Anda di halaman 1dari 15

BAB III

SEJARAH DAN PROFIL PONDOK PESANTREN BENDA KEREP

A. SEJARAH BERDIRI PONDOK PESANTREN BENDA KEREP

1. Sejarah Berdiri

Sejarah berdiri Pondok Pesantren Benda Kerep tidak lepas dari


pergulatan politik kekuasaan di Cirebon pada abad 17 dan 18. Sepeninggal
Panembahan Ratu sebagai penguasa Kerajaan Cirebon, digantikan Panembahan
Girilaya yang meninggal dalam tahanan Kerajaan Mataram. Kerajaan Cirebon
membagi kekuasaannya menjadi tiga wilayah, Pangeran Martawijaya Menduduki
Keraton Kasepuhan, Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Anom, dan Pangeran
Wangsakerta menguasai wilayah di Keraton Kaprabonan. Sehingga dalam upaya
menyatukan kembali kekuasaan Kerajaan Cirebon dan mempengaruhi wilayah
yang sudah terpecah belah itu, Pemerintah Kolonial Belanda masuk dalam tatanan
politik keraton dan mengintervensi setiap regulasi yang ada dalam tubuh Keraton.1
Hal inilah yang membuat banyak keluarga keraton memilih hengkang dari keraton
dan mendirikan padepokan tempat mengaji.

Begitu juga dengan Kiai Sholeh dan keluarganya, pergi dari keraton dan
mendirikan Pondok Pesantren Benda Kerep di Kampung Cimeuweuh Kelurahan
Argasunya Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon pada tahun 1862 M.2 Lokasi ini
sebenarnya masih menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Kanoman Cirebon.
Demikian juga tekad Kiai Sholeh Zamzami mendirikan pesantren di sana tidak
lain yaitu atas perintah Kiai Anwaruddin, paman sekaligus sahabatnya.

Sebelum Kiai Sholeh Zamzami mendirikan Pesantren Benda Kerep, Ia


telah mendirikan pesantren tempat menimba ilmu dan menetap di Situ Patok
Kecamatan Mundu bersama Kiai Anwarudin (Kiai Kriyan), kemudian ia pindah
ke Desa Gegunung Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon serta mendirikan
pesantren di Gegunung. Sedangkan mengenai Kiai Anwarudin – menurut
informasi yang penulis himpun – adalah sahabat dekat Kiai Sholeh Zamzami.
1
Amman N. Wahju, Sajarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati
(Naskah Kuningan), Bandung: PUSTAKA, 2010, hal 89.

2
wawancara dengan Kiai Miftah (Pengasuh Ponpes Benda Kerep)
tanggal 22 Februari 2015, pukul 09 : 30 wib.
Guru dari keduanya adalah Kiai Baha’udin dari Manafizaha. Tetapi versi lain
mengatakan bahwa Kiai Anwarudin yang lebih dikenal dengan Kiai Kriyan
tersebut adalah paman sekaligus guru dari Kiai Soleh3

Melalui perjalanan yang begitu panjang di Gegunung, Kiai Anwarudin


mendapat sebuah petunjuk, bahwasannya Kiai Sholeh yang memegang teguh
terhadap ilmu tasawuf (Sufistik) ini harus pindah ke Cimeuweuh dan terlebih
dahulu harus menaklukan pengaruh-pegaruh ghaib yang mengelilinginya. Kiai
Anwarudin berfirasat bahwa daerah Sumber kelak akan menjadi pusat
pemerintahan wilayah Cirebon dan itu akan memberikan dampak yang kurang
baik bagi keberlangsungan anak cucu Kiai Sholeh dan ketasawufannya, serta tidak
cocok untuk menyembunyikan anak cucu dari keramaian. Berawal dari petunjuk
Kiai Anwarudin, akhirnya Kiai Sholeh bersama Kiai Anwarudin bertolak menuju
tanah Cimeuweuh dengan niatan menaklukan tanah tersebut dari gangguan-
ganguan ghaib. Sesampainya disana, Kiai Sholeh dan Kiai Anwarudin bermunajat
dan berdo’a kepada Allah SWT. Memohon pertolongan dan keselamatan dari
hawa-hawa ghaib, entah apa yang terjadi, berkat kesucian dan karomah 4 yang
dimilikinya, dengan sekilas para penghuni ghaib di wilayah Cimeuweuh takluk
kepada Kiai Sholeh dan menyingkir dari tanah Cimeuweh.5

Kampung Ciemeweuh terkenal dengan keangkerannya. Bahkan menurut


Kiai Miftah, kata Cimeweuh sendiri berangkat dari kata “Cieweuh” yang artinya :
kok tidak ada. Karena setiap orang yang hendak memasuki Cimeuweuh – yang
waktu itu masih berupa hutan belantara – akan menghilang dan tidak kunjung
kembali.6 Hingga akhirnya Kiai Sholeh datang meruntuhkan semua kekuatan
ghaib yang lama bersemayam di Hutan Cimeuweuh.

