Anda di halaman 1dari 16

Makalah Pendidikan Agama Islam

“Syari'ah Sebagai Ajaran Pokok Agama Islam”

OLEH :

Kelompok 6:

Habib algifar (22011422)

Putri Indah Hafiza (22033151)

Rizka Haryani (22033154)

Shahidul Farid (22343072)

SEKSI :

202221280080

DOSEN PEMBIMBING :

Rahmi Wiza, S.Pd.I, M.A.

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah Swt.yang telah


memberikan banyak nikmatnya kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan
Makalah ini penulis buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah
Pendidikan Agama Islam yang meliputi nilai tugas, nilai kelompok, nilai individu, dan nilai
keaktifan.

Makalah ini sudah selesai penulis susun berkat adanya bantuan dari berbagai pihak,
sehingga dapat mempelancar proses pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis mengucapkan
terimakasih kepada ibuk Rahmi Wiza, S.Pd.I, M.A.. selaku dosen Pendidikan Agama Islam
serta kepada semua pihak yang sudah ikut berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Adapun tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas kelompok.

Terlepas dari semua ini penulis menyadari bahwa makalah yang penulis susun masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap adanya kritik dan saran yang
membangun dari pembaca. Sehingga pembuatan makalah ini bisa lebih baik untuk
kedepannya. Dan semoga makalah yang penulis susun ini bisa menambah pengetahuan dan
bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 15 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan dan Batasan Masalah............................................................1
C. Tujuan Penulisan..................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian syariah dan kedudukanya....................................................2


B. Ruang lingkup syariah..........................................................................2
C. Tujuan Syariah Islam............................................................................3
D. Sumber syariah.....................................................................................3
E. Dasar-dasar Hukum Islam....................................................................5
F. Implementasi syriah dalam kehidupan.................................................10
G.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................................12
B. Saran.....................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syari'ah atau hukum Islam bagi setiap muslim lebih daripada sekadar hukum
agama, ia adalah hukum Allah, dan dengan demikian, secara esensial tidak dapat
diubah. Di samping itu ia menjangkau setiap segi kehidupan dan setiap bidang
hukum. Karena itu, dalam teori, ia tidak dapat ditandingi oleh hukum manapun,
bahkan ketetapan-ketetapannya sama sekali tidak dapat diganggu gugat. Tetapi bila
kita menengok pusat dunia Islam, Negara-negara Arab di Timur Dekat dan Timur
Tengah, kita mendapati bahwa di kebanyakan Negara tersebut perubahan- perubahan
besar telah terjadi selama kira-kira satu abad terakhir ini, baik dalam sistem
peradilannya maupun sistem hukum yang mereka terapkan1.
Syariah Islam sebagai suatu syariah yang dibawa oleh Rasul terakhir,
mempunyai keunikan tersendiri. Syariah ini bukan hanya menyeluruh atau
komprehensif, tetapi juga universal. Karakter ini sempurna karena tidak ada syariah
lain yang datang untuk menyempurnakannya. Komprehensif berarti syariah Islam
merangkum seluruh aspek kehidupan baik ritual (ibadah) maupun sosial (Muamalah).
Sedangkan universal berarti syariah Islam dapat digunakan serta diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, setiap waktu bahkan sampai hari akhir nanti.2
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Syariah sebagai ajaran pokok agama Islam?
2. Bagaimana kedudukan Syariah sebagai ajaran pokok agama Islam?
3. Apa yang dimaksud dengan hakim, mahkum alaih, mahkum bih?
4. Bagaimana mengimplementasikan syariah/huk um dalam kehidupan?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Syariah sebagai ajaran pokok agama Islam
2. Untuk Mengetahui kedudukan Syariah sebagai ajaran pokok agama Islam
3. Untuk memahami tentang hakim, mahkum alaih, mahkum bih
4. Untuk dapat mengimplementasikan syariah/huk um dalam kehidupan
1
Abdullah Sulaiman, Dinamika Qiyas dalam Pembaruan Hukum Islam; Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi`I,
(Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1996).
2
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 120.

