Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH III

MAKANAN DAN HUBUNGAN MAKANAN, MAKANAN HEWAN,


MEKANISME PERTAHANAN DIRI, PREFERENSI MAKANAN
Dosen pengampu :
1 Median Agus Priadi, S.Pd., M.Pd.
2 Drs. Arwin Surbakti, M.Si.

Disusun Oleh:
1. Salsa Noraliza (2013024002)
2. Shelly Windi Sari (2013024016)
3. Sasi Rahmawati (2013024020)
4. Nurul Hidayah (2013024022)
5. Nadya Anom Permata (2013024044)
6. Richo Armayoga (2013024058)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2022
I. Makanan dan Hubungan Makan Pada Hewan
A. Makanan
Makanan adalah bahan, biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan, yang
dimakan oleh makhluk hidup untuk mendapatkan tenaga dan nutrisi.
Kecukupan makanan dapat dinilai dengan status gizi secara antropometri.
Untuk mendapatkan dan memanfaatkan makanan dari lingkungannya,
setiap hewan dilengkapi beraneka adaptasi. Macam makanan ditentukan
secara genetic dan hasil belajar selama ontogeninya. Macam makanan
ditentukan secara genetic dan hasil belajar selama ontogeninya. Macam
makanan dapat ditinjau dari dua aspek.
1) Aspek kuantitatif mencakup masalah kelimpahan di habitatnya serta
berapa banyak yang diperlukan sehari-hari.
2) Aspek kualitatif meliputi masalah palatabilitas (kelezatan), nilai gizi,
daya cerna serta ukurannya.
Palatabilitas makanan ditentukan oleh banyak sedikitnya senyawa kimia,
diantaranya mungkin ada yang bersifat toksik atau merangsang di luar
kisaran toleransi hewan. Selain itu, ada struktur yang mengganggu seperti
bulu, duri, lapisan kulit keras yang mengurangi palatabilitas makanan.
Kebanyakan hewan herbivor, menunjukkan preferensi yang tinggi
terhadap bagian tumbuhan yang lunak, yang memiliki palatabilitas tinggi.
B. Makanan Hewan
Makanan hewan bisa berasal dari tumbuhan atapun makanan berupa
hewan. Hewan memiliki adaptasi dan perilaku sesuai dengan ketersediaan
makanannya. Hewan memerlukan energi untuk mendukung seluruh proses
metabolisme tubuh maupun aktivitasnya seperti berpindah, mencari
makan, pencernaan, mempertahankan suhu badan, reproduksi,
pertumbuhan, dan kerja lainnya. Seperti dijelaskan di depan, berdasarkan
kemampuan organisme dalam menyusun atau menyintesis makanan,
organisme dibedakan menjadi 2, yaitu:

1. Ototrof: organisme yang mampu mengunakan energi dari sinar


matahari dalam proses fotosintesis yang mereaksikan air dan karbon
dioksida menjadi gula sederhana (fotosintesis) atau menggunakan
reaksi kimia untuk energi dalam menyintesis makanan (kemosintesis).
Fotosintesis terjadi pada tumbuhan, sedangkan kemosintesis
berlangsung pada fungi.
2. Heteroatrof: organisme yang tidak mempu menyintesis makanan
sendiri dari senyawa anorganik sehingga harus mengonsumsi
organisme lain untuk memenuhi kebutuhannya, sebagai contohnya
ialah hewan. Berdasarkan macam makanan yang dimakan hewan
dimasukkan kedalam empat kategori :
a) Herbivor : hewan yang makanan utamanya adalah tumbuhan atau
bagian bagian dari tumbuhan
Gambar 1. kelinci
Sumber : https://id.images.search.yahoo.com/search/imagess

b) Karnivore (Predator, Pemangsa) : hewan yang makanan utamanya


berupa jenis hewan lain

Gambar 2. Harimau
Sumber :
https://i1.wp.com/karyapemuda.com/wp-content/uploads/2017/10
/pexels-photo-

c) Omnivor : hewan yang makanan utamanya berupa tumbuhan dan


jenis hewan lain

Gambar 3. Ayam
Sumber :
https://cdn.pixabay.com/photo/2019/04/24/08/48/chicken-
4151637__480.jpg
d) Saprovor (saprofag) : hewan yang makannannya berupa tumbuhan
mati dan bangkai hewan atau fases yang mengalami pembusukan

