Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


“SYARIAH”

DOSEN PENGAMPU
Yulizar Bila,S.Pd.I,M.Ed

Disusun oleh
Kelompok 7:
NANDA HIDAYATULLAH (22130014)

MUHAMMAD ANDIKA SATRIAH SYAH (220330093)

RIKO MUHAMMAD SYAFUTRA (22062046)

M.AL-HAKIM WAHDANA (22062026)

UNIVERSITAS NEGERI PADANG


2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Pendidikan Agama
Islam “syariah”.

Dalam penyelesaian makalah ini peulis banyak menemui kendala.Namun, berkat bantuan dari
berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan makalh ini dengan baik.Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu khususnya dosen
pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama Islam, Bapak Yulizar Bila, S.Pd.I, M.Ed.

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan.Untuk
itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan makalh ini untuk
kedepannya.Semoga makalah ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Padang, 20 MARET 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................2
D. Manfaat Penulisan......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................3

A. Konsep syariah,kedudukan,sumber...........................................................................3
B. Dasar-dasar hukum islam...........................................................................................5
C. Dimensi hukum islam ...............................................................................................11
D. Implementasi syariah dalam kehidupan ....................................................................15

BAB III PENUTUP...............................................................................................................16

A. Kesimpulan................................................................................................................16
B. Saran..........................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syariah islam merupakan jalan hidup bagi umat manusia dan diciptakan untuk
mengantarkan manusia menuju kebahagiaan di dunia maupun di akhirat melalui
penegakan berbagai seruan yang termaktub dalam al-qur‟an dan assunnah. Aturan
yang sudah ada dalam al-qur‟an dan as-sunnah mengatur manusia dalam berbagai
aspek, bidang „ubudiyah dan muamalah. Islam sebagai agama memuat ajaran yang
bersifat universal dan komprehensif. Universal yaitu bersifat umum dan komprehensif
artinya mencakup seluruh bidang kehidupan. Secara umum hubungan aspek atau
ajaran dalam islam dapat dilihat dari sistem muamalah dalam islam yang meliputi
berbagai aspek ajaran yaitu mulai dari persoalan hak atau hukum sampai kepada
urusan lembaga keuangan. Secara umum, lembaga keuangan meliputi dua lembaga
yakni, lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank (non bank).
Lembaga keuangan bank yaitu salah satunya perbankan, perbankan bagi
perekonomian modern ini telah melakukan apa yang telah dilakukan oleh cikalbakal
uang bagi perekonomian primitif ketika barter masih berlaku disaat itu. Perbankan
telah memudahkan pertukaran dan membantu pembentukan modal serta produksi
yang berskala masal dalam sejarah umat manusia. Pada saat ini bank sebagai salah
satu lembaga keuangan merupakan sarana dalam meningkatkan kualitas kehidupan
ekonomi masyarakat. Disamping hal tersebut
Syariah Islam sebagai suatu syariah yang dibawa oleh Rasul terakhir,
mempunyai keunikan tersendiri. Syariah ini bukan hanya menyeluruh atau
komprehensif, tetapi juga universal. Karakter ini sempurna karena tidak ada syariah
lain yang datang untuk menyempurnakannya. Komprehensif berarti syariah Islam
merangkum seluruh aspek kehidupan baik ritual (ibadah) maupun sosial (Muamalah).
Sedangkan universal berarti syariah Islam dapat digunakan serta diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, setiap waktu bahkan sampai hari akhir nanti.
Syariat Islam adalah wahyu Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia
dengan alam sekitarnya. Dalam syariat Islam terdapat kaidah muamalah yakni tata
aturan Ilahi yang mengatur hubungan manusia sesama manusia dan hubungan
manusia dengan benda. Dalam ketentuan hukum Islam setiap muslim berkewajiban
tunduk kepada hukum perkawinan ketundukan ini sebagai bagian integral dari
keimanan (akidah). Akan tetapi dalam melaksanakan hukum perkawinan tidak dapat
dilakukan dengan sembarangan dan serampangan, hal ini terdapat pengaturan tentang
hak- hak dan kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh setiap individu muslim.
Pelanggaran atas hak orang lain atau kelalaian melaksanakan kewajiban, akan
melahirkan permasalahan atau persoalan. Dan setiap persoalan haruslah mendapatkan
penyelesaian yang sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, demi terciptanya ketertiban dan
kedamaian di tengah- tengah masyarakat untuk tegaknya amar makruf nahi munkar
1

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan uraian latar belakang di atas adalah
sebagai berikut
1. Apa Konsep syariah ,kedudukan dan sumber ?
2. Apa saja dasar-dasar hukum islam ?
3. Apa dimensi-dimensi hukum islam ?
4. Apa saja bentuk implementasi syariah.hukum dalam kehidupan sehari-hari ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mendeskripsikan Konsep syaria’,kedudukan dan sumber
2. Untuk mendeskripsikan dasar-dasar hukum islam
3. Untuk mendeskripsikan dimensi-dimensi hukum islam
4. Untuk mendeskripsikan implementasi syaria’ /hukum dalam kehidupan sehari-hari

