ada sifat-sifat yang mempersatukan keduanya. Dalam

pelaksanaannya, metode ini membutuhkan terpenuhinya empat unsure, yaitu

kejadian yang sudah ada nasnya (asl), kejadian baru yang belum ada

ketetapan hukumnya (far), sifat-sifat khusus yang mendasari ketentuan

hukum (illah) dan hukum yang dilekatkan pada kejadian atau peristiwa

yang sudah ada nasnya (hukm al-ash). Termasuk dalam kategori metode

qiyasiy adalah istihsan, yaitu beralih dari suatu hasil qiyas kepada hasil

qiyas lain yang lebih kuat, atau mentakhsis hasil qiyas dengan hasil qiyas

lain yang lebih kuat.

Husain Hamid Hasan mengutip as-Sarakhsi menjelaskan bahwa

istihsan pada hakekatnya melakukan dua kajian qiyas. Hasil kajian pertama
14
Ibid.
21

cukup jelas kaitannya dengan asl, tapi kurang relevan dengan kebutuhan

masyarakat, sedang hasil kajian kedua kurang kuat kesamaannya dengan asl

tetapi cukup relevan dengan kebutuha masyarakat. Dalam rangka mencari

yang terbaik (istihsan), mujtahid beralih dari hasil qiyas pertama kepada

hasil qiyas kedua. Hal ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan riil

masyarakat yang sesuai dengan asas kemaslahatan.15

3. Metode istislahiy

Metode ijtihad istislahiy adalh cara istinbath hukum mengenai suatu

masalah yang bertumpu pada dalil-dalil umum, karena tidak adanya dalil

khusus mengenai masalah tesebut dengan berpijak pada asas kemaslahatan

yang sesuai dengan maqasid asy-syariah (tujuan pokok syariat islam) yang

mencangkup tiga kategori kebutuhan, yaitu dururiyyat (pokok), hajiyyat

(penting) dan tahsiniyyat (penunjang). Beberapa metode yang dapat

dikategorikan sebagai metode istislahy adalah al-masalih al-mursalah

(kemaslahatan yang tidak terdapat acuan nasnya secara eksplisit), al-istishab

(pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya boleh), baraah az-zimmah

(pada dasarnya seseorang itu tidak terbebani hukum, yang popular dengan

istilah asas praduga tak bersalah), sadd az-zarai (menutup jalan yang

menuju pada terjadinya pelanggaran hukum) dan urf (adat-kebiasaan yang

baik).16

15
Ibid,Hlm 111
16
IbidHlm 112
22

Untuk melaksanakan metode ijtihad istislahy ada beberapa

persyaratan yang yang harus dipenuhi, yaitu:

1) Maslahat harus bersifat pasti dan bukan stereotype (klise).

2) Kemaslahatan harus menyangkut hajat orang banyak dan bukan pribadi

atau golongan tertentu saja.

3) Tidak berujung pada terabaikannya prinsip-prinsip yang telah ditetapkan

dalan al-Quran dan as-Sunnah.

D. Sumber Hukum

1. Al-Qur'an

Menurut pengertian Ahli Ushul, dimaksud dengan dalil adalah

sesuatu yang dijadikan dalil bedasarkan perundang-undangan yang benar

atas hukum syara tentang tindakan manusia, baik secara qothi maupun

dhonni. Menurut definisi Ulama yang paling populer definisi dalil adalah

sesuatu yang diambil dari padanya hukum syara mengenai tindakan manusia

secara mutlak, baik qothi maupun dhonni. Dengan demikian mereka

membagi dalali itu kedalam dua kelompok besar yakni dalalah yang qothi

dan dalalah yang dhonni.17

Surat-surat Al Quran tersebut ada yang diturunkan di Makkah

dan ada yang di Madinah. Yang diturunkan di Makkah dinamai dengan surat

17
Zain Amiruddin, Ushul Fiqh, (Surabaya: eLKAF, 2006), Hlm 39
23

Makaiyah, sedangkan yang turun di Madinah dinamai dengan surat

Madaniyah.

Ciri surat Makiyah adalah umumnya surat dan ayatnya pendek-

pendek, isinya menitik beratkan ketauhidan. Sedangkan surat Madaniyah

panjang-panjang dan umumnya titik berat isinya masalah hukum.

