Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengobatan tradisional yang berkembang di Indonesia
merupakan warisandari nenek moyang. Saat pengobatan konvensional
belum masuk ke negara ini,masyarakat Indonesia lebih mengenal cara
penyembuhan penyakit secara tradisional, dimana pengobatan
tradisional tersebut didapat dari informasi turuntemurun serta dari
berbagai percobaan terhadap berbagai macam tanaman yangtumbuh
subur di Indonesia. Pengobatan tradisional Indonesia biasanya
berasaldari bahan-bahan alam yang ada disekitar lingkungan tempat
tinggal (Murtie, 2013)
Indonesia merupakan negara di wilayah Asia Tenggara yang
memiliki diversitas flora yang tinggi. Tumbuhan tersebut digunakan oleh
masyarakat sebagai sumber pangan dan pengobatan tradisional.
Sebagian kecil dari tumbuhan itu telah dibudidayakan karena memiliki
nilai ekonomi yang tinggi dan merupakan sumber sayuran sehari-hari,
diantaranya rimbang (Solanum torvum Swartz). Buah dari tanaman
tersebut dapat dikonsumsi mentah. Tanaman ini memiliki nama yang
berbeda-beda pada setiap daerah, seperti rimbang (Sumatera Barat
dan Melayu), takokak (Jawa Barat), dan terong cepoka (Jawa Tengah).
Tanaman tersebut telah dimanfaatkan sebagai obat tradisional pada
masyarakat terutama di daerah Sumatera Barat karena digunakan
sebagai obat mata (Sirait, 2009), oleh karenanya, tanaman ini dapat
mendukung gaya hidup masyarakat sekarang yang ingin
mengkonsumsi obat berbahan alami.
Untuk mengetahui keamanan suatu tanaman jika digunakan
sebagai pengobatan, maka diperlukan uji toksisitas. Uji toksisitas
dibedakan menjadi uji toksisitas akut, subkronik, dan kronik. Uji
toksisitas akut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang
gejala keracunan, penyebab kematian, urutan proses kematian dan
rentang dosis yang mematikan hewan uji (Lethal dose atau disingkat
LD50) suatu bahan (Ngatidjan,1997). Parameter toksisitas akut yang
digunakan untuk melihat keamanan suatu tanaman dalam pengobatan
adalah nilai LD50.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan uji toksisitas ?
2. Bagaimana prosedur uji toksisitas pada tumbuhan ?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan uji toksisitas.
2. Untuk mengetahui prosedur uji toksisitas pada beberapa tumbuhan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Umum
Masyarakat Indonesia telah lama mengenal serta menggunakan
obat-obatan alami atau yang dikenal dengan obat tradisional. Obat
tradisional lebih mudah diterima oleh masyarakat karena selain telah
akrab dengan masyarakat, obat ini lebih murah dan mudah didapat
(Hyeronimus, 2006).
Toksisitas adalah suatu keadaan yang menandakan adanya efek
toksik/racun yang terdapat pada bahan sebagai sediaan single dose
atau campuran. Toksisitas akut ini diteliti pada hewan percobaan yang
menunjukkan evaluasi keamanan dari kandungan kimia untuk
penggunaan produk rumah tangga, bahan tambahan makanan,
kosmetik, obat-obatan, dan sediaan biologi (Paget, 1970).
Toksisitas adalah efek berbahaya dari bahan kimia atau suatu
obat pada organ target. Umumnya setiap senyawa kimia mempunyai
potensi terhadap timbulnya gangguan atau kematian jika diberikan
kepada organisme hidup dalam jumlah yang cukup (Hayes, 1983).
Uji toksisitas dilakukan untuk mendapatkan informasi atau data
tentang toksisitas suatu bahan (kimia) pada hewan uji. Secara umum
uji toksisitas dapat dikelompokkan menjadi uji toksisitas jangka
pendek/akut, dan uji toksisitas jangka panjang. Uji toksisitas akut
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang gejala keracunan,
penyebab kematian, urutan proses kematian dan rentang dosis yang
mematikan hewan uji (Lethal dose atau disingkat LD50) suatu bahan.
Uji toksisitas akut merupakan efek yang merugikan yang timbul segera
sesudah pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal, atau berulang
yang diberikan dalam 24 jam (Ngatidjan,1997).
Uji toksisitas pada ekstrak tanaman biasanya dilakukan dengan
untuk mengetahui tingkat keamanan suatu ekstrak. Dimana pengujian
toksisitas biasanya dengan menggunakan hewan uji. Salah satu
hewan uji yang sesuai adalah brine shrimp (udang laut) A. salina
Leach, sejenis udang-udangan primitif dan pertama kali ditemukan di
Lymington, Inggris pada tahun 1755 dan termasuk family crustaceae
tingkat rendah dari phylum arthropoda (Sukandar, 2007).
BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) digunakan untuk menentukan
toksisitas suatu ekstrak atau senyawa. Uji toksisitas terhadap larva
udang Artemia salina L. Atau BSLT dapat digunakan sebagai uji
pendahuluan pada penelitian yang mengarah pada uji sitotoksik.
Parameter yang ditunjukkan untuk menunjukkan adanya aktivitas
biologi pada suatu senyawa pada Artemia salina L. Adalah
kematiannya. Penggolongan toksisitas atas dasar jumlah besarnya zat
kimia yang diperlukan untuk menimbulkan bahaya untuk harga LC50
dibedakan menjadi (Meyer, etal., 1982).
Meyer et., al., 1982 cit Wahyuni 2003 melaporkan metode uji
toksisitas senyawa bahan alam yang cepat dan mudah dengan hewan
uji Artemia salina Leach. Uji toksisitas ini dapat diketahui dari jumlah
kematian larva tersebut dan uji ini dikenal dengan Brine Shrimp
Lethally Test (BST), metode BST ini tidak spesifik untuk mengetahui
senyawa anti tumor, oleh karena itu setelah uji toksisitas dengan BST
perlu diadakan uji sitotoksitas. Hal ini dikarenakan uji aktivitasnya anti
kanker didasarkan pada adanya efek toksik pada sel (sitotoksik). Jadi
uji toksisitas dengan metode BST ini merupakan uji awal untuk
mengetahui suatu senyawa memiliki potensi atau tidak sebagai anti
kanker. Sampai saat ini dikenal 2 macam uji untuk menentukan suatu
bahan alam bersifat anti kanker yaitu uji toksisitas dan uji sitotoksitas.
B. Prosedur Uji Toksisitas
a. Uji toksisitas ekstrak daun pletekan (Ruellia tuberosa L.) dengan
menggunakan metode brine shrimp lethality test (bslt)
1) Prosedur Uji
- Pengambilan sampel
Sampel Daun Pletekan (Ruellia tuberosa L.) diambil di
Kota Makassar di belakang kampus UMI. Waktu
pengumpulan sampel daun dilakukan saat proses
fotosintesis maksimal, yaitu saat mulai berbunga atau
sedang berbunga tetapi belum berbuah. Pada saat ini proses
fotosintesis berhenti sementara (Dirjen POM, 1989).
- Pengolahan Sampel
Serbuk Daun Pletekan sebanyak 500 g dimasukkan ke
dalam wadah maserasi, lalu ditambahkan pelarut metanol
sebanyak 2000 mL hingga simplisia tersebut terendam,
dibiarkan selama 3 hari dalam bejana tertutup dan terlindung
dari cahaya matahari langsung sambil diaduk secara periodik,
setelah 3 x 24 jam dilakukan penyaringan dan ampasnya
dimaserasi kembali dengan cairan penyari yang baru.
Maserasi dilakukan sebanyak 3 kali dan diperoleh ekstrak
metanol cair. Hasil penyarian yang diperoleh kemudian
diuapkan dengan menggunakan rotavapor sehingga akan
diperoleh ekstrak kental.
Sampel kemudian dibersihkan dari kotoran yang
melekat lalu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan
disimpan di lemari pengering. Setelah kering, Daun Pletekan
(Ruellia tuberosa L.) diblender sampai menjadi serbuk,
disimpan ke dalam wadah dan siap untuk diekstraksi.
- Metode Ekstraksi
Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini
adalah maserasi bertingkat dengan menggunakan tiga
pelarut yang berbeda kepolarannya yaitu pelarut non polar
(n-heksan), pelarut semipolar (etil asetat), dan pelarut polar
(etanol).
Ditimbang 900 gram serbuk simplisia, kemudian
dimasukan serbuk simplisia yang akan disari dalam bejana
maserasi. Dituangkan secara perlahan pelarut non polar (n-
heksan) kedalam bejana maserasi yang berisi serbuk
simplisia. Kemudian dibiarkan cairan penyari merendam
serbuk simplisia. Biarkan simplisia selama 3-7 x 24 jam, lalu
saring untuk mendapatkan ekstrak cair dan diuapkan hasil
penyarian (dengan rotavapor) pada 500C hingga diperoleh
ekstrak kental (Dirjen POM, 2000).
Residu selanjutnya dimasukkan dalam wadah maserasi
lalu ditambahkan pelarut semipolar (etil asetat). Dibiarkan
selama 3 hari sambil sesekali diaduk. Kemudian disaring,
ekstrak cair dipekatkan menggunakan rotavapor pada suhu
50ºC (Ditjen POM, 2000).
Residu selanjutnya dimasukkan dalam wadah maserasi
lalu ditambahkan pelarut polar (etanol). Dibiarkan selama 3
hari sambil sesekali diaduk. Kemudian disaring, ekstrak cair
dipekatkan menggunakan rotavapor pada suhu 50ºC (Ditjen
POM, 2000).
