Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Sampel

1. Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnioliopsida

Ordo : Violates

Famili : Caricacea

Genus : Carica

Spesies : Carica papaya L. (Manurung, 2019).

Gambar 1. Pepaya (Cariza papaya L.)

2. Morfologi

Pohon pepaya umumnya tidak bercabang atau bercabang sedikit,

dengan daun-daunan yang membentuk serupa spiral pada batang pohon


bagian atas. Daunnya menyirip lima dengan tangkai yang panjang dan

berlubang dibagian tengah. Pepaya berumah tunggal sekaligus berumah dua

dengan tiga kelamin. Tumbuhan jantan,betina, dan banci (hermafrodit).

Bunga pepaya memiliki mahkota bunga berwarna kuning pucat dengan

tangkai pada batang. Bunga jantan pada tumbuhan jantan tumbuh pada

tangkai panjang. Bunga biasanya ditemukan pada daerah sekitar pucuk.

Bentuk bulat hingga memanjang, dengan ujung biasanya meruncing. Warna

buah ketika muda hijau gelap, dan setelah masak hijau muda hingga kuning.

Bentuk buah membulat bila berasal dari tanaman betina dan menonjol (oval)

bila dihasilkan tanaman banci. Daging buah berasal dari karpela yang

menebal, berwarna kuning hingga merah, tergantung varietasnya. Bagian

tengah buah berongga. Biji-biji berwarna hitam atau kehitaman dan

terbungkus semacam lapisan berlendir (pulp) untuk mencegahnya dan

kekeringan (Manurung, 2019).

3. Kandungan dan manfaat

Biji pepaya memiliki kandungan kimia glukosida kasirin, papain,

terpenoid dan alkaloid karpain. Manfaat biji pepaya dapat digunakan untuk

mengobati cacing gelang. Dengan dua sendok biji pepaya dilumatkan,

diseduh dengan setengah gelas air ditambahkan madu dan diminum selagi

hangat. Dapat juga digunakan untuk mengbati diare yaitu dengan segenggam

biji pepaya, dihaluskan diseduh dengan segelas air kemudian diminum tiga

kali sehari (Manurung, 2019).


B. Esktraksi

Pengambilan bahan aktif dari suatu tumbuhan, dapat dilakukan dengan cara

ekstraksi. Pengertian ektraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang

dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Pengetahuan

mengenai golongan senyawa aktif yang dikandung dalam simplisia akan

mempermudah proses pemilihan pelarutan dengan cara ekstraksi yang tepat

(Depkes, 2000). Prinsip ektraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut

polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Metode ekstraksi dipilih

berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya

penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi, dan kepentingan dalam

memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna (Irsyad, 2013).

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes, 2000),

yaitu:

1. Ekstraksi dingin

a. Maserasi

Maserasi ialah proses pengekstrakan simplisia dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau

pengadukana pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi

termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada

keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang

kontinyu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan


penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan

seterusnya.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini

terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap

perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan esktrak), terus-menerus

sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

2. Ekstraksi panas

a. Refluks

Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif

konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan

pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat

termasuk ekstraksi sempurna.

b. Sokletasi

Sokletasi ialah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu

baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi

ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya

pendinginan balik.

c. Digesti
Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu)

pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu

secara umum dilakukan pada temperatur 40-50℃.

d. Infusa

Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur

penangas air mendidih, temperatur terukur 96℃-98℃ selama waktu

tertentu (15-20 menit).

e. Dekok

Dekok adalah infus yang waktunya lebih lama (lebih dari 30 menit)

dan temperatur sampai titik didih air (Irsyad, 2013).

C. Fraksinasi

Fraksinasi pada prinsipnya adalah proses penarikan senyawa pada suatu

ekstrak dengan menggunakan dua macam pelarut yang tidak saling bercampur.

