BAB I
PENDAHULUAN
1
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik,
Cetakan Ke-5, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, h. 4.
2
Yusuf Al-Qardhawi, Keluasan dan Keluesan Hukum Islam,
Cetakan I, Toha Putra, Semarang, 1992, h. 24.
3
Abdi Wijaya, “Eksistensi Hukum Islam dalam Perubahan Sosial”,
Jurnal Al-Risalah, Volume 10, Nomor 2, November 2010, h. 250, 252.
4
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam
Hukum Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Cet. I, Jakarta, 2009, h.
29.
5
Muhammad Syafi’I Antonio, Loc. Cit. Juga dikutip dari Reny
Supriatni, Pengantar Hukum Islam (Dasar-Dasar dan Aktualisasinya dalam
Hukum Positif), Widya Padjajaran, Bandung, 2011, h. 70.
2
6
Ibid.
7
Departemen Agama RI, Al-Qur’anulkarim dan Terjemahannya,
Syaamil Cipta Media, Jakarta, 2006.
8
Edi Waluyo (Editor), Hadits Arba’in An-Nawawiyah Terjemahan
Bahasa Indonesia, A.W. Publisher, Surabaya, 2014, h. 47.
9
Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet
Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Gema Insani, Jakarta, 2002, h. 19.
3
10
Mohammad Rosyidi Azis (et.all), Pokok-Pokok Panduan
Implementasi Syariah dalam Bisnis, Pustaka Pengusaha Rindu Syariah,
Bogor, 2010, h. 52.
11
Departemen Agama RI, Loc. Cit.
4
12
Muhammad Luthfillah Habibi, dkk, “Membangun Integrated
Takaful dan Wakaf Model Dalam Upaya Meningkatkan Kemanfaatan
Pemegang Polis”, al-Uqud: Journal of Islamic Economics, Volume 1, Nomor
2, Juli 2017, h. 142.
13
Mawardi dalam Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Addilatuhu
(Jaminan, Pengalihan Hutang, Gadai, Paksaan, dan Kepemilikan), Jilid 6,
Gema Insani, Jakarta, 2011, h. 308. Lihat juga Muhammad, Manajemen Bank
5
14
Ahmad Ad-Daur, Riba dan Bunga Bank (terjemahan), Al Azhar
Press, Bogor, 2014, h. 71-73.
7
15
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,
diterbitkan atas kerjasama Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2013, h.
30.
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 70
9
17
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan Ke-8, RajaGrafindo Persada, 2000,
h. 114.
18
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas
dalam Kontrak Komersial), Kencana Prenada Media Grup, 2010, h. 21.
19
Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma
Pustaka, Yogyakarta, 2014, h. viii-ix.
20
Jordan, “Legal Principles, Legal Values and Legal Norms: Are
they the Same or Different?”, Jurnal Academikus, Volume 2, 2010, h. 109-
115.
21
Humberto Avila, Theory of Legal Principles, Springer, The
Netherlands, 2007, h. 83-126.
22
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (Definition of the
Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and
Moderen), Revised Fourth Edition, S.T. Paul Minn. West Publishing Co.,
1968, h. 1357.
10
23
Bryan A Garner (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, Tenth
Edition, West, A Thomson Business, USA, 2004, h. 1386.
24
W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN
Balai Pustaka, Jakarta, 1976, h. 60-61, dalam Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum
Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia), Pustaka Setia,
Bandung, 2010, h. 146.
25
M. Soesilo, Kamus Hukum, Penerbit Gama, Jakarta, 2009, h. 56
26
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian
Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, h. 306.
27
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, h. 3.
28
Paul Scholten dalam Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum,
Liberty, Yogyakarta, 1988, h. 33.
29
Paton dalam Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 2000, h. 36
30
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., h. 21.
11
31
Muhammad Syukri Al-Bani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 51.
32
Syafaul Mudawam, “Syariah-Fiqih-Hukum Islam (Studi tentang
Konstruksi Pemikiran Kontemporer), Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syariah dan
Hukum, Volume 46, Nomor II, Juli-Desember 2012, h. 406.
33
Juan El Campo, Encyclopedia of Islam, An Imprint of Infobase
Publishing, United States of America, 2009, h. 620.
34
Abd Shomad, Rekonstruksi Akad Bank Syariah Untuk Mencapai
Kemaslahatan Sebagai Wujud Rahmatan Lil Alamin dalam Moch. Isnaeni,
Perkembangan Hukum Perdata Di Indonesia, Laksbang Grafika, Jogjakarta,
2013, h. 109-110.
35
Asep Usman Ismail, “Integrasi Syariah dengan Tasawuf”, Al-
Ahkam, Volume XII, Nomor 1, Januari 2012, h. 30.
12
36
Ahmad Nur Hamid, Makna Al-Din Dalam Al-Qur’an (Studi
Tematik Atas Tafsir Ibnu Katsir, Skripsi Pada Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga, Yogyakarta, 2010, h.
97.
37
John L. Esposito (Editor), The Oxford Dictionary of Islam, Oxford
University Press, New York, 2003, h. 500.
38
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terjemahan Agah
Garnadi, Pustaka Bandung, 1984, h. 7 dalam Abd Shomad, Op. Cit., h. 25
39
Ichtiar Baru Van Hoefe, Ensiklopedia Islam, Jakarta, 1997, h.
345.
40
Riyanta, “Kewarisan Beda Agama (Studi Pandangan Muadz bin
Jabal”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Volume 46 Nomor 1 Januari Juni 2012, h.
162. Juga dikutip dalam Ahmad Syukron, Rekonstruksi Hukum Islam: Kajian
Historis Atas Urgensi Pelembagaan Wakaf Produktif di Indonesia, Jurnal
Penulisan, Volume 8 Nomor 2, November 2011, h. 267.
41
Ibid.
13
42
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Grup,
Jakarta, 2011, h. 6-7.
43
Noor Hafidah, Prinsip Hukum Jaminan Syariah dalam Sistem
Perbankan Syariah di Indonesia, Disertasi Pada Program Pascasarjana
Universitas Airlangga Surabaya, 2011, h. 44-46.
44
Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2012, h. 24. Dlam buku ini ditulis pandangan tentang penggunaan
istilah hukum Islam dalam kajian hukum di Indonesia.
45
Abd. Shomad, Op.Cit, h. 29.
14
46
Abdul Rokhim, Fiqh, Wahana Dinamika Karya, Semarang, 2004,
h. 26.
47
Ibid., h. 27.
15
48
Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqh, Al-Azhar Press, Bogor, 2003,
h.17-18.
49
M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, h. 211-213. Juga Ahmad Farid, Biografi 60 Ulama
Ahlussunah, Darul Haq, Jakarta, 2013, h. 194-195.
16
fiqh sebagai ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban, yakni
ilmu yang menerangkan segala yang diwajbkan, disunahkan,
dimakruhkan, diharamkan, dan dibolehkan. Akan tetapi Imam Abu
Hanifah masih memasukkan bidang ilmu lain, yakni bidang
kepercayaan kepada Khaliq, yang dinamakan fiqh akbar. Definisi
yang diberikan Imam Abu Hanifah ini tidak berbeda maksudnya
dengan takrif50 pada masa sahabat dan tabi’in, termasuk didalamnya
urusan kepercayaan, urusan perangai budi pekerti, dan lain-lain. Bagi
Imam Asy-Syafi’I, memberikan suatu batasan fiqih sebagai Suatu
ilmu yang membahas hukum-hukum syari’ah amaliyah (praktis) yang
diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.