1
BAB II

PEMBAHSAN

A. Pengertian syariah dan Kedudukan syariah


a. Pengertian syariah
Dari asal katanya, syari‟at artinya jalan menuju mata air. Menurut
istilah, syari‟ah berarti aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah
untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan sesama
manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta3
Syari‟ahIslam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sebagai
individu, masyarakat dan sebagai subjek alam semesta. Sebagai individu,
manusia adalah hamba yang harus taat, patuh dan tunduk kepada Allah Swt.,
yang dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya telah
diatur sedemikian rupa oleh syariat. Esensi ibadah adalah penghambaan diri
kepada Allah sebagai pengakuan kelemahan dan keterbatasan manusia. Syariat
juga mengatur tata pola individu untuk mewujudkan sosok yang saleh, yang
mencerminkan pribadi muslim yang paripurna. Islam mengakui manusia
sebagai makhluk sosial dan mengatur hubungan manusia dengan manusia
lainnya dalam bentuk mu‟amalah sehingga terbentuk kesalehan sosial.
Dengan adanya sikap kesalehan sosial akan melahirkan perhatian dan
kepedulian sosial dan bentuk kasih sayang sesama manusia.
b. Kedudukan syariah
Syariah memiliki kedudukan yang penting dalam Islam
B. Ruang lingkup syari'ah
Ruang lingkup syari'ah mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut :
1. Ibadah Khusus (Ibadah Makhdah) yaitu peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya, meliputi Rukun Islam
2. Ibadah Umum (Mu'amhh dalam arti has) yaitu peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia
dengan alam hinnya, meliputi

3
Direktorat PTAI Ditjen Kelembagaan Agama Islam, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum
(Jakarta: Depag RI, 2001), h. 99.

2
 Muamalah yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan
lainnya dalam hal tukar menukar harta (jule bek dan yang searti).
 Munakahat yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan
orang lain dalam hubungan berkeharga (nikah, dan yang berhubungan
dengannya
 Jinayat yaitu pengaturan yang menyangkut pidana.
 Siyasah yatu yang menyangkut masahh-masalah kemasyarakatan
politik.
 Akhlak yaitu mengatur skap hidup pribadi.

C. Tujuan syariah islam


Tujuan Syari'ah Islam yang paling utama adalah untuk membangun kehidupan
manusia atas dasar ma'rufat (kebaikan-kebaikan ) dan membersihkannya dari
munkarat ( keburukan-keburukan ).
1. Ma'rufat adalah nama untuk semua kebajikan atau sifat-sifat yang baik, yang
sepanjang masa telah diterima sebagai sesuatu yang baik oleh hati nurani
manusia. Syari'ah Islam membagi ma'ruf itu dalam 3 kategori, yaitu:
a. Fardhu wajib.
b. Sunah anjuran.
c. Mubah: boleh.
2. Munkarat adalah nama untuk segala dosa dan kejahatan yang sepanjang masa
telah dikutuk oleh watak manusia sebagai sesuatu yang 
a. Jahat
b. Haram
c. Makruh.
Kemashhatan yang hakiki pada dasarnya adalah kemaslahatan yang
ditentukan oleh syariat, bukan yang ditentukan oleh akal yang serba relatif.
Dalam hal ini, penting untuk dipahami, bahwa syariat pasti mengandung
maslahat. Artinya, di mana ada syariat, di situ pasti ada maslahat.
D. Sumber Syariah
1. Al-Qur'an, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan
merupakan Undang-Undang yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok.