Gambar 4. Belatung
Sumber : https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F
%2Fwww.merdeka.com%2Fjateng%2Fdianggap-menjijikan-
mahasiswa-ugm-olah-belatung-jadi-produk-
ini.html&psig=AOvVaw2wRvlBXVv_HzdoAaWcDWLj&ust=166
6603665827000&source=images&cd=vfe&ved=0CA0QjRxqFwoT
CKDQ2NiE9voCFQAAAAAdAAAAABAD

C. Makanan dan Hubungan Makanan pada hewan


1. Hewan Organisme Heterotrof
Semua hewan adalah makhluk yang bersifat heterotrof yaitu makhluk
hidup yang tidak bisa membuat makanannya sendiri sehingga harus
memakan organisme lain. Hal ini membuat organisme heterotrof adalah
konsumen dalam rantai makanan. Sebagian besar umur hewan
digunakan untuk memperoleh makanan. Dengan demikian, ketersediaan
sumber daya bagi hewan tergantung pada ruang dan waktu. Satu hal
yang sangat penting untuk diperhatikan adalah sifat dari sumberdaya
tersebut apakah mudah atau tidaknya diperoleh atau dicerna. Ahli
ekologi hewan yang mempelajari startegi makanan sering
memperhatikan model-model pencarian makanan yang optimal yang
dilakukan oleh hewan. Hal ini sangat dipertimbangkan bahwa binatang
harus memasukkan energi yang lebih banyak dibandingkan yang
dikeluarkannya. Selain dari energi, hewan juga harus memperoleh
nutrien (zat-zat gizi) yang spesifik yang betul-betul dibutuhkan oleh
tubuh. Dengan demikian pencarian makanan oleh hewan akan sangat
memperhatikan pertimbangan pemilihan makanan, penggantian, mangsa
yang harus dimakan, dan lain sebagainya.

2. Aspek Makanan Hewan


Semua organisme membutuhkan sumber energi dan nutrisi untuk
tumbuh, perawatan, aktifitas, reproduksi dan kelangsungan hidup.
Organisme harus makan agar tetap bertahan. Makanan yang potensial
dapat dijumpai dimana-mana, namun apa yang dieksploitasi oleh jenis
tertentu tergantung dari jenis organisme tersebut. Struktur dan ukuran
membatasi apa yang bisa digunakan sebagai makanan. Makanan dari
hewan juga tergantung dari dan dimana tempat tinggalnya. Walaupun
kelompok makanan yang potensial sangat banyak, tapi terkadang tidak
dieksploitasi oleh hewan tersebut. Hubungan organisme dengan mangsa
hampir tidak bisa disamaratakan hewan satu dengan yang lain. Masing-
masing hewan memiliki hubungan yang khas.

Aspek makanan pada hewan diantaranya :