Sementara itu, keterangan yang kami peroleh dari Kiai Miftah, Putra Kiai
Faqih atau keturunan ke empat dari Kiai Sholeh, ketika proses penaklukan
makhluk ghaib di Cimeuweuh semua makhluk ghaib di Cimeuweuh takluk dan

3
Ibid

4
Mukjizat (miracle) yang dimiliki para wali, menurut kepercayaan Islam tradisional

5
http://dalilaahsanah.blogspot.com/2011/06/sejarah-singkat-benda-kerep.html

6
wawancara dengan Kiai Miftah (Pengasuh Ponpes Benda Kerep) tanggal 22 Februari
2015, pukul 09 : 30 wib.
bersedia beranjak dari tanah Cimeuweuh. Tapi ada dua makhluk ghaib yang tidak
mau beranjak dari tanah Cimeuwuh, yaitu seekor macan ghaib dan seekor ular
ghaib yang sebelumnya ular ghaib tersebut ada tiga, yang dua pergi dan yang satu
menetap. Dengan mengadakan sebuah perjanjian bahwa seekor macan dan ular
ghaib tersebut berjanji akan melindungi dan menjaga anak cucu keturunan Kiai
Sholeh dari hal-hal mara-bahaya yang membahayakan. Pernyataan ini dibenarkan
juga oleh Kiai Muhammad Nuh menantu Kiai Hasan bin Kiai Abu Bakar bin Kiai
Sholeh. Bahkan menurut pernyataan Kiai Muhammad Nuh, sampai sekarang
masyarakat Benda Kerep sering melihat penampakan seekor Macan putih dengan
loreng hitam disekitar Cimeuweuh atau Benda Kerep dan di waktu yang berbeda
masyarakat pula sering melihat penampakan seekor ular besar.7

Singkatnya, paska tanah Cimeuweuh dapat ditaklukan, akhirnya kabar


penaklukan tanah Cimeuweuh oleh Kiai Sholeh, sampai ke telinga Sultan
Zulkarnaen (Penaguasa Keraton Kanoman pada masa itu). Mendengar berita yang
baik itu, tanah Cimeuweuh yang masih milik Keraton Kanoman, akhirnya
dihibahkan oleh Sultan Zulkarnaen kepada Kiai Sholeh dengan memasrahkan
segalnya, asalkan tanah Cimeuwuh tersebut dijadikan sebagi sumber cahaya dan
pusat penyebaran agama Allah SWT. Dan sampai sekarang hubungan
persaudaraan antara Benda Kerep dengan Keraton Kanoman masih terjalin dengan
baik.8

Seiring berputarnya waktu, Kiai Sholeh pun mulai menetap di


Cimeuweuh bersama istri pertamanya Nyai Menah dari Pekalongan. Pada hari-
hari perdananya di Kampung Cimeuweuh, ia mendirikan sebuah kranggon dengan
mengaitkan pohon-pohon besar dengan papan kayu, sebagai tempat tinggal
sementara. Kemudian nama Cimeuweuh diganti dengan nama Benda Kerep,
karena di tanah Cimeuweuh terdapat pohon Benda, pohon yang buahnya mirip
seperti sukun. pohon tersebut banyak sekali (bahasa Jawa : Kerep) tersebar di
Kampung Cimeuweuh, sehingga dengan alasan itulah Cimeuweuh diganti
namanya menjadi Benda Kerep, sekarang Cimeuweuh sirna dan Benda kerep pun
lahir.9

7
Ibid
8
http://dalilaahsanah.blogspot.com/2011/06/sejarah-singkat-benda-kerep.html
9
Ibid
Keberadaan Benda Kerep sebagai wajah baru dari tanah Cimeuweuh
tentunya telah mengundang berbagai perhatian dari berbagai penjuru masyarakat
Cirebon. Terlebih di situ terdapat orang mulia dan mempunyai wawasan keilmuan
yang tinggi dan berakhlak mulia yang selalu memegang teguh prinsip-prinsip
aqidah dan bersandar pada ajaran tasawuf sebagai implementasi dari ajaran Islam
sesungguhnya. Banyak dari kalangan masyarakat Cirebon khususnya dari daerah
tetangga Benda Kerep yang berniat untuk belajar dan berguru kepada Kiai Sholeh.
Lambat laun tanpa terasa yang semula hanya berdua bersama isrinya kini telah
banyak yang menemani Kiai Sholeh sebagai muridnya dan ia pun semakin serius
untuk membumikan ajara Islam di tanah Benda Kerep.10