Pada pertengahan abad II hijriah, selanjutnya, beberapa
golongan ahli ushul dan ahli fiqh, diantaranya as Sayyid al Jurjani al
Hanafi51, mendefinisikan fiqh sebagai ilmu yang menerangkan hukum
syara’ yang merupakan amaliah yang diambil dari dalil-dalil bersifat
tafshily52. Fiqh merupakan ilmu yang digali melalui jalan ijtihad53 oleh
karena itu tidak boleh dinamakan Allah dengan faqih karena tidak ada
sesuatupun yang tersembunyi baginya. Bagi imam Abu Hamid al-
Ghazali, mendefinisikan fiqh sebagai ilmu yang menerangkan
hukum-syariah yang ditetapkan secara khusus bagi perbuatan-
perbuatan para manusia (mukallaf) seperti wajib, haram, mubah,
sunnah, makruh, perikatan yang sahih (sah), perikatan
yang fasid (rusak) dan yang batal, serta menerangkan tentang ibadah
yang dilaksanakan secara qada’ (pelaksanaannya di luar ketentuan
waktunya) dan hal-hal lain semacamnya54. Imam Abu Zahrah
menjelaskan pengertian fiqh sebagai ilmu yang menerangkan hukum-
hukum syara’ yang praktis (‘amali)yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci (tafsili)”. Abdul Wahab Khalaf mengemukakan
bahwa fiqh adalah Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang
praktis (‘amali) yang diusahakan dari dalil-dalil yang terperinci
(tafsili)”. Al-Amidi, seorang ulama’ Syafi’iyah, mendefinisikan fiqih
sebagai ilmu tentang hukum-hukum syari’ah dari dalil-dali yang
50
Sukriady Sambas, Mantik Kaidah Berpikir Islam, Penerbit
Remaja Rosda Karya Offset, Bandung, 2012, h. 6. Juga H. Mundiri, Logika,
Penerbit Raja GrafindoPersada, 2012, h. 37.
51
Abd Shomad, “Dinamisasi Penormaan Hukum Islam”, Jurnal
Perspektif, Volume XV, Nomor 2, Edisi April, Tahun 2010, h. 107.
52
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2010, h. 272.
53
Toha Andika, “Peluang dan Tantangan Ijtihad Dalam
Pembahuruan Hukum Islam”, Jurnal Nuansa, Edisi 1, Nomor 2, September
2010, h. 185.
54
Abdul Hayy ‘Al, Pengantar Ushul Fiqh, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta, 2006, h.5-6.
17
55
Mun’im A Sirry, Sejarah Fiqh Islam (Sebuah Pengantar), Risalah
Gusti, Surabaya, 1995, h. 4.
56
Mohammad Hasyim Kamali, Foundations of Islam; Shari’ah Law
An Introduction, One World Publication, Trivandrum, India, 2008, h. 41.
57
Abd. Shomad, Loc. Cit.
58
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,
diterbitkan atas kerjasama Kencana Prenada Media Grup dengan dengan
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2013, h. 126-
127.
18
59
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K Lubis, Hukum Perjanjian
dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 1
60
Ghufron A Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Cet. 1, Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2002, h. 75.
61
Ahmad Azhar Bashir, Asas-Asas Hukum Muamalat, UII Press,
Cetakan ke-2, Yogyakarta, 2004, h. 247.
62
Rahmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, CV Pustaka Setia, Bandung,
2004, h. 45.
63
Ade Armando, dkk, Ensiklopedia Islam Untuk Pelajar, PT Ikhtiar
Baru van Hoeve, Jakarta, tanpa tahun, h. 77.
64
Yusuf as-Sabatin, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala
Kapitalis, Al-Azhar Press, Bogor, 2011, h. 37.
65
Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., h. 78-82.
19
66
Wahbah Az-Zuhaili, Hukum Transaksi Keuangan, Transaksi Jual
Beli Asuransi, Khiyar, Macam-Macam Akad Jual Beli, Akad Ijarah
(Penyewaan), Terjemahan dari Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5,
Gema Insani, Jakarta, 2011, h. 373-374.
67
Yusuf As-Sabatin, Bisnis Islami dan Kritik Atas Praktik Bisnis
Ala Kapitalis, Al-Azhar Press, Bogor, 2009, h.365.
20
68
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh
Muamalat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 253.
69
Mohammed Riza Abdullah, Law and Practice of Islamic Banking
And Finance, Second Edition, Sweet and Maxwell Asia, Selangor, Malaysia,
2010, h. 2000.
21
70
Rahmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2004,
h. 20.
71
. Arif Efendi, “Gadai Syariah Dalam Perspektif Ekonomi Islam
(Studi Tentang Layanan Syariah Rahn Pada PT Pegadaian Persero”, Wahana
Akademika, Volume 15 Nomor 1, April 2013, h. 31.
22
72
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, Alfabeta, Bandung, 2011,
h. 27-29.
73
Ade Sofyan Muzid, “Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam
Sistem Hukum Nasional Di Indonesia”, Jurnal Ekonomi Syariah Innovatio,
Volume XI, Nomor 2, Juli-Desember 2012, h. 293-322.
23
74
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2005, h.93
75
Mark van Hoecke, Legal Doctrine: Which Method(s) for Whati
Kind of Disicipline?, dalam Mark Van Hoecke, European Academy of Legal
Theory Monograph Series, Oxford and Portland, Oregon, 2011, h. 13.
24
76
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas
dalam Kontrak Komersial), Kencana Prenada Media Grup, 2010, h. 40.
77
Beau Steenken dan Tina M. Brooks, Source of American (An
Introduction to Legal Research), Elangdell Press, Kentucky, 2015, h. 23-24.
78
Henry Campbell Black, Op. Cit., h. 1400.
79
Kent C. Olson, Principle of Legal Research (Successor to How to
Find the Law, 9th Edition), Thomson Reuters, USA, 2009, h. 1-2.
80
Miles O Price, dkk., Effective Legal Research, Fourth Edition,
Little, Brown and Company, Boston Toronto, 1979, h. 1.
81
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, h. 183-187.
25
82
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, h. 392.
26
BAB II
MAKNA ASAS TAAWUN DALAM KONTEKS PERJANJIAN
UTANG PIUTANG DI PEGADAIAN SYARIAH
2.1. Makna Filosofis Asas Taawun Perspektif Syariah
M. Muzaki83, menjelaskan istilah yang taawun secara
etimologis diambil dari bahasa Arab yaitu dari kata ta’awana,
yata’awana, yang berarti saling membantu, saling gotong royong, atau
saling tolong menolong antara sesama manusia. Makna taawun dalam
Kamus Bahasa Arab al-Munawir84, menggunakan istilah at taawun
dan at taawuniy, yaitu “tolong menolong”, “kerja sama”, atau yang
bermakna “sesuatu yang bersifat kerja sama”. Pada konteks
pemaknaan secara etimologis, hal yang sama juga dikemukakan oleh
M. Muzaki85 dalam “Kamus Indonesia Arab dan Arab Indonesia”
yaitu kata ta’awanu, yu’inu yang berarti “tolong-menolong”. Istilah
taawun juga digunakan dalam al-Qur’an yang terutama secara tegas
kata ini disebutkan dalam Surah al-Maidah Ayat (2), yaitu kata
wata'âwanû yang merupakan bentuk kata kerja aktif bentuk lampau
(fi’il madhi/the past continous tense). Kata wata'âwanû tersebut, dapat
berarti “bantuan”, “pertolongan”, “penolong”, “keringanan”,
sedangkan bila merupakan kata kerja dapat diartikan dengan kata-kata
seperti menghibur, menawarkan hati, mengangkat, angkat, mencabut,
mencopet, mencuri, mengumpil, mengambil, mendakikan,
menyingsing, menjadi terang, mendorong, menaikkan, menyokong,
mendorongkan, menolong, memberi pertolongan, membantu.
