: 2615-1359
Muhammad Zainudin
Pasca Sarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Jalan Ir.Soekarno No.34 Dadaprejo Kota Batu 65233 Jawa Timur, (0341) 531133
PENDAHULUAN
Pada setiap ajaran yang ada di muka bumi ini, mempunyai ketetapan
hukum yang berlaku dari segi agama yang dimiliki setiap orang dari ketentuan
atau hukum yang mengikat para penganutnya. Agama islam merupakan agama
yang tidak luput dari hukum dan peraturan, islam sebagai agama samawi yang
terjaga kemunianya dan kesucian kitabnya, jauh dari kerusakan dari tangan jahil
manusia. Al Quran merupakan sumber hukum utama dalam agama islam
patutlah di pahami dan kaji secara mendalam oleh manusia yang beriman agar
mampu menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi-Nya Allah SWT.
Al-Quran sebagai wahyu diturunkan kepada nabi Muhammad SAW
sebagi bukti kerasulan dan juga sebagai sumber utama dari hukum islam
menjelasakan antara perintah dan larangan baik itu berupa hubungan kita
sesama manusia (hablum minannas) dalam bermuamalah, begitupun hubungan
kita dengan Allah SWT (hablum minallahI) dalam hal menyembah kepadanya.
Rasullah SAW memberikan penjelasan Al-Quran berupa hadist-hadist yang
menjelaskan ayat. Jadi AL-Quran dan hadits pegangan utama umat islam
menjalani kehidupan, agar mendapatkan keberkahan dunia dan akhirat (Ridwan
et al., 2021).
Islam merupakan ajaran ilahi yang holistik (seragam) dan lengkap
menyangkup semua aspek kehidupan. Itu sebabnya islam di lihat secara global
dari segi hukum berupa Al-Quran , Hadits, Ijma, Qiyas untuk di terapkan
kedalam kehidupan sehari-hari. Setiap pekerjaan atau kegiatan dalam islam,
termasuk kegiatan ekonomi, harus tetap dalam karangka hukum dan syariah
(hukum tuhan), ekonomi islam memiliki sifat dasar sang pencipta dan ekonomi
manuisa. Ekonomi yang di atur oleh islam dapat membawa kebaikan dan
kesejahteraan secara utuh ( falah) dalam hidup dan kehidupan.
Setiap individu muslim yang mukallaf memiliki tanggung jawab atas
tindakan atau perbuatan yang dilakukanya dalam berbagai aktifitasnya harus
selalu mematuhi hukum-hukum ilahi, serta dalam mu’amalah. Secara singkat
prinsip bermuamalah yang telah diabadikan hukum islam terkandung dan di
wujudkan dalam aturan dasar fiqih mu’amalah. Mengingat akan hal ini ,sangat
penting untuk mengetahui jelas apa yang harus di lakukan dan apa yang tidak
(Armanto, 2020).
Perkembangan ekonomi syariah dan bisnis finansial di indonesia tidakan
pernah lepas dari hukum dan aturan islam baik itu hukum di Al-Quran, Hadits,
Ijma’, Qiyas, bank telah bertranformasi dari awalnya yang hanya menewarkan
praktik ekonomi dalam bentuk lain sebagai alternatif pilihan dari praktek
ekonomi konvensional yang telah duluan berkembang, perkembangan ini akan
bergeser pada potensi untuk bermain di arus utama peraturan ekonomi di
indonesia, sehingga nanti ekonomi syariah dan bisnis finansialnya dapat menjadi
pemain utama dalam sektor ekonomi di indonesia. Hal ini tak lepas dari peran
pememrintah yang telah menerbitkan UU perbankan No. 10/1998 dimana telah
mengkomodir bank syariah. Perkembangan bank-bank syariah sejak tahun 2000
sampai tahun 2004 saja telah mengalami perkembangan rata-rata 50%.
Penelitian ini akan menjelaskan pengaplikasian Ijma’ dan Qiyas sebagai
sumber hukum ekonomi syariah dimana kegiatan ekonomi syariah dan
prakteknya tidak akan lepas dari hukum islam yang berupa Al-Quran, Hadits,
Ijma dan Qiyas dimana kegitan ekonomi syariah dalam zaman kiwari
bertumbuh sangat signifikan di indonesia dari tahun ke tahun. Pada Ijma’ dan
Qiyas di posisikan sebagai urutan ketiga dan keempat sebagai sumber hukum
yang banyak di pakai oleh kaum muslimin se-dunia dalam bermuamalah
ataupun sebagai sumber hukum dalam praktek ekonomi (Ghulam, 2018).
