Keraton Surosowan
Pada mulanya, Benteng Surosowan memiliki 3 pintu gerbang, yaitu pintu Utara,
Timur, dan Selatan. Gerbang Timur dan Utara dibuat dalam bentuk lengkung,
dimaksudkan untuk mencegah tembakan langsung pada portal bila pintu gerbang
di buka. Kedua gerbang dibuat dengan atap setengah silinder. Di luar benteng
dibuat parit atau sungai buatan yang menyatu dengan Sungai Cibanten dan
dikelilingi Dinding, pada fase pembangunan awal, lebarnya tidak lebih dari 100 m
– 125 m, tanpa bastion dan dibangun dari susunan bata berukuran besar yang
dicampur dengan adonan tanah liat (lempung).
Kondisi bangunan Surosowan saat ini hanya meninggalkan sebagian besar sisa-sisa
bangunan masih terpendam di dalam tanah, dan hanya sebagian kecil yang sudah
dimunculkan melalui beberapa kali ekskavasi yang dilaksanakan oleh Direktorat
Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional, dan Universitas Indonesia sejak tahun 1967. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut diketahui bahwa sisa-sisa bangunan yang menarik dan masih
dapat diamati antara lain tembok keliling, struktur pondasi bangunan, struktur
lantai, saluran air, kolam pemandian, dan sisa bangunan lainnya.
Dari analisis tata letak bangunan, khususnya struktur bangunan di dalam komplek
keraton, diperoleh informasi terdapat: kediaman sultan, bangunan untuk istri dan
kerabat keraton, bangunan terbuka dengan tiang dan permadani, Roro Denok
(kolam dan bale kambang), kolam Pancuran Mas, Siti luhur, Made bahan, Made
mundu, Made gayam, kandang kuda, dan tempat kereta kuda. Secara
keseluruhan, berdasarkan peta tahun 1900, tata letak keraton Surosowan berbeda
dengan keraton Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Jika pada keraton di Cirebon,
Yogyakarta, dan Surakarta terbagi atas tiga halaman, maka keraton Surosowan
secara garis besar hanya memiliki dua halaman (di luar dan di dalam benteng). Di
dalam benteng terdapat istana sultan, kolam Roro Denok, Datulaya, kolam
Pancuran Mas, gerbang utara, dan gerbang timur. Sementara, di luar benteng
terdapat alun-alun, watu gilang, mesjid Agung Banten, bangunan Tiyamah,
srimanganti, meriam Ki Amuk, dan baledana.
Hingga saat ini, bangunan Surosowan menjadi salah satu bentuk ingatan
masyarakat Banten untuk mengenang kemegahan yang pernah terjadi di masa
Kesultanan Banten dan menjadi salah satu simbol gerakan heorisme dalam
melawan penjajah Belanda. Selain itu, bangunan juga menjadi destinasi wisata
yang dapat dinikmati oleh wisatawan ataupun peziarah yang ingin melihat sisa-
sisa keruntuhan Keraton Kesultanan Banten setelah melakukan ziarah kubur ke
makam Sultan.