Dari pengertian taawun menurut peristilahan yang merujuk
kepada kamus yang peneliti gunakan, maka secara terminologis
pengertian taawun yang dalam Bahasa Indonesia, diterjemahkan
dengan kata “tolong-menolong”, yang berarti “membantu untuk
meringankan bebas (penderitaan, kesukaran, dan sebagainya;
membantu supaya dapat melakukan sesuatu”. Pengertian “tolong
menolong” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lalu
dielaborasikan maknanya secara terminologis, oleh beberapa peneliti
dengan beberapa pendekatan, antara lain Srijanti86 mendefinisikan
tolong menolong yang berarti saling membantu, meminta bantuan, dan
memberikan bantuan. Srijanti, memberikan pengertian “tolong-
menolong” dengan basis pendekatan sosial kemasyarakatan, yang
menurut pendapatnya bahwa perbuatan tolong menolong merupakan
83
M. Muzaki, Kamus Indonesia Arab dan Arab Indonesia, Gama
Press, Jakarta, 2000, h. 315.
84
AW Munawir, Op. Cit., h. 988.
85
M. Muzaki, Loc.Cit.
86
Srijanti, dkk, Etika Membangun Masyarakat Islam Moderen,
Graha Ilmu, Jogjakarta, 2007, h. 118.
27
87
Rahayu Salam, “Assitulengeng: Bentuk Tolong Menolong Dalam
Upacara Aqiqah Di Pulau Salemo”, Jurnal Walasuji, Volume 5 Nomor 2,
Desember 2014, h. 330.
88
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan,
Gramedia, Jakarta, 1984, h. 57.
89
Muhammad Basir, “Hubungan Sosial dan Akses Sosial
Masyarakat Pada Lingkungan Pemukiman Kumuh Di Kota Makassar”,
Jurnal Perkotaan, Juni 2012 Volume 4 Nomor 1, h. 53.
90
Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi
Politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang, 1995.
28
91
Nat J Collete, Kebudayaan dan Pembangunan, Sebuah
Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan Ilmu Pengetahuan Sosial Di
Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta, 1987, h. 3.
92
Sumardiono, Tolonglah Saudaramu Pasti Allah Menolongmu,
Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2014, h. 120.
93
Wahbah az Zuhaili, Tafsir Al Munir, Gema Insani (Juz 5-Juz 6),
Gema Insani, 2015, h. 300.
29
94
Ummu Sa’id, “Tanyakan Pada Hatimu” (20 Oktober 2012),
https://muslimah.or.id/3281-tanyakan-pada-hatimu.html, diakses pada
tanggal 10 Desember 2017.
95
Yulian Purnama, “Penjelasan Hadits Mintalah Fatwa Pada
Hatimu” (9 Februari 2017), https://muslim.or.id/29444-penjelasan-hadits-
mintalah-fatwa-pada-hatimu.html, diakses pada tanggal 10 Desember 2017.
30
96
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 6 (terjemahan), Sinar Baru
Algensindo, Bandung, 2007, h. 173-174.
31
97
Sumardiono, Op. Cit., h.128.
98
Imam Ghazali Masykur, dkk, Al-Mumayyaz (Al-Qur’an Tajwid
Warna Transliterasi Per Kata Terjemahan Perkata, Cipta Bagus Segara,
Bekasi, 2014, h. 198.
99
W.T. Major, The Law of Contract, Macdonald &Evans, London,
1974, h. 1.
32
100
Arthur S Hartkamp dan Marianne Tilemma MM, op.cit., h. 5.
33
101
Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2007, h. 137.
36
lama. Atas dasar itulah, karena hubungan hukum dalam akad ijarah
adalah hubungan hukum sewa menyewa, maka objek perjanjian akad
ijarah ini adalah sewa tempat penitipan barang agunan yang
disediakan oleh pegadaian syariah. Pada akad ijarah ini, kedudukan
muqtaridh disebut musta’jir (orang yang menyewa tempat) dan
muqridh disebut mu’ajjir (orang yang menyediakan tempat
penyewaan).
Pembebanan uang sewa tempat penitipan barang jaminan
kepada muqtaridh (musta’jir), tidaklah menjadi persoalan apabila
uang sewa dipungut oleh muqridh (mu’ajjir) masih dalam batas-batas
yang proporsional, namun yang menjadi persoalan adalah jika biaya
sewa penitipan yang diambil, tidak lagi pada batas-batas yang
proporsional, tetapi membuka celah sedemikian rupa agar pihak
pegadaian syariah dapat menarik manfaat dari akad ijarah yang sudah
ditetapkan bersamaan dengan perjanjian utang piutang.
Pemaknaannya bahwa standar penetapan biaya sewa (ujrah), tidak
menjadi persoalan apabila tidak dikaitkan secara langsung dengan
nilai harga konstanta dari barang jaminan/agunan (al-marhun), tetapi
biaya sewanya semata-mata ditetapkan berdasar kepada penggunaan
tempat penyimpanan barang jaminan/agunan (al-marhun) yang
disediakan pihak muqridh atau kalau memang ada biaya-biaya
perawatan yang harus dikeluarkan dalam rangka menjaga kondisi
barang jaminan/agunan (al-marhun) supaya tidak rusak atau
mengalami penyusutan.
Pada dasarnya, barang yang dijadikan sebagai jaminan/agunan
oleh muqtaridh di pegadaian syariah, adalah barang yang memiliki
nilai ekonomi atau yang memiliki nilai harga jual di pasaran. Barang
jaminan/agunan yang dimaksud itu antara lain berupa emas, perak,
perhiasan berlian, kendaraan, benda-benda elektronik, maupun benda-
benda bergerak lainnya yang memiliki nilai jual secara ekonomi.
Semua barang yang dijadikan agunan itu dari segi zat barang dan
sifatnya, sebahagian besar diantaranya tidak memerlukan perawatan
khusus atau ada perkiraan mengalami penyusutan kalau disimpan
terlalu lama. Misalnya, emas atau perak, barang jenis ini tentu tidak
memerlukan perawatan khusus untuk menjaganya karena
kekhawatiran mengalami kerusakan. Begitu juga seperti kendaraan
yang disimpan, barangkali tidak akan mengalami kerusakan apabila
disimpan dalam jangka waktu tertentu, namun yang menjadi persoalan
yaitu ketika biaya sewa dalam akad ijarah ditetapkan berdasarkan
nilai konstanta dari harga barang jaminan/agunan. Misalnya, pihak
muqridh menetapkan harga sewa dengan menaksir berdasarkan nilai
konstanta barang yang berbeda antara satu dengan yang lain,
umpamanya biaya sewa barang jaminan emas seberat 5 gram berbeda
dengan barang jaminan emas seberat 10 gram. Ilustrasi konkritnya
39
harga map, harga materai, dan lain-lain. Biaya riil semestinya tidak
boleh ditetapkan berdasarkan anggapan sepihak dari muqridh.
Penetapan biaya administrasi di pegadaian syariah, jika dalam
batasan yang logis dan wajar sesuai jasa serta biaya riil yang
dikeluarkan oleh pihak muqridh itu sendiri, tentu setiap nasabah yang
hendak meminjam sejumlah uang tertentu, akan dibebankan biaya
administrasi secara sama tanpa memandang lagi bedasarkan nilai
taksiran harga barang gadainya. Seperti pada ilustrasi kasus yang
sudah diuraikan peneliti, yaitu masing-masing pihak nasabah A dan C
boleh jadi dibebankan tarif biaya administrasi yang sama, seandainya
terjadi perbedaan selisih biaya administrasi antara A dan C,
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan biaya riil yang harus
ditanggung keduanya.
