Anda di halaman 1dari 22

MASLAHAH MURSALAH SEBAGAI SUMBER HUKUM EKONOMI DAN

KEUANGAN ISLAM

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah ushul fikih

Dosen Pengampu: Abdul Ghofar Saifudin, M.S.I

Disusun Oleh :

1. Diana Fitri (40222046)


2. Naila Tamamil Asna (40222050)
3. M. Daffa Syafik (40222052)
4. Febriani Elsa Saputri (40222054)

Kelas: Ushul fikih C

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


ISLAM UIN K.H. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan Rahmat-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Ushul fikih. Adapun
penyusunan Makalah ini bermaksud untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ushul
fiqih dengan judul “Maslahah Mursalah sebagai sumber hukum ekonomi dan keuangan
Islam.”

Kami Menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis dan pembaca.

Pekalongan, 9 Oktober 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbagai perkembangan produk dan inovasi ekonomi syariah memerlukan
landasan hukum yang kuat sehingga tetap sejalan dengan prinsip-prinsip syari‟ah.
Untuk itu pemahaman terhadap metode-metode penetapan hukum atas berbagai
transaksi dan inovasi keuangan tersebut menjadi sebuah keniscayaan. Maslahah
mursalah merupakan salah satu dari sekian banyak metode yang dapat dipergunakan
untuk penetapan hukum tersebut. Hal ini terutama dikarenakan seluruh hukum yang
termuat dalam Alqur‟an maupun hadis mengandung maslahah sehingga tidak
berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa dalam setiap aturan dan penetapan hukum
terkandung maslahah. Dalam tataran inilah maslahah mursalah sebagai kerangka
dasar dari ide pembaruan hukum ekonomi Islam sangat menarik untuk
diperbincangkan. Melalui pendekatan maslahah mursalah, berbagai bentuk transaksi
dan inovasi keuangan syariah tidak hanya memiliki landasan hukum sebagai dasar
untuk pengaplikasiannya, namun juga dapat ditelaah secara lebih mendalam tentang
kemaslahatannya secara holistic, komprehensif dan tuntas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Maslahah Mursalah?
2. Macam-macam Maslahah Mursalah?
3. Bagaimana Kehujahan Maslahah Mursalah?
4. Jelaskan Syarat-syarat penggunaan maslahah mursalah?
5. Pendapat ulama tentang maslahah mursalah sebagai sumber hukum islam ?
6. Jelaskan Aplikasi maslahah mursalah dalam ekonomi dan keuangan islam.?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Maslahah Mursalah
2. Mengetahui macam-macam Maslahah Mursalah
3. Mengetahui Kehujahan Maslahah Mursalah
4. Mengetahui Syarat-syarat penggunaan maslahah mursalah
5. Mengetahui Pendapat ulama tentang maslahah mursalah sebagai sumber
hukum islam

4
6. Mengetahui Aplikasi maslahah mursalah dalam ekonomi dan keuangan
islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maslahah Mursalah
Secara bahasa, maslahah berasal dari kata ‫ صهخ‬dengan penambahan “alif” di
awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”.
Kata mashlahah adalah bentuk masdar dari ‫الح‬DD‫ ص‬yaitu manfaat atau terlepas dari
padanya kerusakan.1
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun
makna. maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung
manfaat. Apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut
ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan
menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah yang dikemukakan
ulama usul fikih, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam
al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah mengambil
manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan shara’.
Imam al-Ghazali mengemukakan :

“Maslahah al-Mursalah adalah apa yang tidak ada dalil baginya dari shara’
dalam bentuk nas tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang
memperhatikannya”2
Maslahah Mursalah adalah Metode penegakan hukum yang sangat efektif
dalam merespon dan memberikan Solusi, seperti yang dilakukan oleh nabi
Muhammad, sahabat, tabi’in dan para ulama’. Pembahasan maslahah mursalah ini
sangat penting, sebab dapat dikatakan bahwa maslahah mursalah tesebut sebagai
pondasi bangunan syariat agama islam yang ditujukan untuk kepentingan umat
manusia sebagai hamba Allah dalam menyangkut kehidupan dunia maupun
akhiratnya. Salah satu kemaslahatan umat manusia yaitu mengenai konsep ekonomi.
Ekonomi merupakan kegiatan yang tidak terlepas dalam kehidupan seharihari. Agama
islam mempunyai pandangan positif mengenai aktivitas ekonomi. Semakin

1
Penerapan Maslahah Mursalah dalam Ekonomi Islam (Ahmad Qorib & Isnaini Harahap)
2
al-Mizan, Vol. 2, No. 1, Hlm. 1-136, Februari 2018, ISSN : 2085-6792