Pelarut yang umumnya dipakai untuk fraksinasi adalah n-heksan, etil asetat, dan

metanol. Untuk menarik lemak dan senyawa non polar digunakan n-heksan, etil

asetat untuk menarik senyawa semi polar, sedangkan metanol untuk menarik

senyawa-senyawa polar. Dari proses ini dapat diduga sifat kepolaran dari senyawa

yang akan dipisahkan. Sebagaimana diketahui bahwa senyawa-senyawa yang

bersifat non polar akan larut dalam pelarut yang non polar sedangkan senyawa-

senyawa yang bersifat polar akan larut dalam pelarut yang bersifat polar juga

(Arwan, 2017).
Ekstrak awal merupakan campuran dari berbagai senyawa. Ekstrak awal

sulit dipisahkan melalui teknik pemisahan tunggal untuk mengisolasi senyawa

tunggal. Oleh karena itu, ekstrak awal perlu dipisahkan ke dalam fraksi yang

memiliki polaritas dan ukuran molekul yang sama. Fraksinasi dapat dilakukan

dengan metode ektraksi cair-cair atau dengan kromatografi cair vakum (KCV),

kromatografi kolom (KK), size-exclution chromatography (SEC), solid-phase

extraction (SPE) (Arwan, 2017).

D. Uraian Hewan Coba

1. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Class : Crustaceae

Ordo : Anostraca

Famili : Artemiidae

Genus : Artemia

Spesies : Artemia salina Leach (Ajrina, 2013).

Gambar 1. Artemia salina Leach


2. Morfologi

Artemia salina Leach merupakan hewan uji Brine Shrimp (udang laut),

sejenis udang-udangan primitif dan hidup sebagai zooplankton. Hewan ini

diperdagangkan dalam bentuk istirahat yang disebut kista, berbentuk bulat

kecil berwarna kelabu kecoklatan dengan diameter 200-300 µm (Ajrina,

2013).

3. Lingkungan hidup

Artemia salina Leach hidup planktonik diperairan berkadar garam tinggi,

suhu yang dikehendaki berkisar antara 25oC-30oC, oksigen terlarut sekitar 3

mg/L dan pH antara 7,3-8,4. Artemia salina Leach tidak dapat

mempertahankan diri dari pemangsa musuh-musuhnya karena tidak

mempunyai alat atau cara untuk membela diri, salah satu cara menghindarkan

diri dari pemangsa hewan lain dengan berpindah ke kondisi alam berupa

lingkungan hidup berkadar garam tinggi. Pada umumnya pemangsa tidak

dapat hidup lagi pada kondisi itu. Makanan Artemia salina Leach terdiri atas

ganggang renik, bakteri dan cendawan. Dalam pemeliharaan makanan yang

diberikan adalah katul padi, tepung terigu, tepung kedelai dan ragi (Arwan,

2017).

4. Penggunaan Artemia salina Leach dalam penelitian

Suatu metode uji hayati yang tepat dan murah untuk skrining dalam

menentukan toksisitas suatu ekstrak tanaman aktif yaitu dengan

menggunakan hewan uji Artemia salina Leach. Artemia sebelumnya telah

digunakan dalam bermacam-macam uji hayati seperti uji pestisida, polutan,


mikotoksin, anestetik, komponen seperti morfin, kekarsinogenikan dan

toksikan dalam air laut. Uji dengan organisme ini sesuai untuk aktifitas

fakmakologi dalam ekstrak tanaman yang bersifat toksik. Penelitian

menggunakan Artemia salina Leach memiliki beberapa keuntungan antara

lain cepat, murah, mudah dan sederhana. Penetasan telur Artemia salina

Leach yang baik perlu memperhatikan beberapa faktor yaitu: hidrasi dari

kista-kista, aerasi, penyinaran, suhu, derajat keasaman (pH), dan kepadatan

telur dalam media penetasan (Arwan, 2017).

Penelitian dengan larva Artemia salina Leach telah digunakan oleh Pusat

Kanker Purdue, Universitas Purdue di Lafayette untuk senyawa aktif tanaman

secara umum dan tidak spesifik untuk zat anti kanker. Namun demikian

hubungan yang signifikan dari sampel yang bersifat toksik terhadap larva

Artemia salina Leach ternyata juga mempunyai aktifitas sitotoksik.

Berdasarkan hal tersebut maka larva Artemia salina Leach dapat digunakan

untuk uji sitotoksik (Arwan, 2017).

