Anda di halaman 1dari 173

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Islam merupakan seperangkat aturan yang diturunkan oleh
Allah SWT melalui utusannya Nabi Muhammad SAW, yang
keberadaannya dipandang sebagai norma petunjuk untuk memberikan
rahmat bagi seluruh alam. Kedudukan Islam sebagai rahmat bagi
seluruh alam, adalah memiliki makna sebagai ajaran yang secara
otoritatif tidak hanya mengatur pergaulan hidup masyarakat muslim
tetapi lebih dari itu juga aspek jangkauan pengaturan risalah Islam,
mengatur bidang-bidang sosial kemasyarakatan yang didalamnya
mencakup interaksi termasuk dengan orang-orang non-muslim.
Ungkapan tersebut dapat diartikan dalam kerangka
pemahaman bahwa kedudukan Islam sebagai rahmat bagi seluruh
alam1, merupakan seperangkat aturan kehidupan yang datangnya dari
Allah SWT Sang Maha Pencipta, yang dapat memberikan
perlindungan, keadilan, kesejahteraan, persamaan hak, dan perlakuan
yang sama tanpa memandang ras, warna kulit, dan keyakinan
spiritualnya, dalam konteks apabila itu menyangkut pengaturan sosial
kemasyarakatan dan hukum (muamalah) antara sesama manusia2.
Semua yang diatur oleh Islam tersebut, adalah untuk
menunjukkan kesempurnaan serta universalitas3 risalah Islam sebagai
aturan atau norma untuk mengatur interaksi pergaulan hidup manusia
baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial.
Pengaturan demikian, oleh Islam itu sendiri, tentu saja harus
berdasarkan kepada wahyu yang datangnya dari Allah SWT sebagai
pencipta, serta Hadits Nabi Muhammad SAW4. Hukum Islam, secara
pokok dalam konteks amaliah (implementasinya), dapat
dikategorikan atas dua cabang hukum utama yaitu berkaitan dengan
ibadah dan muamalah5.

1
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik,
Cetakan Ke-5, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, h. 4.
2
Yusuf Al-Qardhawi, Keluasan dan Keluesan Hukum Islam,
Cetakan I, Toha Putra, Semarang, 1992, h. 24.
3
Abdi Wijaya, “Eksistensi Hukum Islam dalam Perubahan Sosial”,
Jurnal Al-Risalah, Volume 10, Nomor 2, November 2010, h. 250, 252.
4
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam
Hukum Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Cet. I, Jakarta, 2009, h.
29.
5
Muhammad Syafi’I Antonio, Loc. Cit. Juga dikutip dari Reny
Supriatni, Pengantar Hukum Islam (Dasar-Dasar dan Aktualisasinya dalam
Hukum Positif), Widya Padjajaran, Bandung, 2011, h. 70.
2

Menurut Abdul Mutholib6 bahwa karakteristik hukum Islam,


secara fundamental, memiliki karakteristik berbeda dengan sistem
hukum lainnya. Karakteristik paling menonjol hukum Islam, yaitu
bersifat kewahyuan yang telah diatur secara khas dalam al-Quran dan
Hadits Nabi Muhammad SAW, karena hukum Islam melekat
karakter khas kewahyuan, sehingga beberapa literatur yang mengkaji
Islam secara spesifik dari sudut pandang norma yang mengikat
kehidupan seorang muslim, sebahagian pengkaji hukum Islam
menyebut istilah hukum Islam dengan menggunakan istilah syariah.
Untuk itu, keseluruhan analisis penelitian ini, peneliti berketetapan
menggunakan istilah syariah daripada istilah hukum Islam. Alasan
peneliti menggunakan istilah syariah daripada istilah hukum Islam,
akan diuraikan selanjutnya. Syariah dan hukum Islam merupakan dua
peristilahan yang sudah akrab dalam khasanah pemikiran kaum
muslimin di Indonesia, yang merujuk kepada makna yang sama, yaitu
seperangkat aturan dari Allah SWT.
Pijakan prinsip seorang muslim tidak boleh meninggalkan
prinsip-prinsip syariah dalam menjalankan hubungan-hubungan
hukumnya, merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan perintah
Allah SWT yang sudah baku, sebagaimana al-Quran Surah al-Hasyr
Ayat 7 menetapkan: “Apa-apa yang didatangkan oleh Rasulullah
ambillah, dan apa-apa yang dilarang tinggalkanlah7”.
Begitu pula, sabda Rasulullah SAW8 berkaitan dengan
perbuatan seorang muslim yang seharusnya berlandaskan prinsip
syariah, bahwa:

Tidaklah beriman salah seorang diantara kamu sehingga


menjadikan (cara berpikirnya) hawa nafsunya mengikuti apa
(Islam) yang kubawa ini (HR. Imam Nawawi)

Penjelasan tersebut, merupakan dalil normatif dalam


perspektif syariah yang mempertegas bahwa seorang muslim dalam
menjalankan aktivitas hubungan hukumnya mesti tidak boleh keluar
dari apa yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi
Muhammad SAW9. Kedua yang disebutkan ini, merupakan sumber
hukum utama yang sudah tetap dan permanen untuk menjadi rujukan

6
Ibid.
7
Departemen Agama RI, Al-Qur’anulkarim dan Terjemahannya,
Syaamil Cipta Media, Jakarta, 2006.
8
Edi Waluyo (Editor), Hadits Arba’in An-Nawawiyah Terjemahan
Bahasa Indonesia, A.W. Publisher, Surabaya, 2014, h. 47.
9
Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet
Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Gema Insani, Jakarta, 2002, h. 19.
3

bagi seorang muslim dalam melangsungkan hubungan hukum satu


sama lain dalam dinamika pergaulan sosialnya.
Bagi masyarakat muslim di Indonesia, ketundukan hukum
mereka terhadap syariah terutama dalam kerangka hubungan hukum
perikatan satu sama lain, tampaknya sudah mendapat tempat dalam
sistem hukum Indonesia. Hal ini dapat kita saksikan dengan kehadiran
berbagai lembaga keuangan berbasis syariah yang mengakomodir
kepentingan umat Islam di Indonesia. Sebagai contoh untuk
memperkuat argumentasi ini adalah dengan menyemaraknya
kehadiran perbankan syariah, kemudian ada yang disebut lembaga
asuransi syariah, dan terakhir yang dapat kita amati adalah kehadiran
pegadaian syariah.10
Pada konteks hubungan hukum perjanjian yang berlangsung
di beberapa lembaga keuangan syariah tersebut, tentu saja tidak boleh
menyimpang dari asas-asas akad syariah yang menjadi dasar tegaknya
hubungan hukum perjanjian tersebut. Semua asas akad syariah,
menjadi keharusan untuk menjiwai semua pelaksanaan kontrak
berbasis syariah mulai dari tahap pra kontrak, pelaksanaan kontrak,
sampai berakhirnya kontrak. Di Indonesia, dasar hukumnya asas-asas
kontrak syariah, telah ditetapkan secara normatif dalam Bab II Pasal
21 Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma RI) Nomor 2 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Satu hal terpenting yang
seharusnya menjadi titik dasar bagi hubungan transaksi syariah, yang
juga tidak boleh dilupakan, yaitu hubungan perjanjian atau akad
syariah yang mestinya tegak berdasarkan pada sebuah asas yang
dikenal dengan nama asas taawun, yakni suatu asas yang sebenarnya
menjadi dasar keharusan bagi tegaknya hubungan hukum perjanjian
syariah, yang secara spesifik yaitu pada perjanjian utang piutang yang
merupakan nomenklatur utama dalam hubungan hukum yang
terdeskripsi di lembaga pegadaian syariah. Asas taawun telah
menjadi salah satu asas penting yang telah diletakkan secara mendasar
dalam al-Qur’an, sebagaimana yang tercantum dalam Surah al-Maidah
Ayat (2): “...Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan
kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat
dosa dan permusuhan…”11
Pada ayat lain dalam al-Qur’an, penekanan asas tolong
menolong dalam hubungan antara sesama muslim, kemudian
dipertegas lagi melalui Firman Allah sebagai berikut:

10
Mohammad Rosyidi Azis (et.all), Pokok-Pokok Panduan
Implementasi Syariah dalam Bisnis, Pustaka Pengusaha Rindu Syariah,
Bogor, 2010, h. 52.
11
Departemen Agama RI, Loc. Cit.
4

...Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,


sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain (Qur’an Surah at-Taubah Ayat:71)...

Pada hadits Nabi Muhammad SAW, yang lain juga


ditekankan asas taawun, antara lain:

Seorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara.


Ia tidak boleh berbuat zalim dan aniaya kepada saudaranya.
Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka
Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa
membebaskan seorang muslim dari kesulitan, maka Allah
akan membebaskannya dari kesulitan pada hari
kiamat…(HR. Bukhari-Muslim)12

Penukilan yang tercantum dalam al-Quran maupun Hadits


Nabi Muhammad SAW tersebut, sekaligus merupakan landasan
filosofis bagi penempatan asas taawun dalam membangun kerangka
hubungan hukum perjanjian utang piutang berbasis syariah,
sebagaimana yang ditemukan di lembaga pegadaian syariah saat ini.
Urgensitas peletakan asas taawun dalam perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, memang perlu dikaji secara serius dan mendalam,
sebab hakikat yang mengkarakter dalam hubungan hukum utang
piutang di pegadaian syariah, adalah hubungan hukum yang tidak
boleh didasarkan kepada hubungan hukum yang mencari manfaat atau
keuntungan komersial semata-mata.
Titik penting hubungan hukum dalam perjanjian utang
piutang di pegadaian syariah, seyogyanya berbasis semata-mata dalam
rangka kebaikan, tolong menolong, dan taqarrub (mendekatkan diri
kepada Allah), yaitu hanya untuk memperoleh kompensasi pahala dari
Allah SWT, sehingga yang harus diwaspadai adalah tatkala hubungan
hukum dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, terjebak
kepada orientasi untuk mencari keuntungan, yang dikhawatirkan dapat
berimplikasi hukum yang dapat menjebak para pihak dalam jeratan
riba. Hakikat riba dengan segala sifat, bentuk, dan implikasinya, telah
ditetapkan Syariah Islam sebagai bentuk transaksi yang dilarang.13

12
Muhammad Luthfillah Habibi, dkk, “Membangun Integrated
Takaful dan Wakaf Model Dalam Upaya Meningkatkan Kemanfaatan
Pemegang Polis”, al-Uqud: Journal of Islamic Economics, Volume 1, Nomor
2, Juli 2017, h. 142.
13
Mawardi dalam Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Addilatuhu
(Jaminan, Pengalihan Hutang, Gadai, Paksaan, dan Kepemilikan), Jilid 6,
Gema Insani, Jakarta, 2011, h. 308. Lihat juga Muhammad, Manajemen Bank
5

Pelarangan riba sebagai bentuk transaksi yang diharamkan oleh Allah


SWT, secara normatif, dinyatakan secara tegas dalam al-Qur’an Surah
al-Baqarah Ayat 275:

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat


berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.

Keharaman riba juga dinyatakan secara tegas dalam ayat lain


seperti termaktub dalam al-Qur’an Surah an-Nisa Ayat 161:

Dan disebabkan mereka memakan riba padahal


sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya

Dua ayat al-Qur’an tersebut, sudah cukup menjadi dalil bagi


pelarangan riba itu sendiri yang tidak boleh dipraktikkan kaum
muslimin apapun yang menjadi motivasinya. Berpijak kepada
landasan berpikir ini juga, peneliti hendak melakukan analisis secara
mendalam tentang kerangka bangun asas taawun dalam perjanjian
utang piutang di pegadaian syariah, yang berpijak dari asas dimaksud,
semestinya para pihak yang terlibat dalam perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, mewaspadai terjadinya hubungan kontraktual yang
terjebak kepada mencari keuntungan sehingga berimplikasi kepada
terjadinya riba.
Perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokok yang
terdeskripsi di pegadaian syariah, adalah penting untuk dikaji
menurut perspektif syariah, dengan konsentrasi isu hukum seputar
batasan hak dan kewajiban antara para pihak, yaitu pihak pegadaian
syariah (muqridh) dengan nasabah (muqtaridh), yang apabila
dikaitkan dengan urgensitas asas taawun sebagai fondasi yang
menjadi dasar tegaknya perjanjian utang piutang. Hak dan kewajiban

Syariah, Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN, Yogyakarta,


2002, h. 30.
6

para pihak tersebut yang diwujudkan dalam bentuk akad tersendiri


yang terpapar yang secara spesifik dalam akad tersendiri yang disebut
sebagai akad rahn.
Akad rahn pada perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah, sesungguhnya hanya merupakan perjanjian bersifat accessoir,
yang berisi hak bagi penerima gadai (murtahin) untuk menahan
barang berharga bernilai ekonomi milik pemberi gadai (rahin),
sebagai jaminan untuk pelunasan hutang. Kedudukan akad rahn yang
sifatnya accessoir, tentu saja sekedar pelengkap bagi perjanjian utang
piutang yang merupakan perjanjian pokok dalam nomenklatur
pegadaian syariah.
Karakter khas perjanjian utang piutang di pegadaian syariah,
memang perlu dilakukan analisis mendalam dan terperinci
menyangkut penegakan asas taawun sebagai kerangka dasar yang
mendasarinya, terutama dalam konteks seputar kebolehan menarik
keuntungan (profit) terhadap barang jaminan yang masih berada
dalam penguasaan muqridh, sebab landasan perjanjian utang piutang
di pegadaian syariah, haruslah tegak pada asas taawun sebagai
landasan pokoknya. Hal ini dimaksudkan agar perjanjian utang
piutang sebagai perjanjian pokok dalam perspektif syariah tidak
terjebak dalam riba14.
1. 2. Rumusan Masalah
Penelitian ini mengangkat isu sentral pentingnya asas taawun
sebagai kerangka dasar dalam membangun hubungan perjanjian utang
piutang di pegadaian syariah. Berpijak dari isu sentral ini, peneliti
menetapkan tiga pokok rumusan masalah:
a. Makna asas taawun dalam perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah.
b. Asas-asas perjanjian yang mendasari karakteristik hubungan
hukum dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah
dengan mengkaitkan asas taawun sebagai landasan pokoknya.
c. Penormaan klausula beberapa akad yang terintegrasi dalam
perjanjian utang piutang di pegadaian syariah dengan
mengkaitkan asas taawun sebagai landasan pokoknya.
1. 3. Tujuan Penelitian dan Orisinalitas Penelitian
1. 3. 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan paparan pokok-pokok rumusan masalah
penelitian ini, peneliti menetapkan tujuan penelitian sebagai berikut:
a. Untuk menemukan makna asas taawun dalam perjanjian utang
piutang di pegadaian syariah.

14
Ahmad Ad-Daur, Riba dan Bunga Bank (terjemahan), Al Azhar
Press, Bogor, 2014, h. 71-73.
7

b. Untuk menemukan asas-asas perjanjian yang mendasari


karakteristik hubungan hukum dalam perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah serta keterkaitannya dengan asas taawun
sebagai landasan pokoknya.
c. Untuk menemukan penormaan klausula beberapa akad yang
terintegrasi dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah
dengan mengkaitkan asas taawun sebagai landasan pokoknya.
1.3.2. Orisinalitas Penelitian
Penelitian ini berjudul “Asas Taawun Dalam Perjanjian
Utang Piutang Di Pegadaian Syariah”, memiliki orisinalitas
(keaslian), yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sebab
penelitian ini, menurut hasil pelacakan peneliti, apabila dibandingkan
dengan beberapa disertasi, yang juga menyentuh topik kajian tentang
perjanjian syariah atau ekonomi syariah, secara substansi memiliki
perbedaan sangat tajam dengan topik yang hendak ditelaah oleh
peneliti, antara lain:
1. Asas Keadilan dalam Perjanjian Berdasar Akad Musyarakah
Pada Pembentukan Perusahaan yang ditulis oleh Dyah
Ochtarina Susanti, Disertasi pada Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Brawijaya Malang Tahun 2010, dalam
disertasi ini lebih menganalisis aspek filosofis dari asas keadilan
yang terbangun dalam akad musyarakah yaitu akad kemitraan
usaha dan modal yang berlangsung di perbankan syariah.
Perbedaan topik penelitiannya sangat jauh dengan apa yang
hendak ditelaah oleh peneliti yang lebih fokus pada asas taawun
yang terwujud pada perjanjian utang piutang di Lembaga
Pegadaian Syariah.
2. Karakteristik Prinsip Kehati-Hatian Pada Kegiatan Usaha
Perbankan Syariah yang ditulis oleh Trisadini Prasastinah
Usanti, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas
Airlangga Surabaya Tahun 2010, isi disertasi ini
menitikberatkan pada kajian filosofis eksistensi prinsip kehati-
hatian yang berlangsung pada akad utang piutang yang
berlangsung di perbankan syariah di Indonesia, sedangkan isi
disertasi ini lebih menitikberatkan pada penegakan asas taawun
yang berlangsung di Lembaga Pegadaian Syariah.
3. Prinsip Hukum Jaminan Syariah dalam Sistem Perbankan
Syariah di Indonesia yang ditulis oleh Noor Hafidah, Disertasi
pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya
Tahun 2011, isi disertasi ini memang membahas tentang
keberadaan lembaga jaminan yang harus ditinjau dalam perspektif
syariah, tetapi isi disertasi yang peneliti kaji, lebih
menitikberatkan pembahasan pada aspek filosofis keberadaan
perjanjian utang piutang di Lembaga Pegadaian Syariah.
8

4. Economic and Religious Significance of The Islamic and


Concentional Pawnbroking In Malaysia: Behavioural and
Perception Analysis, disertasi doktoral karya Azila Abdul
Razak pada Universitas Durham Inggris Tahun 2011, isi
disertasi ini terkonsentrasi kepada studi prilaku masyarakat
muslim di Malaysia terhadap keberadaan Lembaga Pegadaian
Syariah, sedangkan kajian peneliti ini sangat berbeda, yakni
melakukan tinjauan hukum normatif terhadap nomenklatur
perjanjian utang piutang di pegadaian syariah dengan mengambil
studi di Indonesia.
1. 4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini paling tidak memiliki dua manfaat penting,
yakni:
a. Manfaat teoritis, dapat menjadi bahan rujukan guna
pengembangan lebih lanjut berkenaan dengan kajian asas taawun
yang menjadi dasar bagi hubungan hukum perjanjian utang
piutang di pegadaian syariah. Manfaat ini, sekaligus diharapkan
menjadi tambahan teoritis baru dalam kerangka pengembangan
lebih lanjut bagi perbaikan nomenklatur perjanjian utang piutang
termasuk postur hukum jaminan syariah yang berlangsung di
pegadaian syariah.
b. Manfaat praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan bagi
para praktisi keuangan, terutama yang berkecimpung dalam
kegiatan pegadaian syariah di Indonesia, sekaligus penelitian ini,
akan menjadi rekomendasi penting yang dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis, guna penyusunan
produk undang-undang tertulis ataupun regulasi lainnya yang
terkait erat dengan Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia.
1.5. Kerangka Konseptual
1.5.1. Konsep Asas Hukum dalam Kajian Ilmu Hukum
Istilah asas menurut Gemala Dewi, dkk15 berasal dari bahasa
Arab asasun yang berarti dasar, basis, dan fondasi, sedangkan secara
terminologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asas adalah
dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat16.
Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip,
yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir,

15
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,
diterbitkan atas kerjasama Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2013, h.
30.
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 70
9

bertindak, dan sebagainya. Muhammad Daud Ali17, mengartikan


asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang
dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat,
terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.
Asas hukum dan prinsip hukum dari segi etimologis
(peristilahan)18, pada dasarnya merujuk kepada pengertian yang sama.
Kedua pengertian “asas” atau “prinsip” yang sering digunakan dalam
Bahasa Belanda, disebut beginsel atau principle (Bahasa Inggeris)
atau dalam Bahasa Latin disebut principum (primus artinya pertama
dan capere artinya mengambil atau menangkap), secara leksikal
berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak
atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan
sebagainya.
Eddy O.S. Hiariej19 membedakan penggunaan istilah asas
dengan prinsip, yaitu dari segi lingkup pengkajiannya. Menurutnya,
kata prinsip lebih luas dari kata asas yang langsung menunjuk kepada
pengertian dasar hukum, sedangkan istilah asas merupakan istilah
yang merujuk kepada landasan bersifat operasional lebih sempit.
Istilah prinsip memberikan pengertian lebih luas lagi yaitu mencakup
hakikat atau filosofi hukum itu sendiri.
Menurut pandangan Esser dan Lawrenz20, keduanya
memiliki pandangan yang sama tentang definisi prinsip, yaitu sebagai
instrumen fundamental bagi landasan tegaknya seperangkat norma
hukum21. Prinsip adalah fondasi yang menjadi pijakan bagaimana
norma hukum diinterpertasikan atau diterapkan. Pandangan beberapa
pakar termasuk Henry Campbell Black22 dalam Black’s Law
Dictionary, yang meletakkan makna prinsip sebagai as norms that
set forth bases for a given commandment to be found atau sebagai A

17
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan Ke-8, RajaGrafindo Persada, 2000,
h. 114.
18
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas
dalam Kontrak Komersial), Kencana Prenada Media Grup, 2010, h. 21.
19
Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma
Pustaka, Yogyakarta, 2014, h. viii-ix.
20
Jordan, “Legal Principles, Legal Values and Legal Norms: Are
they the Same or Different?”, Jurnal Academikus, Volume 2, 2010, h. 109-
115.
21
Humberto Avila, Theory of Legal Principles, Springer, The
Netherlands, 2007, h. 83-126.
22
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (Definition of the
Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and
Moderen), Revised Fourth Edition, S.T. Paul Minn. West Publishing Co.,
1968, h. 1357.
10

basic truth, law, or assumption, juga dalam pengertian A fundamental


truth or doctrine, as of law. Begitu juga rumusan asas hukum
dijelaskan oleh Bryan A Garner dalam Black’s Law Dictionary
Edisi ke-1023, yaitu a basic rule, law, or doctrine; esp., one of the
fundamental tenets of a system, yang semuanya merujuk kepada
makna sama, yakni sebagai norma yang menderivasikan sebuah
kebenaran hukum paling mendasar (a basic truth), sehingga apabila
dikaitkan dengan pengertian asas secara etimologis merujuk istilah ini
diserap dari bahasa Arab yaitu kata asasun yang berarti dasar, alas,
atau fundamen24. Begitu juga, Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang
memberikan pengertian asas yang meliputi, sebagai (1) dasar (sesuatu
yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat); (2) dasar cita-cita;
(3) hukum dasar. Begitu pula, merujuk pengertian asas menurut
Kamus Hukum yang disusun M. Soesilo25, adalah suatu pemikiran
yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma
hukum. Bruggink26 mengartikan asas atau prinsip hukum sebagai
nilai-nilai yang melandasi norma hukum. Satjipto Rahardjo27 dengan
menyitir pendapat Paul Scholten28 bahwa asas hukum merupakan
pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam serta dibelakang sistem
hukum masing-masing, yang dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan serta putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengan
ketentuan dan keputusan individual. Paton29 mengatakan bahwa a
principle is the broad reason which lies at the base of rule of law.
Asas hukum yang pada dasarnya mengandung sejumlah nilai
serta tuntunan etis, maka menurut Agus Yudha Hernoko30, suatu
aturan atau norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis atau
prinsip sebagai ruhnya. Suatu norma apabila tidak memiliki dasar
filosofis serta pijakan asas merupakan sebuah kejanggalan bahkan

23
Bryan A Garner (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, Tenth
Edition, West, A Thomson Business, USA, 2004, h. 1386.
24
W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN
Balai Pustaka, Jakarta, 1976, h. 60-61, dalam Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum
Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia), Pustaka Setia,
Bandung, 2010, h. 146.
25
M. Soesilo, Kamus Hukum, Penerbit Gama, Jakarta, 2009, h. 56
26
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian
Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, h. 306.
27
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, h. 3.
28
Paul Scholten dalam Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum,
Liberty, Yogyakarta, 1988, h. 33.
29
Paton dalam Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 2000, h. 36
30
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., h. 21.
11

konyol terutama dalam konteks operasionalnya. Artinya, norma tanpa


landasan filosofis serta pijakan asas, Agus Yudha Hernoko
mengibaratkannya sebagai manusia yang “buta” dan “lumpuh”.
Adapun kedudukan asas hukum dalam perspektif hukum
Islam, sebagaimana yang terdapat pada sistem hukum lainnya, juga
mempunyai kedudukan sangat penting terutama dalam hal pijakan
penerapan aturan-aturan hukum yang tertuang dalam al-Quran dan
Hadits Nabi Muhammad SAW. Kedudukan asas hukum dalam
konteks demikian, menurut Abd Shomad, dapat berimplikasi kepada
struktur filsafat hukum Islam itu sendiri, baik menyangkut sumber,
metode, tujuan, dan kaidah hukumnya.
1.5.2. Konsep tentang Syariah
Terminologi syariah menurut bahasa, diadopsi dari bahasa
Arab syara’a, yasyra’u, syar’an waa syari’atan, secara harfiah dapat
berarti jalan menuju sumber kehidupan31, atau berjalan ke tempat air.
Menurut Abd Shomad32, terminologi syariah yang juga diintrodusir
dari istilah sharia atau syari’at, adalah bermakna way or path to the
water source atau jalan ke sumber mata air, yang berarti juga sebagai
jalan yang jelas yang harus diikuti menuju sumber mata air atau
sumber kehidupan33, sehingga dari istilah ini, bangsa Arab biasanya
memberikan arti sebagai jalan lurus yang harus ditempuh untuk
menuju sumber kehidupan34. Para ahli mengungkap kata syariah
sebagai kata Arab Kuno yang bermakna jalan yang harus diikuti atau
bagian menuju lubang air.
Pengertian syariah sebagai sesuatu yang datangnya dari Allah
SWT, juga didukung oleh pendapat Ali bin Muhammad al-Jurjani35
dalam at-Ta’rifat (definisi-definisi) dan al-Ghazali dalam kitabnya al-
Mustafa min Ilm al-Usl (yang dapat dipetik dari ilmu Ushul Fiqih),
bahwa jika dikatakan as-Syariah Islamiyah, maka maksudnya adalah
setiap yang datang dari Muhammad Rasulullah SAW yang berasal
dari Allah SWT, baik itu yang sifatnya menjelaskan persoalan aqidah

31
Muhammad Syukri Al-Bani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 51.
32
Syafaul Mudawam, “Syariah-Fiqih-Hukum Islam (Studi tentang
Konstruksi Pemikiran Kontemporer), Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syariah dan
Hukum, Volume 46, Nomor II, Juli-Desember 2012, h. 406.
33
Juan El Campo, Encyclopedia of Islam, An Imprint of Infobase
Publishing, United States of America, 2009, h. 620.
34
Abd Shomad, Rekonstruksi Akad Bank Syariah Untuk Mencapai
Kemaslahatan Sebagai Wujud Rahmatan Lil Alamin dalam Moch. Isnaeni,
Perkembangan Hukum Perdata Di Indonesia, Laksbang Grafika, Jogjakarta,
2013, h. 109-110.
35
Asep Usman Ismail, “Integrasi Syariah dengan Tasawuf”, Al-
Ahkam, Volume XII, Nomor 1, Januari 2012, h. 30.
12

maupun yang menyangkut pengaturan kehidupan manusia secara


pribadi, keluarga, dan dalam bermasyarakat, serta yang menyangkut
akhlak. Nash al-Qur’an, juga menjelaskan kata syariah yang
disepadankan dengan pengertian dien36, yakni jalan yang ditetapkan
Allah SWT untuk semua manusia, sebagai jalan yang jelas
ditunjukkan oleh Tuhan kepada manusia37.
Pada masa Rasulullah SAW, istilah syarai’ sebagai bentuk
jamak dari kata syariah digunakan dalam arti masalah-masalah pokok
Islam38. Adapun dalam pandangan beberapa fuqaha seperti Imam Abu
Hanifah (700-765 M), mendefinisikan syariah sebagai semua yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang bersumber dari wahyu,
yakni semua bagian ajaran Islam. Para ulama memandangnya sebagai
definisi yang luas39. Istilah syariah bila dikaitkan dengan dien,
menurut Abu Hanifah, ia merupakan pokok-pokok iman sedangkan
syariah adalah kewajiban yang harus dijalani.
Menurut Imam Syafi’I, syariah pada hakekatnya adalah
kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh setiap muslim. Begitu
juga pandangan Syekh Mahmout Syaltout40, mendefinisikan syariah
sebagai segenap aturan yang diturunkan oleh Allah SWT termasuk
derivasi pokok-pokoknya supaya manusia berpegang teguh dengannya
dalam berhubungan dengan Tuhan, saudara sesama muslim, sesama
manusia, serta hubungannya dengan alam sekitar dan hubungannya
dengan kehidupan. Orientalist Nicolas P Aghnides41, menjelaskan
istilah syariah sebagai sebuah nama bersifat umum untuk peraturan-
peraturan atau kaidah-kaidah agama Islam dan para ahli hukum Islam
tidak akan mampu merumuskannya apabila tidak ada wahyu Allah.

36
Ahmad Nur Hamid, Makna Al-Din Dalam Al-Qur’an (Studi
Tematik Atas Tafsir Ibnu Katsir, Skripsi Pada Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga, Yogyakarta, 2010, h.
97.
37
John L. Esposito (Editor), The Oxford Dictionary of Islam, Oxford
University Press, New York, 2003, h. 500.
38
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terjemahan Agah
Garnadi, Pustaka Bandung, 1984, h. 7 dalam Abd Shomad, Op. Cit., h. 25
39
Ichtiar Baru Van Hoefe, Ensiklopedia Islam, Jakarta, 1997, h.
345.
40
Riyanta, “Kewarisan Beda Agama (Studi Pandangan Muadz bin
Jabal”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Volume 46 Nomor 1 Januari Juni 2012, h.
162. Juga dikutip dalam Ahmad Syukron, Rekonstruksi Hukum Islam: Kajian
Historis Atas Urgensi Pelembagaan Wakaf Produktif di Indonesia, Jurnal
Penulisan, Volume 8 Nomor 2, November 2011, h. 267.
41
Ibid.
13

Hukum Islam menurut Amir Syarifuddin42 merupakan


rangkaian kata “hukum” dan “Islam”, yang secara terpisah hukum
dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan tentang tingkah laku
manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang
yang diberi wewenang oleh masyarakat itu sendiri, yang berlaku dan
mengikat seluruh anggotanya. Istilah “hukum” yang digabungkan
dengan istilah “Islam”, maka hukum Islam bermakna
sebagai seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah
Nabi Muhammad SAW tentang tingkah laku manusia yang sudah
mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang
muslim.
Ada pendapat yang membedakan istilah hukum Islam dengan
istilah syariah, misalnya pendapat Noor Hafidah43, yang menurutnya
bahwa perbedaan kedua istilah tersebut dilihat dari perspektif lingkup
pengaturannya. Istilah hukum Islam merujuk pada pengertian
dogmatis ajaran Islam sebagai dien dalam arti luas, sedangkan istilah
syariah merujuk kepada pengertian lebih spesifik berkenaan dengan
hukum Islam dalam arti sempit yang terkait erat perbuatan mukallaf.
Ringkasnya menurut Noor Hafidah, syariah spesifik mengatur
perbuatan mukallaf yang berhubungan persoalan muamalah antara
sesama manusia.
Beberapa kajian hukum di barat memang ditemukan istilah
Islamic law, tetapi tidak ditemukan fakta mana lebih dahulu
penggunaan istilah tersebut digunakan44. Bila merujuk pada al-
Qur’an Surah al-Maidah Ayat (48), maka yang digunakan adalah
istilah syariah, yang pada ayat tersebut menggunakan kata likullin
ja’alnaa mingkum syir’ataw wa min-haajaa…, artinya “…bagi tiap-
tiap umat Kami telah menjadikan diantara kamu peraturan dan jalan
yang terang…”. Pada ayat tersebut kata syir’ataw diartikan
peraturan, maka makna syariah sesungguhnya sangat berkaitan
dengan pengertian hukum atau aturan. Peneliti mengutip pendapat
Abd. Shomad45, mengenai definisi hukum Islam yang dapat diartikan
sebagai segala ketentuan Allah dan utusan-Nya yang mengandung
larangan, pilihan, atau menyatakan syarat, sebab, dan halangan untuk

42
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Grup,
Jakarta, 2011, h. 6-7.
43
Noor Hafidah, Prinsip Hukum Jaminan Syariah dalam Sistem
Perbankan Syariah di Indonesia, Disertasi Pada Program Pascasarjana
Universitas Airlangga Surabaya, 2011, h. 44-46.
44
Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2012, h. 24. Dlam buku ini ditulis pandangan tentang penggunaan
istilah hukum Islam dalam kajian hukum di Indonesia.
45
Abd. Shomad, Op.Cit, h. 29.
14

suatu perbuatan hukum, maka dari definisi ini, sudah cukup


mendeskripsikan kepada kita bahwa yang dimaksud syariah adalah
identik dengan hukum Islam itu sendiri.
Syariah yang juga identik dengan hukum Islam, memiliki
lingkup cakupan yang dapat dikategorikan atas dua, yaitu syariah
dalam arti luas dan syariah dalam arti sempit. Syariah dalam
pengertian luas berarti seluruh ajaran Islam yang berupa norma-norma
ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin (sistem
kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku konkrit (legal-formal)
yang individual dan kolektif. Syariah dalam pengertian yang identik
dengan din, adalah meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan
Islam, seperti kalam, tasawuf, tafsir, hadis, fikih, usul fikih, dan
seterusnya, sedangkan syariah dalam pengertian sempit, yaitu
pembahasan seperangkat aturan dari Allah SWT yang dibatasi hanya
meliputi ilmu fikih. Syari'ah dalam arti sempit (fikih) itu sendiri dapat
dibagi menjadi empat bidang: ibadah, muamalah, uqubah, dan
munakahat.
Adapun terkait ilmu yang mempelajari syariah, disebut ilmu
fiqh. Istilah fiqh menurut Nasruddin Razak, secara bahasa atau
etimologi berarti pintar, cerdas, tahu dan paham, yang menurut asal
mulanya paham terhadap tujuan seorang pembicara dari
pembicaraannya, yakni paham secara mendalam. Menurut Abd.
Shomad, istilah fiqh mengalami perkembangan sejak masa Rasulullah
sampai dikenal sebagai istilah yang sudah baku pada masa sekarang.
Pada masa Rasulullah istilah fiqh46 digunakan sebagai pemahaman
terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang mencakup semua aspek
yaitu aspek teologis, politis, ekonomi, dan hukum. Setelah wafatnya
Rasulullah, kaum muslimin diperhadapkan kepada persoalan-
persoalan baru, sehingga pada masa tersebut, ilmu fiqh digunakan
sebagai pengetahuan yang dihasilkan dari sebuah kecerdasan dalam
rangka penggalian hadits-hadits nabi, yaitu kecerdasan yang
menghasilkan pengetahuan mendalam tentang rangkaian mata rantai
periwayatan beberapa hadits nabi47.
Pembahasan fiqh, jika ditinjau dari segi perkembangan fiqh itu
sendiri, tidak bisa dipisahkan dari ushul fiqh, karena ushul fiqh
merupakan sebuah metode tertentu yang digunakan untuk menggali
hukum secara konkrit dengan tetap merujuk kepada nash-nash al-
Quran dan Hadits sebagai rujukan utamanya. Ushul fiqh bisa juga
dikatakan sebagai metode tertentu yang dilakukan oleh para mujtahid
atau fuqaha (ahli hukum Islam) untuk menggali dalil-dalil fiqh serta

46
Abdul Rokhim, Fiqh, Wahana Dinamika Karya, Semarang, 2004,
h. 26.
47
Ibid., h. 27.
15

tata cara penggunaan dalil untuk menarik kesimpulan dari dalil-dalil


tertentu. Kesimpulan dari dalil-dalil tersebut kemudian menghasilkan
kesimpulan hukum, yang diintrodusir menjadi fiqh. Fiqh adalah
kodifikasi hukum Islam yang merupakan konkretisasi operasional
pelaksanaan syariah.
Asal mula ushul fiqh secara historis, maka Imam Asy-Syafi’I
dapat diposisikan sebagai peletak dasar pertama ushul fiqh serta
mensistematisasikannya dengan kaidah-kaidah umum secara
menyeluruh. Para fuqaha pendahulu sebelum Imam Asy-Syafi’I,
memang telah rajin melakukan berbagai penggalian syariah, tetapi
mereka melakukan ijtihad tanpa panduan istinbath (penggalian
hukum) secara baku, mereka hanya melakukan istinbath berdasarkan
pemahaman mereka terhadap makna syariah, jangkauan hukum, dan
tujuannya. Para fuqaha sebelum Imam Asy-Syafi’I mempelajari
syariah termasuk melakukan penggalian hukum-syariah dengan bekal
skill pemahaman Bahasa Arab yang cukup tinggi sehingga ketika
mereka melakukan penggalian hukum biasanya mengkompromikan
berbagai nash dengan sudut pandang pemahaman tertentu tanpa
adanya panduan baku metodologis yang dikemas oleh mereka48.
Imam Abu Hanifah, misalnya yang wafat pada saat Imam Asy-
Syafi’I dilahirkan, belum terpikirkan untuk menyusun metode ushul
fiqh secara baku dan terperinci yang sifatnya sistematis, termasuk
murid-murid yang hidup sesudahnya seperti Abu Yusuf,
Muhammad, dan Zafar.
Imam Asy-Syafi’I kemudian hadir menggali ilmu ushul fiqh
serta melakukan penyusunan secara sistematis panduan umum yang
bisa dirujuk untuk mengetahui sistematika dalil-dalil syariah. Imam
Asy-Syafi’I dikenal sebagai peletak dasar ushul fiqh oleh khalayak
fuqaha pada masanya dan sesudahnya. Buku karya Imam Asy-Syafi’I
yang sangat dikenal sebagai peletak dasar ushul fiqh yakni ar-Risalah.
Beberapa kitab karya Imam Asy-Syafi’I yang juga dikenal berisi
pembahasan ushul fiqh antara lain kitab Ibthal al-Ihtihsan dan Jamma
al-ilm, bahkan dalam kitab al-Umm karya beliau sendiri, berisi
beberapa pembahasan tentang ushul fiqh, didalamnya mengurai
tentang beberapa kaidah umum (kulliyah) ketika membahas beberapa
hukum cabang syariah.
Beberapa imam mazhab telah menjelaskan pengertian fiqh
antara lain, Imam Abu Hanifah49, memberikan batasan pengertian

48
Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqh, Al-Azhar Press, Bogor, 2003,
h.17-18.
49
M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, h. 211-213. Juga Ahmad Farid, Biografi 60 Ulama
Ahlussunah, Darul Haq, Jakarta, 2013, h. 194-195.
16

fiqh sebagai ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban, yakni
ilmu yang menerangkan segala yang diwajbkan, disunahkan,
dimakruhkan, diharamkan, dan dibolehkan. Akan tetapi Imam Abu
Hanifah masih memasukkan bidang ilmu lain, yakni bidang
kepercayaan kepada Khaliq, yang dinamakan fiqh akbar. Definisi
yang diberikan Imam Abu Hanifah ini tidak berbeda maksudnya
dengan takrif50 pada masa sahabat dan tabi’in, termasuk didalamnya
urusan kepercayaan, urusan perangai budi pekerti, dan lain-lain. Bagi
Imam Asy-Syafi’I, memberikan suatu batasan fiqih sebagai Suatu
ilmu yang membahas hukum-hukum syari’ah amaliyah (praktis) yang
diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.
Pada pertengahan abad II hijriah, selanjutnya, beberapa
golongan ahli ushul dan ahli fiqh, diantaranya as Sayyid al Jurjani al
Hanafi51, mendefinisikan fiqh sebagai ilmu yang menerangkan hukum
syara’ yang merupakan amaliah yang diambil dari dalil-dalil bersifat
tafshily52. Fiqh merupakan ilmu yang digali melalui jalan ijtihad53 oleh
karena itu tidak boleh dinamakan Allah dengan faqih karena tidak ada
sesuatupun yang tersembunyi baginya. Bagi imam Abu Hamid al-
Ghazali, mendefinisikan fiqh sebagai ilmu yang menerangkan
hukum-syariah yang ditetapkan secara khusus bagi perbuatan-
perbuatan para manusia (mukallaf) seperti wajib, haram, mubah,
sunnah, makruh, perikatan yang sahih (sah), perikatan
yang fasid (rusak) dan yang batal, serta menerangkan tentang ibadah
yang dilaksanakan secara qada’ (pelaksanaannya di luar ketentuan
waktunya) dan hal-hal lain semacamnya54. Imam Abu Zahrah
menjelaskan pengertian fiqh sebagai ilmu yang menerangkan hukum-
hukum syara’ yang praktis (‘amali)yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci (tafsili)”. Abdul Wahab Khalaf mengemukakan
bahwa fiqh adalah Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang
praktis (‘amali) yang diusahakan dari dalil-dalil yang terperinci
(tafsili)”. Al-Amidi, seorang ulama’ Syafi’iyah, mendefinisikan fiqih
sebagai ilmu tentang hukum-hukum syari’ah dari dalil-dali yang

50
Sukriady Sambas, Mantik Kaidah Berpikir Islam, Penerbit
Remaja Rosda Karya Offset, Bandung, 2012, h. 6. Juga H. Mundiri, Logika,
Penerbit Raja GrafindoPersada, 2012, h. 37.
51
Abd Shomad, “Dinamisasi Penormaan Hukum Islam”, Jurnal
Perspektif, Volume XV, Nomor 2, Edisi April, Tahun 2010, h. 107.
52
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2010, h. 272.
53
Toha Andika, “Peluang dan Tantangan Ijtihad Dalam
Pembahuruan Hukum Islam”, Jurnal Nuansa, Edisi 1, Nomor 2, September
2010, h. 185.
54
Abdul Hayy ‘Al, Pengantar Ushul Fiqh, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta, 2006, h.5-6.
17

terinci. Sementara menurut fuqaha’ Malikiyah, fiqih adalah ilmu


tentang perintah-perintah syariah dalam masalah khusus yang
diperoleh dari aplikasi teori istidlal atau pencarian hukum dengan
dalil55.
Pada perkembangan selanjutnya, menurut Mohammad
Hasyim Kamali56, ilmu fiqh mengintrodusir pengetahuan tentang
hukum-hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia yang
diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci atau sejumlah koleksi
syariah Islam tentang perbuatan manusia yang diambil berdasarkan
dalil-dalilnya secara detail. Atas dasar itu, maka kedudukan fiqh
sebagai cabang ilmu yang menerjemahkan dan mengintrodusir syariah
pada lapangan praktis, maka secara bertahap istilah fiqh telah
menyempit dan akhirnya hanya terbatas pada masalah hukum bahkan
lebih sempit lagi, yaitu pada literatur hukum yakni kitab-kitab fiqh57.
Konstruksi fiqh biasanya juga dibangun berdasarkan kaidah-
kaidah fiqh (qawaid fiqhiyah). Kaidah fiqih dapat disimpulkan sebagai
kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-
masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok. dan kaedah-
kaedah fiqih juga merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan
dalam mengeluarkan hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara
menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaidah.
Apabila kaidah fiqih merupakan dasar-dasar yang bertalian dengan
syariah yang bersifat mencakup sebagian besar bagian-bagiannya
dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas tetapi padat
yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada
pristiwa-pristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya,
maka berbeda dengan ushul fiqh, adalah kaidah-kaidah penggalian
hukum (qa’idah istidlaliyah), yang menjadi cara bagi para mujtahid
untuk melakukan penggalian hukum (istinbath). Kaidah ini menjadi
alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum.
1.5.3. Konsep Akad Menurut Syariah
Istilah perjanjian menurut syariah menggunakan istilah akad
yang dalam al-Qur’an menggunakan istilah al-‘Aqdu58. Pengertian
akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-

55
Mun’im A Sirry, Sejarah Fiqh Islam (Sebuah Pengantar), Risalah
Gusti, Surabaya, 1995, h. 4.
56
Mohammad Hasyim Kamali, Foundations of Islam; Shari’ah Law
An Introduction, One World Publication, Trivandrum, India, 2008, h. 41.
57
Abd. Shomad, Loc. Cit.
58
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,
diterbitkan atas kerjasama Kencana Prenada Media Grup dengan dengan
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2013, h. 126-
127.
18

rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung


tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga
keduanya bersambung menjadi seperti seutas tali yang satu. Kata al-
‘aqdu terdapat dalam al-Qur’an Surah al-Maidah Ayat 1 bahwa
manusia diminta untuk memenuhi akadnya59. Menurut Faturrahman
Djamil dalam Ghufron60, istilah al-‘aqdu ini dapat disamakan dengan
istilah verbintennis dalam BW, sedangkan istilah al-ahdu dapat
disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu
pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. Para pengkaji syariah
memberikan definisi akad sebagai pertalian antara ijab dan qabul yang
dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap
objeknya61.
Pelaksanaan akad itu sendiri, yang penting untuk diketahui,
adalah unsur-unsur yang melekat bagi terpenuhinya akad. Menurut
Rahmat Syafe’I62 bahwa dalam perikatan Islam, terkandung tiga
unsur untuk dapat terpenuhinya sebuah akad yaitu: 1) Adanya para
pihak yang berakad (al-‘aqidan); 2) Redaksi akad (Shighat al-‘aqd),
yakni ijab dan qabul; dan 3) Objek Akad (al-ma‘qûd ‘alayhi) 63.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Yusuf as-Sabatin64,
bahwa unsur akad atau yang disebut dengan istilah rukun akad ada
tiga: (1). Dua pihak yang berakad (al-‘aqidaan); (2) Objek akad
(mahaal al-‘aqad); (3) Redaksi akad (shighaath al- ‘aqad), namun
menurut Yusuf as-Sabatin, ada beberapa jenis akad tertentu yang
meskipun telah sempurna ketiga rukunnya tersebut, misalnya sudah
terlaksana ijab-qabul, tetapi belum terlaksana sebelum
berlangsungnya serah terima zat harta yang menjadi objek akad
tersebut. Contoh akad-akad tersebut, akad hibah, al-qardh (hutang)
dan ar-rahn (agunan), dan lain-lain. Apabila unsur akad sudah
terpenuhi, maka ada beberapa aspek yang menjadi titik perhatian
penting mengenai syarat-syarat sahnya akad. Ahmad Azhar Basyir65,

59
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K Lubis, Hukum Perjanjian
dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 1
60
Ghufron A Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Cet. 1, Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2002, h. 75.
61
Ahmad Azhar Bashir, Asas-Asas Hukum Muamalat, UII Press,
Cetakan ke-2, Yogyakarta, 2004, h. 247.
62
Rahmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, CV Pustaka Setia, Bandung,
2004, h. 45.
63
Ade Armando, dkk, Ensiklopedia Islam Untuk Pelajar, PT Ikhtiar
Baru van Hoeve, Jakarta, tanpa tahun, h. 77.
64
Yusuf as-Sabatin, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala
Kapitalis, Al-Azhar Press, Bogor, 2011, h. 37.
65
Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., h. 78-82.
19

menjelaskan bahwa syarat terjadinya akad mencakupi segala sesuatu,


yang dipenuhi persyaratannya untuk terbentuknya akad menurut
standar syariah, jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi
batal. Syarat yaitu sesuatu yang harus ada atau terpenuhi, sebelum
mengerjakan sesuatu, kalau syarat-syarat sesuatu itu tidak sempurna
maka sesuatu itu menjadi rusak (batal pekerjaan itu, atau tidak sah).
1.5.4. Konsep Perjanjian Utang Piutang Menurut Syariah
Terminologi utang piutang berasal dari kata qardh yang
menurut penjelasan Wahbah Az-Zuhaili66, berarti al-qath yaitu harta
yang diberikan kepada orang yang meminjam (debitur), sehingga
disebut qardh karena merupakan potongan dari harta orang yang
memberikan pinjaman (kreditur). Ini termasuk penggunaan isim
masdar (gerund-noun verbal) untuk menggantikan isim maf’ul.
Menurut Yusuf As-Sabatin67, bahwa al-Qardh, yaitu harta yang
diberikan kreditur kepada debitur untuk dikembalikan sama dengan
yang diberikan pada saat debitur mampu mengembalikannya. Makna
asalnya, secara bahasa, adalah al-qath’u (memutus). Harta yang
diambil oleh debitur disebut hutang (al-Qardh) karena kreditur
memotongnya dari hartanya.
1.5.5. Konsep Gadai Menurut Syariah
Salah satu karakter khas yang melekat pada perjanjian utang
piutang, sebagaimana yang berlangsung di lembaga pegadaian, yaitu
dilekatkan perjanjian gadai sebagai perjanjian yang bersifat asesoris
(tambahan). Istilah gadai dalam bahasa Indonesia merupakan
terjemahan dari kata pand (bahasa Belanda) atau pledge atau pawn
(bahasa Inggris). Pengertian gadai sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 1150 BW Staatsblaad Tahun 1847 Nomor 23 adalah:

Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu


barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang
berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang
memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan
daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian
biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu
digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan

66
Wahbah Az-Zuhaili, Hukum Transaksi Keuangan, Transaksi Jual
Beli Asuransi, Khiyar, Macam-Macam Akad Jual Beli, Akad Ijarah
(Penyewaan), Terjemahan dari Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5,
Gema Insani, Jakarta, 2011, h. 373-374.
67
Yusuf As-Sabatin, Bisnis Islami dan Kritik Atas Praktik Bisnis
Ala Kapitalis, Al-Azhar Press, Bogor, 2009, h.365.
20

Pengertian gadai yang tercantum dalam Pasal 1150 BW


Staatsblaad Tahun 1847 Nomor 23 telah memberikan rumusan
pengertian gadai dalam konteks sangat luas, tidak hanya mengatur
tentang pembebanan jaminan atas barang bergerak, tetapi juga
mengatur tentang kewenangan kreditur untuk mengambil
pelunasannya dan mengatur eksekusi barang gadai apabila debitur
lalai dalam melaksanakan kewajibannya, karena itu gadai dapat
diartikan sebagai suatu perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan
debitur, dimana debitur menyerahkan benda bergerak kepada kreditur
untuk menjamin pelunasan suatu hutang gadai ketika debitur lalai
melaksanakan prestasinya. M Ali Hasan68 juga menguraikan bahwa
gadai atau hak gadai merupakan hak atas benda terhadap benda
bergerak milik siberhutang yang diserahkan kepada sipemiutang
sebagai jaminan pelunasan hutang siberhutang tadi.
Istilah gadai, dalam syariah Islam, menggunakan istilah rahn
yang secara etimologis berarti pengekang. Istilah rahn ini dalam
Mohammed Riza Abdullah, et. all., juga diuraikan sebagai berikut69:
“Literally, it means to pledge, pawn or retain”.
Uraian Mohammed Riza Abdullah lebih memperjelas
peristilahan rahn yang digunakan, yang menurut dia istilah rahn
atau dalam Bahasa Inggris menggunakan istilah pawn atau
retain. Kalau merujuk istilah Bahasa Inggris tersebut, yang juga
berarti “menahan” maka Mohammed Riza Abdullah
menjelaskan bila istilah rahn adalah merujuk pada pengertian
menahan hak milik.
Kata rahn, secara etimologi, berarti “tetap”,”berlangsung”dan
“menahan”, maka dari segi bahasa rahn dapat diartikan sebagai
menahan sesuatu dengan tetap. Peristilahan ar-Rahn, dengan
demikian, berarti “menahan salah satu harta milik si peminjam,
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya”. Rahn dalam
pengertian demikian, berarti model akad utang piutang dengan
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan
syara’ sebagai jaminan, sehingga pihak yang bersangkutan
diperbolehkan mengambil utang, sedangkan dari segi terminologi
berkenaan istilah rahn, terdapat beragam pendapat dari para ulama,
misalnya ulama fiqih Mazhab Syafi’iyah memberikan pengertian
rahn, yaitu menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang

68
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh
Muamalat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 253.
69
Mohammed Riza Abdullah, Law and Practice of Islamic Banking
And Finance, Second Edition, Sweet and Maxwell Asia, Selangor, Malaysia,
2010, h. 2000.
21

dapat dijadikan pembayaran ketika berhalangan dalam membayar


hutang. Bagi ulama fiqih Mazhab Hanafiah memberikan pengertian
rahn, yaitu: harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayaran
harga atau nilai hutang ketika yang berhutang berhalangan atau tidak
mampu membayar hutangnya kepada pemberi pinjaman. Ulama
Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang bersifat
mengikat, sedangkan ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali
mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu “menjadikan materi
(barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang
apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu” 70.
Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk
membolehkannya rahn yakni bersumber pada al-Qur’an (2): 283 yang
menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara


tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).

