Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH BOTANI TUMBUHAN OBAT

CARA PENGOLAHAN ZAT BERPOTENSI EKSTRAKSI

Dosen Pengampu:
1. Dr. Pramudiyanti, S.Si., M.Si.
2. Rini Rita T. Marpaung, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :
Kelompok 5A

1. Annisa Prima Sifa (2013024005)


2. Alma Aulia Husnussuroya (2013024045)
3. Era Apriliana (2013024027)
4. Rahma Dwi Fadila (2013024057)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
UNIVERSITAS LAMPUNG
2023
A. Pengertian ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu metode pemisahan suatu zat yang didasarkan pada
perbedaan kelarutan terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda,
biasanya yaitu air dan yang lainnya berupa pelarut organik. Ekstraksi adalah
proses pemisahan zat dari pelarutnya sehingga kita memperoleh suatu zat
tertentu yang kita inginkan. Dalam proses ekstraksi tanaman obat ini zat yang
kita peroleh yaitu zat aktif dalam tanaman obat yang dapat digunakan sebagai
obat untuk suatu penyakit (Indarto, dkk., 2019).

B. Macam-macam Cara Ekstraksi


1. Maserasi
Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan.
Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri. Metode ini
dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai ke
dalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi
dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa
dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses
ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Kerugian
utama dari metode maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut
yang digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa
hilang. Selain itu, beberapa senyawa mungkin saja sulit diekstraksi pada
suhu kamar. Namun disisi lain, metode maserasi dapat menghindari
rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat termolabil.

2. Ultrasound - Assisted Solvent Extraction


Merupakan metode maserasi yang dimodifikasi dengan menggunakan
bantuan ultrasound (sinyal dengan frekuensi tinggi, 20 kHz). Wadah yang
berisi serbuk sampel ditempatkan dalam wadah ultrasonic dan ultrasound.
Hal ini dilakukan untuk memberikan tekanan mekanik pada sel hingga
menghasilkan rongga pada sampel. Kerusakan sel dapat menyebabkan
peningkatan kelarutan senyawa dalam pelarut dan meningkatkan hasil
ekstraksi.
3. Perkolasi
Pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan dalam
sebuah perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran pada
bagian bawahnya). Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel
dan dibiarkan menetes perlahan pada bagian bawah. Kelebihan dari
metode ini adalah sampel senantiasa dialiri oleh pelarut baru. Sedangkan
kerugiannya adalah jika sampel dalam perkolator tidak homogen maka
pelarut akan sulit menjangkau seluruh area. Selain itu, metode ini juga
membutuhkan banyak pelarut dan memakan banyak waktu.

4. Soxhlet
Metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam sarung
selulosa (dapat digunakan kertas saring) dalam klonsong yang ditempatkan
di atas labu dan di bawah kondensor. Pelarut yang sesuai dimasukkan ke
dalam labu dan suhu penangas diatur di bawah suhu reflux. Keuntungan
dari metode ini adalah proses ekstraksi yang kontinyu, sampel terekstrak
oleh pelarut murni hasil kondensasi sehingga tidak membutuhkan banyak
pelarut dan tidak memakan banyak waktu. Kerugiannya adalah senyawa
yang bersifat termolabil dapat terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh
terus-menerus berada pada titik didih.

5. Reflux dan Destilasi Uap


Pada metode reflux, sampel dimasukkan bersama pelarut ke dalam labu
yang dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga mencapai
titik didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu. Destilasi uap
memiliki proses yang sama dan biasanya digunakan untuk mengekstraksi
minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap). Selama
pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai 2 bagian yang
tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung dengan
kondensor. Kerugian dari kedua metode ini adalah senyawa yang bersifat
termolabil dapat terdegradasi.
C. Ekstraksi Tanaman Obat
1. Thallophyta
a. Ulva sp.

Gambar 1. Ulva sp.


