Anda di halaman 1dari 9

1.

ANTIINFLAMASI

Pendahuluan
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terahdap luka jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat zat mikrobiologik. Inflamasi
adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang,
menghilangkan zat iritan, dan mengatur zat perbaikan jaringan. Inflamasi jugamerupakan proses
yang vital untuk semua organisme dan berperan baik dalam mempertahankan kesehatan
maupun dalam terjadinya berbagai penyakit yang dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi
dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe proses
peradangan dan meliputi amin, seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin; lipid, seperti
prostaglandin; peptida kecil, seperti bradikinin; dan peptida besar, seperti interleukin. Penemuan
variasi yang luas diantara mediator kimiawi telah menerangkan paradoks yang tampak bahwa
obat obat anti inflamasi dapat mempengaruhi kerja mediator utama yang penting pada satu
tipe inflamasi tetapi tanpa efek pada proses inflamasi yang tidak melibatkan mediator target
obat (Mycek, M.J., dkk., 2001).
Fenomena inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas
kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal
adalah kalor, rubor, tumor, dolor dan function lease atau dengan kata lain secara mikroskopis,
inflamasi menunjukkan gambaran yang kompleks seperti dilatasi arteriol, kapiler dan venul;
peningkatan permeabilitas dan arus darah; eksudasi cairan, termasuk protein plasma; migrasi
leukosit ke fokus inflamasi. Akumulasi leukosit yang disusul dengan aktivasi sel merupakan
kejadian sentral dalam patogenesis hampir semua inflamasi ( Lutfianto, I., 2009).
Kerusakan atau perubahan yang terjadi pada sel dan jaringan akibat adanya noksi akan
membebaskan berbagai mediator dan substansi radang. Pengurangan peradangan dengan
obat-obat antiinflamasi sering mengakibatkan perbaikan rasa sakit selama periode yang
bermakna. Obat-obat AINS yang digunakan untuk penyakit rematik mempunyai kemampuan
untuk menekan gejala peradangan. Beberapa obat ini juga mempunyai efek antipiretik dan
analgesik, tetapi efek antiinflamasinya membuat obat-obat ini bermanfaat dalam menanggulangi
kelainan rasa nyeri yang berhubungan dengan intensitas proses peradangan (Katzung, 1998).

Tinjauan Pustaka
Inflamasi bisa dianggap sebagai rangkaian kejadian komplek yang terjadi karena tubuh
mengalami injury, baik yang disebabkan oleh bahan kimia atau mekanis atau proses selfdestructive (autoimun). Walaupun ada kecenderungan pada pengobatan klinis untuk
memperhatikan respon inflammatory dalam hal reaksi yang dapat membahayakan tubuh, dari
sudut pandang yang lebih berimbang sebenarnya inflamasi adalah penting sebagai sebuah
respon protektif dimana tubuh berupaya untuk mengembalikan kondisi seperti sebelum terjadi
injury (preinjury) atau untuk memperbaiki secara mandiri setelah terkena injury. Respon
inflammatory adalah reaksi protektif dan restoratif dari tubuh yang sangat penting karena tubuh

berupaya untuk mempertahankan


merugikan (Lutfianto, I., 2009)

homeostasis

dibawah

pengaruh

lingkungan

yang

Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman,
maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang
membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini
kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru.
Rangkaian reaksi ini disebut radang (Anonim, 2009).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang
adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai
jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang
ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang
sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian)
jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel
(cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel
jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahanperubahan imunologik (Anonim, 2009).
Mekanisme terjadinya radang
Terjadinya inflamasi adalah reaksi setempat dari jaringan atau sel terhadap suatu
rangsang atau cedera. Setiap ada cedera, terjadi rangsangan untuk dilepaskannya zat kimi
tertentu yang akn menstimulasi terjadinya perubahan jaringan pada reaksi radang tersebut,
diantaranya adalah histamin, serotonin, bradikinin, leukotrin dan prostaglandin. Histamin
bertanggungjawab pada perubahan yang paling awal yaitu menyebabkan vasodilatasi pada
arteriol yang didahului dengan vasokonstriksi awal dan peningkatan permeabilitas kapiler. Hal ini
menyebabkan perubahan distribusi sel darah merah. Oleh karena aliran darah yang lambat, sel
darah merah akan menggumpal, akibatnya sel darah putih terdesak ke pinggir. Makin lambat
aliran darah maka sel darah putih akan menempel pada dinding pembuluh darah makin lama
makin banyak. Perubahan permeabilitas yang terjadi menyebabkan cairan keluar dari pembuluh
darah dan berkumpul dalam jaringan. Bradikinin bereaksi lokal menimbulkan rasa sakit,
vasodilatasi, meningkatakan permeabilitas kapiler. Sebagai penyebab radang, prostaglandin
berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator lainnya (Lumbanraja, L.B., 2009).
Gejala-gejala terjadinya respons peradangan
a.

