Anda di halaman 1dari 12

ISLAM DAN KEBUDAYAAN LOKAL : MEMBINGKAI

NASIONALISME MELALUI TRADISI TUMPENG SEWU DALAM


MASYARAKAT MUSLIM SUKU OSING DI KABUPATEN
BANYUWANGI
Ulvia Nur Fianti
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Jember
Arimoh16@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mencari alternatif solusi melalui penghayatan nilai-nilai Islam
Nusantara untuk meminimalisir terjadinya ikhtilaf atau perbedaan pendapat terhadap
suatu tradisi yang ada di dalam suatu masyarakat muslim lokal. Adanya ikhtilaf terkait
tradisi tersebut dikarenakan belum adanya fatwa dari MUI (Majelis Ulama Indonesia)
terkait kebijakan formulasi terhadap tradisi lokal yang ada di tengah-tengah
masyarakat muslim. Belum adanya fatwa tersebut menyebabkan perbedaan paradigma
dalam menilai suatu tradisi yang ada di dalam masyarakat lokal sehingga disintegrasi
atau perpecahan akibat perbedaan pendapat antara masyarakat muslim mulai menjadi
ancaman. maka, Penelitian ini dengan mengambil sampel suatu tradisi yang ada di
masyarakat muslim Suku Osing diharapkan mampu memberikan pemahaman
terhadap hakikat kandungan nilai-nilai islam Nusantara yang ada di dalam suatu
tradisi masyarakat lokal agar ancaman disintegrasi,intoleransi, dan radikalisme yang
di era kontemporer ini menjadi isu yang menyebabkan perpecahan umat dapat
minimalisir.Untuk menjawab permasalahan tersebut, peneliti merumuskan pertanyaan
Bagaimana prosesi alkulturasi budaya lokal dan islam dalam tradisi tumpeng sewu
dan relevansinya terhadap nilai-nilai Islam Nusantara? Dan Bagaimana cara
meminimalisir ancaman disintegrasi,intoleransi,dan radikalisme dengan cara
penghayatan terhadap kandungan nilai-nilai Islam Nusantara? Metode penelitian ini
menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan sosiologis deskriptif
melalui pengumpulan data dari hasil observasi atau pengamatan, wawancara,
dokumentasi, tringulasi, dan gabungan. Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa tradisi
Tumpeng Sewu masyarakat muslim lokal Suku Osing di Banyuwangi merupakan
hasil dari alkulturasi budaya lokal dengan Islam dapat dilihat dari serangkaian prosesi
yang ada di dalam tradisi tersebut dan tujuan adanya tradisi tersebut. Tradisi tersebut
juga mengandung nilai-nilai Islam Nusantara yang tidak melupakan kearifan lokal dan
sangat menghargai toleransi. Dengan membumikan tradisi di tengah-tengah muslim
lokal seperti di Suku Osing Banyuwangi dan tidak memberangusnya dan juga
penghayatan terhadap serangkaian nilai-nilai Islam di dalamnya maka tidak akan ada
lagi yang namanya tindakan takfiri atau mudah mengkafirkan dan membidahkan,
tindakan intoleransi yang tidak berkedaban , dan ancaman disintegrasi yang
membahayakan. Sehingga tercipta Islam yang Rahmatan lil Alamin bukan Islam yang
Laknatan lil Alamin.
This study aims to find alternative solutions through appreciation of Islamic values of
the archipelago to minimize the occurrence ikhtilaf or differences of opinion on a
tradition that exist in a local Muslim society. The existence of ikhtilaf related tradition
is due to the absence of a fatwa from the MUI (Majelis Ulama Indonesia) related to
the formulation policy against local traditions that exist in the midst of Muslim
society. The absence of such a fatwa causes a paradigm difference in assessing a
tradition existing within the local community so that disintegration or division due to
differences of opinion between the Muslim community began to be a threat. Hence,
this study by taking samples of a tradition that exist in the Muslim community The
Osing tribe is expected to provide an understanding of the nature of the content of
Islamic values of the archipelago in a tradition of local communities for the threat of
disintegration, intolerance, and radicalism that in this contemporary era into The issue
that causes the division of the Ummah to minimize. To answer these problems,
researchers formulate the question How the procession of cultural alkulturation of
local and Islamic tradition in tumpeng sewu and its relevance to the values of Islam
Nusantara? And How to minimize the threat of disintegration, intolerance, and
radicalism by way of appreciation of the content of Islamic values of the archipelago?
This research method uses qualitative research type with descriptive sociological
approach through collecting data from observation or observation, interview,
documentation, tringulation, and combination. The result of this research is that the
Tumpeng Sewu tradition of local Muslim community of Osing Tribe in Banyuwangi
is the result of local cultural alculturation with Islam can be seen from a series of
procession that exist within the tradition and the purpose of the tradition. The tradition
also contains Islamic Nusantara values that do not forget local wisdom and highly
appreciate tolerance. By immersing traditions among local Muslims such as the Osing
Banyuwangi tribe and not suppressing it and also appreciating a series of Islamic
values in it there will be no such thing as the action of takfiri or easy to disbelieve and
exult, the act of intolerance is not beredaban , And dangerous threats of disintegration.
So that Islam is created that Rahmatan lil Alamin is not Islam that Laknatan lil
Alamin.
Kata Kunci :ikhtilaf, alkultuturasi, tradisi,tumpeng sewu, Islam Nusantara

.Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang plural, termasuk dalam hal tradisi dan keberagamaan.
Karna kemajemukan Indonesia ini, maka tercipta suatu karya seni yang merupakan hasil
karya, cipta , dan rasa masyarakat Indonesia. Hasil karya,cipta, dan rasa yang dibingkai
dalam suatu tradisi ini juga sangat beragam jumlahnya sesuai dengan adat atau kebiasaan
yang ada di dalam suatu masyarakat lokal. Islam adalah agama yang universal, sempurna,
lentur, elastis dan selalu dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.1 Islam dikenal
sebagai salah satu agama yang akomodatif terhadap tradisi lokal dan ikhtilf ulama dalam
memahami ajaran agamanya.2 Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW kepada seluruh
manusia dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang sosial budaya. Beliau
membebaskan manusia dari kegelapan peradaban menuju cahaya keimanan.3 Universalisme
Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras
dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat (al-Islam salih li kulli zamn wa makn).
Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa mereka bangsa yang
terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Risalah Islam adalah
hidayah dan rahmat Allah untuk segenap manusia.4 Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-

1
Said Agil Husin al-Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Cet. III; Jakarta: Ciputat
Press, 2003), h. 287-288.
2
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Islamika, 2008), h. 275-276.
3
Lihat: Shf al-Rahmn al-Mubr Kafr, al-Rahq al-Makhtm: Bahts f al-Srah alNabawiyyah al Shahibih
Afadal al-Shalah wa al-Salm (Cet. XXI; Mesir: Dr al-Waf, 2010), h. 21. Lihat pula: Hamilton A. R. Gibb,
Studies on The Civilization of Islam (USA: Beacon Press, 1962), h. 3.
4
Lihat: Umar Abd al-Jabbr, Khulshah Nr al-Yaqn f Srah Sayyid al-Mursaln (Surabaya: Slim Nabhn, t.
th.), h. 5. Lihat pula: Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1992), h.
425.
Anbiy/21: 107 yang artinya Dan tiadalah kami mengutus kamu, Melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam .5 Dan juga dijelaskan pula dalam Q.S. al-
Furqan/25:1 yang artinya Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Quran)
kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam (jin dan manusia) 6. Universalisme Islam merupakan suatu ajaran yang diterima oleh
seluruh umat Islam sebagai akidah. Persoalan universalisme Islam dapat dipahami secara
lebih jelas melalui sifat al-waqiiyyah (berpijak pada kenyataan obyektif manusia).7 Ajaran
universal Islam mengenai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud secara
substansial, tanpa menekankan simbol ritual dan tekstual.8 Ajaran Islam bukanlah agama
baru, melainkan agama yang sudah dikenal dan dijalankan oleh umat manusia sepanjang
zaman, karena sejak semula telah terbit dari fitrahnya sendiri.9 Islam sebagai agama yang
benar, agama yang sejati dan mengutamakan perdamaian.10 Sebagai agama rahmahtan li al-
lamn, agama Islam mampu mengakomodasi semua kebudayaan dan perabadan manusia
di seluruh dunia. Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara muslim mayoritas di
dunia, namun paling sedikit mendapat pengaruh arabisasi ataupun islamsasi, dibandingkan
dengan negara-negara muslim besar lainnya. Dua ciri paling utama dalam kesenian Islam
yakni arabesk dan kaligrafi, paling sedikit memengaruhi budaya Indonesia. Selain itu,
dalam proses Islamisasi di nusantara, penyebaran agama dan kebudayaan Islam tidak
menghilangkan kebudayaan lokal dan tidak menggunakan kekuatan militer dalam upaya
proses Islamisasi. Hal itu disebabkan karena proses Islamisasi dilakukan secara damai
melalui jalur perdagangan, kesenian, dan perkawinan dan pendidikan. Islamisasi juga terjadi
melalui proses politik, khususnya pada pemikiran politik Soekarno yang membuka lebar
bagi golongan Islam untuk mengislamkan negara dengan wilayah pengaruh yang relatif
besar.11 Di Indonesia , atau yang dulunya disebut Nusantara Islam berkembang melalui
proses yang panjang. Sejauh ini ada tiga teori yang menyatakan datangnya Islam ke
Indonesia. Teori Pertama, yang mengatakan bahwa asal-usul Islam di Nusantara adalah dari
Anak Benua India; dan bukan dari Persia atau Arabia. Teori ini kemudian terkenal disebut
teori India. Sarjana pertama yang mengatakan teori ini adalah Pijnappel, seorang pakar dari
Universitas Leiden, Belanda. Pijnappel mengaitkan asal-mula Islam di Nusantara dengan
wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, pembawa Islam ke Nusantara adalah orang-
orang Arab bermadzhab Syafii yang bermigrasi dan menetap di wilayah India. Teori
Pijnappel ini kemudian diamini dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana lain yang juga
berasal dari Belanda, seperti Snouck Hurgronje, Fatimi, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan
Moquette. Kedua , teori yang mengemukakan bahwa asal-usul Islam di Nusantara berasal
dari Arab dan/ atau Timur Tengah. Para pakar sejarah yang mendukung teori ini, di
antaranya: Arnold, Marrison, Crawford, Keijzer, Neimann, Hollander, dan Naquib Al-Attas.
Keijzer, misalnya, memandang bahwa Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar
pertimbangan kesamaan kepemelukan penduduk Muslim di kedua wilayah kepada madzhab
Syafii. Baru belakangan muncul dugaan bahwa asal-usul Islam di Nusantara bukan dari
India atau dari Timur Tengah, melainkan dari Cina. Selanjutnya, memosisikan dugaan ini