Ulva sp. adalah rumput laut makro alga yang tergolong dalam
divisi Chlorophyta. Termasuk dalam divisi Chlorophyta karena sel-
sel mengandung banyak mengandung klorofil a sehingga
memberikan warna hijau pada rumput laut ini. Sebagai tanaman
obat, Ulva sp. memiliki manfaat dalam antibakteri. Manfaat
tersebut didapat melalui proses ekstraksi dengan metode maserasi.
Sampel yang telah diambil dibersihkan dari substratnya dan dicuci
hingga bersih. Sampel yang telah dibersihkan selanjutnya masing-
masing jenis alga diberlakukan dengan tiga metode berbeda yaitu
dibekukan pada suhu - 10 °C selama 24 jam, dipanaskan selama 1
jam pada suhu 70-80 °C, dan dikeringkan dengan cara dijemur
tanpa penyinaran matahari secara langsung selama 4 hari untuk
menghindari berubah atau rusaknya komponen senyawa bioaktif
yang terdapat pada sampel. Alga hijau kemudian dihaluskan
menggunakan mortar pestle guna memecah dinding sel sampel dan
memperluas permukaan sampel, sehingga mempermudah kontak
antara pelarut dan sampel, senyawa bioaktif yang terdapat dalam
sampel dapat terbawa sempurna saat ekstraksi maserasi. Kemudian
dimaserasi dengan menggunakan pelarut air/aquades steril dengan
perbandingan 1:1 selama 2 x 24 jam pada 27 °C. Hasil maserasi
dipisahkan antara filtrat dan residunya dengan penyaringan,
sehingga diperoleh ekstrak kasar.

Sampel diberi perlakuan berbeda pada tahap preparasi sampel yaitu


sampel dikeringkan, dibekukan, dan dipanaskan. Sampel
dikeringkan untuk menurunkan kadar air. Pengeringan dilakukan
pada suhu 27 °C bertujuan untuk meminimalisir kadar air yang
terkandung dalam alga sehingga menghambat aktivitas
mikroorganisme (jamur maupun bakteri) dan menghindari
kerusakan senyawa aktif pada sampel yang tidak tahan panas.
Sampel dibekukan pada suhu -10 °C untuk mempermudah proses
penghalusan dan mendapatkan ekstrak dari alga segar, sedangkan
dipanaskan pada suhu 70-80 °C bertujuan untuk membantu
merusak dinding sel alga sehingga mempermudah proses ekstraksi.
Penghalusan dilakukan dengan tujuan memperluas permukaan
sampel, sehingga mempermudah kontak antara pelarut dan sampel
pada saat ekstraksi maserasi. Ekstraksi senyawa aktif alga hijau
menggunakan metode maserasi dengan pelarut air/aquades.

b. Sargassum sp.

Gambar 2. Sargassum sp.


Sargassum sp. merupakan rumput laut coklat tropis dan subtropis
yang hidup pada daerah subtidal dan intertidal. Sargassum sp.
sudah dikaji secara luas menunjukkan potensi antioksidan yang
tinggi secara in vitro berupa senyawa fenolik yang merupakan
salah satu antioksidan yang paling efektif dalam alga coklat.
Komposisi kimia yang dominan pada alga coklat Sargassum sp.
yaitu abu dan karbohidrat. Sargassum sp. mengandung alkaloid,
fenol dan triterpenoid. Sargassum sp. memiliki aktivitas
antioksidan yang kuat pada ekstrak etil asetat. Ekstrak Sargassum
sp. dapat dijadikan sumber antioksidan. Ekstraksi yang dilakukan
pada tanaman Sargassum sp. dilakukan dengan teknik maserasi.
Sampel dikeringkan di bawah sinar matahari selama ± 4 hari.
Sampel yang telah kering dipotong-potong kemudian dihaluskan
dengan menggunakan blender hingga menjadi serbuk simplisia
kering. Simplisia ditimbang sebanyak 50 g dan dimasukkan ke
dalam gelas erlenmeyer. Maserasi dilakukan dengan perbandingan
1:3 menggunakan etanol p.a, etil asetat p.a dan n-heksan p.a
masing-masing dan direndam selama 2x24 jam. Perendaman
berfungsi untuk menarik keluar senyawa-senyawa organik yang
terkandung dalam simplisia. Larutan disaring menggunakan kertas
saring biasa dan dipekatkan dengan evaporator hingga terbentuk
ekstrak kental.

c. Alga Hijau Sipau (Dictyosphaeria versluysii)

Gambar 3. Dictyosphaeria versluysii


Silpau merupakan salah satu jenis alga hijau yang hidup menempel
pada substrat batu karang dan tidak tergolong tumbuhan musiman,
sehingga tersedia setiap saat. Silpau termasuk alga laut hijau yang
teksturnya padat dan agak keras dan hidup berkoloni. Alga hijau
silpau mengandung enam golongan senyawa metabolit sekunder
yaitu alkaloid, flavonoid, steroid, terpenoid, fenol, dan saponin
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri.
Manfaat tersebut didapat melalui proses ekstraksi dengan metode
maserasi.
Sampel diambil kemudian dibersihkan dari kotoran yang
menempel. Setelah itu sampel dibersihkan dan ditiriskan, kemudian
dikeringanginkan. Silpau yang telah kering disimpan dalam
kemasan plastik untuk dianalisa. Ekstraksi dengan teknik maserasi
dilakukan menggunakan pelarut etil asetat. Alga hijau silpau D.
versluysii kering sebanyak 1 kg ditambahkan pelarut etil asetat
sebanyak 2000 ml sampai semua bagian terendam sempurna.
Maserasi dilakukan selama 3x24 jam kemudian filtrat yang
diperoleh dipisahkan dari pelarutnya, kemudian disaring
menggunakan kertas saring. Proses maserasi dilakukan secara
berulang hingga tiga kali atau sampai filtrat terlihat bening. Hasil
maserasi selanjutnya diuapkan menggunakan rotary evaporator
pada suhu 400 C hingga seluruh etil asetat menguap dan diperoleh
ekstrak kasar. Selanjutnya ekstrak dikeringkan.

d. Hormophysa triquetra

Gambar 4. Dictyosphaeria versluysii


Hormophysa triquetra merupakan jenis alga coklat yang mudah
ditemukan pada sepanjang pesisir pantai dengan sedimen berpasir
dan berbatu. Secara morfologi Alga Hormophysa triquetra
berwarna cokelat tua sampai coklat gelap, panjang berkisar 10-40
cm, dengan batang pendek dan banyak cabang primernya,
pertumbuhannya terbatas dengan lateralnya besar dan banyak.
Sebaran Hormophysa triquetra tumbuh melekat pada substrat yang
keras seperti rataan terumbu karang dengan dominasi populasinya
bercampur dengan Sargassum oligocystum, Padina dan
Dictyosphaeria versluysii.

Berdasarkan hasil penelitian beberapa alga coklat diketahui sering


dimanfaatkan karena merupakan sumber daya yang kaya akan
berbagai kandungan metabolit sekunder dengan cara diekstraksi
menggunakan metode maserasi, salah satunya yaitu Alga
Hormophysa triquetra. Alga yang ambil sebanyak 1 kg kemudian
dikeringkan. Setelah kering, dihaluskan dengan menggunakan
blender dengan tujuan memperluas permukaan Alga, sehingga
mempermudah kontak antara pelarut dan Alga pada saat ekstraksi
maserasi.
Ekstraksi senyawa aktif alga hijau menggunakan metode maserasi
dengan
pelarut etanol. Selanjutnya dilakukan perendaman dengan
menggunakan etanol selama 24 jam dan disaring menggunakan
kertas saring. Pelarut kemudian dihilangkan dengan menggunakan
vacuum rotary evaporator, tahap selanjutnya dilakukan uji
fitokimia untuk mengetahui senyawa bioaktif yang terdapat dalam
ekstrak. Hasil pengujian fitokimia menunjukan ekstrak alga
Hormophysa triquetra mengandung senyawa-senyawa flavonoid,
terpenoid, fenolik, saponin dan alkaloid yang mampu
mempengaruhi aktivitas antibakteri dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.
e. Halimeda macroloba

Gambar 5. Halimeda macroloba


Secara morfologi Halimeda macroloba Decaisne memiliki talus
berwarna hijau tua karena mengandung klorofil a dan b sehingga
warna pigmen lain tidak terlihat, memiliki struktur yang tebal dan
bercabang-cabang yang menyerupai kipas, tumbuh subur di daerah
perairan dengan substrat berpasir dan berbatu. Untuk mengetahui
potensi antibakteri ekstrak alga hijau Halimeda macroloba
Decaisne dalam menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli
dan Staphylococcus aureus dapat dilakukan melalui beberapa
tahapan yaitu
proses ekstraksi, uji fitokimia dan uji daya hambat bakteri.
Sampel yang diperoleh sebanyak 1 kg kemudian dikeringkan
selama 3 hari dengan metode sun drying, menghasilkan sampel
kering sebanyak 345 gr. Selanjutnya dilakukan proses ekstraksi, uji
fitokimia, dan uji antibakteri.
- Proses Ekstraksi
Dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut
etanol 96%, labu Erlenmeyer berisi sampel kering direndam
dengan pelarut etanol sampai semua bagian terendam
sempurna. Maserasi dilakukan selama 24 jam kemudian filtrat
disaring menggunakan kertas saring Whatman. Hasil maserasi
selanjutnya diuapkan menggunakan rotary evaporator hingga
seluruh etanol menguap dan diperoleh ekstrak kasar. Ekstrak
yang diperoleh dilakukan uji fitokimia dan uji antibakteri
terhadap bakteri uji Escherichia coli dan Staphylococcus
aureus.
- Uji fitokimia
Dilakukan untuk melihat kandungan metabolit sekunder pada
ekstrak kasar meliputi alkoloid, flavonoid, terpenoid, steroid,
fenolik dan saponin. Sebanyak 0,05 g sampel direaksikan
dengan masing-masing reagen untuk mengetahui kandungan
bioaktif secara kualitatif.
- Uji antibakteri
Dilakukan dengan menggunakan metode difusi agar dengan
sumuran.