D. Manfaat Penulisan
1. Menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan agama islam
2. Mengetahui dan memahami komponen-komponen pada aqidah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP SYARIAH
1. Pengertian syariah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian syariah atau
syariat adalah hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia,
hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia, dan
alam sekitar berdasarkan Al-Qur’an dan hadis. Syariah merupakan istilah yang
berasal dari bahasa Arab, as-syariah, yang mempunyai konotasi masyra’ah al-ma’
(sumber air minum). Dalam bahasa Arab, syara’a berarti nahaja (menempuh),
aw’dhaha (menjelaskan) dan bayyana al-masalik (menunjukkan jalan). Secara
harfiah, syariah artinya jalan yang ditempuh atau garis yang mestinya dilalui
arti syariah secara etimologis yaitu jalan, aturan, hukum. Hal ini berkaitan
dengan jalan yang baik, aturan yang menentramkan, dan hukum yang melindungi.
Secara terminologis, syariah adalah jalan, aturan, dan hukum yang diciptakan
Allah SWT yang harus ditegakkan oleh manusia. Hal ini disebabkan karena
syariah merupakan hukum umum agama Islam, jadi segala firman Allah SWT di
dalam Al-Qur’an dan sabda nabi Muhammad SAW dalam hadis wajib dijalani
oleh setiap muslim.
Jadi, syariah adalah hukum Islam yang tidak hanya mengatur ibadah manusia
kepada Allah SWT, namun juga mengatur hubungan manusia dengan sesama
manusia, seperti soal perdata, pidana, hingga politik. Syariah merupakan aturan
yang mengatur segala macam hal tersebut. Tujuan ditegakkannya syariah adalah
untuk kebaikan, yang tidak hanya bagi umat Islam, tapi juga bagi seluruh umat
manusia.
Sumber dari syariah yaitu Al-Qur’an dan hadis. Syariah merupakan istilah
yang pengertiannya sangat luas, di dalamnya mengandung seluruh aspek
kehidupan mulai dari aspek ibadah, aspek keluarga, aspek bisnis, hingga aspek
hukum dan peradilan. Kesimpulannya, pengertian syariah adalah ajaran islam itu
sendiri.
Dilihan dari segi ilmu hukum syariat adalah norma hukum dasar yang di
tetapkan oleh allah yang wajib diikuti oleh orang islam berdasarkan iman yang
berkaitan dengan akhlak baik hubungan dengan allah dan hubungan sesama
manusia dan benda dalam masyarakat norma hukum ini dejelakan oleh nabi
Muhammad SAW

2. Kedudukan syariah
Dalam dunia tasawuf, syari’at dijadikan sebagai dasar/pondasi bagi tahap
berikutnya (tarekat , hakikat, dan ma’rifat) sehingga kedudukannya sangat
penting. Sebagian besar sufí memahami syari’at dalam pengertian yang luas,
mencakup ilmu dan seluruh ajaran Islam. Syari’at bukan hanya sekedar kumpulan
kode atau
3
peraturan yang mengatur tindak lahiri tetapi juga menjelaskan tentang
keimanan, tauhid, cinta (mahabah), syukur, sabar, ibadah, ẓikir, jihad, takwa, dan
ihsan, serta menunjukkan bagaimana mewujudkan realitas tersebut. Syaikh
Ahmad Sirhindi mengemukakan: “di dalam syari’at terkandung tiga hal yaitu
pengetahuan (ilmu), praktik (amal), dan ikhlas. Artinya meyakini kebenaran
syari’at dan melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan tulus dan akhlak demi
mendapatkan keridaan Ilahi”.
Al-Qusyairi, dalam al-Risālah al-Qusyairiyyah menjelaskan: “Syari’at berkaitan
dengan konsistensi seorang hamba, sementara hakikat adalah penyaksian Tuhan.
Setiap syari’at yang tidak ditopang hakikat tidak diterima, sebaliknya setiap
hakikat yang tidak dikekang syari’at tidak tercapai. Syari’at datang menetapkan
beban kewajiban terhadap para makhluk, sementara hakikat adalah kabar tentang
gerak-gerik Yang Maha Benar (Allah), syari’at adalah hendaklah engkau
menyembah-Nya, sementara hakikat adalah hendaklah engkau menyaksikan-Nya.
Syari’at adalah pelaksanaan terhadap apa yang diperintahkan, sementara hakikat
adalah penyaksian terhadap apa yang ditetapkan dan ditentukan ataupun yang
disembunyikan dan ditampakkan.”
Dalam amalan tasawufnya, para sufí menjauhi apa yang dilarang,
melaksanakan apa yang diwajibkan (amalan farḍu) dan melaksanakan apa yang
dianjurkan (amalan sunnah). Mereka percaya bahwa barangsiapa yang
mengabaikan dan menafikan syari’at maka itu adalah pelanggaran berat. Para
tokoh besar sufí mengutuk anggapan yang menyatakan: “syari’at hanya untuk
orang awam yang belum mengetahui kebenaran sejati, dan bagi yang sudah
mencapai tingkatan pemahaman sejati maka tidak perlu menaatinya”. Yang benar
adalah mereka yang sudah lanjut (tinggi tingkat kesufiannya) harus beribadah
lebih banyak lagi dibandingkan dengan orang bisaa, dan keberhasilannya
(memahami kebenaran) amat tergantung pada kepasrahannya dalam
melaksanakan syari’at.

3. Sumber syariah
Syariat artinya jalan, atau aturan atau hukum. Dalam Islam ada aturan yang
boleh atau wajib ikuti. Seperti makanan halal, minuman halal menurut
islam,makanan haram menurut islam atau hukum penikahan, fiqih muamalah jual
beli , hukum pidana dan lain sebagainya. Semua itu mengatur tentang tujuan hidup
menurut islam. Ini bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari hal yang buruk.
Allah mengarut syariat Islam sedemikian rupa dengan sempurna agar manusia
bisa hidup selamat dan tentram di dunia dan di akhirat.Untuk itu sebagai umat
Islam yang bertaqwa pada Allah, haruslah paham dengan syariat Islam sebagai
mana yang terdapat dalam Alquran dan Hadist. Oleh karena itu sumber syariat
Islam itu sendiri adalah: Alquran dan Hadist.
Alquran merupaka sumber pokok ajaran islam terlengkap yang diturunkan
Allah kepada manusia. Alquran mencakup segala sendi kehidupan manusia. Tidak
hanya perkara yang besar-besar, hal yang kecil sekalipun di jelaskan dalam
Alquran

