Anda di halaman 1dari 24

RADANG DAN PEMULIHAN JARINGAN

PENGERTIAN PERADANGAN Peradangan merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).Peradangan adalah respon lokal (reaksi) dari jaringan hidup yang bervaskularisasi akibat rangsangan endogen dan eksogen. Istilah ini berasal dari "inflammare" Latin yang berarti membakar. Peradangan pada dasarnya ditakdirkan untuk melokalisasi dan menghilangkan penyebab agen dan membatasi cedera jaringan. Dengan demikian, peradangan merupakan respon (pelindung) fisiologis terhadap cedera, sebuah observasi yang dibuat oleh Sir John Hunter pada 1794 menyimpulkan: "inflammation is itself not to be considered as a disease but as a salutary operation consequent either to some violence or to some diseases". Namun radang berpotensi merugikan, menyebabkan reaksi hipersensitifitas yang mengancam jiwa, kerusakan organ progresif, dan jaringan parut. Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono, 1973). Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahanperubahan imunologik (Rukmono, 1973).

1. REAKSI PERADANGAN Bila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi oleh kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang menyebabkan musnahnya agens yang membahayakan jaringan atau yan mencegah agens ini menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini juga kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera ini disebut radang. Reaksi peradangan merupakan reaksi defensif (pertahanan diri) sebagai respon terhadap cedera berupa reaksi vaskular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis. Peradangan dapat juga dimasukkan dalam suatu reaksi non spesifik, dari hospes terhadap infeksi. Hasil reaksi peradangan adalah netralisasi dan pembuangan agen penyerang, penghancuran jaringan nekrosis dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan untuk perbaikan dan pemulihan. Syarat reaksi radang adalah : 1. Jaringan harus hidup. 2. Memiliki mikrosirkulasi fungsional. Bentuk peradangan dapat timbul didasarkan atas jenis eksudat yang terbentuk, organ atau jaringan tertentu yang terlibat dan lamanya proses peradangan. Tata nama proses peradangan memperhitungkan masing-masing variable ini. Berbagai eksudat diberi nama deskriptif, berdasarkan lamanya respon peradangan disebut akut, subakut dan kronik. Lokasi reaksi peradangan disebut dengan akhiran -tis yang ditambahkan pada nama organ (misalnya; apendisitis, tonsillitis, gastritis dan sebagainya). Peradangan dan infeksi itu tidak sinonim. Pada infeksi ditandai adanya mikroorganisme dalam jaringan, sedang pada peradangan belum tentu, karena banyak peradangan yang terjadi steril sempurna. Jadi infeksi hanyalah merupakan sebagian dari peradangan.

2. GAMBARAN MAKROSKOPIS Jenis radang dapat dibagi atas radang akut dan radang kronik. Pada radang akut proses berlangsung singkat beberapa menit hingga beberapa hari, dengan gambaran utama eksudasi cairan dan protein plasma serta emigrasi sel lekosit terutama netrofil. Radang kronik berlangsung

lebih lama dan ditandai adanya sel limfosit dan makrofag serta proliferasi pembuluh darah dan jaringan ikat. Gambaran mikroskopis peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau dan masih dikenal sebagai tanda-tanda pokok peradangan yang mencakup kemerahan (rubor), panas (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad sekarang ini, yaitu perubahan fungsi (function laesa). 1. Rubor (kemerahan) Rubor biasanya merupakan hal pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriol yang mensuplai daerah daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih bannyak darah mengalir kedalam mikrosirkulasi local. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja yang meregang dengan cepat akan terisi oleh darah. Keadaan ini yang dinamakan hyperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hyperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh, baik secara neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti histamine. 2. Kalor (panas) Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Sebenarnya panas merupakan sifat reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 370 C, yaitu suhu dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab darah (pada suhu 370 C) yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena lebih lebih banyak dari pada yang disalurkan kedaerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerahdaerah yang terkena radang jauh didalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 370 C dan hyperemia tidak menimbulkan perubahan. 3. Dolor (nyeri) Dolor dari reaksi peradangan dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya, bahan pH lokal atau kongesti lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya juga dapat merangsang sel-sel saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang juga dapat mengakibatkan penigkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi juga dapat menimbulkan nyeri.

4. Tumor (pembengkakan) Segi paling mencolok dari peradangan akut mungkin adalah pembengkakan lokal (tumor). Pembengkakan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah kejaringan-jaringan interstisial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun paada daerah peradangan disebut eksudat, pada keadaan dini reaksi peradangan , sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan yang disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian sel-sel darah putih atau leukosit meninggalkan aliaran darah dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat. 5. Function laesa (perubahan fungsi) Adalah reaksi peradangan yang telah dikenal, sepintas lalu mudah dimengerti, mengapa bagian yang bengkak, nyeri disertai denagn sirkulasi abnormal dan lingkungan kimiawi yang abnormal, berfungsi juga secara abnormal. Namun sebetulnya kita tidak mengetahui secara mendalam dengan cara apa fungsi jaringan yang meradang itu terganggu.