E. Toksikologi

Uji toksisitas merupakan salah satu bagian dari toksikologi. Uji toksisitas

diawali dari skrining mencari senyawa aktif kemudian dapat dilanjutkan kembali

dengan uji efektivitas atau selektivitas pada hewan coba. Toksikologi

merupakan ilmu yang mempelajari secara kuantitatif dan kualitatif pengaruh yang

buruk dari zat kimiawi, fisis, dan biologis terhadap suatu sistem biologis. Selain

itu, dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari racun, tidak saja efeknya,

tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme. Racun tersebut
dapat berupa zat kimia, fisis, dan biologis. Toksin atau racun diartikan sebagai zat

yang bila masuk ke dalam tubuh dalam dosis cukup, bereaksi secara kimiawi

dapat menimbulkan kematian/kerusakan berat pada orang sehat (Nur Rizkillah,

2013).

Sedangkan toksisitas merupakan kemampuan racun (molekul) untuk

menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ yang

rentan terhadapnya. Suatu zat mempunyai kadar toksisitas yang berbeda sehingga

menentukan tingkat toksisitas suatu toksin yang sedang diuji coba pada berbagai

organisme. Tetapi toksisitas ini bergantung pada berbagai faktor, antara lain : (Nur

Rizkillah, 2013).

1. Spesies uji

2. Cara racun memasuki tubuh/ portal entri

3. Frekuensi dan lamanya paparan

4. Konsentrasi zat pemapar

5. Bentuk, sifat kimia/fisik zat pencemar

6. Kerentanan berbagai spesies terhadap pencemar Semuanya faktor- faktor

yang dapat menentukan efek yang terjadi.

Ada 2 jenis sifat efek toksik, yakni bersifat reversible (dapat kembali seperti

semula) dan bersifat irreversible (tidak dapat dirubah kembali). Berikut ciri efek

toksik yang bersifat reversible, yaitu : 7

1. Bila jumlah zat toksik dalam tempat kerjanya atau reseptornya telah
habis, maka reseptor akan kembali seperti keadaan semula.

2. Efek toksik yang diakibatkan akan cepat hilang atau kembali normal.

3. Ketoksikan sangat tergantung pada dosis, kecepatan absorbs, distribusi,

dan eleminasi

Sedangkan ciri-ciri dari sifat efek toksik yang bersifat irreversible, yaitu :

(Nur Rizkillah, 2013).

1. Kerusakan yang terjadi sifatnya permanen

2. Paparan berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama

sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi efek toksik.

3. Paparan dengan takaran yang sangat kecil dalam jangka panjang akan

menimbulkan efek toksik yang sama efektifnya dengan yang ditimbulkan

oleh paparan dosis besar jangka pendek. Ini menunjukkan zat yang dapat

menimbulkan efek toksik irreversible adalah zat beracun yang terakumulasi

atau sangat sukar dieleminasi.

F. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode untuk

menguji bahan-bahan yang bersifat toksik dan digunakan sebagai suatu bioassay

yang pertama untuk penelitian bahan alam. Metode ini menggunakan larva

Artemia salina Leach sebagai hewan coba. Uji toksisitas dengan metode BSLT ini

merupakan 26 uji toksisitas akut dimana efek toksik dari suatu senyawa

ditentukan dalam waktu singkat, yaitu rentang waktu selama 24 jam setelah

pemberian dosis uji. Prosedurnya dengan menentukan nilai LC50 dari aktivitas
komponen aktif tanaman terhadap larva Artemia salina Leach. Suatu ekstrak

dikatakan toksik berdasarkan metode BSLT jika harga LC < 1000 μg/ ml.

Pengujian menggunakan BSLT diterapkan dengan menetukan nilai Lethal

Concentration 50% (LC50) setelah perlakuan 24 jam. Nilai LC50 merupakan

angka yang menunjukkan konsentrasi suatu bahan penyebab kematian sebesar

50% dari jumlah hewan coba (Arwan, 2017).

Zat yang telah diuji dengan uji toksisitas, akan melalui beberapa test

keamanan pada hewan coba, meliputi :7

1. Uji toksisitas akut, yaitu uji untuk mengetahui nilai LC50 atau LD50 yang

masih dapat ditoleransi oleh binatang percobaan, yang hasilnya akan

ditransformasi pada manusia.

2. Uji toksisitas subakut, adalah suatu uji untuk menentukan organ sasaran

(organ yang rentan) atau tempat kerjanya. Umumnya dilakukan dengan

menggunakan 3 dosis dan menggunakan 2 spesies yang berbeda.