Dasar hukum lainnya adalah Hadits nabi yang diriwayatkan oleh


Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan
bahwa Nabi Muhammad SAW pernah membeli makanan dari
seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan71.
Pada hadits lain yang diriwayatkan dari Anas ra bahwasanya: “Ia
berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh
Rasulullah saw telah menggadaikan baju besi kepada seorang Yahudi
di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang
Yahudi”. Hadits ini, oleh para ulama (ahli hukum Islam), ditetapkan
sebagai dalil atau landasan syariah bagi kebolehan perjanjian gadai.
Berdasarkan landasan hukum tersebut, para ulama bersepakat
bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan. Para ulama,
merinci bahwa ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari:
(1). orang yang menggadaikan (ar-rahin); (2). barang-barang yang
digadai (al-marhun); (3). orang yang menerima gadai (murtahin); (4).
sesuatu yang karenanya diadakan gadai yakni harga. Untuk sahnya
akad rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak
yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang
dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang

70
Rahmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2004,
h. 20.
71
. Arif Efendi, “Gadai Syariah Dalam Perspektif Ekonomi Islam
(Studi Tentang Layanan Syariah Rahn Pada PT Pegadaian Persero”, Wahana
Akademika, Volume 15 Nomor 1, April 2013, h. 31.
22

oleh orang yang menerima gadai atau yang mewakilinya. Apabila


syarat-syarat akad rahn tersebut sudah terpenuhi72.
1.5.6. Pengaturan Gadai Syariah Di Indonesia
Praktik gadai syariah di Indonesia, secara spesifik belum ada
undang-undang yang mengaturnya73, hanya beberapa produk hukum
dibawah undang-undang yang menjadi payung pengaturan gadai
syariah di Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum
(Perum) Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang
Usaha Pergadaian. Landasan konsep pegadaian syariah di Indonesia,
bagaimanapun juga, tetap mengacu kepada al-Quran dan Hadist Nabi
SAW, sebagaimana al-Qur’an Surah al-Baqarah Ayat 283 serta Hadits
Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dan Hadits Nabi dari Anas
ra.
Pengaturan gadai syariah di Indonesia, bermula dari lahirnya
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 16 Desember 2003 tentang
Bunga Bank, yang atas dasar itu setelah melalui kajian panjang,
akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai
Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang
menangani kegiatan usaha syariah. Begitu juga landasan prinsip rahn
(gadai) telah memiliki fatwa dari Dewan Syari`ah Nasional Majelis
Ulama Indonesia yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas. Beberapa
aturan hukum pendukung lainnya yang menjadi landasan operasional
pegadaian syariah di Indonesia, antara lain Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Lembaran Negara RI
Tahun 2011 Nomor 111, dan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah Nomor 16/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah
Oleh Koperasi.
1. 6. Metode Penelitian
1.6.1. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif,
yang karakteristik penelitiannya merupakan proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum

72
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, Alfabeta, Bandung, 2011,
h. 27-29.
73
Ade Sofyan Muzid, “Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam
Sistem Hukum Nasional Di Indonesia”, Jurnal Ekonomi Syariah Innovatio,
Volume XI, Nomor 2, Juli-Desember 2012, h. 293-322.
23

guna menjawab isu hukum yang dihadapi74.Tipe penelitian hukum


normatif, menurut Peter Mahmud Marzuki, merupakan bahagian
yang tidak terpisahkan dari ciri ilmu hukum yang bersifat preskriptif,
yang menurutnya bahwa ilmu hukum sebagai ilmu bersifat preskriptif,
maka ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan,
keabsahan aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma
hukum. Relevan dengan yang ditulis Peter Mahmud Marzuki,
menurut Mark Van Hoecke75, penelitian hukum normatif juga dapat
dikategorikan sebagai penelitian doktrinal.
1.6.2. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah penelitian meliputi: Pertama,
pendekatan perundang-undangan, digunakan sebagai analisis untuk
menemukan makna asas taawun yang menjadi landasan pokok
perjanjian utang piutang di pegadaian syariah serta semua unsur yang
terkait dengannya, yang terderivasi pada berbagai peraturan hukum,
baik dalam al-Quran maupun Sunnah Nabi Muhammad SAW, dan
juga produk hukum tertulis lainnya yang mengatur tentang pegadaian
syariah di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan
Umum (Perum) Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero),
dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016
Tentang Usaha Pergadaian, termasuk peraturan hukum tertulis terkait
lainnya.
Kedua, pendekatan Konseptual, melalui pendekatan ini,
peneliti menggali, menemukan, serta memformulasikan konsep
filosofis asas taawun dalam perjanjian utang piutang yang di
pegadaian syariah, yang tentu saja peneliti harus merujuk kepada
doktrin-doktrin yang berkembang dalam hukum Islam, karena dari
sinilah konsepsi ini beranjak.
Ketiga, pendekatan sejarah (historis), melalui pendekatan ini,
peneliti mengkaji latar belakang historis keberadaan lembaga gadai
syariah di Indonesia, yang diregulasi dalam tatanan hukum Indonesia,
dengan penekanan pada perkembangan nomenklatur beberapa kontrak
yang terkait dengan perjanjian utang piutang bila dikaitkan dengan
penegakan asas taawun sebagai sesuatu yang sangat signifikan yang
mendasari hubungan hukum para pihak dalam perjanjian utang
piutang di pegadaian syariah.

74
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2005, h.93
75
Mark van Hoecke, Legal Doctrine: Which Method(s) for Whati
Kind of Disicipline?, dalam Mark Van Hoecke, European Academy of Legal
Theory Monograph Series, Oxford and Portland, Oregon, 2011, h. 13.
24

Keempat, pendekatan perbandingan hukum, melalui


pendekatan ini, peneliti melakukan analisis perbandingan nomenklatur
perjanjian utang piutang yang terdapat pada lembaga pegadaian
syariah beberapa negara tetangga dengan Indonesia, yakni Malaysia,
Brunei Darussalam,dan Thailand. Pendekatan perbandingan ini yang
lebih utama, adalah penjelasan tentang alasan hukum yang melandasi
beberapa lembaga pegadaian syariah dibeberapa negara tetangga yang
meletakkan barang gadai dalam konteks sebagai wadiah dibandingkan
di negara Indonesia yang meletakkan barang gadai dalam konteks
sebagai ijarah.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
Agus Yudha Hernoko76 menulis bahwa penelitian hukum
tidak dimaksudkan untuk melakukan verifikasi untuk menguji
hipotesis, sehingga di dalam penelitian hukum tidak dikenal hipotesis,
demikian pula halnya dengan istilah “data”. Penelitian hukum yang
normatif, hanya menggunakan istilah bahan hukum atau source of
law77, bukan istilah data sebagaimana lazim digunakan dalam bidang-
bidang penelitian ilmu sosial lainnya. Henry Campbell Black78
dalam Black’s Law Dictionary, menjelaskan bahwa sumber hukum
lebih menitikberatkan pada sumber-sumber yang merupakan dokumen
tertulis. Pandangan ini juga didukung oleh Kent C. Olson79 bahwa
bahan-bahan hukum tertulis memiliki kedudukan penting dalam
penelitian hukum normatif, hanya dapat diperoleh di perpustakaan,
karena itu, menurut Miles O Price80, dkk, bagi para penstudi hukum
yang sedang merancang sebuah penelitian hukum, tidak boleh
mengabaikan perpustakaan sebagai tempat dimana bahan-bahan
hukum dapat ditemukan. Relevan dengan pandangan Miles O Price,
juga diperkuat Kent C. Olson bahwa bahan hukum ada dua jenis,
yaitu sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder81.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini
menggunakan bahan-bahan hukum sebagai berikut:

76
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas
dalam Kontrak Komersial), Kencana Prenada Media Grup, 2010, h. 40.
77
Beau Steenken dan Tina M. Brooks, Source of American (An
Introduction to Legal Research), Elangdell Press, Kentucky, 2015, h. 23-24.
78
Henry Campbell Black, Op. Cit., h. 1400.
79
Kent C. Olson, Principle of Legal Research (Successor to How to
Find the Law, 9th Edition), Thomson Reuters, USA, 2009, h. 1-2.
80
Miles O Price, dkk., Effective Legal Research, Fourth Edition,
Little, Brown and Company, Boston Toronto, 1979, h. 1.
81
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, h. 183-187.
25

1) Bahan Hukum Primer, merupakan sumber bahan hukum


utama,mencakup: al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW,
serta semua regulasi hukum tertulis di Indonesia, yang mengatur
tentang pegadaian syariah dengan segala derivasinya.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu berbagai buku teks hukum, jurnal
ilmiah, disertasi, tesis, dan skripsi yang berkaitan dengan topik
penelitian ini.
1.6.4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum baik primer maupun sekunder yang diperoleh
dengan menggunakan metode bola salju (snow ball theory)82, akan
diinventarisasi dan diidentifikasi, yang untuk selanjutnya digunakan
dalam menganalisis permasalahan yang berhubungan dengan
penelitian ini.
1.6.5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Pengolahan bahan hukum penelitian disertasi ini, dimulai
dengan melakukan analisis secara sistematis terhadap keseluruhan
bahan hukum yang ada. Proses sistematisasi ini juga diberlakukan
terhadap asas hukum, teori, konsep, doktrin, serta bahan rujukan
lainnya, yang terkait permasalahan penelitian.

82
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, h. 392.
26

BAB II
MAKNA ASAS TAAWUN DALAM KONTEKS PERJANJIAN
UTANG PIUTANG DI PEGADAIAN SYARIAH
2.1. Makna Filosofis Asas Taawun Perspektif Syariah
M. Muzaki83, menjelaskan istilah yang taawun secara
etimologis diambil dari bahasa Arab yaitu dari kata ta’awana,
yata’awana, yang berarti saling membantu, saling gotong royong, atau
saling tolong menolong antara sesama manusia. Makna taawun dalam
Kamus Bahasa Arab al-Munawir84, menggunakan istilah at taawun
dan at taawuniy, yaitu “tolong menolong”, “kerja sama”, atau yang
bermakna “sesuatu yang bersifat kerja sama”. Pada konteks
pemaknaan secara etimologis, hal yang sama juga dikemukakan oleh
M. Muzaki85 dalam “Kamus Indonesia Arab dan Arab Indonesia”
yaitu kata ta’awanu, yu’inu yang berarti “tolong-menolong”. Istilah
taawun juga digunakan dalam al-Qur’an yang terutama secara tegas
kata ini disebutkan dalam Surah al-Maidah Ayat (2), yaitu kata
wata'âwanû yang merupakan bentuk kata kerja aktif bentuk lampau
(fi’il madhi/the past continous tense). Kata wata'âwanû tersebut, dapat
berarti “bantuan”, “pertolongan”, “penolong”, “keringanan”,
sedangkan bila merupakan kata kerja dapat diartikan dengan kata-kata
seperti menghibur, menawarkan hati, mengangkat, angkat, mencabut,
mencopet, mencuri, mengumpil, mengambil, mendakikan,
menyingsing, menjadi terang, mendorong, menaikkan, menyokong,
mendorongkan, menolong, memberi pertolongan, membantu.
Dari pengertian taawun menurut peristilahan yang merujuk
kepada kamus yang peneliti gunakan, maka secara terminologis
pengertian taawun yang dalam Bahasa Indonesia, diterjemahkan
dengan kata “tolong-menolong”, yang berarti “membantu untuk
meringankan bebas (penderitaan, kesukaran, dan sebagainya;
membantu supaya dapat melakukan sesuatu”. Pengertian “tolong
menolong” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lalu
dielaborasikan maknanya secara terminologis, oleh beberapa peneliti
dengan beberapa pendekatan, antara lain Srijanti86 mendefinisikan
tolong menolong yang berarti saling membantu, meminta bantuan, dan
memberikan bantuan. Srijanti, memberikan pengertian “tolong-
menolong” dengan basis pendekatan sosial kemasyarakatan, yang
menurut pendapatnya bahwa perbuatan tolong menolong merupakan

83
M. Muzaki, Kamus Indonesia Arab dan Arab Indonesia, Gama
Press, Jakarta, 2000, h. 315.
84
AW Munawir, Op. Cit., h. 988.
85
M. Muzaki, Loc.Cit.
86
Srijanti, dkk, Etika Membangun Masyarakat Islam Moderen,
Graha Ilmu, Jogjakarta, 2007, h. 118.
27

bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia karena pada


dasarnya manusia tidak dapat hidup sendirian. Kehidupan bersosial
dan masyarakat, akan dapat mandiri dan kuat bila disertai dengan
terwujudnya hubungan kerja sama dan tolong menolong diantara
anggota masyarakat87.
Makna “tolong-menolong” secara terminologis, juga
dirumuskan oleh Malinowski88 bahwa tolong-menolong
sesungguhnya merupakan sebuah realitas sosial dari interaksi
kehidupan manusia yang saling timbal balik dari sebuah pertukaran
kewajiban dengan konsekuensi logis masing-masing pihak yang saling
berinteraksi itu berharap akan mendapatkan balasan secara timbal
balik (principle of reciprocity). Menurut Koentjaraningrat, tolong
menolong tidak sekedar sebagai sebuah budaya dalam konteks
kehidupan kolektif masyarakat tetapi ia juga dapat mewujud sebagai
suatu kristalisasi nilai-nilai yang terkonstruksi menjadi pranata.
Pranata tolong menolong menurut Koentjaraningrat
memiliki variasi (keragaman) sesuai tingkat budaya masyarakat
tertentu. Sebagai contoh, pranata tolong menolong yang berlangsung
pada kehidupan tradisional masyarakat Indonesia dahulu. Pada
masyarakat tradisional Indonesia, menurut ungkapan
Koentjaraningrat bahwa pranata tolong menolong sering
diterjemahkan dengan istilah “gotong royong”. Tingkatan tolong
menolong dalam konteks kehidupan sosial masyarakat Indonesia
sebagaimana yang dikualifisir Koentjaraningrat, tampaknya hingga
kini masih eksis meskipun kehidupan kota masyarakat Indonesia telah
tergerus oleh modernisasi89.
Keberadaan pranata tolong menolong yang mewujud dalam
kehidupan sosial masyarakat, dalam pandangan Mattulada90 adalah
lahir sebagai konsekuensi logis dari keterbatasan masing-masing
anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Pranata tolong
menolong berfungsi mengatur anggota masyarakat dalam berinteraksi
guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

87
Rahayu Salam, “Assitulengeng: Bentuk Tolong Menolong Dalam
Upacara Aqiqah Di Pulau Salemo”, Jurnal Walasuji, Volume 5 Nomor 2,
Desember 2014, h. 330.
88
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan,
Gramedia, Jakarta, 1984, h. 57.
89
Muhammad Basir, “Hubungan Sosial dan Akses Sosial
Masyarakat Pada Lingkungan Pemukiman Kumuh Di Kota Makassar”,
Jurnal Perkotaan, Juni 2012 Volume 4 Nomor 1, h. 53.
90
Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi
Politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang, 1995.
28

Pemaknaan istilah “tolong menolong” secara etimologis


dengan pendekatan budaya (antropologis) menurut sudut pandang
Malinowski, dalam konteks kehidupan masyarakat tertentu, tidak
hanya mewujud sebagai sebuah kebiasaan, tetapi tolong menolong
juga mengkristal dalam wujud hukum kebiasaan. Seperti dengan
mengambil contoh kehidupan gotong royong masyarakat Indonesia,
yang menurut studi Koentjaraningrat bahwa nilai-nilai
kegotongroyongan masyarakat Indonesia telah mewujud sedemikian
rupa sebagai tatanan nilai normatif yang mengikat. Bahkan menurut
studi Collete91, nilai-nilai gotong royong telah mengaktualisasi
sebagai prinsip-prinsip moral bangsa Indonesia yang sekaligus
menjadi common identity dalam realitas kehidupan bangsa Indonesia
dengan keragaman budaya serta adat istiadatnya.
Pemaknaan tolong menolong, secara terminologis menurut
pendekatan budaya tersebut, tentu saja berbeda pemaknaannya dari
sudut pandang syariah dengan mengacu doktrin dari para fuqaha (ahli
hukum Islam) atau dari para mufassirin (ahli tafsir al-Qur’an). Para
pakar hukum Islam memaknai istilah taawun dalam konteks menurut
koridor yang tidak melanggar norma-norma dalam al-Qur’an dan
Hadits Nabi Muhammad SAW. Mayoritas pakar hukum Islam, selalu
mengkaitkan makna taawun dengan merujuk al-Quran Surah al-
Maidah Ayat (2). Imam Ibnu Katsir92, antara lain, yang dalam
penjelasan tafsirnya, mengkaitkan istilah taawun dengan al-birr. Kata
al-birr dalam ayat tersebut, menurut Imam Ibnu Katsir bermakna
perbuatan yang baik, sedangkan kata at taqwa bermakna
meninggalkan kemungkaran. Hal yang sama juga dikemukakan oleh
Wahbah az Zuhaili93 dalam tafsir al-Munir bahwa makna al-birr
merujuk kepada pengertian kebaikan yang diperintahkan Allah SWT
bukan kepada hal-hal maksiat yang dilarang oleh Allah SWT. Kedua
pakar hukum Islam ini, mengkaitkan pengertian taawun dengan
perbuatan baik yang tidak melanggar syariah, yaitu bersandarkan
perintah Allah SWT dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Perbuatan
baik dengan perintah Allah SWT merupakan dua hal yang tidak bisa
terpisahkan, ia terpaut sebagai satu koneksitisitas.
Kata al-birr yang berarti kebaikan, apabila merujuk Hadits
Nabi SAW, melalui sabdanya:

91
Nat J Collete, Kebudayaan dan Pembangunan, Sebuah
Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan Ilmu Pengetahuan Sosial Di
Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta, 1987, h. 3.
92
Sumardiono, Tolonglah Saudaramu Pasti Allah Menolongmu,
Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2014, h. 120.
93
Wahbah az Zuhaili, Tafsir Al Munir, Gema Insani (Juz 5-Juz 6),
Gema Insani, 2015, h. 300.
29

Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan


jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati
bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa
hal tersebut merupakan kebaikan.” (HR. Ahmad (4/227-
228),94

Kebaikan atau al-birr menurut kutipan hadits tersebut, bagi


seorang muslim, yang menjadi standarnya adalah hati nurani.
Kebaikan menurut Nabi SAW, senantiasa parallel dengan ketenangan
hati seorang muslim. Perbuatan dosa akan menyebabkan hati tidak
tenang atau merasa bimbang. Hadits ini meskipun memerintahkan
seorang muslim untuk menakar setiap perbuatan baik menurut
pertimbangan hati nuraninya, tetapi menurut Al-Munawi dalam kitab
yang ditulis Faidhul Qadir Jilid I halaman 495, hati nurani yang
dimaksud adalah hati nurani yang bersih yang senantiasa diliputi
cahaya keimanan dan mengikuti tuntunan ilmu dan pengetahuan
syariah, bukan hati nurani yang diliputi kemaksiatan serta senantiasa
cenderung kepada kejahatan dan perbuatan dosa95.
Imam Ibnu Katsir dan Wahbah Az Zuhaili memberikan
batasan tentang makna taawun dalam pengertian tolong menolong
untuk kebaikan yang dibenarkan oleh syariah, bukan tolong menolong
untuk tindakan-tindakan yang berpotensi menuju kemaksiatan. Imam
al-Jalalain dan Ibnu Abbas secara spesifik menjelaskan bahwa
konteks tolong menolong menurut wahyu adalah tolong menolong
untuk ketaatan kepada Allah SWT bukan tolong menolong dalam
rangka untuk berbuat kemungkaran (tarku al mungkaroot). Begitupun
pandangan Imam Nawawi, mempertegas makna taawun yang
dimaksud dalam al-Quran Surah Al-Maidah Ayat (2) bahwa tolong
menolong dalam konteks ayat ini, hanya berlandaskan kepada perintah
Allah SWT bukan berdasarkan kepada prasangka yang dilandasi hawa
nafsu manusia.
Makna taawun secara terminologis yang diletakkan dalam
kerangka syariah menurut para pakar hukum Islam, sebagaimana yang
telah peneliti uraikan, sesungguhnya dapat disimpulkan melalui
makna kalimat wata’︢awan︢u ‘alal-birri wat-taqwa wa la ta’awanu
‘alal istmi wal-‘udwan(i), dengan perincian sebagai berikut:

94
Ummu Sa’id, “Tanyakan Pada Hatimu” (20 Oktober 2012),
https://muslimah.or.id/3281-tanyakan-pada-hatimu.html, diakses pada
tanggal 10 Desember 2017.
95
Yulian Purnama, “Penjelasan Hadits Mintalah Fatwa Pada
Hatimu” (9 Februari 2017), https://muslim.or.id/29444-penjelasan-hadits-
mintalah-fatwa-pada-hatimu.html, diakses pada tanggal 10 Desember 2017.
30

1. Taawun bermakna sebagai tolong menolong merupakan salah satu


bentuk perbuatan yang berlandaskan ketakwaan kepada Allah
SWT, yaitu pelaksanaannya hanya berdasarkan perintah Allah
SWT serta meninggalkan segala apa yang dilarang-Nya. Tolong
menolong yang mendorong kepada perbuatan maksiat, tidaklah
termasuk makna taawun dalam konteks ini;
2. Taawun bermakna tolong menolong untuk saling mentaati
perintah Allah SWT serta meninggalkan segala larangan Allah
SWT yang dapat menjerumuskan kedalam perbuatan mungkar.
Tolong menolong dalam konteks ini semata-mata dalam kerangka
ketaatan kepada Allah SWT bukan juga tolong menolong yang
berlandaskan kepada hawa nafsu manusia.
Berdasarkan kesimpulan makna taawun yang dikutip dari
pendapat beberapa fuqaha, maka taawun dalam perspektif syariah
tidak boleh dielaborasi pemaknaannya yang mengarah kepada
perbuatan dosa serta pelanggaran terhadap aturan-aturan Allah SWT.
Apabila kita mencermati sambungan ayat dari al-Quran Surah al-
Maidah Ayat (2) pada kalimat…”Dan janganlah tolong menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksanya”, maka kalimat ayat
ini merupakan proteksi makna taawun yang tidak boleh melanggar
batasan koridor yang dilarang oleh syariah. Ibnu Katsir96
menjelaskan makna ayat ini, dengan batasan pengertian bahwa Allah
SWT melarang setiap muslim terlibat tolong menolong terhadap
semua perbuatan yang menuju kebatilan dan perbatan dosa yang
diharamkan oleh Allah SWT. Menurut Ibnu Katsir, kata itsm (dosa)
adalah meninggalkan apa saja yang Allah larang. Ibnu Katsir dengan
mengutip Ibnu Jarir bahwa dosa merupakan bentuk pelanggaran
yang melampaui apa yang digariskan oleh Allah SWT serta
melupakan apa yang diwajibkan oleh Allah SWT terhadap diri kita
dan orang lain, sedangkan pengertian al-‘Udwan (melampaui batas),
yang berarti melampaui batas apa yang Allah berikan sebagai batasan
dalam Agama Islam. Kata al-‘Udwan juga bermakna melampaui batas
kepada apa saja yang diwajibkan kepada setiap muslim yang
berdasarkan syariah bukan berdasarkan kepada apa yang menurut
keinginan hawa nafsu manusia.
Begitu juga menurut tafsir Ibnu Abbas, makna taawun yang
ditunjukkan ayat tersebut sebagai proteksi makna dari tolong
menolong yang tidak boleh dielaborasikan kepada perbuatan maksiat,
perbuatan yang melampaui batas, dan perbuatan zholim. Proteksi
makna taawun tersebut, menurut Imam Nawawi terdapat batasan

96
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 6 (terjemahan), Sinar Baru
Algensindo, Bandung, 2007, h. 173-174.
31

yang memberikan pengertian tidak boleh tolong menolong dalam


kemaksiatan karena akan mendapat balasan dari Allah SWT yaitu
berupa sanksi azab Allah di hari akhir, serta larangan kepada
perbuatan tolong menolong yang melampaui batas hukum-hukum
Allah SWT97.
Penegasan makna taawun menurut pandangan para pakar
hukum Islam tersebut, sekaligus menjadi karakter bagi setiap muslim
baik laki-laki maupun perempuan, yaitu gemar tolong menolong.
Artinya, setiap muslim akan menjadikan salah satu karakter
kepribadiannya dengan sifat-sifat tolong menolong sebagai bagian
integral dari akhlak yang baik. Firman Allah SWT, mendeskripsikan
tentang karakteristik seorang muslim yang gemar saling tolong
menolong karena untuk kebajikan bukan untuk kemungkaran, sebagai
berikut: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah)menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari
yang mungkar…”98.
Dari sini pula, dimensi tolong menolong menurut pemaknaan
wata’︢awan︢u ‘alal-birri wat-taqwa wa la ta’awanu ‘alal istmi wal-
‘udwan(i) yang tertulis dalam al-Qur’an Surah al-Maidah Ayat (2),
adalah mengandung dimensi transendental, yang berarti pula tolong
menolong bukan sekadar mencakup dimensi kemanusiaan, tetapi
jangkauan pemaknaannya secara hakiki menyentuh kepada aspek
keakhiratan.
2.2. Makna Asas Taawun dalam Kerangka Hubungan Hukum
Antara Muqridh dan Muqtaridh di Pegadaian Syariah
Pada hakikatnya, kontrak atau perjanjian selalu memuat
hubungan hukum antara para pihak, yang menetapkan beban hak dan
kewajiban. Apapun bentuk perjanjian itu, meski dalam bentuk
perjanjian yang sederhana, klausula yang tertuang di dalamnya, selalu
merupakan perjanjian yang menghasilkan kesepakatan yang
melahirkan pengakuan hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk
dilaksanakan. W.T Major99 memberi penjelasan teoritis mengenai
keberadaan perjanjian atau kontrak sebagai salah satu dokumen
hukum yang isinya mereflesikan pernyataan kehendak tertulis untuk
melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan
apa yang telah disepakati. Pandangan W.T Major, juga diperkuat oleh

97
Sumardiono, Op. Cit., h.128.
98
Imam Ghazali Masykur, dkk, Al-Mumayyaz (Al-Qur’an Tajwid
Warna Transliterasi Per Kata Terjemahan Perkata, Cipta Bagus Segara,
Bekasi, 2014, h. 198.
99
W.T. Major, The Law of Contract, Macdonald &Evans, London,
1974, h. 1.
32

pendapat P.S. Atiyah, yang menjelaskan bahwa perjanjian pada


dasarnya melahirkan hubungan kontraktual dari para pihak sebagai
sebuah hubungan hukum yang menisbatkan beban kewajiban antara
para pihak yang saling bersepakat. Arthur S Hartkamp dan
Marianne M.M. Tillema100 memberikan penjelasan tentang
kedudukan kontrak sebagai pranata hukum yang membingkai
kemanfaatan yang hendak diperoleh para pihak.
Konteks perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, juga
mewujudkan ikatan hubungan hukum bersifat kontraktual antara
muqridh dengan muqtaridh. Kerangka hubungan hukum antara
muqridh dengan muqtaridh tentu saja, pada sisi lain dapat
memberikan manfaat antara keduanya melalui ikatan perjanjian itu
sendiri, namun yang perlu untuk diperhatikan dalam konteks
pembahasan ini, bahwa manfaat yang hendak diperoleh para pihak
(muqridh dan muqtaridh), bukanlah didasarkan kepada manfaat yang
bersifat profit (bersifat finansial), terutama dari sisi kepentingan pihak
muqridh (pegadaian syariah).
Untuk menegaskan hubungan hukum antara muqridh, yang
dalam hal ini adalah pihak pegadaian syariah dengan muqtaridh yang
dalam hal ini pihak nasabah dalam perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, yang tidak dalam kerangka menarik keuntungan
profit (bersifat finansial), maka keberadaan asas taawun menjadi
begitu sangat penting sebagai landasannya. Asas taawun dapat
menerjemahkan keberadaan perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah, yang terutama dilihat dari sudut kepentingan muqridh, yang
seharusnya adalah didorong oleh kepentingan memberikan
pertolongan kepada muqtaridh yang sedang berada dalam kesulitan
keuangan.
Penempatan asas taawun yang melandasi hubungan
kontraktual antara muqridh dengan muqtaridh sesungguhnya juga
untuk memberikan makna bahwa perjanjian utang piutang yang
terbentuk antara keduanya merupakan hubungan hukum yang
melahirkan hak dan kewajiban yang dibebankan kepada muqridh dan
muqtaridh itu sendiri, namun hubungan hukum keduanya bukanlah
karena motivasi mutualisme untuk saling bertukar kepentingan yang
berorientasi kepada profit tetapi hubungan hukumnya memang atas
dasar tolong menolong. Inilah yang menjadi karakteristik dasar
perjanjian utang piutang berbasis syariah yang tidak dikenal dalam
perjanjian utang piutang dalam sistem hukum barat, baik yang tunduk
menurut sistem hukum common law maupun civil law (Eropa
Kontinental).

100
Arthur S Hartkamp dan Marianne Tilemma MM, op.cit., h. 5.
33

Keberadaan asas taawun dalam bingkai perjanjian utang


piutang di pegadaian syariah, adalah untuk mempertegas kedudukan
pegadaian syariah sebagai salah satu lembaga keuangan berbasis
syariah yang pada dasarnya didirikan dalam kerangka untuk
memberikan bantuan pinjaman modal keuangan kepada masyarakat
yang memang sangat membutuhkan, yang semata-mata bertujuan
sosial. Keberadaan lembaga pegadaian syariah dalam perspektif
syariah, seharusnya bukan didorong oleh motivasi komersial tetapi
memang motivasinya adalah non-komersial. Mendudukkan lembaga
pegadaian syariah sebagai lembaga nirlaba, memang sangat tepat,
terutama apabila kita mencermati kembali nomenklatur perjanjian
utama yang mengikat antara lembaga pegadaian syariah dengan
nasabah, adalah berbasis perjanjian utang piutang.
Syariah sudah menetapkan bahwa perjanjian utang piutang
adalah bentuk perjanjian yang didalam klausulanya sangat tidak
dibenarkan untuk menarik manfaat, terutama yang terkait dengan
manfaat materil atau bersifat finansial. Para ulama dan fuqaha telah
sepakat bahwa menarik manfaat dalam perjanjian utang piutang sudah
dapat dikategorikan ke dalam perbuatan memungut riba, sebagaimana
yang ditunjukkan oleh al-Qur’an Surah al-Baqarah Ayat (275) bahwa
“…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba…”. Selain itu, syariah juga telah menetapkan bahwa perjanjian
utang piutang sesungguhnya merupakan bentuk perjanjian yang
berkarakteristik tolong menolong, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW bahwa:

…Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka


Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa
membebaskan seorang muslim dari kesulitan, maka Allah
akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat...

Karakteristik perjanjian utang piutang sebagai perjanjian yang


menitikberatkan kepada dimensi kemanusiaan, bukan untuk mencari
keuntungan komersial, maka keberadaan asas taawun adalah untuk
memperjelas hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh
sebagai hubungan hukum yang semata-mata didasari kepada
kepentingan bersifat transendental bukan dengan membangun
hubungan hukum itu, melalui celah yang memungkinkan pihak
muqridh (pegadaian syariah) untuk menarik keuntungan komersial
dari pihak muqtaridh, mengingat kedudukan muqtaridh berada dalam
kedudukan yang lemah, yaitu berada pada posisi yang sangat
menggantungkan harapan kebutuhan ekonominya yang sangat
mendesak kepada pihak muqridh.
34

Hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh di


pegadaian syariah, secara mendasar, memang mengekspresikan
hubungan mutualisme antara keduanya, sebagaimana layaknya
perjanjian pada umumnya, namun hubungan mutualisme itu bukanlah
berdasarkan benefit in profit-oriented, yaitu mutualisme berbasis
orientasi profit. Mutualisme antara muqridh dengan muqtaridh
tidaklah dalam hitungan kalkulasi keuntungan finasial, seperti yang
tampak pada hubungan mutualisme dalam perjanjian komersil lainnya,
semisal perjanjian mudharabah, perjanjian musyarakah, perjanjian
ijarah, perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, dan lain-lain.
Hubungan mutualisme dalam kerangka hubungan hukum antara
muqridh dengan muqtaridh tetap terjaga dalam batasan yang
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, sosial, dan spiritual.
Asas taawun akan menjadi landasan yang menjaga kerangka
hubungan mutualisme antara muqridh dengan muqtaridh tersebut.
Asas tawun tetap menjaga bahwa hubungan mutualisme antara
muqridh dengan muqtaridh adalah atas dasar tolong menolong,
sehingga ketika muqridh memberikan pinjaman modal dalam bentuk
uang adalah didorong oleh motivasi kemanusiaan. Bantuan keuangan
oleh muqridh tidak boleh ditafsirkan apalagi dicari celah sedemikian
rupa untuk mendapatkan kompensasi dalam bentuk kemanfaatan
finasial atau kemanfaatan material lainnya yang dapat ditakar
berdasarkan hitung-hitungan komersial. Kemanfaatan yang
dimungkinkan dapat diperoleh muqridh dari hubungan mutualisme itu
adalah kemanfaatan berupa ganjaran pahala yang berlipat dari Allah
SWT kelak di akhirat. Pada satu sisi, kemanfaatan yang diperoleh
pihak muqtaridh dari hubungan mutualismenya dengan muqridh, tentu
saja bagi pihak muqtaridh memperoleh keringanan dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya karena himpitan ekonomi.
Makna asas taawun menurut doktrin para ulama dan fuqaha
yang merujuk kepada al-Qur’an Surah al-Maidah Ayat 2, maka dalam
konteks kedudukan asas taawun dalam pejanjian utang piutang di
pegadaian syariah, ia dapat dimaknakan sebagai asas yang melandasi
pertukaran hak dan kewajiban antara muqridh dengan muqtaridh
dengan komitmen semata-mata atas dasar moral kebajikan yaitu pihak
muqridh memberikan pertolongan kepada muqtaridh berupa bantuan
modal pinjaman dan disisi lain pihak muqtaridh juga dituntut secara
moral untuk mengembalikan modal yang telah dipinjamnya sesuai
dengan waktu yang telah disepakati. Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa hubungan antara muqridh dengan muqtaridh, adalah beranjak
kepada orientasi kepentingan non-profit atau bukan karena dilandasi
meraih keuntungan komersil.
35

Berdasarkan penjelasan tersebut, menurut peneliti, makna asas


taawun dalam konteks perjanjian utang piutang di pegadaian syariah,
dapat dielaborasikan pada pemahaman makna sebagai berikut:
1. Asas taawun memberikan makna terhadap sentuhan hubungan
hukum antara muqtaridh dengan muqridh sebagai hubungan
hukum yang meletakkan hak dan kewajiban masing-masing pihak
dengan tanggung jawab ilahiah, yaitu tanggung jawab yang
memang semata-mata didorong oleh semangat spiritual. Bagi
muqridh memberikan bantuan pinjaman modal merupakan salah
satu tanggung jawab sosial yang diperintahkan oleh Allah SWT
bagi setiap muslim..
2. Asas taawun memberikan makna yang menegaskan karakteristik
perjanjian utang piutang di pegadaian syariah sebagai perjanjian
yang tidak dibangun atas dasar hubungan komersil, sehingga
apabila dikemudian hari terjadi pelanggaran perjanjian yang
dilakukan oleh muqtaridh yaitu beritikad buruk tidak mau
mengembalikan modal yang dipinjamnya dari muqridh atau
menunda-nunda pengembalian modal pinjaman dalam jangka
waktu cukup lama, maka kerangka penyelesaian sengketa syariah
oleh lembaga pengadilan syariah, adalah memberikan keputusan
hukum kepada muqtaridh untuk mengembalikan modal yang
dipinjamnya itu sesuai dengan pokok modal. Tidak dibenarkan
dalam tataran syariah, bahwa pihak muqridh lalu meminta
tambahan pokok atas pelanggaran perjanjian yang dilakukan
muqridh, dengan alasan pelanggaran perjanjian mengakibatkan
kerugian finansial bagi pihak muqridh.
Titik point pemaknaan asas taawun yang telah peneliti
ketengahkan tersebut, adalah untuk memperjelas hubungan hukum
antara muqridh dengan muqtaridh dari segi kepentingan masing-
masing pihak. Kepentingan yang dimaksud disini adalah kepentingan
yang tidak didasarkan kepada kalkulasi matematis menurut hitung-
hitungan finasial berapa yang akan didapat oleh muqridh. Pinjaman
bantuan modal yang diberikan muqridh kepada muqtaridh, seharusnya
tidak boleh ditakar sebagaimana menurut pandangan ekonomi
kapitalisme, bahwa pinjaman modal berdampak kerugian dipihak
muqridh, sebab telah terjadi pengurangan atau pemotongan harta
muqridh itu sendiri. Pandangan kapitalisme yang tegak atas landasan
materialistik, yang menihilkan nilai-nilai trasendental, tentu saja
memandang semua transaksi keuangan terutama berkaitan dengan
modal, semuanya mesti berpijak pada pandangan untuk mencari
keuntungan finansial (motivasi bisnis) 101.

101
Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2007, h. 137.
36

Konteks pemaknaan asas taawun dalam kerangka hubungan


hukum antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah, di sisi
lain juga adalah untuk mengelaborasikan kedudukan lembaga
pegadaian syariah sebagai lembaga yang benar-benar mengemban
amanah tanggung jawab sosial. Pegadaian syariah, meskipun
dinisbatkan sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan, tetapi
seharusnya, karakteristiknya sebagai lembaga non-profit tetap
dipertahankan. Visi dan misi lembaga pegadaian syariah semestinya
tidak diintervensi dengan sentuhan komersial, yang seolah-olah
mempersamakan dengan lembaga keuangan berbasis syariah lainnya
seperti lembaga perbankan syariah. Inilah yang harus dipertegas
kembali bahwa lembaga pegadaian syariah didirikan memang bertitik
tumpu kepada fungsi-fungsi sosial, dalam bentuk memberikan bantuan
pinjaman modal kepada pihak-pihak yang memang sangat
membutuhkan. Bantuan pinjaman modal yang diberikan itu, tentu
saja, dilakukan melalui mekanisme perjanjian utang piutang bukan
melalui mekanisme perjanjian hibah, sehingga bantuan pinjaman
modal yang diberikan itu berimplikasi kepada kewajiban pihak
muqtaridh untuk mengembalikan modal yang dipinjamnya sesuai
dengan jangka waktu yang telah disepakati.
Perjanjian utang piutang di pegadaian syariah yang tegak atas
landasan asas taawun, sekaligus untuk menegaskan sekali lagi
keberadaan lembaga pegadaian syariah, melalui wujud perjanjian
utang piutang, yang terdapat di dalamnya, sebagai salah satu lembaga
keuangan syariah yang berbasis kemanusiaan. Atas dasar itulah, untuk
menjaga orisinalitas lembaga pegadaian syariah sebagai lembaga non-
profit yang berbasis murni untuk memberikan pertolongan kepada
siapa saja yang sedang mengalami kesulitan keuangan, maka
keberadaan perjanjian tambahan yang dilekatkan kepada perjanjian
utang piutang di pegadaian syariah, seharusnya ditiadakan jika
perjanjian tambahan itu menjadi celah bagi pihak muqridh yaitu pihak
pegadaian syariah untuk menarik keuntungan.
Peneliti selanjutnya mengilustrasikan tentang nomenklatur
perjanjian utang piutang sebagaimana yang berlangsung pada
umumnya di pegadaian syariah di Indonesia. Perjanjian utang piutang
di pegadaian syariah tersebut, dalam praktik yang berlangsung hingga
saat ini, lazimnya dilekatkan dengan dua perjanjian tambahan yaitu
perjanjian gadai (akad rahn) dan perjanjian sewa tempat penitipan
barang gadai yang disebut dengan nama akad ijarah. Sebagai
gambaran berikut peneliti menyajikan dalam bentuk bagan mengenai
transaksi yang berlangsung di pegadaian syariah sebagai berikut:
37

Mencermati bagan tersebut, apabila penempatan asas taawun


sebagai landasan pokok tegaknya perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, kemudian mencermati perjanjian sewa tempat
penitipan barang gadai (al-marhun) sebagai perjanjian tambahan yang
dilekatkan pada perjanjian pokoknya (perjanjian utang piutang), maka
landasan pokok perjanjian antara muqridh dengan muqtaridh di
pegadaian syariah adalah perjanjian utang piutang, sehingga karakter
hubungan hukum apapun yang terderivasi darinya bukan untuk
menarik manfaat atau untuk mendapatkan kompensasi finansial.
Peneliti mencoba mencermati beberapa segi yang terkait
dengan perjanjian utang piutang tersebut yang melekatkan akad ijarah
sebagai perjanjian accessoir. Pada akad ijarah, pihak muqridh
menetapkan syarat bahwa pihak muqtaridh dibebankan kewajiban
untuk membayar uang sewa tempat penitipan barang yang
dijaminkannya (al-marhun). Uang sewa dimaknakan sebagai uang
jasa titipan barang jaminan/agunan, termasuk juga merupakan bagian
dari biaya pemeliharaan barang jaminan kalau barang jaminan itu
sendiri, diperkirakan dapat mengalami penyusutan atau kerusakan
pada saat dititipkan atau disimpan pada jangka waktu yang cukup
38

lama. Atas dasar itulah, karena hubungan hukum dalam akad ijarah
adalah hubungan hukum sewa menyewa, maka objek perjanjian akad
ijarah ini adalah sewa tempat penitipan barang agunan yang
disediakan oleh pegadaian syariah. Pada akad ijarah ini, kedudukan
muqtaridh disebut musta’jir (orang yang menyewa tempat) dan
muqridh disebut mu’ajjir (orang yang menyediakan tempat
penyewaan).
Pembebanan uang sewa tempat penitipan barang jaminan
kepada muqtaridh (musta’jir), tidaklah menjadi persoalan apabila
uang sewa dipungut oleh muqridh (mu’ajjir) masih dalam batas-batas
yang proporsional, namun yang menjadi persoalan adalah jika biaya
sewa penitipan yang diambil, tidak lagi pada batas-batas yang
proporsional, tetapi membuka celah sedemikian rupa agar pihak
pegadaian syariah dapat menarik manfaat dari akad ijarah yang sudah
ditetapkan bersamaan dengan perjanjian utang piutang.
Pemaknaannya bahwa standar penetapan biaya sewa (ujrah), tidak
menjadi persoalan apabila tidak dikaitkan secara langsung dengan
nilai harga konstanta dari barang jaminan/agunan (al-marhun), tetapi
biaya sewanya semata-mata ditetapkan berdasar kepada penggunaan
tempat penyimpanan barang jaminan/agunan (al-marhun) yang
disediakan pihak muqridh atau kalau memang ada biaya-biaya
perawatan yang harus dikeluarkan dalam rangka menjaga kondisi
barang jaminan/agunan (al-marhun) supaya tidak rusak atau
mengalami penyusutan.
Pada dasarnya, barang yang dijadikan sebagai jaminan/agunan
oleh muqtaridh di pegadaian syariah, adalah barang yang memiliki
nilai ekonomi atau yang memiliki nilai harga jual di pasaran. Barang
jaminan/agunan yang dimaksud itu antara lain berupa emas, perak,
perhiasan berlian, kendaraan, benda-benda elektronik, maupun benda-
benda bergerak lainnya yang memiliki nilai jual secara ekonomi.
Semua barang yang dijadikan agunan itu dari segi zat barang dan
sifatnya, sebahagian besar diantaranya tidak memerlukan perawatan
khusus atau ada perkiraan mengalami penyusutan kalau disimpan
terlalu lama. Misalnya, emas atau perak, barang jenis ini tentu tidak
memerlukan perawatan khusus untuk menjaganya karena
kekhawatiran mengalami kerusakan. Begitu juga seperti kendaraan
yang disimpan, barangkali tidak akan mengalami kerusakan apabila
disimpan dalam jangka waktu tertentu, namun yang menjadi persoalan
yaitu ketika biaya sewa dalam akad ijarah ditetapkan berdasarkan
nilai konstanta dari harga barang jaminan/agunan. Misalnya, pihak
muqridh menetapkan harga sewa dengan menaksir berdasarkan nilai
konstanta barang yang berbeda antara satu dengan yang lain,
umpamanya biaya sewa barang jaminan emas seberat 5 gram berbeda
dengan barang jaminan emas seberat 10 gram. Ilustrasi konkritnya
39

dapat peneliti uraikan sebagai berikut, seorang nasabah A hendak


meminta bantuan pinjaman modal ke pegadaian syariah B. Setelah
keduanya menyatakan terikat secara tertulis dalam perjanjian utang
piutang, lalu ditetapkan bahwa sebagai jaminan pengembalian modal
tersebut, pihak A menjaminkan barang emas miliknya seberat 5 gram,
untuk menjadi kompensasi jika kelak dikemudian hari A tidak mampu
mengembalikan modal yang dipinjamnya tersebut. Berdasarkan
taksiran B, nilai jual barang agunan A dipasaran adalah Rp 2. 500. 000
(dua juta lima ratus ribu rupiah). Pada klausula akad ijarah, pihak B
menetapkan bahwa biaya sewa yang wajib dibayar pihak A adalah 1
% dari nilai konstanta selama 10 hari terhitung dari mulai tanggal
penitipan barang jaminan. Bila penitipan bertambah lewat 10 hari
maka pihak A dikenakan tambahan biaya sewa sebesar 1% dengan
hitungan masa 10 hari lagi. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka A
diwajibkan membayar biaya sewa sejumlah Rp. 25.000 (dua puluh
lima ribu rupiah) untuk masa sepuluh hari penitipan dan apabila masa
sewa lewat 10 hari meskipun hanya 1 hari maka pihak A dikenakan
tambahan biaya sewa sebesar Rp. 25. 000 (dua puluh lima ribu
rupiah) lagi. Pada saat yang bersamaan pihak nasabah yang lain,
sebutlah misalnya C melakukan perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah B, lalu pihak C menjaminkan barang miliknya perhiasan emas
seberat 10 gram, maka tentu saja biaya sewa yang ditanggung pihak C
lebih besar dari pihak A karena nilai konstanta harga barang yang
dimiliki C juga lebih besar, yaitu ia menanggung kewajiban
membayar sewa penitipan sejumlah Rp. 50. 000 (lima puluh ribu
rupiah).
Dari ilustrasi yang disajikan peneliti tersebut, tampak jelas
bahwa pihak pegadaian syariah selaku muqridh telah membebankan
biaya sewa barang jaminan/agunan dengan berdasarkan nilai
konstanta prediksi harga jual dipasaran. Bila ditelaah secara kritis,
menurut peneliti, tampaknya ada semacam celah yang dimanfaatkan
pihak pegadaian syariah untuk menarik keuntungan dengan alasan
biaya sewa penitipan barang yang harus ditanggung oleh pihak
nasabah (muqtaridh). Menurut peneliti, tidaklah menjadi soal
berkenaan dengan penarikan biaya sewa, sebagai bentuk pengamanan
terhadap barang jaminan nasabah, namun, penetapan biaya sewa
seharusnya dalam batas-batas proporsional yang ditetapkan
berdasarkan pemanfaatan tempat oleh nasabah bukan dengan
menghitungnya berdasarkan nilai harga konstanta barang jaminan.
Penarikan biaya sewa oleh pegadaian syariah, memang
sebenarnya tampak sebagai celah untuk menarik manfaat dari pihak
nasabah, karena secara logika, hubungan hukum dalam akad ijarah di
pegadaian syariah, adalah hubungan sewa menyewa tempat penitipan
barang agunan. Hubungan hukum demikian, yang dijadikan sebagai
40

titik konsentrasi objek akad adalah pemanfaatan tempat serta


keamanan barang gadai (al-marhun), sehingga bangunan logikanya
keliru kalau penentuan sewa tempat didasarkan kepada taksiran nilai
konstanta harga barang jaminan, karena tidak ada hubungan antara
nilai konstanta harga barang dengan pemanfaatan tempat penitipan
barang gadai/agunan. Nilai konstanta harga barang gadai adalah nilai
yang melekat karena menunjukkan kualitas barang, sedangkan tempat
penitipan barang gadai yang disewakan pihak pegadaian, adalah
berkaitan dengan fungsi pengamanan, perawatan, atau perlindungan
barang gadai. Pada sisi lain, fungsi penyimpanan barang gadai yang
dititipkan kepada muqridh (lembaga pegadaian syariah), adalah untuk
memproteksi hak penguasaan terhadap barang gadai, yang sebenarnya
berada ditangan pihak muqridh itu sendiri, sekaligus untuk
menghindari kemungkinan barang gadai, yang masih merupakan hak
penguasaan pihak muqridh, jatuh ke tangan pihak ketiga yang tidak
memiliki hak penguasaan untuk itu.
Akad ijarah yang berlangsung antara muqridh dengan
muqtaridh di pegadaian syariah, sebagaimana yang telah peneliti
paparkan sebelumnya, adalah mewujudkan hubungan hukum sewa
menyewa tempat penitipan barang gadai, sehingga dalam konteks
hubungan hukum itu, muajjir (muqridh) memiliki kewajiban serta
tanggung jawab pada batas-batas semaksimal mungkin untuk menjaga
barang gadai yang dititipkan kepadanya. Tanggung jawab muajir
tersebut, sebenarnya merupakan amanah yang dibebankan kepadanya
ketika pihak mustajjir (muqtaridh) mempercayakan barang miliknya
dititipkan atau berada dalam penguasaan pihak muajir, maka sudah
selayaknya menjadi tanggung jawab muajir untuk menjaga dan
melindungi barang gadai/agunan tersebut.
Konteks beban tanggung jawab bagi muajir untuk menjaga
barang gadai/agunan, tidak bisa menjadi alasan sebagai dasar untuk
mencari celah penarikan biaya sewa menurut harga taksiran barang
gadai. Penarikan biaya sewa semestinya ditetapkan berdasarkan fungsi
tempat penitipan barang untuk menjaga barang gadai agar tidak
mengalami kerusakan atau penyusutan. Atas dasar pemikiran
demikian, semestinya penarikan biaya sewa tidak lagi menurut
taksiran harga barang gadai/agunan. Misalnya, emas yang dititipkan
sebagai barang gadai, berapa pun harga taksirannya, maka beban
ongkos sewa yang diambil muajjir seharusnya tetap sama secara
proporsional dengan barang gadai lain yang dititipkan semisal perak.
Contoh lagi, barang gadai berupa motor yang dititipkan pada tempat
yang disediakan muajjir. Harga motor yang dititipkan sebagai barang
gadai/agunan, tentu saja bervariasi satu sama lain tergantung kepada
merk, tahun keluaran, serta kapasitas kekuatan mesin motor.
Penarikan biaya sewa penitipan motor oleh muajjir seharusnya tidak
41

berdasarkan kepada taksiran harga jual motor tetapi berdasarkan


kepada fungsi tempat motor yang dititip sebagai barang gadai.
Begitu juga, dalam prosedur pejanjian utang piutang di
pegadaian syariah, ditetapkan biaya-biaya tambahan lainnya yang
wajib dibayar pihak muqtaridh yaitu biaya administrasi sebagai
ongkos yang diberikan kepada pihak muqridh untuk kepentingan
pencatatan dan dokumentasi tertulis yang mendeskripsikan terjadinya
ikatan perjanjian utang piutang dengan segala derivasi hak dan
kewajiban yang timbul antara muqridh dengan muqtaridh. Dokumen
tertulis ini juga dapat menjadi salah satu alat bukti utama jika
seumpama terjadi sengketa antara muqridh dengan muqtaridh kelak
dikemudian hari, namun yang patut dipertegas lagi adalah penetapan
biaya adminstrasi semestinya dalam batas-batas yang wajar dan
proporsional, bukan malah menjadikan penetapan biaya administrasi
sebagai celah bagi pihak pegadaian syariah untuk mencari manfaat
atau keuntungan finansial, karena penetapan biaya administrasi oleh
pihak pegadaian syariah, dengan berdasarkan pada besaran jumlah
pinjaman, tentu saja merupakan indikasi sebagai celah menarik
manfaat dari hubungan hukum dalam akad rahn, yang sebenarnya
merefleksikan perjanjian utang piutang. Peneliti memberikan ilustrasi
sebagai berikut, pihak A akan meminjam sejumlah uang di pegadaian
syariah B. Pada saat penandatanganan perjanjian atau akad antara
keduanya serta sebelum dilangsungkan pelaksanaan perjanjian atau
akad-akad lainnya, pihak pegadaian syariah B mewajibkan A
membayar sejumlah uang administrasi yang sudah ditetapkan nilai
standarnya. Pihak B lalu menetapkan standar biaya administrasi
berdasarkan golongan menurut nilai besaran jumlah pinjaman.
Penggolongan tersebut, ditetapkan pihak B melalui daftar tabel,
dengan mengurutkannya dari golongan A sampai D, dengan variasi
pungutan biaya administrasi antara Rp. 2.000 sampai Rp. 100.000.
Biaya administrasi yang dimaksud adalah biaya riil yang dikeluarkan
seperti untuk biaya perlengkapan dan biaya tenaga kerja. Biaya
tambahan ini ditetapkan berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh
pihak B selaku pegadaian syariah.
Tambahan biaya administrasi sebagai kewajiban yang harus
dibayar nasabah sebagaimana tampak pada ilustrasi kasus yang
diuraikan peneliti, apabila dicermati lagi, sesungguhnya merupakan
celah bagi muqridh untuk menarik manfaat, karena tampak hubungan
yang tidak logis antara jumlah biaya administrasi dengan jasa tenaga
administrasi yang digunakan. Biaya administrasi seharusnya
ditetapkan berdasarkan jasa tenaga yang dikeluarkan oleh muqridh,
sedangkan biaya riil tambahan lainnya seharusnya juga ditetapkan
berdasarkan biaya-biaya yang memang betul-betul secara riil
digunakan seperti biaya pengetikan atau penulisan, biaya foto kopi,
42

harga map, harga materai, dan lain-lain. Biaya riil semestinya tidak
boleh ditetapkan berdasarkan anggapan sepihak dari muqridh.
Penetapan biaya administrasi di pegadaian syariah, jika dalam
batasan yang logis dan wajar sesuai jasa serta biaya riil yang
dikeluarkan oleh pihak muqridh itu sendiri, tentu setiap nasabah yang
hendak meminjam sejumlah uang tertentu, akan dibebankan biaya
administrasi secara sama tanpa memandang lagi bedasarkan nilai
taksiran harga barang gadainya. Seperti pada ilustrasi kasus yang
sudah diuraikan peneliti, yaitu masing-masing pihak nasabah A dan C
boleh jadi dibebankan tarif biaya administrasi yang sama, seandainya
terjadi perbedaan selisih biaya administrasi antara A dan C,
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan biaya riil yang harus
ditanggung keduanya.
Peneliti hendak mempertegas lagi bahwa hakikat hubungan
hukum antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah adalah
hubungan hukum yang diikat oleh perjanjian utang piutang sebagai
landasan utamanya. Hubungan hukum antara para pihak yang diikat
oleh perjanjian utang piutang menurut perspektif syariah, tidak
diperkenankan menarik manfaat atau kompensasi finansial, sebab
berpeluang menjebak antara kedua pihak yang terikat dalam perjanjian
tersebut kepada jeratan transaksi riba. Inilah pentingnya untuk
mempertegas hubungan hukum dalam ikatan utang piutang menurut
perspektif syariah tegak pada asas taawun. Pihak pemberi pinjaman
modal membangun hubungan perikatannya dengan pihak penerima
pinjaman karena atas dasar dorong kemanusiaan, yaitu tolong
menolong kepada sesama saudaranya yang memang sangat
membutuhkan bantuan. Disinilah sekali lagi, unsur kebajikan sosial
dan moral yang baik dalam transaksi utang piutang perspektif syariah,
yang seharusnya memang lebih dikedepankan.
Atas dasar itulah maka penegasan hubungan hukum antara
muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah, seharusnya murni
bertumpu kepada asas taawun, sehingga menurut peneliti segala
derivasi akad yang lahir dari hubungan perjanjian utang piutang
tersebut, seperti akad ijarah sebaiknya ditiadakan kalau misalnya tetap
diadakan maka nomenklatur akad ijarah lebih berorientasi kepada
bukan sebagai celah untuk menarik keuntungan finansial.
Pertimbangan untuk ditiadakannya akad ijarah semata-mata untuk
menghindari kemungkinan hubungan transaksi antara muqridh dengan
muqtaridh terjebak kepada motivasi memperoleh keuntungan
finansial.
Menurut peneliti, derivasi akad yang lebih tepat untuk
menggantikan kedudukan akad ijarah adalah akad wadiah, alasannya
akad wadiah lebih mencerminkan aspek tolong menolong yang wujud
pelaksanaan akadnya didasarkan kepada saling memberikan
43

kepercayaan satu sama lain antara muqridh dengan muqtaridh.