5
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2007), h. 461.
6
Ibid.,h. 502.
7
Lihat: M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat(Cet. I; Bandung: Mizan, 2007), h. 330-331.
8
Hamka, Islam: Rahmah untuk Bangsa (Cet. I; Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2009), h. 29-31.
9
M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Cet. I; Jakarta: PSAP
Muhammadiyah, 2005), h. 132-133.
10
Bruce Lawrence, The Quran: A Biography, diterj. Aditya Hadi Pratama, Al-Quran: Sebuah Biografi(Cet. I;
Bandung: Semesta Inspirasi, 2008), h. 2-4.
11
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid(Cet. I;
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 175.
sebagai teori ketiga). Menurut teori ketiga ini, komunitas Cina-muslim telah memberikan
kontribusi yang cukup besar atas berkembangnya Islam di Nusantara, khususnya Jawa.
Eksistensi Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya ditunjukkan
oleh kesaksian para pengelana asing, sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa maupun tradisi
lisan saja, tetapi juga didukung peninggalan-peninggalan purbakala Islam di Jawa.
Misalnya, ukiran padas di masjid kuno MantinganJepara, menara masjid pecinan Banten,
konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton Cirebon beserta taman
Sunyaragi, konstruksi masjid Demak, terutama soko tatal penyangga masjid beserta
lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya, semuanya
menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup kuat. Bukti lain adalah dua bangunan
masjid yang berdiri megah di Jakarta, yakni masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan
Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya
Cai).12 Islam yang berdialektika dengan budaya lokal tersebut pada akhirnya membentuk
sebuah varian Islam yang khas dan unik, seperti Islam Jawa, Islam Madura, Islam Sasak,
Islam Minang, Islam Sunda, dan seterusnya. Varian Islam tersebut bukanlah Islam yang
tercerabut dari akar kemurniannya, tapi Islam yang di dalamnya telah berakulturasi dengan
budaya lokal. Dalam istilah lain, telah terjadi inkulturasi. Dalam studi kebudayaan lokal,
inkulturasi mengandaikan sebuah proses internalisasi sebuah ajaran baru ke dalam konteks
kebudayaan lokal dalam bentuk akomodasi atau adaptasi. Inkulturasi dilakukan dalam
rangka mempertahankan identitas. Dengan demikian, Islam tetap tidak tercerabut akar
ideologisnya, demikian pun dengan budaya lokal tidak lantas hilang dengan masuknya
Islam di dalamnya Varian Islam lokal tersebut, untuk selanjutnya menyebutnya Islam kultural
terus lestari dan mengalami perkembangan di berbagai sisi. Islam kultural tetap menjadi ciri khas
dari fenomena keislaman masyarakat Indonesia yang berbeda dengan Islam yang ada di Timur
Tengah, maupun Eropa. Hal ini tidak lepas dari heterogenitas dan kemajemukan bangsa Indonesia
yang tidak dimiliki oleh bangsa mana pun di dunia. Sebagaimana mafhum, Indonesia sebagai
negara plural, tidak hanya beragam dari segi agama, keyakinan, budaya, suku bangsa dan juga
bahasa. Negeri ini juga multietnik (Dayak, Kutai, Banjar, Makassar, Bugis, Jawa, Madura, Sunda,
Batak, Aceh, Minang, Flores, Bali dan seterusnya) dan juga menjadi medan pertarungan berbagai
pengaruh multimental dan ideologi (India, Cina, Belanda, Portugis, Hinduisme, Buddhisme,
Konfuisme, Islam, Kristen, Kapitalisme, Sosialisme, dan seterusnya). 13 Heterogenitas dan
kemajemukan bangsa tersebut pada gilirannya menempatkan Indonesia sebagai negara yang unik,
khas, dan menarik. Demikian pun dengan pola keberagamaan yang dianutnya. Agama yang tumbuh
dan berkembang di Indonesia mau tidak mau harus berdialektika dengan budaya lokal yang
kemudian mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri. Sebagai salah satu varian Islam kultural
yang ada di Indonesia setelah terjadinya dialektika antara Islam dengan budaya Jawa, Islam Jawa
memiliki karakter dan ekspresi keberagamaan yang unik. Hal ini karena penyebaran Islam di Jawa
lebih dominan mengambil bentuk akulturasi, baik yang bersifat menyerap maupun dialogis. Pola
akulturasi Islam dan budaya Jawa, di samping bisa dilihat pada ekspresi masyarakat Jawa, juga
didukung dengan kekuasaan politik kerajaan Islam Jawa, terutama Mataram yang berhasil
mempertemukan Islam Jawa dengan kosmologi Hinduisme dan Buddhisme. Kendati ada fluktuasi
relasi Islam dengan budaya Jawa terutama era abad ke 19-an, namun wajah Islam Jawa yang
akulturatif terlihat dominan dalam hampir setiap ekspresi keberagamaan masyarakat muslim di
wilayah ini sehingga sinkretisme dan toleransi agama-agama menjadi satu watak budaya yang
khas bagi Islam Jawa 14 Kenyataannya, Islam di Jawa memang tidak bersifat tunggal, tidak monolit,
dan tidak simpel. Islam Jawa bergelut dengan kenyataan negara bangsa, modernitas, globalisasi,