METODE PENELITIAN
Penilitian ini mengunakan metode kualtitaf dengan pendekatan
deskriptif, Bentuk penilitian yang di gunakan adalah study kepustakaan
(literature) untuk menentukan dimana letak hukum Ijma’ dan Qiyas dalam
penetapan hukum ekonomi dan mencari sumber-sumber hukum Ijma’ dan Qiyas
sebagai sumber hukum ekonomi syariah.
Dalam hal ini yang menjadi argumentasi (hujjah) bukan Ijma’ melainkan dalil-dalil
nash qoth’i. Dengan demikian Ijma’ tidak memiliki peran apa-apa karena Ijma’
bisa di katakan berfungsi jika mampu meningkatkan hukum yang bersifat dhony
(lemah) menuju Qoth’i (kuat).
Syarat-syarat Ijma’
Ijma’ sangat di perlukan jika persoalan-persoalan ummat yang tidak ada
dalam Al-Quran dan Hadits. Kemudian dalam perkembangan ulama ushul fiqih
memberikan penjelasan pada ijma’ada kaidah-kaidah dan syarat-syarat yan
harus dipenuhi sehingga sebuah ijtihad bisa di katakan sebuah Ijma’ yaitu:
1. Timbulnya kesepakatan artinya, kesepakatan yang dilahirkan atas dasar
kesamaan baik keyakinan, perbuatan dan perkataan.
2. Para mujtahid, mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam
mengambil beberapa hukum.
Dari dua syarat ini menurut abdul wahab khallaf, Ijma’ terbagi menjadi
dua yaitu Ijma’sharih (the real Ijma’) dan Ijma’sukuti (the silent Ijma’). Ijma’ sharih
ialah setiap mujtahid wajib menerima kesepakatan atas hujjah(dalil hukum). Ijma’
sukuti,yaitu Ijma sukuti menurut jumhur ulama ialah pendapatan suatu kejadian
yang terjadi dalam sistem fatwa yang tidak memberikan komentar terhadap
pendapat (Muhammad et al., 2021).
Rukun-rukun Ijma’
Jumhur ulama’ Ushul Fiqih merumuskan lima rukun yang harus dipenuhi untuk
terjadinya Ijma’, yaitu:
1. Produk hukum yang dihasilkan melaui Ijma’ tersebut harus diperoleh
kesepakatan seluruh mujtahid. Karenanya, apabila daianta para mujtahid
yang berbeda pandangan atas produk hukum yang dibuat, maka hukum
tersebut tidak dinamakn ijma’.
2. Mujtahid yang terlibat dalam mencurahkan segenap tenaga untuk meng-
istinbatkan hukum tersebut adalah seluruh mujtahid yang ada pada masaitu
yang datang dari penjuru dunia islam.
3. Kesepakatan pendapat/produk hukum itu muncul dari masing-masing
mujtahid setelah mengungkapkan arah pkiranya.
4. Kesepakatan itu terlihat jelas dikemukakan para mujtahid dalam bentuk
pendapat maupun perbuatan.
5. Kesepakatan itu dihasilkan dalam satu perhimpunan para mujtahid.
“para ulama telah ber-ijma’ bahwa praktek talaqqi rukban adalah tidak di
perbolehkan”
“para ulama telah ber-ijma’ bahwa jual beli hutang dengan hutang tidak di
perbolehkan”
“para ulama telah berijma’jual beli hewan secara tunai adalah boleh”.
“para ulama telah ber-ijma’ bahwa 6 benda ribawi apabila dipertukarkan tidak sama
dan tidak secara tunai adalah tidak diperbolehkan”. (Putra, 2021)
c. Ijma’ Ulama Terkait Akad Musyarakah.
Para ulama telah ber-ijma bahwa syirkah yang sah adalah setiap syarik
mengeluarkan modalnya baik dalam bentuk dinar maupun dirham
kemudian keduanya menyatukan modal tersebut sampai menjadi satu
kesatuan modal, kemudian modal tersebut dikelola untuk kegiatan usaha,
apabila ada keuntungan daru hasil usaha tersebut maka keuntungan di
bagi dua, namun apabila ada kerugian dalam usaha tersebut maka
kerugian tersebut pun di bagi dua, jika hal itu dilakukan maka akad
syirkah dipandang sah.