3. ASPEK CAIRAN DAN SELULER PERADANGAN

A. Aspek Cairan pada Peradangan Biasanya dinding saluran darah yang terkecil (kapiler dan venula) memungkinkan molekul-molekul kecil lewat, tetapi akan menahan molekul-molekul yang besar seperti protein plasma untuk tetap didalam lumen pembuluh. Sifat pembuluh yang semipermeabel ini menyebabkan gaya osmotik yang cenderung untuk menahan cairan dalam pembuluh. Hal ini juga diimbangi oleh dorongan keluar dari tekanan hidrostatik didalam pembuluh. Pergeseran cairan dalam reaksi peradangan sangat cepat. Eksudat dari peradangan luka bakar akibat cidera termal mengandung protein plasma yang cukup berarti. Jadi, peristiwa penting dari peradangan akut adalah perubahan permeabilitas pembuluh-pembuluh yang sangat kecil yang menyebabkan kebocoran protein dan diikuti pergeseran keseimbangan osmotik dan air keluar bersama protein, sehingga menimbulkan pembengkakan jaringan. Dilatasi arteriol yang menimbulkan hiperemia lokal dan kemerahan juga mengakibatkan kenaikan tekanan intravaskuler lokal, karena pembuluh darah penuh. Dalam sistem limfatik, biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial kedalam saluran limfe jaringan dan limfe yang terbentuk dibawa kesentral dalam badan dan bergabung

kembali kedarah vena. Daerah yang terkena radang biasanya terjadi kenaikan yang mencolok pada aliran limfe daerah tersebut. Selama peradangan akut, tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi kandungan protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama seperti pada sistem vaskuler darah. Tetapi sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe menguntungkan, karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat. Bila pembuluh limfe terkena radang, disebut dengan limfangitis dan jika kelenjar limfe yang terkena radang, maka disebut dengan limfadenitis. Limfadenitis regional sering menyertai peradangan, salah satu contoh yang terkenal adalah pembesaran kelenjar limfe servikal, yang nyeri terlihat pada tonsillitis.

B. Aspek Seluler pada Peradangan

1. Marginal dan Emigrasi Pada awal peradangan akut, waktu arteriol berdilatasi, aliran darah radang bertambah, namun sifat aliran darah segera berubah. Hal ini disebabkan karena cairan bocor keluar dari mikrosirkulasi yang permeabilitasnya bertambah. Sejumlah besar dari eritrosit, trombosit dan leukosit ditinggalkan, dan viskositas naik, sirkulasi didaerah yang terkena radang menjadi lambat. Hal menyebabkan leukosit akan mengalami marginasi, yaitu bergerak kebagian arus perifer sepanjang aliran pembulh darah, dan mulai melekat pada endotel. Akibatnya pembuluh darah tampak seperti jalan berbatu, peristiwa ini disebut dengan emigrasi.

2. Kemotaksis Pergerakan leukosit pada interstisial dari jaringan yang meradang, waktu mereka sudah beremigrasi, merupakan gerakan yang bertujuan. Hal ini disebabkan adanya sinyal kimia. Fenomena ini disebut dengan kemotaksis.

3. Mediator peradangan

Banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen, yang dikenal dengan substansi dari peradangan. Mediator dapat digolongkan kedalam beberapa kelompok: a. Amina vasoaktif b. Substansi yang dihasilkan oleh sistem enzim plasma c. Metabolit asam arakhidona d. Berbagai macam produk sel

4. Histamine Amina vasoaktif yang terpenting adalah histamin, yang mampu menghasilkan vasodilatasi dan penigkatan permeabilitas vaskuler. Sebagian besar histamin disimpan dalam sel mast yang tersebar luas dalam tubuh.

5. Faktor-faktor plasma Plasma darah adalah sumber yang kaya akan sejumlah mediator penting. Agen utama yang mengatur sistem ini adalah faktor Hageman (faktor XII), yang berada dalam plasma, dalam bentuk tidak aktif dan dapat diaktifkan oleh berbagai cidera.