12
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam (Cet: I : Bandung : Mizan,2010), h 34-45.
13
Supriyadi didik, Multikulturalisme dalam Keberagamaan (Cet. I; Jakarta: PT Gramedia Pustaka ,2004), h. 451
14
Sartono Kartodirjo,Islamisasi Peradaban(Cet I. Jakarta : PT Gramedia Pustaka,2005),h.112
kebudayaan lokal, dan semua wacana kontemporer yang menghampiri perkembangan zaman
dewasa ini. Dalam konteks ini, respon kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi Islam di
Indonesia dan Jawa khususnya sangat variatif, mulai dari konservatif, moderat, liberal, radikal,
hingga fundamentalis).15 Tulisan ini secara spesifik dimaksudkan mengkaji dinamika Islam kultural
yang ada, tumbuh, dan berkembang di Indonesia, khususnya yang terkait dialektika antara Islam
dan budaya lokal dalam suatu komunitas masyarakat muslim serta memberikan pemahaman atas
ikhtilaf ulama selama ini yang mperdebatkan adanya bidah dalam suatu tradisi lokal karena belum
adanya fatwa dari MUI terkait tradisi lokal yang belum dibuatkan kebijakan.

Rumusan/ Identifikasi Masalah :

Bedasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, adapun beberapa hal yang
menjadi pokok permasalahannya :
1. Bagaimana prosesi alkulturasi budaya lokal dan Islam dalam tradisi tumpeng sewu dan
relevansinya terhadap nilai-nilai Islam Nusantara ?
2. Bagaimana cara meminimalisir ancaman disintegrasi, intoleransi , dan radikalisme
dengan cara penghayatan terhadap kandungan nilai-nilai Islam Nusantara?
A. Tujuan Penulisan :
Adapun Tujuan penulisan berdasarkan Identifikasi masalah di atas adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui kandungan nilai-nilai Islam Nusantara pada suatu tradisi tumpeng
sewu dalam masyarakat muslim lokal.
2. Untuk memberikan alternatif solusi ancaman disintegrasi, intoleransi, dan radikalisme
melalui metode penghayatan terhadap nilai-nilai Islam Nusantara.
B. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, karya tulis ilmiah ini mampu memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu sosial budaya dan
keagamaan yang bisa memeperluas khazanah ilmu sosial, budaya yang berbasis Islam
Nusantara
2. Manfaat Praktis

Secara praktis, karya tulis ini diharapkan mampu menjadi sumbangsih pemikiran dan
bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan dalam pembuatan fatwa terkait tradisi
dengan penghayatan nilai-nilai Islam Nusantara dan Nasionalisme dalam suatu tradisi
masyarakat lokal.
Telaah Pustaka
Penelitian terdahulu yang relevan dengan judul peneliti adalah sebagai berikut:
1. Siti Lailatul Maghfiroh (2015) dari Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim dengan judul Mediasi perkara perceraian dalam Hukum Adat: Studi
kasus pada Suku Osing di Desa Kemiren Kec. Glagah Kab. Banyuwangi.
Undergraduate thesis. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Adapun pengupulan data yang
dilakukan penulis adalah menggunakan metode interview dan dokumentasi.
Dalam skripsi ini dibahas mengenai studi kasus pada suku Osing di desa kemiren.
Yang mana juga menjelaskan tentang kegitatan religi yang sudah menjadi adat

15
Hugiono dan P.K Poerwatana, Islamisasi Jawa( Cet.I.Jakarta : Bina Aksara, 1997) h.58
kebiasaan masyarakat suku Osing di desa kemiren. Salah satunya, slametan
tumpeng sewu atau biasa disebut bersih desa. Acara ini dilaksanakan pada hari
senin atau hari jumat pada minggu pertama bulan haji. Acara diawali dengan
menjemur kasur khas desa kemiren yaitu warna hitam dan merah.16
2. Risa Ika Kismalia (2016) dari Universitas Negeri Jember dengan judul Kebijakan
pemerintah Desa Kemiren dalam pelestarian tradisi (Tumpeng Sewu). Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif.
Adapun pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah menggunakan metode
observasi atau pengamatan, wawancara atau interview, dokumentasi, tringulasi
dan gabungan. Dalam skripsi ini dibahas tentang tradisi yang masih utuh di desa
kemiren kecamatan glagah kabupaten banyuwangi yakni Tumpeng Sewu.
Tumpeng Sewu merupakan tradisi yang cukup besar perayaannya dan didalamnya
terdapat pakem yang harus dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat juga meyakini
apabila tradisi ini ditinggalkan akan memberi dampak buruk. Namun peneliti
disini bukan menjelaskan tentang apa dampak buruk jika tidak menggelar acara
Tumpeng Sewu ini. Yang mana, penulis menjelasan bahwasannya dia melihat
masih banyak masyarakat Banyuwangi yang belum mengetahui tentang adat ritual
Tumpeng Sewu sementara banyak wisatawan asing datang berkunjung untuk
menontonnya. Padahal tradisi ini merupakan tradisi yang memiliki dmpak cukup
besar terhadap perekonomian masyarakat desa. Masyarakat banyuwangi yang
mengetahui pelaksanaan in memanfaatkanya dengan berjualan meskipun Cuma
satu hari. Pemkab Banyuwangi tertarik untuk membrandingnya kedalam program
Event Banyuwangi Festival agar lebih menarik. Salah satunnya adalah perayaan
adat dan tradisi di beberapa desa.17
Adapun persamaan dan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian penulis
adalah:

Persamaan
Peneliti satu dan peneliti dua sama-sama membahas adat ritual Tumpeng Sewu yang
dilengkapi dengan waktu pelaksanaan dengan segala persiapan yang dibutuhkan.