وأمجعوا أنه إذا مات أحد منهما انفسخت الشركة.
“para ulama telah ber-ijma’ bahwa apabila salah satu syarik meninggal dunia
maka akad syirkah tersebut fasak (batal)”.
d. Ijma’Ulama Terkait Akad Qiradh/Mudharabah
“para ulama telah ber-ijam’ bahwa modal akad mudharabah boleh
mengunakan dinar atau dirham”
“para ulama telah ber-ijam’ bahwa amil (mudarib) boleh mensyaratkan
kepada pemilik modal bahwa keuntungan sebesar sepertiga, seperdua atau sesauii
dengan kesepakatan setelah di ketajui oleh keduanya porsinya masing-masing”
“Para ulama telah ber-ijma’ bahwa hukumnya batal (tidak sah) apabila
adanya persyaratan hanya untuk dirinya sendiri keuntungan dalam
mudharabah”.
e. Ijma’ Ulama Tentang Akad Ijarah
“Para ulama telah ber-ijma’ bahwa menyewa tanah dengan upah berupa emas
atau perak pada waktu tertentu adalah di perbolehkan, kecauli thawus dan haram
memakaruhkanya”.
2. Ijma’ Ulama Dalam Mu’amalah Maliyyah Kontemporer
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa ijama’ merupakan
konsesus dari para mujtahid teehadap suatu masalh hukum tertentu. Selain
itu, di era konteporer ini, ijma’ dapat direpretasikan melalui forum-forum
ilmiah seperti majma al-fiqh al-islamiy. Dewan syariah nasional-majelis ulama
indonesia sebagainya. Oleh karena itu, jika bentuk kesepakatan ulama ini di
kaitkan dengan problematika mua’amalah maliyyah mu’ashirah (hukum
ekonomi syariah kontemporer, maka dapat di hasilkan sebagai berikut :
a. Ijma’ Tentang Kaharaman Bunga Bank
Menurut yusuf al-Qardhawi telah lahir sebuah kesepakatan para ulama
(ijma’) dari berbagai lembaga pusat penelitian, muktamar, dan seminar-
seminar fiqih dan ekonomi islam, yang mengharamkan bunga bank (fawaid al-
bunuk), dan bunga bank tersebut ialah riba yang di haramkan tanpa di
ragukan lagi. Kesepakatan itu lahir sejak tahun 1965 sampai sekarang. Di
indonesia majelis ulama imdonesia telah mengeluarkan fatwa tentang bunga
bank. Pada tanggal 16 Desember 2003, MUI mengeluarkan fatwa bahwa
bunga bank termasuk dalam katagori riba kemudian dikukuhkan dengan
pada tanggal 6 januari 2001 dalam fatwa nomor 1 tahun 2004 tentang bunga
(Interst fa’idah).
b. Ijma’ Tentang Keharaman Asuransi Konvensional
Dalam bahasa arab, istilah asuransi disebut dengan istilah al-ta’min yang
berasal dari kata amana yang memiliki arti memberikan ras aman, ketengan,
perlindungan dari rasa takut. Pengertian asuransi ditemukan dalam pasal 1
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 2014 Tentang
perasuransian. Asuransi dalam pandangan fuqaha menuai pro dan kontra ada
yang membolehkanya dan ada juga yang mengharamkanya, dari semua
ulama fuqaha tersebut mempunyai alasan yang rinci mengenai boleh atau
tidak asuransi konvensional.
Pengertian Qiyas
Secara etimologi, Qiyas berasla dari bahasa Arab yang merupakan bentuk
masdar dari kata قاس- یقيس- قياسyang berarti mengukur, membandingkan,
menganalogikan, menyamakan. Sedangkan secara terminologi, Qiyas dapat
dipahami sebagai “mengukur atau mamastikan panjang, berat atau kualitas
sesuatu, aatu kata Qiyas berati mengukur atau menaksir suatu hal tehadap hal
lain. Qiyas menunjukan perbandingan untuk menetapkan persamaan atau
persamaan antara dua hal. Secara teknis, dalam ushul fiqih, Qiyas merupakan
perpanjangan dari hukum syariat dari kasus asal (asl) ke kasus baru (far’) karena
keduanya memilki penyebab efektif yang sama (illah) (Mahsun & Makim, 2021).