Berdasarkan hasil uji fitokimia menunjukan bahwa pada ekstrak


alga hijau Halimeda macroloba Decaisne memiliki senyawa
flavonoid, terpenoid, fenolik, saponin dan alkoloid yang berperan
dalam menghambat pertumbuhan bakteri.

f. Eucheuma spinosum

Gambar 6. Eucheuma spinosum


Eucheuma spinosum merupakan salah satu jenis alga laut dari kelas
Rhodophyceae. Ciri-ciri alga jenis ini yaitu thallus silindris,
percabangan thallus berujung runcing atau tumpul dan ditumbuhi
nodulus (tonjolan- tonjolan), berupa duri lunak yang tersusun
berputar teratur mengelilingi cabang, lebih banyak dari yang
terdapat pada Eucheuma cottonii. Jaringan tengah terdiri dari
filamen tidak berwarna serta dikelilingi oleh sel-sel besar, lapisan
korteks, dan lapisan epidermis. Pembelahan sel terjadi pada bagian
apikal thallus.

Alga merah (Eucheuma spinosum) memiliki kandungan antibakteri


yang baik untuk kesehatan manusia. Pembuatan ekstrak Alga
merah (Eucheuma spinosum) merupakan inovasi di bidang
kesehatan. Langkah-langkah yang dilakukan untuk membuat
ekstrak Alga merah (Eucheuma spinosum) yang dapat berfungsi
sebagai antibakteri adalah sebagai berikut:
Alga merah (Eucheuma spinosum) segar dicuci bersih dan
ditiriskan, lalu dihaluskan serta ditimbang sebanyak 1000 gr.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam masing-masing toples,
ditambahkan pelarut etanol. Dilanjutkan dengan maserasi (metode
ekstraksi dengan proses perendaman bahan dengan pelarut yang
sesuai dengan senyawa aktif yang akan diambil) selama 3×24 jam
pada suhu ruang. Hasil maserasi kemudian disaring dengan kertas
saring Whatman sehingga didapatkan hasil filtrat dan residu. Filtrat
ini yang selanjutnya disimpan untuk dilakukan evaporasi
menggunakan vacuum rotary evaporator dengan suhu 40oC hingga
diperoleh ekstrak yang kental. Ekstrak ini akan dihitung persentasi
redemen dan selanjutnya dilakukan uji fitokimia serta uji aktivitas
antibakteri (Podungge, Damongilala, dan Mewengkang, 2018
didalam Putu, 2023).
2. Pteridophyta
a. Drymoglossum sp.

Gambar 7. Drymoglossum sp. (Daun Sisik Naga)


Sisik naga merupakan tumbuhan epifit dari famili Polypodiaceae
yang hidup menumpang pada pohon lain, melekat kuat pada
pohon-pohon besar yang lembab seperti pohon kelapa dan
mangga. Daun sisik naga mengandung alkaloid, flavonoid,
Polifenol minyak atsiri, triterpen, , tanin, gula dan saponin. Selain
itu juga mengandung glikosida minyak atsiri dan glikosida yang
berpotensi sebagai anti kanker. Ekstraksi daun Drymoglossum sp.
mampu melarutkan unsur bioaktif termasuk sel leukemia dalam
tubuh manusia. Selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai obat
sakit kuning (jaundice), sembelit, gondongan (parotitis), sakit
perut. Pada daerah Labuhan Batu Utara diidentifikasi bahwa
tumbuhan paku ini dapat dijadikan pada penelitian (Heriyati et al.,
2016) memanfaatkan paku sisik naga untuk mengobati anti
radang, sariawan, pendarahan,dan obat sakit gigi (Ulfa, dkk.,
2023).

Secara empiris masyarakat menggunakan daun sisik naga untuk


mengobati penyakit gondok, batuk darah, keputihan, kencing
nanah, rematik, sakit kuning, sariawan dan anti kanker). Selain itu
daun sisik naga ini juga digunakan sebagai obat anti radang,
menghilangkan nyeri (analgesik), pembersih darah, penghentian
perdarahan (hemostasis), memperkuat paru paru dan obat batuk
(antitusif). Ekstraksi daun sisik naga dilakukan dengan
menggunakan pelarut metanol:air (4:1). Metode ekstraksi yang
digunakan yaitu maserasi. Sebanyak 50 g simplisia kering
dimasukkan kedalam wadah maserasi, ditambahkan pelarut
metanol 200 ml:air 50 ml. Ekstraksi dilakukan selama 3x24 jam
(Fadil, dkk., 2022).

b. Selaginella doederleinii

Gambar 8. Selaginella doederleinii (Paku Cakar Ayam)


Tumbuhan paku Selaginella doederleinii merupakan tumbuhan
paku yang berasal dari China dan sudah banyak dikembangkan di
Indonesia. Tanaman ini memiliki khasiat meminimalisir panas
dan kelembaban, memperlancar peredaran darah, bersifat
antitoksik, antineoplasma, hemostasis, serta meredakan bengkak.
Tanaman ini memiliki keefektifan untuk mengobati batuk, diare,
kanker, kelainan saluran pernapasan, pembengkakan paru-paru,
hepatitis, keputihan, dan patah tulang. Tumbuhan paku S.
doederleinii dilaporkan terdapat kandungan alkaloid, saponin, dan
fitosterol (Dalimartha, 1999). Keberadaan senyawa flavonoid dan
lignan mendukung bahwa tumbuhan paku S. doederleinii
memiliki potensi sebagai antioksidan. Antioksidan dibutuhkan
untuk mencegah timbulnya stres oksidatif dan kerusakan sel,
dimana berperan penting dalam perkembangan berbagai macam
penyakit degeneratif seperti kanker, penyakit arteri koroner, dan
stroke. Risiko penyakit yang disebabkan radikal bebas kronis
mampu dikurangi dengan memakai berbagai macam senyawa
antioksidan meliputi antosianin, karotenoid, stilben, dan flavonoid
(Oktavia dan Sutoyo, 2021).

Ekstraksi tanaman ini menggunakan metode maserasi karena


mudah untuk dilakukan dan menggunakan alat-alat yang cukup
sederhana. Prosesnya sangat efektif dalam mengekstraksi
senyawa dari bahan alam, hal ini membuat tanaman sampel
mengalami penguraian pada dinding serta membran sel yang
mengakibatkan perbedaan tekanan di antara dalam sel dan luar
sel, oleh karena itu metabolit sekunder akan larut dengan pelarut
organik. Tanpa pemanasan juga menjadi salah satu kelebihan
metode maserasi agar senyawa metabolit yang akan dianalisis
tidak rusak. Didapatkan hasil maserasi berupa ekstrak padat
berwarna hijau gelap (Oktavia dan Sutoyo, 2021).

c. Asplenium nidus

Gambar 9. Asplenium nidus (Paku Sarang Burung)


Salah satu tanaman obat yang digunakan oleh masyarakat karo
(suku di Indonesia) adalah tanaman paku sarang burung
(Asplenium nidus L.) yang digunakan dalam pembuatan kuning
(sejenis param untuk mengobati demam dan masuk angin).
Asplenium nidus L. merupakan tanaman yang hidup menumpang
pada pohon lain dan banyak tumbuh di indonesia. Bagian daun
tersebut merupakan bagian yang biasa digunakan sebagai salah
satu campuran obat herbal seperti dalam pengobatan penyakit
maag. Berdasarkan hasil penelitian tumbuhan tersebut juga
berpotensi sebagai agen anti kuman, sebagai pencuci rambut,
mengobati sakit kepala dan demam. Diawali dengan mengisolasi
kandungan senyawa metabolit sekunder tersebut menggunakan
metode ekstraksi pelarut seperti maserasi. Pelarut yang digunakan
dalam mengekstrak Asplenium nidus L. ini yaitu metanol. Ekstrak
yang diperoleh dilanjutkan dengan uji fitokimia. Sampel
Asplenium nidus L positif terhadap alkaloid, saponin, flavonoid,
steroid, triterpenoid, dan fenolik (Brahmana, 2022).

d. Adiantum capillus-veneris

Gambar 10. Adiantum capillus-veneris


Menurut (Febby dan Dingse, 2019) menyatakan bahwa Adiantum
capillus-veneris dimanfaatkan sebagai obat batuk, gangguan
pernafasan, penyakit kulit, antipiretik, diuretik, anti inflamasi,
antioksidan dan sebagai stimulan. Tumbuhan paku A. capillus-
veneris memiliki senyawa flavonoid, triterpenoid, steroid dan
Shikimic acids (Ibraheim et al. 2011).