Peneliti hendak mempertegas lagi bahwa hakikat hubungan
hukum antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah adalah
hubungan hukum yang diikat oleh perjanjian utang piutang sebagai
landasan utamanya. Hubungan hukum antara para pihak yang diikat
oleh perjanjian utang piutang menurut perspektif syariah, tidak
diperkenankan menarik manfaat atau kompensasi finansial, sebab
berpeluang menjebak antara kedua pihak yang terikat dalam perjanjian
tersebut kepada jeratan transaksi riba. Inilah pentingnya untuk
mempertegas hubungan hukum dalam ikatan utang piutang menurut
perspektif syariah tegak pada asas taawun. Pihak pemberi pinjaman
modal membangun hubungan perikatannya dengan pihak penerima
pinjaman karena atas dasar dorong kemanusiaan, yaitu tolong
menolong kepada sesama saudaranya yang memang sangat
membutuhkan bantuan. Disinilah sekali lagi, unsur kebajikan sosial
dan moral yang baik dalam transaksi utang piutang perspektif syariah,
yang seharusnya memang lebih dikedepankan.
Atas dasar itulah maka penegasan hubungan hukum antara
muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah, seharusnya murni
bertumpu kepada asas taawun, sehingga menurut peneliti segala
derivasi akad yang lahir dari hubungan perjanjian utang piutang
tersebut, seperti akad ijarah sebaiknya ditiadakan kalau misalnya tetap
diadakan maka nomenklatur akad ijarah lebih berorientasi kepada
bukan sebagai celah untuk menarik keuntungan finansial.
Pertimbangan untuk ditiadakannya akad ijarah semata-mata untuk
menghindari kemungkinan hubungan transaksi antara muqridh dengan
muqtaridh terjebak kepada motivasi memperoleh keuntungan
finansial.
Menurut peneliti, derivasi akad yang lebih tepat untuk
menggantikan kedudukan akad ijarah adalah akad wadiah, alasannya
akad wadiah lebih mencerminkan aspek tolong menolong yang wujud
pelaksanaan akadnya didasarkan kepada saling memberikan
43
102
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Dar Al-Fikr, Jilid 3, 1995, h. 163.
103
Wahbah az-Zuhaili, Hukum Transaksi Keuangan, Transaksi Jual
Beli Asuransi, Khiyar, Macam-Macam Akad Jual Beli, Akad Ijarah
(Penyewaan), Terjemahan dari Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5,
Gema Insani, Jakarta, 2011, h. 556-557.
44
109
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Loc. Cit.
46
110
Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 10, Cipta Adi Pustaka,
1990, h. 371.
111
K Berten, Etika, Gramedia Utama, Jakarta, 2007, h. 4.
112
Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Prinsip-Prinsip Dasar
Kenegaraan Moderen), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2015, h. 14.
113
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum (Suatu Tawaran Kerangka
Bepikir), Refika Aditama, Bandung, 2009, h. 43.
47
114
L. Sinour Yosephus, Etika Bisnis (Pendekatan Filsafat Moral
Terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer), Pustaka Obor Indonesia, 2010, h.
33. Di dalam buku ini, dijelaskan bahwa moral merupakan ilmu praktis
sedangkan etika bidangnya adalah ilmu teoritis.
48
yang baik atau buruk, contohnya berkata jujur merupakan moral baik
yang ditetapkan sebagai standar umum dalam kehidupan masyarakat
manapun, sedangkan etika melakukan studi mendalam mengapa orang
harus berkata jujur. Etika melakukan studi kritis dan mendalam
tentang mengapa orang harus berkata jujur tanpa berwewenang
menetapkan apakah berkata jujur itu baik atau buruk. Etika melakukan
studi kritis dengan menggunakan penalaran atau argumentasi logis-
rasional, sedangkan moral menetapkan standar nilai perbuatan
manusia, adalah berpedoman kepada tradisi, kebiasaan yang berlaku
ditengah masyarakat, ataukah berdasarkan wejangan para tokoh
masyarakat, atau bisa juga berdasarkan doktrin keagamaan tertentu.
Kesimpulannya, moral bersifat preskriptif, yaitu menganjurkan atau
melarang, sebaliknya etika semata-mata bersifat ekspositif, yaitu
memaparkan atau menjelaskan.
Pembahasan tentang relasi moral dengan hukum telah dibahas
oleh Peter Mahmud Marzuki dalam buku yang ditulisnya
“Pengantar Ilmu Hukum”, sebuah karya Magnum Opus yang
merupakan pegangan bagi mahasiswa yang belajar di beberapa
Fakultas Hukum di Indonesia, bahwa moral seyogyanya terintegrasi
ke dalam hukum sebab hukum inilah yang berfungsi untuk
mengoperasionalkan hukum dalam konteks interaksi sosial umat
manusia. Menurut Peter Mahmud Marzuki, moral sesungguhnya
merupakan keadaan batin manusia secara mendasar mengaktualisasi
sebagai perintah kepada diri sendiri tentang perbuatlah apa yang baik
dan hindari apa yang jahat. Moral yang luhur dapat terjadi karena
adanya kendali terhadap hawa nafsu melalui pendayagunaan kehendak
dan pikiran, apabila kehendak dan pikiran seseorang dikendalikan
hawa nafsu yang merugikan orang lain atau masyarakat, berarti telah
berlaku moral buruk pada orang tersebut 115. Pandangan Peter
Mahmud Marzuki tersebut, tampak dipengaruhi oleh pemikiran teori
hukum alam versi Thomas Aquinas. Peter Mahmud Marzuki,
tampaknya berusaha untuk memposisikan hubungan antara moral
dengan hukum dalam titik persinggungan yang dapat diterima oleh
nalar. Penormaan nilai-nilai moral yang dimanifestasikan kedalam
produk aturan hukum, menurut versi Peter Mahmud Marzuki,
adalah diukur menurut rasionalitas.
Pandangan Peter Mahmud Marzuki yang memformulasikan
hubungan antara nilai moral dengan norma hukum serta tentang
bagaimana pengintegrasian penormaan nilai moral kedalam norma
hukum, yang bila dicermati sekali lagi pandangannya itu, lebih
dipengaruhi oleh pemikiran mazhab hukum alam. Ini tentu berbeda
dengan pandangan pemikiran mazhab hukum positivisme, yang lahir
115
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h. 123-124.
49
dari gagasan August Comte, yang gagasan ini semakin popular pasca
perang dunia I, ketika pemikiran mazhab positivisme ini
dikembangkan oleh John Austin. Pemikiran mazhab positivisme versi
John Austin berpandangan bahwa hukum memiliki karakteristik
sebagai daya paksa yang terwujud sebagai kehendak dari otoritas
pemegang kekuasaan yang berdaulat. Berpijak dari pandangan ini.
John Austin berpandangan bahwa hukum yang sebenar-benarnya
hukum adalah hukum yang penormaannya dicirikan atas tiga
komponen yaitu, yaitu perintah yang besifat memaksa, sanksi, dan
pihak yang berdaulat atau yang berkuasa. Ketiga komponen ini saling
bertaut dan berintegrasi satu sama lain, tetapi yang paling menonjol
dari komponen tersebut adalah otoritas kekuasaan116.Berdasarkan
pandangan ini John Austin lalu berpendapat bahwa hukum haruslah
dilihat sebagaimana apa adanya, dalam pengertian hukum
sesungguhnya merupakan perintah, sehingga hukum selalu merupakan
sebuah kewajiban yang bersifat memaksa yang harus ditaati oleh
sebahagian besar warga masyarakat.
Mencermati dua pandangan tersebut, yang mempersoalkan
tentang hubungan antara moral dengan hukum, serta tentang
penormaan nilai-nilai moral terhadap hukum, paling tidak dapat
disimpulkan bahwa titik perbedaan kedua mazhab pemikiran tersebut,
adalah kepada persoalan formalitas atau legislasi produk aturan yang
diberlakukan ditengah masyarakat. Mazhab positivisme, memandang
moral merupakan hal yang terpisah dengan hukum. Penormaan hukum
menurut versi positivisme hanya tampak ketika hukum itu dilegislasi
secara prosedur formal oleh pemegang kekuasaan, sehingga hukum
sebagai bagian dari titah penguasa, ia harus diletakkan pada bingkai
yang apa adanya. Sedangkan dari sisi pandangan mazhab hukum
alam, moral merupakan hal mutlak yang harus terintegrasi kedalam
nilai-nilai hukum, sebab bagi penganut mazhab hukum alam,
penormaan nilai-nilai hukum yang tidak mencerminkan nilai-nilai
moral, misalnya apa yang dianggap sebagai hukum hanya menjadi alat
kesewenang-wenangan bagi penguasa, maka apa yang dianggap
sebagai hukum itu, sesungguhnya bukanlah hukum.