5
banyaknya manusia yang berkontribusi dalam aktivitas ekonomi, maka akan semakin
baik dalam tujuan maupun prosesnya. Dalam hal ini, aktivitas ekonomi berdasarakn
ajaran yang telah ditetapkan agama islam. Ketakwaan seorang hamba kepada Tuhan-
Nya akan membawa seseorang tersebut untuk melakukan kegiatan yang lebih
produktif.3
B. Macam-macam Maslahah Mursalah
Para ahli usul fikih mengemukakan beberapa pembagian maslahah jika dilihat dari
beberapa segi. Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli
usul fikih membaginya kepada tiga macam, yaitu:
a. Al-Maslahah adh-Dharuriyyah ( ‫رورية‬DD‫لحة الض‬DD‫)المص‬, yaitu kemaslahatan yang
berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu: 1). Memelihara agama, 2) Memelihara
jiwa, 3) Memelihara akal, 4) Memelihara keturunan, dan 5) Memelihara harta.
Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah, atau adh-
dharuriyyat al-khamsah.
Memeluk suatu agama merupakan fitrah dan naluri insani yang tidak bisa
diingkari dan sangat dibutuhkan umat manusia. Untuk kebutuhan tersebut, Allah
mensyari’atkan agama yang wajib dipelihara setiap orang, baik yang berkaitan
dengan ‘aqidah, ibadah, maupun mu’amalah. Hak hidup juga merupakan hak
paling asasi bagi setiap manusia. Dalam kaitan ini, untuk kemaslahatan,
keselamatan jiwa dan kehidupan manusia, Allah menshari’atkan berbagai hukum
yang terkait dengan itu, seperti shari’at qisas, kesempatan mempergunakan hasil
sumber alam untuk dikonsumsi manusia, hukum perkawinan untuk melanjutkan
generasi manusia, dan berbagai hukum lainnya.
Akal merupakan sasaran yang menentukan bagi seseorang dalam menjalani
hidup dan kehidupannya. Oleh sebab itu, Allah menjadikan pemeliharaan akal itu
sebagai suatu yang pokok. Untuk itu, antra lain Allah melarang meminum
minuman keras (khamr), karena bisa merusak akal pikiran dan hidup manusia.
Berketurunan juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam rangka
memelihara kelangsungan manusia di muka bumi ini. Untuk memelihara dan
melanjutkan keturunan tersebut, Allah menshari’atkan nikah dengan segala hak
dan kewajiban yang diakibatkannya.

3
Penerapan Maslahah Mursalah dalam Ekonomi Islam (Ahmad Qorib & Isnaini Harahap)

6
Terakhir, manusia tidak bisa hidup tanpa harta. Oleh sebab itu, harta
merupakan sesuatu yang daruri (pokok) dalam kehidupan manusia. Untuk
mendapatkannya Allah menshari’atkan berbagai ketentuan dan untuk memelihara
harta seseorang Allah menshari’atkan hukuman pencuri dan perampok. 4
b. Al-Maslahah al-Hajiyah ‫المصلحة الحاجية‬, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam
menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk
keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.
Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qasr) shalat dan
berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir; dalam bidang mu’amalah
dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan
melakukan jual beli pesanan (bay’ al salam), kerjasama dalam pertanian
(muzara’ah) dan perkebunan (musaqah). Semuanya ini dishari’atkan Allah untuk
mendukung kebutuhan mendasar al-masalih al-khamsah di atas.
c. Al-Maslahah at-Tahsîniyyah ‫ينية‬DD‫ المصلحة التحس‬, yaitu kemaslahatan yang sifatnya
pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.
Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus,
melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara
menghilangkan najis dari badan manusia.5
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat
menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Kemaslahatan
daruriyyah harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah, dan
kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyyah.

Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama usul fikih membaginya
kepada:
a. Al-Maslahah al-‘Ammah ‫ة‬DD‫لحة العام‬DD‫المص‬, yaitu kemaslahatan umum yang
menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak
berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan
mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya, para ulama membolehkan
membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘akidah umat, karena
menyangkut kepentingan orang banyak.
4
Nasrun Haroen, Usul Fikih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1422 H/2001 M), cet.III, Jilid I, hlm. 114
5
Abu Hamid al Ghazali, al-Mustashfa., Jilid I, 139; Abu Ishaq asy-Syatibi, alMuwafaqat fi Ushul asy-Shari’ah,
(Bairut: Dar al Ma’rifah, 1973), Jilid II, 8-9; Ibnu Qudamah, Raudah an-Nadir, (Bairut: Muassasah al Risalah,
1978), Jilid II, 414; Ibnu alHajib, Mukhtasar Muntaha, (Kairo: al Matba’ah al Amiriyyah

7
b. Al-Maslahah al-Khasshah ‫المصلحة الخاصة‬, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini
sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan
hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud).
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas
mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan umum
bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan kedua
kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada
kemaslahatan pribadi6
Dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut shara’ terbagi kepada:
a. Al-Maslahah al-Mu’tabarah ‫برة‬DD‫لحة المعت‬DD‫ المص‬, yaitu kemaslahatan yang
didukung oleh shara’. Maksudnya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk
dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya, hukuman atas orang yang
meminum keras dalam hadis Rasulullah Saw dipahami secara berlainan oleh
para ulama fikih, disebabkan perbedaan alat pemukul yang dipergunakan
Rasulullah Saw ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum
minuman keras. Ada hadis yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan
Rasul Saw adalah sandal/alas kakinya sebanyak 40 kali (HR. Ahmad ibn
Hanbal dan al-Baihaqi) dari Ali bin Abi Talib.
Adapun hadis tersebut adalah:
‫ جلده النبـي صلى اهلل عليه وسلم نحو أربعين بالنعال‬.
“Nabi menderanya sekitar 40 kali dengan sandal” Adakalanya dengan
pelepah pohon kurma juga sebanyak 40 kali (HR. Bukhari dan Muslim) dari
Anas bin Malik ia berkata :
‫فجلده بـجريدتين نحوأربعين‬
“Maka Nabi menderanya dengan pelepah kurma sekitar 40 kali”
Oleh sebab itu, Umar ibn al-Khattab, setelah bermusyawarah dengan para
sahabat lain, menjadikan hukuman dera bagi orang yang meminum
minuman keras tersebut sebanyak 80 kali dera. Umar ibn al-Khattab meng-
qiyas-kan orang yang meminum minuman keras kepada orang yang
menuduh orang lain berbuat zina. Logikanya adalah, seseorang yang
meminum minuman keras apabila mabuk, bicaranya tidak bisa terkontrol
dan diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina.