Perbedaan
1. Pada peneliti yang pertama cakupan yang diteliti lebih terfokus pada judul skripsinya
yakni Mediasi perkara perceraian dalam Hukum Adat: Studi kasus pada Suku Osing
di Desa Kemiren Kec. Glagah Kab. Banyuwangi. Undergraduate thesis. Bukan
terfokus pada penelitian tumpeng sewunya. Sedangkan penelitian penulis akan lebih
terfokus pada Akulturasi budaya local keislaman. Yang mana, penulis disini
nantinnya akan meneliti tentang kegitan religious dalam pelaksanaan adat ritual
Tumpeng Sewu. Serta bagaimana Akulturasi budaya local ini dapat menjadi icon
budaya di Banyuwangi khususnya di Desa Kemiren itu sendiri. Dan kegiatan adat
ritual Tumpeng Sewu dapat menjadi salah satu tempat pariwisata yang banyak di
kunjungi Mancananegara.

16
Siti Lailatul Maghfiroh, Mediasi perkara perceraian dalam Hukum Adat: Studi kasus pada Suku Osing di
Desa Kemiren Kec. Glagah Kab. Banyuwangi, 2015. (http://etheses.uin-malang.ac.id/156/8/11210116-
BAB%20IV.pdf, diakses tanggal 15 April 2017), hal, 50
17
Risa Ika Kismalia, Kebijakan emerintah Desa Kemiren dalam pelestarian Tradisi Tumpeng Sewu,2016.
(http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/77880/RISA%20IKA%20KISMALIA%20-
%20110910201009_.pdf?sequence=1, diakses tanggal 15 April 2017), hal, 26
2. Adapun penelitian yang kedua yakni meneliti tentang kebijakan pemerintah Desa
Kemiren dalam melestarikan tradisi Tumpeng Sewu. yang dibahas disini adalah
tingkat pengetahuan warga Banyuwangi sendiri yang masih banyak tidak mengetahui
tentang adat ritual Tumpeng Sewu. karena Banyuwangi sendiri dibagi menjadi
beberapa suku, mulai dari Osing(suku asli Banyuwangi), Jawa, Madura. Padahal,
sudah banyak dari turis asing yang datang ke Banyuwangi hanya untuk melihat dan
mengikuti jalannya adat ritual Tumeng Sewu itu sendiri. Ini perlu menjadi perhatian
bagi pemerintah desa kemiren itu sendiri agar adat tradisi ini tetap lestri. Serta
menambah minat pengunjung dari mancanegara yang ingin berkunjung ke sini.

A. Kerangka Teoritik
1. Akulturasi Budaya Lokal
Adanya akulturasi timbal balik antara islam dan budaya local diakui dalam ilmu
Ushul Al-fiqih bahwa adat itu dihukumkan artinya adat dan kebiasaan
masyarakat yaitu budaya local, yang mana merupakan sumber hukum dalam
islam. Dijadikan sumber hukum dalam islam yakni sekurang-kurangnya tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Karena Islam merupakan agama yang
berkarakteristik universal, dengan pandangan hidup mengenai persamaan,
keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan, serta memiliki konsep teosentrisme
yang humanistic sebagai nilai inti dari seluruh ajaran islam, dan karenanya
menjadi tema peradaban islam.18 Dan unsur-unsur yang bertentangan dengan
prinsip islam harus dihilangkan dan diganti.19 Kepercayaan dari siklus kehidupan
manusia, seperti upacara-upacara perkawinan, kelahiran dan kematian, juga
masih banyak dilakukan. Mereka percaya apabila upacara-upacara tersebut tidak
dilakukan akan mendatangkan bala atau musibah. Sedang agama merpakan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam kebudayaan.20 Tradisi-tradisi yang
telah menjadi budaya bersama menjadi media yang efektif untuk membangun
relasi antar umat beragama. Tradisi-tradisi budaya yang menyentuh dimensi
kerakyatan yang menjadi sarana membangun relasi yang sehat di tengah-tengah
masyarakat.21
2. Budaya Lokal Keislaman
Kebudayaan merupakan pengetahuan yang digunakan manusia sebagai pedoman
bagi seluruh tindakan manusia. Kebudayaan juga sangat diyakini kebenarannya
oleh masyarakat itu sendiri. Suatu kebudayaan dalam praktisnya diungkapkan
dengan upacara-upacara seperti pemujaan untuk menunjukkan kepada suatu
kepercayaan yang mereka anut. Dengan demikian, upacara traditional biasannya
berfungsi sebagai media komunikasi antara manusia dengan kekuatan lain yang
ada diluar diri manusia. Sedangkan, agama, religi merupakan system norma yang
mengatur hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan dengan alam
lainnya, serta sesuai dengan tata keimanan.22 Tiap agama tentu memiliki
kearifannya sendiri-sendiri mengenai bagaimana menghadapi persoalan
agamanya itu. Di dalam islam aturan sudah jelas bahwa untuk urusan dunia