Selanjutnya, tempat tinggal Kiai Sholeh bersama istrinya yang semula


adalah tempat kranggon, agar lebih memberikan kenyamanan dalam berumah
tangga, akhirnya Kiai Sholeh dibantu oleh murid-muridnya membangun sebuah
rumah sederhana sebagai tempat tinggal yang memberikan sebuah kenyamanan.
Akhirnya proses pembangunan rumah tersebut telah memberikan warna sejarah
tersendiri bagi Benda Kerep, yakni rumah yang dibangun oleh Kiai Sholeh adalah
rumah pertama di kampung Benda Kerep. Dan rumah tersebut sampai sekarang
masih berdiri kokoh namun telah mengalami berbagai renovasi, yang sekarang
menjadi tempat tinggal Kiai Faqih cucu Kiai Sholeh dari Kiai Abu Bakar.11

Di masa penjajahan Belanda, Pesantren Benda Kerep tidak pernah


dihinggapi oleh Belanda, karena ketika Belanda akan menaklukan Benda Kerep,
dengan seijin Allah maka wilayah Benda Kerep tidak terlihat oleh pihak kolonial
Belanda. Yang dilihat oleh kolonial Belanda bukan berupa pesantren atau pun
pemukiman tetapi hanya berupa lautan.12 Cerita serupa juga beredar di Pesantren
Gedongan, ketika masa penjajahan, Pesantren Gedongan tidak bisa dideteksi oleh
para penjajah, sebab ketika mereka mendekati lokasi pesantren itu yang tampak
hanyalah lautan. ini mungkin ada kaitannya antara cerita-cerita tentang karomah
yang dimiliki oleh Kiai Sholeh Benda Kerep dengan Kiai Mohammad Said
pendiri Pesantren Gedongan.

10
Ibid
11
Ibid

12
http://dalilaahsanah.blogspot.com/2011/06/sejarah-singkat-benda-
kerep.html
Walau tanah mereka tidak bisa dijangkau oleh penjajah, lantas tidak
membuat keluarga Kiai Sholeh tinggal diam atas kebiadaban para penjajah.
Sebagaimana dipaparkan Kiai Miftah, bahwa ada salah seorang pamannya yang
terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu Kiai
Mas’ud cucu Kiai Sholeh Zamzami dari anaknya Kiai Muslim. 13 Demikianlah
Benda Kerep, meskipun tidak pernah dijajah, namun para kiai dari Benda Kerep
ikut serta membantu melakukan perlawanan terhadap penjajah di luar wilayah
Benda Kerep.14

2. Kiai Sholeh Zamzami Dan Keturunanya

Secara genealogis, Kiai Sholeh Zamzami masih merupakan keturunan


Syekh Syarif Hidayatullah. Berikut Silsilah Kiai Sholeh sampai kepada Sunan
Gunug Jati15 :

Syarif Hidayatullah

(Sunan Gunung Jati)

Pangeran Pasarean

Pangeran Dipati

Pangeran Panembahan

(Ratu Cirebon kang awwal)

Pangeran Dipati

Pangeran Ratu

Kang seda ing Girilaya

13
hasil wawancara dengan Kiai Miftah tanggal 22 februari 2015, pukul 09 : 30 wib

14
http://dalilaahsanah.blogspot.com/2011/06/sejarah-singkat-benda-kerep.html

15
Mohammad Hisyam Manshur, Sekilas Lintas Buntet Pesantren Mertapada
Kulon Cirebon (Buntet Pesantren, Cirebon, 1973), hal. 83-84.
Pangeran Sutajaya

Kang seda ing Tambak

Pangeran Sutajaya

Kang seda ing Grogol

Dalem Kebon ing Gebang

Dalem Anom / Sultan Senapati

Pangeran Sutajaya ing Gebang

Kocap Sultan Matangaji

Raden Bagus

Raden Punjul

Raden Ali

Raden Muhammad Nuruddin

Raden Muridin

KH. Muta’ad

KH. Abdul Jamil KH. Sholeh Zamzami


Kiai Sholeh diperkirakan hidup pada masa Kiai Asy’ari, pendiri
pesantren Tebu Ireng dan ayah dari Kiai Hasyim Asy’ari (1826 M). Melalui
hikmah kewalian Kiai Sholeh, Benda Kerep yang sebelumnya penuh dengan aura
mistis, kini mulai tampak cahaya-cahaya Islam yang bersinar disetiap penjuru
kampung. Proses pengajaran agama Islam berjalan dengan baik, ayat-ayat suci Al-
Qur’an kian berkumandang di tengah-tengah hutan belantara Benda Kerep.
Aplikasi ajaran Islam yang selalu menyentuh nila-nilai, sikap dan moralitas begitu
melekat dalam setiap individu yang berdomoisili di kampung Benda Kerep.
Namun disisi lain batin Kiai Sholeh mulai terusik seolah-olah hampa terasa dan
ada yang belum lengakap dalam hidupnya. Kegelisahan ini mulai terasa ketika
melihat istrinya yang tidak kunjung menghasilkan keturunan. Padahal peranan
anak cucu itu sangat penting sekali sebagai estafeta regenerasi atau penerus
perjuangan Kiai Sholeh dalam menegakkan syariat Islam di Kampung Benda
Kerep. Melalui proses perenungan yang begitu panjang dengan diiringi do’a dan
restu dari istri pertamanya, akhirnya ia pun mengambil sebuah keputusan untuk
menikah lagi. disuntinglah Nyai Merah dari Manafizaha cirebon sebagai istri
keduanya.16

Dari hasil pernikahannya dengan Nyai Merah dari Manafizaha Cirebon,


ternyata cita-cita Kiai Sholeh untuk mempunyai keturunan dikabulkan oleh Allah
SWT. Nyai Merah telah memberikan dua orang putra dan seorang putri. yang
pertama adalah Kiai Muslim, putra keduanya adalah Kiai Abu Bakar dan yang
ketiga adalah Nyai Qona’ah.

Megenai keturunan pada generasi berikutnya, Kiai Muslim sebagai anak


pertama mempunyai tujuh orang putra, sementara istri dan anak perempuan tidak
kami temukan keterangannya. Diantara tujuh orang putra tersebut adalah Kiai
Kaukab, Kiai Fahim, Kiai Fatin, Kiai Mas’ud, Kiai Zaeni Dahlan, dan Kiai
Muhtadi berdomisili di Benda Kerep, sementara Kiai Sayuti tinggal di Cibogo.

Dari Kiai Abu Bakar Putra kedua Kiai Sholeh, ditemukan keterangan dua
orang putra saja, diantaranya adalah Kiai Hasan di Benda Kerep, Mertua Kiai
Muhammad Nuh, dan Kiai Faqih yang juga tinggal di Benda Kerep, tak lain

16
KH Faqihudin (salah satu pengurus ponpes Benda Kerep), dalam Blog resmi Benda
Kerep; http://dalilaahsanah.blogspot.com/2011/06/sejarah-singkat-benda-kerep.html, diunduh 22
Maret 2015, 16:22 wib
adalah Ayah kandung Kiai Miftah. Jika dilihat dari genealogis di atas, maka dapat
dipastikan bahwa kedua anak laki-laki Kiai Sholeh dan keturunannya sebagian
besar menetap di Benda Kerep dan melanjutkan kiprah pendahulunya. Keluarga
kecil Kiai Sholeh dan Nyai Merah berkembang menjadi keluarga besar, kemudian
masing-masing anak yang sudah mandiri memisahkan diri untuk membangun
keluarga baru. Keluarga-keluarga generasi baru itu semakin meramaikan aktifitas
di Pesantren Benda Kerep, membuat warga sekitar tertarik untuk ikut meramaikan
dan belajar di Pesantren Benda Kerep. Sedangkan untuk pelaksanaan haul Benda
Kerep itu sendiri diperingati setiap tanggal 12, 13 dan 14 Dzulhijjah atau setelah
Hari Raya Idul Adha.

3. Relasi Benda Kerep Dan Pesantren-pesantren di Cirebon

Hubungan antarkiai pesantren di Jawa dan Cirebon khusunya, menjadi


kultur khas yang tak bisa terlepaskan dari eksistensi pesantren itu sendiri.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Zamakhsyari Dhofier bahwa, Pelebaran tali
kekerabatan antarsesama keluarga kiai di Jawa sebagai wujud salah satu
pendukung perkembangan dan ekspansi budaya santri dan masyarakat santri di
Jawa.17 jadi selain sebagai kultur pesantren, kekerabatan antarkiai juga menjadi
strategi para kiai untuk menebarkan pengaruh pondok masing-masing ke berbagai
penjuru.