Adapun menyangkut pembahasan akad wadiah, pada uraian
selanjutnya peneliti menganggap perlu untuk menjelaskan secara
ringkas tentang akad wadiah sebagai salah satu bentuk transaksi yang
juga diatur dalam hukum Islam (syariah).
Kata wadiah secara bahasa berasal dari akar kata wada’a yang
bersinonim dengan kata tarkahu yang artinya meninggalkan atau juga
kata tarkahu wadi’atan yang berarti menitipkan. Berdasarkan istilah
menurut kamus al-Munawir, maka menurut Sayyid Sabiq102, wadiah
secara fiqih berarti sesuatu yang dititipkan oleh seseorang kepada
orang lain untuk dijaga keamanan dan keutuhannya. Para ulama
mazhab sepakat rumusan wadiah dengan substansi yang sama
meskipun diantara mereka merumuskannya secara tekstual berbeda
satu sama lain. Ulama Hanafiyah mendefinisikan wadiah sebagai
pemberian kuasa oleh seseorang kepada orang lain untuk menjaga
hartanya, baik dengan kata-kata yang tegas maupun dengan isyarat
(dilalah). Mazhab Syafi’iyah mendefinisikan wadiah dengan makna
iidaa’a yang berarti penitipan, yaitu suatu akad yang menghendaki
atau bertujuan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan. Menurut ulama
Mazhab Hanabilah bahwa wadiah merupakan pemberian kuasa atau
memberikan perwakilan untuk menjaga barang secara suka rela103.
Berdasarkan definisi wadiah yang dikemukakan beberapa
ulama mazhab, maka wadiah merupakan akad yang didalamnya
menetapkan penitipan barang sebagai objek perjanjian, yaitu akad
kepada seseorang untuk menjaga harta orang lain secara layak,
sehingga jika ada kerusakan harta/barang yang dititipkan mejadi rusak
padahal sudah dijaga secara layak sebagaimana mestinya maka
penerima titipan tidak wajib menggantinya kecuali jika kerusakan
barang diakibatkan oleh kelalaian penerima titipan maka ia wajib
menggantinya. Pihak yang menitipkan barang disebut muwaddi’ dan
pihak yang menerima titipan barang disebut muwadda’atau wadii’.
Apabila mengacu kepada Penjelasan Pasal 19 Ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
akad wadiah adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak
yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan
dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan
barang atau uang. Adapun penitipan barang menurut BW yang
tercantum dalam Pasal 1694 bahwa “penitipan barang adalah apabila

102
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Dar Al-Fikr, Jilid 3, 1995, h. 163.
103
Wahbah az-Zuhaili, Hukum Transaksi Keuangan, Transaksi Jual
Beli Asuransi, Khiyar, Macam-Macam Akad Jual Beli, Akad Ijarah
(Penyewaan), Terjemahan dari Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5,
Gema Insani, Jakarta, 2011, h. 556-557.
44

seseorang menerima suatu barang dari seorang lain, dengan syarat


bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud
asalnya104.
Mengacu ketentuan Pasal 1694 BW105 tersebut, maka
penitipan barang menurut persektif BW, merupakan suatu perjanjian
riil yang dapat bermakna bahwa perjanjian baru dapat dikatakan
terbentuk apabila telah terjadi perbuatan nyata yaitu penyerahan
barang yang dititipkan. Mencermati Pasal 1694 BW, tentang penitipan
barang, menurut M Yahya Harahap106, subjek dalam penitipan
barang yang menjadi kreditur adalah pihak yang menerima titipan
barang dan yang menjadi debitur adalah pihak yang menitipkan
barang. Para ulama sepakat bahwa wadiah107 adalah salah satu jenis
akad yang dikenal dalam syariah yang pada hakikatnya terbentuk
dalam rangka untuk mewujudkan saling tolong menolong antara
sesama manusia108.
Berdasarkan uraian peneliti tentang karakteristik akad wadiah
kemudian dikaitkan dengan karakteristik perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah yang tegak atas dasar transaksi berbasis
kemanusiaan yang berorientasi kepada semata-mata tolong menolong,
mengharapkan kebaikan, serta tidak menekankan kepada orientasi
profit, maka yang paling tepat dalam konteks demikian, mengenai
penitipan barang jaminan/agunan milik muqtaridh, menurut peneliti
yaitu dengan menggunakan skema transaksi akad wadiah, sebab
memang ada perbedaan mendasar yang menjadi spirit antara akad
ijarah dengan akad wadiah, yaitu akad ijarah sebetulnya
mengindikasikan hubungan sewa menyewa yang meniscayakan
penarikan biaya sewa (ujrah), penarikan biaya sewa lazimnya
menghendaki adanya saling manfaat atau kompensasi yang didapatkan
oleh pemberi sewa dan penerima sewa (penyewa), sedangkan bedanya
dengan akad wadiah substansi spiritnya adalah semata-mata penitipan
barang sehingga meskipun dilakukan pemungutan biaya pada akad
wadiah maka pemungutannya sekedar biaya penitipan atau dalam
rangka untuk perawatan barang titipan.
104
R. Soebekti, dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Terjemahan Burgelijk Wetboek), PT. Balai Pustaka, Jakarta Timur,
2014.
105
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia
(Konsep, Regulasi, dan Implementasi), Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2010, h.143.
106
M Yahya Harahap, Op. Cit., h. 16.
107
Antonio, Muhammad, Syafi’I, Bank Syariah Dari Teori Ke
Praktik, Cetakan Ke-5, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, h. 85.
108
Taufik Hidayat, Buku Pengantar Investasi Syariah, Media Kita,
2011, h. 43-44.
45

Penetapan biaya pemeliharaan barang jaminan (marhun) pada


akad wadiah yang berlangsung antara muqridh dengan muqtaridh di
lembaga pegadaian syariah, sebagaimana yang menjadi rekomendasi
peneliti sebagai pengganti akad ijarah, sebenarnya bisa
diperbolehkan, sepanjang penetapan biaya pemeliharaan tersebut
dalam batas-batas yang wajar dan proporsional, yang memang
diperlukan secara riil untuk biaya perawatan serta pemeliharaan
barang jaminan/agunan (marhun). Menurut peneliti, penetapan biaya
pemeliharaan atau perawatan marhun dengan konsep akad wadiah,
supaya dalam batas-batas yang proporsional serta wajar menurut
kondisi marhun pada saat dititipkan, maka sangat perlu peran dari
pihak penaksir barang, yang berkompeten untuk melakukan
penaksiran terhadap biaya-biaya riil yang memang harus dibebankan
kepada pihak muqtaridh (rahin). Pihak penaksir tersebut, idealnya,
menurut peneliti adalah tim independen yang ditunjuk berdasarkan
rekomendasi dari kementerian keuangan ataukah dari pihak Otoritas
Jasa Keuangan (OJK). Pihak penaksir yang direkomendasikan
sebaiknya yang telah bersertifikasi dengan kualifikasi keahlian yang
mampu menaksir kondisi marhun ketika dititipkan dengan
kemungkinan perhitungan biaya-biaya pemeliharaan yang harus
dikeluarkan.
2.3. Nilai Moral Berbasis Kebajikan dalam Asas Taawun Di
Pegadaian Syariah
2.3.1. Penormaan Nilai Moral dalam Bingkai Hukum
Istilah moral berasal dari Bahasa Latin yaitu dari kata mos
(jamak: mores) yang berarti kebiasaan atau adat. Kata mores dalam
Bahasa Inggris masih menggunakan arti yang sama yaitu berarti
kebiasaan. Moral juga mempunyai arti yang sama dengan istilah
moralitas yang dalam Bahasa Latin disebut istilah moralis. Apabila
merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia109, kata moral dalam
dikelompokkan kedalam dua kategori pengertian, pertama: moral
dalam kategori pengertian kata benda (nomina): (1). Ajaran tentang
baik buruk yang dterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila; (2). Kondisi
mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah,
berdisiplin, dan sebagainya; isi hati atau keadaan perasaan
sebagaimana terungkap diperbuatan; 3. Ajaran kesusilaan yang dapat
ditarik dari suatu cerita. Kedua, moral dalam kategori pengertian kata
kerja (verba): 1. Mempunyai pertimbangan baik buruk; berakhlak
baik; 2. Sesuai dengan moral (adat sopan santun dan sebagainya).

109
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Loc. Cit.
46

Istilah moral juga dijelaskan dalam Ensiklopedia Nasional


Indonesia bahwa moral merupakan salah satu cabang ilmu filsafat
yang secara khusus mempelajari tentang tingkah laku manusia. Moral
dikatakan sebagai norma, maka yang dibahas adalah tentang
bagaimana seseorang bertindak yang seharusnya, sehingga moral
dalam pengertian demikian sesungguhnya merupakan suatu ciri
berperilaku seseorang yang dikaitkan dengan ukuran yang berlaku
ditengah masyarakat, khususnya mengenai prilaku baik atau buruk,
sehingga moral dimaknakan sebagai bukan sesuatu yang menjadi
bawaan sejak lahir tetapi ia lahir sebagai akibat dari pengaruh
lingkungan dimana seseorang tumbuh dan berkembang110.
Sejalan dengan rumusan moral tersebut, K Berten111 juga
memberikan definisi tentang moral sebagai nilai-nilai dan norma-
norma yang menjadi pedoman bagi seseorang maupun kelompok yang
digunakan sebagai dasar untuk mengatur perbuatan-perbuatan
tertentu. Rumusan K Berten kemudian disimpulkan oleh Eri Hendro
Kusuma, bahwa moral merupakan standar bagi seseorang atau
kelompok masyarakat lainnya ketika melakukan suatu perbuatan atau
tindakan tertentu. Misalnya pada kasus seorang pejabat yang
melakukan tindakan korupsi uang negara. Tindakan pejabat tersebut
dapat dipandang telah melakukan perbuatan yang mencirikan nilai-
nilai moral tidak baik. Artinya, tindakan pejabat tersebut dipandang
memiliki moral yang buruk karena korupsi menurut standar yang
berlaku di tengah masyarakat manapun dipandang sebagai perbuatan
tercela.
Untuk memperjelas rumusan konkrit tentang moral, sebagai
perbandingan yaitu penjelasan Frans Magnis Suseno112, bahwa moral
pada hakikatnya merupakan standar acuan perbuatan baik dan buruk
seseorang sebagai manusia yang hidup di tengah kehidupan sosial
masyarakat. Perbuatan baik dan buruk itu, bukan diletakkan kerangka
pandang sifatnya semata-mata, tetapi ada acuan yang dijadikan
sebagai standar untuk mengkategorikan yang mana suatu perbuatan
dipandang sebagai perbuatan baik atau tidak. Bila masyarakat
memandang perbuatan tersebut sebagai baik maka itu adalah moral
yang baik demikian pula sebaliknya. Apabila perbuatan tersebut
dianggap buruk maka itu adalah moral buruk. Menurut Shidarta113

110
Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 10, Cipta Adi Pustaka,
1990, h. 371.
111
K Berten, Etika, Gramedia Utama, Jakarta, 2007, h. 4.
112
Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Prinsip-Prinsip Dasar
Kenegaraan Moderen), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2015, h. 14.
113
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum (Suatu Tawaran Kerangka
Bepikir), Refika Aditama, Bandung, 2009, h. 43.
47

menyimpulkan bahwa moral sangat terkait erat dengan baik buruknya


seseorang sebagai manusia.
Pada dasarnya, sebagaimana yang ditulis L Sinour
Yosephus114, bahwa moral merupakan sekumpulan ajaran yang
memuat perihal apa yang baik dan buruk serta apa yang buruk atau
apa yang menjadi tabu bagi manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat, sedangkan etika tidak menganjurkan
bagaimana kita harus hidup dan bertingkah laku. Etika sekedar studi
kritis yang mendalam yang mempersoalkan kenapa perbuatan manusia
tersebut, dipandang baik atau buruk. Untuk memperdalam
pemahaman tentang perbedaan moral dan etika, pada bahagian
berikut, peneliti menyajikan dalam bentuk bagan, berikut ini:

Dari bagan yang dipaparkan peneliti, maka moral selalu


membahas tentang standar nilai perbuatan manusia yang merujuk
kepada nilai-nilai yang berlaku ditengah masyarakat sebagai sesuatu

114
L. Sinour Yosephus, Etika Bisnis (Pendekatan Filsafat Moral
Terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer), Pustaka Obor Indonesia, 2010, h.
33. Di dalam buku ini, dijelaskan bahwa moral merupakan ilmu praktis
sedangkan etika bidangnya adalah ilmu teoritis.
48

yang baik atau buruk, contohnya berkata jujur merupakan moral baik
yang ditetapkan sebagai standar umum dalam kehidupan masyarakat
manapun, sedangkan etika melakukan studi mendalam mengapa orang
harus berkata jujur. Etika melakukan studi kritis dan mendalam
tentang mengapa orang harus berkata jujur tanpa berwewenang
menetapkan apakah berkata jujur itu baik atau buruk. Etika melakukan
studi kritis dengan menggunakan penalaran atau argumentasi logis-
rasional, sedangkan moral menetapkan standar nilai perbuatan
manusia, adalah berpedoman kepada tradisi, kebiasaan yang berlaku
ditengah masyarakat, ataukah berdasarkan wejangan para tokoh
masyarakat, atau bisa juga berdasarkan doktrin keagamaan tertentu.
Kesimpulannya, moral bersifat preskriptif, yaitu menganjurkan atau
melarang, sebaliknya etika semata-mata bersifat ekspositif, yaitu
memaparkan atau menjelaskan.
Pembahasan tentang relasi moral dengan hukum telah dibahas
oleh Peter Mahmud Marzuki dalam buku yang ditulisnya
“Pengantar Ilmu Hukum”, sebuah karya Magnum Opus yang
merupakan pegangan bagi mahasiswa yang belajar di beberapa
Fakultas Hukum di Indonesia, bahwa moral seyogyanya terintegrasi
ke dalam hukum sebab hukum inilah yang berfungsi untuk
mengoperasionalkan hukum dalam konteks interaksi sosial umat
manusia. Menurut Peter Mahmud Marzuki, moral sesungguhnya
merupakan keadaan batin manusia secara mendasar mengaktualisasi
sebagai perintah kepada diri sendiri tentang perbuatlah apa yang baik
dan hindari apa yang jahat. Moral yang luhur dapat terjadi karena
adanya kendali terhadap hawa nafsu melalui pendayagunaan kehendak
dan pikiran, apabila kehendak dan pikiran seseorang dikendalikan
hawa nafsu yang merugikan orang lain atau masyarakat, berarti telah
berlaku moral buruk pada orang tersebut 115. Pandangan Peter
Mahmud Marzuki tersebut, tampak dipengaruhi oleh pemikiran teori
hukum alam versi Thomas Aquinas. Peter Mahmud Marzuki,
tampaknya berusaha untuk memposisikan hubungan antara moral
dengan hukum dalam titik persinggungan yang dapat diterima oleh
nalar. Penormaan nilai-nilai moral yang dimanifestasikan kedalam
produk aturan hukum, menurut versi Peter Mahmud Marzuki,
adalah diukur menurut rasionalitas.
Pandangan Peter Mahmud Marzuki yang memformulasikan
hubungan antara nilai moral dengan norma hukum serta tentang
bagaimana pengintegrasian penormaan nilai moral kedalam norma
hukum, yang bila dicermati sekali lagi pandangannya itu, lebih
dipengaruhi oleh pemikiran mazhab hukum alam. Ini tentu berbeda
dengan pandangan pemikiran mazhab hukum positivisme, yang lahir

115
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h. 123-124.
49

dari gagasan August Comte, yang gagasan ini semakin popular pasca
perang dunia I, ketika pemikiran mazhab positivisme ini
dikembangkan oleh John Austin. Pemikiran mazhab positivisme versi
John Austin berpandangan bahwa hukum memiliki karakteristik
sebagai daya paksa yang terwujud sebagai kehendak dari otoritas
pemegang kekuasaan yang berdaulat. Berpijak dari pandangan ini.
John Austin berpandangan bahwa hukum yang sebenar-benarnya
hukum adalah hukum yang penormaannya dicirikan atas tiga
komponen yaitu, yaitu perintah yang besifat memaksa, sanksi, dan
pihak yang berdaulat atau yang berkuasa. Ketiga komponen ini saling
bertaut dan berintegrasi satu sama lain, tetapi yang paling menonjol
dari komponen tersebut adalah otoritas kekuasaan116.Berdasarkan
pandangan ini John Austin lalu berpendapat bahwa hukum haruslah
dilihat sebagaimana apa adanya, dalam pengertian hukum
sesungguhnya merupakan perintah, sehingga hukum selalu merupakan
sebuah kewajiban yang bersifat memaksa yang harus ditaati oleh
sebahagian besar warga masyarakat.
Mencermati dua pandangan tersebut, yang mempersoalkan
tentang hubungan antara moral dengan hukum, serta tentang
penormaan nilai-nilai moral terhadap hukum, paling tidak dapat
disimpulkan bahwa titik perbedaan kedua mazhab pemikiran tersebut,
adalah kepada persoalan formalitas atau legislasi produk aturan yang
diberlakukan ditengah masyarakat. Mazhab positivisme, memandang
moral merupakan hal yang terpisah dengan hukum. Penormaan hukum
menurut versi positivisme hanya tampak ketika hukum itu dilegislasi
secara prosedur formal oleh pemegang kekuasaan, sehingga hukum
sebagai bagian dari titah penguasa, ia harus diletakkan pada bingkai
yang apa adanya. Sedangkan dari sisi pandangan mazhab hukum
alam, moral merupakan hal mutlak yang harus terintegrasi kedalam
nilai-nilai hukum, sebab bagi penganut mazhab hukum alam,
penormaan nilai-nilai hukum yang tidak mencerminkan nilai-nilai
moral, misalnya apa yang dianggap sebagai hukum hanya menjadi alat
kesewenang-wenangan bagi penguasa, maka apa yang dianggap
sebagai hukum itu, sesungguhnya bukanlah hukum.
2.3.2. Penormaan Nilai Moral Perspektif Syariah
Menurut M. Quraish Shihab117 apa yang disebut sebagai
moral dalam ajaran Islam memiliki makna yang sepadan dengan
istilah akhlak. M. Quraish Shihab, lalu menguraikan makna akhlak
secara etimologis yang diambil dari Bahasa Arab yaitu dari istilah
akhlaq. Istilah ini merupakan bentuk jamak dari khuluq yang pada

116
Ibid., h. 94-97.
117
M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita Akhlak, Lentera Hati,
Jakarta, 2016, h. 3-6.
50

mulanya berarti “ukuran”. “latihan”, dan “kebiasaan”. Makna khuluq


lahir dari kata makhluk, yakni ciptaan yang memiliki ukuran,
sedangkan untuk makna “latihan” dan “kebiasaan”, lahir dari
pengertian sesuatu yang positif maupun negatif. Batu yang licin
dinamai khalqa’ karena ia berkali-kali disentuh oleh sesuatu, juga kata
khalaq yang berarti “usang” karena telah berkali-kali terbiasa
digunakan.
Berdasarkan pengertian akhlak secara etimologis tersebut, M.
Quraish Shihab118, menulis bahwa makna akhlak sangat sepadan
dengan istilah moral, yang sering digunakan dalam ucapan sehari-hari,
karena makna tersebut mengisyaratkan makna budi pekerti maupun
sifat yang mantap dalam diri seseorang atau merupakan kondisi
psikologis yang dapat dicapai, karena merupakan kebiasaan yang
diulang-ulang melalui proses latihan, serta telah menjadi kelaziman
yang menginternalisasi dalam diri seseorang, akhirnya bagi orang
tersebut, bukan merupakan keterpaksaan lagi.
Pengertian akhlak secara etimologis, menurut versi pandangan
M. Quraish Shihab119, maka makna akhlak secara terminologis, yang
merujuk kepada pendapat jumhur pakar Islam, yakni mengartikan
akhlak sebagai sifat dasar yang telah terpendam di dalam diri dan
tampak ke permukaan melalui kehendak/kelakuan dan terlaksana
tanpa keterpaksaan oleh satu dan lain sebab. Sejalan dengan
pandangan tersebut, Hafidz Abdurrahman120 juga menyajikan
makna akhlak secara terminologis, adalah sifat yang menjadi
kebiasaan seseorang, sehingga menjelma menjadi ciri khas dan
kebiasaannya. al-Qur’an kerap menggunakan istilah akhlak yang
merujuk kepada agama, sebagaimana firman Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW, “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) benar-benar
menetapi agama yang agung” (Qur’an Surah al-Qalam (68) Ayat 4).
Kata khuluqin ‘adzim merujuk kepada ayat tersebut menurut
sebahagian mufassirin bermakna agama, bukan akhlak dalam
pengertian sifat pribadi Nabi Muhammad SAW, sebagaimana juga
tafsir menurut Imam al-Jalalain dalam kitab tafsir Jalaluddin al-
Mahalli dan Jalaluddin as-Sayuthi, dalam tafsir al-Jalalain.
Menurut Imam al-Ghazali121, akhlak dapat didefinisikan
sebagai kondisi kejiwaaan yang mantap, yang atas dasar itu
melahirkan prilaku kegiatan yang dilakukan secara mudah tanpa

118
M. Quraish Shihab, Loc. Cit.
119
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Tafsir Tematik Atas
Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, 1996, h. 336.
120
Hafidz Abdurrahman, Pokok-Pokok Dalam Islam), Al-Azhar
Fresh Zone Publishing, Bogor, 2016, h. 238-239.
121
Quraish Shihab, Loc. Cit.
51

dipikirkan lebih dahulu. Bila kondisi kejiwaan demikian melahirkan


perbuatan-perbuatan yang menurut akal dan agama baik, maka
pelakunya dinilai memiliki akhlak yang baik, demikian pula
sebaliknya. Namun demikian, menurut M. Quraish Shihab122, bahwa
harus terdapat perbedaan antara akhlak individu dengan akhlak
masyarakat. Perbedaannya terletak kepada nilai-nilai kebiasaan yang
tumbuh di tengah masyarakat, yang antara masyarakat satu dengan
masyarakat lainnya berbeda. Ia merupakan adat kebiasaan yang
diterima dan dianggap baik oleh masyarakat tertentu meskipun itu
tidak diterima oleh masyarakat lainnya. Misalnya ditemukan akhlak
masyarakat Amerika dan Inggeris yang tentu berbeda dengan akhlak
masyarakat Indonesia atau yang lainnya. Pendapat M. Quraish
Shihab sejalan juga dengan pandangan Muhammad Husein
Abdullah123 dalam kitabnya Dirasat Fi al-Fikri al-Islami bahwa
pembahasan akhlak dalam konteks masyarakat muslim menunjuk
kepada makna sifat-sifat yang mewarnai seluruh kehidupan
masyarakat muslim. Sifat-sifat ini kemudian melekat dalam semua
aktivitasnya, seperti sifat jujur pada saat melakukan transaksi jual-beli,
sifat amanah saat bekerja, khusyu’ saat sholat, tawadhu saat
berinteraksi dengan orang, dan seterusnya124.
Pembahasan penormaan nilai moral dalam perspektif hukum
Islam sebenarnya tidak serumit dengan pembahasan moral yang
menjadi diskursus dikalangan para filosof barat. Ajaran Islam sudah
menetapkan nilai-nilai moral sebagai sesuatu yang sudah pakem
(baku) sebagaimana yang ditetapkan batas-batasannya oleh syariah.
Artinya, ajaran Islam meletakkan pandangan bahwa penormaan nilai
moral merupakan bagian integral dari perintah syariah. Bahkan dalam
pandangan M. Quraish Shihab, perspektif moral dalam Islam, atau
yang diistilahkan dengan akhlak, adalah sesuatu yang tidak bisa
dipisahkan dengan ajaran Islam itu sendiri. Begitu juga, ketika
menyebut istilah kebajikan atau al-Birru, istilah tersebut selalu
mengacu kepada ajaran Islam.
Penerjemahan nilai moral perspektif Islam menurut M.
Quraish Shihab, bahwa moral (akhlak) dalam Islam sangat terkait
dengan pembahasan ajaran Islam secara utuh dan menyeluruh
termasuk terkait dengan penerapan hukum-syariah itu sendiri.
Berpijak dari situlah, maka pada hakikatnya pembahasan moral dalam
Islam, tidak boleh dilepaskan dengan pembahasan yang terkait dengan
hukum-syariah yang lain. Penjelasan M. Quraish Shihab tentang

122
Ibid, h. 5.
123
Hafidz Abdurrahman, Loc. Cit.
124
Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak,
Cetakan I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 32.
52

normatifitas moral Islam yang merupakan bagian integral dari


pembahasan keseluruhan ajaran Islam, adalah untuk menegaskan
bahwa akhlak sesungguhnya merupakan produk dari syariah.
Pemaknaan bahwa moral atau akhlak dalam Islam sebagai satu
kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari syariah, adalah tatkala
seorang muslim menerapkan moral yang baik dalam kehidupannya
sehari-hari, maka pada saat bersamaan ia sekaligus menjalankan
perintah Allah SWT. Artinya, merealisasikan nilai-nilai moral
(khuluqiyah) dapat bermakna sebagai merealisasikan perintah Allah
SWT. Perintah dari Allah SWT yang ditetapkan baik dalam nash
Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW merupakan manifestasi
ketaatan hukum seorang muslim kepada syariah.
Atas dasar pandangan itulah, maka moral baik dan buruk, bila
merujuk pandangan M. Quraish Shihab125, dapat disimpulkan bahwa
nilai-nilai moral tidaklah dilekatkan kepada sifat perbuatan manusia
itu semata-mata, atau yang disandarkan kepada pandangan subjektif
sekelompok individu, tetapi merujuk kepada apa yang sudah
dinyatakan oleh teks-teks dalam al-Qur’an atau Hadits Nabi
Muhammad SAW. Misalnya, berkata bohong, semata-mata
merupakan sifat dari sebuah perbuatan manusia. Bila menakar ucapan
bohong sebagai moral yang baik atau buruk, menurut perspektif
syariah maka haruslah dilihat dari segi penetapannya oleh nash-nash
syariah. Nash syariah, yang menjadi rujukan utama adalah al-Quran
dan Hadits Nabi SAW.
Seorang muslim yang berbohong dalam jual beli untuk
bermaksud menguntungkan dirinya dan merugikan orang lain, maka
tindakan tersebut dipandang sebagai perbuatan tercela, dalam konteks
demikian seorang muslim yang sering berbohong dalam jual menurut
perspektif Islam, dipandang sebagai seorang muslim yang memiliki
moral (akhlak) yang tercela. Terdapat banyak hadits Nabi Muhammad
SAW, yang melarang seorang pedagang berkata bohong dalam jual
beli.
Berbohong dalam jual beli adalah moral yang tercela menurut
perspektif syariah, namun syariah juga menetapkan bahwa berbohong
dalam kondisi tertentu, sangat dianjurkan untuk mencapai suatu
kebaikan. Syariah menetapkan ada tiga keadaan yang membolehkan
sesorang muslim untuk berbohong, antara lain: Pertama, kebohongan
dalam peperangan. Kondisi peperangan adalah kondisi yang pasti
memerlukan siasat perang, dan dalam siasat perang harus memiliki
banyak kebohongan. Misalnya: mengatakan kepada musuh bahwa
jumlah tentara 300.000 orang padahal sebenarnya cuma 100.000
orang, agar musuh mulai gentar dan ragu. Kedua, kebohongan untuk

125
M. Quraish Shihab, Loc.Cit.
53

menyatukan dua orang yang bertikai. Ketiga, kebohongan antara


suami dan istri. Tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan rumah
tangga. Misalnya, suatu saat istri yang telah berumur 60 tahun datang
kepada suami, dan berkata, “Bang, masih cantikkah aku?”. Si suami
menjawab “iya, kamulah paling cantik di dunia ini, awet muda”. Ini
adalah ucapan bohong si suami sebab tidak mungkin usia 60 tahun
masih cantik. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dalam syariah,
nilai moral sekaligus juga merupakan perwujudan nilai-nilai hukum126.
Ketaatan untuk mematuhi perintah Allah SWT, sekaligus merupakan
wujud moral yang baik, sebaliknya moral tercela dapat dikatakan
sebagai melakukan pelanggaran terhadap perintah Allah SWT.
Misalnya, perintah berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan
perintah Allah SWT, sehingga seorang muslim yang durhaka kepada
kedua orang tuanya berarti ia telah melakukan perbuatan tercela.
Perbuatan durhaka kepada kedua orang tua, maka seseorang kelak
mendapat hukuman dari Allah SWT di akhirat. Adapun berbakti
kepada orang tua yang dilakukan secara ikhlas, kelak mendapat
ganjaran pahala dari Allah SWT. Ilustrasi ini, mempertegas bahwa
nilai moral sangat bersinggungan dengan nilai-nilai syariah.

126
Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2010,
h. 87-122.
54

Penjelasan peneliti tentang penormaan nilai-nilai moral


berdasarkan bagan tersebut, sekali lagi untuk menegaskan bahwa
syariah telah meletakkan moral sebagai sebuah sistem nilai yang
terintegrasi dengan norma-norma syariah. Artinya, seorang muslim
yang mentaati perintah-perintah yang ditetapkan oleh syariah
sebagaimana yang dinyatakan dalam teks syariah, maka pada saat
yang bersamaan ia juga telah mencerminkan moral yang baik.
Sebaliknya, jika seorang muslim melakukan perbuatan yang dilarang
oleh Allah SWT, pada saat itu pula ia dipandang telah melakukan
perbuatan tercela yang merupakan wujud dari moral buruk.
2.3.3. Nilai Moral yang Mencerminkan Nilai Kebajikan Dalam
Asas Taawun Pada Perjanjian Utang Piutang Di
Pegadaian Syariah
Pada sub-pembahasan ini, peneliti menelaah secara spesifik
tentang nilai-nilai moral yang terwujud dalam kerangka hubungan
hukum antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah.
Karakteristik nilai moral demikian, adalah yang terderivasi dari asas
taawun sebagai basis fundamental bagi tegaknya perjanjian utang
piutang di pegadaian syariah. Keberadaan asas taawun ini pula yang
dapat menerjemahkan konkretisasi nilai-nilai moral yang
dikedepankan antara muqridh dengan muqtaridh.
Asas taawun yang mendasari hubungan hukum antara para
pihak itu sendiri di pegadaian syariah, sesungguhnya lebih
merefleksikan makna nilai-nilai moral sebagai motivasi utamanya.
Perwujudan nilai-nilai moral yang merefleksikan nilai-nilai kebajikan,
adalah yang lebih diutamakan oleh kedua belah pihak, terutama pihak
pegadaian syariah yang berada dalam kedudukan sebagai muqridh.
Kewajiban muqridh memberikan bantuan kepada muqtaridh
semata-mata didorong oleh nilai-nilai moral berupa nilai-nilai
kebajikan sebagai bentuk tanggung jawab sosial guna menolong
saudara-saudaranya atau sesama manusia yang sangat membutuhkan
guna memenuhi hajat kebutuhan ekonominya. Sejumlah nash baik
dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi Muhammad SAW,
mengisyaratkan bahwa menolong sesama manusia merupakan
kewajiban moral yang merefleksikan nilai-nilai kebajikan. Wujud
konkrit nilai-nilai kebajikan tersebut, antara lain diletakkan dalam
bentuk memberikan bantuan pinjaman modal uang kepada seseorang
yang sangat membutuhkan terutama untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Seorang muslim yang memberikan bantuan keuangan
kepada muslim lainnya yang sangat membutuhkan, berarti muslim
tersebut menurut hukum Islam (syariah), telah mengamalkan nilai-
nilai kebajikan yang merupakan refleksi dari kepribadian seorang
muslim yang memiliki moral terpuji. Atas dasar ini, ketika hukum
Islam (syariah) menetapkan sebuah pejanjian utang piutang, yang
55

tegak atas dasar asas taawun, maka pada saat bersamaan nilai-nilai
moral kebajikan yang semestinya dikedepankan dalam perjanjian
tersebut.
Keberadaan asas taawun (tolong menolong), sesungguhnya
adalah untuk menegaskan refleksi dari niat dan kehendak seorang
muslim untuk meraih nilai-nilai kebajikan, sehingga tatkala sebuah
perjanjian utang piutang yang meletakkan makna perjanjian dengan
spirit tolong menolong sebagai wujud kebajikan, maka tentu saja
hukum Islam menetapkan larangan keras untuk mengeksploitasi orang
lain sebagai sarana untuk meraih manfaat finansial melalui
penggunaan perjanjian utang piutang tersebut. Bila cara itu dilakukan,
ini juga berarti seorang muslim telah menjerat dirinya kedalam praktik
riba, sementara riba dalam perspektif Islam, merupakan sesuatu yang
sangat dilarang keras.
Asas taawun yang dilekatkan pada perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, sesungguhnya untuk mempertegas nilai-nilai moral
yang hendak dikedepankan, yaitu perwujudan nilai-nilai kebajikan
sosial yang melekatkan unsur spiritualistik. Makna filosofis kebajikan
sosial yang berkarakter spiritualistik dalam konteks ini, yakni
kebajikan yang akan mendapat ganjaran pahala dari Allah SWT,
sehingga kebajikan sosial dalam kerangka ketika seorang muslim
memberikan bantuan modal pinjaman uang kepada siapa saja yang
membutuhkan, adalah bukan sekedar kebajikan sosial yang berbasis
kemanusiaan, tetapi juga kebajikan yang mengandung unsur
transendental.
Salah satu Hadits Nabi Muhammad SAW, menjadi rujukan
tentang penggambaran seorang muslim yang meringankan kesulitan
yang dialami saudara sesama muslim, termasuk membantu dalam hal
memberikan bantuan keuangan, sebagai berikut127:

Tidaklah seorang muslim memberi utang sebanyak dua kali


kepada muslim yang lain kecuali (pahalanya) seperti sedekah
satu kali” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hiban, dan al-Baihaqi).

Kutipan hadits tersebut, untuk mempertegas hakikat filosofis


perjanjian utang piutang, yang didalamnya mengandung pesan-pesan
moral bagi seorang muslim ketika ia membantu saudaranya dalam
rangka meringankan dari kesulitan keuangan. Pesan moral
mengandung nilai kebajikan berbasis sosial yang bertumpu kepada
dua dimensi, yaitu dimensi kemanusiaan dan dimensi transendental.
Ajaran Islam hendak menekankan bahwa keberlangsungan aktivitas
perjanjian yang tegak atas dasar asas taawun, seperti pada perjanjian

127
Fauzan Al-Banjari, Op. Cit., h. 126-127.
56

utang piutang, sesungguhnya bukanlah semata-mata berorientasi


materalistik.
Basis moral dalam perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah, yang menderivasikan nilai-nilai kebajikan sosial, secara
konkrit akan menetapkan beberapa rambu berupa nilai-nilai akhlak
yang baik, antara muqridh maupun muqtaridh ketika antara kedua
belah pihak memasuki perjanjian, mulai dari tahap pra perjanjian,
pelaksanaan perjanjian, sampai kepada berakhirnya perjanjian. Pada
bahagian berikut ini, peneliti menyajikan bagan tentang nilai-nilai
akhlak tersebut:

Paparan bagan tersebut, merupakan rincian nilai-nilai akhlak


sebagai manifestasi moral kebajikan yang terdapat dalam kerangka
hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian
syariah. Nilai-nilai akhlak tersebut, selain merupakan nilai-nilai etis
57

bagi para pihak, sekaligus merupakan norma-norma tingkah laku yang


tentunya berimplikasi kepada pahala dan dosa dari Allah SWT.
Pemaknaan dari sisi muqridh yang memegang teguh amanah,
kemudian memberikan kemudahan bagi muqtaridh untuk melunaskan
hutangnya, dan muqridh tidak ada maksud untuk mengambil
keuntungan finansial dari muqtaridh, maka apa yang telah dilakukan
itu, muqridh telah mewujudkan nilai-nilai moral yang baik. Dari segi
pahala dan dosa, maka moral yang baik yang dimanifestasikan oleh
muqridh dalam perjanjian, akan mendapat ganjaran baik dari Allah
SWT, yaitu janji pahala di hari akhir, sebaliknya dari sisi muqtaridh,
misalnya beritikad buruk menunda-nunda pembayaran hutangnya,
padahal ia sudah memiliki kelapangan keuangan, maka itu
menunjukkan bahwa pihak muqtaridh berprilaku moral yang tercela,
sehingga dalam konteks pahala dan dosa, ia kelak akan mendapat
penundaan pahala dari Allah SWT, sebagaimana Hadits Nabi
Muhammad SAW:

Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang


mampu adalah sesuatu kezhaliman. Dan jika salah seorang
diantara kalian diikutkan kepada orang yang mampu, maka
hendaklah dia mengikutinya (HR Malik, Muslim, dan
Ahmad)

Nabi SAW mengisyaratkan kata kezhaliman bagi orang-orang


yang menunda pembayaran hutangnya padahal ia mampu, adalah
untuk memberikan pengertian bahwa penundaan pembayaran hutang
tersebut, merupakan moral yang tercela.
2.4. Fungsi Asas Taawun dalam Kerangka Hubungan Hukum
Muqridh dengan Muqtaridh Di Pegadaian Syariah
Akad atau perjanjian, terutama dalam transaksi muamalah
menurut perspektif Islam, memiliki kedudukan yang sangat penting
yaitu untuk menjaga kualitas hubungan hukum antara para pihak yang
sedang bertransaksi. Ajaran Islam juga sangat menekankan pentingnya
sebuah perjanjian dibuat secara tertulis, untuk menjadi bukti bagi para
pihak bahwa diantara mereka telah berlangsung sebuah transaksi yang
mengikat yang dalam konteks demikian itu, telah melahirkan hak dan
kewajiban dari masing-masing pihak. Al-Qur’an telah menetapkan
pentingnya suatu transaksi muamalah dibuat secara tertulis,
sebagaimana termaktub dalam al-Quran Surah al-Baqarah Ayat (282):

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah


tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang peneliti di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
58

peneliti enggan menuliskannya sebagaimana Allah


mengajarkannya….

Syariah memberikan penekanan pentingnya sebuah perjanjian


dibuat secara tertulis, terutama berkaitan dengan perjanjian utang
piutang, sebab syariah memandang bahwa apapun transaksi yang
berlangsung antara para pihak selama itu dibenarkan oleh syariah,
merupakan langkah hukum yang berkonsekuensi melahirkan hak dan
kewajiban antara para pihak. Kontrak atau perjanjian dalam perspektif
syariah, sebagai langkah hukum, keberadaannya tidak sekedar sebuah
formalitas hukum (dokumen hukum), tetapi kontrak atau perjanjian
perspektif syariah, dalam konteks kepribadian seorang muslim, selain
merupakan tanggung jawab ilahiah juga memancarkan tanggung
jawab sosial.
Kedudukan perjanjian yang sangat penting dalam perspektif
syariah, terutama dalam kaitannya dengan perjanjian yang dibuat
secara tertulis, adalah dimaksudkan128:
a. Untuk menjadi bukti tertulis dari para pihak mengenai transaksi
yang mereka lakukan;
b. Untuk mencegah terjadinya penipuan;
c. Untuk menetapkan hak dan kewajiban para pihak, dan;
d. Untuk mengatur secara lebih terperinci transaksi bisnis yang
kompleks, demi mencegah hambatan dalam pelaksanaan kontrak
yang dibuat oleh para pihak yang berkontrak.
Penjelasan tentang urgensi perjanjian atau kontrak dibuat
secara tertulis, pada dasarnya adalah untuk menjamin standarisasi
pelaksanaan dan tanggung jawab para pihak yang berkontrak,
sehingga para pihak dalam perjanjian merasa mendapat jaminan untuk
mendapatkan kompensasi bila kelak salah satu pihak melakukan
wanprestasi. Atas dasar inilah, keberadaan perjanjian dapat menjadi
salah satu instrumen hukum untuk mempermudah perencanaan isi
perjanjian dimasa akan datang dari berbagai kemungkinan yang dapat
merugikan salah satu pihak.
Beranjak dari paparan tersebut, menurut Agus Yudha
Hernoko129 bahwa perjanjian atau kontrak memiliki beberapa fungsi
atau arti penting, terutama dalam lalu lintas bisnis, yang mencakup:
a. Kontrak sebagai wadah hukum bagi para pihak dalam menunaikan
hak dan kewajibannya masing-masing (bertukar konsesi dan
kepentingan);
b. Kontrak sebagai bingkai aturan main;
c. Kontrak sebagai alat bukti adanya hubungan hukum;

128
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h. 99-100.
129
Ibid.
59

d. Kontrak memberikan jaminan kepastian hukum;


e. Kontrak menunjang iklim bisnis yang kondusif (win-win solution;
efisiensi-profit).
Menurut perspektif syariah, fungsi perjanjian tidak sekedar
sebagai dokumen hukum yang dapat menjamin pelaksanaan serta
tanggung jawab para pihak terhadap isi perjanjian, tetapi yang
terpenting adalah pranata perjanjian dapat menjadi koridor bagi para
pihak agar tidak melenceng kegiatan transaksi keuangan yang dapat
menjebak mereka kedalam transaksi yang bernuansa riba. Artinya,
hukum Islam (syariah), sebagaimana yang diuraikan Ibnu Katsir130,
akan mendudukkan perjanjian atau kontrak sebagai salah satu
instrumen hukum yang menjaga kemurnian transaksi para pihak yang
berlangsung atas dasar mekanisme yang dibenarkan oleh syariah,
antara lain mencegah terjadinya tasharuf (pengelolaan harta), yang
melanggar syariah, misalnya mengambil harta dengan cara batil
seperti judi, riba, suap, dan dengan cara-cara pengelabuan atau tipu
muslihat.
Ibnu Katsir, membahas tentang instrumen perjanjian syariah,
yang memang sesungguhnya berfungsi mengatur tingkah laku para
pihak dalam perjanjian agar tetap berada pada rambu-rambu yang
ditetapkan oleh syariah. Ibnu Katsir, mengurai sebagai berikut:

Janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan


perbuatan yang diharamkan, tetapi berniagalah menurut
peraturan yang diakui syariat, yaitu perniagaan yang
dilakukan suka sama suka di antara pihak pembeli dan pihak
penjual, dan carilah keuntungan yang diakui syariat131

Pada konteks pembahasan tentang perjanjian utang piutang di


pegadaian syariah, maka asas taawun berfungsi mengamankan
transaksi antara muqridh dengan muqtaridh supaya tetap berlangsung
atas dasar non-profit bukan dengan mencari celah untuk mendapatkan
keuntungan finansial. Perjanjian utang piutang di pegadaian syariah,
tetap mempertahankan kegunaan namun tataran kegunaan yang
dikehendaki adalah berbasis kemanusiaan-transendental. Untuk itulah,
fungsi asas taawun dalam perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah, secara konkrit, dapat diimplementasikan dengan bermula dari
tahap pra-perjanjian, pembentukan perjanjian, pelaksanaan perjanjian,