18
https://jurnalfalasifa.files.wordpress.com/2012/11/6-a-s-n-a-w-a-n-islam-dan-akulturasi-budaya-lokal-di-
indonesia.pdf
19
http://paramadina.or.id/2015/08/07/akulturasi-islam-dan-budaya-lokal/
20
Yudi Hartono dkk, Agama dan Relasi Sosial menggali kearifan dialo, (Yogyakarta:LKiS Yogyakarta,2002),
hlm, 36
21
Ibid, hlm, 69
22
Akulturasi islam dan budaya local (http://jejakbudayaborneo.blogspot.co.id/2016/01/islam-dengan-budaya-
lokal.html) diakses pada tanggal 18 April 2017
tuhan sudah melimpahkan sepenuhnya pada kita. Kita diberi hak mengatur
sepenuh kehidupan dunia kita, kita memiliki otonomi penuh.
3. Konsep Budaya Lokal Tumpeng Sewu
Ritual merupakan bentuk perayaan atau upacara yang berhubungan dengan
kepercayaan dengan sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat dan merupakan
suatu pengalaman yang suci. Kepercayaan seperti ini jika dipercaya maka akan
mendatangkan suatu keberuntungan dan keberkahan karena percaya akan
hadirnya sesuatu yang sacral. Masyarakat desa kemiren percaya bahwa acara
seperti ini tidak boleh dilewatkan karena ini merupakan suatu perintah langsung
dari buyut cili (sang danyang desa). berikut akan dijelaskan tentang adat ritual
tumpeng sewu:
a. Pelaksanaan tumpeng sewu
Tumpeng sewu merupakan acara yang diadakan setahun sekali pada tanggal 1
Dzulhijjah atau seminggu sebelum hari raya idul adha dan dilaksanakan
setiap hari minggu atau kamis karena masyarakat kemiren percaya hari
minggu dan kamis merupakan hari keramat karena ini sudah dilakukan secara
turun temurun.dan acara ini dilakukan untuk bersih desa, serta sebagai
penolak bala atau musibah.23 Ritual tumpeng sewu akan dilaksanakan setelah
adzan magrib dengan didahului sholat berjamaah di Masjid Nur Huda.
Sebelum memakan tumpeng sewu warga diajak untuk berdoa bersama agar
desa kemiren dijauhkan dari segala bencana, dan penyakit.
b. Makna ritual tumpeng sewu
Tumpeng sewu merupakan ritual terbesar setelah (barong) ider bumi. Dikenal
dengan nama Dikenal dengan nama tumpeng sewu karena jumlah tumpeng,
salah satu hidangan wajib yang disiapkan pada acara puncak, sangat banyak
(satu keluarga minimal membuat satu tumpeng). Agar lebih menarik
wisatawan maka acara ini dinamakan tumpeng sewu. Selain itu, sewu satu
bilangan yang biasa disebut dalam kultur Jawa maupun Osing untuk
menyebutkan jumlah yang sangat banyak. Tumpeng ini adalah nasi berbentuk
kerucut dengan lauk pak khas Osing yakni Pecel Pithik (ayam panggang
dibalut parutan kelapa). Namun, sebelum memulai tradisi ini biasanya warga
bersama-sama mengawalinya dengan ritual mepe kasur. Beramai-ramai warga
menjemur kasur didepan rumah dari pagi hingga sore hari. Kasur yang dijemur
juga bukan sembarang kasur yakni kasur khas warga kemiren yang berwarna
hitam dan merah. Masyarakat Osing meyakini dengan mengeluarkanya kasur
ini dapat membersihkan diri dari segala penyakit.24
4. Makna hidangan tumpeng sewu
Dalam konteks upacara tumpeng sewu, terdapat masing-masing serangkaian
hidangan yang masing-masing harus disesuaikan dengan tempat dan waktu
pelaksanaanya.25
a. Untuk upacara di makam buyut cili pada siang hari (kurang lebih pukul 02.00
siang)
Sego gurih semacam nasi uduk dan ditata diatas nampan yang terbuat dari
bamboo diatasnya ditutupi daun pisang diratakan agar bisa diberi beberapa
lauk seperti gimbal jagong, dadar telur, sate aseman daging sapi, abon ayam,

23
Melihat tradisi tumpeng sewu dari jemur kasur hingga kenduri, (http://komunita.id/2016/09/13/melihat-
tradisi-tumpeng-sewu-dari-jemur-kasur-hingga-kenduri/) diakses pada tanggal 19 april 2017
24
Moh. Syaiful dkk, Jagat Osing seni, tradisi, dan kearifan local osing, (Banyuwangi: Rumah Budaya Osing,
2015), hlm, 111
25
Ibid, hlm, 113
irisan mentimun, 2 paha dan 2 sayap ayam goreng yang ditata daan jeroan
ayam goring diletakkan ditengah. Lalu ditutup dengan daun pisang kembali
dan disemat dengan lidi agar tertutup.
Ayam kampong kuah lembaran
Ayam dipotong-potong dan dimasak dengan bumbu-bumbu.
Ramesan
Rengginang, peyek kacang, nogo sari, klemben, pisang raja, donat, lemper,
jenang dodol, keripik singkong dan bugis (mendot).