Sebelum dilakukan maserasi, sampel tumbuhan Adiantum


capillus-veneris diidentifikasi menggunakan buku de Winter dan
Amoroso (2003). Selanjutnya, daun tumbuhan paku dibilas
hingga bersih, dikeringanginkan, ditimbang sebanyak 50 gram,
kemudian dipotong kecil dan dihaluskan. Sampel tumbuhan paku
yang telah halus direndam dengan metanol selama 3x24 jam,
setelah itu ekstrak disaring sehingga diperoleh filtrat. Filtrat
dievaporasi sampai diperoleh ekstrak pekat. Ekstrak pekat
diuapkan kembali dengan meletakkannya di wadah terbuka
sehinggga diperoleh ekstrak kering. Ekstrak kering yang
diperoleh dilarutkan dengan akuades sampai konsentrasinya
menjadi 30%, 60% dan 90%.

e. Davallia denticulata

Gambar 11. Davallia denticulata


Tanaman pakis sawit (Davallia denticulata) adalah salah satu
tanaman paku epifit yang paling banyak tumbuh di Pohon Sawit.
Beberapa spesies dari genus Davallia (Davalliaceae) secara luas
digunakan dalam pengobatan tradisional karena efek
farmakologisnya sebagai antioksidan, anti osteoporosis, dan asam
urat. Daun tumbuhan pakis sawit diketahui memiliki senyawa
metabolit sekunder golongan flavonoid, terpenoid/steroid, saponin
dan fenolik (Hendra et al., 2020). Kandungan senyawa metabolit
sekunder ini memberikan potensi daun pakis sawit sebagai sumber
antioksidan alami.
Metode ekstraksi daun pakis sawit dilakukan secara maserasi
menggunakan pelarut etanol dan fraksinasi dilakukan sebanyak tiga
fraksi yaitu fraksi etanol, etil asetat dan n-heksan. Kemudian
dilakukan uji fitokimia dari ekstrak dan fraksi daun pakis sawit
yang didapat. Ekstrak etanol menunjukkan adanya senyawa
flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid dan steroid, pada fraksi n-
heksan menunjukkan adanya senyawa flavonoid dan fenolik, fraksi
etil asetat menunjukkan adanya senyawa flavonoid, tanin dan
fenolik, dan pada fraksi etanol menunjukkan adanya senyawa
flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid dan steroid.

f. Diplazium Esculentum (Paku sayur)

Gambar 12 . Diplazium Esculentum (Paku sayur)


Diplazium esculentum atau pakis sayur salah satu tumbuhan paku
yang sering dikonsumsi masyarakat karena dianggap memiliki
khasiat menyembuhkan berbagai penyakit seperti batuk, asma,
demam, sakit kepala, diare, dan disentri.
Secara tradisional, D. esculentum banyak digunakan dalam
pengobatan berbagai penyakit seperti diabetes, cacar, asma, diare,
rematik, disentri, sakit kepala, demam, luka, nyeri, campak,
tekanan darah tinggi, konstipasi, oliospermia, patah tulang,
pembengkakan kelenar, dan penyakit kulit lainnya [3]. Selain itu,
bagian muda tumbuhan ini popular dikonsumsi sebagai sayur
sehingga umum dikenal dengan sebutan pakis sayur atau paku
sayur di berbagai kalangan masyarakat.