4
dengan amat sempurna. Kesempurnaan Alquran sebagai firman atau perkataan
Allah sudah terjamin dan tidak seorang pun yang dapat menirunya sehingga
mustahil kalau Alquran adalah buatan atau karangan manusia. Alquran adalah
sumber utama dari syariat Islam. Dan hadist sebagai sumber kedua yang berperan
menjelaskan Alquran.
Sunah adalah sumber kedua setelah Alquran yang menjadi landasan syariat
Islam. Kebenaran sunah sama nilainya dengan Alquran itu sendiri. Karena
kebenaran sunah juga berasal dari wahyu Allah SWT.
Oleh karena itu ada beberapa fungsi hadist terhadap Alquran sebagai sumber
syariat.
1. Menjelaskan ayat mutasyabihat ( butuh menjelasan) dalam Alquran
2. Pengkususan hal yang bermakna umum pada Alquran
3. Membatasi (taqyid) makna Alquran yang bersifat mutlak
4. Memperkuat hukum yang ditentukan dalam Alquran
5. Menetapkan hukum yang tidak ditetapkan Alquran

B. DASAR-DASAR HUKUM ISLAM


HAKIM
Secara hakikat hakim adalah Allah swt. Semata, tidak ada yang lain. Para utusan
Allah hanya sekedar menyampaikan risalah dan hukum-hukumnya saja. Mereka
semua tidak menciptakan atau menetapkan hukum. Sementara para mujtahid cuma
sekedar menyingkap tabir-tabir hukum. Mereka juga bukan pencipta hukum syariat,
sekalipun secara adat mereka juga terkadang disebut hakim, (Abdullah Yusuf al-
Juda’i, 1997: 71). Dalam masalah hakim ini seluruh ulama menyepakati konsep di
atas. Terbukti, mereka juga sepakat memaknai hukum sebagai khitabullah bukan
khitab ar-Rusul atau khitab al-Mujtahidin. Perbedaan ulama dalam hal ini hanya
berkisar tentang hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf,
apakah akal dengan sendirinya mampu mengetahui hukum-hukum tersebut ataukah
perlu perantara para rasul untuk dapat mengetahuinya. Terkait perbedaan ini, Abdul
wahab khallaf membagi menjadi tiga kelompok.
1. Mazhab Asy’ariyah, pengikut Abu Hasan al-Asy’ari yang menyatakan bahwa akal
dengan sendirinya tidak akan mampu mengetahui hukum-hukum allah tanpa
mediasi para rasul dan kitab-kitabnya. Kelompok ini berargumen bahwa yang
disebut dengan kebaikan adalah sesuatu yang telah ditunjukkan oleh syari’ bahwa
hal itu memang baik. Sementara kejelekan adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh
syari’ bahwa hal itu memang jelek. Kebaikan dan keburukan tidak dapat
ditentukan oleh penalaran akal semata.
2. Mazhab Mu’tazilah, yakni para pengikut Washil bin Atha’ yang menyatakan
bahwa dengan sendirinya akal mampu mengetahui hukum-hukum Allah tanpa
melalui perantara rasul atau kitab. Mereka berhujjah bahwa sesuatu itu dikatakan
baik ketika akal memandang hal itu baik. Sebaliknya sesuatu itu dipandang jelek
ketika akal memang menganggap jelek.

3. Mazhab Maturidiyah, pengikut Abu Mansur al-Maturidi, mazhab ini menurut


Khallaf adalah mazhab penengah dan dianggap sebagai pendapat yang lebih kuat.
Mazhab ini menyatakan bahwa memang akal sehat itu mampu menilai mana yang
baik dan mana yang dianggap buruk. Namun, tidak secara otomatis akal mampu
menentukan hukum-hukum Allah, sebab kerja akal itu terbatas dan terkadang
kerja akal itu berbeda satu sama lain dalam menilai suatu perbuatan. Oleh karena
itulah, dalam menentukan hukum-hukum Allah tetap diperlukan adanya perantara
utusan dan kitab-kitabnya, (Wahab Khallaf,: 97-99).Pada akhirnya apa yang
dipegangi oleh mazhab ini sama dengan pendapat mazhab Asy’ariyah yang tetap
menyatakan bahwa untuk mengetahui hukum Allah diperlukan adanya perantara

Terkait perbedaan para ulama di atas, pendapat yang dipegangi oleh kelompok
kedualah yang sebenarnya terasa lebih relevan. Sebab, dalam pendapat kedua ini
tersimpan keadilan Tuhan yang begitu luar biasa. Betapa tidak, menurut pendapat ini
seorang yang belum sampai dakwah Islam kepadanya akan tetap dituntut sebagai
seorang mukallaf berdasar akal yang dianugerahkan padanya. Hal ini logis, sebab
salah satu syarat utama seorang mukallaf haruslah ia memiliki akal sehat. Ia dituntut
untuk melaksanakan perbuatan yang dianggap baik oleh akal sehatnya dan dituntut
meninggalkan perbuatan yang dianggap buruk menurut akal sehatnya pula. Ini
merupakan apresiasi yang luar biasa besar terhadap anugerah akal yang diberikan oleh
Tuhan.

MAHKUM FIH

Yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang
berkaitan dengan taklif/pembebanan. Taklif yang berasal dari Allah ditujukan pada
manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya. Tujuan dari taklif ini tidak lain adalah
sebagai bentuk uji coba/ ibtila’ dari Allah kepada para hambanya supaya dapat
diketahui mana hamba yang benar-benar taat dan mana hamba yang maksiat
kepadaNya. Dengan demikian sebuah taklif akan selalu berkaitan erat dengan
perbuatan mukallaf dan perbuatan inilah yang disebut dengan mahkum alaih, (M.
Sulaiman Abdullah, 2004: 72). Dari sini terlihat jelas bahwa setiap bentuk taklif
adalah perbuatan. Ketika taklif itu berupa taklif ijab atau nadb maka hukum tersebut
akan terlaksana dengan adanya sebuah tindakan atau perbuatan dan jika taklif itu
berupa karahah atau haram, maka hukum tersebut akan terlaksana pula dengan adanya
tindakan/perbuatan meninggalkan. Jadi tindakan pencegahan atau meninggalkan
sesuatu itu juga dianggap sebagai sebuah fi’lun (perbuatan). Terdapat beberapa syarat
untuk absahnya sebuah taklif dalam perbuatan, diantaranya adalah:
1. Perbuatan tersebut harus diketahui secara sempurna oleh seorang mukallaf
sehingga tergambar tujuan yang jelas dan mampu melaksanakannya. Dengan
demikian seorang itu tidak diwajibkan melaksanakan sholat sebelum jelas rukun-
rukun dan kaifiyahnya.

2. Perbuatan itu diketahui berasal dari dzat yang mempunyai kewenangan untuk
memberikan taklif. Sebab dengan pengetahuan ini seseorang akan mampu
mengarahkan kehendak untuk melaksanakannya. Yang perlu diperhatikan dalam
masalah ini adalah mengenai pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud adalah
imkan al-Ilm (kemungkinan untuk mengetahui) bukan pengetahuan secara praktis.
Artinya, ketika seorang itu telah mencapai taraf berakal dan mampu memahami
hukum-huum syar’i dengan sendiri atau dengan cara bertanya pada ahlinya, maka
ia telah dianggap sebagai orang yang mengetahui apa yang ditaklifkan kepadanya,
(Wahab Khallaf,: 129)
3. Perbuatan tersebut harus bersifat mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa taklif itu tidak sah jika berupa perbuatan
yang mustahil untuk dikerjakan, seperti mengharuskan untuk melaksanakan dua
hal yang saling bertentangan, mewajibkan dan melarang dalam satu waktu,
mengharuskan manusia untuk terbang dll. Meski demikian, ternyata masih ada
sekelompok ulama yang memperbolehkan taklif pada perbuatan yang mustahil.
Pendapat ini dipegangi oleh ulama-ulama dari kalangan Asy’ariyah. Mereka
mengajukan hujjah andaikan taklif terhadap hal yang mustahil itu tidak
diperbolehkan maka tidak akan pernah terjadi, sementara kenyataannya taklif itu
telah terjadi, seperti pada kasus taklif yang diberikan pada Abu Jahal untuk
beriman dan membenarkan risalah rasul. Dalam hal ini Allah telah mengetahui
bahwa Abu jahal tidak akan pernah beriman. Pendapat ini disanggah jumhur
bahwa maskipun pada kenyataannya Abu jahal tidak beriman, namun taklif
tersebut sebenarnya masih bersifat mungkin dan tidak mustahil bagi abu jahal,
(Az-Zuhaili,: 137).

MAHKUM ALAIH

Mahkum alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya itu berkaitan dengan
hukum dari syari’. Perbuatan seorang mukallaf bisa dianggap sebagai sebuah
perbuatan hukum yang sah apabila mukallaf tersebut memenuhi dua persyaratan,
yaitu:

1. Mukallaf tersebut harus mampu memahami dalil taklif. Artinya, ia mampu


memahami nash-nash perundangan yang ada dalam al-Qur’an maupun asSunnah
dengan kemampuannya sendiri atau melalui perantara. Hal ini penting, sebab
seseorang yang tidak mampu memahami dalil/petunjuk taklif, maka ia tidak
mungkin melaksanakan apa yang telah ditaklifkan kepadanya. Kemampuan untuk
memahami dalil taklif hanya bisa terealisasi dengan akal dan adanya nash-nash
taklif. Akal adalah perangkat untuk memahami dan merupakan penggerak untuk
bertindak. Sifat dasar akal ini abstrak, tidak bisa ditemukan oleh indera zhahir,
oleh karenanya syari’ mengimbangi dengan memberikan beban hukum (taklif)
dengan sesuatu yang riil, yang bisa diketahui oleh indera luar yaitu taraf baligh.
Pada saat baligh inilah seorang dianggap mampu untuk memahami petunjuk-
petunjuk taklif. Praktis, orang gila dan anak kecil tidak tercakup dalam kategori
mukallaf, (Wahab Khallaf,: 134).

2. Seorang itu diharuskan Ahlan lima kullifa bihi /cakap atas perbuatan yang
ditaklifkan kepadanya. Secara bahasa ahlan bermakna Shalahiyah/ kecakapan.
Sementara kecakapan itu sendiri akan bisa terwujud dengan akal. Terkait dengan
hal ini, Al-Amidi, sebagaimana dikutip oleh azZuhaili mengatakan bahwa para
cendikiawan Muslim sepakat bahwa syarat untuk bisa disebut sebagai seorang
mukallaf adalah berakal dan paham terhadap apa yang ditaklifkan, sebab taklif
adalah khitab dan khitabnya orang yang tidak berakal adalah mustahil, layaknya
batu padat dan hewan. Ulama ushul membagi jenis kecakapan ini menjadi dua
bagian yaitu:

a. Ahliyah al-Wujub, yaitu kecakapan manusia untuk menerima hak dan


kewajiban, (Az-Zuhaili,: 163), Pijakan utama dari konsep ahliyah alWujub ini
adalah adanya kehidupan, artinya selama orang itu bernafas maka orang
tersebut bisa disebut sebagai ahliyah al-Wujub. Ahliyah ini terbagi menjadi
dua, yaitu ahliyah al-Wujub Naqishah dan Ahliyah alWujub Kamilah. Jenis
ahliyah yang pertama adalah jika seorang itu cakap untuk menerima hak saja
bukan kewajiban, seperti janin yang masih berada dalam kandungan ibunya. Ia
masih bisa menerima hak untuk mewarisi, tetapi ia tidak bisa menerima
kewajiban yang dibebankan kepadanya. Sedangkan yang kedua adalah ketika
seorang itu mampu menerima hak sekaligus kewajibannya. Ini berlaku kepada
setiap manusia.
b. Ahliyah al-Ada’, yaitu kecakapan seseorang untuk bertindak. Artinya,
tindakan orang tersebut baik berupa perbuatan maupun ucapan, secara syariat
telah dianggap “absah” (mu’tabaran syar’an). Terkait dengan konsep ini,
manusia terbagi menjadi tiga jenis klasifikasi, yaitu: Pertama, Seseorang tidak
mempunyai kecakapan bertindak sama sekali seperti orang gila dan anak kecil.
Kedua, seorang tersebut mempunyai kecakapan bertindak namun belum
sempurna, seperti anak mumayyiz yang belum sampai pada taraf baligh dan
orang idiot (ma’tuh).Ketiga, Seseorang yang mempunyai kecakapan bertindak
secara sempurna seperti seworang yang telah berakal dan baligh.

Terdapat 4 sumber hukum islam yaitu


a. Al-Qur’an
Al-Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tulisannya berbahasa Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril. Al Quran juga
merupakan hujjah atau argumentasi kuat bagi Nabi Muhammad SAW dalam
menyampaikan risalah kerasulan dan pedoman hidup bagi manusia serta hukum-
hukum yang wajib dilaksanakan. Hal ini untuk mewujudkan kebahagian hidup di
dunia dan akhirat serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.Al-Quran
sebagai kalam Allah SWT dapat dibuktikan dengan ketidaksanggupan atau

8
kelemahan yang dimiliki oleh manusia untuk membuatnya sebagai tandingan,
walaupun manusia itu adalah orang pintar

Dalam surat Al Isra ayat 88, Allah berfirman:

‫ُقْل َّلِٕىِن اْج َتَم َعِت اِاْل ْنُس َو اْلِج ُّن َع ٰٓلى َاْن َّيْأُتْو ا ِبِم ْثِل ٰهَذ ا اْلُقْر ٰا ِن اَل َيْأُتْو َن ِبِم ْثِلٖه َو َلْو َك اَن َبْعُضُهْم ِلَبْع ٍض َظِهْيًرا‬

Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain."

b. Hadist
Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa sabda,
perbuatan dan persetujuam Rasulullah Muhammad SAW tersebut adalah sumber
hukum Islam yang kedua sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam Al Quran
yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah SAW seperti firman Allah SWT
dalam Q.S Ali Imran ayat 32:

٣٢ – ‫ُقْل َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو الَّر ُسْو َل ۚ َفِاْن َتَو َّلْو ا َفِاَّن َهّٰللا اَل ُيِح ُّب اْلٰك ِفِرْيَن‬

Katakanlah (Muhammad), "Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling,


ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir."

Al Hadits sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat, sebagai
pemberi keterangan, sebagai pentakhshis keumuman, dan membuat hukum baru
yang ketentuannya tidak ada di dalam Al Quran. Hukum-hukum yang ditetapkan
oleh Rasulullah Muhammad SAW ada kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah
SWT, dan adakalanya berasal dari ijtihad.

c. Ijma’
Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan
sunah Rasul. Dalam moraref atau portal akademik Kementerian Agama bertajuk
Pandangan Imam Syafi'i tentang Ijma sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam
dan Relevansinya dengan perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini karya Sitty
Fauzia Tunai, Ijma' adalah salah satu metode dalam menetapkan hukum atas
segala permasalahan yang tidak didapatkan di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Sumber hukum Islam ini melihat berbagai masalah yang timbul di era globalisasi
dan teknologi modern.
Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf,
merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat

9
Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap
suatu hukum syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa.Ijma dapat dibagi
menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma sukuti. Ijma sharih atau lafzhi
adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat maupun perbuatan
terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sharih ini juga sangat langka terjadi,
bahkan jangankan yang dilakukan dalam suatu majelis, pertemuan tidak dalam
forum pun sulit dilakukan.

Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui
cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya tentang hukum
satu masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar luas serta
diketahui orang banyak. Tidak ada seorangpun di antara mujtahid lain yang
menggungkapkan perbedaan pendapat atau menyanggah pendapat itu setelah
meneliti pendapat itu

umber hukum Al-Ijtima sebenarnya buah dari kesepakatan dari para ahli
istihan (mujtahid) setelah masa Rasulullah. Tentu saja konteks dari ijtima’ ii
masih seputar tentang hukum dan ketentuan yang berkaiatan dengan syariat.

Al-ijtima’ hadir sebagai ikhtiar untuk isthad umat islam setelah qias. Dari segi
definisi, ijtima’ itu sendiri dapat diartikan sebagai pengatur sesuatu yang tidak
teratur. Dapat pula diartikan sebagai kesepakatan pendapat dari para mujtahid dan
sebagai persetujuan para ulama fiqih terhadap masalah hukum tertentu yang telah
disepakati bersama.
Sumber hukum ijtima’ dibagi menjadi dua, yaitu ijtima shoreh atau ijtimak
yang menyampaikan pesan aau aturan secara tegas dan jelas. Ada juga ijtima’
sukuti (diam atau tidak jelas) kebalikan dari shoreh. Nah jika ditinjau dari
kepastian hukum, ijma’ pun dapat digolongkan menjadi ijtma’ qathi (memiliki
kejelasan hukum), dan ijma’ dzanni (menghasilkan ketentuan hukum pasti).

d. Qiyas
Sumber hukum islam yang terakhir yang disepakati adalah qias. Qias
digunakan dan diterapkan ketika suatu masalah tidak ada hukum di Al-Qur’an,
hadis dan ijma’. Barulah menggunakan qiyas dengan cara mengambil perumpaan
antara dua peristiwa atau lebih. Dari persamaan inilah kemudian dibuat analogi
deduksi atau analogical deduction.

Qias ini digunakan untuk menarik garis hukum baru dari garis hukum yang
lama. sebagai contoh qias terkait menentukan halal haram sebuah minuman. Dulu,
mungkin tidak ada narkotika atau apapun yang saat ini banyak minuman yang
memabukan. Jika dulu minuman yang memabukan adalah khamar, sekarang
khamar bentuknya mungkin sudah bertransformasi bentuk, rasa, dampak yang
ditimbulkan dan namannya.

10

Jika kita tetap menggunakan khamar sebagai minuman yang haram, maka
minuman dan obat narkotika tidak bisa diberlakukan sebagai barang haram. Itu
sebabnya hukum qias ini hadir, untuk menyegarkan dan tetap pada satu koridor
yang tidak menyimpang dari 3 sumber hukum islam yang sudah disebutkan di
atas.

Sumber hukum Islam selanjutnya yakni qiyas (analogi). Qiyas adalah bentuk
sistematis dan yang telah berkembang fari ra'yu yang memainkan peran yang amat
penting. Sebelumnya dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas
menduduki tempat terakhir karena ia memandang qiyas lebih lemah dari pada
ijma.

C. DIMENSI HUKUM ISLAM


DIMENSI ILAHI
Allah swt menciptakan syari’at atau aturan yang dilengkapi dengan bahan
baku dan infrastrukturnya. Apa yang disyari’atkan itu tidaklah menjadi beban yang
manusia tidak sanggup memikulnya, justru sebaliknya untuk membawa kemaslahatan
manusia. Hanya saja tidak semua manusia memahami dengan baik. Maksudnya
terdapat diantara mereka memahami sebagai beban yang berat dan menjadi
penghambat beraktifitas. Pada prinsipnya ajaran Islam khususnya yang dikemas
dalam sistematika hukum Islam terbagi dalam dua bagian besar yaitu ibadah dan
muamalah. Ibadah substansinya berkenaan hubungan manusia dengan Allah swt..
Muamalah unsur utamanya pola hubungan dengan manusia.6Bahkan muamalah, di
dalamnya terdapat muatan hubungan manusia dengan alam

Pemahaman tentang ibadah, khususnya yang berkaitan ibadah pokok yang


terdapat dalam Alquran dan hadis, secara umum asasnya adalah perintah yang wajib8
dilaksanakan9, manusia tidak boleh menggugat. Hal inilah disebut dengan dimensi
Ilahi, yaitu hak prerogatif Allah swt. Setiap ibadah, khususnya ibadah mahdhah
sebagaimana yang berlaku pada setiap yang diperintahkan Allah mengandung maksud
tersendiri dan didalam pelaksanaannya terdapat hikmah. Oleh karena itu, agar tujuan
ibadah dapat tercapai, maka setiap ibadah yang dilakukan sesuai dengan petunjuk
yang ada. Jika tidak sesuai dengan petunjuk, maka ibadah yang dilakukan tersebut
tidak diterima oleh Allah swt.10 Esensi penetapan ibadah dan perintah secara mutlak
untuk dilaksanakan serta tujuan hakiki yang terkandung di dalamnya hanya Allah swt.
yang paling mengetahui. Demikian pula larangan, yang mungkin saja tidak diterima
baik oleh sebagian manusia, tetetapi itulah penetapan Allah swt. yang tidak boleh
ditawar.

Ketika Allah swt. memerintahkan untuk berpuasa Q.S. al-Baqarah (2): 183,
manusia tidak memiliki wilayah untuk menolak perintah itu. Apapun keadaan dan
konsekuensi yang terjadi dalam berpuasa tersebut, harus diterima sebagai sebuah
perintah. Tujuannya tidak perlu dipertanyakan. Demikian pula ketika Allah swt.
melarang dengan keras minum minuman yang memabukkan Q.S. alMaidah (5): 90.

11
Meskipun minuman keras tersebut telah menjadi hobi dan bermanfaat bagi
sebahagian manusia, tetapi karena illat dari perintah tersebut adalah ibadah, maka
manusia wajib mematuhinya, meskipun tidak diketahui tujuan Allah swt.
sesungguhnya. Dalam prosesi pelaksanaan ibadah haji, khususnya berlari-lari kecil
atau jalan cepat antara bukit safa dan marwah, tentu juga memiliki tujuan yang
manusia tidak mampu menalarnya apa tujuan sebenarnya. Hal senada seperti yang
diungkapkan Umar bin Khattab ketika mencium hajar aswad, Umar berkata, kalaulah
rasul tidak menciummu (hajar aswad), akupun tidak menciummu11 Manusia tidak
mengetahui secara pasti kenapa ia disuruh berbuat demikian dan untuk apa ia berbuat
demikian. Seperti menahan makan dan minum pada siang hari bulan raamadhan;
kenapa dia disuruh mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali waktu tawaf, namun ia
harus berbuat sesuai dengan petunjuk yang ditetapkan Allah. Walaupun ia tidak
mengerti tentang apa yang diperbuatnya, namun di balik semuanya itu manusia harus
percaya bahwa ada hikmah yang akan dirasakannya bagi kepentingan kehidupannya
di dunia dan di akhirat.

Dengan demikian, esensi tujuan Allah swt. yang termaktub dalam perintah
melaksanakan ibadah, pendekatannya adalah pendekatan imani atau ta’abbudi.
Maksudnya, apa yang syariatkan Allah swt. tidak ada pilihan lain kecuali
melaksanakannya, sebab hal itu adalah perwujudan dari pengakuan kepatuhan,13
ketaatan terhadap syari’at dan perintah Allah swt. secara mutlak di hadapan yang
memberi perintah Q.S. al-Dzariyat (51): 56.

DIMENSI INSANI
Menjadi konsumsi pemikiran insan akademik, bahwa ayat-ayat hukum
yang terdapat dalam Alquran sebahagian besar sifatnya global atau tidak terinci.
Dari sisi ini, dapat dipahami ada rahasia yang sangat bernilai didalamnya. Paling
tidak, Allah swt. sengaja memberi ruang bagi manusia untuk menggunakan
berbagai macam potensinya, khususnya potensi akal pikiran dalam memahami,
mengkaji dan memberikan rincian bagi ayat-ayat tersebut sesuai dengan
kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Demikian kekuasaan dan keadilan Allah
swt., yang bukan hanya membebankan kewajiban lewat syari’at-Nya, tetapi juga
memberikan bekal akal untuk memecahkan problema hidupnya tanpa
meninggalkan syariat. Sebab Allah swt. mustahil membebankan sesuatu hukum
yang tidak dapat dilaksanakan oleh manusia14 Manusia adalah pelaksana
syari’at, tujuan-tujuan yang terkandung dalam syari’at tersebut adalah untuk
manusia juga. Kemaslahatan dan kerugian apapun yang didapatkan olehnya,
sedikitpun tidak berpengaruh kepada eksistensi Allah swt. Bahkan sekalipun
manusia menjual imannya untuk kekufuran, sama sekali tidak membawa
kemudharatan pada Allah swt. Q.S. Ali Imran (3) : 17.

12
Dengan demikian minimal ada tiga dimensi insani yang terdapat dalam
maqasid al-syari’ah, yaitu: Manusia sebagai pengembang atau eksekutor syari’at,
manusia dengan akalnya menilai dan mengevaluasi syari’at dan manusia sebagai
penerima manfaat dari syariat. Meskipun dimensi Ilahi dalam maqasid al-
syari’ah juga terdapat keterlibatan manusia, tetapi sifatnya pasif. Manusia
sebagai hamba hanya menerima perintah tanpa dituntut untuk mengetahui apa
tujuan sesungguhnya dari ibadah yang dilakukan. Tidak demikian halnya
dimensi insani, hal mana sifatnya aktif. Hal tersebut terjadi, karena dimensi
insani ditekankan kepada ibadah yang bersifat muamalah atau ibadah gaiyru
mahdhah. Sehingga manusia memiliki ruang untuk menggunakan nalar dan
menentukan sikap, kemana arah dan tujuan perintah Allah swt. untuk
melakukan kebaikan. Manusia sebagai pelaku dari perintah Allah swt. dalam
lapangan muamalah, dengan menggunakan akalnya dapat saja merubah
pemahaman tekstual asal dari perintah, baik yang terdapat dalam Alquran
maupun hadis. Secara kontekstual bisa dikurangi, bisa ditambah, bahkan bisa
ditiadakan pada suatu kondisi yang tidak mungkin diterapkan, tergantung tujuan
yang hendak dicapai sesuai kebutuhan yang tidak bertentengan dengan akal dan
syari’at.

Hal yang urgen adalah hukum-hukum yang dibangun atas dasar maslahat.
Maslahat tersebut merupakan sandaran hukum dan illatnya. Jika kemaslahatan
tersebut tidak ada, maka hukum harus diubah mengikuti maslahat tersebut.
Karena penentuan hukum berdasarkan ada atau tidaknya maslahat dan illat.
Misalnya, pelarangan Rasulullah atas penulisan hadis pada masa awal karena
dikhawatirkan akan terjadi percampuran dengan Alquran. Tetapi kemudian
hadis sangat perlu ditulis karena akan dikhawatirkan akan terjadi pemalsuan
hadis. Demikian pula Alquran yang pada mulanya ditulis berserakan di mana-
mana dan banyaknya penghafal Alquran yang gugur di medan perang, maka
untuk maslahat dalam menjaga kemurnian Alquran15, para sahabat berinisiatif
mengumpul dan menulis Alquran dalam satu mushaf. Kalau kembali merujuk
kepada lima tujuan pokok hukum Islam, maka di sana sangat jelas dipahami
bahwa selain Allah swt. Sebagai pembuat syari’at, manusialah sangat pelaksana
atau ujung tombak dalam memelihara agama, memelihara jiwa, akal, harta dan
keturunan. Misalnya dalam memelihara agama, manusia berperang sebagai
pengembang amanah untuk menjaga kewibawaan agama, baik yang
berhubungan dengan dirinya, orang lain maupun yang berniat tidak baik untuk
menodai dan memerangi agama (Islam). Demikian pula segala macam yang
berkaitan dengan tujuan yang empat tersebut, manusia diberikan kewenangan
seluas-luasnya mengatur dengan baik untuk kemaslahatannya sendiri.16
Kalimat tauhid yang merupakan inti dan sumber semua ajaran Islam, bila
dikaitkan seluruh wujud ini dilukiskan “seperti pohon yang baik, akarnya teguh
dan cabangnya (menjulang) ke langit, ia memberikan

13

buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya”.Q.S. Ibrahim (14):


24-25. Buah itu selalu ada dan tentu selalu segar setiap saat. Bahan Alquran
sendiri dalam konteks melihat perkembangan itu memberi rincian
petunjuk/hukum yang dapat diterapkan bila masanya tiba. Petunjuk seperti ini
termaktub pada awal surah Al-Muzzammil, Allah swt. memerintahkan Nabi-Nya
untuk melaksanakan qiyam al-lail (shalat malam). Banyak sahabat turut
melaksanakannya bersama Nabi, tetapi pada akhir surah itu, Alquran memberi
petunjuk dan tuntunan sebagai alternatif pengganti, jika masyarakat Islam
mengalami perubahan dan perkembangan. 17 Alquran selalu ada di hati umat
dan berdialog dengan umat dengan tidak memilih kondisi. Fleksibelitas dan
keluasan syari’at Islam dan kemampuannya dalam merespon perkembangan
umat dan perubahan zaman, atau selalu relevan dipraktikkan sepanjang zaman
dan ruang untuk kemaslahatan manusia, kunci”regulasinya” ada pada dimensi
insani. Yaitu dengan cara

melakukan usaha sungguh-sungguh menggali kandungan syari’at yang


telah dihidangkan Allah swt. dan Rasul-Nya, itu yang disebut ijtihad. Tujuan
utama syari’at adalah untuk kemaslahatan manusia, namun dalam merinci
tujuan itu, manusialah sebagai pemegang mandat. Menginplementasikan mandat
dalam perputaran waktu dan pergeseran kondisi, rumusnya adalah ijtihad. Hal
seperti ini telah dilakoni oleh para sahabat dan ulama terdahulu, khususnya
ulama mazhab. Namun bisa dipastikan bahwa kondisi yang ada pada masa itu,
tidak sama dengan kondisi serta masalah sekarang ini. Demikian pula kondisi
saat ini sangat boleh jadi berbeda dengan ribuan, ratusan bahkan puluhan tahun
yang akan datang. Sebab itu diillustrasikan, “seandainya ulama-ulama terdahulu
dibangkitkan kembali untuk melihat keadaan dan prilaku orang sekarang, maka
mereka akan mengatakan, orang-orang sekarang sudah pada gila, sekaligus
semua hasil ijtihadnya minta dirubah karena tidak sesuai lagi”. Maqasid al-
syari’ah dalam dimensi Ilahi tidak lepas dari dimensi insani. Jika syari’at Islam
menuntun manusia mencapai kebahagiaan, maka dalam lapangan hubungan
manusia dengan manusia, manusia sebagai pelakunya mengerti betul apa yang
dia harus lakukan. Tentu saja perwujudan dari habl minaal-Nas akan berjalan
seiring dengan habl min Allah . Sebab nilai kemanusiaan yang diwujudkan di
dunia ini, tidak dibatasi pada nilai-nilai sementara, tetapi lebih dari itu adalah
untuk mencapai nilai tertinggi dan kekal di akhirat kelak ( Q.S. al-Nahl (16):
60).18 Dapat dipahami, dimensi insani dalam maqasid al-syari’ah adalah
perpanjang misi dari dimensi Ilahi. Manusia sebagai pemegang tongkat
kekhalifaan, memiliki kewenangan yang besar untuk menata hidupnya sendiri.
Kemaslahatan yang akan