Kemerahan (Rubor)
Kemerahan atau rubor biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang
mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul maka arteri yang mensuplai
darah ke daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam
mikrosirkulasi lokal. Pembuluh-pembuluh darah yang sebelumnya kosong atau sebagian saja
meregang dengan cepat dan terisi penuh oleh darah. Keadaan ini dinamakan hiperemia atau
kongesti menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hiperemia pada
permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh melalui pengeluaran zat mediator seperti
histamin.

b.

Panas (kalor)

Panas atau kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan. Panas
merupakan sifar reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh yakni kulit.
Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab darah dengan suhu
370C yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena radang lebih banyak disalurkan
daripada ke daerah normal.
c.

Rasa sakit (dolor)


Rasa sakit atau dolor dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan berbagai cara.
Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf,
pengeluaran zat kimia tertentu misalnya mediator histamin atau pembengkakan jaringan yang
meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dapat menimbulkan rasa sakit.

d.

Pembengkakan (tumor)
Gejala yang paling menyolok dari peradangan akut adalah tumor atau pembengkakan.
Hal ini terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas dinding kapiler serta pengiriman cairan
dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan yang cedera. Pada peradangan, dinding kapiler
tersebut menjadi lebih permeabel dan lebih mudah dilalui oleh leukosit dan protein terutama
albumin yang diikuti oleh molekul yang lebih besar sehingga plasma jaringan mengandung lebih
banyak protein daripada biasanya yang kemudian meninggalkan kapiler dan masuk ke dalam
jaringan sehingga menyebabkan jaringan menjadi bengkak.

e.

Perubahan fungsi (fungsio laesa)


Gangguan fungsi yang diketahui merupakan konsekuensi dari suatu proses radang.
Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang dilakukan secara sadar ataupun secara
reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit, pembengkakan yang hebat secara fisik
mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan (Lumbanraja, L.B., 2009).

Jenis-jenis radang
1. Radang akut
Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang didesain untuk
mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang
menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama
dalam proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah
serta emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan
meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan
memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal
dari mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera
(Anonim, 2009).
Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului oleh
vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran darah dalam kapiler
yang telah berfungsi meningkat dan juga dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif.
Akibatnya anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan
demikian, mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali pada
jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada tahap awal akan disusul

oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan intravaskular dan perubahan pada orientasi
unsur-unsur berbentuk darah terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat
dari segi waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul dalam
beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan tampak setelah 10-30 menit
(Anonim, 2009).
Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel darah
putih ke dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama reaksi radang akut.
Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis
endotel yang bercabang-cabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput
basalis yang berkesinambungan (Anonim, 2009).
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke
dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya
konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan
menarik kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan
menyisakan sedikit cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui
saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat
jenis 10.000 dalton (Anonim, 2009).
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020)
dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi.
Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan
protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik
intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa
rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya (Anonim, 2009).
Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas,
merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang
bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di
dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih
merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan
yang berarti (Anonim, 2009).
Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah
merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri.
Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran
aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih
bergerak dan menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat
tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel (Anonim, 2009).
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh
darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran
pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri
melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Anonim,
2009).
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi
jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang
dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktorfaktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif

terhadap rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis
dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif terhadap
beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein
plasma atau eksogen, misalnya produk bakteri (Anonim, 2009).
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel
fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan
yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin,
yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi
melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel,
berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma
yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan
fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan
fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian
besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang
berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat
menghancurkan leukosit (Mutschler, E., 1991).
2. Radang kronis
Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (bermingguminggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera
jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan
perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik
ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi
jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis)
(Anonim, 2009).
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang
akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik
berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang
menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik
sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah
dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar
yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti
basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang
tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih
lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif
tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara
radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Anonim, 2009).
Karagenan
Karagenan merupakan suatu mukopolisakarida yang diperoleh dari rumput laut merah
Irlandia (Chondrus crispus). Karagenan juga merupakan suatu zat asing (antigen) yang bila
masuk ke dalam tubuh akan merangsang pelepasan mediator radang seperti histamin sehingga
menimbulkan radang akibat antibodi tubuh bereaksi terhadap antigen tersebut untuk melawan
pengaruhnya. Karagenan terbagi atas tiga fraksi, yaitu kapaa karagenan, iota karagenan, dan
lambda karagenan. Karegenan diberi nama berdasarkan persentase kandungan ester sulfatnya,

yaitu kappa karagenan mengandung 25-30%, iota karagenan 28-35%, dan lambda karagenan
32-39%. Larut dalam air panas (700C), air dingin, susu dan dalam larutan gula sehingga sering
digunakan sebagai pengental/penstabil pada berbagai makanan/minuman (Lumbanraja, L.B.,
2009).
a.

Kappa karagenan
Kappa karegenan berasal dari spesies Euchema cottonii, Euchema striatum, Euchema
speciosum. Bahan ini larut dlam air panas. Kappa karagenan mengekstraksi D-galaktosa yang
mengandung 6 ester sulfat dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang mengandung 2 ester sulfat.

b.

Iota karagenan
Iota
karagenan

berasal

dari

spesies Euchema

spinosuum,

Euchema

isiforme, dan Euchema uncinatum.Bahan ini larut dalam air dingin. Iota karagenan
mengekstraski D-galakatosa yang mengandung 4 ester sulfat dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang
mengandung 2 ester sulfat.
c. Lambda karagenan
Lambda karagenan berasal dari genus Chondrus dan Gigartina. Lambda karagenan
larut dalam air dingin. Berbeda dengan kappa karagenan dan iota karagenan, lambda karagenan
memiliki disulfat-D-galaktosa (Lumbanraja, L.B., 2009).
Obat-obat Anti-Inflamasi Nonsteroid
AINS (Anti-Inflamasi Non-Steroid) berkhasiat analgetis, antipiretis, serta anti radang
(antiflogistis), dan sering sekali digunakan ntuk menghalau gejaa penyakit rema. Obat ini efektif
untuk peradangan lain akibat trauma (pukulan, benturan, kecelakaan), juga misalnya setelah
pembedahan, atau pada memar akibat olahraga. Oba ini dipakai pula untuk mencegah
pembengkakan bila diminum sedini mungkin dalam dosis yang cukup tinggi (Tan, H.T., 2002).
Pembagian obat-obat Anti-Inflamasi Non Steroida :
1.
Asam Karboksilat
a. Asam asetat :
Derivat Asam Fenilasetat, misalnya Diklofenak dan Fenklofenak.
Derivat Asam Asetal-inden/indol, misalnya Indometasin, Sulindak dan Tolmetin.
b. Derivat Asam Salisilat, misalnya Aspirin, Salisilat, Benorilat dan Diflunisal.
c. Derivat Asam Propionat, misalnya Asam Tiaprofenat, Fenbufen, Fenoprofen,Flurbiprofen,
Ibuprofen, Ketoprofen dan Naproksen.
d. Derivat Asam Fenamat, misalnya Asam mefenamat, Meklofenamat
2. Asam Enolat
a. Derivat Pirazolon, misalnya Azapropazon, Oksifenbutazon dan Fenilbutazon.
b. Derivat Oksikam, misalnya Piroksikam dan Tenoksikam
Mekanisme kerja AINS
Cara kerja NSAIDs untuk sebagian besar berdasarkan hambatan sintesa prostaglandin, dimana
kedua jenis cyclo-oxygenase diblokir. NSAIDs ideal hendaknya hanya menghambat COX-2 (peradangan)
dan tidak COX-1 (perlindungan mukosa lambung), lagi pula menghambat lipo-oxygenase (pembentukan
leukotrien). Walaupun dilakukan daya upaya intensif sejak akhir tahun 1980-an hingga kini obat ideal
demikian belum ditemukan. Dewasa ini hanya tersedia tiga obat dengan kerja agak selektif, artinya lebih
kuat menghambat COX-2 daripada COX-1, yakni COX-2 inhibitors agak baru nabumeton dan meloxicam.
Dari obat baru celecoxib diklaim tidak menghambat COX-1 sama sekali pada dosis bias, tetapi efek