6. Metabolit asam arakhidonat Berasal dari banyak fosfolipid membrane sel, ketika fosfolipid diaktifkan oleh cidera atau mediator lain. Asam arakhidonat dapat dimetabolisasikan dalam dua jalur yang berbeda, yaitu jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase, menghasilkan sejumlah prostaglandin, trombokson dan leukotrin

4. BENTUK PERADANGAN
a. Menurut Faktor Klinis atau Lamanya Radang 1. Radang akut Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang didesainuntuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran darah dan terjadinya

perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell & Cotran, 2003). Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului oleh vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran darah dalam kapiler yang telah berfungsi meningkat dan juga dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian, mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali pada jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada tahap awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-unsur berbentuk darah terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari segi waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan tampak setelah 10-30 menit (Robbins & Kumar, 1995). Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel darah putih ke dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis endotel yang bercabang-cabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis yang berkesinambungan (Robbins & Kumar, 1995). Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton (Robbins & Kumar, 1995). Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya (Robbins & Kumar, 1995). Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing,

termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti (Robbins & Kumar, 1995). Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri. Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial, dan selsel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel (Robbins & Kumar, 1995). Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Robbins & Kumar, 1995). Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya produk bakteri (Robbins & Kumar, 1995). Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah

dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit (Robbins & Kumar, 1995).

2. Radang kronis Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell & Cotran, 2003). Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamurjamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).

b. Berdasarkan Perubahan Jaringan atau Mikroskopis 1. Radang Eksudatif Pada radang eksudatif, sebagian besar didominasi oleh eksudat radang, jaringan mati hanya sedikit. Ada dua macam eksudat radang yaitu eksudat selular dan eksudat humoral. Berdasarkan eksudat selularnya, radang dibagi menjadi radang akut, radang subakut, dan radang kronis. Pada radang akut, sel yang terutama dijumpai adalah PMN (Sel Polimorfonuklear) neutrofil, sedangkan limfosit dan monosit sedikit. Pada radang subakut yang banyak adalah sel PMN eosinofil, sedangkan jumlah limfosit dan monosit bertambah banyak. Pada radang kronis, yang paling banyak dijumpai adalah sel limfosit dan monosit. Kadang dijumpai sel plasma dan sel PMN sedikit.

2. Radang Degeneratif Sebagian besar gambaran mikroskopisnya terdiri atas jaringan nekrosis dengan sedikit sel radang misalnya pada difteri, yang mengandung kuman pada tonsil tetapi mengeluarkan eksotoksin yang dapat menyebabkan radang pada jantung. Jika sampai menimbulkan kematian, dalam jaringan otot jantung akan ditemukan jaringan nekrosis di beberapa bagian. 3. Radang Proliferatif Secara mikroskopis, selain dijumpai eksudat, radang juga terdiri atas jaringan yang dapat berproliferatifa. Jadi, di sini akan terlihat pertumbuhan jaringan sehingga akan membentuk tonjolan. Karena ada eksudat radang dan proliferasi jaringan, gambaranya hampir sama dengan jaringan granulasi. Jaringan granulasi yang berlebihan akan membentuk suatu tonjolan yang disebut granuloma yaitu suatu masa seperti tumor yang tersir atas jaringan granulasi. Karena ada pertumbuhan jaringan granulasi, disebut radang granulomatosa. Radang ini memberikan gambaran yang spesifik dan dapat dijumpai pada tuberkulosis, sifilis, lepra, sarkoidosis, limfogranuloma inguinal, brucellosis, dan aktinomikosis.

c. Berdasarkan Eksudat Humoralnya 1. Radang Katarhalis Eksudat merupakan eksudat jernih berupa lender, dijumpai pada alat tubuh yang memproduksi lender, seperti nasofaring, paru, traktus intestinalis, dan rahim, misalnya pada pilek dan kolera. 2. Radang Fibrinosa Eksudat sebagian besar terdiri atas fibrin, biasanya sel radang hanya sedikit. Akan tetapi ada juga penyakit dengan gambaran mikroskopis eksudat terdiri fibrin tetapi banyak mengandung PMN, misalnya pneumonia lobaris. Pada penyakit ini, pleuranya sering ikut meradang. Keadaan demikian dinamakan pleuritis sika (kuning). 3. Radang Serosa Eksudatnya Nampak serosa dan jernih. Fibrinnya sedikit sekali, tetap cair dan sering cairan itu harus disedot. Dapat dijumpai misalnya pada tuberculosis yang akan menyebabkan pleuritis eksudatnya. 4. Radang Purulenta Eksudat sebagian besar terdiri atas nanah, dijumpai pada bisul dan bronkopneumonia atau pneumonia lobularis. Pada pneumonia lobularis, walaupun ada PMN neutrofil yang hidup dan mati, juga ada kuman, tetapi ridak menimbulkan nanah atau radang purulenta, karena tidak ada jaringan mati atau