b. Hidangan ritual untuk sore harinya


Tumpeng srakat walau namanya tumpeng namun bentuknya tidaklah kerucut
dan penyajianya dengan cara dituang terbalik dari kukusan diatas tampah
yang sebelumnya sudah dialasi daun ilalang, daun waru, daun klantes, dan
daun sriwangkat. Daun-daun yang dibuat alas tersebut bukanlah hnya selembr
daun namun memiliki symbol-simblo tersendiri bagi masyarakat kemiren.
Setelah selesai nasi di tutup kembali dengan lembaran daun pisang berbentuk
bundar dan diatasnya diletakkan sayuran kukus muli dari koro, buncis, terong,
kacang panjang, kangkung, bayam, daun singkong dan sawi.
Jenang abang dan jenang putih jenang aang dibuat dari beras dikukus
sampai menjadi bubur dan diwarnai dengan gula merah. Penyantapannya
dilengkapi dengan kuah santan kental yang diberi garam sedikit agar gurih
Pala bungkil atau pala pendhem sabrang, sawi, bentul (talas), selok (labu
kuning).
Sego gulung nasi putih yang dibungkus daun pisang, didalamnya diletakkan
telur ayam rebus yang tidak dikupas kulitnya.
Jajan pasar klepon, putu, lemper, jenang abang, pisang goring, getihan
cengkaruk, dan para bungkil. Masing-masing ditaruh di dalam takir daun
pisang.
Jangan tawon masakan berkuah asam yang bahan dasarnya bayi tawon
(lebah).
Tumpeng pecel pitek nasi yang berbentuk kerucut yang melambangkan
gunung sebagai tempat persemayaman roh-roh suci, dalam roh ini yakni roh
buyut cili. Dan dihidangkan dengan pecel pitek.26
c. Makanan pada malam harinya
Pecel pitek suwiran ayam petentheng tanpa jeroan yang dibakar diatas bara
kayu bukan bara arang dicampur bumbu ala Osing. Dan makna dari pecel
pitek ini adalah semoga hal yang diupayakan membuahkan hasil yang baik.

B. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran-kebenaran secara sistematis, metedologis, dan konsisten.
Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konsturksi terhadap data yang
telah dikumpulkan dan diolah. Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.27
Dalam melakukan penelitian terhadap judul karya ilmiah ini, peneliti
menggunakan beberapa tekhnik atau metode penelitian sebagai berikut:

26
Ibid, hlm 116
27
Sugiyono, Metode Penelitian KualitatifDan R&D (Bandung: Alfabeta, 2002), 2.
a) Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini jika dilihat dari sumbernya merupakan penelitian kualitatif
deskriptif kepustakaan (library research) dan juga terdapat sampel dari hasil
wawancara dan kuesioner terhadap beberapa masyarakat suku osing. karena
peneliti mengandalkan dokumentasi berupa teori-teori dari berbagai buku sebagai
literature. Riset kepustakaan atau studi pustaka (library research) ialah
serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka,
membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.28
b) Pendekatan Penelitian
Adapun dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis karena
dalam penelitian ini peneliti berusaha berinteraksi pada kehidupan masyarakat dan
mengamati objek penelitian secara langsung.
Penelitian agama sering kali tertarik untuk melihat, memaparkan, dan
menjelaskan bebragai fenomena keagamaan. Juga kadang-kadang tertarik melihat
dan menggambarkan pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lain. Untuk
menggambarkan fenomena sosial keagamaan dengan baik, peneliti menggunakan
pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis ialah peneliti menggunakan logika-
logika dan teori sosiologi baik teori klasik maupun modern untuk menggambarkan
fenomena sosial keagamaan serta pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena
lain.29
c) Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research),
maka dalam teknik pengumpulan data peneliti menggunakan metode dokumenter,
yaitu mencari berbagai data dari hasil dokumentasi. Dokumenter merupakan
merupakan laporan tertulis mengenai peristiwa atau pengalaman dan ditulis
dengan sengaja untuk menyimpan atau meluruskan mengenai peristiwa tertentu.30
Sedangkan dalam definisi lain menjelaskan bahwa metode dokumentasi adalah
mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku,
surat kabar, prasasti, notulen dan sebagainya.31
1. Sumber Primer
Sumber utama dalam penelitian ini adalah wawancara dan dari kuesioner
terahadap beberapa masyarakat suku osing.
2. Sumber Sekunder
Ialah berbagai macam kepustakaan yang berwujud buku-buku yang
membahas dan mendukung segala macam hal yang terkait dengan judul
peneliti, jurnal, artikel dan Website terpercaya.
3. Sumber Tersier
Sumber yang memberikan petunjuk atau penjelasan mengenai sumber-
sumber data primer dan sekunder yang meliputi: kamus hukum, kamus
bahasa Indonesia, dan kamus-kamus lainnya.
d) Analisis Data
Metode yang digunakan dalam analisa data adalah deskriptif kualitatif yaitu
menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat teratur, logis, dan efektif
sehingga memudahkan intervensi data dan pemahaman hasil guna menjawab
permasalahan yang ada dan dapat menarik kesimpulan.
PEMBAHASAN DAN ANALISIS