130
Fauzan Al-Banjari, Op. Cit., h. 16-17. Bunu ini mengutip uraian
Ibnu Katsir tersebut, yang selengkapnya dapat dibaca dalam kitab yang
ditulisnya, yaitu Tafsir al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 2, Dar- al Thayyibah li al-
asyr wa al Tawzi.
131
Ibid.
60

dan ketika terjadi perselisihan dalam perjanjian. Peneliti merincinya


sebagai berikut:
a. Pada tahap pra-perjanjian, asas taawun membuka peluang antara
muqridh dan muqtaridh dengan starting point, keduanya
melakukan perjanjian secara fair dengan tidak boleh melepaskan
niat itikad baik dari kedua pihak ketika hendak memasuki
perjanjian. Dari sini asas taawun menjadi penakar hubungan
hukum muqridh dengan muqtaridh dalam kerangka pertukaran
hak dan kewajiban secara fair bahwa muqridh memiliki hak tagih
sedangkan muqtaridh dibebankan kewajiban untuk melunaskan
pinjamannya sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Pihak
muqtaridh, sebaliknya, masih memiliki hak atas barang gadai (al-
marhun), jika diperlukan untuk memanfaatkan barang gadai
tersebut, sedangkan pihak muqridh hanya memiliki hak menahan
atas barang gadai. Pihak muqtaridh seharusnya tidak dibebankan
kewajiban-kewajiban tertentu, berkenaan dengan barang gadai
yang dititipkan, untuk mengeluarkan biaya-biaya tertentu yang
dapat ditafsirkan sebagai celah bagi muqridh untuk menarik
manfaat. Asas taawun kemudian berfungsi mengkonkritkan itikad
baik dari masing-masing pihak, yakni muqridh memang beritikad
menolong sebagai sebuah kebajikan sosial, bukan berniat mencari
keuntungan finansial dibalik perjanjian utang piutang tersebut,
sebab bila muqridh mendesain mekanisme cara tertentu yang
ditafsirkan sebagai celah untuk mencari keuntungan finasial, maka
dapat dipandang bahwa muqridh tidak beritikad baik membantu
orang lain sebagai sebuah anjuran moral yang dikehendaki oleh
syariah. Begitu juga, dari sisi muqtaridh yang seharusnya selalu
dilandasi oleh itikad baik untuk mengembalikan modal yang
dipinjam tersebut, sebagai sebuah kewajiban moral.
b. Pada tahap pembentukan perjanjian, asas taawun berfungsi
menjamin hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh
yang menciptakan hak dan kewajiban antara keduanya atas dasar
moral kebajikan. Artinya, bangunan hak dan kewajiban antara
keduanya, tegak atas dasar yang mengharapkan nilai-nilai
kebajikan transendental. Pihak muqridh memberikan bantuan
pinjaman modal uang kepada muqtaridh murni oleh dorongan
tanggung jawab sosial, sebagaimana anjuran syariah. Begitu juga,
pihak muqtaridh memiliki kewajiban moral untuk
bertanggungjawab menggunakan modal yang dipinjamnya sesuai
batasan syariah (hukum Islam), dan mengembalikan modal
pinjaman sesuai waktu yang disepakati.
c. Pada pelaksanaan perjanjian utang piutang di pegadaian syariah,
asas taawun menjamin perwujudan hak dan kewajiban muqridh
dengan muqtaridh yang terbingkai atas dasar tolong menolong,
61

sehingga proporsi tanggung jawab muqridh pada batas-batas


moralitas kebajikan, membantu sesama saudaranya yang kesulitan
uang. Adapun hak yang diminta oleh muqridh menyangkut
pengembalian modal yang disepakati, hanya pada sebatas jumlah
porsi modal yang dipinjam, tidak diperbolehkan bagi muqridh
untuk menarik manfaat dari transaksi dengan pihak muqtaridh.
Kewajiban yang dibebankan kepada pihak muqtaridh juga adalah
kewajiban berbasis moral kebajikan, sehingga bagi muqtaridh
memiliki tanggung jawab mengembalikan modal pada waktu yang
telah disepakati.
d. Pada saat terjadinya sengketa antara muqridh dengan muqtaridh,
maka dengan bertumpu kepada asas taawun, bila pelanggaran
perjanjian terjadi di pihak muqtaridh yang lalai dalam membayar
sejumlah utangnya, maka konteks penggantian ganti rugi bagi
pihak muqridh, sekedar pada sejumlah utang yang dipinjam, tidak
diperbolehkan hitungan ganti rugi diukur dengan biaya tambahan
lainnya yang ditetapkan oleh muqridh, sebab biaya tambahan
tersebut merupakan manfaat yang diperoleh pihak muqridh. Biaya
tambahan itu juga dapat merupakan celah yang membuka pintu
riba yang diharamkan oleh syariah. Atas dasar itu, keberadaan
barang gadai (al-marhun) dalam konteks mengganti jumlah
pinjaman muqtaridh, nilai harga barang gadai yang dijual, harus
diambil sesuai dengan jumlah pinjaman uang, yang apabila
terdapat kelebihan harga nilai jual, dikembalikan kepada
muqtaridh. Hal yang sama pula ketika barang gadai hilang atau
rusak, yang berakibat timbulnya sengketa, terlebih dahulu diteliti
sebab kerusakan atau kehilangan. Bila kerusakan atau kehilangan
itu disebabkan oleh kelalaian atau kesengajaan dari pihak
muqridh, maka penggantian atau pemulihan kerusakan barang
gadai menjadi tanggung jawab muqridh, tetapi kadar penggantian
dan pemulihan barang harus sesuai dengan nilai barang gadai
yang dititipkan, tidak boleh muqtaridh menuntut tambahan nilai
dari barang gadai yang cacat atau hilang karena keteledoran pihak
muqridh.
Berdasarkan paparan peneliti tentang fungsi asas taawun
dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, secara ringkas
dapat disimpulkan bahwa asas taawun adalah untuk menegaskan
kembali proses mata rantai hubungan hukum antara muqridh dengan
muqtaridh yang diletakkan dalam kerangka moral kebajikan, yang
lebih menegaskan kepada semata-mata memberikan bantuan sebagai
tanggung jawab sosial seorang muslim kepada sesamanya. Pada
hubungan hukum yang demikian itu, sebenarnya yang hendak
ditekankan adalah wujud kesetiakawanan sosial, sehingga semua
62

derivasi perjanjian yang terdapat di pegadaian syariah bukanlah


dimaksudkan untuk mencari keuntungan bisnis.
2.5. Hakikat Keadilan dalam Perjanjian Utang Piutang Di
Pegadaian Syariah yang Berbasis Asas Taawun
2.5.1. Hakikat Keadilan Perspektif Islam
Pembahasan tentang hakikat keadilan telah mewarnai hampir
semua corak pemikiran pada berbagai zaman dan peradaban dengan
sudut pandang yang variatif. Pada umumnya perbedaan sudut pandang
para pemikir dalam menyingkap hakikat keadilan, adalah bertumpu
kepada perspektif pemikiran ideologi atau landasan kefilsafatan
berpikir mereka masing-masing. Sudut pandang pemikiran seseorang,
pada dasarnya selalu dipengaruhi oleh latar belakang ideologi serta
landasan kefilsafatan masing-masing. Sudut pandang pemikiran
seseorang yang sangat dipengaruhi oleh corak dan landasan
karakteristik pemikirannya, juga diakui oleh Stolker, bahwa untuk
mengetahui corak berpikir seseorang, terutama dari kalangan ilmuwan
hukum, maka seseorang seharusnya mengetahui dahulu tentang apa
dan bagaimana pijakan latar belakang pemikirannya132.
Istilah adil dalam Bahasa Indonesia, bila merujuk kepada
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dalam pengertiannya sebagai
kata sifat (adjektiva), dapat diartikan dengan banyak makna secara
istilah yaitu “sama berat”, “tidak berat sebelah”, “tidak memihak”.
KBBI juga mengartikannya dalam posisi sebagai kata sifat yaitu:
“benar”, “betul”, “jujur”, “lurus”, “merata”, “rata”, “sebanding”,
“seimbang”, “seksama”, “selayaknya”, “sepantasnya”, “sepatutnya”,
”setara”, “setimpal”, “sewajarnya”. Bila peristilahan adil didudukkan
sebagai kata benda (nomina), yaitu istilah keadilan, menurut KBBI
bermakna sebagai “kesamarataan” atau “keseimbangan”.
Istilah adil itu sendiri, sebenarnya diadopsi dari Bahasa Arab
yaitu kata adl yang menurut penjelasan M. Quraish Shihab dengan
merujuk kepada beberapa kamus Bahasa Arab, bahwa kata adl pada
mulanya berarti “sama” kemudian menjadi kata benda (noun) yaitu
berarti “persamaan”, makna “persamaan” ini menurut M. Quraish
Shihab133 yaitu pelakunya tidak berpihak. Maknanya bahwa
pelakunya berpihak kepada yang benar karena baik pihak yang benar
maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya, sehingga
pelaku keadilan adalah seseorang yang melakukan sesuatu yang
“patut” dan “tidak sewenang-wenang”. Tindakan sewenang-wenang

132
Stolker dalam Anton F Susantho, “Dialog tentang Keilmiahan
Ilmu Hukum” dalam Bernard Arief Sidharta, dkk, Pengembanan Hukum
Teoritis (Refleksi Atas Konstelasi Disiplin Hukum), Logoz Publishing,
Bandung, 2015, h. 42-51.
133
M. Quraish Shihab, Loc. Cit.
63

menurut perspektif syariah, merujuk kepada pandangan M. Quraish


Shihab, sangat dekat dengan ketidakadilan.
Pembahasan tentang hakikat keadilan sejak dahulu memang
telah menjadi diskursus para pemikir baik klasik maupun kontemporer
pada berbagai peradaban. Para pemikir telah meletakkan keadilan
sebagai sentral utama kajian dengan berbagai sudut pandang baik
moral, politik, hukum, sosial, dan ekonomi. Aristoteles sendiri telah
meletakkan pandangannya tentang keadilan sebagai sebuah
kebajikan134. Ungkapan Aristoles, bahwa keadilan merupakan sebuah
moral kebajikan, juga diperkuat oleh pemikir kontemporer John
Rawls135, bahwa “justice is the first virtue of social institution , as
truth is of system of thought”. Menurut pandangan John Rawls,
keadilan secara mendasar merupakan sebuah nilai kebajikan yang
seharusnya pertama kali diletakkan dalam sebuah institusi sosial
(kemasyarakatan), sehingga keadilan seharusnya merupakan kajian
kebenaran dalam sebuah sistem pemikiran.
Menurut John Rawls, suatu tatanan sosial atau tatanan hukum
bagaimanapun rapihnya dan tampak elegan, jika tatanan yang
dimaksud tidak mewujudkan keadilan sebagai sebuah kebajikan, maka
tatanan tersebut harus ditolak atau direvisi kembali, karena itu seluruh
nilai politik dan tatanan sosial seharusnya diukur berlandaskan kepada
keadilan136.
Makna tentang keadilan dalam khasanah pemikiran barat,
memiliki sejarah yang cukup panjang, yang bermula dari masa Yunani
kuno. Hakikat keadilan dalam kajian Frans Magnis Suseno137, dapat
dideterminasikan kedalam dua pemaknaan, yaitu pertama dalam
pengertian formal. Pada konteks pemaknaan ini, keadilan
menghendaki semua orang diperlakukan secara sama. Hukum yang
adil dalam pengertian ini, bermakna bahwa hukum harus diberlakukan
sesuai dengan prinsip-prinsip yang mewujudkan semua orang sama di
muka hukum, equality before the law (Rechtsgleichtbeit), inilah yang

134
Delba Winthrop, “Aristotle and Theories of Justice”, dalam The
American Political Science Review, Volume 7, Nomor 4, Desember 1978, h.
1201-1216.
135
John Rawls, A Theory of Justice, Edisi Revisi, Harvard
University Press, USA, 1999, h. 3. Buku ini banyak dijadikan sebagai
rujukan oleh pemikir kontemporer ketika membahas tentang keadilan.
Terutama bila keadilan itu ditinjau dari segi perspektif filsafat barat. Hanya
saja, gagasan teori keadilan yang dikemukakan oleh Johm Rawls tersebut,
lebih cenderung merujuk kepada prilaku sosial masyarakat Amerika Serikat.
136
Sahya Anggara, “Teori Keadilan John Rawls Kritik terhadap
Demokrasi Liberal”, Jurnal Perspektif, Volume 1, Edisi Januari-Juni, 2013,
h. 1-11.
137
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Op.Cit., h. 81-82.
64

dideterminasikan sebagai hukum dalam pengertian formal.


Selanjutnya, kedua, keadilan dalam pengertian materil, yakni
substansi dari muatan hukum yang diberlakukan ditengah masyarakat
semestinya mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang adil.
Tatanan kehidupan yang adil, menurut Frans Magnis Suseno138,
adalah tatanan kehidupan bersama berdasarkan apa yang menurut
moral baik dan wajar.
Uraian yang diketengahkan peneliti diatas, merupakan uraian
tentang konsep keadilan yang dimaknakan menurut gagasan para
pemikir barat. Adapun ajaran Islam sebagai norma-norma yang juga
dapat mengatur kehidupan dunia ini, juga telah meletakkan
pembahasan tentang makna keadilan. Hanya yang perlu dipertegas
adalah pembahasan tentang keadilan perspektif Islam, tidak boleh kita
lepaskan doktrin ajaran Islam itu sendiri sebagai basisnya. Sayyid
Qutub menulis sebagaimana yang diterjemahkan oleh John B
Hardie139 dalam Bahasa Inggeris, sebagai berikut:

We cannot study the nature of social justice in Islam until we


have first examined the general lines of Islamic theory on the
subject of the universe life, and mankind. For social justice is
only a branch of that great science to which all Islamic
doctrines mus revert.

Pandangan Sayyid Qutub yang meletakkan argumentasinya


bahwa dalam perspektif Islam, pemaknaan tentang keadilan harus
diletakkan dalam kerangka doktrin Islam sebagai dasar untuk
menyusun gagasan tersebut, yang juga disepakati oleh mayoritas para
pemikir Islam atau para ulama.
M. Quraisy Shihab140 dalam menjelaskan makna keadilan
menurut syariah, yakni dengan merujuk kepada al-Qur’an sebagai
dogma penting yang menjadi sumber pemikiran utama Islam. Al-
Qur’an ketika menjelaskan tentang keadilan, pada sejumlah ayat
menggunakan beberapa istilah yaitu, ‘al-adl, al-qisth, al-mizan.
Sejumlah istilah tersebut, pada hakikatnya merujuk kepada makna
yang sama yaitu keadilan namun dengan konteks penggunaan yang
berbeda. Istilah ‘Adl adalah merujuk kepada pengertian sama antara
dua pihak. Istilah qisth berarti seseorang mendapat bagian secara patut
dan wajar yang tidak mesti harus ada persamaan. Adapun istilah
mizan berarti timbangan ini merupakan metafora dari “alat untuk

138
Ibid.
139
John B Hardie dan Hamid Algar, Sayyid Qutb Social Justice in
Islam, Islam Book Trust, Kuala Lumpur, Malaysia, 2000, h. 37.
140
M. Quraish Shihab, Op. Cit., h. 147-159.
65

menimbang”, berarti setiap muslim dalam menghadapi suatu perkara


haruslah mengedepankan sifat-sifat yang adil.
Konsep keadilan dalam al-Quran dalam berbagai ragam
maknanya, digunakan untuk berbagai kondisi yang pada dasarnya
memerintahkan setiap manusia untuk berbuat adil, tidak hanya pada
proses penegakan hukum atau kepada phak yang berselisih tetapi juga
terhadap diri sendiri seorang muslim, baik ketika berucap, menulis,
atau bersikap batin. M. Quraish Shibab, menunjukkan beberapa ayat
dalam al-Qur’an yang memerintahkan bagi seorang muslim untuk
berbuat adil bagi dirinya, antara lain al-Qur’an Surah al-An’am Ayat
152 bahwa:

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku


adil walaupun terhadap kerabat

Selanjutnya al-Qur’an Surah al-Baqarah Ayat 282 juga


menyinggung tentang keadilan sebagai berikut:

Dan hendaklah ada diantara kamu seorang peneliti yang


menulis dengan adil

M. Quraish Shibab juga menulis bahwa kehadiran para


rasul, utusan Allah, pada saat yang sama adalah bertujuan untuk
menegakkan sistem kemanusiaan yang adil, sebagaimana termaktub
dalam al-Quran Surah al-Hadid Ayat 25, bahwasanya:

Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul, dengan


membawa bukti-bukti nyata, dan telah kami turunkan bersama
mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat
melaksanakan keadilan

Al-Qur’an bahkan menegaskan bahwa alam semesta ini


ditegakkan atas dasar keadilan, sebagaimana yang dinyatakan oleh
Allah SWT dalam al-Qur’an Surah ar-Rahman Ayat 7, bahwa “Dan di
langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca
kesetimbangan). Dari paparan tersebut, M. Quraish Shibab,
menyimpulkan bahwa pembahasan tentang keadilan menurut
perspektif al-Qur’an adalah menyentuh semua aspek mulai dari tauhid
sampai kepada keyakinan terhadap hari kebangkitan, dari nubuwwah
(kenabian) hingga kepemimpinan, dan dari individu hingga
masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi terciptanya kesempurnaan
pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, sekaligus jalan terdekat
menuju kebahagian ukhrawi.
66

Berikut, peneliti menyajikan bagan yang mendeskripsikan


perwujudan nilai-nilai keadilan menurut perspektif Islam.

M. Quraish Shibab, melalui pemaparannya secara rinci


menguraikan makna keadilan perspektif Islam dengan merujuk kepada
beberapa pendapat para ulama, sebagai berikut: Pertama, keadilan
dapat bermakna sama. Yang perlu ditegaskan dalam konteks
pemaknaan ini adalah persaman dalam hak, sebagaimana dinyatakan
dalam al-Qur’an Surah an-Nisa, Ayat 58 bahwa:

Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka


hendaklah engkau memutuskannya dengan adil…

Kata adil yang digunakan dalam ayat tersebut, bila diartikan


sama, hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses
pengambilan keputusan hukum. Artinya, ayat tersebut menjadi
pedoman bagi para hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang
bersengketa dalam posisi yang sama, misalnya ihwal tempat duduk,
penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan),
keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan memikirkan
67

ucapan mereka, dan seterusnya yang termasuk dalam proses


pengambilan keputusan.
Kedua, keadilan yang berarti seimbang atau proporsional.
Keadilan jenis ini identik dengan kesesuaian (proporsionalitas). Yang
perlu ditegaskan bahwa keadilan proporsionalitas (keseimbangan),
tidak mengharuskan adanya persamaan kadar dan syarat bagi semua
unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar,
maka ukuran besar dan kecilnya yang diterima oleh masing-masing
pihak sesuai dengan fungsi yang didapatkan darinya. Misalnya,
petunjuk dalam al-Qur’an, yang membedakan prosi yang satu dengan
yang lainnya, seperti pembedaan laki-laki dan perempuan pada
beberapa masalah hak waris dan persaksian. Apabila ditinjau dari
sudut pandang keadilan proporsionalitas, harus dipahami dalam
pengertian bahwa masing-masing pihak mendapatkan bagian sesuai
dengan kadar dan manfaatnya yang telah ditentukan oleh nash-nash
syariah bukan persamaan. Sehubungan dengan itu, Agus Yudha
Hernoko, memberikan pandangan tentang apa yang dimaksud dengan
pertukaran hak dan kewajiban berdasarkan asas proporsionalitas, yang
menurutnya bahwa asas proporsionalitas tidak mempersoalkan
keseimbangan dalam pengertian kesamaan hasil secara matematis,
tetapi lebih menekankan kepada proporsi pembagian hak dan
kewajiban diantara para pihak yang berlangsung secara layak dan
patut (fair and reasonableness)141. Ketiga, Keadilan dalam pengertian
menitikberatkan perhatian terhadap hak-hak individu atau mahluk
hidup lainnya dengan memberikan hak-hak tersebut kepada setiap
pemiliknya secara tepat142.
Keempat, keadilan yang dinisbatkan kepada perbuatan Allah
SWT. Adil yang dimaksud disini adalah terkait dengan perbuatan
Allah SWT terhadap ciptaannya. Maknanya, apapun perbuatan Allah
SWT terhadap hambanya, sudah merupakan ketetapan dari Allah
SWT, didalamnya telah mengandung hikmah yang mengimplikasikan
keadilan Allah SWT.
2.5.2. Hakikat Keadilan dalam Pertukaran Hak dan Kewajiban
Muqridh dengan Muqtaridh Berbasis Asas Taawun Di
Pegadaian Syariah
Pada pembahasan ini, peneliti menelaah tentang makna
keadilan dalam hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh
dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah dengan basisnya
adalah asas taawun. Makna keadilan untuk menerjemahkan pertukaran
hak dan kewajiban antara muqridh dengan muqtaridh dalam konteks

141
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., h. 89.
142
M. Quraish Shihab, Loc.Cit.
68

ini peneliti merujuk kepada gagasan keadilan perspektif syariah, yang


dikemukakan oleh M. Quraish Shihab, sebagai berikut:
Pertama, Muqridh dengan muqtaridh pada hakikatnya
memiliki kedudukan yang sama sebagai pihak dalam perjanjian.
Kedua pihak, dengan kata lain, tidak boleh ditempatkan pada
hubungan hukum yang bersifat sub-ordinat, artinya pihak yang satu
mendominasi pihak lain. Misalnya, pihak muqtaridh berada dibawah
kedudukan muqridh, sehingga pihak muqridh bisa berbuat sewenang-
wenang kepada muqtaridh. Hubungan hukum antara keduanya, mesti
dipertegas kembali, yakni tegak atas dasar moral kebajikan dalam
bingkai tolong menolong, sehingga antara muqridh dengan muqtaridh
haruslah diperlakukan adil yang sama dimuka hukum ketika antara
keduanya terjadi sengketa, seandainya pada masa akan datang, salah
satu diantara keduanya lalai dalam perjanjian atau mempunyai itikad
buruk yang berimplikasi kepada terjadinya pelanggaran perjanjian.
Bersandar pada hubungan hukum antara muqridh dengan
muqtaridh atas dasar asas taawun, maka muqtaridh harus
diperlakukan adil yang memiliki hak-hak yang sama untuk dihormati
kedudukannya sebagai manusia. Konteks keadilannya disini bermakna
bahwa ada persamaan kedudukan antara muqridh dengan muqtaridh
dalam kerangka ketika muqtaridh dituntut untuk menunaikan
kewajibannya melunasi pinjamannya jika ia lalai membayar
pinjamannya tersebut. Persamaan kedudukan itu ditunjukkan dalam
hal perlakuan muqridh kepada muqtaridh yang dalam konteks
demikian, tidak boleh ada indikasi untuk mengeksploitasi muqtaridh
atau tindakan yang menzhalimi muqtaridh . Misalnya, pihak muqridh
menyita barang gadai yang dijaminkan muqtaridh secara keseluruhan,
yang tidak menghitung berdasarkan nilai pokok hutang, padahal
barang gadai yang disita itu memiliki nilai harga yang melebihi nilai
pokok hutang. Ilustrasinya sebagai berikut, barang jaminan (al-
marhun), adalah emas batangan bernilai harga Rp. 10 juta, sedangkan
nilai pokok pinjaman hanya Rp 2 juta, maka penyitaan barang gadai
yang tidak sesuai dengan nilai pokok pinjaman adalah tindakan zalim.
Barang gadai semestinya tidak diambil seluruhnya oleh muqridh tetapi
muqridh seharusnya menjual lebih dahulu barang gadai dengan seizin
muqtaridh, bila harga barang gadai hanya laku Rp 8 juta, pihak
muqridh diperbolehkan mengambil harga jual sebanyak nilai pokok
hutang yaitu Rp 2 juta, sedangkan sisanya Rp. 6 juta diserahkan
kepada muqtaridh karena merupakan haknya.
Berdasarkan penjelasan peneliti tersebut, disinilah letak
keadilan hukum Islam yang menghormati hak-hak kepemilikan
individu. Islam sangat menghormati hak-hak kepemilikan individu
yang menutup peluang bagi seseorang untuk berbuat zhalim terhadap
pihak lain. Sehubungan dengan itu, perjanjian hutang piutang dalam
69

konteks yang berlangsung di pegadaian syariah, sangat tidak


diperbolehkan untuk dijadikan celah bagi muqridh untuk
mengeksploitasi muqtaridh, sebab tindakan demikian merupakan
tindakan zhalim yang bermakna sebuah tindakan yang tidak adil
dalam persepektif hukum Islam (syariah).
Kedua, keadilan dalam makna proporsional perspektif
syariah. Makna pertukaran hak dan kewajiban antara muqridh dengan
muqtaridh bila diterjemahkan dalam bingkai keadilan yang
proporsional, maka pihak muqridh mendapatkan haknya yang
proporsional menurut timbangan hukum Islam (syariah), hak yang
dimaksud sebagaimana yang sudah peneliti jelaskan pada uraian
sebelumnya, adalah hak tagih. Melalui hak ini, pihak muqridh
memiliki hak untuk menagih kembali uang yang dipinjam muqtaridh
bila telah sampai pada batas waktu tertentu sesuai perjanjian yang
telah disepakati. Pada konteks hak tagih, muqridh hanya berhak
meminta sejumlah porsi nilai uang yang dipinjamkan kepada
muqtaridh, karena prinsip perjanjian tegak atas asas taawun yaitu asas
tolong menolong, sudah sewajarnya pihak muqridh hanya
mendapatkan pengembalian uang sebesar nilai pokok pinjaman.
Tuntutan muqridh untuk mendapatkan tambahan dari nilai pokok
perjanjian, dengan alasan pihak muqtaridh lalai atau terlambat
memenuhi kewajibannya, yang tidak sesuai waktu yang disepakati,
merupakan tindakan yang tidak adil. Bahkan permintaan tambahan
yang melebihi nilai pokok pinjaman, merupakan tindakan yang
dilarang oleh hukum Islam (syariah). Ajaran Islam, memandang
tambahan atas nilai pokok pinjaman adalah masuk kategori riba143,
yang sangat dilarang keras.
Riba sebagai tambahan dari pokok hutang sebagaimana yang
sudah dijelaskan sebelumnya, oleh al-Quran dipandang sebagai
sebuah kezaliman, pelakunya harus mendapat sanksi yang tegas. Pada
konteks inilah, secara proporsional, adalah tidak adil apabila muqridh
menuntut tambahan dari pengembalian pokok pinjaman. Begitu juga,
barang gadai (al-marhun) yang dititipkan oleh muqtaridh sebagai
jaminan untuk pengembalian modal pinjaman, bagi muqridh pada
dasarnya tidak dibenarkan mencari celah untuk mengambil manfaat
dari keberadaan barang jaminan (al-marhun) itu sendiri. Pengambilan
manfaat terhadap barang jaminan (al-marhun) tentu juga merupakan
tindakan yang zalim bila ditinjau dari perspektif syariah.
Konteks keadilan menurut hukum Islam (syariah), dari segi
posisi muqridh merupakan sesuatu yang sudah memenuhi porsi
kepentingannya, apabila kompensasi yang didapatkannya hanya pada
kadar sejumlah pokok nilai modal yang ia sudah pinjamkan kepada

143
Ahmad Ad-Daur, Loc. Cit.
70

muqtaridh. Begitu juga dari sisi kepentingan muqtaridh merupakan


sesuatu yang adil bila ia dituntut mengembalikan modal sesuai jumlah
pokok pinjaman saja. Bila ada tambahan, maka hukum Islam (syariah)
memandangnya tidak proporsional, malah berimplikasi menimbulkan
kesulitan atau kesukaran bagi pihak muqtaridh, tentu saja konteksnya
sudah menimbulkan kezaliman bagi pihak muqtaridh. Dasar
pemikiran sebagai argumentasi, dapat dijelaskan bahwa asas taawun
merupakan asas utama yang berfungsi menjaga spirit perjanjian utang
piutang berbasis syariah, yang tidak boleh keluar dari koridor nilai-
nilai moral kemanusiaan dan kebajikan yang berorientasi kepada non-
profit. Tujuannya sangat jelas menurut sudut pandang syariah, yaitu
motivasi untuk memberikan bantuan pinjaman modal. Motivasi yang
semata-mata dalam kerangka pertolongan kepada sesama manusia
yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, sehingga dari titik
pandang inilah, sangat tidak proporsional bila pihak muqridh lalu
mengharapkan keuntungan finasial. Ukuran nilai keuntungan yang
didapat oleh muqridh bukanlah dalam hitungan matematis untung dan
rugi secara finansial, tetapi keuntungan yang diharapkan adalah nilai
tambah bersifat transendental yakni ganjaran pahala dari Allah SWT.
Syariah juga mempertegas bahwa dari sisi kewajiban
muqtaridh, sekaligus merupakan hak dari muqridh, apabila diletakkan
dalam kerangka keadilan secara proporsional, yakni muqtaridh secara
moral sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, tidak boleh lalai
untuk menepati janji mengembalikan modal pinjaman sesuai waktu
yang telah disepakati bersama. Pihak muqtaridh yang lalai atau
beritikad buruk sengaja mengulur waktu atau enggan memenuhi
janjinya, sesungguhnya juga berbuat zhalim atau bertindak tidak adil
kepada pihak muqridh. Syariah bahkan sangat mencela muslim yang
sengaja menunda pembayaran utangnya padahal ia sudah memiliki
kemampuan finansial untuk melunasi utangnya tersebut. Nabi SAW
sangat mencela seorang muslim yang menunda-nunda pembayaran
utangnya, sebagaimana terkutip dalam hadits bahwa “Penundaan
pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah sesuatu
kezhaliman…”

Pada konteks ketika muqtaridh lalai atau tidak mampu


memenuhi kewajibannya melunasi utang, sedangkan pada saat yang
sama barang jaminan/gadai (al-marhun) berada dibawah penguasaan
muqridh maka sesungguhnya, sesuai kesepakatan antara keduanya,
pihak muqridh memiliki hak untuk menjual barang jaminan gadai
tersebut, guna pelunasan utang muqtaridh. Pihak muqridh memiliki
hak untuk mengambil nilai harga jual barang jaminan (al-marhun)
sesuai jumlah pokok nilai hutang saja. Pemotongan nilai harga yang
diambil oleh muqridh guna pelunasan utang, adalah sangat adil yang
71

secara proporsional, pihak muqridh hanya diperbolehkan mengambil


sejumlah nilai harga berdasarkan patokan nilai pokok pinjaman,
sedangkan bila ada kelebihan harga barang dari nilai pokok, secara
proporsional, harus dikembalikan kepada muqtaridh yang memiliki
hak atas kelebihan harga jual barang gadai (al-marhun).
Dari sudut pandang keadilan secara proporsional, juga
dipandang sebagai bentuk ketidakadilan apabila kelebihan dari harga
nila jual barang gadai (al-marhun) serta merta diambil oleh muqridh,
namun seandainya nilai jual harga barang gadai (al-marhun), masih
kurang atau tidak cukup bagi pelunasan nilai pokok pinjaman modal,
tentu saja syariah membolehkan pihak muqridh untuk menuntut
kembali pengembalian dari sisa pokok nilai pinjaman yang menurut
taksirannya masih kurang kepada pihak muqtaridh. Pada perspektif
demikian, syariah menetapkan kerangka bahwa secara proporsional,
adalah adil bila pihak muqridh menuntut hak pengembalian sejumlah
uang miliknya sesuai nilai pokok pinjaman, sehingga bila pinjaman
uang yang dikembalikan pihak muqtaridh masih kurang, maka sudah
sepantasnya pihak muqridh menuntut tambahan pengembalian uang
lagi untuk mencukupi nilai pokok pinjaman, namun ajaran Islam
sangat memuji seorang muslim yang memberikan pinjaman kepada
muslim lainnya, lalu memberikan keringanan terhadap beban utang
muslim tersebut, bahkan sampai memberikan kelapangan untuk
dibebaskan dari kewajiban pelunasan semua utangnya, sebagaimana
diutarakan dalam sebuah hadits Nabi SAW bahwa:Siapa saja yang
meringankan suatu kesulitan dunia dari seorang mukmin niscaya
Allah meringankan darinya kesulitan akhirat.
Ketiga, keadilan dalam makna yang menempatkan hak dan
kewajiban sesuai pada tempatnya. Pada konteks hubungan hukum
antara muqridh dengan muqtaridh dalam perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, hukum Islam (syariah) telah memberikan
penegasan bahwa hubungan hukum antara keduanya harus
berlangsung atas dasar asas taawun, sehingga dalam kerangka
pertukaran hak dan kewajiban, dengan sudut pandang status hak dan
kewajiban masing-masing muqridh dan muqtaridh, syariah telah
menetapkan status hak muqridh yaitu berhak menagih muqtaridh,
sedangkan kewajiban yang ditetapkan oleh syariah kepada muqridh
adalah menjaga barang gadai/agunan (al-marhun) yang dititipkan
kepadanya. Adapun dari sudut status hak muqtaridh adalah berhak
untuk memanfaatkan termasuk hak tasharuf144 terhadap barang

144
Abdurrauf, “Penerapan Teori Akad Pada Perbankan Syariah”, Al-
Iqtishad, Volume IV, Nomor 1, Januari 2012, h. 20. Pada tulisan ini
menjelaskan konsep tasharruf dalam perspektif syariah, adalah hak atau
72

miliknya yang dijadikan sebagai jaminan atau agunan, sedangkan


kewajiban muqtaridh adalah mengembalikan modal yang dipinjamnya
pada waktu yang telah disepakati.
Syariah telah menetapkan secara adil takaran hak dan
kewajiban muqridh dengan muqtaridh, sehingga bila salah satu pihak
menyimpang dari koridor hak yang sudah ditetapkan syariah, berarti
telah berlangsung kezaliman. Misalnya, pada hak tagih bagi muqridh.
Ia menuntut tambahan atas pokok modal kepada muqtaridh sebab
keterlambatan waktu pengembalian pinjaman. Begitu pula, sangat
tidak adil apabila muqridh mencari celah dengan memanfaatkan
barang agunan/gadai (al-marhun), sebab mengambil manfaat dari
barang gadai oleh muqridh merupakan sebuah konsekuensi yang
dilarang oleh hukum Islam (syariah), sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW, bahwa:

Rasulullah SAW ditanya, seorang laki-laki dari kami


meminjamkan (al-Qardh) harta kepada saudaranya, lalu
saudaranya memberi hadiah kepada laki-laki itu. Lalu
Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika salah seorang dari kalian
memberikan pinjaman (al-Qardh), lalu ia diberi hadiah, atau
dinaikkan ke atas kendaraan si peminjam, maka janganlah
dia menaikinya dan janganlah menerimanya. Kecuali hal itu
sudah menjadi kebiasaan sebelumnya di antara mereka”
(H.R. Ibnu Majah)

Begitu juga dari segi beban kewajiban muqtaridh, bila ia


sengaja lalai tidak melunasi pinjamannya, berarti pihak muqtaridh
telah melakukan tindakan yang tidak adil, yang pada hakikatnya ia
telah berbuat zalim kepada muqridh. Muqtaridh disebut dalam posisi
telah melakukan kezaliman dalam konteks demikian, karena ia tidak
memenuhi hak muqridh sekaligus kewajiban muqtaridh sendiri untuk
mengembalikan modal pinjaman yang pada asalnya merupakan
kepemilikan muqridh .
Keempat, hukum-hukum tentang perjanjian utang piutang
yang diatur dalam nash syariah hakikatnya merupakan hukum berbasis
kewahyuan, yaitu hukum yang datangnya dari Allah SWT sebagai
pencipta. Atas dasar itu, hukum Islam (syariah), yang juga mengatur
interaksi hubungan hukum dalam perjanjian utang piutang, pasti
membawa keadilan dan rahmat bagi umat manusia, sebab tidak
mungkin nalar manusia dapat menjangkau apa yang menjadi rahasia
dibalik keadilan Allah SWT. Artinya, bila perjanjian utang piutang

kewenangan seseorang untuk mengelola hartanya sesuai dengan batasan yang


dibenarkan oleh syariah.
73

dipandang dalam konteks hitungan matematika ekonomi, terutama


bila cara pandangnya adalah materialisme-kapitalistik, terkesan pihak
muqridh selaku pemberi utang, akan mengalami kerugian finansial,
dengan anggapan bahwa muqridh telah terpotong nilai hartanya.
Tatkala Allah SWT menetapkan hukumnya berkaitan dengan
perjanjian utang piutang yang tegak atas asas taawun maka ketetapan
Allah tersebut, sebagaimana yang peneliti sandarkan menurut
pandangan M. Quraish Shihab, pastilah mengandung kebaikan.
Barangkali pandangan manusia atas dasar nalarnya, pemotongan harta
tanpa mendapat kompensasi, sebagaimana yang dialami oleh muqridh
merupakan hal yang merugikan atau hal yang buruk. Namun ketetapan
hukum Allah, tentang pengaturan hukum bagi muqridh yang tidak
dibenarkan mengambil keuntungan dari hubungan transaksinya
dengan muqtaridh, tidak dapat ditembus oleh nalar manusia oleh hal-
hal bersifat transendental. Firman Allah SWT dalam al-Quran Surah
al-Baqarah Ayat 216, sebagai berikut:

Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia baik


bagimu, dan boleh jadi engkau menyenangi sesuatu padahal
ia buruk bagimu. Allah mengetahui dan kamu tidak
mengetahui

Ayat tersebut, adalah untuk menggugah kesadaran nalar


seorang muslim, yang sebenarnya tidak boleh terkungkung oleh hal-
hal bersifat pragmatis-materialistik, tetapi harus menjangkau kepada
hal-hal yang lebih tinggi lagi dan luas yaitu menjangkau kepada hal-
hal yang bersifat transendental-ukhrawi. Dengan demikian, untuk
meletakkan perspektif keadilan ilahiah pada kerangka hubungan
transaksional antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah,
sudut pandangnya adalah transendental, sehingga bagi muqridh tidak
boleh memandang keadilan ilahiah berdasar kepada hitungan
matematis secara ekonomi, tetapi kerangka keadilannya bahwa
muqridh akan mendapatkan anugerah kebaikan dari Allah SWT di
akhirat nanti.
Sehubungan dengan itu, maka keberadaan lembaga pegadaian
syariah yang saat ini hadir sebagai salah satu lembaga keuangan non-
bank di Indonesia, secara mendasar, semestinya untuk mengemban
amanah kebajikan sosial sekaligus untuk mempererat hubungan sosial
kemasyarakatan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesenjangan
sosial masyarakat. Inilah makna dasar keadilan, yang dalam perspektif
Islam adalah untuk mewujudkan kebajikan sosial. Menurut M.
Quraish Shihab, keadilan dan kebajikan sosial dalam perspektif
Islam, selalu merupakan dua sisi yang beriringan, sebab keseimbangan
dalam kehidupan sosial masyarakat, tidak akan mungkin tercapai bila
74

nilai-nilai keadilan dan nilai-nilai kebajikan tidak diwujudkan secara


terintegral, sebab kehidupan sosial masyarakat adalah kehidupan yang
beragam dan majemuk, setiap manusia ketika melangsungkan
interaksi sosialnya, masing-masing memiliki potensi dan kemampuan
yang berbeda-beda. Ketentuan ini merupakan hal yang lumrah serta
telah membingkai dalam kehidupan masyarakat sebagai sesuatu yang
sunnatullah. Ajaran Islam mengakui bahwa perbedaan antar individu
merupakan sifat masyarakat, tetapi kondisi demikian tidak boleh
mengakibatkan terjadinya pertentangan. Sebaliknya, perbedaan itu
semestinya membawa kepada kerja sama yang saling menguntungkan
kedua belah pihak, tidak boleh ada yang saling mengeksploitasi satu
sama lain. Untuk itulah, lembaga pegadaian syariah pada akhirnya
mengemban amanah untuk mewujudkan keadilan sosial, sebab Nabi
SAW telah berpesan tentang perlunya kepedulian sosial bagi muslim
bagi selaku individu maupun sebagai kelompok masyarakat untuk
merasakan pahit dan manisnya terhadap apa yang terjadi di tengah
masyarakat, bukan bersikap acuh tak acuh atau tidak memiliki
kepedulian. M. Quraish Shihab telah mengetengahkan salah satu
ayat dalam al-Qur’an yang menekankan keterikatan iman dengan rasa
senasib dan sepenanggungan, yaitu Qur’an Surah al-Maun Ayat 1-3
bahwa:

Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama?


Mereka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi pangan kepada orang miskin

Menurut tafsiran M. Quraish Shihab, redaksi ayat tersebut


bukanlah “tidak memberi makan”, melainkan “tidak menganjurkan
memberi pangan”. Konteks ayat ini mencerminkan kewajiban sosial
seorang muslim dalam bentuk kepedulian terhadap siapa saja yang
membutuhkan bantuan ekonomi. Bagi seseorang muslim yang tidak
memiliki kemampuan finansial paling tidak minimal harus
menganjurkan pemberian itu. Jika inipun tidak dilakukan seorang
muslim, sesuai ayat diatas, maka ia termasuk orang yang mendustakan
agama. Berpijak pada tafsiran M. Quraish Shihab terhadap al-Qur’an
Surah al-Maun Ayat 1-3, maka dalil ini juga menjadi salah satu
penguat urgensi keberadaan pegadaian syariah sebagai lembaga yang
semestinya murni mendorong pada tujuan-tujuan guna mencapai
kebajikan sosial sebagai bagian integral terwujudnya cita-cita keadilan
sosial bagi seluruh masyarakat.
75

BAB III
ASAS-ASAS PERJANJIAN YANG MENDASARI
KARAKTERISTIK HUBUNGAN HUKUM DALAM
PERJANJIAN UTANG PIUTANG DI PEGADAIAN SYARIAH
DENGAN MENGKAITKAN ASAS TAAWUN SEBAGAI
LANDASAN POKOKNYA

3.1. Analisis Karakteristik Perjanjian Utang Piutang Pada


Umumnya
Perjanjian utang piutang, secara umum, merupakan bentuk
perjanjian yang berlangsung dengan nomenklatur perjanjian
bernama145. Disebut sebagai perjanjian bernama karena perjanjian
utang piutang merupakan perjanjian yang secara khas diatur tersendiri
dalam sebuah produk hukum tertentu. Di Indonesia, misalnya,
perjanjian utang piutang telah diatur secara tersendiri, namun ia
dikategorikan sebagai bagian dari perjanjian pinjam meminjam.
Pengaturan tentang perjanjian pinjam meminjam tersebut, terdapat
pada Bab Ketiga Belas Buku III Pasal 1754 BW.
Pasal 1754 BW, sebenarnya tidak menyebutkan atau mengatur
secara spesifik perjanjian pinjam meminjam dengan objeknya adalah
uang. Namun Pasal 1754 BW oleh pembuat undang-undang hanya
menyebut perjanjian dengan jumlah tertentu atas barang-barang yang
habis dipakai, sehingga bagi pembuat undang-undang, tidak
disebutkannya secara tegas uang sebagai objek perjanjian pinjam
meminjam, sebab uang dapat dikategorikan sebagai barang yang habis
dipakai. Hal ini juga dimaksudkan bagi pembuat undang-undang
bahwa esensi perbuatan pinjam meminjam bukanlah sekedar uang
sebagai objeknya tetapi juga barang-barang habis terpakai lainnya,
yang memiliki nilai ekonomi, sebagaimana sudah dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya, namun yang terpenting dalam perjanjian
pinjam meminjam, merujuk Pasal 1754 BW, yaitu pada objek barang
yang diperjanjikan bersifat habis terpakai, yang mengharuskan pihak
peminjam untuk mengembalikan barang yang dipinjam pada jumlah
dan keadaan yang sama. R Soebekti, memberikan penjelasan
mengenai Pasal 1754 BW ini, bahwa penggunaan istilah verbruik
lening dalam Bahasa Belanda, adalah merujuk kepada pengertian
perjanjian pinjam meminjam. Selanjutnya R Soebekti, menjelaskan
penggunaan istilah verbruik berasal dari kata verbruiken yang berarti
menghabiskan. Dari penggunaan istilah inilah maka perjanjian pinjam

145
Sri Soedewi Maschoen Sofwan, Hukum Perdata (Hukum
Perutangan Bagian B), Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Yogjakarta,
1980, h. 17.
76

meminjam senantiasa meletakkan barang yang habis terpakai sebagai


objek perjanjian.
Keberadaan perjanjian utang piutang sebagaimana telah
dijelaskan pada paparan sebelumnya, merupakan bentuk spesifik dari
perjanjian pinjam meminjam. Artinya, perjanjian pinjam meminjam
merupakan genus sedangkan perjanjian utang piutang adalah
spesiesnya. Bila mencermati ketentuan selanjutnya dalam BW, yang
masih turunan Pasal 1754 yaitu Pasal 1756 BW mengatur sebagai
berikut “utang yang terjadi karena peminjaman uang hanyalah terdiri
atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian”. Ketentuan
Pasal 1756 BW ini sekaligus untuk mempertegas spesifikasi perjanjian
utang piutang sebagai bagian integral dari perjanjian pinjam
meminjam yang objeknya adalah uang sebagai alat tukar. Uang
sebagai alat tukar yaitu yang digunakan dalam transaksi dagang atau
komersil, sehingga kedudukan perjanjian utang-piutang, menurut
konteks pengertian BW, dapat dikategorikan sebagai perjanjian
pinjam meminjam yang objeknya adalah uang sebagai alat tukar.
Pada perspektif syariah, telah mendudukkan perjanjian utang
piutang (al-Qardh) secara spesifik, yang kendatipun masuk dalam
genus perjanjian pinjam meminjam, yaitu pengalihan pemanfaatan hak
atas suatu benda dari seorang sebagai pemilik haknya kepada orang
lain secara sementara, namun perjanjian utang piutang (al-Qardh)
sangat berbeda karakteristiknya dengan perjanjian pinjam meminjam
lainnya, yang masuk kategori perjanjian al-‘Ariyah.
Pada umumnya, perjanjian al-Qardh dan perjanjian al-
‘Ariyah, memiliki karakteristik yang sama, yaitu sebagai suatu bentuk
perjanjian yang meniscayakan pengalihan hak memanfaatkan suatu
benda atau barang dari pemiliknya kepada orang lain untuk
dimanfaatkan sementara pada jangka waktu tertentu sesuai
kesepakatan. Bila telah sampai waktunya yang telah disepakati, pihak
yang meminjam wajib mengembalikan barang yang dipinjamnya
kepada pemiliknya.
Dari kedua jenis perjanjian pinjam meminjam tersebut, yakni
perjanjian al-Qardh dan perjanjian al-‘Ariyah, memiliki karakteristik
yang berbeda, dengan perincian sebagai berikut: Pertama, Perjanjian
al-‘Ariyah, menurut definisi as-Sarkashi dan para ulama Mazhab
Maliki, yaitu pengalihan kepemilikan terhadap manfaat tanpa
mengharapkan imbalan (kompensasi), sedangkan ulama mazhab
Syafi’i dan Hambali memberikan definisi secara sederhana tentang
perjanjian pinjam meminjam sebagai pemberian izin kepada orang
lain untuk mengambil manfaat dari suatu benda yang dimiliki tanpa
77

adanya imbalan. Pada konteks ini, menurut Wahbah az-Zuhaili146,


perjanjian pinjam meminjam memiliki karakteristik sebagai perjanjian
pinjam meminjam terletak kepada sisi pengambilan manfaatnya secara
langsung, tanpa harus ada pemberian kompensasi dari pihak yang
meminjam. Perjanjian al-‘Ariyah merupakan jenis perjanjian pinjam
meminjam yang bersifat umum, yang objeknya melulu adalah barang
yang dimanfaatkan.
Kedua, Perjanjian al-Qardh. Menurut perspektif syariah,
sebagaimana yang dipapar pada Bab I, perjanjian utang piutang
diistilahkan dengan nama al-Qardh. Menurut perspektif syariah, al-
Qardh sebagai perjanjian bernama, maka al-Qardh dalam pembahasan
Yusuf as-Sabatin147 adalah harta yang diberikan oleh kreditur
(pemberi hutang) kepada debitur (yang berhutang) sebagai pinjaman
untuk dikembalikan kepada kreditur yang nilai pinjamannya sama
pada waktu yang telah disepakati. Berpijak dari definisi ini, menurut
Yusuf as-Sabatin, perjanjian utang piutang bermakna al-Qath’u
(memutus). Dari pengertian inilah menurut perspektif syariah, harta
yang diambil debitur itulah yang disebut al-Qardh sebab kreditur
memotong sebahagian dari harta miliknya. Istilah al-Qardh secara
bahasa merupakan masdhar dari qaradha asy-syai’-yaqridhuhu, yang
berarti dia memutusnya. Dikatakan, qaradhtu asy-syai’ a bil-miqradh,
terjemahan secara literal artinya aku memutus sesuatu dengan gunting,
sehingga dalam konteks pengertian ini, perjanjian utang piutang
adalah perjanjian untuk memberikan sesuatu kepada seseorang yang
mana orang bersangkutan berjanji membayarnya dengan nilai yang
sama.
Berdasarkan penjelasan tersebut, perjanjian utang piutang
perspektif syariah, yang diistilahkan dengan akad al-Qardh,
merupakan bentuk dari perjanjian pinjam meminjam. Perjanjian utang
piutang, bagaimanapun juga, merupakan perjanjian pinjam meminjam
yang objeknya adalah uang atau alat tukar yang memiliki nilai
berharga dalam transaksi barang dan jasa. Berdasarkan uraian peneliti
tentang karakteristik perjanjian utang piutang dalam beberapa
perspektif hukum, untuk ringkasnya peneliti menjabarkannya dalam
bentuk bagan berikut ini:

146
Wahbah az-Zuhaili, Finacial Transactions In Islamic
Jurisprudence Volume I, Terjemahan oleh Mahmoud A El Gamal, dari Al-
Fiqh Al-Islami wa ‘Addilatuh, Dar Al-Fikr, Damaskus, 2001, h. 605.
147
Yusuf as Sabatin, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala
Kapitalis, Al-Azhar Press, Bogor, 2011, h. 364.
78

Dari bagan yang dipaparkan peneliti, dapat disimpulkan


bahwa karakteristik perjanjian utang piutang, secara mendasar
bertumpu kepada dua karakteristik, yaitu pertama meletakkan uang
sebagai kerangka utama objek perjanjian, dan kedua kreditur memiliki
hak tagih serta debitur dibebani kewajiban untuk melunasi utangnya.
Perjanjian utang piutang merupakan bentuk spesies dari perjanjian
pinjam meminjam yang dalam istilah syariah dikenal dengan nama al-
‘ariyah. Konteks pinjam meminjam dalam pengertian al-Ariyah
adalah pengertian bersifat umum yaitu aqad berupa pemberian
manfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada
imbalan dengan tidak merusak atau mengurangi benda itu ketika
dikembalikan148.
Perlu juga dipahami perbedaan bentuk perjanjian utang
piutang dalam perspektif syariah yang dikenal dengan nama ad-Dain.
Pada perjanjian jenis ini didalamnya memang terjadi utang piutang,
tetapi basisnya adalah jual beli atau ijarah (sewa menyewa), bukan
berbasis kepada uang sebagai pokok perjanjian. Utang piutang
berbasis ad-Dain terjadi pada sebuah transaksi muamalah yang
mengharapkan konpensasi, misalnya pada jual beli yang dilakukan
dengan mekanisme pembayaran yang dilakukan secara angsuran
(cicilan atau kredit), artinya disini berlaku pembayaran secara tempo

148
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K Lubis, Hukum Perjanjian
dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 133.
79

berjangka yang dilakukan oleh pembeli, sesuai kesepakatan, yang


tempo pembayarannya bisa per-hari, per-minggu, per-bulan, atau
mungkin saja per-tahun.