nekrosis.Sebaliknya, pada pneumonia lobularis salain ada PMN dan fibrin, juga ada jaringan nekrotik sehingga ada nanah. Akibatnya, penyembuhan pada pneumonia lobularis dapat terjadi dengan sempurna tanpa cacat, meskipun selalu ada jaringan parut. 5. Radang Haemorrhagik Pada radang ini eksudatnya berwarna merah karena banyak mengandung eritrosit, biasanya banyak terjadi kerusakan jaringan sehingga akan dibentuk kapiler dan saluran limfe baru. Namun jika radang sudah mereda atau sembuh, kapiler akan menyempit dan menghilang kembali. 6. Radang Pseudomembranosa Radang ini tampak karakteristik dengan adanya pembentukan membrane palsu yang terbentuk dari bekuan fibrin, epitel nekrotik, dan sel leukosit mati. Radang ini hanya dijumpai pada permukaan mukosa, misalnya faring, laring, trakea, bronkus dan traktus intestinalis, akibat adanya suatu gen atau iritan yang kuat misalnya kuman difteri. Pada radang ini akan akan terjadi nekrosis dan kemudian membeku sehingga permukaan jaringan radang akan dilapisi oleh lapisan yang nekrosis berwarna putih keabu-abuan. Selaput ini disebut pseudomembran.

d. Berdasarkan Lokasinya 1. Abses Abses adalah radang bernanah yang berkumpul pada suatu tempat dalam tubuh sehingga nanah itu berada dalam rongga yang secara anatomis tidak ada. Jika dijumpai nanah dalam rongga tubuh yang secara anatomis sudah ada, disebut empiemia, misalnya epiemia peritonni, empimia perikardii, dan sering adalah empymia thiracii. Kumpulan nanah dalam rongga toraks disebut empimia saja. 2. Phlegmon atau Selulitis Phlegmon merupakan radang purulenta atau supuratif yang menjalar rata diseluruh bagian tubuh, misalnya apendisitis akut flegmonosa. Selulitis merupakan suatu radang akut yang dijumpai pada jaringan penyambung jarang, tersebar merata dan luas serta sering ada di bawah kulit tanpa pembentukan nanah. Ada beberapa penulis yang menganggap selulitis sama dengan phlegmon dan memberikan definisi sebagai berikut : phlegmon adalah radang akut yang tersebar merata di dalam jaringan beranyaman jarang yang mnungkin disertai dengan pembentukan nanah. Ulkus atau tukak adalah suatu defek local dari suatu permukaan organ atau jaringan tubuh yang disebabkan karena adanya jaringan nekrotik dari suatu radang yang tercurah keluar. Ulserasi hanya dapat terjadi jika radang kronis itu dapat keluar atau dekat dengan permukaan sehingga dapat ditembus. Ulkus terjadi jika sebagian permukaan jaringan menghilang sehingga jaringan disekitarnya

meradang. Jaringan yang nekrosis ini dapat disebabkan karena toksin ataupun penyumbatan kapiler akibat radang. Ulkus sering dijumpai pada keadaan : 1) Ada fokus radang nekrotik pada mukosa mulut, lambung, dan usus. 2) Radang subkutaneus dari anggota gerak bawah pada penderita lanjut usia dengan gangguan sirkulasi yang merupakan factor predisposisi untuk terjadinya nekrosis yang luas. 3) Pada leher rahim, dalam mulut (ulkus dekubitalis), lambung (ulkus peptikum), dan kulit (borok)

6. PEMULIHAN JARINGAN Reaksi radang akan diikuti oleh upaya pemulihan jaringan yaitu upaya penggantian sel parenkim yang rusak dengan sel yang baru melalui regenerasi atau menggantinya dengan jaringan ikat. Reaksi radang akan berhenti bila penyebab dapat dimusnahkan. Pemulihan jaringan merupakan proses akhir dari suatu radang menuju penyembuhan, sedangkan penyembuhan merupakan proses atau cara memperbaiki jaringan yang rusak Penyembuhan luka dan pemulihan jaringan. Jaringan yang rusak akan segera dipulihkan. Pemulihan jaringan yang cedera dilakukan dengan pemusnahan dan pembuangan jaringan yang rusak, regenarasi sel atau pembentukan jaringan granulasi. 1. Pemulihan melalui regenerasi parenkim yang rusak Kemampuan regenerasi sel tergantung pada jenis sel a. Sel labil. Sel ini mempunyai kemampuan regenerasi yang tinggi terjadi pada penggantian terus menerus, mengganti sel yang rusak pada proses fisiologis. Sel labil mempunyai fase Go yang singkat (fase istirahat). Sel yang hilang merupakan stimulus untuk sel. Contoh : sel limfoid, sel hematopoetik, sel epiteltraktus digestivus, saluran nafas, epitel traktus urinarius, sel germinal alat kelamin pria dan wanita, dan sel basal epitel. Pemulihan jaringan yang mengandung sel labil dapat terjadi bilamana masih dijumpai sel labil yang cukup. b. Sel stabil. Mempunyai kapasitas regenerasi terbatas, mengganti sel yang mati. Sel-sel tersebut berada pada fase Go pada waktu yang lama. Tetapi mempunyai kemampuan untuk masuk siklus mitosis sel dimana dibutuhkan. Contoh : sel hati,

sel pancreas, kelenjar eksokrin dan pembuluh darah. Pemulihan jaringan dpat terjadi bilamana terdapat jaringan penunjang sel parenkim masih baik. c. Sel permanen. Sel ini tidak dapat diganti bila rusak. Sel permanen tidak mempunyai kemampuan membelah setelah kehidupan post natal. Contoh : neuron saraf pusat maupun saraf tepi, otot jantung. Pemulihan jaringan hanya terjadi melalui pembentukan jaringan ikat. Tidak terjadi regenerasi. Kerusakan sel permanen merupakan kelainan ireversibel dan bilamana luas akan mengakibatkan gangguan fungsional permanen. 2. Pemulihan jaringan dengan pembentukan jaringan granulasi Jaringan yang rusak akan diganti oleh jaringan granulasi

Penyembuhan luka Akibat suatu radang tergantung pada kuatnya reaksi radang, lamanya dan luasnya serta organ yang terlibat. Luka akibat pisau operasi yang steril akan sembuh segera dan disebut penyembuhan per primam, sedangkan luka yang luas akibat trauma memerlukan waktu lebih lama dan tidak akan sembuh secara sempurna (penyembuhan per sekundam) Penyembuhan per primam terjadi melalui beberapa tahap : 1. Timbulnya perdarahan dan pembekuan darah pada daerah luka. Darah akan keluar dari pembuluh darah yang rusak dan mengisi jaringan interstisial. Fibrin akan terbentuk mengisi daerah yang rusak. 2. Radang terjadi fagositosis jaringan nekrotik oleh sel radang serta tempat untuk tumbuhnya pembuluh darah baru. 3. Pembentukan jaringan granulasi. Sel radang terutama sel makrofag akan mengeluarkan zat yang akan memicu timbulnya angioblas dan fibroblast. Pada awal penyembuhan, fibroblast mempunyai kemampuan kontraktil dan disebut myofibroblas yang

mengakibatkan tepi luka akan melekat. Jaringan granulasi kaya akan pembuluh darah, dan akan membawa mikrofag yang kemudian akan menstimulasi proliferasi fibroblas dan angioblas. 4. Pembentukan jaringan parut. Dengan berlangsungnya penyembuhan maka fobroblas bertambah. Sel ini menghasilkan kolagen sehingga terjadi perubahan dari jaringan granulasi menjadi jaringan parut kolagen.

5. Perbaikan jaringan parut. Terjadi melalui proses reorganisasi sehingga jaringan tersebut mempunyai kekuatan dan daya elastic 6. Regenerasi epitel permukaan.

Penyembuhan per sekundam terjadi pada luka yang luas, tepi luka berjauhan sehingga terbentuk rongga yang diisi oleh beku darah dan jaringan nekrotik. Proses selanjutnya sama dengan penyembuhan per primam tetapi memakan waktu lebih lama dan pembentukan jaringan granulasi lebih mencolok. Berbagai faktor yang menghambat pemulihan jaringan : 1. Usia lanjut. Kemampuan untuk terjadinya reaksi radang yang adekuat, menurun dengan bertambanya usia 2. Gizi. Metabolism sel akan terganggu pada keadaan manultrisi 3. Penurunan imunitas 4. Penyakit tertentu misalnya diabetes yang mengakibatkan gangguan sirkulasi sehingga memperlambat reaksi vaskuler. 5. Tumor ganas. Tumor ganas misalnya leukemia akan menghambat mobilisasi lekosit 6. Obat. Obat sitostatik akan mengakibatkan penekanan fungsi sumsum tulang. 7. Infeksi. Misalnya infeksi akibat jamur, bakteri. 8. Kerusakan akibat reaksi radang. Radang yang mengakibatkan fistula, perforasi atau abses akan menghalangi penyembuhan.

Akibat radang yang tidak diinginkan : 1. Perforasi Proses radang yang menjalar ke seluruh organ akan mengakibatkan kerusakan dinding dan dapat mengakibatkan perforasi atau ruptur. Jaringan appendiks dapat mengalami perforasi dan seluruh isi feses dapat tersebar ke rongga abdomen dan mengakibatkan peritonitis. Radang purulen tuba akan mengakibatkan radang purulen pada berbagai organ dalam pelvis. 2. Pembentukan fistula 3. Fibrosis luas

a. Keloid ialah jaringan kolagen yang dibentuk berlebihan akan mengakibatkan jaringan parut luas. b. Obstruksi usus karena timbulnya jaringan ikat yang mengakibatkan gerakan usus terganggu c. Sterilitas terjadi karena penutupan tuba Fallopii oleh jaringan ikat d. Kontraktur. Jaringan otot lurik yang diganti jaringan ikat akan mengakibatkan kontraksi daerah yang terkena 4. Abses luas pada otak, hati yang dibatasi oleh jaringan ikat kan sulit sembuh 5. Jaringan parut pada otak akan mengakibatkan epilepsy fokal 6. Perlekatan pleura, paru dan dinding toraks akibat proses pemulihan jaringan.

Efek sistemik radang : 1. Pireksia Sel netrofil dan sel makrofag menghasilkan zat pirogen yang mengakibatkan suhu meningkat pada pusat pengatur suhu di hipotalamus. Pengeluaran zat pirogen tersebut dipacu oleh adanya fagositosis, endotoksis dan kompleks imun. 2. Keadaan umum Terjadi malaise, anoreksia dan enek-enek. 3. Berat badan menurun Penurunan berat badan terjadi karena balans nitrogen negative. 4. Hiperplasia reaktif sistem retikuloendotel Terjadi pembesaran kelenjar betah bening local atau sistematik serta pembesaran limpa pada radang tertentu. Perubahan Hematologik 1. Laju endap darah meningkat. 2. Lekositosis 3. Anemia terjadi karena eksudat hemoragika, hemolisis karena toksis bakteri dan akibat depresi toksis sumsum tulang. 4. Amiloidosis terjadi karena radang kronik yang lama.

7. HISTOLOGI JARINGAN NEKROTIK Pengertian Kematian Jaringan atau Nekrosis Nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya kerusakan selakut atau trauma (misalnya: kekurangan oksigen, perubahan suhu yang ekstrem, dan cedera mekanis), dimana kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol yang dapat menyebabkan rusaknya sel, adanya respon peradangan dan sangat berpotensi menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Stimulus yang terlalu berat dan berlangsung lama serta melebihi kapasitas adaptif sel akan menyebabkan kematian sel di mana sel tidak mampu lagi mengompensasi tuntutan perubahan. Sekelompok sel yang mengalami kematian dapat dikenali dengan adanya enzim-enzim lisis yang melarutkan berbagai unsur sel serta timbulnya peradangan. Leukosit akan membantu mencerna sel-sel yang mati dan selanjutnya mulai terjadi perubahan-perubahan secara morfologis. Nekrosis biasanya disebabkan karena stimulus yang bersifat patologis. Selain karena stimulus patologis, kematian sel juga dapat terjadi melalui mekanisme kematian sel yang sudah terprogram di mana setelah mencapai masa hidup tertentu maka sel akan mati. Mekanisme ini disebut apoptosis, sel akan menghancurkan dirinya sendiri (bunuh diri/suicide), tetapi apoptosis dapat juga dipicu oleh keadaan iskemia. Nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya kerusakan sel akut atau trauma (mis: kekurangan oksigen, perubahan suhu yang ekstrem, dan cedera mekanis), dimana kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol yang dapat menyebabkan rusaknya sel, adanya respon peradangan dan sangat berpotensi menyebabkan masalah kesehatan yang serius. 1. Perubahan Mikroskopis Perubahan pada sel yang nekrotik terjadi pada sitoplasma dan organel-organel sel lainnya. Inti sel yang mati akan menyusut (piknotik), menjadi padat, batasnya tidak teratur dan berwarna gelap. Selanjutnya inti sel hancur dan meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam sel. Proses ini disebut karioreksis. Kemudian inti sel yang mati akan menghilang (kariolisis).

2.

Perubahan Makroskopis Perubahan morfologis sel yang mati tergantung dari aktivitas enzim lisis pada jaringan yang nekrotik. Jika aktivitas enzim lisis terhambat maka jaringan nekrotik akan mempertahankan bentuknya dan jaringannya akan mempertahankan ciri arsitekturnya selama beberapa waktu. Nekrosis ini disebut nekrosis koagulatif, seringkali berhubungan dengan gangguan suplai darah. Contohnya gangren. Jaringan nekrotik juga dapat mencair sedikit demi sedikit akibat kerja enzim dan proses ini disebut nekrosis liquefaktif. Nekrosis liquefaktif khususnya terjadi pada jaringan otak, jaringan otak yang nekrotik mencair meninggalkan rongga yang berisi cairan. Pada keadaan lain sel-sel nekrotik hancur tetapi pecahannya tetap berada pada tempatnya selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun dan tidak bisa dicerna. Jaringan nekrotik ini tampak seperti keju yang hancur. Jenis nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa, contohnya pada tuberkulosis paru. Jaringan adiposa yang mengalami nekrosis berbeda bentuknya dengan jenis nekrosis lain. Misalnya jika saluran pankreas mengalami nekrosis akibat penyakit atau trauma maka getah pankreas akan keluar menyebabkan hidrolisis jaringan adiposa (oleh lipase) menghasilkan asam berlemak yang bergabung dengan ion-ion logam seperti kalsium membentuk endapan seperti sabun. Nekrosis ini disebut nekrosis lemak enzimatik.

3.

Perubahan Kimia Klinik Kematian sel ditandai dengan menghilangnya nukleus yang berfungsi mengatur berbagai aktivitas biokimiawi sel dan aktivasi enzim autolisis sehingga membran sel lisis. Lisisnya membran sel menyebabkan berbagai zat kimia yang terdapat pada intrasel termasuk enzim spesifik pada sel organ tubuh tertentu masuk ke dalam sirkulasi dan meningkat kadarnya di dalam darah. Misalnya seseorang yang mengalami infark miokardium akan mengalami peningkatan kadar LDH, CK dan CK-MB yang merupakan enzim spesifik jantung. Seseorang yang mengalami kerusakan hepar dapat mengalami peningkatan kadar SGOT dan SGPT. Namun peningkatan enzim tersebut akan kembali diikuti dengan penurunan apabila terjadi perbaikan.

Perubahan-perubahan pada jaringan nekrotik akan menyebabkan : 1. Hilangnya fungsi daerah yang mati. 2. Dapat menjadi fokus infeksi dan merupakan media pertumbuhan yang baik untuk bakteri tertentu, misalnya bakteri saprofit pada gangren. 3. Menimbulkan perubahan sistemik seperti demam dan peningkatan leukosit. 4. Peningkatan kadar enzim-enzim tertentu dalam darah akibat kebocoran sel-sel yang mati. B. Jenis-jenis Nekrosis atau Kematian Jaringan Ada tujuh khasmorfologi pola nekrosis: 1. Nekrosis coagulative biasanya terlihat padahipoksia (oksigen rendah) lingkungan, seperti infark sebuah. Garis besar sel tetap setelah kematian sel dan dapat diamati oleh cahaya mikroskop. Hipoksiainfark di otak namun mengakibatkan nekrosis Liquefactive. 2. Liquefactive nekrosis (atau nekrosis colliquative) biasanya berhubungan dengan kerusakan seluler dan nanah formasi (misalnya pneumonia). Ini khas infeksi bakteri atau jamur, kadang-kadang, karena kemampuan mereka untuk merangsang reaksi

inflamasi. Iskemia (pembatasan pasokan darah) di otak menghasilkan liquefactive, bukan nekrosis coagulative karena tidak adanya dukungan substansial stroma. 3. Gummatous nekrosis (misalnya sifilis). 4. Dengue nekrosis adalah karena penyumbatan pada drainase vena dari suatu organ atau jaringan (misalnya, dalamtorsi testis). 5. Nekrosis Caseous adalah bentuk spesifik dari nekrosis koagulasi biasanyadisebabkan oleh mikobakter (misalnya tuberkulosis), jamur, danbeberapa zat asing. Hal ini dapat dianggap sebagai kombinasi dari nekrosis coagulative dan liquefactive. 6. Lemak nekrosis hasil dari tindakan lipasedi jaringan lemak (misalnya,pankreatitis akut,payudara nekrosis jaringan). 7. Nekrosis fibrinoid disebabkan oleh kekebalanyang diperantarai vaskularkerusakan. Hal ini ditandai dengan deposisi fibrinseperti protein bahan diarteri dinding, yang muncul buram dan eosinofilik pada mikroskop cahaya. C. Penyebab Nekrosis dan Akibat Nekrosis terbatas pada nekrosis yang melibatkan spirochaetalinfeksi

1.

Penyebab nekrosis a. Iskhemi Iskhemi dapat terjadi karena perbekalan (supply) oksigen dan makanan untuk suatu alat tubuh terputus. Iskhemi terjadi pada infak, yaitu kematian jaringan akibat penyumbatan pembuluh darah. Penyumbatan dapat terjadi akibat pembentukan trombus. Penyumbatan mengakibatkan anoxia. Nekrosis terutama terjadi apabila daerah yang terkena tidak mendapat pertolongan sirkulasi kolateral. Nekrosis lebih mudah terjadi pada jaringan-jaringan yang bersifat rentan terhadap anoxia. Jaringan yang sangat rentan terhadap anoxia ialah otak. b. Agens biologik Toksin bakteri dapat mengakibatkan kerusakan dinding pembuluh darah dan trombosis. Toksin ini biasanya berasal dari bakteri-bakteri yang virulen, baik endo maupun eksotoksin. Bila toksin kurang keras, biasanya hanya mengakibatkan radang. Virus dan parasit dapat mengeluarkan berbagai enzim dan toksin, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi jaringan, sehingga timbul nekrosis. c. Agens kimia Dapat eksogen maupun endogen. Meskipun zat kimia merupakan juga merupakan juga zat yang biasa terdapat pada tubuh, seperti natrium dan glukose, tapi kalau konsentrasinya tinggi dapat menimbulkan nekrosis akibat gangguan keseimbangan kosmotik sel. Beberapa zat tertentu dalam konsentrasi yang rendah sudah dapat merupakan racun dan mematikan sel, sedang yang lain baru menimbulkan kerusakan jaringan bila konsentrasinya tinggi. d. Agens fisik Trauma, suhu yang sangat ekstrem, baik panas maupun dingin, tenaga listrik, cahaya matahari, tenaga radiasi. Kerusakan sel dapat terjadi karena timbul kerusakan potoplasma akibat ionisasi atau tenaga fisik, sehingga timbul kekacauan tata kimia potoplasma dan inti. e. Kerentanan (hypersensitivity) Kerentanan jaringan dapat timbul spontan atau secara didapat (acquired) dan menimbulkan reaksi imunologik. Pada seseorang bersensitif terhadap obat-obatan sulfa dapat timbul nekrosis

pada epitel tubulus ginjal apabila ia makan obat-obatan sulfa. Juga dapat timbul nekrosis pada pembuluh-pembuluh darah. Dalam imunologi dikenal reaksi Schwartzman dan reaksi Arthus. 2. Akibat Nekrosis Sekitar 10% kasus terjadi pada bayi dan anak-anak. Pada bayi baru lahir, nekrosis kortikalis terjadi karena: a. b. c. persalinan yang disertai dengan abruptio placentae sepsis bakterialis pada anak-anak, nekrosis kortikalis terjadi karena: - Infeksi - Dehidrasi - Syok - Sindroma hemolitik-uremik Pada dewasa, 30% kasus disebabkan oleh sepsis bakterialis. Sekitar 50% kasus terjadi pada wanita yang mengalami komplikasi kehamilan: - abruptio placenta - placenta previa - perdarahan Rahim - infeksi yang terjadi segera setelah melahirkan (sepsis puerpurium) - penyumbatan arteri oleh cairan ketuban (emboli) - kematian janin di dalam rahim - pre-eklamsi (tekanan darah tinggi disertai adanya protein dalam air kemih atau penimbunan cairan selama kehamilan)

D.

Pengobatan Nekrosis Pengobatan nekrosis biasanya melibatkan dua proses yang berbeda. Biasanya penyebab nekrosis harus diobati sebelum jaringan mati sendiri dapat ditangani. Sebagai contoh, seorang korban gigitan ular atau laba-laba akan menerima anti racun untuk menghentikan penyebaran racun, sedangkan pasien yang terinfeksiakan menerima antibiotik. Bahkan setelah penyebab awal nekrosis telahdihentikan, jaringan nekrotik akan tetap dalam tubuh. Respon kekebalan tubuhterhadap apoptosis, pemecahan otomatis turun dan daur ulang bahan sel, tidak dipicu oleh kematian sel nekrotik. Terapi standar nekrosis (luka,luka baring, lukabakar, dll) adalah bedahpengangkatanjaringan nekrotik. Tergantung padaberatnya nekrosis, ini bisa berkisar dari penghapusan patch kecil dari kulit, untuk menyelesaikan amputasi anggota badan yang terkena atau organ. Kimiapenghapusan, melaluienzimatik agen debriding, adalah pilihan lain. Dalam kasuspilih, khusus belatung terapi telah digunakan dengan hasil yang baik

Daftar Pustaka
Budi.2012.Reaksi Radang.http://rpambudi05.blogspot.com/2012/06/radang.html.(diakses tanggal 11 Maret 2013)
Sadam.2012.Peradangan.http://sadam-damchin.blogspot.com/2012/04/makalah-reaksi-peradangan.html.( diakses tanggal 11 Maret 2013) Kuwombon,Alfa.2010.Inglamasi Radang.http://alfakowombon.blogspot.com/2010/11/inflamasiradang.html. ( diakses tanggal 11 Maret 2013) Sadrak,Agus.2012.Proses Peradangan.http://agus-sadrak.blogspot.com/2012/04/proses-peradangan.html. ( diakses tanggal 11 Maret 2013) Fety.2012.Reaksi Radang http://fetybyanstec.wordpress.com/2011/06/22/radangpengertianmacamperantanda2faktorpengaruhaspek-cairan-seluler-peradangandlllll/.( diakses tanggal 11 Maret 2013) Anonim.2013.Patologi Nekrosis.http://mahasiswapublichealth.blogspot.com/2013/04/patologinekrosis.html.( diakses tanggal 11 Maret 2013)

RADANG DAN PEMULIHAN JARINGAN

Oleh : Kelompok 2 Tingkat 1.1 1. 2. 3. 4. 5. Ida Ayu Candra Novitasari Ni Wayan Pebry Arsami Ni Luh Putu Intan Kemalasari Ni Desak Gede Pebriariyanti Ni Nengah Rosita Dewi (P07120013006) (P07120013007) (P07120013008) (P07120013009) (P07120013010)

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN DENPASAR 2014

Anda mungkin juga menyukai