a) Palatabilitas (Tingkat Kelezatan)
Tingkat kesukaan yang ditunjukkan oleh hewan dalam
mengkonsumsi suatu makanan yang diberikan dalam periode
tertentu.
b) Nilai Gizi
Makanan menyangkut masalah kandungan protein, karbohidrat,
lemak mineral- mineral, vitamin dan air dalam makanan. Kandungan
substansi organiknya memberikan nilai kandungan energi makanan
tersebut. Nilai gizi makanan dalam arti pemanfaatan makanan dapat
digunakan pada hewan yang mengkonsumsi makanan tersebut
dengan daya cerna makanan.
c) Daya Cerna
Daya cerna makanan tergantung dari komposisi kimia dan structural
makanan itu serta adaptasi fisiologis yang didukung adaptasi
structural hewan pemakan. Hewan herbivor lebih memerlukan
enzim-enzim protease dan hewan-hewan omnivor memerlukan
komplek enzim yang lebih lengkap. Daya cerna makanan lebih
merupakan masalah bagi hewan herbivor dari pada hewan karnivor.
d) Ukuran Makanan
Ukuran makanan bagi hewan herbivor, parasit atau saprovor, bukan
merupakan masalah dalam memperoleh dan menanganinya. Sedang
bagi karnivor yang makanannya berupa hewan yang mobilitasnya
tinggi, masalah lain bahwa ukuran tubuh hewan mangsa harus dalam
batas kemampuan hewan predator, untuk menguasainya sebelum
dijadikan makanannya. Namun, ukuran mangsa juga tidak boleh
terlalu kecil, agar perolehan energi tidak lebih rendah daripada
energi yang dikeluarkan untuk memperoleh mangsanya.
II. Mekanisme Pertahanan Diri
Perilaku mempertahankan diri pada hewan yaitu pola Perilaku yang
dilakukan oleh hewan guna keberlangsungan hidupnya. Baik itu berkisar
pada melarikan diri dari pemangsa potensialnya maupun bertahan dari
kondisilingkungannya. Berdasarkan pengertiannya, Pola perilaku
pertahanan diri pada hewan terbagi atas 2 yaitu:
1. Pola perilaku mempertahankan diri
Pola perilaku yang berkisar mulai pada melarikan diri dari pemangsa
potensial sampai dengan menggunakan senjata bertahan dan
penggunaan kamuflase dan mimikri (meniru).
2. Pola perilaku Bertahan hidup dalam lingkungan fisik
Kebanyakan hewan hanya dapat bertahan hidup dalam kisaran suhu,
salinitas, kelembaban tertentu, dan sebagainya. Kisaran ini relatif luas
bagi hewan, seperti mamalia dan burung, yang banyak mempunyai
mekanisme yang efisien untuk mempertahankan kendali homeostatis
terhadap lingkungannya.
Jenis-jenis pola perilaku pertahanan pada hewan
Setiap hewan mempunyai kemampuan berbeda-beda dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Penyesuaian diri ini
berguna untuk memperoleh makanan. Selain itu juga untuk
mempertahankan diri dari musuhnya. Setiap jenis hewan selalu
berusaha melindungi diri dari serangan musuhnya. Hampir semua
jenis hewan memiliki bagian tubuh untuk melindungi diri. Selain itu,
ada sebagian hewan melindungi diri dengan tingkah laku. Berikut
jenis-jenis pola perilaku bertahan pada hewan yaitu sebagai berikut :
a. Mimikri
Menurut ensiklopedia Encarta (2005), mimikri didefinisikan
sebagai pemiripan atau peniruan secara fisik atau perilaku oleh
satu spesies terhadap spesies yang lain yang menguntungkan
dirinya, atau secara tidak langsung juga keduanya. Organisme
yang “meniru” disebut mimik, sedangkan organisme yang “ditiru”
disebut model. Di alam ini, cukup banyak jenis organisme, baik
tumbuhan maupun hewan yang melakukan mimikri untuk tujuan
pertahanan maupun mendapatkan pakan. Serangga adalah salah
satu jenis hewan yang melakukan mimikri, dan pada banyak kasus
terbukti efektif.

Fenomena mimikri sendiri diteliti untuk pertama kalinya oleh


Henry Walter Bates, seorang ahli alam dari Inggris pada tahun
1862 pada kupu-kupu di hutan Brasilia. Sampai saat ini dikenal
ada beberapa jenis mimikri pada serangga, dan beberapa jenis
yang terkenal adalah (1) mimikri Batesian, yang merujuk pada
nama H.W. Bates, sang peneliti pertama fenomena ini, (2) mimikri
Mullerian, (3) mimikri Browerian (mirip mimikri Batesian namun
terjadi pada individu-individu di dalam satu spesies), dan (4)
mimikri Peckhamian (mimikri agresifitas).
1. Mimikri Batesian
Mekanisme dari mimikri ini adalah peniruan oleh serangga
peniru yang tergolong tidak berbahaya pada model-model
serangga yang tergolong berbahaya atau beracun. Contoh yang
cukup terkenal adalah lalat syrphid genus Eristalis spp. yang
morfologi dan perilakunya amat mirip dengan lebah spesies
Apis mellifera (Golding dan Edmunds, 2000). Pada penelitian
yang dilakukan keduanya, sang lalat syrphid terbukti mampu
menirukan perilaku lebah dengan sangat mirip dari aspek
waktu kunjungan ke bunga tumbuhan-tumbuhan tertentu, di
samping memang secara morfologis sangat mirip. Contoh
lainnya, misalnya pada kumbang staphylinid myrmecophilous,
Pella comes yang mampu menirukan morfologi semut
inangnya, dan bahkan menghindarkannya dari pemangsaan
oleh predator (katak pohon) (Taniguchi et al., 2005).