2.3.2. Penormaan Nilai Moral Perspektif Syariah
Menurut M. Quraish Shihab117 apa yang disebut sebagai
moral dalam ajaran Islam memiliki makna yang sepadan dengan
istilah akhlak. M. Quraish Shihab, lalu menguraikan makna akhlak
secara etimologis yang diambil dari Bahasa Arab yaitu dari istilah
akhlaq. Istilah ini merupakan bentuk jamak dari khuluq yang pada
116
Ibid., h. 94-97.
117
M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita Akhlak, Lentera Hati,
Jakarta, 2016, h. 3-6.
50
118
M. Quraish Shihab, Loc. Cit.
119
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Tafsir Tematik Atas
Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, 1996, h. 336.
120
Hafidz Abdurrahman, Pokok-Pokok Dalam Islam), Al-Azhar
Fresh Zone Publishing, Bogor, 2016, h. 238-239.
121
Quraish Shihab, Loc. Cit.
51
122
Ibid, h. 5.
123
Hafidz Abdurrahman, Loc. Cit.
124
Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak,
Cetakan I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 32.
52
125
M. Quraish Shihab, Loc.Cit.
53
126
Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2010,
h. 87-122.
54
tegak atas dasar asas taawun, maka pada saat bersamaan nilai-nilai
moral kebajikan yang semestinya dikedepankan dalam perjanjian
tersebut.
Keberadaan asas taawun (tolong menolong), sesungguhnya
adalah untuk menegaskan refleksi dari niat dan kehendak seorang
muslim untuk meraih nilai-nilai kebajikan, sehingga tatkala sebuah
perjanjian utang piutang yang meletakkan makna perjanjian dengan
spirit tolong menolong sebagai wujud kebajikan, maka tentu saja
hukum Islam menetapkan larangan keras untuk mengeksploitasi orang
lain sebagai sarana untuk meraih manfaat finansial melalui
penggunaan perjanjian utang piutang tersebut. Bila cara itu dilakukan,
ini juga berarti seorang muslim telah menjerat dirinya kedalam praktik
riba, sementara riba dalam perspektif Islam, merupakan sesuatu yang
sangat dilarang keras.
Asas taawun yang dilekatkan pada perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, sesungguhnya untuk mempertegas nilai-nilai moral
yang hendak dikedepankan, yaitu perwujudan nilai-nilai kebajikan
sosial yang melekatkan unsur spiritualistik. Makna filosofis kebajikan
sosial yang berkarakter spiritualistik dalam konteks ini, yakni
kebajikan yang akan mendapat ganjaran pahala dari Allah SWT,
sehingga kebajikan sosial dalam kerangka ketika seorang muslim
memberikan bantuan modal pinjaman uang kepada siapa saja yang
membutuhkan, adalah bukan sekedar kebajikan sosial yang berbasis
kemanusiaan, tetapi juga kebajikan yang mengandung unsur
transendental.
Salah satu Hadits Nabi Muhammad SAW, menjadi rujukan
tentang penggambaran seorang muslim yang meringankan kesulitan
yang dialami saudara sesama muslim, termasuk membantu dalam hal
memberikan bantuan keuangan, sebagai berikut127:
127
Fauzan Al-Banjari, Op. Cit., h. 126-127.
56
128
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h. 99-100.
129
Ibid.
59
130
Fauzan Al-Banjari, Op. Cit., h. 16-17. Bunu ini mengutip uraian
Ibnu Katsir tersebut, yang selengkapnya dapat dibaca dalam kitab yang
ditulisnya, yaitu Tafsir al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 2, Dar- al Thayyibah li al-
asyr wa al Tawzi.
131
Ibid.
60
132
Stolker dalam Anton F Susantho, “Dialog tentang Keilmiahan
Ilmu Hukum” dalam Bernard Arief Sidharta, dkk, Pengembanan Hukum
Teoritis (Refleksi Atas Konstelasi Disiplin Hukum), Logoz Publishing,
Bandung, 2015, h. 42-51.
133
M. Quraish Shihab, Loc. Cit.
63
134
Delba Winthrop, “Aristotle and Theories of Justice”, dalam The
American Political Science Review, Volume 7, Nomor 4, Desember 1978, h.
1201-1216.
135
John Rawls, A Theory of Justice, Edisi Revisi, Harvard
University Press, USA, 1999, h. 3. Buku ini banyak dijadikan sebagai
rujukan oleh pemikir kontemporer ketika membahas tentang keadilan.
Terutama bila keadilan itu ditinjau dari segi perspektif filsafat barat. Hanya
saja, gagasan teori keadilan yang dikemukakan oleh Johm Rawls tersebut,
lebih cenderung merujuk kepada prilaku sosial masyarakat Amerika Serikat.
136
Sahya Anggara, “Teori Keadilan John Rawls Kritik terhadap
Demokrasi Liberal”, Jurnal Perspektif, Volume 1, Edisi Januari-Juni, 2013,
h. 1-11.
137
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Op.Cit., h. 81-82.
64
138
Ibid.
139
John B Hardie dan Hamid Algar, Sayyid Qutb Social Justice in
Islam, Islam Book Trust, Kuala Lumpur, Malaysia, 2000, h. 37.
140
M. Quraish Shihab, Op. Cit., h. 147-159.
65
141
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., h. 89.
142
M. Quraish Shihab, Loc.Cit.
68
143
Ahmad Ad-Daur, Loc. Cit.
70
144
Abdurrauf, “Penerapan Teori Akad Pada Perbankan Syariah”, Al-
Iqtishad, Volume IV, Nomor 1, Januari 2012, h. 20. Pada tulisan ini
menjelaskan konsep tasharruf dalam perspektif syariah, adalah hak atau
72
BAB III
ASAS-ASAS PERJANJIAN YANG MENDASARI
KARAKTERISTIK HUBUNGAN HUKUM DALAM
PERJANJIAN UTANG PIUTANG DI PEGADAIAN SYARIAH
DENGAN MENGKAITKAN ASAS TAAWUN SEBAGAI
LANDASAN POKOKNYA
145
Sri Soedewi Maschoen Sofwan, Hukum Perdata (Hukum
Perutangan Bagian B), Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Yogjakarta,
1980, h. 17.
76
146
Wahbah az-Zuhaili, Finacial Transactions In Islamic
Jurisprudence Volume I, Terjemahan oleh Mahmoud A El Gamal, dari Al-
Fiqh Al-Islami wa ‘Addilatuh, Dar Al-Fikr, Damaskus, 2001, h. 605.
147
Yusuf as Sabatin, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala
Kapitalis, Al-Azhar Press, Bogor, 2011, h. 364.
78
148
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K Lubis, Hukum Perjanjian
dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 133.
79
149
Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada
Media Grup, Jakarta, 2014, h. 25.
81
150
Atha bin Khalil, Ushul Fiqh (terjemahan), Pustaka Thariqul
Izzah, Bogor, 2008, h. 107-132, dan Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqh
Membangun Paradigma Berpikir Tasyriri, Al-Azhar Press, 2003, h. 98-105.
82
151
Rais Sasli, Pegadaian Syariah (Konsep Sistem Operasional:
Suatu Kajian Kontemporer), UI Press, Jakarta, 2005, h. 20.