Beberapa peneliti melakukan studi mengenai efek farmakologi atau


aktivitas positif senyawa kimia yang terkandung dalam pakis sayur
bagi tubuh manusia. Diketahui tanaman ini memiliki senyawa
bioaktif, seperti alkaloid, flavonoid, glikosida, fenolik, tanin,
terpenoid, steroid, karbohidrat, dan lemak. Studi lain juga
menyebutkan, komposisi kimia minyak atsiri yang diisolasi dari
daun D. esculentum dan senyawa volatil utama diidentifikasi
sebagai â-pinene (17,2%), á-pinene (10,5%), caryophyllene oksida
(7,5%), sabinene (6,1%), dan 1,8-cineole (5,8%). Kandungan
fitokimia daun pakis sayur tersebut membuatnya memiliki aktivitas
sebagai antioksidan. Untuk mendapatkan profil fitokimia D.
esculentum di atas, daun pakis sayur dapat diekstraksi salah
satunya menggunakan metode ekstraksi air panas bertekanan tinggi
atau pressurized hot water extraction (PHWE) [14]. Hasil ekstraksi
menunjukkan bahwa kondisi optimum untuk mendapatkan
aktivitas antioksidan terbaik adalah pada suhu 175°C dengan waktu
ekstraksi selama 21 menit. Ekstraksi dilakukan dengan melarutkan
2 g serbuk kering dalam 50 mL air dalam desain Box-Behnken.
Ekstrak tumbuhan yang didapatkan menunjukkan aktivitas
antioksidan sedang dengan nilai EC50 (konsentrasi suatu zat yang
diperlukan untuk mencapai 50% efek biologis maksimum) sebesar
1241,14 μg/mL melalui uji DPPH.

Selain dengan cara ekstraksi di atas, sumber lain menyebutkan


tumbuhan pakis sayur juga dapat diekstraksi menggunakan pelarut
metanol-air[16]. Ekstraksi diawali dengan dikeringkan pucuk daun
muda pakis sayur pada suhu ruang selama 7 hari dan dihaluskan
menjadi bubuk. Bubuk (100 g) dicampur dengan 500 ml
metanol:air (7:3) menggunakan shaker selama 15 jam kemudian
campuran tersebut disentrifugasi pada 2850×g dan supernatan
dipisahkan. Pelet dicampur kembali dengan 500 ml metanol-air dan
seluruh proses diulangi sekali lagi. Supernatan yang dikumpulkan
dari dua tahap ekstraksi dicampur dalam labu alas bulat dan
dipekatkan dalam tekanan rendah menggunakan rotary evaporator.
Ekstrak yang terkonsentrasi kemudian diliofilisasi. Ekstrak yang
didapatkan menunjukkan aktivitas antioksidan yang kuat dengan
IC50 90,39 μg/mL; 4,17 mg/mL; 3,35 mg/mL; dan 1,33 mg/mL
secara berurutan dengan uji superoxide anion scavenging (O2·−);
hydrogen peroxide scavenging (H2O2); peroxynitrite scavenging
(ONOO−); dan iron chelating.

Dengan demikian, tumbuhan pakis sayur memiliki potensi besar


untuk dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan obat-obatan.
Kandungan gizi dan senyawa aktif yang dimilikinya menjadikan
tumbuhan ini sebagai sumber pangan yang sehat dan bergizi.
Sementara itu, manfaat kesehatannya menjadikan Diplazium
esculentum sebagai obat alternatif yang menarik. Pengembangan
D. esculentum sebagai obat herbal dengan harapan memiliki efek
samping yang minimal dapat meningkatkan nilai gunanya yang
sebelumnya hanya sebatas dijadikan sayur. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan potensi
Diplazium esculentum sebagai sumber pangan dan obat-obatan
yang lebih optimal.
D. Kesimpulan
Ekstraksi adalah proses pemisahan zat dari pelarutnya sehingga kita
memperoleh suatu zat tertentu. Metode ekstraksi memiliki kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Maserasi sederhana tetapi memakan waktu dan
pelarut. Penggunaan ultrasound dapat meningkatkan hasil namun merusak sel
sampel. Perkolasi memastikan penggunaan pelarut terus-menerus, tetapi sulit
jika sampel tidak homogen. Soxhlet memberikan ekstraksi kontinyu namun
bisa merusak senyawa termolabil. Reflux dan destilasi uap cocok untuk
senyawa yang menguap, tetapi berisiko degradasi termolabil. Pemilihan
metode harus mempertimbangkan sifat sampel, efisiensi waktu, penggunaan
pelarut, dan risiko degradasi senyawa. Tanaman yang berpotensi ekstraksi
pada divisi Thallophyta yaitu Ulva sp., Sargassum sp., Dictyosphaeria
versluysii, Hormophysa triquetra, Halimeda macroloba, Eucheuma
spinosum. Sedangkan tanaman yang berpotensi ekstraksi pada divisi
Pteridophyta yaitu Drymoglossum sp., Selaginella doederleinii, Asplenium
nidus, Adiantum capillus-veneris, Davallia denticulata, dan Diplazium
Esculentum.
DAFTAR PUSTAKA