Gambar 5. Mimikri Batesian


Sumber : https://slideplayer.info/amp/13578262/
2. Mimikri Mullerian
Pada mulanya, fenomena mimikri Mullerian dianggap sebagai
mimikri Batesian. Namun, kemudian fenomena mimikri
Mullerian adalah fenomena yang berbeda sama sekali dengan
mimikri Mullerian. Pada mimikri Mullerian, dua spesies yang
sebenarnya sama-sama beracun atau berbahaya berbagi sinyal
warna tubuh yang biasanya berupa warna-warna cerah
(aposematic atau warning coloration, akan dibahas kemudian).
Ahli alam Jerman, Fritz Muller menjelaskan bahwa
keuntungan dari fenomena mimikri ini adalah, bahwa jika dua
spesies berbagi sinyal aposematik, maka hal ini akan
membingungkan predator-predator kedua spesies yang
melakukan mimikri tersebut. Spesies-spesies yang berbagi
tersebut disebut sebagai anggota dari kompleks Mullerian.
Contoh dua spesies yang melakukan mimikri Mullerian adalah
Kupu-kupu Raja, Danaus plexippus dan Kupu-kupu Viceroy,
Limenitis archippus yang sama-sama berasa tidak enak, yang
berbagi pola warna tubuh dan perilaku.

Gambar 6. Mimikri Mullerian


Sumber : https://slideplayer.info/amp/13578262/
3. Mimikri Browerian
Fenomena ini dianggap mirip dengan mimikri Batesian, namun
terjadi di antara individu dalam satu spesies. Fenomena ini
ditemukan oleh Lincoln P. Brower dan Jane Van Zandt
Brower, dan disebut juga automimicry. Mimikri ini muncul
pada spesies-spesies kupu-kupu, misalnya D. plexippus yang
makan tumbuhan milkweed yang kadar racunnya bervariasi.
Keuntungan dari mimikri ini adalah, jika predator makan pada
beberapa individu larva atau imago, dan kemudian
menemukan bahwa salah satu individu berasa sangat tidak
enak, maka predator tersebut akan segera berhenti
menyantapnya, dan meninggalkan koloni kupu-kupu tersebut.
Artinya, beberapa individu menjadi tumbal bagi keselamatan
seluruh individu yang tersisa.

Gambar 7. Mimikri Browerian


Sumber : https://slideplayer.info/amp/13578262/
4. Mimikri Peckhamian
Serangga yang menerapkan mimikri jenis ini (disebut mimikri
Peckhamian merujuk pada penemunya, George dan Elizabeth
Peckhman) akan meniru ciri-ciri serangga yang tidak
berbahaya atau mungkin berguna untuk “menipu” inang atau
mangsanya, sehingga memudahkannya memangsa tanpa
dicurigai oleh anggota koloni mangsanya. Contohnya misal
pada tiga spesies lalat syrphid predator genus Microdon yang
meniru pupa semut inangnya (genus Camponotus dan
Formica). Pengamatan oleh Garnett et al (1985) membuktikan
bahwa larva instar 1 dan 2 Microdon mampu menirukan
morfologi, bahkan “bau” khas pupa kedua spesies semut
tersebut dengan sangat mirip, sehingga memungkinkan mereka
dapat memangsa pupa-pupa semut tersebut. Contoh lain adalah
pada kunang-kunang Photuris betina yang mampu
mengeluarkan pola kerlip cahaya yang mirip dengan pola
kerlip cahaya kunang-kunang jenis Photinus. Akibatnya,
kunang-kunang jantan Photinus terpikat oleh ajakan kawin si
Photuris, yang berujung pada maut, karena begitu sampai, sang
“betina” ternyata adalah calon pemangsanya! Yang lebih hebat
lagi, dengan memangsa Photinus, betina Photuris akan
mendapatkan senyawa steroid lucibufagins yang bermanfaat
sebagai senyawa pertahanan dari si mangsa (Eisner et al.,
1997).