- Uji Toksisitas
Pengujian Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) yang
dilakukan pada ekstrak daun pletekan (Ruellia tuberosa L.)
berdasarkan pada prosedur Rahman (2005) dengan
beberapa modifikasi :
Penyiapan Larva
Sebanyak 50 mg telur Artemia salina Leach. direndam
dalam 1000 mL air laut pada area gelap wadah yang tertutup
aluminium foil. Setelah 48 jam telur akan menetas menjadi
larva dan berpindah pada area wadah yang disinari dengan
cahaya lampu. Larva yang telah berumur 48 jam akan
digunakan sebagai hewan uji untuk uji aktivitas toksisitasnya.
Pembuatan Larutan Uji
Masing-masing ekstrak ditimbang sebanyak 0,02 gram.
Kemudian ditempatkan pada labu takar 10 mL. Kemudian
masing-masing ekstrak ditambahkan dengan air laut untuk
melarutkan. Jika tidak larut maka ditambahkan DMSO
beberapa tetes namun tidak melebihi 0,5 μL. Setelah
homogen dicukupkan dengan 10 mL air laut kemudian
digunakan sebagai larutan stok dengan konsentrasi 2000
ppm. Dari larutan stok tersebut dibuat variasi konsentrasi
didalam vial 10 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm.
Pengujian Toksisitas Ekstrak
Pada masing-masing vial dimasukkan 10 ekor larva
udang yang berumur 48 jam dan dicukupkan dengan air laut
hingga 5 mL. Vial-vial uji kemudian disimpan di tempat yang
cukup mendapatkan sinar lampu. Setelah 24 jam dilakukan
pengamatan terhadap jumlah larva yang mati. Untuk setiap
sampel kontrol dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Bila
LC50 di bawah 1000 μg/mL dinyatakan bersifat toksik dan
diatas 1000 μg/mL dinyatakan tidak toksik.
Dari hasil penelitian, menunjukkan bahwa nilai LC50
dari ekstrak daun Pletekan (Ruellia tuberosa L.) beruturut-
turut yaitu nilai LC50 ekstrak n-heksan 1389,31 μg/mL, nilai
LC50 ekstrak etila setat 453,941 μg/mL dan nilai LC50
ekstrak etanol 142,160 μg/mL. Hanya ekstrak etil asetat dan
ekstrak etanol dari daun Pletekan (Ruellia tuberosa L.) yang
menunjukan efek toksik dengan nilai LC50 <1000 μg/mL. Ini
menunjukkan bahwa golongan senyawa metabolit sekunder
dari golongan polar lebih banyak terdapat di dalam ekstrak
sampel dibandingkan golongan senyawa metabolit non polar
lainnya. Selanjutnya dilakukan Uji Kualitatif komponen kmia
yang terkandung dalam daun Pletekan (Ruellia tuberosa L.)
dengan menggunakan pereaksi-pereaksi kimia. Hasil
identifikasi ini menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat dan
etanol positif mengandung senyawa alkaloid, saponin,
flavonoid dan fenol.
Beberapa kandungan kimia dalam ekstrak daun
Pletekan (Ruellia tuberosa L.) yang kemungkinan bersifat
toksik yaitu alkaloid, saponin, dan flavonoid. Menurut
Hopkins dan Hiiner (2004) dalam Yunita dkk (2009), saponin
mengandung glikosida dalam tanaman yang sifatnya
menyerupai sabun dan dapat larut dalam air. Saponin dapat
menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan
makanan.
b. Uji toksisitas akut dan subkronik ekstrak brotowali (Tinospora crispa
(L). Miers)
Prosedur Uji
Batang brotowali disortasi basah untuk memisahkan kotoran
atau bahan asing dari bahan simplisia, kemudian dicuci dengan air
bersih yang mengalir untuk menghilangkan tanah dan kotoran lain
yang menempel pada simplisia. Simplisia basah dilakukan
perajangan, kemudian diangin-anginkan dilanjutkan pengeringan di
dalam oven suhu 50°C. Simplisia kering diserbuk menggunakan
grinder, dan diayak hingga diperoleh serbuk halus yang seragam
(40 mess). Serbuk dibuat ekstrak secara perkolasi menggunakan
etanol 70%. Ekstrak cair dipisahkan dari pelarut etanol dengan
rotavapor sehingga diperoleh ekstrak kental, selanjutnya ekstrak
diletakkan di atas waterbath, sehingga bebas etanol.
1) Uji toksisitas akut
Uji toksisitas akut menggunakantikus putih (Rattus
norvegicus) galur Spraque Dawley umur ± 2 bulan bb ± 180
gram. Tikus dikelompokkan secara acak menjadi empat
kelompok (satu kelompok kontrol dan tigakelompok perlakuan)
setiap kelompok 5 ekor jantan dan 5 ekor betina.