6
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa, Jilid I, hlm. 139; Abu Ishaq al Shatibi, alMuwafaqat, Jilid II, hlm. 9-
10; Ibnu Qudamah, Raudah an-Nadir, Jilid II, hlm. 44; Ibnu al-Hajib, Mukhtasar Muntaha, Jilid II, hlm. 240

8
Oleh karena adanya dugaan keras menuduh orang lain berbuat zina
akan muncul dari orang yang mabuk, maka Umar ibn al Khattab dan Ali ibn
Abi Thalib mengatakan bahwa hukuman orang yang meminum minuman
keras sama hukumannya dengan orang yang menuduh orang lain berbuat
zina.
Cara melakukan qiyas (analogi) ini, menurut para ulama usul fikih,
termasuk kemaslahatan yang didukung oleh shara’. Artinya, bentuk dan
jenis hukuman dera 80 kali bagi seorang yang meminum minuman keras
dianalogikan kepada hukuman seseorang yang menuduh orang lain berbuat
zina. Inilah yang dimaksud para ulama usul fikih dengan kemaslahatan yang
jenisnya didukung oleh shara’. Misal lain dari bentuk kemaslahatan yang
didukung oleh shara’ adalah seorang pencuri dikenakan hukuman keharusan
mengembalikan barang yang ia curi kepada pemiliknya apabila masih utuh,
atau mengganti dengan sama nilainya apabila barang yang dicuri itu telah
habis.
b. Al-Maslahah al-Mulghah ‫ المصلحة الملغاة‬, yaitu kemaslahatan yang ditolak
oleh shara’, karena bertentangan dengan ketentuan shara’. Misalnya, shara’
menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari
bulan Ramadan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau
puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin
(HR. Bukhari dan Muslim). Abu Hurairah berkata bahwa seorang laki-laki
datang kepada Nabi Muhammad Saw lalu ia berkata,
bahwasanya ia telah melakukan hubungan seksual di siang hari bulan
Ramadhan. Rasulullah berkata :
‫ أفتجد ما‬: ‫ قال‬،‫ ال‬:‫ أفتستطيع أن تصوم شهرين متتابعين؟ قال‬:‫ قال‬،‫ ال‬:‫أتجد ما تحرر رقبة؟ قال‬
‫تطعم به ستين مسكينا؟‬
“Apakah engkau bisa memerdekakan seorang budak?” Ia berkata : Tidak.
Kemudian Rasulullah berkata (lagi) : “Apakah engkau mampu berpuasa dua
bulan berturut-turut?” Ia berkata : Tidak. Rasulullah berkata (lagi): “Apakah
engkau mampu memberi makan 60 orang miskin?”
Al-Laits ibn Sa’ad (94-175 H/ahli fikih Maliki di Spanyol),
menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang (penguasa
Spanyol) yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di siang hari
Ramadan. Para Ulama usul fikih memandang hukuman ini bertentangan

9
dengan hadis Rasulullah di atas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus
diterapkan secara berurut. Apabila tidak mampu memerdekakan budak, baru
dikenakan hukuman puasa dua bulan berturut-turut. Oleh sebab itu, para
ulama usul fikih memandang mendahulukan hukuman puasa dua bulan
berturut-turut dari memerdekakan budak merupakan kemaslahatan yang
bertentangan dengan kehendak shara’: hukumannya batal. Kemaslahatan
seperti ini, menurut kesepakatan para ulama, disebut dengan al Maslahah al
mulghah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum.7
C. Kehujahan Maslahah Mursalah
Dalam ke-hujjah-an maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama ushul di antaranya: maslahah mursalah tidak dapat dijadikan hujjah
atau dalil menurut ulama-ulama Syafi’iyyah, ulama Hanafiyyah, dan sebagian ulama
Malikiyah seperti Ibnu Hajib dan mazhab Zahiriyah. Sementara maslahah mursalah
dapat menjadi hujjah atau dalil menurut sebagain ulama Imam Malik dan sebagian
ulama Syafi’iyyah, tetapi harus memenuhi syaratsyarat yang telah ditentukan oleh
ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mensyaratkan tentang
maslahah ini, hendaknya dimasukkan di bawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl
yang dapat di-qiyas-kan kepadanya dan terdapat ‘illat mudhabit (tepat), sehingga
dalam hubungan hukumitu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan.
Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan
syara’, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan
syara’ ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam pengakuan syar’I (Allah)
terhadap ‘illat sebagai tempat bergantunganya hukum, yang merealisasikan
kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil
yang mengakui kebenaranya. Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah
bahwa sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua
mazhab, karena mereka membedakan antara satu dengan yang lainnya karena
ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat. Di antara ulama yang paling banyak
melakukan dan menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik, dengan alasan
Allah mengutus utusanya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahatan. Kalau
memang mereka diutus demi membawa kemaslahatan manusia maka jelaslah bagi
kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara’ (agama) mengingat
hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat
7
Jalaluddin as-Suyuti, al-Jami’ ash-Shaghîr, (Bairut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th.), Jilid II, hlm. 61

10
Adapun dalil Al-Qur’an yang dijadikan dasar berlakunya maslahah mursalah adalah
firman Allah SWT dalam Qur’an Surah al-Anbiya: 107 :
‫َو َم ٓا َاْرَس ْلٰن َك ِااَّل َر َمْح ًة ِّلْلٰع َلِم َنْي‬
Artinya: “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam”
Atau Qur’an Surah Yunus: 57:

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari


Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”
Dalam ayat ini, Najmuddin al-Thufi mencoba membuktikan bahwa maslahah benar-
benar diperhatikan dan dijamin perwujudannya dalam syariat. Kemudian ditempuhlah
jalan pemikiran yang andal dengan cara menguraikan kandungan ayat tersebut secara
harfiyah dan hasilnya merupakan pembuktian yang legalistik dan syariat Islam uang
benar-benar memperhatikan dan menjamin perwujudan kemaslahatan umat manusia.
D. Syarat-syarat penggunaan maslahah mursalah
Untuk diterimanya maslahah mursalah, Imam al-Ghȃzali (405-505 H)
mensyaratkan dengan 3 syarat : Bersifat dharurat (pokok), artinya maslahat tersebut
berkaitan dengan pemeliharaan kebutuhan esensi manusia yang mencakup lima hal
pokok yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Bersifat qath’iyah (pasti).
Artinya apabila hal tersebut tidak dilakukan maka dipastikan akan terjadi kerusakan.
Bersifat kulliyah (menyeluruh). Artinya yang dilindungi tidak hanya kepentingan
personal, tetapi kepentingan secara umum. Al-Ghȃzali memberikan contoh yang tidak
termasuk kulliyah yaitu seperti halnya di dalam sebuah kapal yang akan tenggelam
terdapat sekelompok orang, dan satusatunya cara supaya kapal tidak tenggelam yaitu
dengan menenggelamkan sebagian orang yang ada di kapal supaya sebagian yang lain
selamat. Maka maslahat seperti ini ditolak karena sifatnya tidak menyeluruh. Sejarah
Implementasi Maslahah Mursalah atau Ishtislah. Implementasi Maslahah Mursalah
Pada Zaman Sahabat Pada hakikatnya, para sahabat tidak lalai dalam memutuskan
suatu hukum berdasarkan maslahah. Hal tersebut dipengaruhi oleh meluasnya
kekuasaan-kekuasaan Islam kala itu, yang mana hal-hal baru yang ditemukan
mendesak mereka untuk segera mengambil tindakan sesuai dengan maslahat bagi
kehidupan mereka. Adakalanya mereka menemukan perkara baru dan terdapat ashl
nash pada perkara lain yang serupa, dimana mereka dapat qiyas-kan perkara baru

11
tersebut dengan perkara yang telah disinggung di dalam nash, ataupun tidak terdapat
ashl nash yang mendesak mereka untuk mengambil keputusam hukum berdasarkan
konsep maslahah mursalah, selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an maupun
Sunnah.

E. Pendapat ulama tentang maslahah mursalah sebagai sumber hukum islam


1) Menurut As-Syathibi salah seorang ulama’ madzhab Maliki berpendapat, bahwa
mashlahah mursalah adalah prinsip syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus,
namun sudah sesuai dengan tindakan syara’ yang terdapat dalam dalil syara’.
Prinsip tersebut sah sebagai dasar hukum dan dapat dijadikan hujjah dan
digunakan sebagai syara’ yang qath’i. Mashlahah mursalah dapat dijadikan
sebagai landasan hukum :
a) Kemashlahatan sesuai dengan prinsipprinsip dalam ketentuan syar’i secara
ushul dan furu’ dan tidak bertentangan dengan nash.
b) Kemashlahatan hanya dapat diaplikasikan dalam bidang sosial kehidupan
sehari-hari.
c) Hasil mashlahah merupakan pemeliharaan dalam berbagai aspek kebutuhan
dan keinginan, baik kontemporer maupun yang lainnya. Seperti Daruriyah,
Hajjiyah dan Tahsiniyyah. Metode mashlahah sebagai cara untuk menghilangkan
kesulitan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama masalah muamalah. Dalam
firman Allah Qs. Al Hajj ayat 78

yang artinya: “Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan”.
2) Pendapat Abdul Wahab Khallaf, bahwa mashlahah mursalah dapat digunakan
untuk dasar ketentuan hukum Islam jika memenui beberapa ketentuan, yaitu:
a) Mashlahah haqiqi bukan mashlahah yang sifatnya hanya dugaan, tetapi harus
benarbenar penelitian yang serius dan tidak menerima kerusakan.
b) Mashlahah yang sifatnya umum, tidak sifat seorang yang hanya dikemukakan oleh
satu orang saja, bukan termasuk kepentingan perorangan saja, tetapi semua kalangan
masyarat seluruhnya.
c) Tidak bertentang dengan hukum yang telah ditentukan dalam nash Al-Qur’an,
hadits, dan ijma’.

12
3) Menurut Al-Ghazali menyatakan setiap mashlahah yang kembali kepada
pemeliharaan yang diketahui dalam nash alqur’an, hadits, dan ijma tetapi tidak
dipandang sebelah mata dari ketiga hukum tersebut dan tidak juga melalui metode
qiyas, maka mashlahah mursalah dapat dipakai. Jika memakai qiyas, maka harus ada
dalil asalnya. Cara mengetahui mashlahah yang sesuai dengan tujuan itu adalah dari
beberapa dalil yang tidak terbatas, baik dari al-qur’an, sunnah, maupun isyarat-isyarat
lainnya. Isyarat-isyarat tersebut memberikan arti, bahwa merujuk pada sesuatu harus
berdasarkan nash. Oleh karena itu, cara penggalian mashlahah bebas dari dalil yang
khusus, akan tetapi merujuk ke petunjuk umum dari dalil syara’ yang ada. Apabila
menafsirkan mashlahah dengan pemeliharaan, maka tidak ada jalan bagi semua orang
untuk berselisih dalam mengikutinya. Mashlahah mursalah suatu tindakan yang
dzaruriyah atau kebutuhan sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia.
Bahkan, wajib meyakini mashlahah sebagai hujjah agama, mashlahah mursalah dapat
dijadikan sebagai landasan hukum jika memenuhi beberapa syarat:
a) Mashlahah mursalah diterapkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
b) Mashlahah mursalah tidak bertentangan hukum dalam nash Al-Quran atau
Assunnah.8
4. Imam Ahmad bin Hanbal dan Ulama Hanabilah Ahmad ibn Hanbal dikenal ulama
sebagai seorang Imammazhab Hanbali. Beliau juga dikenal sebagai imam ahli
hadits. Beliau lebih senang mengamalkan hadits, meskipun hadits mursal.
Beliau berkata bahwa hadits dha’if lebih utama dari fikiran (ra’yu) seseorang. 9
Akan tetapi menurut Abdul Halim al- Jundiy, yang dikutip oleh Muardi
Chatib, bila beliau tidak menemukan nash, beliau berijtihad dan berfatwa
seperti para sahabat nabi, tabi’in dan pengikut mereka berijtihad dan berfatwa.
Karena para sahabat nabi, tabi’in dan atba’ut tabi’in banyak berijtihad
menggunakan pertimbangan mashlahah mursalah meskipun istilah ini belum
dikenal ketika itu Imam Ahmad mengikuti cara mereka dalam berijtihad.
Beliau beramal dengan mashlahah sebagaimana mereka beramal.10
Menurut ulama ushul fiqh Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan mashlahah
mursalah, meskipun tidak semashur Imam Malik.Ulama Hanabilah menerima
mashlahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka

8
Mukhsin, J. (2008). Kemashlahatan dan Pembaharuan Hukum Islam. Semarang: Walisongo press
9
Muardi Chatib, “Mashlahah...”, h. 393; Amir Syarifuddin, Ushul..., h. 359
10
Wahbah Zuhaili, Ushul..., h. 783

13
dianggap sebagai ulama fiqh yang sering menggunakan mashlahah mursalah
sebagaimana yang dilakukan ulama Malikiyah. Menurut mereka mashlahah
mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash
yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Berikut ini contoh fatwa ulama
Hanabilah yang berdasarkan mashlahah mursalah, di antaranya adalah orang
yang menghindari dari kewajiban zakat dengan cara mengurangi jumlah nisab
dengan mengeluarkan sebagian harta, atau menbagi-bagikan itu sebelum tiba
waktu wajib membayarkannya (haul), tetap dikenakan wajib zakat. Pada
dasarnya Jumhur Ulama menerima mashlahah mursalah sebagai salah satu
metode dalam mengistimbathkan hukum Islam.
5. Madzhab Syafi’i dikenal sebagai madzhab yang paling menolak konsep maslahah
mursalah sebagai hujjah atau dalil hukum yang bersifat mandiri. Imam Syafi’i (150-
204 H) telah menegaskan bahwa dalil hukum yang beliau gunakan hanya 4, yaitu Al-
Qur’an, Hadis, Ijma’, serta Qiyas, seperti apa yang dinukil oleh Imam Al-Mȃwardȋ
(364-450 H), bahwa Imam Syafi’i berkata :

Artinya : “Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah,
jika tidak ada, maka dengan meng-qiyaskan kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Apabila sanad hadits bersambung sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, dan shahih sanadnya, maka itulah yang dikehendaki. Ijma’ sebagai dalil
adalah lebih kuat dari pada khabar ahad dan hadits menurut dzahirnya. Apabila suatu
hadits mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang dzahirlah yang
lebih utama. Hadits munqathi’ tidak dapat dijadikan dalil kecuali jika diriwayatkan
oleh Ibnu Al-Musayyab. Suatu pokok tidak dapat diqiyaskan kepada poko yang lain,
dan terhadap pokok tidak dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang
dapat dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada pokok, maka
qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah.

F. Aplikasi maslahah mursalah dalam ekonomi dan keuangan islam.


bahwa maslahah mursalah merupakan metode istinbat hukum yang dapat diterima
oleh mayoritas fukaha. Hanya saja, porsi penggunaan maslahah setiap mazhab
berbeda-beda. Atau bahkan sebagian yang lain memberikan syarat-syarat tertentu
dalam memberlakukan maslahah mursalah dalam menetapkan hukum. Berikut
aplikasi maslahah mursalah dalam transaksi ekonomi dan keuangan islam:

14
1. Intervensi Pemerintah Terhadap Harga Pasar Dalam politik Islam, negara
memiliki hak untuk melakukan intervensi dalam kegiatan ekonomi baik dalam
bentuk pengawasan, pengaturan, maupun pelaksanaan kegiatan ekonomi yang
tidak mampu dilaksanakan oleh swasta atau masyarakat.
Intevensi harga oleh pemerintah bisa karena faktor alamiah maupun non-
alamiah. Pada umumnya, intervensi pemerintah berupa intervensi kebijakan
dalam regulasi yang berhubungan dengan permintaan dan penawaran dan
intervensi dalam menentukan harga. Intervensi dengan cara membuat
kebijakan yang dapat memengaruhi dari sisi permintaan maupun dari sisi
penawaran (market intervention) biasanya dikarenakan distorsi pasar karena
faktor alamiah. Bila distorsi pasar terjadi karena faktor nonalamiah, maka
kebijakan yang ditempuh salah satunya dengan intervensi harga di pasar.
Jumhur ulama sepakat bahwa harga yang adil adalah harga yang terbentuk
karena interaksi kekuatan penawaran dan permintaan (mekanisme pasar).
Mereka juga sepakat menolak intervensi harga oleh pemerintah, kecuali pada
kondisi-kondisi tertentu intervensi pemerintah dalam bentuk pengendalian
harga dibenarkan. Intervensi harga dalam Islam bertujuan untuk
mengembalikan harga yang terbentuk akibat terjadinya distorsi pada harga
pasar (price equiblirium) atau harga yang adil (qimah al-‘adl) sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Rasulullah SAW Masalah intervensi
pasar ini dikemukakan oleh para cendekiawan Muslim Klasik, misalnya Yahya
bin Umar, Ibn Taymiyah, al-Ghazali, Ibn Qudamah, dan Ibn Kholdun Di
antara meraka ada yang memiliki pandangan yang sama dalam hal intervensi
pasar, yaitu Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali dan Ibnu Qudamah, sedangkan Ibn
Kholdun lebih menekankan pada urgensi mekanisme pasar sekalipun dalam
tulisannya ditemukan anjuran untuk intervensi pemerintah tapi tidak tegas.
Menurut Ibnu Taymiyah, keabsahan pemerintah dalam menetapkan
kebijakan intervensi dapat terjadi pada situasi dan kondisi sebagai berikut:
a. Produsen tidak mau menjual produknya kecuali pada harga yang lebih tinggi
daripada harga umum pasar, padahal konsumen membutuhkan produk
tersebut.
b. Terjadi kasus monopili (penimbunan), para fukaha untuk melakukan hak hajar
(ketetapan yang membatasi hak guna dan hak pakai atas kepemilikan barang)
oleh pemerintah.

15
c. Terjadi keadaan al-hasr (pemboikotan), dimana distribusi barang hanya
terkonsentrasi pada satu penjual atau pihak tertentu,. Penetapaan harga disini
untuk menghindari penjualan barang tersebut dengan harga yang ditetapkan
sepihak dan semena-mena oleh pihak penjual tersebut.
d. Terjadi koalisi dan kolusi antar penjual (kartel) di mana sejumlah pedagang
sepakat untuk melakukan transaksi di antara mereka, dengan harga di atas
ataupun di bawah harga normal.
e. Produsen menawarkan produknyapada harga yang terlalu tinggi menurut
konsumen, sedangkan konsumen meminta pada harga yang terlalu rendah
menurut produsen.
f. Pemilik jasa, misal tenaga kerja, menolak untuk bekerja kecuali pada harga
yang lebih tinggi daripada harga pasar yang berlaku, padahal masyarakat
membutuhkan jasa tersebut.
Regulasi harga yang diperkenankan pada kondisi-kondisi tertentu
dengan tetap berpegang pada nilai keadilan. Regulasi harga harus
menunjukkan tiga fungsi dasar, yaitu: pertama, fungsi ekonomi yang
berhubungan dengan peningkatan produktivitas dan peningkatan pendapatan
masyarakat miskin melalui alokasi dan relokasi sumber daya ekonomi.
Kedua, fungsi sosial dalam memelihara keseimbangan sosial antara
masyarakat kaya dan miskin. Ketiga, fungsi moral dalam menegakkan nilai-
nilai syariat Islam, khususnya yang berkaitan dalam transaksi ekonomi
(misalnya; kejujuran, keadilan dan kemanfaatan). Dengan demikian,
intervensi harga pasar oleh pemerintah dalam kondisi-kondisi yang
dibolehkan merupakan implementasi dari maslahah mursalah. Karena
kebijakan pemerintah dalam penetapan atau menjaga harga pasar merupakan
kemaslahatan public yang harus dipelihara. Oleh karena itu, kebijakan
intervansi harga saat terjadi distorsi harga pasar merupakan kebijakan dalam
rangka mencapai kemaslahatan dan keadilan sosial, baik bagi produsen
maupun konsumen

2. Larangan Spekulasi Valas Dalam sistem fiat money, praktik spekulasi mata uang
dan arbitrasi akan tumbuh subur. Dari beberapa transaksi harian, pertukaran mata
uang asing sebesar triliunan dollar, dan hanya dalam porsi kecil yang betul-betul
diperuntukkan bagi transaksitransaksi riil. Selebihnya untuk spekulasi, arbitrasi, dan

16
tujuan-tujuan hedging. Para spekulan mata uang menghasilkan keuntungan bertriliun-
triliun dari usaha manipulasi, spekulasi dan arbitrasi. Transaksi mata uang sebenarnya
permainan siapa-mengambilapa-dari-siapa (zero-sum game), karena pekerjaan riil dan
keringat masyarakat, yang merupakan kekayaan riil mereka transfer kepada para
spekulan dan para arbitrator Dalam ekonomi Islam, jual beli mata uang disebut
dengan istilah as-sharf. Pertukaran mata uang atau jual beli valas untuk kebutuhan
sektor rii, baik transaksi barang atau jasa, hukumnya boleh menurut hukum Islam.
Namun apabila motifnya untuk spekulasi, bagaimana yang terjadi saat ini, maka
hukumnya haram. Pakar ekonomi Islam sepakat, bahwa perdagangan spekulasi valuta
asing menimbukan dampak buruk bagi perekonomian dunia dan senantiasa
mengancam ekonomi banyak negara. Oleh karena itu, praktik spekulasi valas harus
dilarang.

3. Larangan Dumping Dalam Penjualan Produk Dumping merupakan penjualan suatu


komoditas di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai
yang wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada
tingkat harga pasar domestiknya atau di negara ketiga. Praktik dumping merupakan
praktik yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor praktik dumping akan
menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri,
dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih
murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah
bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang serta bangkrutnya
perusahaan dalam negeri. Dalam hukum Islam, praktek dumping tidak ditemukan ayat
maupun hadis yang melarangnya. Perdagangan luar negeri itu wajib bebas, tidak
boleh ada yang membatasi dengan sesuatu apapun, termasuk pemerintah tidak boleh
ikut campur dalam pelaksanaan atau penentuan kebijaksanaan perdagangan. Namun,
tetap ada batasanbatasan yang tetap harus diperhatikan, yakni jangan sampai ada yang
dirugikan dalam perdagangan tersebut. Karena itulah, dengan pertimbangan untuk
menciptakan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan bagi masyarakat luas
praktek dumping secara tegas dilarang dalam Islam

4. Pendirian Lembaga Keuangan Syariah/Bank Bank sudah merupakan suatu hal yang
sangat dibutuhkan masyarakat. Bank dengan segala fungsinya telah menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat modern yang tidak mungkin dipisahkan lagi. Bank sudah

17
menjadi sarana tolong menolong sesama umat manusia, baik menabung, meminjam
uang, membayar tagihan listrik, telepon, uang kuliah, transfer, bahkan menjadi
penyalur dana bantuan bagi masyarakat yang terkena musibah. Secara konseptual,
Islam tidak memerintahkan pendirian lembaga perbankan. Akan tetapi tidak satu
ayatpun dari al-Qur‟an maupun al-Hadits yang melarang pendirian lembaga
perbankan. Akad mudharabah (bagi hasil) yang dikenal selama ini, dalam konsep
Islam adalah hubungan personal (bukan lembaga seperti bank) antara dua orang atau
lebih berupa akad kerja, dimana pemilik modal menyerahkan uangnya kepada orang
yang dipercaya untuk digunakan sebagai modal kerja dan hasilnya dibagi sesuai
kesepakatan. Akan tetapi dengan pendirian bank tersebut manfaatnya semakin besar
dan dapat dirasakan banyak orang. Di samping itu manfaat tersebut juga tidak
bertentangan dengan teks hukum yang telah ada, baik teks al-Qur‟an maupun hadis.

5. Kolateral Pada Pembiayaan Mudharabah Perbankan Syariah di Indonesia dalam


melayani kebutuhan masyarakat yang menghendaki layanan jasa perbankan dengan
prinsip syari‟ah berlandaskan hukum pada Undang-Undang Nomor 21Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah, sehingga bank syari‟ah dalam memberikan fasilitas
pembiayaan mengikuti aturan pemerintah yaitu sesuai Pasal 23 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008, bahwa ketentuan tersebut menghendaki adanya agunan
tambahan di setiap pembiayaan yang berisiko tinggi seperti pembiayaan mudarabah.
Pembiayaan mudarabah sebagai pembiayaan yang beresiko tinggi, karena bank akan
selalu menghadapi permasalahan dari mudarib. Dalam kondisi sebaik apapun atau
dengan analisis sebaik mungkin resiko pembiayaan yang macet tidak dapat di hindari,
maka bank syari‟ah mengambil inisiatif untuk meminta agunan tambahan sebagai
jaminan atas pembiayaan tersebut. Hal ini dilakukan dengan untuk meyakinkan
bahwa modal yang diberikan kepada nasabah pembiayaan (mudarib) diharapkan dapat
kembali seperti semula sesuai dengan ketentuan ketika berlangsungnya kontrak.
Walaupun pada prinsipnya agunan tidak diperbolehkan dalam pembiayaan mudarabah
mengingat lembaga bank syari‟ah merupakan lembaga intermediary peredaran uang
dalam masyarakat, sehingga bank harus menjaga amanah dana pihak ketiga yang
ditabungkan, maka wajar kalau bank meminta agunan tambahan pada dengan berpijak
pada kaidah ushul fiqh maslahah mursalah. Maslahah mursalah yang mengacu pada
kebutuhan, kepentingan, kebaikan dan kemaslahatan umum boleh diterapkan selama
tidak bertentangan dengan prinsip dan dalil tegas syarat dan benarbenar membawa

18
kepada kebaikan bersama yang tidak berdampak menyulitkan serta merugikan orang
atau pihak lain secara umum. Dengan dasar maslahah mursalah ini, bank syari‟ah
dalam memberikan pembiayaan wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan
bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dana kepadanya.