Allah SWT berfirman yang artinya:

Dan demikianlah kami telah menurunkan Al Quran itu seagai peraturan

(hukum) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti bahwa nafsu

mereka, setelah datang ilmu pengetahuan kepadamu, maka tidak sekali-kali

ada pelindung dan pemeliharaan bagimu terhadap siksa Allah.18

Kemudian menurut Imam Al Qorafi dan Syekh Izzuddin, bahwa

hampir semua ayat Al Quran tidak lepas dari istinbath hukum. Setiap ayat

yang menyebutkan tentang siksa atau celaan terhadap sesuatu perbuatan

dapat dipandang sebagai dalil pengharaman terhadap perbuatan tersebut.

Sebaliknya sesuatu ayat yang mengandung pujian atau pahala terhadap

sesuatu perbuatan dapat dipandang sebagai suatu anjuran, yang bisa berarti

wajib atau nadab.

Pada dasarnya, walaupun secara garis besar, ayat-ayat Al Quran itu

tidaklah sepi dari pada hukum-hukum, ada diantaranya ayat yang sudah

18
IbidHlm 67
24

mengandung hukum secara jelas, namun ada juga yang memerlukan

istinbath. Namun demikian, para ulama berselisih paham perihal jumlah ayat

hukum itu. Imam Al-Ghozali, yang disepakati oleh Al-Qodhi ibnu Farobi,

Al-Rozzi, Ibnu Qudamah menyatakan bahwa ayat hukum itu jumlahnya ada

500 ayat. Sedangkan menurut Abdullah Ibnu Mubarok ayat hukum itu ada

900 ayat.19

Allah SWT dalam keterangannya anatara lain menyatakan bahwa Al-

Quran ini disebut sebagai Al-Dzikra, hal ini jelas mengandung maksud Al-

Quran itu adalah berisi peringatan-peringatan dan pelajaran yang menuntut

ummat manusia kejalan yang lurus, petunjuk antara berbagai macam

petunjuk. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hal ini mengandung

konsekwensi logis bahwa Al-Quran mengandung hukum-hukum tertentu

yang mengatur hidup dan kehidupan ummat manusia. Pada ghalibnya Al-

Quran itu tidaklah sepi dari hukum-hukum yang mengandung adab maupun

akhlaq yang terpuji. Ada diantara ayat-ayat yang jelas keterangan hukumnya,

tetapi ada pula yang perlu difahami dengan melakukan istinbath dengan cara

ijtihad.

Hampir semua ayat tidak lepas dari istinbath hukum, kecuali yang

betul-betul mutasyabihat, yang hanya diketahui rahasianya oleh Allah SWT.

Ayat Al-Quran yang berisi kisah atau cerita pun sebenarnya juga merupakan

petunjuk yang mengandung masalah hukum, yakni mendorong untuk

19
Ibid...,Hlm 68
25

berbuat atau tidak berbuat, mendorong untuk melakukan perintah atau

menjauhi larangan. Sesuatu kisah yang di dalamnya mengandung makna

kandungan celaan bisa difahami bahwa perbuatan yang dicela itu mengarah

untuk tidak dilakukan, atau dengan bahasa lugasnya mengandung larangan

berbuat seperti perbuatan yang dicela itu.20

Al-Quran adalah sumber fiqih yang pertama dan paling utama. Agar

tidak terjadi tumpang-tindih dengan pengantar Ilmu Tafsir, maka dalam

membahas Al-Quran ini tidak disajikan hal-hal semacam ayat Makiyah dan

Madaniyah serta ciri-cirinya, kemujizatan Al-Quran, ayat pertama dan

terakhir, pengumpulan Al-Quran dan lain sebagainya. Hal-hal yang

disajikan di sini adalah sejauh yang menyangkut hukum dalam Al-Quran.

Yang dimaksud dengan Al-Quran adalah Kalam Allah yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mushaf bebahasa

arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dan membacanya

mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat al-fatihah dan diakhiri

dengan surat An-Nas.21

Hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran ada tiga macam

yaitu:

20
Ibid , Hlm 66-67
21
A. Jazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan dan penerapan Hukum Islam, (Jakarta:
Kencana, 2006), Hlm 63
26

a. Hukum-hukum Itiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan

dengan keimanan kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Kitab-Kitab

Allah, kepada para Rasulullah, dan kepada Hari Akhir.

b. Hukum-hukum Khuluqiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan

dengan akhlak. Manusia wajib berakhlak yang baik dan menjauhi

akhlak yang buruk.

c. Hukum-hukum Amaliah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan

perbuatan manusia. Hukum-hukum amaliah ini ada dua macam yaitu

mengenai ibadah dan muamalah dalam arti luas.22

Bagian yang ketiga inilah yang menjadi bahan kajian Ilmu fiqh.