3
2. Al-Hadist (As-Sunnah), sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan
dan rincian terhadap hukum-hukum Al-Qur'an yang bersifat umum.
3. Ra'yu (Ijtihad), upaya para ahli mengkaji Al-Qur'an dan As-Sunnah untuk
menetapkan hukum yang belum ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah.
Dalil-dalil hukum lainnya yang dipegang oleh ulama Ushul secara singkat teruraikan
sebagai berikut:
1. Ijma' menurut istilah ulama Ushul kesepakatan semua ijtahidin atas sesuatu
hukum pada suatu masa sesudah Rasulullah. Firman Allah swl, yang crat
hubungannya "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan rasul-Nya, dan
Ulil Amri diantara kamu. (QS. An-Nisa: 59). Tidaklah mungkin para ulama
berkumpul untuk melakukan sesuatu kebohongan (dusta). Rasul bersabda yang
artinya "Tidaklah Allah menghimpun ummatku untuk melakukan kesesatan.
(H.R. Ibnu Majah)"
2. Qiyas menurut ulama ushul menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada
nashnya dengan kejadian kin yang sudah diatur oleh nash, karena adanya
persamaan antara keduanya yang disebut "Tah hukumnya".
3. Istihsan adalah merupakan kebalikan dari Qiyas, karena istihsan
memindahkan hukum suatu peristiwa dengan hukum peristiwa lainnya yang
sejenis dan memberikan hukum lain karena ada alasan kuat bagi pengecualian
tersebut.
4. Maslahat Mursalah, terdiri dari dua rangkaian kata yaitu: Mashalat
(kebaikan, kepentingan) yang tidak diatur oleh ketentuan syara yang
menggunakan pertimbangan kebaikan akan sesuatu keputusan di ambil dengan
melihat kemaslahatan yang akan timbul dan Mursalah akah pembinaan
(penetapan) hukum berdasarkan.
5. Sadduz zari'ah yaitu menutup segala jalan yang akan menuju pada perbuatan
yang merusak atau mungkar.
6. Istihsan yaitu melanjutkan atau menggunakan sesuatu kaidah hukum yang ada
sampai dalil atau kaidah hukum hin menggantikannya.

7. Al-'Urf adalah sesuatu apa yang basa dijalankan orang, merupakan kebiasaan
baik dahm kata-kata maupun perbuatan keseharian. 'Urf lah suatu yang telah

4
sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisiya Baik berupa perbuatan
maupun adat kebiasaan yang baik dalam masyarakat.
E. Dasar-dasar hukum Islam (hakim, mahkum alaih, mahkum bih)
1. Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum.
Dalam fiqih, istilah hakim semakna dengan qadhi. Namun, dalam ushul fiqh,
kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum syari’at secara hakiki.
Ulama Ushul sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari
hukum syari’at adalah Allah Swt
Al-Hakim maksudnya adalah penetap hukum, maka yang dimaksud
dengan al-Hakim adalah Allah Swt. Sebab Allah Swt yang telah menciptakan
segala-galanya, termasuk menciptakan hukum bagi manusia. Wewenang Allah
Swt sebagai al-Hakim adalah sebagai penetap atau penafi sebuah hukum.
2. Hukum
Kata hukum berasal dari kata al-Hukmu yang secara bahasa berarti
alMan`u yaitu menahan atau melarang. Secara istilah, ulama Fikih dengan
ulama Ushul Fikih berbeda pendapat. Ulama fikih mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan hukum adalah pengaruh yang muncul dari khitab al-Syari
yang berkaitan dengan perbuatan seperti, wajib, haram, mubah, makruh dan
mubah. Sedangkan ulama Ushul Fikih berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan hukum adalah khitab Allah Swt yang bersinggungan dengan perbuatan
mukallaf bebentuk tuntutan, pilihan atau ketentuan.
Maka dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hukum menurut
ulama Ushul Fikih dapat dibagi kepada dua bentuk, yaitu: Hukum Taklifi dan
Hukum Wadh`i. Hukum Taklifi adalah tuntutan bagi mukallaf melakukan
sebuah perbuatan atau tuntutan untuk meninggalakan sebuah perbuatan atau
tuntutan untuk memilih antara melakukan atau meninggalkan. Hukum Wadh`i
adalah sebuah ketentuan yang menjadi sebab atau syarat yang melahirkan
hukum, atau penghalang yang menghambat sehingga tidak berlakunya sebuah
hukum.
Hukum taklifi terbagi kepada lima bentuk, yaitu:
 Wajib yaitu Tuntutan dari al-syari (Allah Swt) bagi mukallaf untuk
melakukan perbuatan tersebut secara tegas. Bisa jadi tentutan tersebut
berbentuk shigat yang jelas atau melalui karenah yang menyatakan
5
bahwa perbuatan tersebut wajib untuk dilakukan. Karenah tersebut bisa
berbentuk dosa atau ancaman bagi setiap orang yang meninggalkan
perbuatan tersebut. Seperti ancaman bagi orang yang meninggalkan
shalat, ancaman bagi orang yang tidak berzakat atau ancaman bagi
orang yang enggan melaksakan ibadah haji padahal ia telah memiliki
kemampuan.
 Sunnah yaitu Sesuatu yang dituntut oleh al-Syari bagi mukallaf untuk
melakukannya dengan tuntutan yang tidak tegas. Haram yaitu Haram
adalah sebuh tuntutan dari al-Syari` kepada mukallaf untuk
meninggalkan sebuah perbuatan secara tegas. Atau dalam bahasa
lainnya, sesuatu yang apabila dilakukan oleh mukallaf secara sengaja
maka ia berdosa tapi kalau ia tinggalkan maka ia berpahala.
 Makruh yaitu sesuatu yang dituntut oleh al-Syari` untuk
meninggalkannya tapi tidak dengan cara tegas. Perbuatan makruh
sebaiknya ditinggalkan atau tidak dilakukan, dan jika seseorang
meninggalkan sesuatu yang makruh maka ia mendapatkan pujian, tapi
jika dilaksanakan maka ia tidak mendapatkan hukuman atau celaan.
 Mubah yaitu sesuatu yang diberikan kesempatan oleh al-Syari` kepada
mukallaf untuk dikerjakan atau ditinggalkan
Sedangkan hukum wadh`i terbagi kepada beberapa bentuk, yaitu:
 Sabab secara bahasa berarti tali yang menyambungkan antara satu
dengan lainnya. Menurut ulama Ushul, sabab adalah sebuah sifat yang
jelas dan terukur yang dijelaskan oleh dalil sam`i bahwa yang
demikian merupakan tanda bagi hukum syar`i.
 Syarat yaitu sesuatu yang menjadi penentu sebuah hukum dan adanya
syarat tidak mesti mewajibkan sebuah hukum. Mani` yaitu sesuatu
yang jika dia ada maka hukum tidak ada dan sebab menjadi batal.
 Shahih yaitu terpenuhinya rukun dan syarat yang ditetapkan secara
syara` sehingga menimbulkan pengaruh yang sah secara syara`.
Buthlan yaitu terdapatnya cacat atau kekurangan pada akad yang bisa
saja kecacatan tersebut kembali kepada shighat, dua orang yang
berakad atau barang yang diakadkan.

6
 Azimah yaitu pensyariatan sesuatu seseuai dengan ketentuan asalnya.
Dan rukhsah yaitu sebuah ketentuan yang disyariatkan oleh al-Syari
karena ketentuan tertentu, yaitu dalam rangka menjaga kemashlahatan
bagi manusia di saat manusia mengalami kesulitan dalam menjalakan
perintah sesuai dengan ketentuan awalnya
3. Mahkum fihi
Mahkum fih berarti perbuatan orang mukallaf sebagai tempat
menghubungkan hukum syara. Syarat-syarat mahkum fihi:
a. Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf
sehingga suatu perintah dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang
dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Ayat-ayat al-Quran yang
bersifat global, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan secara
rinci tatacaranya dari Rasulullah Saw. seperti shalat, puasa, zakat, haji,
dsb.
b. . Diketahui secara pasti oleh mukallaf bahwa perintah itu datang dari
Allah Swt dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya setiap upaya mencari
pemecahan hukum, yang paling utama dilakukan adalah pembahasan
tentang validitas suatu dalil sebagai sumber hukum.
c. Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan
yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau
meninggalkannya.
4. Mahkum ‘alaih
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum; Ulama ushul fiqih
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seseorang
yang perbuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebut dengan
mukallaf . Sehingga istilah mahkum alaih disebut dengan subyek hukum.
Syarat-sayrat mahkum ‘alaih:
orang mukallaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi), jika telah
memenuhi beberapa persyaratan.
 Mampu memahami khithab syar’i dan dalil-dalil hukum baik secara
mandiri atau dengan bantuan orang lain minimal sebatas
memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadis. Adanya
kemampuan memahami hukum taklifi disebabkan seseorang mempunyai

7
akal yang sehat sempurna. Jika diukur secara fisik, batas baligh berakal
pada wanita ditandai dengan menstruasi, sedangkan pada pria ditandai
dengan mimpi basah. QS. Al-Nur: 59.
 Mempunyai ahliyat al-ada`, yaitu kecakapan untuk bertindak secara
hukum atau memikul beban taklif. Dengan adanya kecakapan seperti itu
seseorang disebut mukallaf, artinya segala perbuatannya diperhitungkan
oleh hukum Islam, ia diperingatkan untuk melaksanakan segala perintah
dan menjauhi larangan. Kecakapan seperti itu baru dimiliki seseorang jika
ia baligh, berakal sehat, bebas dari segala hal yang menjadi penghalang
bagi kecakapan tsb seperti keadaan tertidur, gila, lupa, terpaksa, dsb.
Khusus tasharruf harta, kewenangan seseorang baru dianggap sah
disamping sudah baligh berakal juga setelah rusyd (kemampuan
mengendalikan hartanya).
Pembagian Ahliyah:
a. Ahliyyat al-ada’: sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang
yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan
seluruh perbuatannya, baik positif maupun negatif. Ukurannya
adalah ‘aqil, baligh dan rusyd (QS. AlNisa`: 6).
b. Ahliyyat al-Wujub: Sifat kecakapan seseorang untuk menerima
hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani
seluruh kewajiban. Misal: ia telah berhak menerima hibah, jika
hartanya dirusak orang lain, ia diangap mampu menerima ganti
rugi. Selain itu, ia juga dianggap mampu untuk menerima harta
waris. Namun, ia dianggap belum mampu untuk dibebani
kewajiban syara’ seperti shalat, puasa, haji dsb. Maka walaupun ia
mengerjakan amalan tsb statusnya sekedar pendidikan bukan
kewajiban. Ukuran yang digunakan adalah sifat kemanusiaannya
yang tidak dibatasi umur, baligh, kecerdasan. Bayi dan anak kecil
termasuk kategori ini. Ahliyyah al-wujub terbagi dua:
 ahliyyat al-wujub al-naqishah, yaitu anak yang masih
berada dalam kandungan ibunya (janin), ada 4 hak baginya:
hak keturunan dari ayahnya, hak warisan, wasiat, dan harta
wakaf yang ditujukan kepadanya.

8
 ahliyyat al-wujub al-kamilah, kecakapan menerima hak
bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai
dinyatakan baligh dan berakal. Jika seseorang melakukan
tindakan hukum yang bersifat merugikan orang lain, maka
orang yang berstatus ahliyyah al-ada` ataupun ahliyyah al-
wujub al-kamilah wajib mempertanggungjawabkannya,
wajib memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri, dan
pengadilan berhak memerintahkan wali atau washi untuk
mengeluarkan ganti rugi dari harta anak itu sendiri. Tapi jika
tindakannya bersifat mencederai fisik atau bahkan
membunuh orang lain, maka tindakan anak kecil yang
berstatus ahliyyat al-wujub alkamilah belum dapat ditindak
secara hukum, maka hukumannya tidak dengan qishash,
tetapi dianggap melukai atau pembunuhan semi-sengaja yang
hukumnya dikenakan diyat atau ta’zir
c. `Awaridh Ahliyah, secara bahasa merupakan bentuk jamak dari
kata aridhah yang berarti penghalang. Maksud awaridh disini
adalah sesuatu yang menghalangi mukallaf untuk melakukan
sebuah tindakan atau perbuatan. Bisa saja halangan tersebut
menutup kemungkinan bagi mukallaf untuk melakukan perbuatan
atau hanya menguranginya saja atau mungkin merubah hukum
yang ada ke hukum yang lain. Ulama membagi bahwa awaridh
terbagi kepada dua bentuk, yaitu:
 Awaridh Samawiyah yaitu awaridh yang tidak ada daya
dan upaya manusia di dalamnya sebab munculnya awaridh
tersebut atas kuasa Allah Swt terhadap manusia. Awaridh
samawiyah ada sebelas bentuk, yaitu: gila, kanak-kanak,
dungu, lupa, tidur, pingsan, perbudakan, sakit, haidh, nifas
dan kematian.
 Awaridh muktasabah adalah awaridh yang dibawah kuasa
manusia, ada peluang bagi manusia memunculkannya atau
menghilangkannya. Adapun bentuk dari awaridh
muktasabah adalah bodoh, mabuk, lalai, salah dan terpaksa

9
F. Implementasi syariah/hukum dalam kehidupan
1. Kemashlahatan Dunia
Ulama sepakat bahwa kemashalahatan dalam kehidupan dunia dapat
dibagi kepada tiga tingkatan, yaitu: dharuriyah (primer), hajiyah (sekunder)
dan tahsiniyah (tersier). Pada masing-masing tingkatan memiliki karakteristik
dan standar yang berbeda. Berikut penjelasan masing-masing tingkatan
tersebut lebih rinci.
a. Daruriyyah (Primer)
Dharuriyah (pimer) merupakan tingkatan yang paling
mendasar. Segala yang dibutuhkan pada tingkatan ini mesti
terwujud. Jika tidak maka kehidupan di dunia ini tidak akan
berjalan dengan semestinya. Manusia akan menghadapi
permasalahan ataupun kesengsaraan yang menghantarkan umat
manusia pada kesengsaraan dan berujung pada kebinasaan. Untuk
terpenuhinya kemashlahatan manusia pada tingkatan ini, ada lima
hal yang mesti ada dalam kehidupan, yaitu: agama, jiwa, akal,
harta dan keturunan.
b. Hajiyyah - Sekunder
Kemaslhahatan hajiyyah (sekunder) adalah kemashlahatan
yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan yang bila mana tidak
terwujud maka tidak sampai mengancam kehidupan manusia, akan
tetapi hanya menyebabkan manusia dalam kesusahan atau
kesulitan. Agar manusia terhindar dari kesusahan-kesusahan
tersbut, maka Islam mensyariatkan rukhsah. Rukhshah adalah
keringanan hukum yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia
jika mereka menghadapai kondisi yang susah untuk melakukan
perintah sesuai dengan ketentuannya. Seperti Islam mensyriatkan
rukhsah dengan kebolehan men-jama` (menggabungkan) shalat
pada perjalanan. Begitu juga dengan menqashar (meringkas) rakaat
shalat jika seandanya perjalanan yang ditempuh cukup jauh sesuai
dengan batasan yang telah ditentukan oleh syara’.
c. Tahsiniyyah – Tersier
Mashlahat tahsiniyah adalah kemashalatan dalam tingkatan
kemewahan. Keberadaannya merupakan pelengkap bagi
10
kemashalatan lain, jika tidak terpenuhi maka tidak akan
mengancam kehidupan manusia dan juga tidak akan menyebabkan
mereka kesusahan dalam kehidupan. Hal ini biasanya adalah
kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak
enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai
dengan tuntuan norma dan akhlak yang berlaku.
Mashlahat tahsiniyah terdapat dalam berbagai bidang
kehidupan, seperti ibadah, muamalah dan lain sebagainya. Allah
Swt. telah menyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan
kebutuhan tahsiniyyah. Dalam perkara ibadah, Islam menyariatkan
bersuci baik dari najis atau dari hadas, baik dari badan maupun
pada tempat dan lingkungan
2. Mashlahat Akhirat
Sedangkan yang menjadi kemashalahatan pada kehidupan akhirat adalah
dimasukkan ke dalam surga sehinggga seseorang mendapatkan berbagai
kenikmatan didalamnya. Kemudian dijauhkan dari api neraka yang menyala-
nyala sehingga terhindar dari siksanya.

11
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
 Syariah memiliki kedudukan yang kuat dalam ajaran islam. Ia seperti tiang
yang membuat kokoh sebuah bangunan. Tanpa tiang maka bangunan tidak
akan berdiri. Maka begitu juga dengan syariah yang menadi tiang dari agama
islam.
B. Saran
 Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah
di atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun
nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu
dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa
membangun dari para pembaca

12
Daftar Pustaka

Antonio, Muhammad Syafi‟I.2001.Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani
Press

Direktorat PTAI Ditjen Kelembagaan Agama Islam.2001. Pendidikan Agama Islam Pada
Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Depag RI

Sulaiman, Abdullah.1996.Dinamika Qiyas dalam Pembaruan Hukum Islam; Kajian Konsep


Qiyas Imam Syafi`I.Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya

13

Anda mungkin juga menyukai