28
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), 3.
29
Mastuhu, Metodologi Penetilian Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 20060, 127
30
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitan Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1980), 162.
31
Suharismi Arikonto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), 206.
Banyuwangi pernah menjadi perebutan kerajaan-kerajaan besar di Jawa dan Bali.
Tanahnya yang subur menjadikan Banyuwangi sebagai lumbung padi bagi kerajaan-
kerajaan tersebut. Keadaan terkuasai tersebut menyebabkan masyarakat mencari siasat
untuk dapat bertahan hidup dan mempertahankan identitasnya sebagai komunitas
budaya Using. Dalam suasana tertekan masyarakat terus berkreasi, memanfaatkan
berbagai bentuk seni dan ritual. Jejak kreasi tampak pada keragaman seni tradisi yang
saat ini hidup bersamaan dengan budaya pop yang lebih diminati masyarakat, terutama
generasi mudanya. Setelah kedatangan Datuk Ibrahim ke Banyuwangi Yakni Ulama
yang berasal dari Yaman, Masyarakat Banyuwangi terus berlomba-lomba memeluk
agama Islam. Dan hal ini menjadikan budaya Islam yang ada di Banyuwangi kaya akan
budaya Jawa-Hindu-Budha yakni Agama yang dianut suku Osing di Banyuwangi
sebelum memeluk Agama Islam. Dengan adanya hal ini, maka terjadilah alkulturasi
budaya antara budaya lokal dengan budaya Islam yakni berupa adat atau ritual yang di
dalamnya di selingi oleh tradisi Islam. di Banyuwangi. Selametan tumpengsewu di
laksanakan pada Hari Senin atau Hari Jumat pada minggu pertama bulan Haji.
Masyarakat Menggelar bersih desa dengan Tumpengsewu adalah budaya lokal yang
beralkulturasi dengan budaya Islam di Banyuwangi. ritual ini dikenal sebagai selametan
bersih desa. Artinya di percaya sebagai penjaga atau azimat dari suatu desa di
Banyuwangi agar terhindar dari bala. Dulu, ritual adat tumpeng sewu hanya di lakukan
di kampung osing Banyuwangi, yakni di Desa Kemiren. Sekarang sudah menjamur di
kecamatan-kecamatan yang ada di Banyuwangi seperti Kabat, Rogojampi, Glagah, dan
lain sebagainya. Bahkan oleh Bupati Banyuwangi H.Abdullah Azwar Anas M.Si
Dijadikan sebuah destinasi wisata karena dijadikan sebagai festival yang ada satu tahun
sekali cara makan bersama seribu nasi tumpeng (tumpeng sewu) dengan menu pecel
pitik dan hal ini di lakukan bebarengan dengan mebeng lurung (menutup jalan) agar
tidak ada kendaraan yang lewat di Jalan tersebut. Pelaksanaan Tumpeng Sewu diikuti
oleh seluruh masyarakat desa. Selamatan ini di mulai sejak pagi sekitar pukul 08.00
yang diawali dengan menjemur kasur di masing-masing halaman rumah dengan motif
yang sama yakni merah dan hitam. Setelah itu, semua masyarakat terutama kaum hawa
mulai menyiapkan menu pecel pitik yakni pecel kelapa yang dicampur dengan ayam
kampung yang dibakar. Persiapan Tumpeng dilaksanakan menjelang magrib dan
memasang oncor ajug-ajug (obor duduk) di pinggir jalan utama desa. Seusai
menjalankan sholat magrib masyarakat Desa Berkumpul di Jalan untuk melakukan
selamatan. Tradisi selamatan ini juga di kenal sebagai selamatan ngirim duo (mengirim
doa) yakni selamatan yang dilakukan untuk mengirim doa untuk leluhur atau anggota
keluarga yang sudah meninggal, hal ini merupakan kebudayaan islam lokal yang ada di
Banyuwangi. Masyarakatnya yang sebagian besar beragama Isla Hasil penelitian (mini
riset) tumpeng sewu ini adalah masyarakat di Desa Kemiren Banyuwangi merasa lega
dan aman karena telah melaksanakan prosesi sebagai wujud bakti kepada leluhur.
Dengan adanya konteks serta fungsi, menjadikan masyarakat suku Osing menjadi
bagian dari lingkungannya serta memiliki nilai religiusitas yang tinggi. Dengan adanya
kata atau kalimat yang berupa penanda kohesi dan koherensi, maka tuturan selamatan
bersih desa yang di dalamnya ada tradisi tumpeng sewu dan ngirim duo akan berjalan
secara hikmad selain bentuk alkulturasi antara budaya lokal dan budaya islam hal ini
juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah S.W.T karena telah memberikan
anugrah yakni rizki dan keselamatan. Dengan adanya struktur tuturan menjadikan
sesajian dapat tersampaikan, sehingga doa-doa di dalamnya bisa dihayati dan
merupakan harapan terkabulnya doa. Dengan adanya perpaduan budaya Islam Jawa-
Hindu-Budha dengan tidak keluar dari konteks ajaran Islam dalam presepsi Al-Quran
dan Al-Hadits maka Budaya Islam ini tidak kehilangan keautentikannya sebagai Islam
yang menghargai budaya (kearifan lokal) sehingga menjadi Islam yang Rahmatan lil
alamin.

Anda mungkin juga menyukai