Sekitar tahun 1420 M sejarah pesantren di Cirebon erat kaitannya dengan


serombongan pedagang sekaligus ulama (mubaligh) dari Baghdad yang dipimpin
oleh Syekh Idhofi Mahdi (Syekh Dzatul Kahfi) datang ke pelabuhan Muara Jati,
salah satu pelabuhan utama pada abad ke-15 di wilayah Pantai Utara Pulau Jawa
selain Tanjung Priuk, Jepara dan lain-lain. Mereka kemudian meminta izin kepada
Ki Jumanjan Jati penguasa pelabuhan Muara Jati, untuk diperkenankan menetap
di perkampungan sekitar Muara Jati dengan alasan untuk memperlancar
dagangnya. Ki Jumanjan Jati yang menyambut rombongan Syekh Idhofi tersebut
mengizinkan tamunya tinggal di Kampung Pasambangan yang sekarang terdapat
di wilayah Gunung Jati.18

17
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai,
(Jakarta: LP3ES. Cet I, 1982), hlm.78
18
Musthofa Bisri, Kitab Tarikh Auliya, (Kudus: Menara Kudus, 1952), hlm 11-12.
Di tempat baru itu, Syekh Nurjati tidak hanya mengajarkan agama Islam
kepada para pengikutnya yang memang sudah menjadi muslim, tetapi juga giat
berdakwah mengajak masyarakat lokal/pribumi untuk mengenal dan memeluk
agama Islam. Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang-orang pribumi
berdatangan dan menyatakan diri masuk Islam dengan tulus ikhlas. Oleh
karenanya, semakin hari semakin banyak jumlah orang yang menjadi pengikut
Syekh Nurjati.19

Dalam interaksinya dengan masyarakat sekitar, akhirnya Syekh Nurjati


juga mengajarkan metode perkawinan dengan penduduk lokal. Ketika ia menikah
dengan Hadijah, cucu Haji Purwa Galuh Raden Bratalegawa, yang diyakini
sebagai pribumi pertama di wilayah Jawa Barat yang memeluk Islam. Hadijah
adalah janda dari seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Hadramaut. Berkat
dukungan material dari istrinya itu, Syekh Nurjati mendirikan sebuah pondok
pesantren yang diberi nama Pasambangan Jati sesuai dengan nama tempat di mana
pondok itu berada. Pondok Pesantren ini diyakini sebagai pondok pesanteran
tertua di wilayah Cirebon (saat itu masih bernama Nagari Singapura) dan pondok
pesantren tertua kedua di Jawa Barat (saat itu masih bernama Kerajaan Galuh),
setelah Pondok Pesantren Quro di Karawang, yang didirikan oleh Syekh Quro
(Syekh Hasanudin/Syekh Mursahadatillah).20

Di kampung Pesambangan, Syekh Nurjati melakukan dakwah Islam.


Dengan menggunakan cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam
mengajarkan agama Islam, maka dalam waktu relatif singkat pengikutnya
semakin banyak, termasuk putra-putri Prabu Siliwangi dari istrinya yang bukan
Nyi Mas Subanglarang antara lain Pangeran Walangsungsang beserta istrinya, Nyi
Indang Geulis/ Nyi Endang Ayu dan adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang
ketiganya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memperdalam ilmu agama
Islam yang telah mereka terima dari Ibunya dan guru Ibunya, Syekh
Hasanudin/Syekh Quro.

19
Bambang Irianto, dan Siti Fatimah, Syekh Nurjati (Syekh Dzatul Kahfi) Perintis
Dakwah dan Pendidikan, (Cirebon: STAIN Press, 2009), hlm 14.
20
Ibid, hlm. 15.
Wilayah Cirebon dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di Bagian Barat
Pulau Jawa. Tidak heran jika Cirebon dikenal dengan keberadaan Pondok
Pesantren Pasambangan dan kokohnya agama Islam di Cirebon, terutama setelah
ada dalam kekuasaan Sunan Gunung Jati. Dalam periode berikutnya, Cirebon
memiliki banyak pesantren terutama sejak pertengahan abad ke-18. Dari masa ke
masa pesantren di Cirebon sekarang semakin berkembang, baik secara massif
seperti halnya di Pesantren Buntet, Pesantren Ciwaringin, Pesantren Kempek, dan
Pesantren Benda Kerep yang sampai sekarang telah menorehkan sejarah dan
eksistensinya di wilayah Cirebon ini.

Berkaitan dengan hubungan sejarah beberapa pondok pesantren yang ada


di wilayah Cirebon, peranan Pendiri Pesantren Buntet Pesantren, Mbah Muqoyim
dan menantu cucunya Kiai Muta’ad (ayah kiai Sholeh Zamzami), di Desa
Mertapada Kulon Kecamatan Astana Japura Kabupaten Cirebon, memiliki
peranan yang sangat besar. Berkat jasa dan dedikasi Kiai Muta’ad yang
menebarkan keturunannya untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
pesantren di wilayah Cirebon. Di antara keturunan Kiai Muta’ad yang mendirikan
pesantren di wilayah Cirebon adalah Kiai Abdul Jamil, diperintahkan untuk
melanjutkan kiprah sang ayah di Buntet Pesantren, Nyai Maimunah, anak
perempuan Kiai Muta’ad diperistri Kiai Mohammad Said selaku pendiri pondok
pesantren di Gedongan,21 Kiai Sholeh Pendiri Pondok Pesantren Benda Kerep, dan
lainnya.

Kiai Sholeh tidak meninggalkan benda-benda pusaka khusus setelah


meninggalnya, hanya saja sebuah rumah dan masjid yang masih berdiri kokoh
hingga saat ini. Sebagai simbol persaudaraan dengan pesantren lain di Cirebon.
Jika dilihat dari segi arsitektur, masjid di pesantren Benda Kerep ini memiliki
kemiripan dengan masjid yang ada di pesantren Buntet dan Gedongan. Diantara

21
Pondok Pesantren Gedongan, berada di wilayah timur Kabupaten
Cirebon, atau desa Ender Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon. Pesantren
Gedongan yang bertempat di Desa Ender Kecamatan Pangenan Kabupaten
Cirebon, didirikan oleh Kiai Muhammad Said, menantu Kiai Muta’ad pendiri
Buntet Pesantren, dari anak perempuannya yang bernama Nyai Maemunah.
Perkembangan selanjutnya anak keturunan Kiai Muhammad Said beranak pinak
menjadi beberapa keluaarga yang scara mandiri mendirikan asrama-asrama
pengajian di Dusun Gedongan itu. Termasuk diantaranya Asrama Ash-Shighor
(1990) di bawah naungan Kiai Bisyri Imam, dan Asrama Hufadz II yang
dibangun oleh Kiai Masduqi Amin (w.2015)
kemiripan masjid-masjid ini adalah sama-sama memiliki pohon sawo di halaman
masjid.

B. SISTEM PENGAJARAN

Seperti halnya pesantren-pesantren tradisional di Cirebon, Pondok


Pesantren Benda Kerep sudah sekian lama mengaplikasikan metode dan sistem
pendidikan pesantren yang tradisional. Bentuk-bentuk pengajaran seperti sistem
sorogan, wetonan, dan ceramah sangat lazim dipraktekan di pesantren ini. berikut
akan dijelaskan terkait bagaimana bentuk pengajaran dalam sistem pendidikan
pesantren tradisional terutama yang di peraktekkan di Pondok Pesantren Benda
Kerep dari masa ke masa.

1. Sistem Wetonan

Wetonan adalah metode yang paling utama di lingkungan pesantren.


Sistem wekton yang diterapkan adalah sistem kuliah, dimana ustadz membacakan
kitab sementara santri memberikan ma’na pada kitab yang dikaji dan mencatat
beberapa keterangan yang diperlukan. Zamakhsyari Dhofier menerangkan bahwa
metode wetonan (bandongan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru
membaca, menterjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam
bahasa Arab sedang sekelompok santri mendengarkannya. 22 Kegiatan pengajian
wetonan di Pesantren Benda Kerep menggunakan kitab-kitab salaf yang
dikorelasikan dengan fenomena-fenomena kontemporer, yakni dari kitab salaf
yang dikaji kemudian menerangkannya dan mengkorelasikan disesuaikan dengan
zaman sekarang, hal ini yang bisa memudahkan para santrinya untuk bisa
memahami. Sistem wekton yang ditapkan dapat dibedakan ke dalam beberapa
kegiatan, yaitu: (1) Wekton setelah shalat (subuh, dzuhur dan isya’), (2) pengajian
kilat pada waktu tertentu dan (3) pengajian pondok Romadlon. Di antara kitab
yang dikaji dalam kegiatan wekton harian adalah: Tafsir Jalalain, Shahih
Bukhori, Sirojut Thalibi, Tanbihul Ghafilin, dan lainnya.

2. Sistem Sorogan

22
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996), hlm 143.
Sistem sorogan yang diterapkan di Pondok Pesantren Benda Kerep
adalah sistem “santri aktif”. Santri membaca dihadapan ustadz, kemudian ustadz
menanyakan beberapa persoalan yang berkaitan dengan materi yang telah dibaca.
Biasanya sistem pengajian dengan melalui sistem sorogan adalah pembelajaran al
Qur’an bagi pemula dan kitab bagi santri lanjutan. Kitab yang dikaji melalui
metode ini adalah Safinatunnajah (menekankan pada pemahaman nahwu sharaf),
Sulam Taufiq (menekankan pada pemahaman teks) dan Fathul Qorib
(menekankan pada pemahaman teks dan masail waq’iyyah). Selain sebagai sarana
untuk mendalami kitab kuning, kegiatan sorogan juga dijadikan sebagai wahana
pembinaan akhlak santri oleh ustadz pembimbingnya masing-masing. Pengajian
yang digelar menggunakan sistem sorogan; para santri putra duduk melingkar
sambil mendengarkan sang kyai yang duduk di tengah. Semua duduk lesehan di
ruang terbuka seluas sekitar 8X20 meter.

3. Sistem Ceramah

Sistem Ceramah sangat jarang dijumpai dan biasanya disampaikan pada


momen-momen tertentu oleh Kiai dan ustadz senior. Sistem ceramah di Pondok
Pesantren Benda Kerep dilaksanakan satu minggu sekali yaitu dengan
mendengarkan mau’idhoh hasanah atau tausiyah23 pada malam jum’at sebelum
melaksanakan tahlil bersama. Isi dari materi mauidhoh hasanah itu disampaikan
dengan cara bercerita, kemudia cerita tersebut di dukung dengan dalil-dalil naqli.

4. Kitab dan Klasifikasinya

Zamakhsyari Dhofier mengungkapkan, “menurut tradisi pesantren,


pengetahuan seseorang diukur oleh jumlah buku-buku yang telah pernah
dipelajarinya dan kepada ‘ulama’ mana ia telah berguru.” 24 Senada dengan hal
ini, maka kedudukan kitab-kitab dalam pesantren sangatlah sentral. Demikian juga
kehadiran kitab kuning (istilah untuk kitab-kitab klasik yang biasa digunakan

23
al-mauidzah al-hasanah adalah memberi nasehat dan memberi ingat
(memperingatkan) kepada orang lain dengan bahasa yang baik yang dapat menggugah hatinya
sehingga pendengar mau menerima nasehat tersebut. (Masyhur Amin, pengertian blogspot.com
/2011/12/pengertian-al mauidzah-al-hasanah.html (Diunduh pada 21 Desember 2015).

24
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai,
(Jakarta: LP3ES. Cet I, 1982), hlm.22
sebagai media pembelajaran di pesantren) dalam sejarahnya tak dapat dipisahkan
dari sejarah pesantren itu sendiri.

Demikian halnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Azyumardi azra sebagai


berikut :

“Momentum pembentukan tradisi KK (kitab kuning) di Indonesia, saya kira, terjadi sejak
awal abad ke-19, yakni ketika pesantren dan surau mulai mapan sebagai institusi
pendidikan Islam tradisional di berbagai daerah di Nusantara. Perkembangan dramatis
institusi pendidikan pendidikan Islam tradisional itu sendiri didorong semangat
perlawanan secara diam (silent opposition) terhadap kolonialisme Belanda – setelah
perlawanan bersenjata yang dilancarkan masyarakat muslim dilumpihkan kaum kolonialis.
Para ulama dan kaum santri memusatkan diri kepada pengembangan pendidikan Islam.
Dengan pembentukan, penyebaran, dan pemapanan pesantren dan surau, kebutuhan KK
semakin meningkat. Sampai menjelang abad ke-19, kebutuhan terhadap KK dipenuhi
dengan penyalinan secara manual. Inilah yang kemudian menghasilkan begitu banyak
naskah KK yang kini tersimpan di museum baik di dalam maupun di luar negeri.
Penyebaran KK secara luas berkaitan dengan dua hal: pertama, semakin lancar
transportasi ke laut Timur Tengah sejak dekade terakhir abad XIX (sejak dibukanya
terusan Suez pada 1896); dan kedua, mulainya pencetakan besar-besaran kitab-kitab
beraksara Arab pada waktu yang bersamaan. Semakin banyaknya KK cetakan yang
tersedia di pasaran Timur Tengah memungkinkan bagi jemaah haji Indonesia yang
jumlahnya semakin meningkat untuk membawa KK ketika mereka pulang ke tanah air. Bisa
dipastikan sebagian besar KK tersebut kemudian digunakkan di lingkungan pesantren dan
lembaga pendidikan Islam lainnya.”25

Masih menurut Azyumardi Azra, bahwa penggunaan kitab kuning dalam


pembelajaran pesantren dimaksudkan untuk merunut jalur (‘isnad) keilmuan yang
valid bagi para santri. Untuk itu, penting kiranya bagi para kiai menggunakan
sumber-sumber keilmuan yang jelas agar diakhirat kelak bisa
mempertanggungjawabkan otentisitas keilmuan yang ditransmisikannya. Hal ini
sebagaimana yang dikatakan Azra berikut:

“...kesahihan diungkapkan melalui penggunaan ‘isnad atau silsilah keilmuan. Dalam


silsilah ini diungkapkan mata rantai berkesinambungan antara murid dan guru dalam
transmisi keilmuan. Semakin terkenal otoritas figur-figur yang disebutkan dalam silsilah
keilmuan maka semakin otoritatif silsilah atau ‘isnad tersebut dan sebagai konsekuensinya,
semakin sahih pula diskursus yang disampaikan melalui karya bersangkutan. ‘isnad
semacam itu biasanya disebut sebagai al-‘isnad al’aly (superior ‘isnad).”26

Untuk kitab kuning yang digunakan di pondok pesantren Benda Kerep


Diantaranya adalah : gramatika : Jurumiyah, ‘Imrity, Alfiyah, Balaghoh, Shorof;
fiqih : Safinah An-Najah, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Kifayatl Akhyar, Hidayatul

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan


25

Milenium III, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 146
26
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 147-148
Mujtahid; hadits : Hadits Arba’in Nawawi, Bhulughul Marom, dan
Riyadussalihin; tasawuf : ‘Aqidatul awam, Ihya’ ulumuddin, dan lainnya.

5. Kurikulum

Kurikulum yang ada di pesantren Benda Kerep pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan pesantren lainnya, mengingat kitab-kitab yang digunakan dan
metode pembelajarannya juga sama persis sebagaimana yang lazim dipakai oleh
pesantren-pesantren di wilayah Cirebon. Juga pembedaan sistem pengajian ketika
datangnya bulan Ramadhan, atau yang biasa disebut ngaji pasaran. Hanya saja di
pesantren ini tetap bersikukuh untuk tidak memasukkan pelajaran-pelajaran umum
dalam kurikulum pesantren.

Adapun jadwal pembelajaran dan rutinitas santri di Pondok Pesantren


Benda Kerep adalah sebagai berikut27 :
1. 03.00-04.30 : shalat qiyamul lail
2. 04.30-05.30 : shalat shubuh berjama’ah
3. 07.00-08.30 : mengaji kitab kuning
4. 08.30-12.45 : istirahat
5. 12.45-14.00 : mengaji
6. 14.00-15.00 : istirahat
7. 15.30-17.00 : mengaji
8. 17.00-18.00 : istirahat
9. 18.00-19.00 : shalat maghrib dan mengaji
10. 19.30-21.30 : shalat isya dan mengaji
11. 21.30-03.00 : tidur malam

Aktivitas santri dan warga Benda Kerep memang lebih banyak


dimanfaatkan untuk mengaji. Tidak ada hari tanpa mengkaji kitab. Selain itu,
mereka juga dituntut mempelajari tata bahasa Arab, menghafal al Quran dan
hadits. Juga, di luar waktu-waktu itu mereka tenggelam dalam amalan tarekat atau
riyadloh.

Untuk hari libur mengaji sendiri, seperti umumnya pesantren tradisional


lain, yaitu setiap hari jum’at sepanjang hari. Dimulai dengan malam jum’at,

27
hasil wawancara dengan Kiai Miftah tanggal 22 februari 2015, pukul 09 : 30 wib
agenda mengaji digantikan dengan ritual tahlilan, yasinan (ba’da maghrib) dan
marhabanan (ba’da isya) di masjid Pondok Pesantren Benda Kerep. Demikian
pula untuk libur panjang biasanya 15 hari menjelang bulan puasa (Ramadhan).

Anda mungkin juga menyukai