klinisnya mengenai iritasi mukosa lambung masih perlu dibuktikan. Banyak riset sedang dilakukan pula
untuk mengembangkan antagonis leukotrien yang dapat digunakan sebagai obat anti radang pada rema dan
asma (Tan, H.T., 2002).
Efek Samping Obat Anti-inflamasi Nonsteroid
Selain menimbulkan efek terapi yang sama, OAINS juga memiliki efek samping yang
serupa. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik
yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna.15 Mekanisme
kerusakan pada lambung oleh OAINS terjadi melalui berbagai mekanisme. OAINS menimbulkan
iritasi yang bersifat lokal yang mengakibatkan terjadinya difusi kembali asam lambung ke dalam
mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan. Selain itu OAINS juga menghambat sintesa
prostaglandin yang merupakan salah satu aspek pertahanan mukosa lambung disamping
mukus, bikarbonat, resistensi mukosa, dan aliran darah mukosa. Dengan terhambatnya
pembentukan prostaglandin, maka akan terjadi gangguan barier mukosa lambung, berkurangnya
sekresi mukus dan bikarbonat, berkurangnya aliran darah mukosa, dan terhambatnya proses
regenerasi epitel mukosa lambung sehingga tukak lambung akan mudah terjadi.Indometasin,
sulindak, dan natrium mefenamat mempunyai resirkulasi enterohepatik yang luas, yang
menambah pemaparan obat-obat ini dan meningkatkan toksisitas gastrointestinalnya. Selain itu,
indometasin juga dilaporkan dapat mengakibatkan iritasi setempat langsung yang dapat
mengakibatkan perforasi. Penelitian lain menunjukkan bahwa OAINS yang menyebabkan
kerusakan mukosa paling minimal adalah sulindak, aspirin enteric coated, diflunisal, dan
ibuprofen. Gejala yang diakibatkan oleh OAINS antara lain dispepsia, nyeri epigastrium, indigesti,
heart burn, nausea, vomitus, dan diare (Mutschler, E., 1991).
Prostaglandin E2 (PGE2) dan I2 (PGI2) yang dibentuk dalam glomerulus mempunyai
pengaruh terutama pada aliran darah dan tingkat filtrasi glomerulus. PGI1 yang diproduksi pada
arteriol ginjal juga mengatur aliran darah ginjal. Penghambatan biosintesis prostaglandin di ginjal,
terutama PGE2, oleh OAINS menyebabkan penurunan aliran darah ginjal. Pada orang normal,
dengan hidrasi yang cukup dan ginjal yang normal, gangguan ini tidak banyak mempengaruhi
fungsi ginjal karena PGE2 dan PGI2 tidak memegang peranan penting dalam pengendalian
fungsi ginjal. Tetapi pada penderita hipovolemia, sirosis hepatis yang disertai asites, dan
penderita gagal jantung, PGE2 dan PGI2 menjadi penting untuk mempertahankan fungsi ginjal.
Sehingga bila OAINS diberikan, akan terjadi penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan aliran
darah ginjal bahkan dapat pula terjadi gagal ginjal. Penghambatan enzim siklooksigenase dapat
menyebabkan terjadinya hiperkalemia. Hal ini sering sekali terjadi pada penderita diabetes
mellitus, insufisiensi ginjal, dan penderita yang menggunakan -blocker dan ACE-inhibitor atau
diuretika yang menjaga kalium (potassium sparing). Selain itu, penggunaan OAINS dapat
menimbulkan reaksi idiosinkrasi yang disertai proteinuria yang masif dan nefritis interstitial yang
akut (Neal, M.J., 2006).
Efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit dengan akibat perpanjangan
waktu perdarahan. Ketika perdarahan, trombosit yang beredar dalam sirkulasi darah mengalami
adhesi dan agregasi. Trombosit ini kemudian menyumbat dengan endotel yang rusak dengan
cepat sehingga perdarahan terhenti. Agregasi trombosit disebabkan oleh adanya tromboksan A2
(TXA2). TXA2, sama seperti prostaglandin, disintesis dari asam arachidonat dengan bantuan
enzim siklooksigenase. OAINS bekerja menghambat enzim siklooksigenase. Aspirin