Berdasarkan penelitian para ulama hukum, dalam Al-Quran yang

berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-Ahwal Al-Syakhshiyah

disebut lebih terperici dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa manusia memerlukan tuntunan yang lebih

banyak dari Allah SWT., dalam hal berbadah dan pembinaan keluarga. Dari

pengalaman sejarah, manusia sering menyeleweng menjadi orang-orang

yang menganggap makhluk menjadi Tuhannya atau menyekutukan Tuhan.

Hal ini adalah sesat dan perlu diluruskan. Sedangkan keluarga adalah unsur

terkecil dari masyarakat dan akan memberi warna kepada masyarakat yang

akan dibentuk.

22
Ibid...,Hlm 63
27

Adapun dalam bidang-bidang lain yang pengaturannya bersifat

umum sudah tentu sangat besar sekali manfaatnya. Karena dengan

pengaturan yang bersifat umum itu Al-Quran bisa diterapkan dalam

berbagai macam masyarakat dan terhadap berbagai macam kasus sepanjang

zaman. Jadi, hukum-hukum yang bersifat umum itu memiliki daya

fleksibilitias yang tinggi dalam menghadapi berbagai macam perubahan

masyarakat. Sedangkan perincian dari hukum-hukum yang bersifat umum ini

diserahkan kepada ijtihad para mujtahid, kemudian kepada para ulil amri,

hasil ijtihad mana yang akan diterapkan sesuai dengan kemaslahatan

masyarakatnya. Dengan demikian hukum Islam memberikan peluang kepada

masyarakat manusia untuk berubah, maku dan dinamis, namun perubahan,

kemajuan dan kedinamisannya harus tetap dalam batas-batas prinsip-prinsip

umumnya. Prinsip-prinsip umum tersebut merupakan pengarah menuju

masyarakat yang baik yang ada dalam maghfirah dan ridho Allah SWT.

Prinsip umum itu antara lain Tauhidullah, persaudaraan, persatuan dan

keadilan.

Kebijaksanaan Al Quran dalam menetapkan hukum menggunakan

prinsip-prinsip :

a. Memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan

b. Menyedikitkan tuntutan

c. Bertahap dalam menerapkan hukum

d. Sejalan dengan kemaslahatan manusia


28

2. Al-Sunnah Atau Al-Hadist

Al Imam Abu Zahro, mendefinisikan Al-Sunnah adalah Sunnah

Nabi baik sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau maupun taqrir beliau.23

Seperti telah dijelaskan bahwa ayat-ayat Al-Quran al Karim pada

umumnya bersifat kulli. Penjelasan-penjelasan lebih jauh dari ayat-ayat

tersebut dapat ditemukan dalam Al-Sunnah.

Yang dimaksut dengan Al-Sunnah di sini adalah berupa perbuatan,

perkataan atau diamnya Nabi SAW, yang bisa jadi dasar hukum. Oleh karena

itu, ada Sunnah Filiyah, Sunnah Qawliyah dan Sunnah Taqririyah. Sunnah

yang terakhir bisa terjadi apabila sahabat berbuat atau berkatan dan Nabi

tahu akan hal tersebut, akan tetapi beliau diam tidak memberikan komentar

apa-apa.

Al-Sunnah menjadi hujah, bisa dijadikan sumber hukum karena :

a. Allah menyuruh untuk taat kepada Rasulullah. Taat kepada Rasulullah

adalah juga berarti taat kepada Allah.


Apa yang diberika Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang

dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (Al Hasyr; 7). 24

Masih banyak nash-nash lain baik ayat Al-Quran ataupun Sunnah Nabi

yang semakna dengan apa yang telah dikemukakan diatas.

23
Zain Amiruddin, Ushul Fiqh , Hlm 72
24
Departemen Agama RI, Al-Quran Terjemah (Jakarta: Syamil Cipta Media, 2009), hlm. 545.
29

b. Rasulullah mempunyai wewenang untuk menjelaskan Al-Quran, seperti

dijelaskan dalam Firman Allah:25

Barang siapa yang mentaati Rasulullah sesungguhnya ia telah mentaati

Allah. (An-Nisa; 80)

Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan

kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. (An-

Nahl ; 44)

c. Ijma sahabat, dan dibuktikan pula oleh Hadits Muadz bin Jabal yang

menerangkan urutan-urutan sumber hukum.26

Adapun sebabnya Al-Sunnah menjadikan sumber hukum yang

kedua adalah :

a. Wurudl Al-Quran qathi seluruhnya, sedangkan Al-Sunnah banyak

yang wurudl-nya dhanni.

b. Al-Sunnah merupakan penjelasan terhadap Al-Quran, yang

dijelaskan sudah barang tentu menempati tempat yang pertama dan

penjelasannya menempati tempat yang kedua.