Menurut ulama suhul fiqih, pengertian qiyas secara terminologi sebagaiman
yang sudah di jelaskan Amir Syarifuddin terdapat beberapa difinisi,
diantaranya:
1. Al -Ghazali dalam al-mustafa mendifinisikan Qiyas:
مل معلوم على معلوم في إثبات حكم لهما او نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من إثبات حكم او نفيه عنهم
Artinya:”Menanggumgkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui
dalam hal menetapakn hukum pada keduanya ataau meniadakan hukum dari
keduanya di sebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum
atau peniadakan hukum”
2. Ibnu subki dalam bukunya jam’u al-jawmi memberikan denifisi Qiyas:
حمل معلوم على معلوم لمساواته في علة حكمه عند الحامل
Artinya:”menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui
karena kesamaan dalam “illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan
(mujtahid)”.
3. Imam Baidhowi dan mayoaritas ulama syafi’iyyah mendefinisikan Qiyas:
إثبات مثل حكم معلوم في معلوم آخر الشتاركهما في علة الحكم عند المثبت
Syarat-Syarat Qiyas
Adapum syarat-syarat qiyas menurut para ulama ushul fiqih sebagai
berikut:
1. Syarat Al-Ashlu. Ulama ushul fiqih sepakat bahwa syarat dari al-ashlu adalah
suatu hal yang pokok, dan bukan merupakan cabang dari yang lain, atau
bikan cabang dari pokok (hukum) yang lain.
2. Syarat Al-far’u meliputi yaitu: Pertama, Illat yang terdapat pada al-ashlu
memiliki kesamaan dengan illati yang terdapat pada far’u. Kedua, tetapnya
hukum asal; hukum asal tidak berubah setelah dilakukan qiyas. Ketiga, tidak
terdapat nash atau ijma’ pada al-far’u.
3. Syarat hukum al-Ashl, meliputi: Pertama, harus merupakan hukum syar’i.
Kedua, harus merupakan hukum syara’. Ketiga, merupakan sesuatu yang
logis yang bisa ditangkap oelh akal.
4. Syarat ‘illat Ashl yang hukumyatelah disebutkan ole nash kadang-kadang
mencakup beberapa sifat dan kehususan, namun sifat dalam ashl itu tidak
selalu menjadi ‘illat hukum (Wafa, 2020).
Rukun-Rukun Qiyas
Qiyas yang merupakan salah satu metode dalam pengambilan hukum
mempunyai beberapa rukun. Adapun rukun qiyas yang disepakti para ulama
fiqih ada empat macam, yaitu:
1. Ashl, secara bahasa ashl merupakan lafaz musytarok yang bisa diatikan asas,
dasar, sumber dan pangkal. Sedangkan yang dimaksud dengan ashl dalam
pembahsan qiyas ini kasus lama yang dijadikan obyek penyerupaan atau
kasus yang ada ketetapan hukumnya secara tekstual dalam nash maupu ijma’.
Sebagai salah satu rukun qiyas, Ashl juga harus memenuhi beberapa syarat
yaitu:
a. Hukum ashl itu adalah hukum yang telah teatp dan tidak akan di nash-kan.
b. Hukum itu di tetapkan berdasarkan syara’ bukan aqli.
c. Ashl itu bukan merupakan far’u dari nash lainya. Artinya, ketetapan hukum
pada ashl bukanlah berdasarkan qiyas.
d. Dalil yang menetapkan illat pada ashl adalah dalil khusu,tidak bersifat
umum.
e. Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
2. Far’u disebut juga musyabbah atau yang di serupakan, magis atau di qiyaskan.
Secara etimologis, far’u berati cabang, sedangkan dalam konteks qiyas, farú
diartikan sebagai kasus yang di serupakan kepada ashl karena tidak ada nash
secara jelas. Sebagai far’u mempunyai syarat yang harus dipenuhi yakni:
3. Hukum al-ash (hukum asal), yang dimaksud bukm al-ashl adalah hukum atas
suatu peristiwa yang sudah di tetapkan dalam nash dan dikehendaki untuk
menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
4. Al-illah, yang dimaksud al-illah dalam konteks qiyas adalah suatu sifat yang
emperik atau nyata kebenaranya yang terdapat pada peristiwa asal agar suatu
al-illah sah, dijadikan sebagai landasasn qiyas (Masyhadi, 2020).
Macam-Macam Qiyas
Qiyas dapat dibagi menjadi beberapa segi dalam hal ini dapat dibagi tiga
yaitu sebgai berikut:
1. Qiyas Awlawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatn iilat pada furu’. Contoh
mengqiyaskan keharaman mumukul orang tua kepada ucapan “uf” berkata
kasar dengan illat menyakiti. Ditegaskan allah berfirman:
Artinya: ...maka sekali-kali jangan kamu mengatakan kepada keduannya perkataan
“ah”dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah perkataan yang
mulia”(QS. Al-Isra’:23).