Gambar 8. Mimikri Peckhamian


Sumber : https://slideplayer.info/amp/13578262/
5. Perubahan warna yang pada chameleon (bunglon), merubah
warna kulitnya dengan mekanisme yang sama. Perubahan
dimulai ketika mata mengamati lingkungan sekitar. Respon
dari mata kemudian disampaikan ke otak, dan otak
menggerakkan otot-otot chromatophore sehingga merubah
warna kulit tubuh menyerupai sekitarnya.
Gambar 9. Bunglon
Sumber : https://wanaswara.com/mimikri-pada-bunglon/amp/

b. Kamuflase
Kamuflase merupakan salah satu bentuk adaptasi suatu hewan
untuk mengindari deteksi dirinya oleh pemangsa atau mangsanya
dengan cara menyamarkan tubuhnya seolah menyatu dengan pola
dan warna lingkungannya. Hewan menggunakan kamuflase agar
dirinya sulit untuk dikenali atau terdeteksi yang terkait dengan
penyamaran visual yang melibatkan warna tubuh. Selain warna
tubuh, beberapa hewan dapat berkamuflase dengan menggunakan
mengubah struktur morfologi atau material yang ditemukan di
lingkungan, dan bahkan dapat menipu indera selain penglihatan
(Ruxton, 2009). Kamuflase adalah teknik yang sangat berguna jika
hewan itu bisa berubah warna agar sesuai dengan latar belakang di
mana ia ditemukan, seperti beberapa cephalopoda (Hanlon &
Messenger, 1988).

Terdapat banyak tipe kamuflase pada hewan salah satunya yaitu


adalah masquerade. Tipe masquerade yaitu kamuflase dengan
mencegah pengenalan dengan meniru objek yang tidak menarik
seperti daun dan ranting (Stevens & Merilaita, 2011). Salah satu
hewan yang memiliki tipe kamuflase masquerade adalah
Lopaphus transiens. Serangga L. transiens merupakan serangga
endemis Jawa yang memiliki bentuk tubuh yang menyerupai
ranting pada tumbuhan. L. transiens bersifat nokturnal dan
memiliki pergerakan yang lambat. Pergerakan ini merupakan tipe
kamuflase motion camouflage yaitu gaya dalam pergerakan
sehingga meminimalisir deteksi gerakan. Serangga ini memiliki
bentuk dan warna yang berbeda pada tiap jenis kelaminnya
dimana jantan berwarna hijau dominan coklat dan betina berwarna
hijau dengan ukuran yang lebih besar dari pada serangga jantan
(Stevens & Merilaita, 2011).
Gambar 10. Lopaphus transiens
Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Lopaphus
Kepiting Hantu atau Ocypode merupakan salah satu contoh hewan
yang dapat melakukan kamuflase dengan mengubah warna
tubuhnya dan mencocokkannya dengan lingkungan mereka dengan
menyesuaikan konsentrasi dan penyebaran pigmen dalam
kromatofor mereka. Namun, kepiting ini hanya mampu melakukan
perubahan warna morfologi, yang terjadi selama rentang waktu
tertentu (Wolcott, 1988). Spesies ini memiliki habitat berupa
daratan berpasir yang berhubungan langsung dengan laut, yaitu
pantai. Spesies ini merupakan kepiting semiterrestrial karena
bernapas dengan insang yang dibasahkan dengan air laut secara
berkala.

Gambar 11. kepiting hantu


Sumber : https://www.istockphoto.com/id/foto/kamuflase-kepiting-
hantu-di-atas-pasir-gm509845734-85990529
c. Autotomi
Autotomi merupakan kondisi hewan saat memutus atau
membuang salah satu atau lebih bagian dari tubuhnya. Tujuannya
untuk menyelamatkan atau mempertahankan diri dari pemangsa
atau predator, atau mengalihkan perhatian lawannya. Beberapa
hewan yang diciptakan dengan kondisi ini ialah cicak, kadal, laba-
laba atau moluska.