83
benar terpisah dari perjanjian utang piutang itu sendiri, termasuk juga
mengubah nomenklatur filosofis perjanjian gadai (akad rahn) sebagai
salah satu celah untuk mencari keuntungan, sebab filosofi ontologis
perjanjian gadai (akad rahn) memang diletakkan dalam kerangka
penguat kepercayaan bagi penerima gadai (muqridh) yang
berkedudukan sebagai pihak berpiutang terhadap pengembalian utang
yang diperjanjikan oleh pihak berhutang (muqtaridh) dikemudian hari.
Perjanjian gadai sekaligus juga merupakan jaminan pelunasan utang
masa akan datang.
Apabila mencermati dalil yang tercantum dalam al-Qur’an
Surah al-Baqarah Ayat (283), terjemahannya:
152
Wahbah az-Zuhaili, Loc. Cit.
84
musafir atau dalam perjalanan, yaitu pada penggalan ayat “…wa ing
kuntum ‘alaa safari walam tajiduu kaatiban fa rihaanum
maqbuudhoh,…”, tetapi dalam penjelasan tafsir al-Wahidi dan juga
tafsir al-Munir sebenarnya hakikat yang hendak ditangkap dalam ayat
ini adalah untuk menegaskan kekokohan amanah (kepercayaan) dalam
perjanjian utang piutang kendatipun tidak dalam kondisi perjalanan.
Untuk mempertegas hakikat ontologis perjanjian gadai, dapat
disimak dari Hadits Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah, Ummul Mukminin153 bahwa:
153
Voa Islam, “Subhanallah, Aisyah dan Shafiyah Adalah Ummul
Mukminin Cerdas”, (25 Februari 2014), https://www.voa-islam.com/, diakes
15 Desember 2016.
154
Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman, Bisnis dan
Muamalah Kontemporer, Al-Azhar Freshzone Publishing, Bogor, 2014, h.
211.
85
155
Ibid.
156
Muzakir S, “Regulasi Hutang Piutang Dalam Tinjauan Ekonomi
Islam (Telaah Terhadap Surah al-Baqarah Ayat 282)”, Iqitishaduna Jurnal
Ekonomi Islam, Volume 5 Nomor 1 Juni 2014, h. 64-77.
157
Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman,op.cit., h. 212.
158
Ibid.
86
159
Said Yai Ardiansyah, “Bahaya Kebiasaan Berhutang”, (3 Maret
2009), https://muslim.or.id/13427-bahaya-kebiasaan-berhutang.html, diakses
tanggal 21 Agustus 2016.
160
Ika Yunita Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar
Ekonomi Islam Perspektif Maqashid al-Syariah, Kencana Prenada Media
Grup, Jakarta, 2014, h. 44.
87
161
Jasser Auda, Maqashid al-Syari’ah As Philosophy of Islamic Law
A Systems Aproach, Islamic Book Trust, Kuala Lumpur, 2010, h. 20-21.
162
Ibid., h. 168-169.
163
Ade Sofyan Mulazid, Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2016, h. 27.
88
164
Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum
Nasional, Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum Di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, h. 19.
165
Syafe’i, Rahmat, Op. Cit., h. 22-23.
89
166
TM Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1975, h. 73. Lihat juga Zainuddin Ali, Hukum Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006, h. 45.
90
kebajikan sebagai spirit bagi tegaknya asas taawun maka asas kehati-
hatian sangat diperlukan terutama dalam kerangka membangun
hubungan saling kepercayaan dari masing-masing pihak. Hubungan
saling kepercayaan meniscayakan sikap amanah satu sama lain yang
didorong oleh spirit moral kebajikan dengan tetap bertumpu kepada
asas taawun sebagai basis utamanya.
Asas taawun merupakan basis utama perjanjian utang piutang
di pegadaian syariah namun tidak berarti menafikan asas saling
menguntungkan antara muqridh dengan muqtaridh, namun
keuntungan yang dimaksud dalam konteks ini, adalah keuntungan
berbasis spiritual-transendental, bukan dalam hitungan kalkulasi
profit-oriented. Artinya, bagi pihak muqridh sendiri meskipun modal
yang dipinjamkan tidak mendapatkan kelipatan nilai keuntungan
profit menurut hitungan ekonomi kapitalisme, tetapi jaminan
keuntungan pahala yang berlipat dari Allah SWT, sangat mungkin
didapatkan oleh muqridh di hari kemudian. Suatu hari yang pada saat
itu, nilai materi menurut ukuran dunia, seperti emas, perak, dan
perdagangan, tidak berarti apa-apa disisi Allah SWT. Bahkan dalam
salah satu hadits Nabi Muhammad SAW, Allah SWT memberikan
jaminan perlindungan di hari pengadilan (yaumil hisab) kepada
pemberi hutang yang mau memutihkan hutangnya kepada pihak
berhutang yang memang sama sekali tidak mampu melunaskan
hutangnya.
Konteks hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh,
telah dipahami secara fundamental, yaitu tidak dalam kerangka profit-
oriented, tetapi pada nilai-nilai kebajikan yang orientasinya adalah
saling tolong menolong (taawun). Preposisi hubungan hukum
demikian meniscayakan kedua pihak berada dalam posisi yang setara
(taswiyah). Inilah yang menjadi dasar berpikir bahwa muqridh dan
muqtaridh tidak berada dalam posisi yang sub-ordinat dengan tetap
mengedepankan saling menjaga amanah. Dimensi amanah pula yang
menjadi karakteristik bangunan asas kesetaraan muqridh dengan
muqtaridh. Kedua pihak membangun komunikasi kemitraan yang
berlandaskan kesadaran transendental baik dari pihak muqridh, dari
pihak muqtaridh maupun atau juga dari keduanya. Hubungan
kemitraan itu tetap mengedepankan asas taawun sebagai poros utama
perjanjian. Inilah yang peneliti maksudkan sebagai hubungan yang
saling mengintegrasi antara asas taawun dengan asas kesetaraan
(taswiyah).
Penegakan asas kesetaraan dalam perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, dengan asas taawun sebagai poros utama
perjanjian, tentu saja berimplikasi saling memberikan informasi
terbuka sebagai patokan akuntabilitas (pertanggungjawaban)
pelaksanaan perjanjian. Para pihak tidak dibenarkan saling
94
dibolehkan oleh Allah SWT. Atas dasar itu, urgensi asas sebab yang
halal tetap menjadi prioritas utama kerangka hubungan hukum antara
muqridh dengan muqtaridh. Pada titik singgung yang sama, asas
taawun hanya diperbolehkan tegak menurut batasan yang dihalalkan
oleh Allah SWT. Syariah sudah menetapkan koridor tentang tolong
menolong sesama muslim hanya atas dasar kebaikan. Syariah sangat
melarang keras hubungan tolong menolong atas dasar bukan untuk
kebaikan atau malah pada perbuatan jahat yang merugikan orang lain.
Firman Allah dalam al-Quran Surah Al-Maidah Ayat (2) bahwa: “…
tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Ayat tersebut menjadi dalil normatif untuk dapat menjadi
pijakan secara implisit tentang hubungan simetris antara asas taawun
dengan asas sebab yang halal, pada konteks hubungan hukum
perjanjian antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah.
Tolong menolong menjadi dasar fundamental kerangka hubungan
hukum para pihak di pegadaian syariah tetapi aspek kehalalan objek
perbuatan hukum menjadi sebuah kemutlakan yang tidak boleh
dilanggar. Melalui pijakan asas sebab yang halal sebagai salah satu
pilar penyangga perjanjian di pegadaian syariah maka para pihak
dalam membangun kerangka hubungan hukum dalam klasula
perjanjian utang piutang haruslah memuat tujuan perjanjian yang jelas
melalui perhitungan yang cermat guna terhindar dari praktik spekulasi
atau maisir. Ketidakjelasan tujuan perjanjian dalam klausula yang
disepakati oleh muqridh dan muqtaridh dapat berakibat perjanjian
batal menurut syariah.
Kerangka hubungan hukum antara muqridh dengan
muqtaridh dalam klausula perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah, sebagaimana yang telah peneliti uraikan pada sub
pembahasan sebelumnya, mengharuskan kejelasan tujuan serta objek
perjanjian secara rinci. Maksud pemuatan tujuan serta objek perjanjian
secara jelas dan terinci merupakan manifestasi dari penegakan asas
luzum atau asas tidak berubah dalam perjanjian. Urgensi penegakan
asas tidak berubah (luzum) dalam perjanjian utang piutang berbasis
syariah, sangat berkaitan erat dengan penegakan asas taawun sebagai
poros utamanya. Hubungan asas taawun dengan asas tidak berubah,
bertitik tumpu kepada aspek moralitas berbasis kebajikan yang
menjadi spirit dari motivasi keberlangsungan perjanjian. Pihak
muqridh dengan muqtaridh mengekspresikan apa yang termuat dalam
klausula perjanjian secara jelas dan konkrit sebagai sebuah tuntutan
moral sekaligus juga merupakan tuntutan syariah.
Asas taawun sangat bersinggungan dengan moralitas para
pihak dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah. Atas dasar
inilah, para pihak seharusnya secara moral dapat menakar apa yang
97
BAB IV
PENORMAAN KLAUSULA BEBERAPA AKAD YANG
TERINTEGRASI PADA PERJANJIAN UTANG PIUTANG
DALAM KERANGKA TEGAKNYA ASAS TAAWUN DI
PEGADAIAN SYARIAH
4.1. Argumentasi Hukum Yang Mendasari Gagasan
Pembentukan Lembaga Pegadaian Syariah Di Indonesia
Sejak Terbitnya PP Nomor 1 Tahun 1990 (Sebuah
Tinjauan Sejarah Hukum)
Sejarah terbentuknya lembaga pegadaian syariah di Indonesia,
bermula dari keluarnya PP Nomor 10 Tanggal 1 April 1990 tentang
Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian Menjadi
Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Salah satu muatan penting dari
PP Nomor 10 Tahun 1990, yaitu yang termaktub dalam Pasal 5 Ayat 2
yang menetapkan, ketentuan sebagai berikut:
167
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, Alfabeta, Bandung, 2011,
h. 84-85.
168
Ahmad Rodoni, Lembaga Keuangan Syariahi, Cetakan I, Zikrul
Hakim, Jakarta, 2004, h. 188.
100
169
Maksudnya pada saat kajian penelitian ini dibuat, belum ada
satupun regulasi setingkat undang-undang, yang mengatur secara khusus
tentang Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia.
104
170
Siti Suhaina, “Perbandingan Hukum Gadai Syariah dengan Gadai
Konvensional Pada PT Pegadaian Pekanbaru”, JOM Fakultas Hukum,
Volume III, Nomor 2, Oktober 2016, h. 9
105
171
Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah,
Teori&Praktik, Kencana Prenada Media Group, Depok, 2014, h. 64.
Musyawarah merupakan karakter setiap muslim, sehingga pada pelaksanaan
musyawarah, hendaknya lebih dikedepankan akhlak yang baik, berlaku
lemah lembut dan tidak kasar.
172
Ibid.
106
173
Tsallis Rifa’I, “Komunikasi Dalam Musyawarah (Tinjauan
Konsep Asyura dalam Islam)”, Jurnal Channel, Volume 3, Nomor 1, April
2015, h. 39.
108
174
Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, h. 142.
109
175
Muhammad Arifin, Arbitrase Syariah sebagai Pilihan Forum
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2016, h. 231.
176
Ibid.
110
177
Amran Suadi, Op.Cit., h. 125.
113
178
Azila Abdul Razak, “Economic and Religious of The Islamic and
Conventional Pawnbroking in Malaysia: Behavioural and Perception
Analysis”, Thesis Submitted In Fullfillment of the Requirements for the
Degree of Doctor of Philosophy at The School of Government and
International Affairs Institute of Middle Eastern and Islamic Studies, Durham
University, United Kingdom, h. 65
179
M. S. Skully, “Islamic Pawnbroking: The Malaysian
Experience”, Makalah yang dipresentasikan pada the 3nd International
Islamic Banking and Finance Conference, 2005.
115
180
Azila Abdul Razak, Op. Cit., h. 5.
116
harga pasaran setempat. Bila kadar emas tinggi serta nilai jualnya
tinggi menurut harga pasaran setempat, maka dapat dipastikan
pungutan ujrah juga tinggi181.
4.4.2. Nomenklatur Perjanjian Utang Piutang Berbasis Gadai
Syariah yang Dipraktikkan oleh Bank Islam Brunei
Darussalam
Nomenklatur perjanjian utang piutang pada skim ar rahnu (ar
rahn) yang diselenggarakan oleh BIBD Brunei Darussalam mirip
dengan nomenklatur perjanjian utang piutang yang dipraktikkan oleh
Lembaga Pegadaian Syariah di Malaysia, yakni skema perjanjian
utang piutang sebagai pilar utama akad yang dilekatkan kepadanya
dua akad, yakni akad rahn dan akad wadiah. Peneliti secara ringkas
menguraikan bahwa praktik perjanjian utang piutang berbasis ar rahn
yang berlangsung di BIBD mencakupi empat komponen yaitu qard
hassan, Wadiah Yad Damana, Rahn, dan ujrah. Tentu saja praktik
pemberian pinjaman modal oleh BIBD, tidak memungut bunga.
Untuk jelasnya, berikut peneliti menyajikan skema akad
perjanjian utang piutang berbasis gadai syariah yang dipraktikkan di
BBID Brunei Darussalam182:
181
Azila Abdul Razak, Loc. Cit.
182
Y Matahatir, “Membangun Golongan Berpendapatan Rendah
Menerusi Pajak Gadai Islam-Model Mikro Kredit Serantau”, Paper yang
dipresentasikan pada Konvensyen Ar-Rahnu Serantau 2002, yang
diselenggarakan oleh The Regional Ar-RahnuSecretariat pada 26-31ktober
2002 di Kuala Lumpur, Malaysia.
117
183
Kentaro Kambara, “Economics of Rahn (Islamic Pawnbroking):
Issues and Cases In Brunei Darussalam, dimuat dalam The Proceedings of
The 5th International Sympoium on Islam, Civilization, and Science (Islam As
A Basis For Civilizational Thought and Development, diadakan di Kyoto
Universiy, Jepang, 31 Mei- 1 Juni 2014, h. 169-178.
118
184
Mustafa Dakian, Sistem Kewangan Islam (Instrumen,
Mekanisme, dan Pelaksanaannya di Malaysia, Utusan Publication &
Distributors Sdn Bhd, Kuala Lumpur, Terbitan Pertama, 2005, h.109-110.
Juga termuat dalam Miss Ni-Asuenah Che-awae, “Strategi Pemasaran
Tabungan Haji Di Koperasi Ibn Affan Wilayah Patani Thailand Selatan,
Skripsi, Jurusan Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013, h. 37-40.
120
185
Adilla Sarah Erangga,”Operasional Gadai Dengan Sistem
Syariah PT Pegadaian Surabaya”, dalam Jurnal Akuntansi Unesa, Volume 2
Nomor 1 tahun 2013, h. 1-22. Lihat juga Adrian Sutedi, Hukum Gadai
Syariah, Alfabeta,Bandung, 2011, h. 163.
122
186
Fauzan Al-Banjari, Op. Cit., h.120-121.
128
187
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, 1987, h. 79.
188
Ibid.
189
R Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I (Bagian
Pertama), Dian Rakyat, Jakarta, 1983, h. 19.
131
190
Novita Dewi Masyitoh, “Analisis Normatif Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas Status
Badan Hukum dan Pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil, Jurnal
Economica, Volume V, Edisi 2, Oktober 2014, h. 18.
191
Ibid., h. 19.
133
192
Ibid.