2. Qiyas Musawi, qiyas yang berlakunya pada furu’ sama keadaanya dengan
berlakunya hukum pada ashl karena kekuatan illat-nya sama. Umpamanya
qiyaskan dengan memakan harta anak yatim secara tidak pantas dalam
menetapkan hukum haramnya. Firman Allah artinya:
“dan berikanlah kepada anak-anak yatim(yang sudah baliq) harta mereka. Jangan
kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu memakan harta
mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan)
itu, adalah dosa yang besar”.
3. Qiyas adwan, qiyas yang berlakunya pada furu’lebih lemah dibandingkan
dengan berlakunya hukum pada asal meskipun qiyas tersebut memenuhi
peryaratan.mengqiyaskan apel dengan gandum dalam menetapkan
berlakunya riba bila di pertukarkan dengan barang sejenis. Illat-nya bahwa ia
adalah makanan. Memberlakukan hukum riba pada apel lebih rendah dari
pada berlakunya berlakunya hukum riba pada gandum karena illati-nya lebih
kuat (Muslimin, 2019).
Kehujjahan Qiyas
Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya mengelompokan pendapat ulama
ushul fiqih tentang keabsahan Qiyas menjadi dua golongan, sebagai berikut:
1. Golongan yang menerima qiyas sebagai dalil hukum, yang dainut oleh
mayoritas ulama Ushul fiqih.
2. Mereka yang menolak dan menantang qiyas sebagai dalil hukum, yaitu
Ulama Sh’ al-Nazaam, Dhahiriyah dan sebagian ulama Mu’tazilah di irak.
Menurut jumhur ulama Qiyas adalah memiliki hujjah syar’i atas hukum-hukum
muamalah. Qiyas berada pada tingakat keempat dalam urutan sumber hukum
islam setelah Al-Quran, Hadits, Ijma’ ulama. Sedangkan menurut mazhab
Nidzamiyah, zahiriyah, dan sebagian syi’ah berpendapat sebaliknya.
Adapun argumentasi dari kelompok jumhur ulama di atas adalah sebagai
berikut:
Surah an-Nisa’(4): 59:
Artinya”hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya) dan uli
amri di antara kalian. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tetang sesuatu, maka
kembalikan lah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama bagimu
dan lebih baik akibatnya”.
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan alasan pengambilan dalil ayat di atas
sebagi dali qiyas, yakni bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada orang-
orang yang beriman mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan dan
dipertentangkan di antara mereka kepada Allah dan Rasul jika mereka tidak
menemukan hukumnya dalam Al-Quran maupun sunnah. Artinya
menyamakan peristiwa yang tidak ada nash dengan peristiwa yang sudah ada
nashnya di karenakan adanya kesamaan illat-nya, maka permasalahan itu di
katagorikan” mengembalikan permasalahan kepada Allah dan Rasul-nya”.
Qiyas Dalam Istinbath Hukum Ekonomi Dan Keuangan Syariah
1. Ijarah Diqiyaskan Dengan Bai’
Para ulama menqiyaskan sewa (ijarah) dengan jual beli (bai’) karena
keduanya pada hakikatnya adalah jual beli. Akad bai’ adalah jual beli barang,
sedangkan ijarah jual besi jasa maupun mamfaat barang (bai’ al-manafi’). Dalam
qiyas terus dalam ketentuan jual beli yang menjadi ashl (pokok) atau maqis’
alaih (yang menjadikan ukuran) atau induk masalah yang di qiyaskan telah
jelaskan dalam banyak sekali nash-nash Al-Quran dan Hadits yang jauh lebih
banyak dari pada ketentuan sewa ijarah yang menjadi far’ (cabang)atau magis
yang diukur atau objek masalah masalah yang di qiyaskan menjadi masalah
yang baru yamg belum ada nashnya.