mengasetilasi Cox I (serin 529) dan Cox II (serin 512) sehingga sintesis prostaglandin dan TXA2
terhambat. Dengan terhambatnya TXA2, maka proses trombogenesis terganggu, dan akibatnya
agregasi trombosit tidak terjadi. Jadi, efek antikoagulan trombosit yang memanjang pada
penggunaan aspirin atau OAINS lainnya disebabkan oleh adanya asetilasi siklooksigenase
trombosit yang irreversibel (oleh aspirin) maupun reversibel (oleh OAINS lainnya). Proses ini
menetap selama trombosit masih terpapar OAINS dalam konsentrasi yang cukup tinggi (Neal,
M.J., 2006).
Natrium diklofenak
Natrium diklofenak adalah suatu senyawa anti-inflamasi non-steroid yang bekerja
sebagai analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Senyawa ini sangat merangsang lambung
sehingga untuk mencegah efek samping ini bentuk sediaan oral (tablet) natrium diklofenak
disalut enteric. Waktu paruh natarium diklofenak adalah 1,5 jam (Mutschler, E., 1991).
Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaian klinik berhubungan dengan
farmakokinetiknya, dan farmakokinetik suatu senyawa dari suatu bentuk sediaan ditentukan oleh
ketersediaan hayatinya (bioavailabilitasnya). Bioavailabilitas suatu senyawa obat dari sediaannya
ditentukan/dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti: kualitas dan sifat fisiko-kimia bahan
baku zat aktif yang dipakai, jenis dan komposisi bahan pembantu, teknik pembuatan, dll. Dengan
demikian, sediaan-sediaan obat yang mengandung zat aktif yang sama dalam bentuk sediaan
yang sama ("pharmaceutical equivalent") tetapi diproduksi oleh pabrik yang berbeda bisa
menghasilkan efektivitas klinik yang berbeda (Mutschler, E., 1991).
Indometasin
Derivat indolilasetat ini berkhasiat amat kuat. Resorpsinya di usus cepat dan lengkap.
Pada rektum tergantung basis suppositorianya dan dapat menurun sampai 60%. Waktu paruh
indometasin adalah 2,5 jam(Mutschler, E., 1991).

Daftar Pustaka
Anonim. (2008). Obat Antiinflamasi Nonsteroid. http://fkunsri.wordpress.com/2008/02/09/obatantiinflamasi-nonsteroid-part-1/
Lumbanraja, L. B. (2009). Skrining Fitokimia dan Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Daun Tempuyung
(Sonchus
arvenis
L.)
terhadap
Radang
pada
Tikus.http://repository.usu.ac.id/bitsream/123456789/14501/1/09E02475.pdf
Lutfianto,
I.
(2009). Mekanisme
pada
Injury
Jaringan
Inflamasi. http://
forbetterhealth.wordpress.com/2009/01/25/mekanisme-pada-injury-jaringan-inflamasi/
Meycek. J.M. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika. Hal. 157-164.
Mutschler, Ernst. (1991). Dinamika Obat. Edisi kelima. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 643-650.
Neal, M.J. (2006). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga. Hal. 55-56.

Pappana, A. (1989). Analgetik dalam Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal. 280-2291.
Tan, H.T. (2002). Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: PT.Elex
Media Komputindo. Hal.229-239.
Diposkan 2nd November 2012 oleh Ade Sri Rohani
0

Tambahkan komentar

muat

Anda mungkin juga menyukai