Autotomi merupakan proses biologis yang terjadi akibat respons


terhadap rangsangan termal, kimia, atau listrik. Respons termal
tersebut sering kali dipicu ketika si hewan merasa terancam dan
berusaha untuk menyelamatkan dirinya.

Melepaskan suatu bagian tubuh dapat membantu hewan yang


ditangkap mengalihkan perhatian pemangsa dan melarikan diri.
Banyak spesies kadal menggunakan taktik ini, mematahkan
ekornya ketika terkejut atau diserang. Pada beberapa spesies
tokek, ekornya bahkan dapat terus bergerak-gerak hingga 30 menit
setelah dipatahkan, membuat perhatian predator teralihkan.

Gambar 12. Tokek


Sumber : https://theconversation.com/amp/autotomi-hewan-
yang-terancam-predator-akan-mengamputasi-dirinya-demi-
bertahan-hidup-120290
Banyak kepiting, serangga, dan laba-laba dapat mematahkan satu
anggota tubuh tepat pada titik lemah tubuh mereka. Serangga
tanaman kaktus mengamputasi diri tidak hanya untuk melarikan
diri dari pemangsa, tetapi juga untuk melepaskan bagian tubuh
yang terluka yang bisa menghambat pergerakan mereka.

Amputasi diri juga tidak terbatas pada tungkai. Tikus berduri


Afrika dapat meluruhkan hingga 80 persen dari kulit mereka
ketika dicengkeram oleh predator, seperti mengupas sosis.
Meskipun dapat membantu menghindari situasi yang fatal. Hewan
itu sekarang menjadi pincang, ini membuatnya lebih lambat atau
lebih lemah. Lebih buruk lagi, bekas amputasi dapat terinfeksi.
Bahkan jika hewan itu bisa menumbuhkannya kembali, proses ini
bisa menjadi beban besar bagi hewan.
Gambar 13. Tikus Berduri
Sumber :
https://amp.kompas.com/sains/read/2021/01/19/200500223/
mampu-regenerasi-tubuh-tanpa-bekas-luka-tikus-ini-jadi-
harapan-dunia-medis
d. Mengeluarkan bau dan cairan
Pola perilaku pertahanan diri ini, biasannya di lakukan oleh
hewan-hewan tertentu untuk menghindari pemangsannya. Hewan
yang mengeluarkan bau atau cairan tubuhnya saat merasa dirinya
terancam contohnya adalah sigung, Mamalia hitam dengan garis
putih Ini telah mendapatkan gelar hewan terbau di dunia. Bahkan
kemudian, mereka akan memberikan sinyal beberapa peringatan,
seperti mendesis,menghentakkan kaki mereka, atau mengangkat
ekormereka di udara sebelum mengeluarkan bau mereka.
Semprotan berbahaya Sigung dapat menyebar sejauh 10 kaki (3
meter), tetapi mereka hanya dapat menggunakan 5 sampai 6 kali
semprotan sebelum mereka mengisi pasokan bom bau, yang dapat
berlangsung hingga 10 hari. Semprotan ini tidak mematikan,
namun bau sigung cukup untuk membuat predator apapun
mengevakuasi daerah tersebut, dan bau tetap terasa selama
berhari-hari, yang dapat membuat korban merasa sangat tidak
nyaman. Sigung memiliki kemampuannya mengeluarkan cairan
berwarna kuning yang berbau busuk dari kelenjar khusus yang
terdapat di sekitar anusnya. Kelenjar tersebut menghasilkan bau
yang mengandung sulfur, metil, dan butylthiol. Bau tersebut
berfungsi sebagai alat pertahanan diri terhadap predator.

Gambar 14. Sigung


Sumber : https://www.freedomnesia.id/mengenal-sigung-jenis-
musang-yang-berbau-busuk/
e. Hibernasi
Pada musum dingin banyak hewan membutuhkan energi tambahan
untuk menjaga suhu tubuhnya, tetapi makanan sangat langka.
Untuk dapat bertahan maka beberapa hewn, misalnya tikus,
landak, beruang hitam dan lain-lain melakukan hibernasi, yaitu
tidur panjang di musim dingin. Hibernasi dilakukan oleh beruang
karena suhu yang rendah dan jarangnya makanan dari musim
dingin hingga tibanya musim semi. Saat musim dingin, tanaman
sulit berbuah dan mencari mangsa menjadi sangat sulit bagi hewan
pemburu.

