Anda di halaman 1dari 4

Nama : Devita Evelin Dwi Padmasari

Kelas : XII MIPA 4


No Absen : 8
Robohnya Surau Kami

Identitas Novel
Judul novel : Robohnya Surau Kami
Penulis : A. A. Navis
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 1956
Jumlah halaman : 152 halaman
Sinopsis Novel
Novel karya A.A. Navis mengisahkan seorang penjaga surau yang mengakhiri hidup
dengan bunuh diri, karena mendapat sindiran dari seorang pembual. Ternyata novel ini cukup
memikat siapapun yang membacanya, karena daya pikat itu saya mencoba mengkajinya dan agar
kajian ini mudah dipahami sehingga perlu memaparkan sinopsis novel Robohnya Surau Kami
tesebut.
Novel Robohnya Surau Kami berisi kisah penjaga surau yang taat beribadah namun
memilih mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Penyebabnya, dia menerima sindiran dari seorang
pembual bahwa hidup tidak diridhoi oleh Allah jika hanya beribadah tetapi meninggalkan amal
kemasyarakatan. Hal ini bermula ketika di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris
ambruk. Lalu, dia datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat
untuk mengutus surau itu. Orang ini disebut sebagai Kakek Garin yang dapat hidup karena
sedekah orang lain, bekerja sebagai pengasah pisau, dan mengisi hidup dengan beribadah.
Dia tidak ngotot bekerja karena hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain,
apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan. Suatu ketika datanglah Ajo Sidi
untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang
mengasyikkan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal.
Dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya. Dia
memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri
sebab dia memang tak ingin kaya atau membuat rumah.
Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhan. Dia tak berusaha
mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur,
memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah
dan dibenci Tuhan? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi
dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu
begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya.
Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk
menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur. Kematiannya
sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan
menguburnya. Namun, satu orang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dia adalah Ajo Sidi,
yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau, dia tetap pergi untuk bekerja.
Biografi Pengarang
Haji Ali Akbar Navis adalah seorang sastrawan, kritikus budaya, dan politikus Indonesia
asal Sumatera Barat. Ia lahir di Padang Panjang, 17 November 1924 dan wafat pada 22 Maret
2003 di Padang. Ia terkenal karena novel yang berjudul Robohnya Surau Kami. Novel tersebut
pertama kali terbit pada tahun 1956, yang menceritakan dialog Tuhan dengan Haji Saleh,
seorang warga Negara Indonesia yang selama hidupnya hanya beribadah dan beribadah.
A.A. Navis menjadikan menulis sebagai kebutuhan dalam hidup. Baginya, menulis
adalah alat yang membantu mencetuskan ide dan gagasan. Dalam setiap tulisan, ia menganggap
penting untuk mengajukan topik dengan bahasa yang menarik. Namun, demikian, hal yang
paling penting bagi seorang penulis adalah apakah karyanya akan awet atau tidak. Meskipun ada
banyak karya yang bagus, beberapa hanya sebatas tren sementara dan cepat dilupakan. Ia
mengaku menulis dengan satu visi dan bukan mencari popularitas
Analisis Keterkaitan Isi Novel dengan Latar Belakang Pengarang

Menafsirkan Pandangan Pengarang terhadap Kehidupan dalam Novel


1. Nilai Moral
 Cinta Allah dan Ciptaan-Nya
Simpulan :
Dalam novel 'Robohnya Surau Kami' cinta kepada Tuhan hanya digambarkan dengan
beribadah dalam arti yang sempit (sembayang, memuji kebesaran Tuhan, membaca
Kitab-Nya, pergi ke Makkah berkali-kali dll). Namun, cinta kepada Tuhan
digambarkan dengan ibadah dalam makna yang lebih luas, dengan bekerja keras,
bersyukur dengan cara menjaga dan memelihara apa yang telah dikaruniakan Tuhan
kepada manusia, peduli terhadap kehidupan masyarakat.
Hal-hal tersebut dapat dijumpai dari data-data berikut:
1. ”Oh, Tuhan kami yang Maha Besar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-
Mu yang paling taat beribadah, yang paling taat menyembah- Mu. Kamilah orang
yang selalu menyebut nama-Mu, memuji kebesaran- Mu, mempropagandakan
keadilan-Mu, dan lain-lainya. Kitab-Mu kami hafal diluar kepala kami. Tak sesat
sedikitpun kami membacanya".
2. “Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu
teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain yang
mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara
kamu sendiri, saling menipu dan memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya,
tapi kau malas. Kau lebih suka beribadah saja, karena beribadah tidak berpeluh
mengeluarkan keringat, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau
beramal kalau engkau miskin. Engkau kira Aku ini gila pujian, mabuk disembah
saja, hingga kerjamu hanya memuji-muji dan menyembah-Ku saja"
Dari cuplikan diatas nampak kemarahan Tuhan karena pemahaman Haji Saleh yang
sempit tentang ibadah dan cinta kepada Tuhan. Dan karena pemahaman yang sempit
itulah kemudian membuat Haji Saleh dimasukkan di dasar Neraka.

 Kemandirian dan Tanggung Jawab


Simpulan :
Dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” sikap tanggung jawab ditunjukan oleh tokoh
Ajo Sidi yang dalam cerpen tersebut sebagai seorang pembual dan tukang cerita.
Karena bualan dan ceritanya tentang Haji Saleh kepada kakek penjaga Surau (Garin)
membuat si kakek mengakhiri hidupnya, dan sebagai bentuk pertanggung jawaban
atas bualannya yang membuat kakek bunuh diri dia berpesan pada istrinya untuk
membelikan kain kaffan untuk kakek sebanyak tujuh lapis. Sedangkan Ajo Sidi tetap
bekerja meskipun mengetahui bahwa kakek garin telah meninggal dunia.
Berikut paparan datanya :
Aku cari Ajo Sidi kerumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku
tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab istri ajo sidi.
"Tidak ia tahu kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat kakek tujuh
lapis."
Data tersebut kemudian dipertegas dengan watak dan karakter Kakek Penjaga Surau
yang tidak bertanggung terhadap anak, istri dan kerabatnya.
Berikut paparan datanya :
"Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya
keluarga seperti orang-orang lain, tahu?".
Interpretasi
Pandangan saya terhadap novel “ Robohnya Surau Kami”

Anda mungkin juga menyukai