6. Penerapan Revenue Sharing Pada Bagi Hasil Perbankan Syari'ah memperkenalkan


sistem bagi hasil pada masyarakat dengan istilah revenue sharing yaitu sistem bagi
hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan
biaya pengelolaan dana. Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan
bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum
dikurangi dengan biaya- biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan
tersebut. Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan
dihitung berdasarkan pendapatan kotor , yang digunakan dalam menghitung bagi hasil
untuk produk pendanaan bank. Penerapan reveue sharing pada bank syariah
merupakan salah satu aplikasi dalil maslahah mursalah. Hal ini dapat kita lihat dari
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 15/DSNMUI/IX/2000 Tentang Prinsip
Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga Keuangan Syari'ah. Di dalam fatwa tersebut
terdapat beberapa kaidah maslahah yang digunakan di antaranya “di mana terdapat
kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah." Penerapan maslahah pada fatwa ini
juga dapat dilihat dari ketentuan umum yang ada pada fatwa DSN tersebut yang
menyatakan bahwa dilihat dari segi kemaslahatan saat ini, maka pembagian hasil
usaha pada lembaga keuangan syariah sebaiknya menggunakan prinsip bagi hasil
revenuesharing.11

11
Moh. Mufid. (2018). Usul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Dari Teori ke Aplikasi (Edisi Kedu).
Kencana.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Maslahah mursalah merupakan salah satu metode hukum yang mendapat banyak
perhatian diantara ulama. Sebagian dari mereka menerima maslahah mursalah sebagai
hujjah secara mutlak, seperti yang dinisbahkan kepada imam Malik bin Anas, dan
sebagian menolak konsep ini sebagai hujjah seperti imam Syafi’i, dan sebagian lagi
menerima konsep ini sebagai landasan hukum dengan beberapa syarat seperti imam
al-Ghazāli.

Hal yang mendasari perbedaan antara imam madzhab dalam menggunakan


maslahah mursalah sebagai dalil hukum adalah perbedaan penafsiran mereka dalam
memaknai maslahah mursalah dan kedudukannya sebagai dalil hukum. Seperti
kalangan Malikiyah dan Hanabilah melihat bahwa maslahah mursalah merupakan
dalil hukum yang bersifat mandiri, sedangkan imam madzhab yang lain melihat
bahwa maslahah mursalah bukan sebagai metodologi hukum yang bersifat mandiri,
akan tetapi mengikuti terhadap metodologi lain seperti qiyas, munasib mursal, atau
istihsan.

Walaupun jika ditelusuri lebih jauh, kita akan mendapatkan bahwa setiap madzhab
tidak lepas dari praktek konsep maslahah mursalah, baik itu madzhab yang
menolaknya sebagai dalil hukum maupun madzhab yang menerimanya. Hal tersebut
dilatar belakangi oleh peristiwa-peristiwa baru yang selalu muncul di setiap masa, dan
terbatasnya nash-nash yang tersedia untuk menyikapi peristiwa tersebut baik secara
jelas ( sharih ), maupun secara istinbath hukum dari nash tersebut melalui metode
lain.

Seperti halnya madzhab Hanafi, walaupun maslahah mursalah bukan sebagai


metodologi hukum secara sah dan mandiri pada madzhab tersebut, akan tetapi mereka
tidak lepas dari praktek maslahah mursalah, dan mengelompokkan hal tersebut dalam
umumnya makna istihsan. Adapun madzhab Syafi’i, walaupun imam Syafi’i sendiri

20
dikenal sebagai ulama yang paling menolak terhadap konsep maslahah mursalah,
akan tetapi kita temukan bahwa beliau juga tidak lepas dari praktek makna yang
terkandung di dalam konsep maslahah mursalah, dan istilah tersebut masuk dalam
kategori umumnya qiyas pada pembahasan wasf munasib.

B. Saran

Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah


ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu
kritik dan saran yang 19 membangun dari para pembaca sangat diharapkan sebagai
bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus menghasilkan penelitian dan
karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.

21
DAFTAR PUSTAKA

Penerapan Maslahah Mursalah dalam Ekonomi Islam (Ahmad Qorib & Isnaini Harahap)
Mizan, Vol. 2, No. 1, Hlm. 1-136, Februari 2018, ISSN : 2085-6792
Nasrun Haroen, Usul Fikih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1422 H/2001 M), cet.III,
Jilid I, hlm. 114
Abu Hamid al Ghazali, al-Mustashfa., Jilid I, 139; Abu Ishaq asy-Syatibi,
alMuwafaqat fi Ushul asy-Shari’ah, (Bairut: Dar al Ma’rifah, 1973), Jilid II, 8-9; Ibnu
Qudamah, Raudah an-Nadir, (Bairut: Muassasah al Risalah, 1978), Jilid II, 414; Ibnu
alHajib, Mukhtasar Muntaha, (Kairo: al Matba’ah al Amiriyyah
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa, Jilid I, hlm. 139; Abu Ishaq al Shatibi,
alMuwafaqat, Jilid II, hlm. 9-10; Ibnu
Qudamah, Raudah an-Nadir, Jilid II, hlm. 44; Ibnu al-Hajib, Mukhtasar Muntaha, Jilid
II, hlm. 240
Jalaluddin as-Suyuti, al-Jami’ ash-Shaghîr, (Bairut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th.),
Jilid II, hlm. 61
Mukhsin, J. (2008). Kemashlahatan dan Pembaharuan Hukum Islam. Semarang:
Walisongo press
Muardi Chatib, “Mashlahah...”, h. 393; Amir Syarifuddin, Ushul..., h. 359
Wahbah Zuhaili, Ushul..., h. 783
Moh. Mufid. (2018). Usul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Dari Teori ke Aplikasi
(Edisi Kedu). Kencana.

22

Anda mungkin juga menyukai