25
A. Jazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan dan penerapan Hukum IslamHlm. 70.
26
Ibid., 72.
30

c. Urutan dasar hukum yang digunakan oleh para sahabat yang

menempatkan Al-Sunnah pada tempat yang kedua.

Ditinjau dari kehujjahannya dan rujukan didalam pembentukan hukum

Islam, maka hubungan As Sunnah dengan Al-Quran itu sebagai urutan yang

mengeringi atau sebagai urutan sesudah Al-Quran. Yakni rujukan para

Mujtahid dalam mengistinbathkan hukum pertama dengan memeriksai Al-

Quran kemudian kalau tidak ada ayat yang relevan maka dicarilah dalam Al-

Sunnah itu.

Ditinjau dari segi hukum yang ada, maka tidak lebih dari tiga masalah

ini.

a. Al-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada di dalam Al-

Quran. Dengan demikian hukum semacam ini memiliki dua sumber dan

terdapat pula dua dalil. Misalnya Al-Quran mengajarkan bahwa shalat itu

merupakan kewajiban bagi orang mukmin yang telah ditentukan

waktunya. Kemudian hadits juga menyatakan bahwa salah satu amalan

yang terpuji adalah shalat pada waktunya. Misalnya puasa Ramadlan itu

dimulai dari terbitnya fajar shidiq, baik dari Al-Quran maupun Al-Sunnah

juga menerangkan yang demikian.

b. Al-Sunnah sebagai penjelas atau penafsir dari ketentuan hukum yang ada

dalam Al-Quran, dalam hal ini Al-Sunnah menjelaskan tentang

Mujmalnya Al-Quran, Amnya Al-Quran, Mutlaqnya Al-Quran.

Misalya tentang Mujmalnya Al-Quran adalah perihal perintah


31

mengerjakan shalat, Al-Sunnah lah yang merinci bagaimana tata cara

pelaksanaan shalat itu. Contoh lain tentang Amnya Al-Quran, yakni

perihal ketentuan asnaf penerima zakat adalah delapan asnaf, lalu Al-

Sunnah mengkhususkan tentang zakat fitrah khusus bagi orang miskin

saja. (Lebih lanjut simak dalam pembahasan dalil am dan mujmal

mubayan).

c. Al-Sunnah membentuk dan menetapkan hukum tersendiri yang tidak

terdapat dalam Al-Quran, misanya perihal tata cara makan, pesta dan lain

sebagainya.

E. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Hukum

Jika kita memasuki kawasan hukum Islam (fikih), maka kita tidak akan

lepas dari terjadinya perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Hal ini disebabkan

obyek bahasan fikih biasanya adalah masalah-masalah ijtihadiyah, yaitu masalah

yang untuk menentukan hukumnya harus dilakukan ijtihad lebih dahulu. Sebagai

contoh, dalam masalah hukum membaca Quran bagi orang yang sedang haid,

terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan

hukumnya tidak boleh, dengan alasan bahwa pada saat sedang haid, manusia

dalam keadaan tidak suci dan ada Hadis yang melarangnya. Ada pula yang

membolehkannya, dengan alasan tidak ada dalil yang menunjukkan

ketidakbolehannya. Contoh lainnya adalah seorang istri yang ditalak tiga oleh
32

suaminya. Istri yang dalam keadaan seperti ini tidak boleh dirujuk oleh suaminya

kecuali jika ia telah menikah dengan suami baru dan suaminya yang baru itu telah

menceraikannya. Inilah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Quran

surat al-Baqarah (2): 230. Yang diperselisihkan adalah apakah istri dan suaminya

yang baru itu harus melakukan persetubuhan terlebih dahulu sebelum mereka

bercerai. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa sebelum diceraikan, istri harus

disetubuhi dahulu oleh suaminya yang baru. Akan tetapi Saied ibn Musyayyab

berpendapat bahwa suami pertama boleh menikah kembali dengan istrinya itu

setelah diceraikan oleh suami barunya, walaupun belum disetubuhi. Kedua contoh

ini merupakan masalah yang masuk dalam wilayah fikih. Oleh karena itu, dalam

menetapkan hukumnya, keduanya tidak luput dari terjadinya perbedaan pendapat.

Faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih sangat banyak,

sehingga di antara para ulama terjadi perbedaan argumentasi tentang faktor apa

saja yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan-perbedaan itu dalam fikih.

Dalam makalah ini penulis mencoba menggabung argumentasi-argumentasi para

ulama tersebut. Faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu adalah:

1. Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash.