2. Al-Ijarah Al-Maushufah Fi Adz-Dzimah Diqiyaskan Dengan Bai’ As-Salam
Ijarah maushifah fi adzimah (IMFDZ) menurut fatwa DSN no. 101/DSN-
MUI/X/2016 tentang akad ijarah al-maushifah fi al-dzimah adalah akad sewa
menyewa atas mamfaat suatu barang (mamfaat’ain) dan atau jasa (‘amal) yang
pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas dan
kualitas), pada hakikatnya akad ijarah merupakan akad bagian dari jual beli
yakni jual beli mamfaat barang atau jasa yang menghadirkan pemindahan hak
guna, maka dari keberadaan ijarah maushufah fi adz-dzimah dapat di qiyaskan
kepada bai’ as-salam, akad jual beli terjadi, barang hanya disebutkan sifat-sifat
dan spesifikasi barang, sedangkan barang tersebut belum ada pada saat
transaksi atau akad terjadi.
3. Wakalah Khasanah Diqiyaskan Dengan Wakalah ‘Amah
Para ulama mengqiyaskan wakâlah khassah (wakalah yang bersifat
khusus) dengan wakâlah ‘amah (wakâlah yang bersifat umum). Dengan
demikian, maka seluruh ketentuan hukum wakalah ‘amah berlaku dalam
ketentuan hukum wakalah khassah.
4. Al-Wakil Bil Ujrah Diqiyaskan Dengan ‘Ajir
Para ulama mengqiyaskan pihak yang menyewakan tenaganya (‘ajir)
dengan orang yang diberikan wewenang dengan imbalan fee (al wakil bil
ujrah) karena keduanya mendapatkan imbalan upah walaupun karakteristik
dasar dalam akad wakâlah adalah ghairu lazim (wakil tidak wajijb
menunaikannya) sedangkan ijârah adalah akad lazim. Dalam qiyas tersebut,
ketentuan hukum pihak yang menyewakan tenaganya (‘ajir) yang menjadi
maqis ‘alaih telah dijelaskan dalam banyak sekali nash al-Quran maupun
hadits, sedangkan ketentuan tentang orang yang diberikan wewenang
dengan imbalan fee (al wakil bil ujrah) yang menjadi maqis menjadi
masalah baru yang belum disebutkan dalam nash.
5. Khiyar Naqd Diqiyaskan Dengan Khiyar Syarth
Para fuqaha mengqiyaskan khiyar naqddengan khiyar syarth karena
memiliki kesamaan ‘illat yaitu keduanya memiliki syarat yang
membolehkan untuk membatalkan jual beli. Dalam fiqih, khiyar naqd
adalah seorang penjual mensyaratkan kepada pembeli beberapa waktu
membayar harga barang, jika tidak membayar dalam waktu tertentu, maka
tidak terjadi jual beli. Sedangkan khiyar syarth adalah seorang penjual
“Dari Ibnu 'Abbas ra. berkata: Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba
di Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktekan jual beli buah-buahan dengan
sistem salaf, yaitu membayar dimuka dan diterima barangnya setelah kurun waktu dua
atau tiga tahun kemudian, Maka Beliau bersabda: "Siapa yang mempraktekkan salaf
(salam) dalam jual beli buah-buahan hendaklah dilakukannya dengan takaran yang
diketahui dan timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang di ketahui.”
SIMPULAN
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa Ijma’dan Qiyas
merupakan sumber hukum yang ketiga dan keempat dalam beribadah maupun
bermuamalah. Jumhur ulama Ushul fiqih menyatakan bahwa ijma’ merupakan
suatu prinsip sebagai landasan dasar usaha mujtahid dalam memutuskan
permasalahan terhadap kasus yang belum memiliki nash setelah Al-Quran,
Hadits, Ijma’ memiliki peran dalam pembentukan hukum yang belum ada
nashnya, pada fungsi ijma’ jika mampu meningkatkan hukum yang bersifat
dhony(lemah) menuju Qoth’i (kuat).
Proposisi hukum membutuhkan instrumen Qiyas untuk memperluas
hukum yang terkandung di dalamnya Al-Quran dan Sunnah menjadi sumber
hukum yang belum terjadi sebulumnya, pada sumber hukum qiyas banyak
kontroversi para ulama ada yang menerima sebagai landasan hukum yang ke
empat adapun yang menolaknya seperti, Muktazillah dan ulama fiqh
Zhahiriyah, demikian juga ulama syi’ah mereka menolak qiyas ushuli dengan
alasan yang berbeda tetapi menerima qiyas manthigi. Tapi berbeda Kelompok
mayoritas (jumhur) berpendapat bahwa menggunakan qiyas dalam masalah
ibadah, secara akal (logika) boleh (ja’iz) dan secara syara’ wajib menjalankannya.
DAFTAR PUSTAKA