14

dicapai sangat tergantung bagaimana mengatur kehidupannya sesuai


dengan syari’at.

D. IMPLEMENTASI SYARIAH/HUKUM DALAM KEHIDUPAN


Penerapa syari’at Islam di kehidupan sehari-hari tentu saja menyangkut aspek
kehidupan individual. Sebagai contoh, dalam hubungan seorang individu dengan
Allah, penerapan syari’at Islam dapat dilaksanakan dengan cara melalukan perintah-
Nya dan menjauhkan larangan-Nya.Selain hubungan dengan Allah, seseorang yang
beragama Islam juga harus menerapkan syari’at Islam dalam kehidupannya sendiri,
misalnya
a. Berpakaian rapih dan sopan. Bagi seorang muslimah menutup aurat dan
menggunakan pakaian yang longgar, tidak membentuk lekuk tubuh,
b. Menggunakan pakaian sesuai gender, laki-laki tidak menyerupai perempuan
dan perempuan tidak menyerupai laki-laki,
c. Berpaikaian semata-mata untuk menutup aurat dan rasa nyaman, bukan untuk
pamer dan berlebih-lebihan,
d. Selalu berpikir sebelum berkata-kata maupun bertindak, sesuai dengan firman
Allah sebagai berikut : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Israa:
36)
e. Menjadikan iman Islam sebagai landasan hidup,
f. Menjadikan hidup sesuai syari’at Islam sebagai kebiasaan sehari-hari,
g. Selalu memperbaiki diri,
h. Senantiasa mengingatkan sesama umat Muslim tentang syari’at Islam.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa syari’at Islam senantiasa
mengajarkan hal-hal baik bagi umatnya. Seorang Muslim yang berperilaku baik
tentu akan memberikan pandangan dan reaksi positif dari lingkungan di sekitarnya.
Penerapan syari’at Islam dalam kehidupan individu sehari-hari wajib hukumnya

"Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan,
maka mereka itu orang-orang fasik" (QS. Al-Maidah: 47)

Sehingga sebagai seorang umat Muslim yang taat, hendaknya kita selalu
menerapkan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari agar senantiasa
mendapatkan ridha dan rahmat dari Allah SWT.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
jadi dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan keseluruhan peraturan
atau hokum yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan
manusia, manusia dengan alam (lingkungannya), baik yang diterapkan dalam AL-
qur’an maupun hadis dengan tujuan terciptanya kemashlahatan, kebaikan hidup umat
manusia di dunia dan di akhirat.
Syariah Islam memberikan tuntunan hidup khususnya pada umat Islam dan
umumnya pada seluruh umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Muamalah dalam syariah Islam bersifat fleksibel tidak kaku. Dengan demikian
Syariah Islam dapat terus menerus memberikan dasar spiritual bagi umat Islam dalam
menyongsong setiap perubahan yang terjadi di masyarakat dalam semua aspek
kehidupan.
Syariah Islam dalam muamalah senantiasa mendorong penyebaran manfaat
bagi semua pihak, menghindari saling merugikan, mencegah perselisihan dan
kesewenangan dari pihak yang kuat atas pihak-pihak yang lemah. Dengan
dikembangkannya muamalah berdasarkan syariah Islam akan lahir masyarakat
marhamah, yaitu masyarakat yang penuh rahmat.
Syariah adalah tata cara pengaturan tentang perilaku hidup manusia untuk
mencapai keridhaan Allah SWT.Ruang lingkup yaitu mencakup : ibadah, muamalah,
murakahat, jinayat, siyasah akhlak, peraturan-peraturan lainnya.
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, tentunya masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya memabngun
bagi para pembacanya seabgai keempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini
bisa menjadi acuan untuk meningkatkan makalah-makalah selanjutnya dan
bermanfaat bagi para pembaca dan terkhusus buat kami. Amin.

16
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Sulaiman. (2004). al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh. Damaskus: Dar
as-Salam.
Ali, Abdul Karim. (1999). Al-Muhadzab fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh al-Muqaran. Riyadh:
Maktabah ar-Rusyd.
Al-Judai’, Abdullah bin Yusuf. (1997). Taysiir ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Beirut: Muassasah
ar-Rayyan.
Prastowo, Andi. (2011). Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan
Penelitian. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Az-Zuhaili, Wahbah. (1999). Al-Wajiiz fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Daar al-Fikr.
Az-Zuhaili, Wahbah. (n.d). Ushul Fiqh al-Islami. Beirut: Daar al-Fikr.
Nawawi, Hadari. (1993). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Khallaf, Abdul Wahab. (1978). ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Cairo: Daar al-Qalam.
Rifa’i, Muhammad. (1999). Usul Fiqh. Bandung: al-Ma’arif.

Ahmadi, Abu. Dasar-dasar Pendidikan (Bumi Aksara, Jakarta, 2008).


Dasar – Dasar Agama Islam, Prof. Dr. Zakiah Haradjat Dkk, 1999, Jakarta.
Fiqh Islam, H. Sulaiman Rasjid, 1976, Attahiriyah, Bandung.
Pendidikan Agama Islam, Drs. Nandang L. Hakim, 1988, Ganeca Exac, Bandung.
17

Anda mungkin juga menyukai