Anda di halaman 1dari 3

Kisah Pilu Dari Banten Lama

Keraton Surosowan

Keberadaan bangunan keraton dalam sebuah kerajaan memiliki peranan penting


karena merupakan bangunan inti suatu kerajaan yang memiliki fungsi ganda, yaitu
sebagai pusat kerajaan dan sekaligus sebagai pusat kota. Selain itu, sesuai dengan
pandangan kosmologis dan religious magis, keraton sering dianggap pula sebagai
pusat kekuatan gaib yang berpengaruh pada seluruh tatanan kehidupan di
masyarakat.

Keraton Surosowan merupakan peninggalan Kerajaan Banten yang terletak di


Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Keraton yang memiliki nama
Surosowan ini diperkirakan berdiri pada abad 16 M antara tahun 1552- 1570 pada
masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, raja pertama di Kesultanan
Banten. Berdasarkan sumber sejarah, disebutkan bahwa Keraton Surosowan
dikelilingi oleh benteng, dimana tinggi benteng sekitar dua meter dengan lebar
lima meter. Sementara, panjang dinding benteng bagian Timur – Barat adalah 300
meter, sedangkan pada bagian Utara – Selatan adalah 100 meter. Adapun luas
keseluruhan benteng sekitar 3 hektar. Di setiap sudut benteng terdapat bastion
yang berbentuk intan, dan di tengah dinding Utara dan Selatan terdapat proyeksi
setengah lingkaran. Seluruh bangunan benteng di Keraton Surosowan dibuat dari
batu bata dan karang yang memiliki type yang berbeda-beda. Beberapa type
adonan bangunan juga digunakan, seperti tanah liat dengan campuran pasir dan
kapur.

Pada mulanya, Benteng Surosowan memiliki 3 pintu gerbang, yaitu pintu Utara,
Timur, dan Selatan. Gerbang Timur dan Utara dibuat dalam bentuk lengkung,
dimaksudkan untuk mencegah tembakan langsung pada portal bila pintu gerbang
di buka. Kedua gerbang dibuat dengan atap setengah silinder. Di luar benteng
dibuat parit atau sungai buatan yang menyatu dengan Sungai Cibanten dan
dikelilingi Dinding, pada fase pembangunan awal, lebarnya tidak lebih dari 100 m
– 125 m, tanpa bastion dan dibangun dari susunan bata berukuran besar yang
dicampur dengan adonan tanah liat (lempung).

Keraton Surosowan dibangun melalui beberapa fase, Pertama penataan dinding


paling luar, mungkin terjadi pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552
M – 1570 M). Pada pembangunan fase kedua, mulai dibuatlah dinding bagian
dalam dan bastion yang berfungsi sebagai penahan api atau pembakaran. Jadi,
antara fase pertama dan kedua telah terjadi perubahan fungsi dinding, yaitu dari
yang berfungsi sebagai tembok kelilling berubah menjadi tembok pertahanan
dengan unsur-unsur Eropa dengan bantuan arsitek Belanda Hendrik Lucas
Chardeel. Hal ini yang membuat Keraton Surosowan sering disebut Port Diamond
oleh Bangsa Eropa, salah satunya Valentijn seorang saudagar Perancis yang sangat
kagum dengan Kota Banten, terutama ketika dia berkunjung di Keraton
Surosowan. Valentijn sangat kagum dengan gerbang Surosowan yang dilapisi
intan permata dan kemegahan di dalam keraton tersebut.

Sementara itu, pembangunan Surosowan fase ke tiga adalah tahap pendirian


kamar-kamar di sepanjang dinding Utara, serta penambahan lantai untuk
mencapai dinding penahanan api (parapet). Pada pembangunan fase keempat
dilakukan perubahan pada gerbang Utara dan mungkin juga pada gerbang Timur.
Pada lapis luar dinding bata dilapis secara merata dengan mengunakan karang.
Pada fase pembangunan yang terakhir, yaitu kelima, terjadi penambahan ruang-
ruang dibagian dalam dan penyempurnaan isian dinding.