Sebelum percobaan dimulai, hewan uji diaklimatisasi di
dalam ruangan percobaan selama 7 hari, tikus putih
ditempatkan dalam kandang ukuran 35 x 20 x 15 cm, jumlah
hewan tiap kandang 2-3 ekor, ditempatkan pada ruangan
dengan suhu 27°C, diberikan makanan standar percobaan
(pelet pakan tikus) dan air minum dari PAM ad libitum. Tikus
dikelompokkan secara acak sedemikian rupa sehingga
penyebaran bobot tubuh merata untuk semua kelompok.
Kelompok kontrol diberikan larutan PGA 2% 2 ml, kelompok
perlakuan I diberikan ekstrak etanol brotowali dosis 1.250
mg/kg bb dan larutan PGA 2%, Kelompok perlakuan II
diberikan ekstrak etanol brotowali dosis 2.500 mg/kg bb dan
larutan PGA 2%, Kelompok perlakuan III diberikan ekstrak
brotowali 5.000 mg/kg bb dan larutan PGA 2% single dose per
oral. Dilakukan pengamatan selama 14 hari meliputi kesehatan
hewan, gejala klinis/toksis, berat badan, jumlah kematian dan
gross pathology (patologi makro) untuk hewan coba yang mati
pada waktu pengamatan. Pada akhir penelitian hewan coba
yang masih hidup diotopsi, dilakukan pengamatan secara
makroskopis organ hepar, ginjal, usus dan jantung. Apabila ada
kecurigaan dilakukan pemeriksaan histopatologi.
2) Uji Toksisitas Subkronis
Uji toksisitas subkronik menggunakan tikus putih (R.
norvegicus) galur SD (Spraque Dawley) umur ± 2 bulan bb ±
180 gram. Tikus dikelompokkan secara acak menjadi empat
kelompok (satu kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan)
setiap kelompok 5 ekor jantan dan 5 ekor betina.
Sebelum percobaan dimulai, hewan uji diaklimatisasi di
dalam ruangan percobaan selama 7 hari, tikus putih
ditempatkan dalam kandang ukuran 35 x 20 x 15 cm, jumlah
hewan tiap kandang 2-3 ekor, ditempatkan pada ruangan
dengan suhu 27°C, diberikan makanan standar percobaan
(pelet pakan tikus) dan air minum dari PAM ad libitum. Tikus
dikelompokkan secara acak sedemikian rupa sehingga
penyebaran bobot tubuh merata untuk semua kelompok.
Kelompok kontrol diberikan larutan PGA 2% 2 ml, kelompok
perlakuan I diberikan ekstrak etanol brotowali dosis 500 mg/kg
bb dan larutan PGA 2%, Kelompok perlakuan II diberikan
ekstrak etanol brotowali dosis 1000 mg/kg bb dan larutan PGA
2%, Kelompok perlakuan III diberikan ekstrak brotowali 2000
mg/kg bb dan larutan PGA 2% per oral, masing masing
kelompok dicekoki dan diobservasi selama 60 hari.
Setiap hari dilakukan pengamatan kesehatan hewan dan
gejala-gejala toksik keracunan yang dijumpai misalnya diare,
muntah, tremor, kejang dsb. Hewan yang mati selama periode
pemberian zat uji harus segera diotopsi, setiap organ dan
jaringan diamati secara makropatologi, bila perlu dilakukan
pemeriksaan histopatologi dan penimbangan organ Pada
hari ke-60 dilakukan pemeriksaan darah rutin meliputi:
gambaran darah rutin (Hb, jumlah sel darah merah, sel darah
putih dan hematokrit), kimia darah (SGOT, SGPT, ureum,
kreatinin) serta dilakukan pemeriksaan histopatologi organ
penting yaitu hati, paru, ginjal, jantung dan lambung.
Hasil uji toksisias akut ekstrak etanol brotowali sampai
dosis 5.000 mg/kg bb tidak menunjukkan efek toksik (practically
non toxic). Hasil uji toksisitas subkronik ekstrak etanol brotowali
sampai dosis 2.000 mg/kg BB selama 2 bulan tidak
menunjukkan efek toksik.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
Hayes, A.W. 1983. Principles and Metods of Toxitology. Raven Press:
New York 4-23

Hyeronimus, S, B, 2006, Ragam dan Khasiat Tanaman Obat, Agro Media,


Jakarta.

Meyer, B.N. Ferrigni, P. J.E, Jacobsen. L.B, Nichols and McLaughlin,1982


Brine Shrimp: A Convenient General Bioassay for Active Plant
Constituents, Planta Medica.

Sukandar, D., Hermanto, S., & Lestari, E. 2007. Uji Toksisitas Ekstrak
Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) Dengan
Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Penerbit UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai