Anda di halaman 1dari 4

Nama : Frida Septiana Dewi

Kelas : XII MIPA 2

No Absen : 12

MENTARI DALAM BIRUNYA LANGIT

Seorang ayah adalah segalanya bagi keluarga, terutama bagi seorang anak. Seorang anak
melihat sang ayah sebagai pahlawan, sebagai mentari dalam hidupnya. Ayah adalah orang
yang selalu menemani anaknya bermain, walau selelah apapun beliau.

Tak lupa ada sang ibu, yang tak kalah berharganya dari sang ayah. Ibu, wanita kuat yang
berjuang antara hidup dan mati demi kelahiran buah hatinya. Sering dianggap teman curhat,
guru terbaik dalam hidup.

Keluargaku bukanlah keluarga bangsawan yang memiliki darah biru. Melainkan hanya
sebuah keluarga kecil sederhana yang penuh akan kasih sayang. Kasih sayang seorang ayah,
kasih sayang seorang ibu, serta kasih sayang seorang anak. Meskipun kini telah berkurang
satu kasih sayang, yaitu kasih sayang seorang ibu. Namun aku dan ayahku terus memberi
kasih sayang satu sama lain.

Kini sudah 16 tahun aku hidup di dunia ini. Sudah 6 tahun berlalu sejak ibu meninggalkan
aku dan ayah.

Ayahku, Edwin Van Der Sar adalah pemain sepak bola profesional asal Belanda, yang
bermain sebagai penjaga gawang. Dia mulai berkarir sebagai pemain sepak bola dari klub
Foreholte dan VV Noordwijk, kemudian dia menarik minat klub Ajax Amsterdam. Setelah
melewati masa-masa sebagai pemain di tim muda Ajax Amsterdam, dia bermain di tim senior
dan kemudian membawa Ajax Amsterdam menjuarai 1991-92 dan Liga Champions UEFA
1995. Dia juga mendapat penghargaan Kiper Terbaik Eropa tahun 1995. Dia bermain untuk
Ajax Amsterdam sebanyak 226 kali. Dia bertanding sebanyak 66 kali bersama Juventus F.C.
dan kemudian dia kalah bersaing dengan Gianluigi Buffon.

-
“Hai, Evan! Aku dengar tim ayahmu masuk semifinal piala Eropa yah?” Tanya Gabriel,
teman satu kelasku.

“Wah, ayahmu hebat Van. Kamu pasti bangga sama dia.” Sahut Cindy.

Siang itu, di ruang kelas X-A, ramai dengan perbincangan tentang tim Belanda yang
berhasil masuk ke semifinal Piala Eropa di Portugal. Sekarang ayahku ada di sana demi
membawa kemenangan untuk Belanda.

Beberapa jam kemudian, bel pulang berbunyi. Aku segera mengemas barang-barangku
dan bergegas pulang. Sesampainya di rumah, aku langsung mengganti bajuku dan segera
menyalakan televisi. Pertandingan yang saat itu disiarkan secara langsung di siaran tv
nasional, menunjukkan dengan jelas betapa sengitnya pertangdingan tim Belanda melawan
tim Portugal. Belanda mengimbangi Portugal dengan skor imbang 1-1.

Hingga pada menit akhir, Portugal berhasil mengalahkan Belanda dengan 1 gol. Dengan
skor akhir 2-1, Belanda gugur dalam pertandingan dan gagal masuk ke final. Aku kecewa
dengan hasil akhir ini. Aku jatuh sakit karena terlampau kecewa dan juga sedih, karena
ayahnya gagal membawa nama negaranya di Piala Eropa.

Entah kenapa, setiap kali aku jatuh sakit, wajah ibu selalu hadir dalam mimpiku. Saat saat
dimana ibu menyuapiku ketika aku sakit, lalu tidur di sampingku hingga aku tertidur.

“Bu, jangan pergi dulu. Evan nggak bisa tidur.” Tak terasa air mata mengalir dari ujung
mataku.