Kesahihan suatu nash (dalam hal ini Hadis) kadang-kadang diperdebatkan.

Ada ulama yang mau menerima kesahihan suatu nash dan ada pula yang

menolaknya. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam menilai
33

tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad

suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Ada seorang

mujtahid yang menggunakan suatu Hadis sebagai hujjah karena perawinya ia

anggap dapat dipercaya, tetapi oleh mujtahid lainnya Hadis tersebut ditolak,

karena, menurutnya, perawi Hadis itu tidak dapat dipercaya.

2. Perbedaan dalam memahami nash.

Dalam suatu nash, baik Quran maupun Hadis, kadang-kadang terdapat kata

yang mengandung makna ganda (musytarak), dan kata majazi (kiasan),

sehingga arti yang terkandung dalam nash itu tidak jelas. Terhadap nash yang

demikian ini, para ulama berbeda-beda dalam memahaminya. Misalnya kata

( qur) dalam surah al-Baqarah (2): 228 mempunyai 2 arti, suci dan

haid, sehingga dalam menafsirkan ayat tersebut para mujtahid berbeda

pendapat. Di samping itu, perbedaan pemahaman ini juga disebabkan

perbedaan kemampuan mereka satu sama lain.

3. Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang saling

bertentangan.

Dalam suatu masalah kadang-kadang terdapat dua atau lebih nash yang

bertentangan, sehingga hukum yang sebenarnya dari masalah tersebut sulit

diputuskan. Untuk memutuskannya biasanya para ulama memilih mana nash

yang lebih kuat (arjah) di antara nash-nash itu, atau mencari titik temu di

antara nash-nash tersebut. Dalam mengambil keputusan dan mencari titik

temu inilah biasanya para ulama berbeda pendapat.


34

4. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber intinbath.

Para mujtahid, dalam memilih suatu Hadis atau mencari suatu dalil,

mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda. Suatu Hadis, yang

oleh seorang mujtahid dijadikan sebagai dalil dalam suatu masalah, mungkin

saja ditolak oleh mujtahid lain dalam masalah yang sama. Hal ini disebabkan

sudut pandang mereka terhadap Hadis itu tidak sama. Ada mujtahid yang

mengambil perkataan atau fatwa seorang sahabat Nabi dalam memecahkan

suatu masalah, tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya, tidak mau

mengambil fatwa sahabat tersebut. Begitu pula ada mujtahid yang menjadikan

amaliah penduduk Medinah sebagai hujjah, tetapi oleh mujtahid lainnya

ditolak. Hal ini karena mereka mempunyai metode yang berbeda dalam

menentukan suatu hukum.

5. Perbedaan dalam perbendaharaan Hadis

Di antara para sahabat, kemungkinan besar, banyak yang koleksi Hadisnya

tidak sama dengan sahabat lainnya. Hal ini karena tidak mungkin mereka

selalu bersama-sama berkumpul atau mendampingi Nabi. Mungkin saja pada

saat sahabat yang satu sedang bersama Nabi sedangkan sahabat yang lain

tidak hadir, sehingga pada saat Nabi mengemukakan suatu masalah ia tidak

tahu. Oleh karena di antara para sahabat sendiri koleksi Hadisnya tidak sama,

maka sudah barang tentu di antara para mujtahid pun akan terjadi hal yang

sama. Perbedaan koleksi Hadis yang dimiliki para mujtahid ini pada

gilirannya akan menyebabkan mereka berbeda pendapat.


35

6. Perselisihan tentang illat dari suatu hukum

Perselisihan para mujtahid mengenai ilat (`illah = sebab) dari suatu hukum

juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih.

Sebagai contoh, dalam Islam kita diperintahkan untuk berdiri jika bertemu

dengan usungan jenazah. Para mujtahid berbeda pendapat tentang siapa

jenazah itu, orang Islam, orang Kafir, atau kedua-duanya. Sebagian besar

mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah kedua-duanya,

jenazah orang Islam dan Kafir. Jadi, umat Islam diperintahkan untuk berdiri

jika bertemu dengan usungan jenazah, baik jenazah orang Islam maupun

orang Kafir. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa perintah untuk berdiri

itu hanya terhadap jenazah orang Kafir. Hal ini karena di dalam sebuah Hadis

diterangkan bahwa pada suatu hari, ketika sedang berjalan, Rasulullah saw.

bertemu dengan jenazah orang Yahudi, lalu beliau berhenti dan berdiri.27

27
M. Imdadun R, Kritik Nalar NU, (Jakarta Selatan: LAKSPESDAM, 2002), hlm. 105.

Anda mungkin juga menyukai