134
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Keseluruhan kajian pembahasan ini dengan merujuk pokok-
pokok rumusan masalah penelitian dan sebagai inti sari dari
rangkuman jawaban pokok-pokok rumusan masalah penelitian ini,
berikut peneliti mengurai beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Makna filosofis asas taawun dalam perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, adalah asas yang menetapkan kerangka
hubungan hukum antara pegadaian syariah (muqridh) dengan
nasabah (muqtaridh), yang tegak atas dasar tanggung jawab
kebajikan sosial yang berlandaskan semangat spiritual dan tolong
menolong, sehingga pemberian bantuan pinjaman modal oleh
pegadaian syariah kepada nasabah bukanlah didorong oleh
kepentingan untuk memperoleh keuntungan finansial (profit).
Konteks pemaknaan asas taawun dalam kerangka hubungan
hukum di pegadaian syariah tersebut, juga adalah untuk
menegaskan kedudukan lembaga pegadaian syariah sebagai
lembaga yang benar-benar mengemban amanah tanggung jawab
sosial.
b. Asas-asas perjanjian yang mendasari karakteristik hubungan
hukum para pihak dalam perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah, diantaranya asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik,
asas amanah, asas saling menguntungkan, asas tertulis, asas
kehati-hatian, asas kemampuan, asas sebab yang halal, asas
kemudahan, asas kesetaraan, asas kemampuan, asas sukarela, dan
asas tidak berubah. Semua asas perjanjian yang disebutkan,
memiliki hubungan integral yang saling terkait dengan asas
taawun sebagai landasan utama perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, sehingga ketika semua asas tadi hendak
diintegrasikan ke dalam perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah, maka asas taawun tetap menjadi patokan sebagai
landasan utama perjanjian.
c. Penormaan klausula beberapa akad yang terintegrasi pada
perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, sangat urgen untuk
direkonstruksi, agar nomenklatur perjanjian tersebut tetap
konsisten tegak diatas landasan asas taawun. Beberapa klausul
yang perlu direkonstruksi antara lain penormaan akad rahn yang
menempatkan klausula beban biaya administrasi. Penetapan biaya
administrasi, seharusnya mengacu kepada standar biaya-biaya riil
yang dikeluarkan. Begitu juga, penormaan akad ijarah yang
terderivasi dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah,
perlu untuk direkonstruksi, terutama penamaan akad yang
sebaiknya diganti dengan nama akad wadiah, dengan
137
DAFTAR BACAAN
I. Buku Teks
Fauzia, Ika Yunita dan Riyadi, Abdul Kadir, Prinsip Dasar Ekonomi
Islam Perspektif Maqashid al-Syariah, Kencana Prenada Media
Grup, Jakarta, 2014.
Fuad, Abu, Riba Halal Riba Haram, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor,
2015.
Sabatin, Yusuf, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala
Kapitalis, Al-Azhar Press, Bogor, 2011.
Astuti, Eni Dwi, “Ziyadah Dalam Utang Piutang (Studi Kasus Utang
Piutang Di Desa Kenteng Kecamatan Toroh Kabupaten
Grobogan”, Skripsi, Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri Walisongo, 2010.
Jordan, “Legal Principles, Legal Values and Legal Norms: Are they
the Same or Different?”, Jurnal Academikus, Volume 2, 2010.
Musadad, Asep Nahrul, “Menyoal Fikih Islam dan Studi Hadis Dari
Relasi Historis-Organik Ke Segregasi Epistemologis”, Episteme,
Volume 10, Nomor 1, Juni 2015.
Dimasqi, Al Imam Abul Fida Ismai’il Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Katsir
Juz 5, Terjemahan Bahrun Abu Bakar dan H. Anwar, Cetakan I,
Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2000.
Leigh, Lilian dan Wu, Kai, The Law Handbook (Your Practical), 13th
Edition, Thomson Reters, Australia, 2014.
Baits, Ammi Nur, “Hukum Jual Beli Lelang” (21 Maret 2014),
https://konsultasisyariah.com/22125-hukum-jual-beli-lelang.html,
diakses tanggal 17 Desember 2017.
Jawas, Yazid bin Abdul Qadir, “Niat Untuk Berbuat Baik Mendapat
Pahala”, (1 Maret 2013), https://almanhaj.or.id/3546-niat-untuk-
berbuat-baik-mendapat-pahala.html, diakses November 2016.
V. Korespondensi
A. Identitas
B. Riwayat Pendidikan
D. Riwayat Pekerjaan
E. Riwayat Jabatan
F. Pengalaman Penelitian
Lanjutan) (ANGGOTA)
Perlindungan Hak-Hak
4 Ekonomi Nelayan Miskin Di 2016 Biaya Dikti
Wilayah Pesisir Sulawesi Tahun
Tenggara Melalui Penguatan Anggaran 2016
Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat (ANGGOTA)
Model Penyelesaian Konflik
5 Agraria Melalui Pranata 2017 Biaya Dikti
Mediasi Yang Tahun
Mengintegrasikan Peran Anggaran 2017
Lembaga Bantuan Hukum
Berbasis Perguruan Tinggi
Di Sulawesi Tenggara
(KETUA)
Model Penyelesaian Konflik
6 Agraria Melalui Pranata 2018 Biaya Dikti
Mediasi Yang Tahun
Mengintegrasikan Peran Anggaran 2018
Lembaga Bantuan Hukum
Berbasis Perguruan Tinggi
Di Sulawesi Tenggara
(Lanjutan) (KETUA)
Beli dan
Tindakan
Komunikasi di
Tempat Belanja
Berbasis
Syariah.
5Studi Kritis Jurnal Ijtihad ISSN 1411- Volume 15 Nomor
10 Model Perjanjian 9544, E-ISSN 2477-8036 1 Halaman 119-136/
Mudharabah (Terakreditasi). Juni 2015.
Pada Perbankan
Syariah Di
Indonesia
1Urgensi Prinsip Hasanuddin Law Review Volume 1 Nomor 2
11 Proporsionalitas ISSN Print 2442-9880 Halaman 228-
Pada Perjanjian ISSN on line 2442-9899 241/Agustus 2015.
Mudharabah Di (Terindeks DOAJ,
Perbankan Copernicus)
Syariah
Indonesia.
7Studi Normatif Jurnal Al-Maslahah P- Volume 11 Nomor
12 Anti Tesa ISSN 1907-0233 E-ISSN: 2 Halaman 1-
Pemikiran 2502-8367, Tidak 16/Oktober 2015
Hukum Syariah Terakreditasi
Terhadap
Pemikiran
Mazhab Hukum
Alam
13 Reformulating Karsa, Jurnal Sosial dan Volume 24 No.2,
the Contract Budaya Keislaman, ISSN Desember 2016
Formats of 2442-3289, e-ISSN 2442-
Islamic Financial 4285,
Institutions in Terakreditasi:80/DIKTI/
Indonesia toward KEP/2012
Maqashid al-
Syari’ah Based
Contracts
Indonesia
2 Reconstruction International Journal Volume 5 Issue 5/ Mei
towards Model of Bussiness and 2016.
for Dispute Management
Resolution of Invention ISSN (Print)
Islamic : 2319-801X ISSN
Business in (Online) : 2319-8028
Indonesia
3 Protection For International Journal Volume 4 Isssue
Poor of Advanced 11/November 2016
Fishermen’s Research (IJAR) ISSN
Economic 2320-5407
Right Through
Strengthening
Of The
Institution For
Community
Empowerment
In Southeast
Sulawesi,
Indonesia
Province In The
Sharia
Perspective
6The International The Legal Study 15-16 November
6 Conference on Law, on Corporate 2017, bertempat di
Governance and Social SwissBell Hotel
Globalization, Responsibility In Manyar Surabaya.
Faculty of Law, The Realization
Airlangga University for
Environmental
Development In
South East
Sulawesi
M. Lain-Lain