Keberadaan perjanjian utang piutang dalam konteks


keseluruhan pembahasan ini, yaitu yang masuk dalam kategori al-
Qardh, meskipun pada fakta kehidupan hukum di Indonesia berwujud
dalam berbagai bentuk praktiknya, seperti pada perjanjian kredit di
bank atau pada fakta perjanjian utang piutang dibawah tangan yang
berlangsung pada masyarakat adat di Indonesia, dan juga pada fakta
perjanjian utang piutang di lembaga gadai baik konvensional maupun
syariah. Semua keberlangsungan perjanjian utang piutang tersebut,
secara mendasar akan selalu bertumpu kepada karakteristik perjanjian
yang dibuat secara formal melalui dokumen tertulis guna menjadi
bukti hukum apabila terjadi sengketa diantara para pihak yang
memasuki perjanjian tersebut.
3.2. Analisis Perbandingan Karakteristik Perjanjian Utang
Piutang Menurut Burgerlijk Wetboek dan Syariah
Pada konsentrasi pembahasan ini, peneliti menitikberatkan
kepada pembahasan tentang perbedaan karakteristik yang secara
fundamental dijumpai pada perjanjian utang piutang yang tunduk
dibawah BW dengan perjanjian utang piutang yang tunduk
berdasarkan Hukum Islam. Perbedaan mendasar dari nomenklatur
80

perjanjian utang piutang antara keduanya, tentu saja, sangat


dipengaruhi oleh pijakan ideologi hukum yang menjadi basisnya. BW
pada dasarnya berbasis kepada gagasan ideologi sekulerisme,
sebagaimana sudah dijelaskan, yang menihilkan unsur spiritualistik
sedangkan syariah berbasis kepada kewahyuan sebagai karakteristik
dasarnya, sehingga nilai-nilai hukum berbasis ideologi sekulerisme
tidak akan mungkin bertaut dengan nilai-nilai hukum berbasis syariah.
3.2.1. Analisis Karakteristik Perjanjian Utang Piutang Menurut
Burgerlijk Wetboek
Apabila ditilik secara seksama karakteristik perjanjian utang
piutang yang diatur dalam BW, meniscayakan para pihak untuk bebas
dalam menetapkan bunga sebagai tambahan pokok utang yang
dibebankan kepada debitur ketika debitur hendak mengembalikan
hutangnya kepada kreditur pada jangka yang telah ditetapkan. Istilah
bunga yang biasanya dikenal dalam perjanjian utang piutang dapat
berarti tambahan atas pokok hutang yang dibeban kepada debitur
ketika melakukan pengembalian pinjaman kepada kreditur, namun
pada prinsipnya perjanjian utang piutang menurut BW tidak selalu
harus diikuti dengan bunga, sebab dalam BW sendiri tidak
menetapkan bunga sebagai kewajiban atau keharusan yang
dibebankan kepada debitur, namun sesuai asas kebebasan berkontrak
dan asas konsensualisme yang dianut BW, mengenai persyaratan
pencantuman bunga dan besarnya bunga, adalah diserahkan kepada
pihak yang membuat perjanjian tersebut. Terserah kepada para pihak
apakah akan memperjanjikan ataukah tidak. Pasal 1765 BW
menegaskan tentang kebolehan memperjanjikan bunga dalam
perjanjian utang piutang. Artinya, dalam konteks penormaan
perjanjian utang piutang dalam perspektif BW, penentuan bunga
diperbolehkan untuk diperjanjikan ataupun tidak.
Menurut paparan Gatot Supramono149, bunga yang
diperjanjikan itu biasanya ditentukan oleh pihak kreditur. Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 4434 K/Pdt/ 1986 tanggal 20 Agustus
1988, bunga yang telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak tetap
mengikat dan harus dilaksanakan. Selanjutnya, Gatot Supramono
menjelaskan bahwa bunga yang tidak diperjanjikan tidak mewajibkan
debitur untuk membayarnya, akan tetapi jika debitur membayar bunga
yang tidak diperjanjikan menurut Ketentuan Pasal 1766 Ayat (1) BW,
maka tidak dapat dituntut kembali, maupun mengurangi utang
pokoknya. Sebaliknya bunga yang telah diperjanjikan, mewajibkan
debitur untuk membayar sampai pada pengembalian utang pokoknya

149
Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada
Media Grup, Jakarta, 2014, h. 25.
81

lunas, termasuk jika terjadi wanprestasi pengembalian utang melewati


batas yang telah ditentukan.
Penjelasan tersebut, sekali lagi memberikan gambaran tentang
postur perjanjian utang piutang menurut BW, yang meniscayakan
adanya tambahan dari pokok utang kepada debitur apabila memang
sejak semula diperjanjikan untuk itu. Bila ditelisik lagi bahwa BW
menghasilkan karakteristik postur perjanjian utang piutang yang
demikian itu, sebenarnya bukan hal yang aneh sebab BW memang
dirancang oleh para pembuatnya dengan basis sekulerisme, yaitu
peniadaan nilai-nilai dimensi spiritualisme. Penihilan nilai-nilai
spiritualistik tersebut, pada akhirnya BW menciptakan satu postur
perjanjian yang berdiri atas dasar kebebasan berkontrak (freedom of
contract) dengan individualisme sebagai basis penyangganya.
3.2.2. Analisis Karakteristik Perjanjian Utang Piutang
Perspektif Syariah
Perbedaan karakteristik perjanjian utang piutang antara
syariah dengan BW, yaitu syariah sangat melarang keras
pengembalian utang yang menyelisihi harga pokok berupa tambahan
baik itu sedikit maupun banyak. Setiap tambahan atas pokok hutang
yang dalam perspektif BW disebut bunga, maka syariah menyebutnya
sebagai riba. Terdapat beberapa dalil serta pendapat dikalangan
banyak ulama yang melarang riba, yaitu sebagai suatu perbuatan yang
diharamkan oleh syariah.
Penjelasan tentang ketidakbolehan memberikan pokok
tambahan pada perjanjian utang piutang, dipertegas lagi oleh Syaikh
Ahmad Ad-Da’ur tentang keharaman memberikan tambahan pada
pokok modal dalam transaksi perjanjian utang-piutang, meskipun
tambahan itu motifnya berdasarkan sukarela dari kedua belah pihak
(pemberi pinjaman-penerima pinjaman). Syaikh Ahmad Ad-Da’ur,
dengan menukil sejumlah besar pendapat ulama salaf (ulama klasik),
memberikan kesimpulan tentang ketidakbolehan memberikan
tambahan pokok dalam perjanjian utang piutang, sebab tambahan atas
pokok yang dinisbatkan dalam perjanjian utang piutang, apapun
bentuk, nama dan istilah lainnya, tetap dikategorikan sebagai riba.
Hukum pelarangan terhadap riba menurut Syaikh Ahmad
Ad-Da’ur, adalah bersifat tetap dan permanen serta tidak
mengandung illat150, juga tidak dapat dikatakan bahwa pelarangan riba
menurut nash al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW,
tergantung kepada ada atau tidaknya illat. Riba dengan penamaan
sebagai tambahan pokok yang baik yang disepakati oleh pemberi

150
Atha bin Khalil, Ushul Fiqh (terjemahan), Pustaka Thariqul
Izzah, Bogor, 2008, h. 107-132, dan Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqh
Membangun Paradigma Berpikir Tasyriri, Al-Azhar Press, 2003, h. 98-105.
82

utang atau penerima utang ataupun yang lahir sebagai persetujuan


kehendak antara keduanya, tetap dipandang sebagai sesuatu yang
tidak boleh dilakukan. Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW,
menurut argumentasi Syaikh Ahmad Ad-Da’ur, telah menutup celah
peluang bagi riba, apapun motivasi maupun alasannya. Tambahan
pokok yang dimaksud, meskipun jumlahnya tidak berlipat ganda atau
sebab didalamnya tidak ada unsur kezaliman yang didapat oleh
penerima pinjaman (pihak yang berutang).
Atas dasar itulah, karakteristik dasar perjanjian utang piutang
menurut syariah adalah motivasi kebajikan karena ada nilai-nilai
spirituil yang diharapkan oleh seseorang. Dari sinilah dapat dipahami
bila perjanjian utang piutang tidak boleh didorong oleh motif-motif
mencari keuntungan tambahan modal (profit oriented). Adapun
menyangkut kehendak dari para pihak untuk melakukan perjanjian
dengan kerangka untuk mencari keuntungan (profit), sesungguhnya
syariah tidak memberikan larangan, akan tetapi mekanisme
perjanjiannya tidak boleh melalui perjanjian utang-piutang. Syariah
telah menyiapkan mekanisme perjanjian tersendiri apabila para pihak
hendak mengambil keuntungan (profit) dari perjanjian tersebut.
Mekanismenya boleh melalui perjanjian jual beli (al-bay’), kerja sama
perseroan (syirkah mudharabah), dan bidang jasa (ijarah).
3.3. Hakikat Perjanjian Gadai sebagai Perjanjian Bersifat
Accessoir dalam Perjanjian Utang Piutang Perspektif
Syariah
Menurut Rais Sasli151, perjanjian gadai perspektif syariah
pada dasarnya merupakan media penguat terhadap perjanjian pokok
yang secara prinsip harus dibangun atas dasar tabarru’ tanpa mencari
keuntungan, sehingga perjanjian gadai yang keberadaannya tidak bisa
dipisahkan dari perjanjian pokok utang piutang maka dalam konteks
untuk memaknainya secara filosofis, ia pada hakikatnya merupakan
bentuk perjanjian yang memuat kalusula pemberian jaminan oleh
pihak berutang atau muqtaridh/rahin (sebagai pemberi jaminan)
kepada pihak yang berpiutang atau muqridh/murtahin (penerima
jaminan). Pemaknaan secara mendalam (secara ontologis)
dilekatkannya perjanjian gadai pada perjanjian utang piutang, adalah
untuk memberikan kepercayaan atau dalam tataran syariah yaitu
memperkuat amanah yang diberikan oleh pemberi gadai (rahn)
kepada penerima gadai (muqridh) dalam rangka pembayaran jumlah
utang sesuai kesepakatan yang telah ditetapkan.
Atas dasar itulah, perjanjian gadai menurut syariah,
semestinya tidak diletakkan sebagai bentuk perjanjian yang benar-

151
Rais Sasli, Pegadaian Syariah (Konsep Sistem Operasional:
Suatu Kajian Kontemporer), UI Press, Jakarta, 2005, h. 20.
83

benar terpisah dari perjanjian utang piutang itu sendiri, termasuk juga
mengubah nomenklatur filosofis perjanjian gadai (akad rahn) sebagai
salah satu celah untuk mencari keuntungan, sebab filosofi ontologis
perjanjian gadai (akad rahn) memang diletakkan dalam kerangka
penguat kepercayaan bagi penerima gadai (muqridh) yang
berkedudukan sebagai pihak berpiutang terhadap pengembalian utang
yang diperjanjikan oleh pihak berhutang (muqtaridh) dikemudian hari.
Perjanjian gadai sekaligus juga merupakan jaminan pelunasan utang
masa akan datang.
Apabila mencermati dalil yang tercantum dalam al-Qur’an
Surah al-Baqarah Ayat (283), terjemahannya:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara


tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis
maka hendaklah ada barang tanggungan yang
diserahterimakan kepada yang berpiutang”.

Dalil tersebut, yang menjadi landasan perjanjian gadai


perspektif syariah, sesungguhnya sebagai penguat amanah
(kepercayaan) oleh muqtaridh (pemberi gadai) bahwa pihak berutang
berjanji akan mengembalikan sejumlah utangnya kepada pihak
berpiutang (muqridh/penerima gadai). Keberadaan perjanjian gadai,
sekaligus untuk mendeskripsikan adanya hubungan transaksi utang
piutang antara muqtaridh dengan muqridh apabila seandainya
hubungan transaksi utang piutang antara keduanya (muqtaridh dengan
muqridh) tidak sempat dibakukan secara tertulis, sehingga perjanjian
gadai dapat menjadi bukti materil selain alat bukti tertulis dikemudian
hari bahwa telah terjadi perjanjian utang piutang antara para pihak,
yaitu antara pihak kreditur dengan debitur.
Penafsiran terhadap al-Qur’an Surah al-Baqarah Ayat (283),
menurut Wahbah az-Zuhayli dalam tafsir al-Wahidi adalah untuk
menjaga kepercayaan bersama, sekaligus menjadi pegangan bagi
pihak yang berpiutang terhadap pihak yang berutang. Konteks ayat ini
menurut tafsir Wahbah az-Zuhayli152 tersebut, bahwa bila terjadi
hubungan muamalah seperti dalam transaksi utang piutang yang
berlangsung selama dalam perjalanan dan tidak memungkinkan
adanya saksi penulis, maka yang paling memungkinkan adalah
penyerahan barang jaminan kepada pihak yang berpiutang.
Keberadaan barang jaminan inilah sebagai instrumen untuk menjaga
kepercayaan sekaligus untuk ketentraman hati bagi pihak yang
berpiutang, meskipun sebahagian ulama ada yang berpendapat bahwa
konteks Surah al-Baqarah Ayat 283 hanyalah dalam konteks kondisi

152
Wahbah az-Zuhaili, Loc. Cit.
84

musafir atau dalam perjalanan, yaitu pada penggalan ayat “…wa ing
kuntum ‘alaa safari walam tajiduu kaatiban fa rihaanum
maqbuudhoh,…”, tetapi dalam penjelasan tafsir al-Wahidi dan juga
tafsir al-Munir sebenarnya hakikat yang hendak ditangkap dalam ayat
ini adalah untuk menegaskan kekokohan amanah (kepercayaan) dalam
perjanjian utang piutang kendatipun tidak dalam kondisi perjalanan.
Untuk mempertegas hakikat ontologis perjanjian gadai, dapat
disimak dari Hadits Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah, Ummul Mukminin153 bahwa:

Sesungguhnya Rasulullah SAW telah membeli makanan dari


orang Yahudi (dengan tempo pembayaran) untuk jangka
waktu tertentu. Baginda pun menggadaikan baju besinya
kepadanya” (H.R. Bukhari-Muslim)154.

Pemaknaan filosofis hadits Nabi Muhammad SAW ini, adalah


untuk memperjelas keberadaan gadai dalam perspektif syariah yaitu
meletakkan nilai-nilai amanah bagi pemberi gadai (al-muqtaridh)
terhadap penerima gadai (al-muqridh). Perbuatan Rasulullah SAW
yang diuraikan secara deskriptif dalam hadits, tatkala beliau
menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi, sesungguhnya
dapat dimaknakan keteladanan amanah yang ditunjukkan oleh
Baginda Nabi untuk membayar utangnya, meski akad utang piutang
yang berlangsung adalah melibatkan individu orang Yahudi, yang
nota bene tidak se-aqidah dengan kaum muslimin, sehingga tindakan
menggadai baju besi oleh Nabi Muhammad SAW, menjadi contoh
keteladanan bagi kaum muslim untuk senantiasa konsisten dengan
amanah sebagai pihak yang berhutang sekalipun kepada non-muslim,
maka keberadaan perjanjian gadai inilah sebenarnya merupakan
pengokoh keseriusan bagi pihak berutang (al-Muqtaridh/pemberi
gadai) untuk amanah dalam merealisasikan kewajibannya membayar
utang pada tempo yang sudah disepakati.
Hakikat ontologis perjanjian gadai yang diletakkan dalam
kerangka sebagai amanah untuk memperkuat komitmen pihak
pemberi gadai (muqtaridh) yang kelak untuk memenuhi kewajiban
membayar utangnya dikemudian hari maka untuk itu secara
epistemologis keberlangsungan perjanjian gadai haruslah memenuhi

153
Voa Islam, “Subhanallah, Aisyah dan Shafiyah Adalah Ummul
Mukminin Cerdas”, (25 Februari 2014), https://www.voa-islam.com/, diakes
15 Desember 2016.
154
Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman, Bisnis dan
Muamalah Kontemporer, Al-Azhar Freshzone Publishing, Bogor, 2014, h.
211.
85

beberapa ketentuan yakni: Pertama, penyerahan barang yang menjadi


objek gadai bersifat riil (nyata) dan langsung (qabdh al-marhun) pada
saat perjanjian gadai dinyatakan oleh para pihak (muqtaridh dan
muqridh). Karakteristik perjanjian gadai yang bersifat riil serta
langsung menurut Hafid Abdurrahman dan Yahya
Abdurrahman155, adalah merujuk kepada nash al-Qur’an Surah al-
Baqarah Ayat 283156, yang menyatakan fa rihanun maqbudhah
(hendaklah ada barang tanggungan yang diserahterimakan kepada
pihak yang berpiutang).
Kedua, barang yang digadaikan (al-marhun) berlaku untuk
apa saja yang boleh diperjualbelikan, seperti motor, mobil, emas,
perak, dan sebagainya. Kriterianya, barang tersebut memiliki nilai jual
serta memenuhi standar halal menurut syariah. Standar halal bagi
barang gadai (al-marhun) merupakan kemutlakan, sehingga barang
yang statusnya haram menurut syariah, seperti daging babi, khamar,
dan sejenisnya, patung, termasuk juga barang yang sudah berstatus
wakaf, tidak boleh menjadi objek gadai.
Ibnu Qudamah157, menjelaskan tentang penyerahan barang
secara tunai dan langsung sebagai basis yang mendasari nomenklatur
parjanjian gadai menurut perspektif syariah, sebagai berikut:

Berkata (pengarang kitab Mukhtasar al-Khiraqi): Gadai hanya


sah jika barang yang boleh digadaikan tersebut
diserahterimakan. Maksudnya gadai tersebut hanya berlaku
jika sudah terjadi serah terima. Pandangan ini juga dinyatakan
oleh Abu Hanifah, as-Syafii dan sebahagian pengikut kami
(Hambali). Barang yang ditakar atau ditimbang, status
gadainya tidak berlaku (mengikat), kecuali dengan adanya
serah terima.

Pandangan Ibnu Qudamah lalu diperkuat oleh argumentasi


Hafid Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman158, bahwa konteks
perjanjian gadai menjadikan objek gadai (al-marhun) harus
diserahterimakan ditempat yang tidak boleh dihutang, sehingga pada
kasus barang yang ditimbang atau ditakar menjadi objek gadai semisal
emas dan perak, tetap wajib disertai dengan serah terima secara nyata
(riil) dan langsung, sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah, Imam

155
Ibid.
156
Muzakir S, “Regulasi Hutang Piutang Dalam Tinjauan Ekonomi
Islam (Telaah Terhadap Surah al-Baqarah Ayat 282)”, Iqitishaduna Jurnal
Ekonomi Islam, Volume 5 Nomor 1 Juni 2014, h. 64-77.
157
Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman,op.cit., h. 212.
158
Ibid.
86

as-Syafii dan sebahagian Mazhab ImamHambali. Begitu pula


pendapat yang menyatakan keharusan serah terima barang dalam
pelaksanaan perjanjian gadai sebagai suatu transaksi yang bersifat
mutlak, tanpa melihat status barang agunan apakah ditakar, ditimbang,
maupun tidak. Serah terima harus dilakukan secara riil dan tunai.
Berdasarkan paparan peneliti mengenai makna filosofis
perjanjian gadai perspektif syariah ditinjau secara ontologis dan
epistemologis, maka secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa hakikat
ontologis perjanjian gadai adalah untuk menjaga nilai amanah
(kepercayaan) bagi pemberi gadai (al-Muqtaridh/Rahin) sebagai
bentuk komitmen dalam rangka memenuhi kewajibannya melunasi
sejumlah utang yang telah disepakati waktunya dengan pihak
penerima gadai (al-Muqridh/Murtahin).
Hakikat ontologis dan epistemologis perjanjian gadai
perspektif syariah, juga akan bertumpu kepada satu titik temu makna
aksiologis, yaitu dari sudut kemanfaatan bagi pihak Muqtaridh/Rahin
maupun bagi Muqridh/Murtahin itu sendiri. Dari segi kemanfaatan
bagi Muqtaridh/Rahin, maka tatkala perjanjian gadai telah meletakkan
barang agunan sebagai objek gadai, maka keberadaan barang agunan,
sekaligus akan menjadi kompensasi pelunasan beban jumlah utang
yang pihak Muqtaridh/Rahin perjanjikan kepada pihak
Muqridh/Murtahin apabila sudah jatuh tempo, sebab bagaimanapun
juga dalam perspektif syariah, pelunasan hutang merupakan kewajiban
mutlak seorang muslim159.
Dari segi kemanfaatan pihak muqridh (pihak berpiutang),
perjanjian gadai secara aksiologis, menjadi instrumen untuk
ketenangan hati pihak muqridh itu sendiri terhadap sebahagian
hartanya yang sudah terpotong yang kemudian beralih menjadi milik
pihak muqtaridh (Pihak berhutang). Bagi pihak muqridh jika hutang
sudah jatuh tempo, maka sudah menjadi hak mutlak bagi dia untuk
melakukan hak tagih kepada pihak muqtaridh.
Penjelasan peneliti tentang makna aksiologis perjanjian gadai
perspektif syariah dari segi kepentingan kreditur (pihak yang
berpiutang), juga relevan mengkaitkannya dalam konteks maqashid
syariah yang menjadi hikmah dari tujuan hukum perjanjian gadai itu
sendiri, sebab syariah yang ditetapkan oleh Allah SWT, didalamnya
pasti mengandung maksud-maksud dan hikmah160 tertentu161.

159
Said Yai Ardiansyah, “Bahaya Kebiasaan Berhutang”, (3 Maret
2009), https://muslim.or.id/13427-bahaya-kebiasaan-berhutang.html, diakses
tanggal 21 Agustus 2016.
160
Ika Yunita Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar
Ekonomi Islam Perspektif Maqashid al-Syariah, Kencana Prenada Media
Grup, Jakarta, 2014, h. 44.
87

Pada hakekatnya, perjanjian gadai sekaligus berfungsi


menjaga serta memelihara harta yang telah diambil separuhnya oleh
pihak berutang selama jangka waktu tertentu, namun syariah juga
telah menetapkan rambu-rambu sebagai batasan bagi pihak berhutang,
yang hanya diperkenankan memotong nilai dari harga barang gadai
setara dengan jumlah nilai pokok yang dipinjam oleh pihak yang
berhutang. Syariah melarang keras memotong nilai harga barang gadai
yang melebihi nilai jumlah utang, karena kelebihan tersebut
merupakan salah satu bentuk pungutan riba yang diharamkan oleh
syariah. Pungutan riba menurut Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar162,
merupakan praktik pengambilan harta dengan cara yang batil (cara
yang tidak dibenarkan) oleh syariah.
3.4. Analisis Perbedaan Gadai Konvensional dengan Gadai
Syariah dalam Sistem Hukum Jaminan Di Indonesia
Pencermatan peneliti terhadap praktik gadai konvensional
maupun praktik gadai syariah, pada titik singgungan tertentu memiliki
pokok persamaan, yakni kedua praktik gadai tersebut, menetapkan
penormaan perjanjian gadai sebagai perjanjian bersifat asesoir
(perjanjian tambahan) yang melekat pada perjanjian utang piutang.
Gadai konvensional maupun gadai syariah meletakkan hak kebendaan
bagi pihak kreditur sebagai penerima gadai, terhadap kewenangan
untuk menahan barang jaminan milik debitur guna pelunasan utang
jika debitur lalai atau tidak mampu melaksanakan prestasinya.
Peneliti juga menyimpulkan bahwa gadai konvensional
dengan gadai syariah, dalam sistem hukum jaminan di Indonesia,
memiliki titik singgung yang sama-sama meletakkan kaidah-kaidah
penormaan terhadap keberadaan barang gadai sebagai barang jaminan
untuk kepentingan pelunasan seluruh utang debitur apabila debitur
kelak, tidak mampu melaksanakan prestasinya terhadap kreditur163.
Gadai syariah meskipun memiliki segi-segi persamaan dengan gadai
konvensional, menurut analisis peneliti, keduanya tetap memiliki segi-
segi perbedaan secara mendasar, yang dapat diperincikan sebagai
berikut:
Pertama, perbedaan landasan ideologis yang melandasi
hubungan perjanjian antara pemberi gadai dengan penerima gadai.
Gadai konvensional meletakkan dasar penormaan antara pemberi
gadai dengan penerima gadai yang tegak atas landasan ideologi
hukum liberalisme. Alasan peneliti menyebut gadai konvensional di

161
Jasser Auda, Maqashid al-Syari’ah As Philosophy of Islamic Law
A Systems Aproach, Islamic Book Trust, Kuala Lumpur, 2010, h. 20-21.
162
Ibid., h. 168-169.
163
Ade Sofyan Mulazid, Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2016, h. 27.
88

Indonesia, tegak atas landasan penormaan berbasis liberalisme, sebab


gadai konvensional diatur menurut ketentuan dalam BW yang
merupakan warisan produk kolonial Belanda164. Berbeda dengan
gadai syariah, yang meletakkan dasar penormaan antara murtahin
dengan rahin pada landasan ideologi Islam. Yakni atas prinsip-prinsip
syariah yang merupakan prinsip-prinsip berasal dari ketentuan wahyu
yang diatur dalam al-Quran dan Sunnah Nabi SAW. Fatwa Dewan
Syariah Nasional MUI Nomor 25/DSNMUI/ III/2002 tentang Rahn,
pada bahagian konsideran menimbang secara tegas menetapkan bahwa
salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan
masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai
jaminan utang yang cara tersebut harus dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah.
Kedua, pada gadai konvensional secara normatif,
dimungkinkan bagi pihak pegadaian untuk menarik tambahan bunga
dari jumlah pokok pinjaman. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1158
BW. Pada gadai syariah, penetapan bunga oleh murtahin sebagai
tambahan dari pokok pinjaman, sangat dilarang karena merupakan
transaksi yang mengandung unsur riba. Begitu juga, Penetapan biaya
pemeliharaan marhun, tidak boleh ditetapkan berdasarkan besarnya
jumlah pinjaman, Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor
25/DSNMUI/ III/2002 tentang Rahn menetapkan “besar biaya
pemeliharaan dan penyimpananMarhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman”.
Ketiga, gadai konvensional hanya membolehkan barang
bergerak dan berwujud sebagai barang jaminan. Ketentuan ini,
dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1152 BW. Berbeda dengan gadai
syariah, marhun sebagai jaminan tidak hanya barang bergerak tetapi
juga dimungkinkan barang tidak bergerak. Para ulama dan fuqaha
sepakat yang dapat dijadikan sebagai marhun, adalah barang berwujud
yang memiliki nilai ekonomi serta dapat diperjualbelikan, kecuali
pendapat mazhab Maliki yang tidak memperbolehkan jaminan pada
jual beli mata uang (sharf) yang harus dilakukan secara tunai. Barang
jaminan (marhun), menurut para fuqaha atau ulama, dapat berupa apa
saja, yang penting memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: 1)
Dapat Diperjualbelikan; 2) Bermanfaat; 3) Jelas; 4) Milik Rahin; 5)
Bisa Diserahterimakan; 6) Tidak Bersatu Dengan Harta Lain; 7)
Dikuasai Oleh Rahin; 8) Halal165.

164
Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum
Nasional, Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum Di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, h. 19.
165
Syafe’i, Rahmat, Op. Cit., h. 22-23.
89

Perbedaan gadai konvensional dengan gadai syariah yang


diuraikan peneliti tersebut, kesimpulannya bahwa gadai syariah
dengan gadai konvensional dari segi kelembagaan landasan
filosofisnya, akan tampak perbedaannya, yakni lembaga gadai syariah
bertumpu pada transaksi keuangan yang semata-mata untuk kebajikan
sosial dan tolong menolong dengan asas taawun sebagai landasan
pokoknya. Berbeda dengan gadai konvensional yang membolehkan
untuk menarik keuntungan finasial, karena Pasal 1158 BW menjadi
dasar penormaan bagi kebolehan lembaga pegadaian sebagai kreditur
untuk menarik bunga (interest) dari transaksi utang piutang yang
dibangun dengan pihak nasabah sebagai pihak debitur.
3.5. Keberadaan Asas Hukum Sebagai Landasan Pokok
Perjanjian Perspektif Syariah
Pembahasan tentang signifikansi asas hukum dalam hukum
Islam (syariah) sesungguhnya merupakan salah satu pilar untuk
menjaga orisinalitas ruh Islam itu sendiri agar tidak keluar dari
mainstream kewahyuan sebagai karakteristik Islam yang mencirikan
sebagai agama samawi166.
Berdasarkan penjelasan Abd Shomad, keberadaan asas
hukum dalam hukum Islam pada dasarnya adalah untuk menjaga
kebenaran Islam, yang menurut Abd Shomad, kebenaran tersebut ada
yang berasal dari dalam diri manusia dan ada yang datang dari luar.
Meskipun kebenaran ada yang berasal dari dalam diri manusia sebagai
yang dijelaskan Abd Shomad, akan tetapi yang menjadi titik sentrum,
manusia tidak boleh keluar dari mainstream Al-ruju ila Al-Qur’an wa
Al-Sunnah, yaitu prinsip tetap kembali merujuk kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Landasan prinsip ini menurut Abd Shomad, dibangun
atas dasar teori fitrah yang menyatakan bahwa fitrah adalah potensi
inheren dalam diri manusia sejak ia dilahirkan.
3.6. Analisis Keterkaitan Asas-Asas Perjanjian yang
Mendasari Karakteristik Hubungan Hukum Dalam
Perjanjian Utang Piutang Di Pegadaian Syariah dengan
Asas Taawun sebagai Landasan Pokoknya
Perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, secara
fundamental, tegak atas dasar bangunan asas taawun (tolong
menolong) yang menjadi poros utamanya. Sehingga kajian tentang
perjanjian utang piutang perspektif syariah, apapun pendekatannya,
tidak boleh mengabaikan asas taawun sebagai alat analisisnya, namun
meskipun demikian, pada sisi lain kita tidak boleh juga mengabaikan
asas-asas akad lainnya yang menjadi pilar pelengkapnya, sebagaimana

166
TM Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1975, h. 73. Lihat juga Zainuddin Ali, Hukum Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006, h. 45.
90

merujuk asas-asas akad dalam syariah yang diatur dalam Peraturan


Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Untuk memperoleh analisis yang lebih mendalam, pada
paparan bagan berikut, peneliti mendeskripsikan rangkaian hubungan
asas taawun dengan beberapa asas perjanjian syariah, yang termaktub
dalam postur perjanjian utang piutang di pegadaian syariah.

Berdasarkan bagan 8, akan tampak hubungan penormaan yang


saling melengkapi antara asas taawun dengan asas-asas perjanjian
syariah dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah. Asas
taawun yang berposisi sebagai titik sentral yang menjadi penopang
fundamental bagi tegaknya perjanjian utang piutang berbasis syariah,
memang tidak bisa berdiri sendiri tanpa didukung oleh asas-asas
perjanjian syariah lainnya. Pada konteks penempatan asas kebebasan
berkontrak, para pihak dalam perjanjian yaitu muqridh dengan
muqtaridh sebelum memasuki perjanjian, kedua belah pihak tidak
91

boleh menyatakan kehendaknya karena terpaksa tetapi harus lahir dari


wujud kehendak bebas masing-masing pihak, namun kebebasan
berkontrak dimaksud, tetap dalam batasan koridor yang tidak
melanggar syariah.
Bagi pegadaian syariah (muqridh) dan nasabah (muqtaridh)
yang mengekspresikan kehendak bebasnya baik pada tahap pra
perjanjian maupun tahap pembuatan perjanjian sampai kepada
pelaksanaannya, adalah tetap berporos kepada asas taawun sebagai
sebuah kesatuan yang terintegral yang tidak bisa dipisahkan. Asas
taawun menjadi batasan koridor secara syariah dalam
pengejawentahan asas kebebasan berkontrak di perjanjian utang
piutang tersebut. Kehendak bebas muqridh sebagai pemberi pinjaman
tentu saja didorong oleh motivasi tolong menolong kepada muqtaridh
yang sangat membutuhkan modal pinjaman. Begitu pula bagi pihak
muqtaridh, kebebasan untuk menggunakan modal pinjaman yang
diberikan kepadanya juga seharusnya dalam batasan-batasan syariah.
Artinya, pihak muqtaridh pada saat yang sama tidak dibenarkan
menggunakan modal yang dipinjamnya itu secara bebas yang tidak
didasarkan kepada syariah.
Kebebasan berkontrak yang lahir sebagai kehendak tanpa
paksaan untuk memasuki perjanjian dari muqridh maupun muqtaridh
juga bersinggungan dengan asas sukarela yang dikenal dalam kajian
asas-asas perjanjian syariah. Asas sukarela sebagaimana yang telah
peneliti paparkan, merupakan refleksi kehendak para pihak (muqridh
dan muqtaridh) yang mewujudkan konsensus antara keduanya.
Konsensus tidak akan dapat terwujud tanpa didasari oleh kesukarelaan
masing-masing pihak. Hubungan variabel antara asas sukarela dengan
asas taawun dalam hubungan hukum antara muqridh dengan
muqtaridh, akan tampak dari wujud kesepakatan dari pihak muqridh
karena dorongan untuk memberikan pertolongan kepada pihak
muqtaridh yang memang sangat membutuhkan modal pinjaman.
Asas itikad baik, selanjutnya, yang menjadi instrumen
pelengkap tegaknya hubungan hukum antara muqridh dengan
muqtaridh di pegadaian syariah bila dikaitkan dengan asas taawun,
akan tampak dari niat jujur para pihak yang melangsungkan perjanjian
tersebut. Kejujuran dan itikad baik ibarat dua sisi mata uang yang
tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Atas dasar itulah, asas taawun
meniscayakan keharusan niat jujur dari masing-masing pihak yaitu
muqridh dan muqtaridh. Kejujuran memang pada dasarnya lahir dari
niat seseorang yang tidak bisa diukur “seberapa dalamnya”, ia hanya
bisa diukur melalui perbuatan lahiriah dan ucapan manusia. Kejujuran
muqridh adalah menolong muqtaridh yang sedang mengalami
kesulitan finansial, sedangkan kejujuran muqtaridh adalah memegang
amanah mengembalikan modal yang dipinjamnya itu.
92

Hubungan penormaan antara asas amanah yang menyangkut


kepercayaan (trust) dengan asas itikad baik, secara mendasar, amanah
dan itikad baik merupakan dua aspek yang juga tidak dapat
dipisahkan. Itikad baik mendorong seseorang untuk bertindak amanah
sebaliknya itikad buruk berimplikasi pada hilangnya kepercayaan
seseorang. Kerangka penegakan asas taawun di lembaga pegadaian
syariah, juga bersinggungan dengan asas amanah, yaitu pada sisi
muqridh akan menjaga amanah barang agunan yang dititipkan
kepadanya sebagai konsekuensi logis bahwa barang agunan sekedar
jaminan yang diletakkan oleh pihak muqtaridh sehingga penjagaan
amanah tersebut, tidak lain dalam kerangka koridor motivasi tolong
menolong, sedangkan pada sisi muqtaridh, amanah juga penting guna
menjaga kepercayaan pengembalian modal yang dipinjamnya sesuai
kesepakatan.
Asas amanah dan asas taawun saling terintegrasi dalam
konteks hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh di
lembaga pegadaian syariah. Asas taawun menjadi basis
fundamentalnya yang menghendaki terwujudnya saling kepercayaan
kedua pihak. Kepercayaan penting bagi muqridh untuk memastikan
bahwa modalnya tetap berada dalam batas-batas yang peruntukannya
tidak melanggar syariah sedangkan bagi muqtaridh merasa tetap aman
dengan barang miliknya sebagai agunan yang untuk sementara waktu
masih dalam penguasaan muqridh.
Hubungan hukum antara muqridh dan muqtaridh di pegadaian
syariah, memang semestinya tegak atas dasar asas kehati-hatian. Pada
pembahasan sebelumnya, peneliti telah menjelaskan tentang
signifikansi asas kehati-hatian dari sudut kepentingan muqridh dengan
muqtaridh, yaitu pada tataran yang memungkinkan muqridh berhati-
hati menjaga barang agunan yang dimanahkan kepadanya, sedangkan
dari segi muqtaridh, dituntut berhati-hati menggunakan modal yang
dipinjamnya. Muqtaridh tidak hanya dituntut berhati-hati
menggunakan modal yang dipinjam agar tetap berada dalam koridor
syariah, namun juga dituntut memperhatikan pengelolaan manajemen
modal (uang) yang dipinjamnya, sebab yang paling penting bagi
muqtaridh adalah pengembalian modal pinjaman sesuai kesepakatan.
Kehati-hatian muqridh untuk menjaga barang agunan milik
muqtaridh yang berada dalam penguasaannya, merupakan salah satu
wujud moral kebajikan yang atas dasar itulah muqridh pada galibnya
tidak dibenarkan menarik manfaat dari barang agunan itu sendiri. Bagi
pihak muqtaridh, kehati-hatian menggunakan modal yang dipinjam
termasuk pengembaliannya secara tepat waktu juga merupakan wujud
moral kebajikan. Nilai moral kebajikan yang terkandung dalam
perjanjian utang piutang di pegadaian syariah itu merupakan bagian
integral wujud asas taawun. Untuk menjaga nilai-nilai moral
93

kebajikan sebagai spirit bagi tegaknya asas taawun maka asas kehati-
hatian sangat diperlukan terutama dalam kerangka membangun
hubungan saling kepercayaan dari masing-masing pihak. Hubungan
saling kepercayaan meniscayakan sikap amanah satu sama lain yang
didorong oleh spirit moral kebajikan dengan tetap bertumpu kepada
asas taawun sebagai basis utamanya.
Asas taawun merupakan basis utama perjanjian utang piutang
di pegadaian syariah namun tidak berarti menafikan asas saling
menguntungkan antara muqridh dengan muqtaridh, namun
keuntungan yang dimaksud dalam konteks ini, adalah keuntungan
berbasis spiritual-transendental, bukan dalam hitungan kalkulasi
profit-oriented. Artinya, bagi pihak muqridh sendiri meskipun modal
yang dipinjamkan tidak mendapatkan kelipatan nilai keuntungan
profit menurut hitungan ekonomi kapitalisme, tetapi jaminan
keuntungan pahala yang berlipat dari Allah SWT, sangat mungkin
didapatkan oleh muqridh di hari kemudian. Suatu hari yang pada saat
itu, nilai materi menurut ukuran dunia, seperti emas, perak, dan
perdagangan, tidak berarti apa-apa disisi Allah SWT. Bahkan dalam
salah satu hadits Nabi Muhammad SAW, Allah SWT memberikan
jaminan perlindungan di hari pengadilan (yaumil hisab) kepada
pemberi hutang yang mau memutihkan hutangnya kepada pihak
berhutang yang memang sama sekali tidak mampu melunaskan
hutangnya.
Konteks hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh,
telah dipahami secara fundamental, yaitu tidak dalam kerangka profit-
oriented, tetapi pada nilai-nilai kebajikan yang orientasinya adalah
saling tolong menolong (taawun). Preposisi hubungan hukum
demikian meniscayakan kedua pihak berada dalam posisi yang setara
(taswiyah). Inilah yang menjadi dasar berpikir bahwa muqridh dan
muqtaridh tidak berada dalam posisi yang sub-ordinat dengan tetap
mengedepankan saling menjaga amanah. Dimensi amanah pula yang
menjadi karakteristik bangunan asas kesetaraan muqridh dengan
muqtaridh. Kedua pihak membangun komunikasi kemitraan yang
berlandaskan kesadaran transendental baik dari pihak muqridh, dari
pihak muqtaridh maupun atau juga dari keduanya. Hubungan
kemitraan itu tetap mengedepankan asas taawun sebagai poros utama
perjanjian. Inilah yang peneliti maksudkan sebagai hubungan yang
saling mengintegrasi antara asas taawun dengan asas kesetaraan
(taswiyah).
Penegakan asas kesetaraan dalam perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, dengan asas taawun sebagai poros utama
perjanjian, tentu saja berimplikasi saling memberikan informasi
terbuka sebagai patokan akuntabilitas (pertanggungjawaban)
pelaksanaan perjanjian. Para pihak tidak dibenarkan saling
94

memproteksi informasi yang dianggap sangat penting dalam kerangka


hubungan perjanjian utang piutang di pegadaian syariah. Informasi itu
baik menyangkut kepribadian kontrak para pihak, rincian kejelasan
pelaksanaan perjanjian, termasuk status dan kondisi barang agunan
(al-Al-marhun). Kejelasan dan rincian informasi yang diberikan para
pihak merupakan konsekuensi logis penegakan asas keterbukaan
(transparansi), sebagaimana yang peneliti telah uraikan pada sub
pembahasan sebelumnya. Ada hubungan yang sangat erat dan
melengkapi antara asas taawun dengan asas keterbukaan, yang
menurut peneliti hubungannya dapat dilihat dari sisi
pertanggungjawaban pelaksanaan isi perjanjian. Terutama dari sisi
muqtaridh yang tidak boleh lalai menjaga komitmen untuk
mengembalikan modal yang dipinjamnya itu serta menggunakan
sesuai peruntukannya yang tidak melanggar syariah. Asas taawun
sebagai poros utama perjanjian tersebut, akan semakin memperkuat
keterusterangan pihak muqtaridh untuk jujur mengembalikan modal
serta menggunakannya secara tepat menurut timbangan syariah.
Pembahasan asas taawun juga terkait dengan asas kemampuan
yang sangat diperlukan untuk menakar beban tanggung jawab masing-
masing pihak dalam perjanjian, yaitu muqridh dan muqtaridh.
Hubungan antara asas taawun dengan asas kemampuan, menjadi
begitu penting ketika motivasi pemberian pinjaman modal oleh
muqridh kepada muqtaridh didorong oleh moral kebajikan yang
basisnya adalah tolong menolong sehingga muqridh seharusnya tidak
boleh mengabaikan kemampuan finasial muqtaridh dari segi
pengembalian modal serta batasan jumlah modal yang hendak
dipinjam. Bingkai perjanjian utang piutang di pegadaian syariah yang
secara fundamental tegak atas dasar asas taawun maka kemampuan
finansial muqtaridh akan menjadi barometer yang pada praktiknya
ditakar berdasarkan nilai harga barang yang dijadikan sebagai agunan
(al-marhun). Pada sisi lain, mengingat transaksi utang piutang tidak
didasarkan kepada profit oriented, maka seharusnya pula bagi pihak
muqtaridh tidak boleh mengabaikan komitmennya sebagai pihak yang
berhutang. Muqtaridh ketika memasuki perjanjian, ia telah
menyatakan kehendak kepada muqridh sebagai pihak yang memiliki
kemampuan untuk mengembalikan modal yang dipinjamnya kelak
dikemudian hari. Komitmen kemampuannya itu diwujudkan dalam
bentuk jaminan barang agunan yang diserahkan penguasaannya
kepada muqridh. Kelak apabila muqtaridh sesuai dengan waktu yang
disepakati, ia tidak memiliki kemampuan finasial untuk
mengembalikan modal yang dipinjam, maka dalam kondisi demikian,
barang agunan yang dijadikan sebagai jaminan, dimungkinkan untuk
dijual berdasarkan kesepakatan kedua pihak, yang hasil penjualannya
dapat digunakan untuk melunasi jumlah uang yang dipinjam pihak
95

muqtaridh tersebut. Batasan harga yang dijadikan sebagai jumlah nilai


untuk melunasi hutang muqtaridh, tentu seharusnya berdasarkan
jumlah proporsi nilai hutang, dan apabila ada kelebihan harga dari
hasil penjualan barang agunan, tidak boleh diambil seluruhnya pihak
muqridh tetapi diserahkan kepada pihak muqtaridh yang menjadi
haknya.
Karakteristik perjanjian utang piutang di pegadaian syariah
yang mengedepankan moral kebajikan yang terwujud melalui taawun,
secara mendasar menciptakan hubungan hukum antara muqridh
dengan muqtaridh tidak boleh atas dasar saling mencari keuntungan
profit. Konteks hubungan hukum demikian, meniscayakan antara
keduanya saling transparan dalam memberikan informasi terutama
terkait kepribadian muqtaridh sebagai pihak yang memasuki
perjanjian. Keterbukaan informasi para pihak itu, sangat berguna
dalam konteks hubungan yang saling memberikan kemudahan satu
sama lain. Pihak muqtaridh memberikan kemudahan kepada muqridh
terkait dengan pengembalian modal yang dipinjam termasuk juga
upaya muqridh untuk melakukan penjualan barang agunan (al-Al-
marhun) sebagai solusi untuk melunaskan hutang muqtaridh yang
telah jatuh tempo yang pada saat bersamaan pihak muqtaridh benar-
benar tidak cukup memiliki kemampuan finansial melakukan
pelunasan. Pihak muqridh juga memberikan kemudahan kepada
muqtaridh berupa keringanan yang bila dimungkinkan kesempatan
untuk memperpanjang jatuh tempo pelunasan hutangnya. Saling
memberikan kemudahan antara pihak muqridh dengan muqtaridh
merupakan konsekuensi logis dari penegakan asas kemudahan (taisir).
Penegakan asas kemudahan (taisir) dalam perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah pada dasarnya berbanding lurus dengan penegakan
asas taawun sebagai poros utama perjanjian. Saling memberikan
kemudahan satu sama lain juga merupakan bagian integral
perwujudan saling tolong menolong antara antara para pihak dalam
perjanjian. Niat seseorang dalam suatu perjanjian jika dilatarbelakangi
oleh motif tolong menolong, maka dapat dipastikan berbarengan
dengan upaya untuk saling memberikan kemudahan satu sama lain
yang tentunya bila dalam perspektif syariah, juga mestinya tidak boleh
menafikan batasan norma dari Allah SWT sebagai pembuat hukum.
Sejumlah asas pelengkap yang menjadi pilar kerangka
bangunan perjanjian utang piutang di pegadaian syariah sebagaimana
yang peneliti telah uraikan, tidak bisa dikatakan berdiri sendiri tetapi
saling mengintegrasi satu sama lain dengan tetap bertumpu kepada
asas taawun sebagai pijakan utamanya. Hubungan yang saling
mengintegrasi antara asas yang satu dengan yang lainnya tetap dalam
batas-batas koridor yang tidak melanggar syariah. Batasan yang tidak
melanggar syariah tersebut yaitu pada apa yang dihalalkan atau
96

dibolehkan oleh Allah SWT. Atas dasar itu, urgensi asas sebab yang
halal tetap menjadi prioritas utama kerangka hubungan hukum antara
muqridh dengan muqtaridh. Pada titik singgung yang sama, asas
taawun hanya diperbolehkan tegak menurut batasan yang dihalalkan
oleh Allah SWT. Syariah sudah menetapkan koridor tentang tolong
menolong sesama muslim hanya atas dasar kebaikan. Syariah sangat
melarang keras hubungan tolong menolong atas dasar bukan untuk
kebaikan atau malah pada perbuatan jahat yang merugikan orang lain.
Firman Allah dalam al-Quran Surah Al-Maidah Ayat (2) bahwa: “…
tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Ayat tersebut menjadi dalil normatif untuk dapat menjadi
pijakan secara implisit tentang hubungan simetris antara asas taawun
dengan asas sebab yang halal, pada konteks hubungan hukum
perjanjian antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah.
Tolong menolong menjadi dasar fundamental kerangka hubungan
hukum para pihak di pegadaian syariah tetapi aspek kehalalan objek
perbuatan hukum menjadi sebuah kemutlakan yang tidak boleh
dilanggar. Melalui pijakan asas sebab yang halal sebagai salah satu
pilar penyangga perjanjian di pegadaian syariah maka para pihak
dalam membangun kerangka hubungan hukum dalam klasula
perjanjian utang piutang haruslah memuat tujuan perjanjian yang jelas
melalui perhitungan yang cermat guna terhindar dari praktik spekulasi
atau maisir. Ketidakjelasan tujuan perjanjian dalam klausula yang
disepakati oleh muqridh dan muqtaridh dapat berakibat perjanjian
batal menurut syariah.
Kerangka hubungan hukum antara muqridh dengan
muqtaridh dalam klausula perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah, sebagaimana yang telah peneliti uraikan pada sub
pembahasan sebelumnya, mengharuskan kejelasan tujuan serta objek
perjanjian secara rinci. Maksud pemuatan tujuan serta objek perjanjian
secara jelas dan terinci merupakan manifestasi dari penegakan asas
luzum atau asas tidak berubah dalam perjanjian. Urgensi penegakan
asas tidak berubah (luzum) dalam perjanjian utang piutang berbasis
syariah, sangat berkaitan erat dengan penegakan asas taawun sebagai
poros utamanya. Hubungan asas taawun dengan asas tidak berubah,
bertitik tumpu kepada aspek moralitas berbasis kebajikan yang
menjadi spirit dari motivasi keberlangsungan perjanjian. Pihak
muqridh dengan muqtaridh mengekspresikan apa yang termuat dalam
klausula perjanjian secara jelas dan konkrit sebagai sebuah tuntutan
moral sekaligus juga merupakan tuntutan syariah.
Asas taawun sangat bersinggungan dengan moralitas para
pihak dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah. Atas dasar
inilah, para pihak seharusnya secara moral dapat menakar apa yang
97

menjadi tujuan sesungguhnya perjanjian utang piutang tersebut. Pihak


muqridh seharusnya memahami makna perjanjian utang piutang
semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada muqtaridh bukan
didasari oleh tujuan untuk mencari kemanfaatan finansial. Bila
muqridh menjalankan itikadnya berbasis aqidah Islam, maka manfaat
yang diperolehnya adalah keuntungan ukhrawi, yaitu pahala dari
Allah SWT. Begitu juga bagi pihak muqtaridh dituntut memiliki
komitmen moral untuk menggunakan modal yang dipinjamnya untuk
tujuan-tujuan jelas yang benarkan menurut koridor syariah, sedangkan
barang agunan yang dijadikan sebagai objek perjanjian gadai, juga
seharusnya jelas keberadaan kehalalannya baik dari segi zat maupun
dari segi asal usul barang agunan itu diperoleh muqtaridh.
Nomenklatur perjanjian utang piutang di pegadaian syariah
yang meniscayakan asas luzum sebagai salah satu pilar penopangnya,
sekali lagi menurut argumentasi peneliti, tetap sangat bersinggungan
dengan asas taawun sebagai poros utama perjanjian. Maknanya bahwa
asas luzum akan tetap menjaga konsistensi ciri khas perjanjian utang
piutang berbasis syariah terutama yang dipraktikkan di lembaga
pegadaian syariah yang mengedepankan asas tolong menolong
sebagai poros utamanya. Bila perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah dipreteli yang hanya untuk mendapat keuntungan finasial,
menurut peneliti merupakan sebuah pelanggaran norma yang
menyimpang dari asas luzum sebagai salah satu pilar penyangga
perjanjian. Asas luzum menjadi penyangga untuk tetap
mempertahankan karakter perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah sebagai bentuk perjanjian yang basis utamanya tetap tegak
atas dasar asas taawun. Salah satu hal mendasar penting yang juga
menjadi pilar penyangga perjanjian utang piutang di pegadaian syariah
adalah penegakan asas tertulis (al-Kitabah). Keberlangsungan
perjanjian utang piutang di pegadaian syariah memang dipersyaratkan
syariah untuk diwujudkan secara tertulis, sebagaimana perintah Allah
SWT dalam al-Quran Surah al-Baqarah Ayat (282):… Dan
hendaklah seorang di antara kamu menuliskannya dengan benar…
Berdasarkan ketentuan ayat tersebut, asas tertulis (al-kitabah)
dapat menunjukkan hubungan dengan asas taawun, yakni pada wujud
pendokumentasian perjanjian antara muqridh dengan muqtaridh,
sebagai alat bukti tertulis yang mengekspresikan hubungan hukum
perjanjian antara keduanya yang seharusnya berlandaskan asas
taawun. Artinya, dokumen tertulis dimaksud, dapat menjadi alat bukti
yang mengejawentahkan hubungan hukum antara muqridh dengan
muqtaridh, yang benar-benar atas landasan tolong menolong untuk
meraih kebajikan dan pahala di sisi Allah.
98

BAB IV
PENORMAAN KLAUSULA BEBERAPA AKAD YANG
TERINTEGRASI PADA PERJANJIAN UTANG PIUTANG
DALAM KERANGKA TEGAKNYA ASAS TAAWUN DI
PEGADAIAN SYARIAH
4.1. Argumentasi Hukum Yang Mendasari Gagasan
Pembentukan Lembaga Pegadaian Syariah Di Indonesia
Sejak Terbitnya PP Nomor 1 Tahun 1990 (Sebuah
Tinjauan Sejarah Hukum)
Sejarah terbentuknya lembaga pegadaian syariah di Indonesia,
bermula dari keluarnya PP Nomor 10 Tanggal 1 April 1990 tentang
Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian Menjadi
Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Salah satu muatan penting dari
PP Nomor 10 Tahun 1990, yaitu yang termaktub dalam Pasal 5 Ayat 2
yang menetapkan, ketentuan sebagai berikut:

Perusahaan bertujuan: a. Turut melaksanakan dan menunjang


pelaksanaan kebijaksanaan dan program Pemerintah dibidang
ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui
penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai; b.
Pencegahan praktik ijin pegadaian gelap, riba,dan
pinjaman tak wajar lainnya.

Ketentuan Pasal 5 Ayat 2 PP Nomor 10 Tahun 1990, tersebut


mengisyaratkan status baru perusahaan gadai di Indonesia setelah
berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum), yaitu pencegahan segala
bentuk praktik gadai yang mengarah ke pungutan riba. Muatan isi PP
Nomor 10 Tahun 1990, kendati secara keseluruhan, tidak menyebut
secara tegas tentang legitimasi pembentukan Lembaga Pegadaian
Syariah di Indonesia, tetapi ketentuan Pasal 5 Ayat 2 PP Nomor 10
Tahun 1990, yang mengatur larangan praktik gadai dengan
mekanisme pemungutan riba, maka isi ketentuan ini sesungguhnya
sudah merupakan dasar legitimasi bagi peluang terbentuknya lembaga
pegadaian berbasis syariah, sebab hanya lembaga pegadaian syariah
yang merupakan satu-satunya lembaga yang dapat menjamin
penerapan praktik gadai tanpa pemungutan riba, sedangkan praktik
gadai konvensional bila ditilik dari sudut pandang pembentukannya
secara historis di Indonesia, pada awal berdirinya, pada tahun 1901
berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor
131Tanggal 12 Maret 1901yaitu berdirinya Rumah Gadai pertama
yang terletak di Suka Bumi Jawa Barat, yang diatur dalam Staatsblaad
Tahun 1901 Nomor 131, sebenarnya praktik gadai yang diciptakan
Pemerintah Kolonial Belanda itu, secara argumentasi hukum, tidak
terlepas dari praktik pungutan riba.
99

Dari sudut pandang historis pendirian lembaga pegadaian di


Indonesia secara filosofis, baik pada masa Kolonialisme Belanda serta
masa pendudukan militer Jepang, tetap sama yaitu melegitimasi
pemungutan riba. Setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, lembaga pegadaian di
Indonesia, diperkuat keberadaannya menjadi Perusahaan Negara (PN),
yaitu sejak 1 Januari 1961 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 1969. Perubahan status lembaga pegadaian di Indonesia
sebagai Perusahaan Negara, meskipun demikian, tidak merubah
karakteristik lembaga ini sebagai lembaga keuangan non-bank yang
meniscayakan pemungutan bunga dari nasabah yang meminjam
uang167.
Pada perkembangan selanjutnya, saat PP Nomor 10 Tahun
1990 yang diperbaharui dengan keluarnya Peraturan Pemerintah
Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian,
lembaga pegadaian dirubah akhirnya statusnya dari perusahaan negara
menjadi Perusahaan Umum. Hal terpenting dari perubahan status
lembaga pegadaian di Indonesia menjadi Perusahaan Umum,
sebagaimana yang sudah disinggung peneliti, yaitu filosofi dasar
Perum Pegadaian di Indonesia yang seharusnya memperhatikan segala
praktik pegadaian yang tidak meniscayakan pemungutan riba.
Ketentuan ini, juga semakin dipertegas dengan keluarnya Peraturan
Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum
Pegadaian sebagai revisi dari PP Nomor 10 Tahun 1990. Pasal 7
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000, menyatakan bahwa

Maksud dan tujuan perusahaan adalah..menghindarkan


masyarakat dari gadai gelap, praktik riba dan pinjaman tidak
wajar lainnya.

Terbitnya PP Nomor 10 Tahun 1990, telah menginspirasi para


cendekiawan muslim di Indonesia untuk menggagas pendirian
Lembaga Pegadaian Syariah. Gagasan pendirian Lembaga Pegadaian
Syariah di Indonesia, secara mendasar adalah berawal dari keinginan
umat Islam di Indonesia, untuk menata kembali transaksi
muamalahnya yang murni berbasis syariah sekaligus sebagai upaya
menghindari transaksi-transaksi yang dapat menjerat ke jebakan
riba168.

167
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, Alfabeta, Bandung, 2011,
h. 84-85.
168
Ahmad Rodoni, Lembaga Keuangan Syariahi, Cetakan I, Zikrul
Hakim, Jakarta, 2004, h. 188.
100

Desakan beberapa pihak di Indonesia untuk pendirian


pegadaian syariah semakin menguat, yang pada akhirnya pada bulan
Januari 2003, didirikanlah Lembaga Pegadaian Syariah pertama di
Indonesia yang dinamakan Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS)
Cabang Dewi Sartika di Jakarta. Menyusul kemudian terbentuknya
beberapa cabang Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) di beberapa
kota di Indonesia, seperti ULGS di Surabaya, Makassar, Semarang,
Surakarta,dan Yogyakarta, yaitu pada Bulan September 2003.
Pendirian beberapa ULGS di Indonesia semakin mendapat kekuatan
setelah keluarnya Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Nomor
1 Tahun 2004 tentang Bunga (interest/fa’idah), pada tanggal 24
Januari 2004, yang dalam fatwa MUI tersebut, menetapkan
kesimpulan hukum syara’ sebagai berikut:
1. Praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba
yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah.
Dengan demikian, praktik pembungaan uang termasuk salah satu
bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
2. Praktik pembungaan uang tersebut hukumnya adalah haram, baik
dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian,
Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh
individu.
Eksistensi Lembaga Pegadaian Syariah Indonesia, semakin
mendapat penguatan lagi, ketika Fatwa DSN MUI, diterbitkan sebagai
dasar secara syariah bagi pendirian pegadaian berbasis syariah di
Indonesia, yang antara lain:
1) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No :
25/DSNMUI/ III/2002, tentang Rahn;
2) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor
26/DSNMUI/III/2002, tentang Rahn Emas;
3) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor
09/DSNMUI/ IV/2000, tentang Pembiayaan Ijarah;
4) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor
10/DSNMUI/IV/2000 tentang Wakalah;
5) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor
43/DSNMUI/ VIII/2004, tentang Ganti Rugi.
Pendirian Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia, dengan
mengacu kepada terbitnya Fatwa DSN MUI Nomor 1 Tahun 2004
tentang Bunga, tentu saja yang paling urgen yang hendak ditata dalam
kerangka transaksi ekonomi dan keuangan bagi mayoritas muslim di
Indonesia, adalah pencegahan dari praktik muamalah yang menjerat
ke dalam jebakan ribawi. Praktik ribawi itu, antara lain terjadi dalam
pelaksanaan transaksi utang piutang. Perjanjian gadai atau akad rahn
itu sendiri merupakan turunan dari perjanjian utang piutang sebagai
pilar utamanya. Pemaknaannya bahwa, akad rahn hanya merupakan
101

akad yang bersifat pelengkap yang melekat dari perjanjian utang


piutang itu sendiri.
Penerbitan beberapa Fatwa DSN MUI selanjutnya,
sebagaimana yang sudah peneliti uraikan, misalnya tentang rahn, rahn
emas, pembiayaan ijarah, dan wakalah, sebenarnya tidak lepas dari
upaya untuk mencegah semakin merebaknya praktik transaksi
keuangan yang menjerat para pihak ke transaksi yang mengandung
unsur ribawi, sekaligus untuk menata kembali praktik perjanjian utang
piutang sebagaimana yang berlangsung di beberapa lembaga
pegadaian, yang sebahagian besar nasabahnya dari kalangan muslim
sendiri, kepada nomenklatur perjanjian utang piutang yang murni
berbasis syariah. Perjanjian utang piutang berbasis syariah, adalah
model perjanjian yang tidak membolehkan adanya persyaratan
memungut keuntungan atau meminta tambahan. Syariah menetapkan
bahwa perjanjian utang piutang adalah perjanjian yang tegak atas
prinsip tolong menolong atau atas dasar kebajikan sosial, sehingga
ketika sebuah postur perjanjian utang piutang yang didalam
klausulanya mensyaratkan pemungutan bunga (interest), maka
tindakan itu dipandang sebagai sebuah pelanggaran menurut
perspektif syariah, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Quran
Surah Ali Imran Ayat 130, bahwa

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan


riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan

Untuk memperkuat dasar argumentasi, ditinjau secara historis


lahirnya Lembaga Pegadaian Syariah, maka dapat dicermati isi
muatan Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn,
tanggal 26 Juni 2002. Muatan fatwa ini pada bagian konsideran
menimbang sub c menyatakan:

…bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-


prinsip syariah, Dewan Syariah Nasional memandang perlu
menetapkan fatwa untuk dijadikan pedoman tentang Rahn,
yaitu menahan barang sesuai dengan jaminan utang…

Muatan fatwa tersebut, sesungguhnya merupakan argumentasi


yang menjadi dasar bagi kedudukan rahn (gadai syariah) sebagai
bagian terpenting dari perjanjian utang piutang berbasis syariah.
Legitimasi lembaga pegadaian di Indonesia terutama pegadaian
syariah, semakin mendapat penguatan dengan diberlakukannya
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2011
Tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (Perum)
102

Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), yang pada Pasal 2


Ayat 1 Peraturan Pemerintah ini, menegaskan tentang tujuan pendirian
pegadaian terutama yang berbasis syariah, untuk kepentingan
membantu masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
Sejak kehadiran Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
pada tahun 2011, melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 21
tentang OJK, yang lembaga ini didirikan untuk melakukan tugas dan
fungsi pengawasan terhadap kegiatan lembaga jasa keuangan di
Indonesia baik lembaga perbankan maupun non-perbankan, secara
terpadu, independen, dan akuntabel, maka Lembaga OJK tersebut,
melalui peraturan yang dikeluarkan yaitu Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 31 /POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian, pada
akhirnya kehadiran pegadaian syariah di Indonesia sampai saat ini,
semakin diakui keberadaannya, sebagai salah satu lembaga jasa
keuangan berbasis syariah yang bertujuan memajukan perekonomian
masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat yang berada pada
level ekenomi menengah kebawah.
Apabila mencermati perkembangan historis regulasi pendirian
pegadaian syariah di Indonesia, maka pemaknaan yang dapat
disimpulkan, bahwa meskipun kehadiran Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2011 yang diperkuat lagi dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31 /POJK.05/2016, sebagai
dasar legitimasi bagi dimungkinkan hadirnya lembaga pegadaian
syariah, yang pada akhirnya lembaga pegadaian syariah tersebut
sampai saat ini tetap eksis di wilayah Indonesia, namun pokok
terpenting adalah postur perjanjian utang piutang sebagai pilar utama
perjanjian di lembaga pegadaian syariah tersebut, benar-benar
berlangsung di atas landasan syariah yang menafikan pemungutan
bunga (interest). Pegadaian syariah yang hadir di Indonesia,
diharapkan menjadi pegadaian syariah yang tidak berjalan atas dasar
motivasi komersil namun berjalan atas dasar motivasi tolong-
menolong, yang berarti bahwa pilar utama perjanjian utang piutang
yang berlangsung di pegadaian syariah itu sendiri tegak atas dasar asas
taawun. Urgensi asas taawun sebagai fondamen pokok perjanjian
utang piutang yang berlangsung di pegadaian syariah, pada
hakikatnya, agar pegadaian syariah dapat mempertahankan
eksistensinya sebagai satu-satunya lembaga keuangan syariah yang
mengutamakan kebajikan sosial.
Pada perkembangan nomenklatur perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, yang dipraktikkan, sejak berdirinya pada bulan
Januari 2003 hingga sekarang (sampai penelitian ini dibuat), masih
menggunakan beberapa bentuk postur perjanjian yang diintegrasikan
satu sama lain, yang akad-akad tersebut, mencakup akad qardh, akad
rahn, dan akad ijarah. Pada praktiknya, postur akad rahn dan akad
103

ijarah yang terintegrasi pada perjanjian utang piutang tersebut, belum


mengalami perubahan format klausula kontrak (akad), sebagaimana
yang peneliti akan uraikan pada bab selanjutnya. Semua akad yang
terintegrasi pada perjanjian utang di pegadaian syariah tersebut,
bagaimanapun juga, menyandarkan semua isi klausulanya yang mesti
berlandaskan kepada prinsip-prinsip syariah, sebagaimana yang
diamanatkan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia. Prinsip syariah yang paling urgen menjadi basis utama
semua akad yang terintegrasi di dalamnya, adalah prinsip syariah yang
terwujud dalam suatu asas, yakni asas taawun.
Hingga saat ini (pada saat penelitian ini dibuat), belum ada
Undang-undang169 yang secara spesifik mengatur tentang legitimasi
penuh keberadaan pegadaian syariah di Indonesia termasuk
mekanisme akad yang berlangsung di dalamnya, namun demikian
legitimasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun
2011 yang diperkuat lagi dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 31 /POJK.05/2016, paling tidak telah menjadi peluang dimasa
datang bagi digodoknya produk undang-undang yang baru guna
memperkuat legitimasi keberadaan Lembaga Pegadaian Syariah di
Indonesia, sedangkan keberadaan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia, sebagai legitimasi syariah bagi pendirian
Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia, meskipun Fatwa DSN MUI
ini, belum mendapat tempat dalam hirarki peraturan perundang-
undangan negara kita sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan, namun sesungguhnya, Fatwa DSN MUI secara
dogmatik dapat dipandang sebagai sebuah doktrin hukum, yang
dikeluarkan secara formal oleh para fuqaha (ahli hukum) di Indonesia
(ulama) yang duduk di lembaga Majelis Ulama Indonesia, berkenaan
dengan penggalian norma-norma hukum menurut sudut pandang
syariah (hukum Islam), terhadap isu-isu hukum yang dihadapi oleh
umat Islam di Indonesia.
Berdasarkan uraian peneliti tentang perkembangan historis
regulasi pendirian lembaga pegadaian syariah di Indonesia, maka
dapat disimpulkan bahwa ada keinginan kuat masyarakat muslim di
Indonesia, untuk menata kembali hubungan transaksi keuangan satu
sama lain, yang murni berlandaskan kepada prinsip-prinsip syariah,
terutama dalam konteks kehadiran lembaga pegadaian syariah.

169
Maksudnya pada saat kajian penelitian ini dibuat, belum ada
satupun regulasi setingkat undang-undang, yang mengatur secara khusus
tentang Lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia.
104

4.2. Penegakan Asas Taawun dalam Pelaksanaan Lelang Marhun


Di Pegadaian Syariah
Mata rantai hubungan hukum antara muqridh dengan
muqtaridh adalah utang piutang, sehingga pijakan hubungan
hukumnya adalah tolong menolong dan kebajikan sosial. Disinilah
urgensi asas taawun, sebagaimana penjelasan peneliti pada paparan
sebelumnya, yang semestinya menjadi landasan pokok dari hubungan
hukum antara muqridh dengan muqtaridh. Artinya, asas taawun tetap
menjadi poros hubungan hukum para pihak di pegadaian syariah.
Penegakan asas taawun dalam pelaksanaan lelang marhun di
pegadaian syariah, tampak secara jelas ketika sebelum pelaksanaan
lelang, pihak murtahin seharusnya melakukan pendekatan secara
persuasif, guna mencari solusi terbaik bagi pelunasan utang rahin.
Pada saat penetapan harga jual marhun, juga melibatkan peran rahin
untuk melakukan penaksiran harga jual marhun yang dianggap pantas
dan layak. Ini penting dilakukan, untuk mempertegas keterbukaan
(transparansi) harga jual marhun yang sesungguhnya harus diketahui
kedua belah pihak. Selain itu, pertimbangan syariah lainnya dalam
penjualan marhun juga mesti diperhatikan murtahin seperti tidak
boleh ada unsur gharar (penipuan), maisir (untung-untungan), riba,
dan bathil. Selain itu, penjualan marhun harus memperhatikan objek
marhun dari segi aspek kehalalan barang yang sesuai standar syariah.
Penegakan asas taawun dalam pelaksanaan lelang marhun di
pegadaian syariah, tidak hanya tampak saat sebelum penjualan
marhun tetapi juga saat purna jual, yakni kelebihan harga dari hasil
penjualan marhun menjadi milik rahin sedangkan bila pada jangka
waktu yang ditentukan yakni selama 1 (satu) tahun, kelebihan harga
tidak diambil maka murtahin akan menyalurkannya ke lembaga Badan
Amil, Zakat, Infaq, dan Shadaqah (BAZIS) atau Baitul Maal Wat
Tamwil (BMT). Berbeda dengan pegadaian konvensional,
sebagaimana hasil penelitian Siti Suhaina170kelebihan hasil penjualan
barang gadai, apabila tidak diambil oleh nasabah selama 1 (satu) tahun
sejak tanggal pelelangan, maka kelebihan harga tersebut menjadi
milik perusahaan gadai.
Perbedaan mendasar antara pegadaian syariah dengan
pegadaian konvensional, dalam memperlakukan kelebihan harga
barang lelang jika tidak diambil nasabah sebagai pihak peminjam
uang/modal (pihak berhutang), selama jangka waktu 1 (satu) tahun,
sebagaimana paparan sebelumnya, menurut peneliti, disebabkan oleh
perbedaan filosofis kedua lembaga tersebut. Lembaga pegadaian

170
Siti Suhaina, “Perbandingan Hukum Gadai Syariah dengan Gadai
Konvensional Pada PT Pegadaian Pekanbaru”, JOM Fakultas Hukum,
Volume III, Nomor 2, Oktober 2016, h. 9
105

konvensional, tidak hanya untuk memberikan bantuan finansial


kepada nasabah peminjam tetapi juga bertujuan menarik manfaat atau
keuntungan finansial dari motif pemberian bantuan pinjaman finansial
tersebut, sedangkan bagi pegadaian syariah, motif untuk memberikan
bantuan pinjaman kepada nasabah memang murni atas landasan
tolong menolong dan kebajikan sosial, yang tidak diperbolehkan bagi
pegadaian syariah itu sendiri untuk mencari celah yang
memungkinkan penarikan keuntungan finansial.
4.3. Penyelesaian Sengketa Antara Muqridh dengan Muqtaridh
Berbasis Asas Taawun
Perselisihan atau sengketa para dalam perjanjian
kemungkinan bisa terjadi pada masa akan datang, dalam konteks
perselisihan atau sengketa yang mungkin timbul antara muqridh
dengan muqtaridh, ketentuan Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 tentang Rahn telah memberikan instrumen yang dapat
ditempuh para pihak dalam akad rahn apabila timbul sengketa, yakni
melalui musyawarah sebagai langkah pertama, jika musyawarah tidak
mencapai titik temu yang disepakati para pihak, langkah selanjutnya
dapat ditempuh melalui Badan Arbitrase Syariah.
Musyawarah dalam perspektif syariah, merupakan model
penyelesaian sengketa, yang sangat dianjurkan. Beberapa dalil dalam
nash al-Quran, antara lain menunjukkan urgensi musywarah yang
seharusnya ditempuh kalangan muslim ketika sedang menyelesaikan
perkara atau urusan di antara mereka, dinyatakan secara tegas dalam
al-Quran Surah asy-Syura Ayat 38171:

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan


Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka

Begitu pula, pada firman Allah SWT yang lain, menegaskan


tentang musyawarah sebagai karakter bagi setiap muslim,
sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran Surah Ali Imran Ayat 159172:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi

171
Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah,
Teori&Praktik, Kencana Prenada Media Group, Depok, 2014, h. 64.
Musyawarah merupakan karakter setiap muslim, sehingga pada pelaksanaan
musyawarah, hendaknya lebih dikedepankan akhlak yang baik, berlaku
lemah lembut dan tidak kasar.
172
Ibid.
106

berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari


sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Kutipan dua dalil dalam nash al-Quran tersebut, sekaligus


menjadi dasar normatif bagi setiap muslim untuk mengedepankan
musyawarah dalam menyelesaikan perkara atau urusan di antara
mereka. Dasar pemikiran inilah yang menjadi rujukan terutama dalam
konteks penyelesaian sengketa antara muqridh dan muqtaridh yang
seharusnya mengedepankan lebih dahulu musyawarah.
Karakteristik musyawarah, apabila merujuk al-Quran Surah
Ali Imran Ayat 159, yakni berlaku lemah lembut serta
mengedepankan adab-adab yang islami, maka pranata musyawarah
sebagai titik tolak awal untuk menyelesaikan sengketa antara muqridh
dan muqtaridh, menjadi sangat sesuai dengan kerangka hubungan
hukum antara keduanya yang tegak atas landasan asas taawun, yakni
hubungan hukum yang memang benar-benar tegak atas landasan
tolong menolong serta untuk kebajikan sosial.
Filosofi hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh,
tegak atas landasan moral kebajikan dan ketakwaan yang semata-mata
mengharapkan ridho Allah swt, bukanlah hubungan hukum yang
tegak atas landasan kepentingan yang berorientasi profit (komersil).
Tolong menolong atau taawun merupakan poros utamanya, karena
hubungan transaksi keuangan antara keduanya adalah perjanjian utang
piutang. Syariah sangat melarang keras memungut manfaat atau
keuntungan komersil dalam hubungan perjanjian tersebut sebab
merupakan celah yang dapat menjerumuskan keduanya ke jurang riba.
Pihak muqridh maupun muqtaridh, melalui musyawarah,
setidaknya mencari titik temu penyelesaian sengketa di antara
keduanya yang bukan dalam kerangka untuk saling merugikan satu
sama lain atau kepentingan pegadaian syariah mencari keuntungan
kepada pihak nasabah selaku peminjam uang/modal dengan
memanfaatkan kondisi nasabah yang sedang berada dalam kondisi
kesulitan keuangan. Keberadaan musyawarah dalam konteks
demikian, dapat memberikan jaminan penyelesaian sengketa para
pihak di pegadaian syariah yang mengedepankan nilai-nilai kebajikan
sosial, apabila nilai-nilai dalam musyawarah tetap bertumpu kepada
nilai-nilai kesetiakawanan dan kepedulian sosial, sebagaimana yang
107

dijelaskan Taufiq asy-Syawi173 bahwa musyawarah perspektif


syariah, bukan sekedar kesepakatan sepihak tetapi kesepakatan yang
menjaga keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dengan
mengedepankan nilai-nilai solidaritas.
Apabila penyelesaian sengketa antara muqridh dengan
muqtaridh tidak mencapai titik temu melalui musyawarah, maka
langkah selanjutnya penyelesaian sengketa ditempuh melalui Badan
Arbitrase Syariah, sebagaimana ditetapkan oleh Fatwa DSN MUI
Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn pada Ketentuan Penutup
point 1:

Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika


terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah

Penyelesaian sengketa syariah yang ditempuh melalui


arbitrase syariah, sebagaimana antara lain yang diatur dalam Fatwa
DSN MUI tersebut, adalah bentuk penyelesaian sengketa yang
ditempuh melalui jalur di luar proses pengadilan atau yang disebut
jalur non-litigasi. Penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase syariah
di Indonesia, hingga sekarang (ketika disertasi ini ditulis), dalam
sistem hukum postip Indonesia, masih mengacu kepada Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999, merumuskan tentang perjanjian arbitrase, sebagai
berikut:

Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul


arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu
perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum
sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
oleh para pihak setelah timbul sengketa

Ketentuan Pasal 1 Angka (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,


selanjutnya, mengatur bahwa:

173
Tsallis Rifa’I, “Komunikasi Dalam Musyawarah (Tinjauan
Konsep Asyura dalam Islam)”, Jurnal Channel, Volume 3, Nomor 1, April
2015, h. 39.
108

Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak


yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan
pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal belum timbul sengketa

Ketentuan tersebut, menjadi pijakan bagi para pihak yang


sedang bersengketa perdata di Indonesia, untuk menyelesaikan
sengketanya itu melalui jalur di luar proses pengadilan, yakni dengan
menggunakan mekanisme arbitrase. Maknanya, para pihak yang
hendak menempuh penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase,
terlebih dahulu menyatakannya dalam bentuk perjanjian secara
tertulis. Pencantuman arbitrase secara tertulis, berdasarkan ketentuan
tersebut, menurut Ahmad Mujahidin174, terdiri dari 2 (dua) kategori:
1) Pactum de compromitendo, yaitu klausul arbitrase yang tercantum
dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa, dapat juga bersamaan dengan saat pembuatan
perjanjian pokok atau sesudahnya. Ini berarti perjanjian arbitase
tersebut menjadi satu dengan perjanjian pokoknya atau dalam
suatu perjanjian yang tersendiri diluar perjanjian pokok. Oleh
karena itu, perjanjian tersebut dibuat sebelum terjadinya sengketa,
maka diperlukan pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai
perjanjian pokok untuk dapat mengantisipasi kemungkinan-
kemungkinan yang tidak dikehendaki tetapi mungkin saja terjadi
2) Acta compromitendo, yaitu suatu perjanjian arbitrase yang dibuat
oleh para pihak setelah timbul sengketa (acta
compromittendo/akta kompromis), sehingga klausul atau
perjanjian arbitrase ini dapat dicantumkan dalam perjanjian pokok
atau pendahuluannya atau dalam suatu perjanjian tersendiri
setelah timbul sengketa yang berisikan penyerahan penyelesaian
sengketa kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, merupakan payung
hukum bagi penyelesaian sengketa non litigasi di Indonesia dengan
menggunakan mekanisme arbitrase (saat disertasi ini ditulis). Untuk
penyelesaian sengketa syariah dengan menggunakan arbitrase berbasis
syariah, hingga sekarang (saat disertasi ini ditulis) di Indonesia, belum
diatur berdasarkan undang-undang khusus untuk itu. Satu-satunya
ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa syariah
melalui arbitrase syariah adalah Surat Keputusan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Nomor Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 24 Desember
2003 tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS),

174
Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, h. 142.
109

yang isi keputusan ini, antara lain menyatakan bahwa “Mengubah


Nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)”.
Menurut hasil penelitian Muhammad Arifin175, bahwa
arbitrase menurut perspektif syariah, secara etimologis dikenal dengan
sebutan tahkim yang secara literal tahkim berarti mengangkat seorang
wasit atau juru damai. Tahkim berasal dari Bahasa Arab yang diambil
dari kata hakkama, yuhakkimu, tahkiman yang berarti menjadikan
seseorang sebagai penengah dalam sengketa. Istilah tahkim berarti
pengangkatan juru tengah atau wasit oleh para pihak yang bersengketa
dengan tujuan mencari jalan damai. Adapun pengertian tahkim secara
terminologis dalam perspektif syariah, menurut Muhammad Arifin,
sebenarnya tidak berbeda dengan pengertian arbitrase yang dikenal
saat ini, yakni sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan
dengan menunjuk hakam (arbiter) sebagai penengah di antara para
pihak yang bersengketa.
Penunjukan tahkim (arbitrase syariah) didasarkan kepada
kesepakatan bersama para pihak yang bersengketa untuk mengangkat
langsung hakam (arbiter) yang diberi kepercayaan dan kewenangan
untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka secara damai.
Arbitrase bukanlah pengadilan resmi yang ditunjuk oleh negara
melainkan ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa secara suka rela.
Karakteristik arbitrase syariah menurut Muhammad Arifin176,
sebagai berikut: Pertama, cara penyelesaian sengketa melalui hakam
(arbiter) di luar hakim negara; Kedua, penunjukan hakam dilakukan
secara sukarela atas persetujuan para pihak; Ketiga, para pihak
sepakat untuk mentaati keputusan yang dikeluarkan hakam; Keempat,
penyelesaian sengketa dilakukan menurut syariah; Kelima, tujuan
penyelesaian sengketa dilakukan secara damai; dan keenam, putusan
yang ditetapkan oleh hakam bersifat final dan mengikat.
Prinsip penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah,
adalah bertumpu pada prinsip yang mengutamakan perdamaian
dengan berbasis win-win solution. Berpijak dari prinsip ini maka tentu
saja penyelesaian sengketa antara muqridh dan muqtaridh di
pegadaian syariah, senantiasa bertumpu kepada win-win solution yang
berorientasi lebih mengedepankan prinsip perdamaian. Untuk itu,
peran hakam sebagai wasit yang menyelesaian sengketa, juga tidak
boleh melupakan asas taawun sebagai prinsip paling mendasar dalam
putusan yang disepakati bersama.

175
Muhammad Arifin, Arbitrase Syariah sebagai Pilihan Forum
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2016, h. 231.
176
Ibid.
110

Prinsip perdamaian yang diutamakan dalam penyelesaian


sengketa antara muqridh dengan muqtaridh dengan menggunakan
mekanisme arbitrase syariah, sesungguhnya sangat relevan dengan
spirit perjanjian yang menjadi dasar pokok hubungan hukum antara
keduanya, sehingga solusi yang ditempuh guna menyelesaikan
sengketa di pegadaian syariah, bukanlah prinsip perdamaian yang
hendak memberikan manfaat atau keuntungan dari salah satu pihak,
tetapi menciptakan suatu keseimbangan yang meniscayakan sifat
tolong menolong atau kebajikan sosial satu sama lain. Inilah peran
penting dari hakam sebagai pihak yang menengahi sengketa antara
muqridh dan muqtaridh.
Pihak hakam di arbitrase syariah, mesti memahami betul
filosofi dasar hubungan hukum antara muqridh dengan muqtaridh
yang tegak atas landasan asas taawun, sebab hubungan hukum antara
keduanya adalah terikat kepada perjanjian utang piutang. Pihak hakam
memiliki posisi kunci untuk senantiasa menetralisir problematika yang
timbul dari sengketa antara muqtaridh dengan muqtaridh agar tidak
memberikan celah keinginan untuk menarik manfaat atau keuntungan
finansial, baik dari pihak muqtaridh maupun pihak muqridh. Kejelian
serta kecermatan hakam untuk mendiagnosa sengketa antara muqridh
dengan muqtaridh sangat diperlukan, guna menghasilkan putusan
yang mengikat para pihak bersengketa, yang benar-benar didasarkan
kepada prinsip dasar perjanjian pokok di pegadaian syariah, yakni
tegak atas dasar asas taawun.
Penyelesaian sengketa antara muqridh dengan muqtaridh
melalui jalur non-litigasi, baik yang menggunakan mekanisme
musyawarah maupun arbitrase, yang keduanya berbasis syariah, sekali
lagi, tidak boleh mengabaikan asas taawun sebagai prinsip dasarnya.
Seperti, pada musyawarah, yang menempatkan para pihak bersengketa
sebagai pihak yang memiliki peran penting untuk menyepakati solusi
yang menjadi keputusan bersama untuk ditaati, maka para pihak
tersebut, seharusnya memahami betul bahwa hubungan hukum
diantara mereka, terutama dari pihak pegadaian syariah (muqtaridh),
bukanlah dilandasi oleh kepentingan finansial (profit oriented). Begitu
juga, pada arbitrase syariah, posisi kunci berada dipihak hakam
sebagai pemutus, maka pihak hakam ketika menjadi penengah,
semestinya dapat menjalin titik temu solusi dari sengketa yang timbul
dengan memperhatikan proporsi masing-masing pihak berdasarkan
prinsip pokok perjanjian yang tegak atas landasan asas taawun.
Musyawarah dan arbitrase, sebagaimana penjelasan
sebelumnya, merupakan bentuk penyelesaian sengketa secara non-
litigasi yang dikenal dalam hukum positip di Indonesia. Para pihak
yang bersengketa dalam perkara perdata di Indonesia, selain jalur non-
litigasi, untuk menyelesaikan perkara perdata di antara mereka, juga
111

dapat menempuh jalur pengadilan atau yang dikenal dengan jalur


litigasi. Umat muslim di Indonesia, sejak keluarnya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, semakin membuka
peluang untuk menyelesaikan perkara-perkara keperdataan bidang
hukum keluarga, dengan berdasarkan syariah.
Kemajuan yang telah dicapai umat muslim di Indonesia, yakni
tatkala hadirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Progresivitas Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tersebut, telah menjadi babak baru bagi penyelesaian sengketa
perdata di antara umat muslim Indonesia, yang tidak hanya
menjadikan pengadilan agama mengadili perkara-perkara perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, waqaf, dan shadaqah, tetapi pengadilan
agama telah mengalami perluasan kewenangan untuk mengadili
sengketa ekonomi syariah, sebagaimana diatur dalam Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
bahwa:

Pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa,


memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara
orang-orang beragama Islam dibidang…ekonomi syari’ah

Ketentuan tersebut, menjadi dasar normatif bagi pengadilan


agama di Indonesia, untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah
bagi masyarakat muslim di Indonesia. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989, selanjutnya telah mengalami perubahan kedua kalinya,
dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Legitimasi pembentukan pengadilan agama di Indonesia,
bagaimanapun juga, adalah untuk memenuhi aspirasi keinginan umat
Islam Indonesia dalam menyelesaikan perkara keperdataan (privat)
yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah, sekaligus untuk
menyatukan kekuasaan peradilan khusus bagi yang beragama Islam di
Indonesia, yang masih terserak dalam berbagai regulasi peninggalan
Kolonial Belanda dan rezim Orde Lama, seperti: (1). Peraturan
tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882
Nomor 152 dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116
dan 610); (2). Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi
Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur
(Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639); (3). Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar'iyah di Luar Jawa dan Madura (Lembaran
Negara Tahun 1957 Nomor 99).
112

Ratio legis pembentukan undang-undang peradilan agama


yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, lalu mengalami dua kali
perubahan secara berturut-turut yakni perubahan pertama Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 lalu perubahan kedua Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009, adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan
hukum masyarakat muslim Indonesia serta menjamin persamaan
kedudukan warga negara dalam hukum dalam kerangka menegakkan
keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu
memberikan pengayoman kepada masyarakat muslim di Indonesia itu
sendiri dalam perkara-perkara perdata tertentu berdasarkan prinsip-
prinsip syariah.
Prosedur penyelesaian sengketa di pengadilan agama di
Indonesia, menurut Amran Suadi177, yang tidak termasuk kategori
acara gugatan sederhana, pemeriksaan perkaranya tetap merujuk
kepada hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, yaitu HIR dan
RBG, kecuali yang secara khusus telah diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, terutama pada ketentuan Bab
V sampai Bab IX. Artinya, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 14 Tahun 2016, bahwa untuk sengketa ekonomi syariah
melalui gugatan sederhana, mekanisme penyelesaian sengketanya
merujuk kepada Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 2 Tahun
2015.
Pada konteks penyelesaian sengketa di pegadaian syariah jika
diselesaikan melalui jalur litigasi, yakni melalui proses pengadilan
agama, tentu saja harus merujuk kepada prinsip-prinsip syariah yang
terintegrasi dengan asas taawun sebagai prinsip utamanya. Artinya,
hakim pengadilan agama yang mengadili perkara ekonomi syariah,
antara muqridh dengan muqtaridh sebagai para pihak di pegadaian
syariah, mesti memahami betul bahwa hubungan hukum antara
keduanya adalah hubungan hukum yang didasarkan kepada perjanjian
utang piutang, sehingga putusan hukum yang dikeluarkan tidak boleh
menyimpang dari pertimbangan-pertimbangan hukum yang benar-
benar bersandarkan kepada nilai-nilai kebajikan dan nilai-nilai sosial.
Berdasarkan hasil pencermatan peneliti, hingga saat ini (saat
disertasi ditulis), belum ada satupun sengketa ekonomi syariah di
Indonesia, yang terjadi antara muqtaridh dengan muqridh di
pegadaian syariah, yang diselesaikan melalui pengadilan agama.
Begitu juga, belum ada satupun temuan peneliti, penyelesaian
sengketa di pegadaian syariah diselesaikan dengan prosedur non-
litigasi, yakni melalui mekanisme musyawarah ataupun arbitrase
syariah. Selama ini, problematika kredit macet oleh pihak muqtaridh

177
Amran Suadi, Op.Cit., h. 125.
113

diselesaikan dengan pendekatan persuasif secara kekeluargaan oleh


pihak muqridh, namun demikian, sengketa yang timbul antara
muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah, baik yang
diselesaikan melalui prosedur non-litigasi maupun litigasi, pada
prinsipnya, tidak boleh menyimpang dari asas taawun sebagai
landasan pokoknya.
4.4. Perbandingan Nomenklatur Perjanjian Utang Piutang
Berbasis Gadai Syariah Di Beberapa Negara Asia
Tenggara
Pada uraian sub bab ini, peneliti menyajikan sekilas
nomenklatur perjanjian utang piutang yang berlangsung di pegadaian
syariah yang dipraktikkan di beberapa negara tetangga Indonesia,
tepatnya untuk yang ada di wilayah Asia Tenggara, yaitu Malaysia
dan Brunei Darussalam, yang kedua negara ini berpenduduk
mayoritas muslim. Peneliti, selain itu juga, membandingkan dengan
salah satu negara ASEAN yang berpenduduk minoritas muslim tetapi
pemerintahannya masih mau berkompromi untuk menerima penerapan
syariah Islam untuk bidang muamalah tertentu, guna memenuhi
kebutuhan hukum masyarakat muslim minoritas tersebut. Negara yang
peneliti maksudkan ini adalah Negara Thailand.
4.4.1. Perjanjian Utang Piutang di Lembaga Pegadaian Syariah
Malaysia
Untuk memperjelas deskripsi aktivitas transaksi di Pegadaian
Syariah Malaysia, berikut peneliti menyajikan skema akad yang
berlangsung di pegadaian syariah Malaysia:
114

Berdasarkan bagan dengan merujuk hasil penelitian Azila


Abdul Razak178, maka perjanjian utang piutang merupakan akad
utama yang menjadi pilar pengikat dari hubungan hukum antara
muqridh dengan muqtaridh. Dari perjanjian utang piutang ini, lalu
dilekatkan perjanjian tambahan yang mencakup akad rahn atau
perjanjian gadai dengan akad wadiah atau perjanjian penitipan barang
gadai. Dengan demikian, keberlangsungan akad di Lembaga
Pegadaian Syariah di Malaysia secara umum, mencakup empat konsep
yaitu al Qardhul Hassan (perjanjian utang piutang tanpa pemungutan
bunga), Al-Wadiah Yad Dhammah (perjanjian penitipan barang gadai
milik nasabah), al-Ujrah (biaya penitipan), dan ar-Rahn (perjanjian
gadai)179.
Apabila mencermati nomenklatur perjanjian utang piutang di
Lembaga Pegadaian Syariah Malaysia lalu kita bandingkan dengan
nomenklatur perjanjian utang piutang di Lembaga Pegadaian Syariah
Indonesia, memang secara mendasar memiliki kesamaan, yaitu
meletakkan perjanjian utang piutang yang tidak meniscayakan
pemungutan bunga kepada para nasabah, karena spirit syariah Islam
yang memang sangat dikedepankan yaitu larangan pemungutan riba.
Spirit filosofis yang hendak dikedepankan pada dasarnya juga sama
berkenaan dengan keberadaan lembaga gadai syariah di kedua negara
tersebut, yaitu sebagai salah satu lembaga keuangan yang hendak
memperjuangkan nilai-nilai kebajikan sosial serta nilai tolong
menolong sebagaimana yang menjadi perintah dari syariah, namun
ada hal yang membedakan nomenklatur perjanjian utang piutang yang
berlangsung di Pegadaian Syariah Indonesia dan Pegadaian Syariah
Malaysia. Perbedaannya dengan lembaga pegadaian syariah di
Indonesia, yakni objek barang gadai. Pegadaian syariah di Indonesia
masih menerima barang jaminan selain emas sebagai gadai untuk
pelunasan utang, seperti perak, berlian, kain, dan barang elektronik,
sedangkan pegadaian syariah di Malaysia, hanya menerima emas
sebagai gadai, baik emas itu masih dalam bentuk batangan, kepingan,
biji-bijian, maupun dalam bentuk perhiasan.

178
Azila Abdul Razak, “Economic and Religious of The Islamic and
Conventional Pawnbroking in Malaysia: Behavioural and Perception
Analysis”, Thesis Submitted In Fullfillment of the Requirements for the
Degree of Doctor of Philosophy at The School of Government and
International Affairs Institute of Middle Eastern and Islamic Studies, Durham
University, United Kingdom, h. 65
179
M. S. Skully, “Islamic Pawnbroking: The Malaysian
Experience”, Makalah yang dipresentasikan pada the 3nd International
Islamic Banking and Finance Conference, 2005.
115

Menurut Azila Abdul Razak180, hanya emas yang


diperbolehkan sebagai barang gadai (al-marhun) pada praktik rahn di
Lembaga Pegadaian Syariah Malaysia, alasannya, emas memiliki nilai
jual sangat tinggi, lagi pula emas memiliki daya tahan tinggi serta
tidak mudah susut apabila diletakkan pada tempat penyimpanan
tertentu. Alasan lainnya, emas merupakan barang yang apabila
disimpan pada tempat tertentu, tidak memerlukan tempat
penyimpanan yang begitu luas. Ia cukup disimpan pada tempat berupa
kotak kecil atau disimpan pada tempat-tempat tertentu seperti cukup
dimasukkan kedalam amplop atau kantong plastik.
Perbedaan lain, yaitu berkenaan dengan sewa penitipan
barang gadai milik nasabah. Pegadaian syariah di Indonesia
menggunakan skema akad ijarah sedangkan pegadaian syariah di
Malaysia menggunakan skema akad wadiah. Menurut peneliti, dari
segi fakta keberlangsungan akad ijarah dan akad wadiah tersebut,
pada hakikatnya sama yaitu penyimpanan barang gadai yang dijadikan
gadai kepada pihak pegadaian syariah. Namun sebetulnya, istilah yang
tepat digunakan untuk akad penyimpanan barang adalah akad wadiah
dibandingkan menggunakan istilah akad ijarah, sebab barang gadai
(al-marhun) yang disimpan oleh pihak pegadaian syariah memang
bersifat penitipan, sehingga uang jasa (ujrah) yang diterima pegadaian
syariah adalah uang jasa penitipan barang. Berbeda konteksnya bila
menggunakan akad ijarah, yang apabila kita merujuk kepada fatwa
DSN MUI Nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah,
menjelaskan bahwa objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan
barang dan/atau jasa. Merujuk fatwa tersebut, maka objek ijarah
semestinya barang atau jasa yang dapat dinikmati secara langsung
yang bersifat konsumtif ataupun untuk kepentingan komersial lainnya.
Apalagi bila kita merujuk pendapat sebahagian besar ulama, misalnya
pendapat dari Mazhab Malikiyah, mengkategorikan akad wadiah
sebagai salah satu jenis akad wakalah (pemberian kuasa) kepada pihak
lain yang khusus untuk menjaga harta benda dan bukan untuk bentuk
tasharuff lainnya, sehingga menurut pendapat Mazhab Malikiyah,
pemindahan hak milik kepada orang lain melalui transaksi seperti jual
beli, gadai, sewa menyewa, dan lain-lain, tidak termasuk wadiah.
Adapun berkenaan dengan pemungutan biaya jasa penitipan (ujrah),
patokan yang digunakan oleh lembaga pegadaian syariah di Indonesia
dan Malaysia, yaitu sama yang didasarkan nilai barang gadai.
Perbedaannya, pegadaian syariah di Malaysia, mensyaratkan barang
gadai (al-marhun) harus emas, sehingga penaksiran barang gadai di
Malaysia adalah didasarkan kepada kadar emas saja. Harga taksiran
emas di pegadaian syariah Malaysia, juga ditetapkan berdasarkan

180
Azila Abdul Razak, Op. Cit., h. 5.
116

harga pasaran setempat. Bila kadar emas tinggi serta nilai jualnya
tinggi menurut harga pasaran setempat, maka dapat dipastikan
pungutan ujrah juga tinggi181.
4.4.2. Nomenklatur Perjanjian Utang Piutang Berbasis Gadai
Syariah yang Dipraktikkan oleh Bank Islam Brunei
Darussalam
Nomenklatur perjanjian utang piutang pada skim ar rahnu (ar
rahn) yang diselenggarakan oleh BIBD Brunei Darussalam mirip
dengan nomenklatur perjanjian utang piutang yang dipraktikkan oleh
Lembaga Pegadaian Syariah di Malaysia, yakni skema perjanjian
utang piutang sebagai pilar utama akad yang dilekatkan kepadanya
dua akad, yakni akad rahn dan akad wadiah. Peneliti secara ringkas
menguraikan bahwa praktik perjanjian utang piutang berbasis ar rahn
yang berlangsung di BIBD mencakupi empat komponen yaitu qard
hassan, Wadiah Yad Damana, Rahn, dan ujrah. Tentu saja praktik
pemberian pinjaman modal oleh BIBD, tidak memungut bunga.
Untuk jelasnya, berikut peneliti menyajikan skema akad
perjanjian utang piutang berbasis gadai syariah yang dipraktikkan di
BBID Brunei Darussalam182:

181
Azila Abdul Razak, Loc. Cit.
182
Y Matahatir, “Membangun Golongan Berpendapatan Rendah
Menerusi Pajak Gadai Islam-Model Mikro Kredit Serantau”, Paper yang
dipresentasikan pada Konvensyen Ar-Rahnu Serantau 2002, yang
diselenggarakan oleh The Regional Ar-RahnuSecretariat pada 26-31ktober
2002 di Kuala Lumpur, Malaysia.
117

Apabila mencermati nomenklatur perjanjian utang piutang


berbasis gadai syariah yang dipraktikkan di Brunei Darussalam
tersebut, maka tampak ada persamaan dengan nomenklatur perjanjian
utang piutang yang dipratekkan di lembaga gadai syariah di Malaysia.
Hanya yang membedakan menurut Kentaro Kembara183 yaitu dari
segi objek barang gadai (al-marhun). Lembaga Pegadaian Syariah di
Malaysia hanya menerima emas sebagai barang gadai tidak selain itu,
sedangkan BIBD yang mempresentasikan sebagai lembaga yang juga
menjalankan gadai syariah di Brunei Darussalam, selain emas yang
dapat dijadikan sebagai barang gadai juga barang gadai lain seperti
perak, berlian, permata, dan batu-batu berharga lainnya.
Dari uraian peneliti tentang nomenklatur perjanjian utang
piutang berbasis gadai syariah yang dipraktikkan oleh BIBD Brunei
Darussalam, secara ringkas, bahwa hubungan hukum antara muqridh
dengan muqtaridh terikat oleh tiga hubungan hukum, yaitu hubungan
hukum utang piutang sebagai pilar utamanya, dan dua lainnya
merupakan hubungan hukum bersifat pelengkap (assesoir), yaitu
pertama hubungan hukum yang memperjanjikan gadai atas barang
jaminan milik muqtaridh, dan yang kedua adalah hubungan hukum
yang memperjanjikan penitipan atas barang milik muqtaridh yang
dijaminkan itu.
Perbandingan praktik akad yang berlangsung di pegadaian
syariah di Indonesia dengan di Brunei Darussalam, ada persamaan.
Perbedaannya, di pegadaian syariah Indonesia, untuk penitipan barang
gadai menggunakan format akad ijarah atau akad sewa menyewa,
sedangkan BIBD Burunei Darussalam menggunakan format akad
wadiah. Juga tampak ada persamaan praktik akad untuk penitipan
barang gadai (al-marhun), antara BIBD Brunei Darusslam dengan
yang berlangsung di lembaga gadai syariah Malaysia, yakni sama-
sama menggunakan format akad wadiah untuk akad penitipan barang
gadai milik nasabah tersebut.
4.4.3. Nomenklatur Perjanjian Utang Piutang berbasis Gadai
Syariah di Thailand
Nomenklatur perjanjian utang piutang berbasis gadai syariah
di Thailand, dengan mengambil studi pada Koperasi Islam Patani Ibnu
Affan, pada faktanya mendeskripsikan hubungan hukum yang sifatnya
perjanjian utang piutang (qardh al-Hasan). Postur utamanya adalah
hubungan timbal balik yang menimbulkan hak dan kewajiban antara

183
Kentaro Kambara, “Economics of Rahn (Islamic Pawnbroking):
Issues and Cases In Brunei Darussalam, dimuat dalam The Proceedings of
The 5th International Sympoium on Islam, Civilization, and Science (Islam As
A Basis For Civilizational Thought and Development, diadakan di Kyoto
Universiy, Jepang, 31 Mei- 1 Juni 2014, h. 169-178.
118

Koperasi Islam Patani Ibnu Affan sebagai pemberi pinjaman (kreditur)


dengan nasabah (debitur) sebagai penerima pinjaman. Penekanan
konteks hubungan hukumnya adalah menimbulkan akibat hukum yang
memposisikan nasabah sebagai debitur yang dengan demikian
memiliki kewajiban untuk melunasi uang yang dipinjamnya tersebut.
Konsekuensi logis dari kewajiban nasabah selaku debitur terhadap
Koperasi Islam Patani Ibnu Affan, yakni melunasi seluruh
pinjamannya apabila telah jatuh tempo, maka untuk kepentingan
tersebut, dilekatkanlah akad tambahan yaitu akad rahn untuk
menjamin kepastian kewajiban nasabah sekaligus pengikat
kepercayaan atas janji pelunasan pinjaman uang oleh nasabah. Bagi
nasabah sendiri, tentu menghendaki jaminan keamanan atas barang
miliknya yang dijadikan sebagai gadai (jaminan) sehingga perlu ada
ikatan perjanjian untuk kepentingan tersebut, yaitu dibentuknya akad
wadiah yang memuat klausula tentang kewajiban Koperasi Islam
Patani Ibnu Affan untuk menjaga, memelihara, serta merawat barang
milik nasabah yang dititipkan kepadanya sebagai barang gadai (al-
marhun). Berikut ini peneliti menyajikan bagan yang mendeskripsikan
hubungan hukum antara Koperasi Islam Patani Ibnu Affan dengan
nasabah:
119

Berdasarkan bagan yang peneliti paparkan, tampak bahwa


nomenklatur perjanjian utang piutang di Koperasi Islam Patani Ibnu
Affan184 persis mengadopsi nomenklatur perjanjian utang piutang
berbasis gadai syariah yang diterapkan oleh Negara Malaysia. Ini juga
membedakan dengan nomenklatur ar rahn yang diterapkan di
Indonesia yaitu dari segi akad penitipan barang gadai. Pegadaian
syariah di Indonesia menggunakan akad ijarah atau sewa menyewa
yang berkenaan dengan penitipan barang gadai milik nasabah
sedangkan Koperasi Islam Patani Ibnu Affan menggunakan akad
wadiah berkenaan dengan penitipan barang gadai milik nasabah.
Meskipun dari segi penitipan barang milik muqtaridh terdapat
perbedaan nomenklatur perjanjian, tetapi dari segi postur utama
tegaknya perjanjian gadai, baik di yang berlangsung di Koperasi Islam
Patani Ibnu Affan maupun di pegadaian syariah Indonesia, adalah
sama-sama menjadikan perjanjian utang piutang sebagai pilar utama
hubungan hukum antara para pihak antara muqridh dengan muqtaridh.
4.4.4. Kontribusi Penting Bagi Rekonstruksi Penormaan Akad
Ijarah Sebagai Bagian Integral Perjanjian Utang Piutang
Di Pegadaian Syariah Indonesia dengan Model
Percontohan Penormaan Akad Wadiah Di Lembaga
Pegadaian Syariah Beberapa Negara Tetangga
Perbandingan nomenklatur perjanjian utang piutang dengan
segala derivasinya yang dipraktikkan lembaga pegadaian syariah
negara-negara tetangga, maka peneliti berpendapat bahwa akad ijarah
yang dijadikan sebagai dasar akad penitipan barang gadai (al-marhun)
pada pegadaian syariah di Indonesia, sebaiknya direkonstruksi
menjadi akad wadiah sebagaimana yang dipraktikkan lembaga
pegadaian syariah negara-negara tetangga. Peneliti sependapat untuk
menggunakan model akad wadiah untuk penitipan barang barang
gadai (al-marhun), sebab akad wadiah lebih mensifatkan kepada
mempertahankan nilai-nilai amanah yang mengandung aspek tolong
menolong, sebagaimana yang menjadi karakteristik utama perjanjian
utang piutang di pegadaian syariah yang tegak atas landasan asas
taawun. Penggunaan akad ijarah untuk perjanjian penitipan barang
gadai (al-marhun) sebagaimana yang dipraktikkan di pegadaian
syariah di Indonesia, sesungguhnya menurut pendapat peneliti, kurang

184
Mustafa Dakian, Sistem Kewangan Islam (Instrumen,
Mekanisme, dan Pelaksanaannya di Malaysia, Utusan Publication &
Distributors Sdn Bhd, Kuala Lumpur, Terbitan Pertama, 2005, h.109-110.
Juga termuat dalam Miss Ni-Asuenah Che-awae, “Strategi Pemasaran
Tabungan Haji Di Koperasi Ibn Affan Wilayah Patani Thailand Selatan,
Skripsi, Jurusan Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013, h. 37-40.
120

tepat, sebab penormaan akad ijarah sangat menitikberatkan kepada


perolehan manfaat yang hendak diperoleh dari barang gadai (al-
marhun) yang dititipkan. Ada motivasi profit yang terkandung
didalamnya sehingga secara filosofis sangat menyimpang dengan
karakteristik dasar perjanjian utang piutang di pegadaian syariah yang
tegak atas landasan asas taawun, asas tolong menolong, yang tentu
saja tidak memperbolehkan motivasi untuk menarik keuntungan,
manfaat, atau profit.
Atas dasar itu, maka nomenklatur perjanjian utang piutang di
Pegadaian Syariah Indonesia, seyogyanya merekonstruksi ulang akad
ijarah menjadi akad wadiah, sebagai upaya menjaga spirit perjanjian
utang piutang di pegadaian syariah tersebut, yang benar-benar tegak
diatas landasan asas taawun. Menurut peneliti, mengembalikan spirit
Pegadaian Syariah Indonesia atas dasar kebajikan, bernilai sosial, dan
tolong menolong, adalah sangat penting. Model percontohan
nomenklatur perjanjian utang piutang dengan ikutan segala akadnya di
lembaga pegadaian syariah beberapa negara tetangga, dapat menjadi
rujukan yang bermanfaat bagi perbaikan kerangka bangun sistem
syariah dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia, guna menjaga
kemurnian nilai-nilai syariah yang tidak menyimpang dari al-Quran
dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
4.5. Penormaan Klausula Perjanjian Utang Piutang Di
Pegadaian Syariah dengan Mengkaitkan Asas Taawun
sebagai Landasan Pokok Perjanjian
Pada bahagian berikut peneliti melakukan analisis terutama
terhadap semua turunan akad-akad yang dilekatkan pada perjanjian
utang piutang seperti yang terdeskripsi pada Lembaga Pegadaian
Syariah. Peneliti melakukan pencermatan terhadap sejumlah klausula
yang terdapat pada akad rahn maupun akad ijarah seperti yang
dipraktikkan pada umumnya di Lembaga Pegadaian Syariah di
Indonesia. Pencermatan peneliti adalah terkonsentrasi pada segi-segi
klausula akad baik yang terdapat pada akad rahn maupun akad ijarah,
yang dari segi penormaannya tampak masih menimbulkan persoalan
bila dikaitkan dengan fondamen asas taawun yang menjadi tegaknya
pilar utama perjanjian di pegadaian syariah yaitu perjanjian utang
piutang.
4.5.1. Penormaan Klausula dalam Akad Rahn Di Pegadaian
Syariah
Berdasarkan pencermatan peneliti terhadap akad rahn yang
berlangsung sebagai sebuah fakta hukum di beberapa Lembaga
Pegadaian Syariah di Indonesia, memang semestinya terdapat klausula
tertentu untuk direkonstruksi, guna mengembalikan spirit dari
perjanjian utang piutang di pegadaian syariah itu sendiri yang tetap
tegak atas landasan asas taawun. Pada akad rahn yang ditandatangani
121

oleh muqtaridh dan muqridh di pegadaian syariah, terdapat klausula


yang menetapkan bahwa “…Atas transaksi RAHN tersebut diatas,
MUQTARIDH dikenakan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku...”. Penempatan kalimat “biaya administrasi sesuai
dengan ketentuan yang berlaku”, kemudian memberi legitimasi bagi
pihak pegadaian syariah (muqridh), untuk menentukan sendiri
ketentuan biaya administrasi yang harus ditanggung oleh pihak
nasabah (muqtaridh). Muatan klausula ini, apabila dicermati tampak
sebagai ketentuan normatif yang sifatnya wajib ditanggung oleh
nasabah (muqtaridh). Klausula ini bersifat eksonaratif yang berarti
bersifat baku bagi pihak nasabah (muqtaridh) sehingga tidak ada
pilihan bagi muqtaridh apakah dia mau menerima atau menolak beban
biaya administrasi yang ditanggung.
Pada faktanya, pihak pegadaian syariah dalam menentukan
biaya administrasi yang harus ditanggung oleh nasabah (muqtaridh),
tidaklah konstan tetapi sangat bervariasi tergantung dari besaran
jumlah pinjaman modal. Pihak pegadaian syariah menentukan
klasifikasi biaya administrasi dengan patokan berdasarkan tabulasi
penggolongan jumlah pinjaman modal, yang dibuat pegadaian syariah
itu sendiri (lihat tabel 3 Penggolongan Pinjaman dan Biaya
Administrasi). Dasar penentuan biaya administrasi yang mengikuti
besaran pinjaman modal yang dimohonkan oleh pihak nasabah
(muqtaridh)185.
Pada dasarnya, biaya administrasi yang ditetapkan oleh
pegadaian syariah, adalah untuk kepentingan pembayaran biaya riil,
seperti biaya foto copy, upah kerja petugas, dan untuk biaya-biaya
perlengkapan lainnya, seperti untuk pembelian kertas, materai, dan
lain-lain. Kendatipun biaya administrasi ini tidak dirincikan kepada
nasabah (muqtaridh), tetapi biaya administrasi tersebut, ditetapkan
berdasarkan penggolongan besaran jumlah pinjaman, yang
penggolongannya ditabulasi oleh pihak pegadaian syariah sendiri.
Itupun dasar penggolongannya berdasarkan aturan atau ketentuan
yang dibuat sendiri pihak pegadaian syariah bukan berdasar kepada
tawar menawar dengan pihak nasabah (muqtaridh). Penentuan
penggolongan biaya administrasi berdasarkan jumlah pinjaman
tersebut, juga sesuatu yang harus diterima pihak nasabah sebagai
sesuatu yang sudah baku.
Penentuan biaya administrasi yang fluktuatif serta tidak
konstan, yang mengikuti standar besaran pinjaman yang ditetapkan

185
Adilla Sarah Erangga,”Operasional Gadai Dengan Sistem
Syariah PT Pegadaian Surabaya”, dalam Jurnal Akuntansi Unesa, Volume 2
Nomor 1 tahun 2013, h. 1-22. Lihat juga Adrian Sutedi, Hukum Gadai
Syariah, Alfabeta,Bandung, 2011, h. 163.
122

pegadaian syariah, menurut peneliti, secara mendasar menimbulkan


problematika yuridis dalam konteks jika itu dikaitkan dengan asas
taawun sebagai dasar utama tegaknya perjanjian utang piutang.
Terkesan pihak pegadaian syariah mencari celah untuk menarik
manfaat dari pinjaman yang diberikannya kepada nasabah (muqtaridh)
dengan berkedok biaya administrasi. Klausula dalam akad rahn yang
menyebut kalimat “…biaya administrasi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku...”, seharusnya direkonstruksi agar norma-norma
perjanjian yang berlaku sebagai hubungan hukum perikatan yang
mengikat antara muqridh dengan muqtaridh di pegadaian syariah,
tetap menjaga spirit perjanjian yang berlandaskan kepada asas taawun.
Artinya, untuk menjaga kemurnian perjanjian tetap pada batas-batas
tabarru’ yaitu atas dasar tolong menolong yang dilandasi oleh
kebajikan sosial.
Beban biaya administrasi yang ditetapkan pihak pegadaian
syariah itu, patokan dasarnya adalah mengacu kepada jumlah
pinjaman nasabah, yang sudah ditabulasikan berdasarkan
penggolongan tertentu. Ketentuan ini sebagai klausula baku yang
ditetapkan sendiri oleh muqridh dalam akad rahn, tentu saja
berpeluang menjebak para pihak ke perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai memungut riba. Argumentasi peneliti adalah
biaya administrasi merupakan biaya-biaya yang sifatnya konstan dari
segi pengeluaran yang tidak bisa kita kaitkan dengan besaran jumlah
pinjaman. Untuk memperkuat argumentasi tersebut, peneliti
memberikan deskripsi sebagai berikut, misalnya nasabah meminjam
uang ke pegadaian syariah sebesar Rp 250.000,maka menurut
ketentuan pegadaian syariah, nasabah dikenakan biaya adminsitrasi
sebesar Rp. 2.000, sedangkan jika nasabah meminjam sebesar Rp.
550.000, ia akan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 8.000,
demikian seterusnya. Artinya, semakin besar jumlah pinjaman maka
semakin besar pula biaya administrasi yang harus ditanggung oleh
pihak nasabah.
Penentuan biaya administrasi dengan patokan berdasarkan
jumlah pinjaman tentunya merupakan hal yang tidak logis bila
dikaitkan dengan biaya riil yang dikeluarkan. Konteks biaya riil
dengan besaran jumlah pinjaman merupakan dua hal berbeda yang
tidak bisa dikaitkan satu sama lain. Biaya riil sebagaimana yang
peneliti uraikan sebelumnya, mencakup biaya foto copy, biaya
materai, dan upah petugas. Biaya riil tersebut bila dilakukan kalkulasi
berdasarkan perhitungan upah petugas serta untuk keperluan ATK,
sebenarnya tidak terkait langsung dengan besaran jumlah pinjaman.
Artinya, biaya riil seharusnya bersifat konstan (tetap) untuk setiap
pinjaman berapapun besarannya.
123

Biaya administrasi yang dibebankan untuk jumlah pinjaman


Rp. 50.000 dengan biaya pinjaman yang maksimal diatas Rp. 20 juta,
semestinya sama tidak bisa diukur dengan standar perkiraan yang
berbeda, karena curahan tenaga yang dikeluarkan termasuk ongkos
pengeluaran lainnya seperti biaya foto copy adalah relatif sama. Tidak
ada perbedaan beban biaya riil antara nasabah yang meminjam modal
Rp. 50.000 dengan yang meminjam maksimal diatas Rp. 20 juta.
Penetapan biaya administrasi tersebut, sebagaimana mekanisme yang
dijalankan di pegadaian syariah, dapat berindikasi sebagai tambahan
yang dipungut oleh pegadaian syariah dengan menggunakan celah
biaya administrasi. Biaya tambahan yang dipungut dengan
berdasarkan pada jumlah pinjaman, menurut perspektif hukum Islam
(syariah), dapat dikategorikan sebagai riba.
Begitu juga, penetapan biaya administrasi oleh pihak
pegadaian syariah, sangat berpeluang menyimpang dari asas taawun
sebagai fondamen dasar perjanjian, sebab asas taawun sebagaimana
penjelasan peneliti sebelumnya, adalah untuk menegaskan kembali
hakikat perjanjian di pegadaian syariah dengan semua derivasinya
yang seharusnya tegak atas dasar tolong-menolong atau kebajikan
sosial, sehingga sangat tidak diperbolehkan nomenklatur perjanjian
utang piutang di pegadaian syariah berikut akad rahn yang melekat
pada perjanjian tersebut, mencari celah untuk memungut keuntungan
dengan dalih apapun juga. Berpijak dari argumentasi tersebut, maka
klausula akad rahn di pegadaian syariah yang menempatkan
persyaratan biaya administrasi dengan berpatokan pada penggolongan
jumlah pinjaman, perlu untuk direkonstruksi kembali untuk
disesuaikan dengan hakikat sebenarnya hubungan hukum antara
muqtaridh dengan muqridh yang memang semata-mata atas dasar
tolong menolong (asas taawun).
Penetapan biaya administrasi pada akad rahn di pegadaian
syariah, seyogyanya ditetapkan dengan standar yang layak dan patut
yang memang sesuai dengan kepentingan administratif. Ini
dimaksudkan agar klausula akad yang menetapkan beban biaya yang
ditanggung, memang secara proporsional bersesuaian dengan asas
taawun yang menjadi spirit utama perjanjian. Disinilah perlunya pihak
pegadaian syariah membuat standar penetapan biaya administrasi
dengan berdasarkan kepada perhitungan yang benar-benar riil
dikeluarkan, yang perinciannya diketahui secara transparan oleh pihak
muqtaridh, misalnya rincian biaya photo copy dokumen, biaya
materai, dan standar upah petugas di pegadaian syariah.
Untuk itu, kalimat pada dokumen akad rahn di pegadaian
syariah yang menyebut “…biaya administrasi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku…”, bila dicermati penggunaan kalimat ini
semestinya konsisten dengan biaya-biaya riil yang memang
124

dikeluarkan bukan dengan merujuk kepada besaran jumlah pinjaman


yang diklasifikasi secara tabel oleh pihak pegadaian syariah.
Perhitungan biaya administrasi antara yang meminjam Rp. 100.000
dengan Rp. 1.000.000, secara riil tidak ada perbedaan yang signifikan.
Alasannya, kebutuhan pengeluaran, misalnya biaya photo copy, beli
materai, atau untuk ongkos kerja petugas adalah sama, yang peneliti
maksudkan, bahwa curahan tenaga petugas pegadaian syariah, yang
memproses permohonan pinjaman nasabah yang meminjam Rp.
100.000 dengan yang meminjam Rp. 1.000.000, sebenarnya tidak ada
perbedaan termasuk biaya-biaya keperluan adminitrasi lainnya.
Disinilah pentingnya, penetapan biaya administrasi itu
berlangsung menurut prinsip atau asas keterbukaan (transparansi),
yang semestinya terbangun antara pihak pegadaian syariah dengan
nasabah. Pentingnya asas keterbukaan tersebut, selain untuk menjaga
saling kepercayaan antara muqridh dengan muqtaridh juga sekaligus
untuk menghindari penetapan biaya administrasi yang justeru
dilatarbelakangi oleh motif untuk memperoleh keuntungan (profit).
Penetapan biaya administrasi yang terkesan dilatarbelakangi oleh
motif profit, tentu saja dapat menjebak para pihak, terutama bagi
pihak pegadaian syariah (muqridh) pada praktik perjanjian yang tidak
jauh berbeda dengan praktik perjanjian yang berlangsung di pegadaian
konvensional.
Klausula akad rahn di pegadaian syariah, yang menyebut
kalimat “…biaya administrasi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku…”, menurut peneliti akan lebih tepat kalau menggunakan
kalimat “…biaya administrasi ditentukan berdasarkan biaya riil
yang dikeluarkan oleh pihak muqridh yang diketahui secara
transparan oleh pihak muqtaridh…”. Penggunaan kalimat ini secara
normatif, lebih menjamin muatan postur akad rahn yang mengatur
hubungan perjanjian utang piutang antara muqridh dengan muqtaridh
yang lebih terbuka serta dapat menjamin kepastian kesepakatan antara
kedua pihak. Keterbukaan mengenai biaya administrasi, sangat
signifikan dalam rangka membangun hubungan hukum antara para
pihak yang memang sebenarnya dilandasi oleh motivasi kebajikan
sosial atau tidak berorientasi kepada profit (keuntungan), sebab sekali
lagi esensi dasar dari perjanjian utang piutang di pegadaian syariah
adalah tegak diatas prinsip-prinsip tolong menolong (asas taawun)
Menurut peneliti seyogyanya biaya administrasi akan lebih
tepat lagi kalau dihilangkan dalam nomenklatur perjanjian utang
piutang di pegadaian syariah. Kendati misalnya, ada pandangan bahwa
biaya administrasi dibebankan kepada pihak nasabah (muqtaridh),
jumlahnya tidak terlalu besar, sebab yang menjadi problem menurut
peneliti bukan dari segi besar kecilnya jumlah biaya administrasi,
tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita seharusnya menjaga
125

spirit dari visi Lembaga Pegadaian Syariah yang memang betul-betul


berlangsung dalam tataran transaksi yang bersifat nir laba (tidak
mencari untung).
Apalagi sejumlah dalil dalam hadits Nabi Muhammad SAW,
sangat mencela seorang muslim untuk menarik manfaat dibalik
pemberian pinjaman modal, sebab dalam perspektif syariah (hukum
Islam), menarik manfaat dibalik pemberian pinjaman modal tersebut
oleh para pihak, telah masuk kategori pemungutan riba. Penetapan
biaya administrasi demikian itu, yang dibebankan kepada pihak
nasabah (muqtaridh), meskipun jumlahnya kecil yang menurut
pandangan pegadaian syariah tidaklah terlalu memberatkan, tetapi
sangat berpeluang menjerat kedua pihak, yaitu muqridh dengan
muqtaridh pada transaksi yang mengandung unsur ribawi.
Perjanjian utang piutang di pegadaian syariah adalah
perjanjian utang piutang yang berkarakter al-Qardh dalam hubungan
hukum antara pihak pegadaian syariah dengan pihak nasabah,
sehingga mengacu kepada dalil hadits nabi terdahulu, tidak
diperkenankan bagi para pihak untuk mencari celah mengambil
manfaat atau keuntungan dari keberadaan barang gadai (al-marhun)
yang dijadikan sebagai jaminan utang piutang. Ini sekali lagi untuk
mempertegas bahwa perjanjian utang piutang di pegadaian syariah,
motivasinya adalah semata-mata tolong menolong untuk
mengharapkan kebajikan, sebagai wujud dari ditegakkannya asas
taawun.
4.5.2. Penormaan Klausula dalam Akad Ijarah Di Pegadaian
Syariah
Standar biaya sewa penitipan barang gadai (al-marhun) di
pegadaian syariah, merupakan hal yang dipandang sangat
problematik, bila dikaitkan dengan spirit perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah yang lebih mengedepankan transaksi berbasis non-
profit. Hal paling krusial, yakni pada penetapan biaya ujrah yang
mengikut taksiran jenis dan kualitas barang gadai (al-marhun). Bila
dicermati, apa yang ditempuh pihak pegadaian syariah tersebut,
terkesan mencari celah untuk memungut keuntungan (profit) dengan
berdalih biaya sewa tempat dan pemeliharaan terhadap barang gadai
(al-marhun). Tentu saja, sangat berpeluang bisa ditafsirkan menarik
manfaat dari barang gadai. Penarikan manfaat barang gadai tersebut,
bukan dimaknakan bahwa pihak pegadaian syariah menarik manfaat
secara langsung dari zat benda gadai atau fungsi penggunaan-nya,
tetapi menarik manfaat secara tidak langsung atas dasar pemberian
jasa penjagaan serta pemeliharaan atau perawatan barang gadai. Lagi
pula, bila dicermati lebih lanjut, dalih biaya perawatan dan biaya
penjagaan,yang ditetapkan pihak pegadaian syariah, boleh disebut
tidak memenuhi standar kepatutan atau kelayakan. Alasannya,
126

penyimpanan, penjagaan, serta perawatan barang gadai tersebut,


tidaklah terlalu memerlukan perawatan ekstra. Barang gadai semisal
emas, perak, berlian, barang elektronik, dan kendaraan bermotor,
adalah benda-benda yang bila disimpan tidaklah memiliki penyusutan
nilai yang signifikan. Lain persoalan, apabila benda gadai adalah
sejenis hewan ternak atau buah-buahan atau dalam bentuk bahan
makanan lainnya, benda-benda sejenis ini terkategori sebagai benda
yang bila disimpan agak lama, dikhawatirkan mengalami penyusutan,
sehingga perlu perawatan ekstra. Ambil contoh, hewan sapi yang
dijadikan sebagai barang jaminan (barang gadai/al-marhun), tentu
memerlukan perawatan ekstra, harus diberikan makan serta disediakan
tempat tinggal yang layak, kalau tidak hewan sapi tersebut, akan mati
atau menjadi kurus, sehingga hewan sapi sebagai barang gadai akan
mengalami penyusutan.
Penghitungan biaya sewa penitipan barang gadai tersebut,
dengan menggunakan penghitungan perkalian per sepuluh hari,
dengan patokan hitungan meskipun barang gadai yang dititip selama 1
(satu) hari tetap disamakan dengan hitungan selama 10 (sepuluh) hari.
Cara perhitungan demikian, merupakan bentuk perhitungan dengan
pendekatan perkalian komersil daripada perhitungan dengan melihat
fungsi atau kegunaan tempat penitipan. Alasannya, hitungan biaya
penitipan haruslah berdasarkan kelayakan tempat penyimpanan
dengan mengacu kepada keterjagaan keamanan bukan dengan
mengacu kepada jenis dan kualitas barang gadai. Pemaknaannya
bahwa penyimpanan barang-barang berharga seperti emas dan perak
tidak ada bedanya dengan penyimpanan kendaraan atau barang-barang
elektronik. Dari sisi keterjagaan serta perawatan, sebenarnya sama
tidak berbeda jauh antara penyimpanan barang gadai semisal motor
dengan emas yang sama-sama tidak butuh perawatan yang sangat
ekstra, begitupun kedua benda tersebut sama-sama tidak mudah
mengalami penyusutan nilai, apalagi jangka waktu peminjaman di
pegadaian syariah relatif sangat singkat yang maksimal hanya 120 hari
kerja. Tentu saja jangka waktu penyimpanan barang gadai mengikuti
jangka waktu peminjaman modal uang oleh nasabah (muqtaridh).
Merujuk kembali hadits Nabi SAW, yakni hadits dari jalur Ali
ra bahwa “Sesungguhnya Nabi SAW melarang pinjaman yang
menarik manfaat”, lalu dilanjutkan hadits lain “Setiap pinjaman yang
menarik manfaat adalah riba, maka apabila peneliti kembali
menganalisis penormaan dalam klausula akad ijarah yang
berlangsung di pegadaian syariah, tampaknya terindikasi pihak
pegadaian syariah (muqridh), melakukan penarikan manfaat terhadap
barang gadai. Alasannya, biaya-biaya untuk penyimpanan barang
gadai dihitung secara berbeda menurut jenis dan kualitas barang tidak
127

berdasarkan kepada fungsi serta kegunaan tempat penyimpanan


barang gadai.
Sehubungan dengan itu, penormaan klausula akad ijarah yang
berlangsung di pegadaian syariah, perlu untuk direkonstruksi sebagai
langkah untuk mengantisipasi nomenklatur perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, tidak terjebak pada skema perjanjian yang
meniscayakan profit sekaligus tetap menjaga spirit perjanjian yang
murni tegak atas asas taawun.
Menurut peneliti, penggunaan istilah akad ijarah perlu
direkonstruksi terlebih dahulu, sebab penggunaan istilah ini
mendeskripsikan beban kewajiban nasabah (muqtaridh) untuk
menanggung biaya penyewaan tempat sekaligus hubungan hukum
antara kedua pihak, yang menjadikan sewa tempat penitipan barang
gadai sebagai objek akad. Apabila merujuk kitab-kitab fiqih tentang
muamalah serta doktrin para ulama, maka sebenarnya, istilah ijarah
lebih menegaskan kepada hubungan transaksional yang bersifat saling
memberikan kompensasi yang berkaitan dengan jasa atau manfaat
tertentu186.
Keberadaan akad ijarah sebagai bagian yang mengintegrasi
dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, sudah sepatutnya
direkonstruksi yang menurut argumentasi peneliti, lebih baik diganti
dengan menggunakan istilah akad wadiah untuk mendeskripsikan
hubungan hukum antara pihak pegadaian syariah (muqridh) dengan
objek akad penitipan barang gadai. Argumentasinya adalah akad
wadiah lebih mendeskripsikan hubungan hukum yang lebih menitik
beratkan kepada hubungan hukum yang didasari atas prinsip tabarru’
yang tegak diatas asas taawun atau tolong menolong. Para fuqaha
(ahli hukum Islam), juga sepakat bahwa wadiah merupakan akad
amanah, sebagaimana yang ditunjukkan berdasar firman Allah SWT
dalam Qur’an Surah an-Nisa Ayat 58, bahwa: “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya”
Karakteristik akad wadiah menurut para ulama yang bertumpu
pada asas amanah, maka tanggung jawab dari pihak yang dititipkan
barang hanya pada sebatas menjaga atau merawat barang, seandainya
harta wadiah hilang, rusak atau mengalami cacat, tidak membawa
konsekuensi bagi pihak yang dititip barang (al wadi’) untuk
bertanggungjawab, sehingga pihak yang dititip tidak dikenakan
tanggung jawab untuk menanggungnya, kecuali jika itu karena
kesengajaannya atau karena kelalaian menjaganya. Konteks barang
titipan yang menjadi objek akad wadiah, maka menurut pendapat
ulama Mazhab Malikiyah, akad wadiah termasuk salah satu jenis akad

186
Fauzan Al-Banjari, Op. Cit., h.120-121.
128

wakalah (pemberian kuasa), yang khusus hanya untuk menjaga harta


dan bukan untuk kegiatan pengelolaan harta lainnya (tasharruf).
Keberadaan akad wadiah, karena itu, tidak boleh ada unsur wakalah
yang meniscayakan jual beli atau sewa menyewa. Begitu juga titipan
yang bukan harta, seperti menitipkan anak, tidak bisa disebut akad
wadiah. Kesimpulannya, akad wadiah dapat dikategorikan sebagai
akad pemindahan tugas menjaga harta benda dari pemiliknya kepada
pihak lain, tanpa disertai adanya tasharruf. Bila pemindahan hak milik
tersebut disertai dengan tasharruf seperti jual beli, ijarah, dan yang
terkategori sebagai tasharruf, maka itu tidak bisa disebut sebagai
wadiah.
Apabila mencermati fakta perjanjian penitipan barang gadai
milik nasabah (muqtaridh), pada praktik gadai syariah di beberapa
negara tetangga, seperti di Malaysia, Brunei Darussalam, dan
Thailand, yang digunakan adalah akad wadiah bukan akad ijarah,
sebagaimana yang sudah peneliti uraikan pada uraian terdahulu.
Untuk praktik gadai syariah di Indonesia, memang sebenarnya yang
tepat adalah akad wadiah sebab nomenklatur akad wadiah yang
berkarakter tabarru’ sangat sesuai atau memiliki koneksitas dengan
nomenklatur perjanjian utang piutang dengan karakter al-Qardh yang
berlangsung di pegadaian syariah Indonesia.
Klausula akad penitipan barang yang terderivasi dari
perjanjian utang piutang di pegadaian syariah sebagaimana praktiknya
di Indonesia, format baku akadnya, mesti direkonstruksi dengan
memformulasikan dalam format akad wadiah bukan dengan
menggunakan format akad ijarah. Argumentasinya karena segala
keberlangsungan transaksi dengan segala yang terderivasi darinya di
pegadaian syariah, adalah semata-mata untuk kepentingan tabarru’
diatas landasan asas taawun atau tolong menolong. Akad wadiah lebih
kompatibel karena mencerminkan karakteristik amanah untuk
menjaga barang gadai milik nasabah (muqtaridh). Tidak ada aktivitas
tasharruf yang berpeluang menjebak para pihak pada motivasi profit
oriented. Begitu pula, bila istilah dan nomenklatur akad ijarah tetap
dipertahankan untuk mendeskripsikan hubungan hukum antara
muqridh dengan muqtaridh yang objeknya adalah penitipan barang
gadai, sangat berpeluang menjebak para pihak pada aktivitas tasharruf
yang berorientasi profit.
Penggunaan nomenklatur akad wadiah sebagai pengganti
akad ijarah yang merupakan kerangka untuk merekonstruksi akad
antara pihak pegadaian syariah dengan pihak nasabah berkenaan
dengan penitipan barang gadai (al-marhun), tentu selanjutnya
berimplikasi pada penataan beban standar biaya penitipan yang harus
ditanggung oleh pihak nasabah (muqtaridh). Kalau menggunakan
nomenklatur akad wadiah tentu saja beban biaya penitipan tersebut,
129

tidak lagi mengikuti standar harga sewa, yang mengacu kepada


standar harga berdasarkan kelipatan hari yakni per sepuluh hari masa
masa sewa. Biaya penitipan barang gadai dengan mengikuti
nomenklatur akad wadiah tentu saja lebih dapat
dipertanggungjawabkan dari segi kepatutan serta kepantasan yang
secara riil memang digunakan untuk biaya perawatan atau
pemeliharaan barang gadai yang sangat dibutuhkan untuk itu. Dasar
akad wadiah adalah amanah titipan barang, sehingga biaya penitipan
yang dikeluarkan cukup sekedar untuk biaya pemeliharaan atau
perawatan. Hanya perlu kehati-hatian sekali lagi atau pengkajian lebih
dalam tentang kemungkinan pemungutan biaya penitipan barang itu
sendiri, sebab memungkinkan para pihak jatuh ke transaksi ribawi,
yang menurut analisis peneliti semestinya biaya penitipan barang
apapun namanya di pegadaian syariah, misalnya biaya ijarah atau
biaya wadiah tidak perlu ada. Ini dimaksudkan untuk menjaga spirit
perjanjian utang piutang dengan segala derivasinya di pegadaian
syariah, tetap dalam kerangka kebajikan sosial yang tegak atas
landasan asas taawun. Lagi pula, penyimpanan barang gadai oleh
pihak pegadaian syariah (muqridh), pada hakikatnya sudah merupakan
kewajiban yang lahir dari akad penyimpanan barang tersebut. Artinya,
kewajiban penyimpanan barang gadai yang dibebankan kepada pihak
muqridh, secara otomatis sudah ada secara sah dan sempurna
berbarengan dengan ditandatanganinya perjanjian utang piutang di
antara para pihak, sehingga tidak perlu diakadkan tersendiri. Selain
itu, akad penyimpanan barang gadai sudah menjadi kewajiban pihak
muqridh yang menjadi implikasi dari perjanjian utang piutang berbasis
al-qardh tersebut yang merupakan perjanjian tanpa kompensasi.
4.6. Penataan Lembaga Pegadaian Syariah sebagai Badan
Pelayanan Sosial dalam Kerangka Wujud Perjanjian
Utang Piutang Yang Murni Berbasis Asas Taawun
Keberadaan Lembaga Pegadaian Syariah yang dilegitimasi
dengan status sebagai Perusahaan Perseroan atau Perseroan Terbatas,
sebenarnya memiliki titik krusial apabila dikaitkan dengan visi
lembaga ini yang mengemban amanah sebagai lembaga pelayanan
sosial yang berbasis tabarru’ (semata-mata tolong menolong atas
dasar kebajikan), sebab status perusahaan Persero merupakan sebuah
kondisi atau keadaan bagi suatu kelompok organisasi untuk
melakukan kegiatan yang berorientasi memang semata-mata mencari
keuntungan. Apabila merujuk Undang-Undang Republik Indonesia
No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
pada Pasal 1 yang menyebutkan bahwa perusahaan Persero
didefinisikan sebagai berikut:
130

Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero,


adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang
modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling
sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh
Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar
keuntungan

Sebahagian besar ahli hukum sepakat, antara lain


Molengraaff187 dan Polak188, dengan rumusan perusahaan sebagai
keseluruhan perbuatan baik dilakukan dalam kapasitas sebagai
individu maupun kolektif, yang dilakukan secara berkesinambungan,
bertindak keluar untuk memperoleh penghasilan dengan berbagai cara
yang ditempuh, seperti memperdagangkan, menyerahkan barang,
ataupun mengadakan perjanjian-perjanjian usaha lainnya untuk
memperoleh keuntungan finansial189.
Rumusan perusahaan sebagaimana uraian peneliti,
menunjukkan bahwa hakikat perusahaan selalu merupakan suatu
organisasi yang dibentuk memang untuk tujuan mencari profit,
sehingga semua organ kerja perusahaan adalah berlangsung untuk
kepentingan-kepentingan mengejar keutungan (profit). Atas dasar
itulah, menurut peneliti sangat tidak tepat apabila perangkat organisasi
atau organ kerja termasuk status badan hukum lembaga pegadaian
syariah dengan mengambil studi di Indonesia, diatur atau tunduk
berdasarkan regulasi undang-undang atau peraturan tentang
perusahaan, sebab landasan filosofis pegadaian syariah bukanlah
untuk mengejar keuntungan (profit), tetapi memang semata-mata
untuk kepentingan kemanusiaan, kebajikan sosial, dan tolong
menolong.
Inilah pentingnya status badan hukum Lembaga Pegadaian
Syariah direkonstruksi guna memurnikan kembali visi lembaga ini
pada tugas-tugas sosial bukan kepada tugas-tugas bersifat komersil.
Semua bentuk transaksi muamalat yang dideskripsikan pegadaian
syariah adalah merujuk kepada landasan asas taawun sebagai
basisnya, sehingga status badan hukum/badan usaha yang paling tepat
bagi lembaga pegadaian syariah bukanlah badan hukum berbentuk
perusahaan, tetapi yang paling tepat menurut rekomendasi peneliti,
ada beberapa alternatif:

187
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, 1987, h. 79.
188
Ibid.
189
R Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I (Bagian
Pertama), Dian Rakyat, Jakarta, 1983, h. 19.
131

4.6.1. Bentuk Badan Hukum Koperasi Berbasis Syariah


Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31
/Pojk.05/2016 Tentang Usaha Pergadaian menyebutkan bahwa
“Bentuk badan hukum Perusahaan Pergadaian adalah: a. perseroan
terbatas; b. Koperasi. Berdasarkan ketentuan ini, maka koperasi juga
dapat menjadi alternatif bentuk badan hukum pegadaian syariah.
Menurut peneliti, koperasi sebagai alternatif bagi pegadaian syariah
menjalankan misi kebaikan, sosial, dan tolong menolong, adalah
dengan dasar pemikiran bahwa koperasi bersendikan asas
kekeluargaan serta menjunjung nilai-nilai tolong menolong serta
kepedulian terhadap orang lain.
Hal terpenting dan mendasar, menurut peneliti, gagasan model
koperasi yang tepat bagi pegadaian syariah adalah dengan
menggunakan model koperasi syariah. Koperasi Ibnu Affan di Patani
Thailand yang menjalankan kegiatan pegadaian syariah, dapat menjadi
studi perbandingan bagaimana koperasi menjalankan kegiatan
pegadaian sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Pendirian atau pembentukan koperasi syariah di Indonesia
saat ini, sangat dimungkinkan, setelah mendapat legitimasi dari
keluarnya Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 16/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi. Pada
konsideran menimbang peraturan menteri ini, menyebutkan :

bahwa dalam rangka memperluas kesempatan berusaha bagi


masyarakat untuk melakukan kegiatan produktif, perlu
mengembangkan pelaksanaan kegiatan usaha simpan
pinjam dan pembiayaan syariah oleh koperasi yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip syariah, agar masyarakat memperoleh manfaat dan
kesejahteraan yang sebesar-besarnya…

Gagasan badan hukum koperasi syariah, harus betul-betul


dipertimbangkan prinsip-prinsip syariah yang mendasarinya.
Misalnya, koperasi syariah menjalankan kegiatan usaha tertentu maka
penyertaan modal bagi para anggota koperasi dikelola dengan
menggunakan mekanisme seperti mudharabah, sehingga pembahagian
keuntungan (nisbah) menggunakan konsep bagi hasil. Begitu pula,
apabila koperasi syariah menjalankan kegiatan simpan pinjam, dengan
menggunakan mekanisme pegadaian, maka tentu saja prinsip syariah
dengan mengedepankan asas taawun sebagaimana paparan
sebelumnya, tetap harus diperhatikan. Penarikan bunga atau manfaat
dengan dalih apapun oleh koperasi syariah yang menjalankan kegiatan
132

pegadaian, sangat tidak diperbolehkan, sebab membuka celah untuk


terjebak kedalam jeratan riba.
4.6.2. Baitul Maal Wat Tamwiil (BMT)
Baitul Maal wat Tamwiil atau disingkat BMT, adalah lembaga
keuangan dengan konsep syariah yang lahir sebagai pilihan yang
menggabungkan konsep maal dan tamwil dalam satu kegiatan
lembaga. Konsep maal lahir dan menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat muslim dalam hal menghimpun dan menyalurkan dana
untuk zakat, infak dan shadaqah (ZIS) secara produktif. Sedangkan
konsep tamwiil lahir untuk kegiatan bisnis produktif yang murni untuk
mendapatkan keuntungan dengan sektor masyarakat menengah ke
bawah (mikro). Kehadiran BMT untuk menyerap aspirasi masyarakat
muslim di tengah kegelisahan kegiatan ekonomi dengan prinsip riba,
sekaligus sebagai supporting funding untuk mengembangkan kegiatan
pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Kehadiran lembaga
keuangan mikro syariah yang bernama Baitul Maal wa Tamwiil
(BMT) dirasakan telah membawa manfaat finansil bagi masyarakat,
terutama masyarakat kecil yang tidak bankable dan menolak riba,
karena berorientasi pada ekonomi kerakyatan. Kehadiran BMT di satu
sisi menjalankan misi ekonomi syariah dan di sisi lain mengemban
tugas ekonomi kerakyatan dengan meningkatkan ekonomi mikro,
itulah sebabnya perkembangan BMT sangat pesat di tengah
perkembangan lembaga keuangan mkro konvensional lainnya190.
Menurut Novita Dewi Masyitoh191, perkembangan BMT ini
tidak diikuti dengan pengaturan dan landasan hukum yang jelas. BMT
memiliki karakteristik yang khas jika dibandingkan dengan lembaga
keuangan lain yang ada, karena selain memiliki misi komersial (Baitut
Tamwiil) juga memiliki misi sosial (Baitul Maal), oleh karenanya
BMT bisa dikatakan sebagai jenis lembaga keuangan mikro baru dari
yang telah ada sebelumnya. Beberapa BMT mengambil bentuk hukum
koperasi, namun hal ini masih bersifat pilihan, bukan keharusan. BMT
dapat didirikan dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
ataupun dapat juga berbentuk badan hukum koperasi. Sebelum
menjalankan usahanya, KSM harus mendapatkan sertifikat dari
PINBUK2 dan PINBUK harus mendapatkan pengakuan dari Bank
Indonesia sebagai Lembaga Pengembang Swadaya Masyarakat
(LPSM) yang mendukung Program Proyek Hubungan Bank dengan

190
Novita Dewi Masyitoh, “Analisis Normatif Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas Status
Badan Hukum dan Pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil, Jurnal
Economica, Volume V, Edisi 2, Oktober 2014, h. 18.
191
Ibid., h. 19.
133

Kelompok Swadaya Masyarakat yang dikelola oleh Bank Indonesia


(PHBK-BI).
Salah satu perangkat hukum yang menjadi dasar hukum BMT
sampai saat ini (saat penelitian ini ditulis), yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Sebelum Undang-Undang LKM Tahun 2013 ini berlaku, bentuk
badan hukum BMT di Indonesia, dapat memilih opsi, yang pada
faktanya menurut hasil penelitian Novita Dewi Masyitoh192, BMT
melakukan kegiatan usahanya menggunakan badan hukum dengan
tiga opsi, yaitu:
1) BMT yang berbadan hukum koperasi dalam bentuk Koperasi Jasa
Keuangan Syariah dan tunduk pada Undang-Undang No. 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yang selanjutnya dalam
kegiatan usahanya tunduk pada :
a. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Nomor 91/Kep/M. KUKM/IX/2004 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa
Keuangan Syari‟ah,
b. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah 35.2/Per/M.KUKM/X/2007 tentang Pedoman
Standar Operasional Manajemen Koperasi Jasa Keuangan
Syari‟ah, dan
c. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah 39/Per/M.KUKM/XII/2007 tentang Pedoman
Pengawasan Koperasi Jasa Keuangan Syari‟ah dan Unit Jasa
Keuangan Syariah Koperasi,
2) BMT sebagai badan usaha milik yayasan dan tunduk pada
Undang- Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi sekaligus
pada Undang- Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
3) BMT yang masih berbentuk Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM) dan tunduk pada Undang-Undang No. 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Masyarakat.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro (LKM), secara yuridis-normatif,
mengkategorikan BMT sebagai lembaga keuangan mikro. Pasal 1
Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013, menetapkan bahwa:

Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM


adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk
memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam

192
Ibid.
134

usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat,


pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi
pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari
keuntungan

Selanjutnya Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun


2013, menetapkan bahwa:

Bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4


huruf a adalah: a. Koperasi; atau b. Perseroan Terbatas

Ketentuan Pasal 5 Ayat 1 tersebut, merupakan landasan bagi


BMT yang hanya dimungkinkan berbentuk badan hukum koperasi
atau perseroan terbatas. Apabila BMT yang hendak menjalankan
kegiatan usaha gadai syariah dengan mengedepankan asas taawun,
tentu saja model perseroan terbatas sebagai bentuk badan hukum
BMT itu sendiri, sangat tidak sesuai. Perseroan terbatas memiliki
karakteristik sebagai badan hukum yang memang tujuan pendirian
perusahan adalah mencari keuntungan komersil (profit oriented),
sehingga alternatif badan hukum yang memungkinkan bagi BMT,
untuk menjalankan kegiatan gadai syariah adalah badan hukum
berbentuk koperasi. Karakteristik koperasi yang melekat kepada badan
hukum BMT untuk menjalankan kegiatan gadai syariah, sebagaimana
yang peneliti telah paparkan sebelumnya, adalah koperasi yang
menjalankan prinsip-prinsip syariah. BMT yang menjalankan kegiatan
gadai dengan menggunakan badan hukum koperasi berbasis syariah,
maka perlu ditegaskan kembali bahwa transaksi gadai syariah yang
dijalankan BMT, harus tetap mengedepankan nilai-nilai kebajikan
sosial bukan untuk menarik manfaat (profit oriented).
4.6.3. Penguatan Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Pada Pasal 29 Ayat 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian menetapkan:

Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan


usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (3) wajib mengangkat paling sedikit 1
(satu) orang DPS

Ketentuan tersebut, merupakan landasan bagi lembaga pegadaian yang


menjalankan prinsip syariah, untuk mengangkat Dewan Pengawas
Syariah (DPS) sebagai sebuah kewajiban. Keberadaan DPS itu sendiri
sangat urgen dalam upaya mendorong lembaga pegadaian syariah
menjalankan kegiatannya yang benar-benar murni berbasis syariah.
Untuk itulah, DPS kedepan, benar-benar diberdayakan sebagai salah
135

satu perangkat yang ada di dewan pengurus lembaga pegadaian


syariah guna melakukan kontrol serta pengawasan terhadap semua
transaksi keuangan yang bersandarkan kepada perjanjian utang
piutang sebagai basis utamanya. Kontrol serta pengawasan yang
dilakukan DPS terhadap lembaga pegadaian syariah, termasuk
diantaranya memastikan bahwa semua akad yang terderivasi pada
transaksi di lembaga pegadaian syariah, berpijak kepada asas taawun
sebagai landasan pokoknya. DPS harus bisa memastikan serta
memberikan nasihat kepada lembaga pegadaian syariah untuk
menjalankan aktifitas yang bertumpu kepada visi mengedepankan
nilai-nilai kebajikan sosial serta tolong menolong, sebagaimana yang
menjadi kehendak syariah. Pasal 29 Ayat 5 dan 6 Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian.
Tugas kontrol dan pengawasan yang dilakukan oleh DPS di
lembaga pegadaian syariah, hendaknya menjadi salah satu organ yang
bersifat independen, tanpa ada keterkaitan kepentingan apapun dengan
lembaga pegadaian syariah, selain hanya kepentingan untuk menjaga
kemurnian lembaga pegadaian syariah tetap berjalan pada koridor asas
taawun. Untuk itu pula, koneksitas jejaring antara DPS pegadaian
syariah dengan Majelis Ulama Indonesia hendaknya terbangun secara
integral, guna memastikan peran dan tugas DPS itu sendiri berjalan
secara independen yang tetap menjaga kemurnian prinsip-prinsip
syariah, sehingga memang sangat tepat juga apabila pihak-pihak yang
duduk dijajaran kepengurusan DPS, medapat sertifikasi dari Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
136

BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Keseluruhan kajian pembahasan ini dengan merujuk pokok-
pokok rumusan masalah penelitian dan sebagai inti sari dari
rangkuman jawaban pokok-pokok rumusan masalah penelitian ini,
berikut peneliti mengurai beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Makna filosofis asas taawun dalam perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, adalah asas yang menetapkan kerangka
hubungan hukum antara pegadaian syariah (muqridh) dengan
nasabah (muqtaridh), yang tegak atas dasar tanggung jawab
kebajikan sosial yang berlandaskan semangat spiritual dan tolong
menolong, sehingga pemberian bantuan pinjaman modal oleh
pegadaian syariah kepada nasabah bukanlah didorong oleh
kepentingan untuk memperoleh keuntungan finansial (profit).
Konteks pemaknaan asas taawun dalam kerangka hubungan
hukum di pegadaian syariah tersebut, juga adalah untuk
menegaskan kedudukan lembaga pegadaian syariah sebagai
lembaga yang benar-benar mengemban amanah tanggung jawab
sosial.
b. Asas-asas perjanjian yang mendasari karakteristik hubungan
hukum para pihak dalam perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah, diantaranya asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik,
asas amanah, asas saling menguntungkan, asas tertulis, asas
kehati-hatian, asas kemampuan, asas sebab yang halal, asas
kemudahan, asas kesetaraan, asas kemampuan, asas sukarela, dan
asas tidak berubah. Semua asas perjanjian yang disebutkan,
memiliki hubungan integral yang saling terkait dengan asas
taawun sebagai landasan utama perjanjian utang piutang di
pegadaian syariah, sehingga ketika semua asas tadi hendak
diintegrasikan ke dalam perjanjian utang piutang di pegadaian
syariah, maka asas taawun tetap menjadi patokan sebagai
landasan utama perjanjian.
c. Penormaan klausula beberapa akad yang terintegrasi pada
perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, sangat urgen untuk
direkonstruksi, agar nomenklatur perjanjian tersebut tetap
konsisten tegak diatas landasan asas taawun. Beberapa klausul
yang perlu direkonstruksi antara lain penormaan akad rahn yang
menempatkan klausula beban biaya administrasi. Penetapan biaya
administrasi, seharusnya mengacu kepada standar biaya-biaya riil
yang dikeluarkan. Begitu juga, penormaan akad ijarah yang
terderivasi dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah,
perlu untuk direkonstruksi, terutama penamaan akad yang
sebaiknya diganti dengan nama akad wadiah, dengan
137

pertimbangan bahwa penggunaan istilah akad wadiah lebih


menekankan kepada asas amanah yang berbasis tabarru’
(kebajikan atas dasar tolong menolong).
5.2. Saran
Bertitik tumpu kepada hasil kesimpulan penelitian dan sebagai
akhir penutup keseluruhan kajian penelitian ini, peneliti memberikan
rekomendasi saran sebagai berikut:
a. Penggodokan Rancangan Undang-Undang Pegadaian Syariah di
Indonesia saat ini, sudah sangat mendesak untuk dikerjakan,
dengan beranjak kepada realitas kekinian negara Indonesia pasca
abad millenium, bahwa kebutuhan masyarakat muslim Indonesia
terhadap lembaga pegadaian berbasis syariah, telah semakin
meningkat. Penggodokan RUU Pegadaian Syariah tersebut,
hendaknya mempertegas basis asas taawun dalam kerangka
transaksi akad dengan segala derivasinya di pegadaian syariah,
guna memperkuat keberadaan lembaga pegadaian syariah, yang
memang benar-benar berperan sebagai soko guru ekonomi
masyarakat muslim, yang tujuannya bukan untuk kepentingan
profit, tetapi semata-mata demi kebajikan sosial dan tolong
menolong.
b. Keberadaan lembaga pegadaian syariah, yang saat ini eksis di
Indonesia, seharusnya direposisi dari bentuk kelembagaannya
yang berstatus badan hukum perusahaan menjadi lembaga yang
berstatus badan hukum non-profit, antara lain rekomendasi
peneliti, adalah badan hukum koperasi syariah, atau juga Baitul
Maal Wat Tamwiil (BMT). Tujuannya untuk memurnikan
kembali visi dan misi lembaga pegadaian syariah di Indonesia,
sebagai lembaga yang berjalan dalam kerangka kebajikan sosial,
yaitu sebagai lembaga yang benar-benar memberikan bantuan
keuangan kepada yang sangat membutuhkan.
c. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS), sangat perlu
diperkuat, tujuannya supaya DPS dapat menjalankan perannya
secara independen guna melakukan kontrol dan pengawasan
terhadap lembaga pegadaian syariah, yang murni menjalankan
kegiatan atas dasar kebajikan sosial, dengan asas taawun sebagai
landasan utamanya, sebagaimana yang menjadi tuntutan syariah.
138

DAFTAR BACAAN

I. Buku Teks

Abdul, Hayy, Pengantar Ushul Fiqh, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta,


2006.

Abdullah, Mohammed Riza, Law and Practice of Islamic Banking


And Finance, Second Edition, Sweet and Maxwell Asia,
Selangor, Malaysia, 2010.

Abdurrahman, Fuad, The Great of Two Umars: Kisah Hidup Paling


Legendaris Umar bin Khattab dan Umar Ibn Abdul Azis, Penerbit
Zaman, 2013.

Abdurrahman, Hafidz, Ushul Fiqh, Al-Azhar Press, Bogor, 2003,


h.17-18.

Abdurrahman, Yahya, Pegadaian dalam Pandangan Islam, Al Azhar


Press, Bogor, 2010.

Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 Tahun


2006&Legislasi Hukum Islam Di Indonesia, Airlangga
University Press, Surabaya, 2006.

Ali, Chidir, Badan Hukum, Alumni, 1987.

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan


Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan Ke-8, RajaGrafindo
Persada, 2000.

Ali, Zainuddin, Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia


(Konsep, Regulasi, dan Implementasi), Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik,


Cetakan Ke-5, Gema Insani Press, Jakarta, 2002.

Anwar, Rosihan, Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2010.

AR, Zahruddin, dan Sinaga, Hasanuddin, Pengantar Studi Akhlak,


Cetakan I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
139

Armando, Ade, dkk, Ensiklopedia Islam Untuk Pelajar, Ikhtiar Baru


van Hoeve, Jakarta, tanpa tahun.

Arrasyid, Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,


2000.

Arsyad, Taqdir dan Hasan, Abul, (ed), Ensiklopedia Fiqih Muamalah


dalam Pandangan 4 Mazhab (Cetakan I), Maktabah Al-Hanif,
Yogyakarta, 2009.

Asy’arie, Musa, Islam: Etika dan Konspirasi Bisnis, Lembaga Studi


Filsafat Islam (LESFI), Yogyakarta, 2016.

Atiyah, P.S., An Introduction To The Law of Contract, Fourth Edition,


Oxford University Press, London, 1989.

Auda, Jasser, Maqashid al-Syari’ah As Philosophy of Islamic Law A


Systems Aproach, Islamic Book Trust, Kuala Lumpur, 2010

Avila, Humberto, Theory of Legal Principles, Springer, The


Netherlands, 2007.

Azis, Mohammad Rosyidi (et.all), Pokok-Pokok Panduan


Implementasi Syariah dalam Bisnis, Pustaka Pengusaha Rindu
Syariah, Bogor, 2010.

Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya


Bakti, Bandung, 1991.

_______________________, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung,


1994.

_______________________, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra


Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Banjari, Fauzan, Panduan Penulisan Akad Bisnis Syariah, Klinik


Bisnis Syariah, Banjarmasin, 2016.

Bashir, Ahmad Azhar, Asas-Asas Hukum Muamalat, UII Press,


Yogyakarta, 2000.

Bello, Petrus C.K.L., Ideologi Hukum, Refleksi Filsafat atas Ideologi


di Balik Hukum, Insan Merdeka,, Bogor, 2013.
140

Berten, K, Etika, Gramedia Utama, Jakarta, 2007.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary (Definition of the


Terms and Phrases of American and English Jurisprudence,
Ancient and Moderen), Revised Fourth Edition, S.T. Paul Minn.
West Publishing Co., 1968.

Bodenheimer, Edgar, Jurisprudence (The Philosophy And Method Of


The Law), Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts,
1970.

Budiono, Herlien, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian


Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Calmari, John D, dan Perillo, Joseph M, Contracts, Second Edition,


West Publishing, Co., Minneapolis, 1977.

Collete, Nat J, Kebudayaan dan Pembangunan, Sebuah Pendekatan


Terhadap Antropologi Terapan Ilmu Pengetahuan Sosial Di
Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta, 1987.

Coulson, Noel J, Conflict and Tensions in Islamic Jurisprudence,


Academe Art and Printing Services, Kuala Lumpur, 2006.

Dakian, Mustafa, Sistem Kewangan Islam, Utusan Publications &


Distributors Sdn. Bhd, Kuala Lumpur, 2005.

Daur, Ahmad, Riba dan Bunga Bank (terjemahan), Al Azhar Press,


Bogor, 2014.

Dewi, Gemala, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, diterbitkan


atas kerjasama Kencana Prenada Media Grup dengan dengan
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
2013.

Djamil, Faturrahman, dkk, Hukum Perjanjian Syariah dalam


Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. 1, Citra Aditya Bakti, 2001.
141

_________________, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi


di Lembaga Keuangan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

_________________, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan


Konsep, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013.

Doonan, Elmer dan Foster, Charles, Drafting, Cavndish Publishing


Limited, London, 2001.

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan


Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1998.

Fajar, Mukti, dan Achmad, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum


Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.

Farid, Ahmad, Biografi 60 Ulama Ahlussunah, Darul Haq, Jakarta,


2013.

Farran, Syaikh Ahmad Mustafa, Tafsir Imam Syafi’I Menyelami


Kedalaman Kandungan Al-Qur’an (Terjemahan), Penerbit Al-
Mahira, Jakarta Timur, 2008.

Fauzia, Ika Yunita dan Riyadi, Abdul Kadir, Prinsip Dasar Ekonomi
Islam Perspektif Maqashid al-Syariah, Kencana Prenada Media
Grup, Jakarta, 2014.

Fuad, Abu, Riba Halal Riba Haram, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor,
2015.

Friedmann, W, Legal Theory, Columbia University Press, New York,


1967.

Fuady, Munir, Hukum Jaminan Utang, Penerbit Erlangga, Jakarta,


2013.

Gautama, Sudargo, Indonesan Bussiness Law, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 1995.

Hadi, Abu Sura’i Abdul, Bunga Bank dalam Islam, Al-Ikhlas,


Surabaya, 1993.

Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqh Membangun Paradigma Berpikir


Tasyriri, Al-Azhar Press, 2003.
142

_________________, dan Abdurrahman, Yahya, Bisnis dan


Muamalah Kontemporer, Al-Azhar Freshzone Publishing, Bogor,
2003.

_________________, Nizham Fi Al-Islam (Pokok-Pokok Peraturan


Hidup Dalam Islam), Al-Azhar Fresh Zone Publishing, Bogor,
2016.

Hardie, John B dan Algar, Hamid, Sayyid Qutb Social Justice in


Islam, Islam Book Trust, Kuala Lumpur, Malaysia, 2000.

Hariri, Wawan Muhwan, Hukum Perikatan (Dilengkapi Hukum


Perikatan dalam Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2011.

Hartkamp, Arthur S dan Tilemma, Marianne MM, Contract Law In


the Netherlands, Kluwer Law International, The Hague-London-
Boston, 1995.

Hasan, Kamal, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim,


Lingkaran Studi Indonesia, Jakarta, 1987.

Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh


Muamalat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

____________, Perbandingan Mazhab, Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 2003.

Haqqi, Abdurrahman Raden Aji, The Philosophy of Islamic Law of


Transactions, CRT Publications, Kuala Lumpur, Malaysia, 2009.

Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,


1986.

Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas


dalam Kontrak Komersial), Kencana Prenada Media Grup, 2010.

Hiariej, Eddy O. S, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma


Pustaka, Yogyakarta, 2014.

Hidayat, Taufik, Buku Pengantar Investasi Syariah, Media Kita, 2011.


143

Hoecke, Mark Van, European Academy of Legal Theory Monograph


Series, Oxford and Portland, Oregon, 2011.

H.S, Salim, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia,


RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-6, 2012.

Hutabarat, Ramly, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-


Konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum
Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia,
Jakarta, 2005.

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,


Bayu Media Publishing, Malang, 2006.

Isnaeni, Moch., Perkembangan Hukum Perdata Di Indonesia,


Laksbang Grafika, Jogjakarta, 2013.

Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain, Maqashid Syariah (Terjemahan),


Amzah, Jakarta, 2013.

Jufri, Muhammad, Nomenklatur Sistem Hukum Indonesia, Komunika,


Kendari, 2015.

Kamali, Mohammad Hasyim, Foundations of Islam; Shari’ah Law An


Introduction, One World Publication, Trivandrum, India, 2008.

Khairandy, Ridwan, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif


Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta,
2013.

Khalil, Atha, Ushul Fiqh (terjemahan), Pustaka Thariqul Izzah, Bogor,


2008.

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan,


Gramedia, Jakarta, 1984.

Koto, Alaiddin, Filsafat Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada,


Jakarta, 2012.

Kurniawan, Joeni Arianto, Mohammad Koesnoe dalam


Pengembaraan gagasan Hukum Indonesia, Epistema Institute
Huma, Jakarta, 2013.
144

Kusumohamidjojo, Budiono, Teori Hukum (Dilema Antara Hukum


dan Kkuasaan), YRama Widya, Bandung, 2016.

Lebacqz, Karen, Teori-Teori Keadilan (terjemahan), Nusamedia,


Bandung, 2015.

Major, W.T, The Law of Contract, Macdonald &Evans, London,


1974.

Manan, Abdul, Hukum Ekonomi Syariah: Dalam Perspektif


Kewenangan Peradilan Agama, PrenadaMedia Grup, Jakarta.

Manullang, E Fernando M, Menggapai Hukum Berkeadilan, Penerbit


Kompas, Jakarta, 2007.

Mardani, Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia, PT Refika Aditama,


Bandung, 2011.

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi,


Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2012.

____________________, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media


Group, Jakarta, 2005.

Mas’adi, Ghufron A, Fiqih Muamalah Kontekstual, Cet. 1, Raja


Grafindo Persada, Jakarta 2002.

Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi


Politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press, Ujung
Pandang, 1995.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta,


1988.

Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Unit Penerbit dan Percetakan


(UPP) AMP YKPN, Yogyakarta, 2002.

_________, Aspek Hukum dalam Muamalat, Graha Ilmu, Yogyakarta,


2007.

Mujahidin, Ahmad, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi


Syariah di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010.
145

Mulazid, Ade Sofyan, Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah,


Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2016.

Mundiri, Logika, Penerbit Raja GrafindoPersada, 2012.

Nasution, Muhammad Syukri Al-Bani, Filsafat Hukum Islam, Raja


Grafindo Persada, Jakarta, 2013.

Nata, Abudin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam Di Indonesia, Raja


Grafindo Press, Jakarta, 2005.

Olson, Kent C., Principle of Legal Research (Successor to How to


Find the Law, 9th Edition), Thomson Reuters, USA, 2009.

Panggabean, Henry P, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van


Omstandigheden) Sebagai Alasan Baru Untuk Pembatalan
Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum Di Belanda),
Liberty, Yogyakarta.

Pasaribu, Chairuman dan Lubis, Suhrawadi K, Hukum Perjanjian


dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Patrik, Purwahid dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi


Dengan UUHT, FH UNDIP Semarang, 2006.

Price, Miles O, dkk., Effective Legal Research, Fourth Edition, Little,


Brown and Company, Boston Toronto, 1979

Puspitasari, Fiki, Seluk Beluk Pegadaian, PT Intan Sejati Kelaten,


Sleman, 2011.

Qardhawi, Yusuf, Keluasan dan Keluesan Hukum Islam, Cetakan I,


Toha Putra, Semarang, 1992.

Qudamah, Ibn, Al-Mughni, V/109, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1983.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.

Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Sinar Baru, Bandung, 1990.

Rawls, John, A Theory of Justice, Edisi Revisi, Harvard University


Press, USA, 1999.
146

Reny Supriatni, Pengantar Hukum Islam (Dasar-Dasar dan


Aktualisasinya dalam Hukum Positif, Widya Padjajaran,
Bandung, 2011.

Rodoni, Ahmad, Lembaga Keuangan Syariahi, Cetakan I, Zikrul


Hakim, Jakarta, 2004.

Rofiq, Ahmad, Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia, Gama Media


Jogjakarta, 2004.

Rokhim, Abdul, Fiqh, Wahana Dinamika Karya, Semarang, 2004.

Rosyadi, Imron, Jaminan Kebendaan Berdasdarkan Akad Syariah


(Aspek Perikatan, Prosedur Pembebanan dan Eksekusi),
Prenadamedia Group, Depok, 2017.

Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan


Kondisi Sosio Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.

Sabatin, Yusuf, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala
Kapitalis, Al-Azhar Press, Bogor, 2011.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Dar Al-Fikr, Jilid 3, 1995.

Saefoedin, Asis, Beberapa Hal tentang Burgelijk Wetboek, Citra


Aditya Bakti, Bandung, 1990.

Sambas, Sukriady, Mantik Kaidah Berpikir Islam, Penerbit Remaja


Rosda Karya Offset, Bandung, 2012.

Sasli, Rais, Pegadaian Syariah (Konsep Sistem Operasional: Suatu


Kajian Kontemporer), UI Press, Jakarta, 2005.

Shalih, Hafidh, Falsafah Kebangkitan (Dari Ide Hingga Metode).


Terjemahan Oleh Yayat Rohiyatna dari kitab berjudul An-
Nahdhah, Idea Pustaka Utama, Bogor, 2003.

Shidarta, Moralitas Profesi Hukum (Suatu Tawaran Kerangka


Bepikir), Refika Aditama, Bandung, 2009.

Shiddieqy, TM Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta,


1975.
147

Shihab, M. Quraish, Yang Hilang Dari Kita Akhlak, Lentera Hati,


Jakarta, 2016.

________________, Wawasan Al-Quran (Tafsir Tematik Atas


Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, 1996.

Shomad, Abd, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam


Hukum Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Cet. I, Jakarta,
2009.

_____________, Hukum Ekonomi Syariah: Perspektif Filsafat dalam


Budi Kagramanto dan Abd Shomad (ed), Perkembangan dan
Dinamika Hukum Perdata Indonesia, Lutfansah Mediatama,
Surabaya, 2009.

_____________, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam


Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Grup,
Jakarta, 2012.

Sidharta, Bernard Arief, dkk, Pengembanan Hukum Teoritis (Refleksi


Atas Konstelasi Disiplin Hukum), Logoz Publishing, Bandung,
2015.

Siroj, H. A. Malthuf, Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia (Telaah


Kompilasi Hukum Islam), Pustaka Ilmu, Jogjakarta, 2012.

Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam (Sebuah Pengantar), Risalah


Gusti, Surabaya, 1995.

Soebekti, R. Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,


1995.

Soekardono, R, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I (Bagian Pertama),


Dian Rakyat, Jakarta, 1983.

Sofwan, Sri Soedewi Maschoen, Hukum Perdata (Hukum Perutangan


Bagian B), Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Yogjakarta,
1980.

Srijanti, dkk, Etika Membangun Masyarakat Islam Moderen, Graha


Ilmu, Jogjakarta, 2007.

Suadarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ekonisia,


Yogyakarta, 2013.
148

Suadi, Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah,


Teori&Praktik, Kencana Prenada Media Group, Depok, 2014.

Subekti, R, dan Thitrosudibyo, R, Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata, Cetakan 24, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992.

Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jilid 2,


Ekonisia, 2007.

Suhendi, Hendi, Fiqh Mu’amalah, Rajawali Press, Jakarta, 2000.

Sumardiono, Tolonglah Saudaramu Pasti Allah Menolongmu, Aswaja


Pressindo, Yogyakarta, 2014.

Supramono, Gatot, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada


Media Grup, Jakarta, 2014.

Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab


sampai Indonesia), Pustaka Setia, Bandung, 2010.

Surya Negara, Ahmad Mansur, Api Sejarah, Salmadani Pustaka


Semesta, Bandung, 2009.

Suseno, Frans Magnis, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat


Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1989.

___________________, Menalar Tuhan, Kanisius, Yogyakarta, 2006.

___________________, Etika Politik (Prinsip-Prinsip Dasar


Kenegaraan Moderen), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2015.

Sutedi, Adrian, Hukum Gadai Syariah, Alfabeta, Bandung, 2011.

Suyuthi, Tarikh Khulafa (terjemahan Samson Rahman), Penerbit Al-


Kautsar, Jakarta, 2012.

Syafe’i, Rahmat, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2004.

Syamsudin, M, Memahami Pemikiran Mohammad Koesnoe yang


ditulis dalam Joeni Arianto Kurniawan, Mohammad Koesnoe
dalam Pengembaraan gagasan Hukum Indonesia, Epistema
Institute Huma, Jakarta, 2013.
149

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Grup,


Jakarta, 2011.

Tirmidzi, Muhammad Tsaurah, Sunan At Tirmidzi Jilid III Bab


Muzayadah, Darul Fiqr, Beirut, tanpa tahun.

Usanti, Trisadini, dkk, Absorpsi Hukum Islam Pada Akad Pembiayaan


di Bank Syariah, Lutfansah Mediatama, Surabaya, 2013.

Usanti, Trisadini dan Shomad, Abd., Transaksi Bank Syariah, Bumi


Aksara, Jakarta, 2013.

Usmani, Muhammad Taqi, Introduction to Islamic Finance, Maktaba


Ma’riful Quran Karachi, Lahore, 2002.

Usman, Rachmadi, Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi


Sejarah dan Politik Hukum Di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 2003.

Wacks, Raymond, jurisprudence, Black Stone Press Limited, London,


1987.

Wignyosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum


Nasional, Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum
Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.

Wijaya, Gunawan dan Yani, Ahmad, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo


Persada, Jakarta, 2000.

Yosephus, L. Sinou,r Etika Bisnis (Pendekatan Filsafat Moral


Terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer), Pustaka Obor
Indonesia, 2010.

Yusanto, Muhammad Ismail dan Widjajakusuma, Muhammad


Karebet, Menggagas Bisnis Islami, Gema Insani, Jakarta, 2002.

Zuhaili, Wahbah, Finacial Transactions In Islamic Jurisprudence


Volume I, Terjemahan oleh Mahmoud A El Gamal, dari Al-Fiqh
Al-Islami wa ‘Addilatuh, Dar Al-Fikr, Damaskus, 2001.

_________________, Fiqih Islam Wa Addilatuhu (Jaminan,


Pengalihan Hutang, Gadai, Paksaan, dan Kepemilikan), Jilid 6,
terjemahan Abdul Hayyie Al-Katani, dkk, Gema Insani, Jakarta,
2011.
150

_________________, Hukum Transaksi Keuangan, Transaksi Jual


Beli Asuransi, Khiyar, Macam-Macam Akad Jual Beli, Akad
Ijarah (Penyewaan), Terjemahan dari Kitab Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, Jilid 5, Gema Insani, Jakarta, 2011.

II. Jurnal dan Karya Tulis Ilmiah

Abdurrauf, “Penerapan Teori Akad Pada Perbankan Syariah”, Al-


Iqtishad, Volume IV, Nomor 1, Januari 2012.

Andika, Toha, “Peluang dan Tantangan Ijtihad Dalam Pembahuruan


Hukum Islam”, Jurnal Nuansa, Edisi 1, Nomor 2, September
2010.

Anggara, Sahya, “Teori Keadilan John Rawls Kritik terhadap


Demokrasi Liberal”, Jurnal Perspektif, Volume 1, Edisi Januari-
Juni, 2013.

Arifin, Zainal, “Realisasi Akad Mudharabah Dalam Rangka


Penyaluran Dana Dengan Prinsip Bagi Hasil Di Bank Muamalat
Indonesia Cabang Semarang”, Tesis, Program Studi Kenotariatan,
Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2007.

Aswad, Muhammad, “Asas-Asas Transaksi Keuangan Syariah”,


Jurnal Iqtishadia, Volume 6 Nomor 2 September 2013.

Astuti, Eni Dwi, “Ziyadah Dalam Utang Piutang (Studi Kasus Utang
Piutang Di Desa Kenteng Kecamatan Toroh Kabupaten
Grobogan”, Skripsi, Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri Walisongo, 2010.

Bagiartha, I Putu Pasek, “Kepastian Perlindungan Hukum Bagi


Konsumen Atas Pemberlakuan Kontrak Baku”, Jurnal IUS,
Volume 1, Nomor 1, April 2013.

Basir, Muhammad, “Hubungan Sosial dan Akses Sosial Masyarakat


Pada Lingkungan Pemukiman Kumuh Di Kota Makassar”, Jurnal
Perkotaan, Juni 2012 Volume 4 Nomor 1.

Bayley, J Edward, “A Doctrine of Good Faith In New Zealand


Contractual Relationship”, Tesis, Tingkat Master Hukum,
Universitas Cantebury, 2009
151

Dewani, Ismail, “Pelaksanaan Perkhidmatan ar rahnu di Koperasi


Islam Patani Berhard, Paper yang dipresentasikan pada the
Konvensyen Ar-Rahnu Srantau 2002, yang diselenggarakan oleh
the Regional Ar Rahnu Secretariat, pada tanggal 26-31 Oktober
2002, di Kuala Lumpur Malaysia.

Efendi, Arif, “Gadai Syariah Dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi


Tentang Layanan Syariah Rahn Pada PT Pegadaian Persero”,
Wahana Akademika, Volume 15 Nomor 1, April 2013.

Erangga, Adilla Sarah,”Operasional Gadai Dengan Sistem Syariah PT


Pegadaian Surabaya”, dalam Jurnal Akuntansi Unesa, Volume 2
Nomor 1 tahun 2013.

Farid, Femy Silaswati, “Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan


Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 21 tentang Perbankan Syariah”, Jurnal
Repertorium, Edisi 3 Januari-Juni 2015.

Habibi, Muhammad Luthfillah, dkk, “Membangun Integrated Takaful


dan Wakaf Model Dalam Upaya Meningkatkan Kemanfaatan
Pemegang Polis”, al-Uqud: Journal of Islamic Economics,
Volume 1, Nomor 2, Juli 2017

Hamid, Ahmad Nur, “Makna Al-Din Dalam Al-Qur’an (Studi


Tematik Atas Tafsir Ibnu Katsir”, Skripsi Pada Jurusan Tafsir
Hadits, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan
Kali Jaga, Yogyakarta, 2010.

Hariyanto, Erie, “Burgelijk Wetboek (Menelusuri Sejarah Hukum


Pemberlakuannya Di Indonesia”, Al Ihkam, Volume IV, Nomor 1
Juni 2009.

Huda, Miftahul, “Pelaksanaan Pelelangan Barang Jaminan Sebagai


Obyek Rahn Berdasarkan Hukum Islam dan Perundang-
Undangan Pada Pegadaian Syariah Cabang Cinere”, Skripsi,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
2015.

Huda, Nur, “Perubahan Akad Wadi’ah”, Jurnal Economica, Volume


VI, Edisi I, Mei 2015.
152

Huda, Nurul, dkk, “Kepatuhan Proses Gadaian Dalam Sistem Pajak


Gadai Islam Di Malaysia, Labuan e-Journal of Muamalat and
society,Volume 9, 2015.

Husyam, S. dkk, “The Concept and Chalengges of Islamic Pawn


Broking (Ar Rahnu)”, dalam Middle East Journal of Scientific
Research, Volume 13, tahun 2013.

Ilyas, Hamim, “Islam Risalah Rahmat dalam Alqur’an (Tafsir Qur’an


Surah Al-Anbiya Ayat 107)”, Jurnal Hermenia Kajian Islam
Interdisipliner, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2007.

Imron, Ali, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan


Hukum Nasional (Studi Tentang Konsepsi “Taklif” Dan
“Mas’uliyyat” dalam Legislasi Hukum)”, Disertasi, Program
Doktor Ilmu Hukum (PDIH), Universitas Diponegoro, Semarang,
2008.

Islam, Saiful, dkk, “Prinsip Al-Rahn Sebagai Asas Pelaksanaan Skim


Pajak Gadai Islam Di Malaysia, Jurnal Voice of Academia,
Volume 5, No. 1, 2010

Ismail, Asep Usman, “Integrasi Syariah dengan Tasawuf”, Al-Ahkam,


Volume XII, Nomor 1, Januari 2012.

Jaya, Agung Trana, “Hubungan Amanah dan Motivasi dengan Etos


Kerja Kader Hidayatullah”, Tesis, Program Pascasarjana,
Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas
Indonesia, Jakarta, Juli 2011.

Jenie, Siti Ismijati, “Itikad Baik Sebagai Asas Hukum”, Pidato


Pengukuhan Guru Besar, Pada Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Pada 10 September 2007, Yogyakarta.

Jordan, “Legal Principles, Legal Values and Legal Norms: Are they
the Same or Different?”, Jurnal Academikus, Volume 2, 2010.

Juliandi, Azuar, “Parameter Prestasi Kerja Dalam Perspektif Islam,


dalam Jurnal Manajemen dan Bisnis, Volume 14 Nomor 1 April
2014.

Kambara, Kentaro, “Economics of Rahn (Islamic Pawnbroking):


Issues and Cases In Brunei Darussalam”, dimuat dalam The
Proceedings of The 5th International Sympoium on Islam,
153

Civilization, and Science (Islam As A Basis For Civilizational


Thought and Development, diadakan di Kyoto Universiy, Jepang,
31 Mei- 1 Juni 2014.

______________, “Economics Of Ar-Rahnu (Islamic Pawnbroking):


Issues And Cases In Brunei Darussalam (Ekonomi Ar-Rahnu
(Pajak Gadai Islam): Isu Dan Kes Di Brunei Darussalam)”,
Jurnal Hadhari Edisi Khas (2017).

Khairandy, Ridwan, “Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya


Kontrak”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum UII, Edisi Khusus
Vol. 18 Oktober 2011.

Kurniadi, Indri, “Pandangan Ekonomi Islam Terhadap Pelaksanaan


Lelang Benda Jaminan Pada Pegadaian Syariah Cabang HR
Soebrantas Pekanbaru”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Ilmu
Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau,
2011.

Malik, Abdul, “Penafsiran ‘an taradim minkum dalam Tafsir al-


Misbah dan Tafsir al-Munir dan Relevansi Terhadap Transaksi
Jual Beli On Line”, Skripsi, Jurusan Studi Ilmu Al-Quran dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015.

Masripah, “Urgensi Internalisasi Pendidikan Aqidah Akhlak Bagi


Generasi Muda”, Jurnal Pendidikan, Volome 1, Nomor 1, 2007.

Masyitoh, Novita Dewi, “Analisis Normatif Undang-Undang Nomor 1


Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas
Status Badan Hukum dan Pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil,
Jurnal Economica, Volume V, Edisi 2, Oktober 2014.

Maulidiana, Lina, “Bisnis Waralaba dalam Perspektif Hukum


Kontrak”, Pranata Hukum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014.

Miss, Ni-Asuenah Che-awae, “Strategi Pemasaran Tabungan Haji Di


Koperasi Ibn Affan Wilayah Patani Thailand Selatan, Skripsi,
Jurusan Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013.

Mirza, M, “Akad Rahn dan Akad Ijarah Di Pegadaian Syariah”,


Skripsi, Fakultas Hukum U niversitas Airlangga, 2009.
154

Mohamad, Shamsiah dan Salleh, Safinar, “Upah Simpan Barang


Dalam Skim Ar-Rahnu: Satu Penilaian Semula”, Jurnal Fiqh,
Nomor 5, Edisi 2008.

Mudawam, Syafaul, “Syariah-Fiqih-Hukum Islam (Studi tentang


Konstruksi Pemikiran Kontemporer), Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu
Syariah dan Hukum, Volume 46, Nomor II, Juli-Desember 2012.

Muhammad, Nurdinah, “Memahami Konsep Sakral dan Profan dalam


Agama-Agama”, Jurnal Substantia, Volume 5, Nomor 2,
Oktober 2012.

Mukhlas, “Implementasi Akad Ijarah Pada Pegadaian Syariah Cabang


Solo Baru, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010.

Musadad, Asep Nahrul, “Menyoal Fikih Islam dan Studi Hadis Dari
Relasi Historis-Organik Ke Segregasi Epistemologis”, Episteme,
Volume 10, Nomor 1, Juni 2015.

Mustain, “Etika dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para


Filosof Muslim tentang Kebahagian”, Ulumuna Jurnal Studi
Keislaman, Volume 17, Nomor 1, Juni 2013.

Mustopa, “Akhlak Mulia dalam Pandangan Masyarakat”, Jurnal


Pendidikan Islam, Nadwa, Volume 8, Nomor 2, Oktober 2014.

Muzid, Ade Sofyan, “Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam


Sistem Hukum Nasional Di Indonesia”, Jurnal Ekonomi Syariah
Innovatio, Volume XI, Nomor 2, Juli-Desember 2012.

Nurdianto, Talqis, Nasikh Jumlah Ismiyah (Kajian Inna dan Kaana


Bahasa Arab, Zahir Publishing, Jogjakarta, 2017.

Othman, Azizah, dkk, “Perkembangan Ar-Rahnu Di Trengganu:


Kajian Kes terhadap Ar Rahnu Majelis Agama Islam dan Adat
Melayu Terengganu (MAIDAM). Dimuat dalam Prosiding
Kebangsaan Ekonomi Malaysia Ke-VIII (PERKEM VIII), yang
bejudul Dasar Awam Dalam Era Transformasi Ekonomi:
Cabaran dan Halatuju, diadakan di Johor Baru tanggal 7-9 Juni
2013.
155

Pasaribu, Muksana, “Mashlahat dan Perkembangannya Sebagai Dasar


Penetapan Hukum Islam”, Jurnal Justitia, Volume 1, Nomor 04,
Desember 2014.

Qudsiyah, Novi Auliyatul, “Perlakuan Akuntansi Barang Lelang Pada


Perusahaan Umum Pegadaian Syari’ah Unit Kediri”, Skripsi,
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2016.

Pettit, Philip, “A Theory of Justice?”, dalam Theory and Decision, D


Reidel Publishing Company, Dordrecht, Holland, 1974.

Rahman, Yasir Abdur, "Berakhlak Dengan Akhlak Allah Sebagai


Pilar Pelayanan Prima”, Jurnal Ekbisi, Volume III, Nomor 1,
Desember 2013.

Rahmawati, Galih, “Perjanjian Gadai di Pegadaian Syariah”, Skripsi,


Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2009.

Riyadi, Arif, “Penafsiran Quraisy Shihab tentang Dayn dan Qard


Dalam Tafsir al-Misbah”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004.

Riyanta, “Kewarisan Beda Agama (Studi Pandangan Muadz bin


Jabal)”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Fakultas Syariah dan
Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Volume 46
Nomor 1 Januari Juni 2012.

Rasmin, Nur Hayati dan Markom, Ruzian, “Ar-Rahnu Governance


Laws In Malaysia: An Analysis In Banks and Non-Banks
Financial Institutions, dimuat dalam International Conference of
Global Islamic Studies 2014, yang diadakan di University of
Salford Manchester tanggal 28 April 2014.

Razak, Azila Abdul, “Economic and Religious of The Islamic and


Conventional Pawnbroking in Malaysia: Behavioural and
Perception Analysis”, Thesis, Submitted n Fullfillment of the
Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy at The
School of Government and International Affairs Institute of
Middle Eastern and Islamic Studies, Durham University, United
Kingdom.
156

Rifa’I, Tsalis, “Komunikasi Dalam Musyawarah (Tinjauan Konsep


Asyura dalam Islam)”, Jurnal Channel, Volume 3, Nomor 1,
April 2015.

Safitri, Arma, “Pegadaian Syariah”, Laporan Penelitian yang Tidak


Dipublikasikan, Program Studi Muamalat Jurusan Perbankan
Syari’ah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009.

Said, Rukman Abdul Rahman, “Konsep Al-Quran tentang Riba”,


Jurnal al-Asas, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2015.

Salam, Rahayu, “Assitulengeng: Bentuk Tolong Menolong Dalam


Upacara Aqiqah Di Pulau Salemo”, Jurnal Walasuji, Volume 5
Nomor 2, Desember 2014.

Setiawan, Deny, “Kerja Sama (Syirkah) Dalam Ekonomi Islam”,


Jurnal Ekonomi Volume 21, Nomor 3, September 2013.

Shobirin, “Jual Beli dalam Pandangan Islam”, Jurnal Bisnis dan


Manajemen Islam, Volume 3 Nomor 2, Desember 2015.

Shomad, Abd, “Dinamisasi Penormaan Hukum Islam”, Jurnal


Perspektif, Volume XV, Nomor 2, Edisi April, Tahun 2010.

Simamora, Yohanes Sogar, “Prinsip Hukum Kontrak dalam


Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah”, Disertasi, Program
Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2005.

Suhaina, Siti, “Perbandingan Hukum Gadai Syariah dengan Gadai


Konvensional Pada PT Pegadaian Pekanbaru”, JOM Fakultas
Hukum, Volume III, Nomor 2, Oktober 2016.

Surilawana, Nor, dkk, “The Comparison Between Ar-Rahn and


Conventional Pawn Broking”, dalam Global Business and
Economics Research Journal, Volume 3 Nomor 5.

Syarif, B Mohd, “Skim Ar Rahnu: Ke Arah Pengukuhan Kerjasama


Serantau” dalam Konvensyen Pajak Gadai Islam (Ar Rahnu)
Serantau, Makalah, Kuala Lumpur 27-28 Oktober 2002.

Syukron, Ahmad, “Rekonstruksi Hukum Islam: Kajian Historis Atas


Urgensi Pelembagaan Wakaf Produktif di Indonesia”, Jurnal
Penelitian, Volume 8 Nomor 2, November 2011.
157

Usanti, Trisadini Prasastinah, “Karakteristik Prinsip Kehati-Hatian


Pada Kegiatan Usaha Perbankan Syariah”, Disertasi, Program
Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2010.

Waeduere, Mr Huessen, “Penerapan Sistem Manajemen Koperasi


Islam Pada Ibnu Affan Saving Co-Operative Ltd Provinsi Patani
Thailand Selatan”, Skripsi, Fakultas Agama Islam, Prodi
Muamalat, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016.

Wijaya, Abdi, “Eksistensi Hukum Islam dalam Perubahan Sosial”,


Jurnal Al-Risalah, Volume 10 Nomor 2, November 2010.

Winthrop, Delba, “Aristotle and Theories of Justice”, dalam The


American Political Science Review, Volume 7, Nomor 4,
Desember 1978.

Zulkifli, “Pengembangan Ushul Fiqh (Perspektif Dalil-Dalil Normatif


Al-Quran)”, Jurnal Hukum Islam, Volume XIV, Nomor 1, Juni
2017.

III. Tafsir Qur’an, Kitab Kumpulan Hadits, Kitab Undang-


Undang, Kamus, Ensiklopedia, Handbook

Al-Mubin, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Penerbit Pustaka Al-


Mubin, Jakarta Timur, 2013.

Bisri, Adib, dan Fatah, Munawwir A, Kamus al-Bisri, Pustaka


Progresif, Surabaya, 1999.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary (Definition of the


Terms and Phrases of American and English Jurisprudence,
Ancient and Moderen), Revised Fourth Edition, S.T. Paul Minn.
West Publishing Co., 1968, h. 1357.

Buku Pedoman Pegadaian Syariah, Pedoman Operasional Gadai


Syariah, Pegadaian Syariah Kantor Pusat, Jakarta, Januari 2007.

Campo, Juan, Encyclopedia of Islam, An Imprint of Infobase


Publishing, United States of America, 2009.

Departemen Agama RI, Al-Qur’anulkarim dan Terjemahannya,


Syaamil Cipta Media, Jakarta, 2006.
158

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


ed. 3, Balai Pustaka, Jakarta, 2002.

Dimasqi, Al Imam Abul Fida Ismai’il Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Katsir
Juz 5, Terjemahan Bahrun Abu Bakar dan H. Anwar, Cetakan I,
Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2000.

_____________________________________________ , Tafsir Ibnu


Katsir Juz 6 (terjemahan), Sinar Baru Algensindo, Bandung,
2007.

Ensiklopedia Islam, Ichtiar Baru Van Hoefe, Jakarta, 1997.

Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 10, Cipta Adi Pustaka, 1990.

Esposito, John L. (Editor), The Oxford Dictionary of Islam, Oxford


University Press, New York, 2003.

Garner, Bryan A, (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, Tenth


Edition, West, A Thomson Business, USA, 2004.

Leigh, Lilian dan Wu, Kai, The Law Handbook (Your Practical), 13th
Edition, Thomson Reters, Australia, 2014.

Masykur, Imam Ghazali, dkk, Al-Mumayyaz (Al-Qur’an Tajwid


Warna Transliterasi Per Kata Terjemahan Perkata, Cipta Bagus
Segara, Bekasi, 2014.

Munawir, AW, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap (Edisi


Kedua), Pustaka Progresif, Surabaya, 1997.

Muzaki, M, Kamus Indonesia Arab dan Arab Indonesia, Gama Press,


Jakarta, 2014.

Purwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai


Pustaka, Jakarta, 1976.

Sholihin, Ahmad Ifham, Buku Pintar Ekonomi Syariah (Handbook),


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.

Soebekti, R. dan Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata (Terjemahan Burgelijk Wetboek), PT. Balai Pustaka,
Jakarta Timur, 2014.
159

Soesilo, M., Kamus Hukum, Penerbit Gama, Jakarta, 2009.

Thabathabai’, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, al-Jashshas, 1970.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, 2002.

Waluyo, Edi (Editor), Hadits Arba’in An-Nawawiyah Terjemahan


Bahasa Indonesia, A.W. Publisher, Surabaya, 2014.

IV. Laman Internet

Ardiansyah, Said Yai, “Bahaya Kebiasaan Berhutang”, (3 Maret


2009), https://muslim.or.id/13427-bahaya-kebiasaan-
berhutang.html, diakses tanggal 21 Agustus 2016.

Baits, Ammi Nur, “Hukum Jual Beli Lelang” (21 Maret 2014),
https://konsultasisyariah.com/22125-hukum-jual-beli-lelang.html,
diakses tanggal 17 Desember 2017.

Duwaisy, Isa bin Ibrahim, “Jual Beli Mulamasah” (5 Januari 2015),


https://almanhaj.or.id/4037-jual-beli-mulamasah-jual-beli-
munabadzah-jual-beli-hashah-jual-beli-muhaqalah.html, diakses
tanggal 21 Agustus 2016.

Grammy, Abbas P, “There Ain’t No Such Thing As A Free Lunch” (9


April 2012), https://www.csub.edu/kej/_files/FreeLunch.pdf,
diakses 20 Maret 2016.

Hasyimi, Muhammad Ali. “Keadilan dan Persamaan dalam


Masyarakat Muslim”, (29 Juli 2009),
https://islamhouse.com/id/articles/228039/, diakses 1 Januari
2016.

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir, “Niat Untuk Berbuat Baik Mendapat
Pahala”, (1 Maret 2013), https://almanhaj.or.id/3546-niat-untuk-
berbuat-baik-mendapat-pahala.html, diakses November 2016.

_________________________,”Ruh Seorang Mukmin Tertahan Pada


Hutangnya Hingga Dilunasi”, (31 Agustus 2012),
https://almanhaj.or.id/3350-ruh-seorang-mukmin-tertahan-pada-
hutangnya-hingga-dilunasi.html, diakses 21 Agustus 2016.
160

__________________________,”Membantu Kesulitan Sesama


Muslim dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga”, (23 April
2012), https://almanhaj.or.id/3350-ruh-seorang-mukmin-
tertahan-pada-hutangnya-hingga-dilunasi.html, diakses 21
Agustus 2016.

Masing, Andrey, “Karl Bergbohm” (23 Februari 2016),


https://www.geni.com/people/Karl-Bergbohm, diakses 20
Februari 2017.

Purnama, Yulian, “Penjelasan Hadits Mintalah Fatwa Pada Hatimu”


(9 Februari 2017), https://muslim.or.id/29444-penjelasan-hadits-
mintalah-fatwa-pada-hatimu.html, diakses pada tanggal 10
Desember 2017.

Sahbani, Agus, “UU Perkoperasian Dibatalkan Karena Berjiwa


Korporasi” (28 Mei 2014),
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5385bfa83b01f/uu-
perkoperasian-dibatalkan-karena-berjiwa-korporasi, diakses
tanggal 1 Oktober 2017.

Sa’id, Ummu, “Tanyakan Pada Hatimu” (20 Oktober 2012),


https://muslimah.or.id/3281-tanyakan-pada-hatimu.html, diakses
pada tanggal 10 Desember 2017.

Stanford Encyclopedia of Phylosophy, “John Austin” (2 Februari,


2002), http://plato.stanford.edu, diakses 20 Maret 2016.

Tetly, Q.C Wiliam, “Good Faith in Contract Particularly in the


Contracts of Arbitration and Chartering” (26 Januari 2004),
McGill Unversity,
http://tetley.law.mcgill.ca/comparative/goodfaith.pdf, diakses
pada tanggal 20 Maret 2016.

Tuasikal, Muhammad Abduh, “Mudahkanlah Orang Yang Berhutang


Kepadamu” (23 Juli 2009), https://rumaysho.com/149-
mudahkanlah-orang-yang-berutang-padamu.html, diakses
tanggal 20 Maret 2016.

_______________________, “Bahaya Orang Yang Enggan Melunasi


Hutangnya” (24 Juli m2009), https://rumaysho.com/187-bahaya-
orang-yang-enggan-melunasi-hutangnya.html, diakses tanggal 20
Maret 2016.
161

Voa Islam, “Subhanallah, Aisyah dan Shafiyah Adalah Ummul


Mukminin Cerdas”, (25 Februari 2014), https://www.voa-
islam.com/, diakes 15 Desember 2016.

V. Korespondensi

Diskusi penulis dengan Professor Karen Lebacqz via email pada


Bulan November 2016.
162

DAFTAR RIWAYAT HIDUP SINGKAT

A. Identitas

Nama : Muh. Sjaiful


NIP : 19680126 2003 12 1 001
Tempat Tanggal Lahir : Makassar, 26 Januari 1968
Nama Orang Tua :
1. Ayah : Nurdin Arifin
2. Ibu : Hj. Siti Zakiah Daud
Nama Isteri : Sartina Malaka, S.Pd.
Anak :
1. Aqilah Badrani Al-Fatihah (Lahir 22 September 2006)
2. Dzakiroh Humairoh Qurrata’ain (Lahir 17 Mei 2008)
3. Fakhiroh Dzihnih Salimah (Lahir 21 Maret 2010)
4. Muhammad Asyam Fathul ‘Ulum (Lahir 8 Januari 2013)
5. Dafitha Nur Azizah (Lahir 11 November 2015)
6. Muhammad Asyraf Mikhail Othello (Lahir 8 November 2017)

B. Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri Kapotha Yudha Makassar, Tamat 1981


2. SMP Negeri 3 Makassar, Tamat 1984
3. SMA Negeri 3 Makassar, Tamat 1987
4. Akademi Bahasa Asing, Jurusan Bahasa Inggeris, 1992
5. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Jurusan Hukum
Internasional, Tamat 1994
6. Magister Hukum, Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin, Tamat 1999

C. PENGALAMAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DAN


KEMAHASISWAAN

1. Ikatan Pelajar Muhammadiyah Cabang Makassar 1984-1986


2. Bidang Kerohanian OSIS SMA Negeri 3 Makassar 1985
3. Redaktur Ahli Jurnal Mahasiswa International Law Student
Association Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 1990-
1991
4. Kolumnis Tetap Koran Identitas Universitas Hasanuddin
Makassar 1990-1992
163

D. Riwayat Pekerjaan

1. Guru Bahasa Inggeris dan Pendidikan Pancasila Madrasah


Aliyah Pesantren Hidayatullah Balikpapan Kalimantan Timur
1995

2. Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Satria


Makassar, 1996-2001

3. Dosen Pengajar Hukum Internasional Fakultas Syariah Institut


Agama Islam Negeri Sultan Alauddin Makassar, 1999-2000

4. Dosen Kontrak Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu


Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo 2001-2003

5. Dosen Pengajar Mata Kuliah Sistem Hukum Indonesia


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo
2005-2013

6. Dosen Pengajar Mata Kuliah Pancasila dan Pendidikan


Kewarganegaaran Fakultas Teknik Universitas Halu Oleo
2001-2014

7. Asisten Dosen Pengajar Program Magister Hukum Kelas


Kerjasama Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Jakarta dengan Universitas Muhammadiyah Kendari, Mata
Kuliah Bahasa Inggris Hukum dan Politik Hukum, 2010-2014

8. Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Golongan IIIb, Tenaga


Pengajar Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo,
Pengangkatan 1 Desember 2003

9. Pegawai Negeri Sipil, Golongan IIIb, Penata Muda Tingkat I,


Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo,
Pengangkatan 1 Desember 2004.

10. Pegawai Negeri Negeri Sipil, Golongan IIIc, Penata, Dosen


Tetap Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, Pengangkatan
1 Oktober 2009

11. Pegawai Negeri Negeri Sipil, Golongan IIId, Penata Tingkat I,


Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo,
Pengangkatan 1 Oktober 2011
164

E. Riwayat Jabatan

1. Jabatan Fungsional Dosen Asisten Ahli, Pengangkatan 1 April


2005

2. Jabatan Fungsional Dosen Lektor, Pengangkatan 1 Maret


2009

3. Sekretaris Unit Jaminan Mutu Fakultas Hukum Universitas


Halu Oleo, 2009-2010

4. Ketua Unit Jaminan Mutu Fakultas Hukum Universitas Halu


Oleo, 2010-2014.

5. Wakil Dekan IV Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo,


2014

6. Kepala Pusat Penelitian Hukum, HAM, dan Anti Korupsi,


Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Halu Oleo, 2014- Sekarang.

F. Pengalaman Penelitian

No Judul Penelitian Tahun Anggaran


Pelaksanaan
1 Studi Persepsi Hukum
Masyarakat terhadap Praktik 2005-2006 Biaya DIPA
Pembalakan Liar di Kab Dikti Tahun
Konsel. (ANGGOTA) anggaran 2005
Penanggulangan Konflik Lahan
2 Pertambangan Masyarakat 2013 Biaya Dikti
Lokal Melalui Penyelesaian Tahun
Sengketa Non-Litigasi Berbasis Anggaran 2013
Pertahanan Semesta Di
Sulawesi Tenggara
(ANGGOTA)
Penanggulangan Konflik Lahan
3 Pertambangan Masyarakat 2014 Biaya Dikti
Lokal Melalui Penyelesaian Tahun
Sengketa Non-Litigasi Berbasis Anggaran 2014
Pertahanan Semesta Di
Sulawesi Tenggara (Penelitian
165

Lanjutan) (ANGGOTA)
Perlindungan Hak-Hak
4 Ekonomi Nelayan Miskin Di 2016 Biaya Dikti
Wilayah Pesisir Sulawesi Tahun
Tenggara Melalui Penguatan Anggaran 2016
Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat (ANGGOTA)
Model Penyelesaian Konflik
5 Agraria Melalui Pranata 2017 Biaya Dikti
Mediasi Yang Tahun
Mengintegrasikan Peran Anggaran 2017
Lembaga Bantuan Hukum
Berbasis Perguruan Tinggi
Di Sulawesi Tenggara
(KETUA)
Model Penyelesaian Konflik
6 Agraria Melalui Pranata 2018 Biaya Dikti
Mediasi Yang Tahun
Mengintegrasikan Peran Anggaran 2018
Lembaga Bantuan Hukum
Berbasis Perguruan Tinggi
Di Sulawesi Tenggara
(Lanjutan) (KETUA)

G. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat

No Nama Kegiatan Pengabdian Tahun Anggaran


Pelaksanaan

1 Tenaga Penyuluh Pada 2003 Biaya DIPA


Kegiatan Penyuluhan Hukum Unhalu
di Kecamatan Rumbia
Sulawesi Tenggara
Tenaga Penyuluh Pada
2 Kegiatan Penyuluhan Hukum 2005 Biaya DIPA
Bahaya Narkoba Bagi Generasi Unhalu
Muda Di SMA Negeri
Wawotobi
Tenaga Penyuluh Pada
3 Kegiatan Penyuluhan Hukum 2005 Biaya DIPA
tentang Sanksi Bagi Pelaku Unhalu
166

Illegal Fishing Pada


Masyarakat Nelayan
Kecamatan Soropia Sulawesi
Tenggara
4 Tenaga Instruktur pada Biaya Pemda
Pelatihan Jurnalistik Lingkup 2007 Kabupaten
Pemerintahan Kabupaten Konawe
Konawe
Tenaga Instruktur Diklat Biaya Redaksi
5 Jurnalistik Harian Kendari Pos 2009 Harian Kendari
Pos
Tenaga Instruktur Bimbingan Biaya Kantor
6 Teknis Tenaga Penyuluhan 2009 Wilayah
Hukum Kantor Wilayah Departemen
Departemen Hukum Dan HAM Hukum Dan
Sulawesi Tenggara HAM Sulawesi
Tenggara
Tenaga Instruktur pada Biaya Kantor
7 Bimbingan Teknis Penulisan 2009 Wilayah
Peraturan Perundang-undangan Departemen
sesuai UU Nomor 10 Tahun Hukum Dan
2004 Bagi Para Kepala Desa Se HAM Sulawesi
Sulawesi Tenggara Tenggara
Tenaga Penyuluh pada
8 Kegiatan Penyuluhan tentang 2008 Biaya Mandiri
Urgensi Aspek Kultural
Relijius dalam Perencanaan
Kawasan Tata Ruang Menuju
Kendari Bertakwa Kelurahan
Aundonohu Kota Kendari
Tenaga Penyuluh pada Biaya DIPA
9 Kegiatan Penyuluhan tentang 2008 Unhalu Tahun
Penanggulangan Bahaya Anggaran
Pemanasan Global sebagai 2008
Dampak Penggunaan Alih
Teknologi Melalui Pendekatan
Holistik Islam Pada SMKN 2
Kendari
Tenaga Penyuluh Pada
10 Kegiatan Penyuluhan Hukum 2010 Biaya Mandiri
Penyuluhan Hukum Terhadap
Masyarakat Desa Ranooha
Kecamatan Tinanggea Tentang
167

Bahaya Minuman Beralkohol


Sebagai Penyebab Kejahatan
yang Menjadi Pemicu
Kerawanan Sosial

Tenaga Instruktur pada


11 Bimbingan teknis tenaga 2011 Biaya DIPA
mediator bagi kepala desa Unhalu
dalam penyelesaian sengketa
non-litigasi di kabupaten
konawe
Pelatihan Teknik dan
12 Strategi Melakukan 2013 Biaya DIPA
Penyuluhan Hukum Bagi Para Unhalu
Kepala Desa Di Kecamatan
Bondoala Kaupaten Konawe

H. Riwayat Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal Nasional


Tidak Terakreditasi dan Terakreditasi

No Judul Artikel Nama Jurnal Volume/Nomor/


Ilmiah Tahun
1 Status Hukum Jurnal Protektorat ISSN: Edisi
Kawasan 1829-6653, Tidak 11/th.IV/FH/2007
Perairan Terakreditasi
Ambalat
Menurut
Tunjauan
Konvensi
Hukum Laut
Jenewa 1982

2 Penerapan Asas Jurnal Protektorat ISSN: Edisi


Pacta Sunt 1829-6653, Tidak 11/th.IV/FH/2007
Servanda dalam Terakreditasi
Perjanjian
Ekstradisi
Indonesia-
Singapura
3 Shopping Mall Jurnal Penelitian Edisi No 26 Tahun
dan Pengaruhnya MIMBAR AKADEMIK XVII, Mei 2007
terhadap ISSN:0853-5361, Tidak
interaksi Jual Terakreditasi
168

Beli dan
Tindakan
Komunikasi di
Tempat Belanja

4 Penyebab Sumber Daya Insani Edisi Juli 2007 Vol


Sulitnya ISSN: 0216-4345, Tidak III No 2
Pemberantasan Terakreditasi
Tindak Pidana
Korupsi Di
Indonesia
5 Studi Persepsi Sumber Daya Insani Edisi Khusus Milad
Hukum ISSN: 0216-4345, Tidak VI UMK Oktober
Masyarakat Terakreditasi 2007 Vol III No 3
terhadap Praktik
Pembalakan Liar
di Kab Konsel
1Studi Kritis Volume 13 Nomor
Jurnal Hukum Respublica
6 Perjanjian Utang 2 Halaman 194-
ISSN 1412-2871, Tidak
Piutang Dalam 206/ Mei 2014.
Terakreditasi
Pegadaian
Syariah Di
Indonesia
2Model Jurnal Ilmu Hukum ISSN Volume 9 Nomor 1
7 Penyelesaian 2085-4757, Tidak Halaman 51-
Sengketa Lahan Terakreditasi 65/April 2014
Pertambangan
Masyarakat
Lokal Di
Kabupaten
Bombana
Sulawesi
Tenggara.
3Penegakan Asas Jurnal Kultura ISSN 1411- Volume 15 Nomor
8 Taawun Dalam 0229, Tidak Terakreditasi 1 Halaman 4636-
Perjanjian Utang 4642/Desember
Piutang Di 2014.
Pegadaian
Syariah.
4Karakteristik Jurnal Perspektif Hukum Volume 15 Nomor
9 Asas Kebebasan ISSN 1411-9536, Tidak 1 Halaman 68-
Berkontrak Terakreditasi 84/Mei 2015
Dalam Perjanjian
169

Berbasis
Syariah.
5Studi Kritis Jurnal Ijtihad ISSN 1411- Volume 15 Nomor
10 Model Perjanjian 9544, E-ISSN 2477-8036 1 Halaman 119-136/
Mudharabah (Terakreditasi). Juni 2015.
Pada Perbankan
Syariah Di
Indonesia
1Urgensi Prinsip Hasanuddin Law Review Volume 1 Nomor 2
11 Proporsionalitas ISSN Print 2442-9880 Halaman 228-
Pada Perjanjian ISSN on line 2442-9899 241/Agustus 2015.
Mudharabah Di (Terindeks DOAJ,
Perbankan Copernicus)
Syariah
Indonesia.
7Studi Normatif Jurnal Al-Maslahah P- Volume 11 Nomor
12 Anti Tesa ISSN 1907-0233 E-ISSN: 2 Halaman 1-
Pemikiran 2502-8367, Tidak 16/Oktober 2015
Hukum Syariah Terakreditasi
Terhadap
Pemikiran
Mazhab Hukum
Alam
13 Reformulating Karsa, Jurnal Sosial dan Volume 24 No.2,
the Contract Budaya Keislaman, ISSN Desember 2016
Formats of 2442-3289, e-ISSN 2442-
Islamic Financial 4285,
Institutions in Terakreditasi:80/DIKTI/
Indonesia toward KEP/2012
Maqashid al-
Syari’ah Based
Contracts

I. Riwayat Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal Internasional


Terindeks

No Judul Artikel Nama Jurnal Volume/Nomor/Tahun


Ilmiah
1 Land Mines International Journal Volume 4 Issue 12/
Conflict of Science and Desember 2015
Dispute In Research (IJSR) ISSN
Southeast (Online): 2319-7064
Sulawesi
170

Indonesia
2 Reconstruction International Journal Volume 5 Issue 5/ Mei
towards Model of Bussiness and 2016.
for Dispute Management
Resolution of Invention ISSN (Print)
Islamic : 2319-801X ISSN
Business in (Online) : 2319-8028
Indonesia
3 Protection For International Journal Volume 4 Isssue
Poor of Advanced 11/November 2016
Fishermen’s Research (IJAR) ISSN
Economic 2320-5407
Right Through
Strengthening
Of The
Institution For
Community
Empowerment
In Southeast
Sulawesi,
Indonesia

4 The Principles Journal of Law, Policy Volume 6/Mei 2017


for Islamic and Globalization
Debt Contract ISSN (Paper)2224-
in the Sharia 3240 ISSN
Pawnshop of (Online)2224-3259
Indonesia
5 The Model for The International Volume 5 Issue
Resolution of Journal of Humanities 10/Oktober 2017
Land Conflict & Social Sciences
through the ISSN 2321-9203
Mediation
Integrating
Legal Aid
Based on
College In
South East
Sulawesi
Province,
Indonesia.
171

J. Pengalaman Mempresentasikan Makalah Pada Pertemuan


Ilmiah Nasional

No Judul Makalah Waktu dan Nama Kegiatan


1 Potret Buruk Dialog Hukum Nasional yang
Penegakan Hukum diadakan oleh Fakultas Hukum
Indonesia Unhalu pada tanggal 12 Juni 2008
2 Netralitas Dewan Seminar Nasional, Kerjasama Fisip
Keamanan PBB Unhalu dengan Departemen Luar
Negeri RI pada tanggal 21 Agustus
2008, bertempat di Auditorium Fisip
Unhalu
3 Refleksi Perjalanan Dialog Hukum Nasional yang
Hukum 10 Tahun diadakan oleh Fakultas Hukum
Reformasi Unhalu pada tanggal 12 Juni 2008
4 Partisipasi PolitikSeminar Nasional Departemen Hukum
Masyarakat Pasca dan HAM Provinsi Sulawesi Tenggara
Amandemen UUD pada 24 Maret 2009
1945
5 Demokrasi Antara Seminar Politik Nasional Di Aula
Konsep Dan Realita Mokodompit Universitas Halu Oleo
Tanggal 23 Februari 2013
6 Rekonstruksi Model Seminar Nasional Percepatan
Perjanjian Pembangunan Ekonomi Indonesia
Mudharabah pada Perspektif Kewilayahan dan Syariah,
Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi Universitas Halu
Oleo Kendari pada 11 Oktober 2014
7 Nilai Hukum Seminar Nasional Pengembangan
Perspektif Syariah Epistemologi Ilmu Hukum, Sekolah
Versus Epistemologi Pascasarjana Universitas
Hukum Berbasis Muhammadiyah Surakarta, pada 11
Hukum Kodrat dan April 2015.
Positivisme
8 Titik Kritis Konfrensi ke-6 Asosiasi Filsafat
Hermeneutika sebagai Hukum Indonesia, Tema “Anatomi
Metode Tafsir Hukum-Pluralisme ataukah Integrasi?
terhadap Nilai-Nilai Pada 17-19 November 2016,
Kefilsafatan Hukum bertempat di Kampus Pascasarjana
Islam Imu Hukum, Universitas Pasundan,
Bandung.
172

K. Pengalaman Mempresentasikan Makalah Pada Pertemuan


Ilmiah Internasional
No Nama Temu Judul Artikel Waktu dan Tempat
Ilmiah/Seminar Ilmiah
1Jakarta International Islamic Religious 14-15 Desember
1 Conference of Law in The 2013, University
Muslims Intellectuals Democracy Trap of Indonesia-
Convention Hall
Smesco Jakarta
2International Land Mines 23-24 September
2 Conference: Conflict In 2014, Fakultas
Indonesia-Australia Southeast Hukum
Relations from The Sulawesi Universitas
Perspective of Airlangga
International Law
Human Rights and
Regional Security
3The International Reconstruction of 26-27 November
3 Conference and Call Islamic Economic 2014, Fakultas
for Papers On Law Model Dispute Hukum
and Sustainable Resolution In Universitas
Development Indonesia Sebelas Maret
Amongst Deeveloped Solo, Bertempat di
and Developed Sunan Hotel Solo
Countries (ICCP
UNS)
4First Gadjah Mada Contract 12-14 Mei 2016,
4 International Restructuring on Gedung Magister
Conference on Islamic Financial Sains Pascasarjana
Islamic Accounting Institutions Fakultas Ekonomi
and Finance Which Based dan Bisnis
Maqashid Universitas Gadjah
Syariah In Mada.
Indonesia
5The 1st International The Model for 25-26 Oktober
5 Conference on Resolution of 2017, bertempat di
Islamic Bussiness Land Conflict Fakultas Hukum
Law: Sharia Through the Universitas
Compliance Mediation Airlangga
Integrating Legal
,Aid Based on
College In South
Easr Sulawesi
173

Province In The
Sharia
Perspective
6The International The Legal Study 15-16 November
6 Conference on Law, on Corporate 2017, bertempat di
Governance and Social SwissBell Hotel
Globalization, Responsibility In Manyar Surabaya.
Faculty of Law, The Realization
Airlangga University for
Environmental
Development In
South East
Sulawesi

L. Karya Buku Yang Dipublikasikan

No Judul Buku Tahun Jumlah ISBN Penerbit


Halaman
1 Wajah Politik 2014 xvi, 149 978- Komunika
Hukum 602-
Indonesia 98683-
(Penulis 6-4
Tunggal)
2
2 Nomenklatur 2015 xi, 276 978- Komunika
Sistem Hukum 602-
Indonesia 98683-
(Tulisan 9-5
Bersama Prof
Dr H.
Muhammad
Jufri, SH. MS

M. Lain-Lain

1. Kolumnis Tetap Harian Kendari Pos, Rubrik Catatan Hukum,


2005 sampai 2015

2. Ombudsman Harian Kendari Pos 2005 sampai 2015

Anda mungkin juga menyukai