Aku semakin kecewa dengan berita kekalahan tim Belanda oleh Rep. Cheska untuk
berebut posisi ketiga. Aku sangat malu untuk bertemu dengan teman-temanku. Namun aku
bersyukur mempunyai Brithies yang selalu menjadi pelangi di hidupku yang selalu
memberikanku kekuatan. Andai saja jika semua pemain sepak bola sehebat Ruud Van
Nistelrooy, semua pemain pasti bisa berebut bola sekalipun satu tim.
Aku beralih ke buku album untuk mengobati sejenak rasa kekecewaan ini. Di sana
terpampang foto ibu, ayah, dan aku, saat aku kecil. Aku melihat salah satu foto, dan tak terasa
air mata mengalir dengan sendirinya dari pelupuk mataku. Foto tersebut menunjukkan
dimana aku dan ayahku, dengan baju kami yang basah dan kotor oleh lumpur.

Aku ingat betul kapan foto itu diambil. Foto itu diambil oleh ibu saat aku tengah asyik
bermain bola dengan ayah di halaman belakang rumah kami. Waktu itu, sore hari, tiba-tiba
hujan turun. Tapi aku dan ayah tetap bermain bola di bawah guyuran hujan. Karena tanah
yang licin, kami selalu jatuh, hingga baju kami kotor.

Selesai bermain, kami langsung masuk ke dalam rumah. Dan dengan isengnya ayah
memeluk ibu dengan pakaian kotornya. Alhasil baju ibu pun ikut basah dan kotor. Malam itu
juga aku dan ayah jatuh sakit. Ibu merawat kami hingga sembuh. Kenangan lucu itu selalu
membuatku tertawa dan menangis dalam waktu bersamaan.

Satu tahun kemudian, aku dan ayahku pindah ke apartemen dekat stadion. Aku berharap
bisa mengembalikan ayah yang dulu. Karena semenjak kepergian ibu, ayah jadi semakin
jarang berbicara denganku. Dia selalu sibuk dengan pertandingannya.

Di tempat baru ini aku mendapatkan teman baru. Namanya Mandy. Dia adalah anak yang
cukup misterius. Hanya karena tidak ada kursi kosong yang tersisa, aku harus duduk
bersebelahan dengan Mandy.

Di pagi hari, di kamar apartemenku, dengan pemandangan yang tidak ku suka, aku tiba-
tiba mendapat kabar bahwa ayah akan pindah ke Manchester United. Berbagai media
menjadikannya headline. Aku takut kalua nantinya ayah tidak dapat berbuat yang terbaik
untuk MU. Dan ternyata benar firasatku. MU tidak dapat meraih juara.
-

Sore ini, aku bersama Mandy berencana untuk pergi menyaksikan Ayah bertanding di
piala dunia di Jerman. Belanda berhasil masuk ke final dan akan berhadapan dengan
Argentina. Akan tetapi, Belanda kalah oleh Argentina. Aku tetap tidak bisa menerima
kekalahan Belanda. Aku ingin marah, tapi aku tidak bisa marah dan membuat Ayah semakin
terpuruk.

Atas saran Mandy, aku membeli bunga tulip untuk Ayah. Kami bertiga pun pulang setelah
pertandingan selesai. Aku masih merasa kecewa atas kekalahan ini. Tapi aku tahu,
kekecewaan Ayah melebihi kekecewaanku.

Sesampainya di rumah, aku memberi bunga tulip yang aku beli sebelumnya kepada Ayah.

“Ayah, makasih udah jadi ayah terbaik di dunia ini. I love you.” Kataku sembari memberi
bunga tulip kepada ayah.

“Maafin ayah yah Van, ayah belum bisa bawa piala buat Evan.” Ucap ayah dengan tetes
air mata mengalir di pipinya.

“Nggak papa Yah, Ibu pasti bangga sama Ayah. Ayah udah ngelakuin yang terbaik.”

Aku menangis dalam pelukan ayah.

Anda mungkin juga menyukai