3. Uji toksisitas kronik, adalah suatu uji yang tujuannya hampir sama

dengan toksisitas sub akut. Uji ini diperlukan jika obat nantinya akan

digunakan dalam jangka waktu yang panjang.

4. Uji efek pada organ reproduksi, suatu uji untuk melihat perilaku yang

berkaitan dengan reproduksi (perilaku kawin), perkembangan janin,

kelainan janin, proses kelahiran, dan perkembangan janin setelah

dilahirkan.

5. Uji karsinogenik, adalah uji untuk mengetahui apakah suatu zat jika
dipakai jangka panjang akan dapat menimbulkan kanker. Uji ini

dilakukan jika obat tersebut nantinya akan digunakan dalam jangka

panjang.

6. Uji mutagenik, adalah suatu uji untuk melihat adanya perubahan gen jika

zat digunakan jangka panjang.

Hasil uji toksisitas dengan metode BSLT telah dibuktikan memiliki


50 korelasi

dengan daya sitotoksitas dari senyawa antikanker. Hasil uji toksisitas

dinyatakan dalam persen LC (Lethal Consentration). LC didefinisikan

sebagai dosis atau konsentrasi yang diberikan sekali (tunggal) atau beberapa kali

dalam 24 jam dari suatu zat yang secara statistik diharapkan dapat mematikan

50% hewan coba. Besarnya toksisitas tergatung dari jumlah kematian larva

setelah pemberian zat yang mengandung senyawa antikanker. Ekstrak dikatakan

bersifat toksik jika harga LC < 1000 ppm, sedangkan untuk senyawa murni jika

LC <200 ppm berpotensi sebagai antikanker. Ekstrak atau fraksi senyawa yang

memiliki harga LC50 > 0-30 ppm berpotensi sebagai antikanker, LC50 > 30-200

ppm berpotensi sebagai antibakteri, sedangkan LC50 > 200-1000 ppm berpotensi

sebagai pestisida (Nur Rizkillah, 2013).

Artemia salina Leach merupakan kelompok udang-udangan (Crustaceae)

dari filum Arthropoda, kingdom Animalia. Artemia salina Leach biasanya hidup

di lingkungan danau berair asin. Kadar garam perairan sangat berpengaruh pada

proses penetasan udang, kadar garam < 6% menyebabkan telur udang tenggelam

dan tidak bisa menetas. Jika kadar garam > 25%, telur akan berada pada kondisi

tersuspensi, sehingga telur udang dapat menetas dengan normal.


Siklus hidup Artemia salina Leach dimulai dari saat penetasan telur atau

embrio. Setelah 15-20 jam, pada suhu 250C kista akan menetas menjadi embrio.

Dalam waktu 20-24 jam, embrio tersebut berubah menjadi naupli (larva udang)

yang dapat berenang bebas. Siklus hidup Artemia salina Leach dipengaruhi oleh

beberapa faktor, diantaranya pH, cahaya, suhu, kadar garam, dan aerasi O2. pH

terbaik untuk siklus hidup Artemia salina Leach adalah sebesar 8-9, sedangkan

pH di bawah 5 atau di atas 10 dapat membunuh Artemia salina Leach. Cahaya

sangat diperlukan untuk proses penetasan dan pertumbuhan Artemia salina Leach.

Selain itu, kadar oksigen harus tetap dijaga dengan baik untuk mendukung

pertumbuhan Artemia salina Leach.

Jika faktor-faktor tersebut dapat dilakukan dengan optimal, Artemia salina

Leach akan tumbuh dan berkembang dengan cepat. Apabila kadar oksigen dalam

air rendah, air mengandung polutan organik, atau salinitas perairan meningkat,

Artemia salina Leach akan memakan bakteri, plankton, dan sel khamir. Pada

kondisi tersebut, Artemia salina Leach akan memproduksi hemoglobin sehingga

tampak berwarna jingga kemerahan.