Keraton Surosowan mengalami beberapa kali penghancuran. Kehancuran total


yang pertama kali pada tahun 1682 akibat perang saudara. Kemudian, kehancuran
kedua kalinya kehancuran yang terjadi pada tahun 1808 ketika Gubernur Jendral
Belanda bernama Herman Daendels menghancurkan keraton surosowan karena
pihak kesultanan Banten telah membunuh asisten Du Puy dan tidak memenuhi
permintaan Daendels. Kehancuran pada tahap ini menandakan bahwa kesultanan
Banten telah dihapuskan dan menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Sementara
keluarga Sultan dipindahkan ke daerah Anyer dan diturunkan dari tahta
kekuasaan sebagai bentuk hukuman dari Daendels.

Kondisi bangunan Surosowan saat ini hanya meninggalkan sebagian besar sisa-sisa
bangunan masih terpendam di dalam tanah, dan hanya sebagian kecil yang sudah
dimunculkan melalui beberapa kali ekskavasi yang dilaksanakan oleh Direktorat
Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional, dan Universitas Indonesia sejak tahun 1967. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut diketahui bahwa sisa-sisa bangunan yang menarik dan masih
dapat diamati antara lain tembok keliling, struktur pondasi bangunan, struktur
lantai, saluran air, kolam pemandian, dan sisa bangunan lainnya.

Setelah mengalami ekskavasi, Keraton Surosowan ini muai terlihat gambarnya


yang berbentuk persegi panjang dengan luas sekitar 3 ha. Diluar dinding Benteng
Keraton sebelah utara, disamping kanannya masih dapat ditemukan sisa pondasi
dan reruntuhan dari bangunan srimanganti, yaitu bangunan yang berfungsi
sebagai tempat bagi para tamu menunggu giliran untuk mendapat kesempatan
bertemu dengan sang Sultan. Disisi Utara bagian kiri luar Benteng Surosowan
terdapat Watu Gilang, yaitu batu besar berbentuk segi empat dengan permukaan
datar dan terbuat dari batu andesit yang dahulu digunakan sebagai tempat
penobatan raja-raja di Kesultanan Banten.

Dari analisis tata letak bangunan, khususnya struktur bangunan di dalam komplek
keraton, diperoleh informasi terdapat: kediaman sultan, bangunan untuk istri dan
kerabat keraton, bangunan terbuka dengan tiang dan permadani, Roro Denok
(kolam dan bale kambang), kolam Pancuran Mas, Siti luhur, Made bahan, Made
mundu, Made gayam, kandang kuda, dan tempat kereta kuda. Secara
keseluruhan, berdasarkan peta tahun 1900, tata letak keraton Surosowan berbeda
dengan keraton Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Jika pada keraton di Cirebon,
Yogyakarta, dan Surakarta terbagi atas tiga halaman, maka keraton Surosowan
secara garis besar hanya memiliki dua halaman (di luar dan di dalam benteng). Di
dalam benteng terdapat istana sultan, kolam Roro Denok, Datulaya, kolam
Pancuran Mas, gerbang utara, dan gerbang timur. Sementara, di luar benteng
terdapat alun-alun, watu gilang, mesjid Agung Banten, bangunan Tiyamah,
srimanganti, meriam Ki Amuk, dan baledana.

Hingga saat ini, bangunan Surosowan menjadi salah satu bentuk ingatan
masyarakat Banten untuk mengenang kemegahan yang pernah terjadi di masa
Kesultanan Banten dan menjadi salah satu simbol gerakan heorisme dalam
melawan penjajah Belanda. Selain itu, bangunan juga menjadi destinasi wisata
yang dapat dinikmati oleh wisatawan ataupun peziarah yang ingin melihat sisa-
sisa keruntuhan Keraton Kesultanan Banten setelah melakukan ziarah kubur ke
makam Sultan.

Anda mungkin juga menyukai