Ardinata, R. A., & Manguntungi, B. (2020). Inovasi Pemanfaatan Ekstrak Alga


Hijau Ulva sp dari Pantai Luk, Sumbawa Sebagai Kandidat Antibakteri
Terhadap Salmonella thypi dan Staphylococcus aureus. Jurnal Tambora,
4(3), 1-6.
Badaring, D. R., Sari, S. P. M., Nurhabiba, S., Wulan, W., & Lembang, S. A. R.
(2020). Uji ekstrak daun maja (Aegle marmelos L.) terhadap pertumbuhan
bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Indonesian Journal of
Fundamental Sciences, 6(1), 16.
Brahmana, E. M., Mubarrak, J., Lestari, R., & Dahlia, D. (2022). Uji skrining
fitokimia pada ekstrak metanol dari tanaman paku sarang burung. Jurnal
Edu Research, 11(2), 1-4.
Fadil, M. S., Tjong, D. H., Noli, Z. A., & Yerizel, E. (2022). Pengaruh Ekstrak
Metanol Daun Sisik Naga (Drymoglossum piloselloides L) Presl. terhadap
kadar SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic) dan SGPT (Serum Glutamic
Pyruvic Transaminase) Serum Darah Tikus Albino yang Terpapar Timbal.
In Prosiding Seminar Nasional Biologi (Vol. 2, No. 2, pp. 264-271).
Fitri, F. (2020). EFEKTIVITAS EKSTRAK ALGA MERAH (Eucheuma
spinosum) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA: KAJIAN
LITERATUR (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).
Gazali, M., Nurjanah, N., & Zamani, N. P. (2018). Eksplorasi senyawa bioaktif
alga cokelat Sargassum sp. Agardh sebagai antioksidan dari Pesisir Barat
Aceh. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 21(1), 167-178.
Indarto, I., Narulita, W., Anggoro, B. S., & Novitasari, A. (2019). Aktivitas
antibakteri ekstrak daun binahong terhadap propionibacterium acnes.
Biosfer: Jurnal Tadris Biologi, 10(1), 67-78.
Kandou, F. E., & Pandiangan, D. (2018). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol
Tumbuhan Paku diantum capillus-veneris dan Asplenium nidus Terhadap
Bakteri Gram Negatif Escherichia coli Dengan Metode Difusi Agar.
Jurnal MIPA, 7(1), 25-28.
Norhaslinda, E., Syahri, J., & Perdana, F. (2023). Ekstraksi, Fraksinasi, Dan Uji
Antioksidan Daun Pakis Sawit (Davallia denticulata). Photon: Jurnal Sain
dan Kesehatan, 13(2), 18-27.
Oktavia, F. D., & Sutoyo, S. (2021). Skrining fitokimia, kandungan flavonoid
total, dan aktivitas antioksidan ekstrak etanol tumbuhan Selaginella
doederleinii. Jurnal Kimia Riset, 6(2), 141.
Putu, U. A. U. (2023). Uji Aktivitas Aktivitas Antibakteri Alga Merah (Eucheuma
Spinosum) Terhadap Bakteri Staphylococcus Epidermidis Dan Escherichia
Coli.
Radiena, M. S., Moniharapon, T., & Setha, B. (2019). Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Etil Asetat Alga Hijau Silpau (Dictyosphaeria versluysii) terhadap
Bakteri Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus
aureus. Majalah BIAM, 15(1), 41-49.
Sampulawa, S., & Bahalwan, F. (2022). Identifikasi Senyawa Bioaktif Ekstrak
Alga Coklat (Hormophysa triquetra). Bioscientist: Jurnal Ilmiah Biologi,
10(1), 212-217.
Sampulawa, S., & Wa, N. (2021). Potensi Antibakteri Ekstrak Alga Hijau
Halimeda makroloba Decaisne dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Jurnal Sain Veteriner, 39(2).
Syafitri, V. D., Purwanti, L., & Sadiyah, E. R. (2017). Identifikasi Senyawa yang
Memiliki Aktivitas Antioksidan pada Daun Pakis Sayur (Diplazium
Esculentum (Retz.) Swartz) dengan Metode DPPH.
Tetti, M. (2014). Ekstraksi, pemisahan senyawa, dan identifikasi senyawa aktif.
Jurnal Kesehatan, 7(2).
Ulfa, S. W., Nabila, A. P., Tambunan, N. S., Siregar, R., & Sinaga, S. A. (2023).
Identifikasi Tumbuhan Paku (Pterydophyta) Yang Dimanfaatkan Sebagai
Tumbuhan Obat Di Daerah Sumatera Utara. Innovative: Journal Of Social
Science Research, 3(3), 2290-2304.

Anda mungkin juga menyukai