Pada proses inkubasi selama 24 jam, larva udang Artemia salina Leach

membutuhkan proses aerasi dengan menggunakan aerator. Aerasi merupakan

proses terjadinya kontak antara air dan udara, sehingga terjadi perpindahan

seyawa yang bersifat volatile. Proses aerasi dapat meningkatkan jumlah O 2 di

dalam air, menghilangkan CO2, H2S, dan menghilangkan rasa serta bau yang

disebabkan oleh zat-zat organik. Aerasi juga dapat meningkatkan pH dan

menurunkan suhu termal air laut.16 Proses aerasi dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu cara pertama adalah dengan memompakan udara atau oksigen ke dalam air,

sehingga dihasilkan gelembung udara yang berkontak langsung dengan air. Cara

yang kedua adalah dengan menekan air ke atas untuk berkontak langsung dengan

udara, proses tersebut dilakukan dengan bantuan pemutaran baling-baling pada

permukaan air.

Pemilihan larva udang sebagai hewan uji pada penelitian didasarkan karena

Artemia salina Leach memiliki beberapa kesamaan dengan mamalia, misalnya

pada tipe DNA-dependent RNA polimerase Artemia salina Leach serupa dengan

yang terdapat pada mamalia dan organisme yang memiliki ouabaine- sensitive

Na+ dan K+ dependent ATPase, sehingga senyawa maupun ekstrak yang terdapat

aktivitas pada sistem tersebut dapat terdeteksi. Selain itu, pemilihan Artemia

salina Leach dikarenakan telur Artemia salina Leach memiliki daya tahan yang

lama (dapat tetap hidup dalam kondisi kering, selama beberapa tahun), lebih

mudah menetas dalam waktu 48 jam, sehingga dapat dihasilkan naupli (larva

udang) dalam jumlah banyak untuk diuji. Larva udang pun memiliki kemampuan

untuk mengatasi perubahan tekanan osmotik dan regulasi ionik yang tinggi.

Alasan lain yang menyebabkan dipilihnya larva udang (naupli) sebagai hewan

uji adalah karena larva udang memiliki membran kulit yang tipis, sehingga

kematian suatu larva akibat efek sitotoksik dari senyawa bioaktif dapat

dianalogikan dengan kematian sebuah sel dalam organisme. Disamping itu, larva

udang juga memiliki toleransi yang tinggi terhadap selang salinitas yang luas,

mulai dari air tawar hingga air yang bersifat jenuh garam.
Persen kematian Artemia salina Leach dapat dihitung setelah periode

inkubasi selama 24 jam, setelah pemberian sejumlah larutan uji pada media

hidupnya. Kematian tersebut disebabkan, karena larva udang mengalami

keracunan (toxicity) akibat keberadaan senyawa bioaktif yang masuk ke dalam

tubuhnya. Selain itu, sistem pertahanan tubuh (imunitas) yang dibentuk larva

udang masih belum mampu untuk menghambat dan menoleransi senyawa bioaktif

yang terdapat pada media hidupnya. Kematian larva udang dinyatakan

berdasarkan hasil pengamatan menggunakan kaca pembesar dan ditunjukkan

dengan tidak adanya motilitas (pergerakan) dari larva udang. Selanjutnya dihitung

efek farmakologis, berdasarkan analisis probit (LC50).


DAFTAR PUSTAKA

Ajrina, A. 2013. “Uji Toksisitas Akut Ekstrak Metanol Daun Garcinia benthami
Pierre Terhadap Larva Artemia salina Leach Dengan Metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT)”. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah:
Jakarta.

Arwan, B. 2017. “Uji Toksisitas Fraksi Ekstrak Etanol 70% Akar Parang
Romang (Boehmeria virgata (Forst) Guill.) Terhadap Larva Udang
(Artemia salina Leach) Dengan Menggunakan Metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT)”. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.

Febrina, S. 2022. Modul Praktikum Fitokimia II. Universitas Megarezky


Makassar.

Irsyad, M. 2013. Standarisasi Ekstrak Etanol Tanaman Katumpangan Air


(Peperomia pellucida L. Kunth). Uin Syarif Hidayatullah : Jakarta.

Manurung, S. 2019. “Uji Efek Antibakteri Ekstrak Etanol Biji Pepaya (Carica
papaya L.) Tehadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli Dengan
Kloramfenikol Sebagai Pembanding”. Politeknik Kesehatan Kemenkes
Medan.

Nur, Rizkqillah. 2013 Uji Toksisitas Akut Ekstrak N-Heksan Daun Garcinia
Benthami Pierre Terhadap Larva Artemia Salina Leach Dengan Metode
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

Anda mungkin juga menyukai