Hibernasi dilakukan untuk menjadi semacam inaktif, dengan


tujuan ‘menghemat’ energi yang dikeluarkan untuk berburu
mangsa. Beruang dan hewan lain yang berhibernasi mengalami
penurunan suhu tubuh. Jenis hibernasi dan penurunan suhu tubuh
ini bisa bermacam-macam. Misalkan, hewan hibernator seperti
tupai bisa tertidur sangat lelap/dalam bisa mencapai suhu 5 derajat
Celsius. Sementara beruang biasanya hanya melakukan hibernasi
ringan dan suhu tubuhnya hanya turun ke 10 derajat Celsius dari
suhu normal 37-38 Derajat Celsius. Semakin rendah suhu tubuh
maka semakin sedikit pula cadangan makanan yang harus
digunakan oleh tubuh untuk bertahan hidup. Selain beruang,
hewan lain yang membutuhkan tidur adalah chipmunks, rakun,
ular, kodok, burung pelatuk, tikus, dan juga rusa. Hibernasi tidak
hanya eksklusif untuk mamalia, tetapi juga untuk reptil dan
serangga.

Reptil adalah hewan poikilothermic (berdarah dingin), yang sulit


untuk mengatur suhu tubuhnya sendiri. Saat tanda-tanda musim
dingin hampir tiba, di mana siang hari menjadi singkat dan
paparan sinar matahari menurun, reptil secara otomatis memasuki
masa hibernasi yang dinamakan “predictive dormancy” tujuannya
adalah supaya tidak mati beku. Serangga melakukan jenis
hibernasi yang sama.

Jenis hibernasi kedua adalah “consequential dormancy” yang


dilakukan oleh hewan seperti beruang. Bedanya hibernasi baru
terjadi saat suhu sudah turun secara ekstrem, dan merupakan
konsekuensi terjadinya musim dingin.
Gambar 15. Beruang
Sumber : https://www.dosenpendidikan.co.id/hibernasi/

III. Preferensi Makanan


Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau
ketidaksuakaan terhadap makanan dan preferensi ini akan berpengaaruh
terhadap konsumsi pangan.Setiap organisme untuk melangsungkan
kehidupannya memerlukan makanan dan setiap makanan yang dimakan
oleh hewan dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek kulaitatif dan aspek
kuantitatif. Preferensi terhadap jenis makanan tertentu diduga dipengaruhi
oleh warna, berat dan besar ukuran makanan, produktivitas jenis-jenis
makanan dan kandungan nutrisi makanan tersebut. Demikian pula pula bagi
hewan, berat dan ukuran tubuh serta sistem pencernaannya merupakan
faktor-faktor yang berperan dalam menentukan pola hidup dan jenis
makanannya. Hewan juga akan memilih makanan yang bernilai gizi tinggi.

Kelimpahan yang tinggi dari jenis makananyang kurang disukai hewan


tidak tida akan berpengaruh, kecuali apabila kelimpahan jenis makanan
yang disukai sangat renda. Hubungan antara jenis- jenis makanan yang yang
dikonsumsi berbagai jenis hewan hewan dengan ketersediaannya di
lingkungan dapat memperlihatkan fenomena beralih preferensi. lingkungan
dapat memperlihatkan fenomena beralih preferensi. Misalnya apabila
ketersediaan suatu jenis makanan di lingkungan rendah, maka penggunaan
jenis penggunaan jenis makanan itu juga relaitf rendah (tidak menampakan
prefermenampakan), tetapi apabila ketersediaannya meningkat, maka hewan
akan memperlihatkan, maka hewan akan memperlihatkan preferensi yang
tinggi terhadap jenis makanan tersebut.

Kesukaan hewan terhadap pakannya sangat tergantung kepada jenis dan


jumlah pakan yang tersedia. Bila jumlah pakan yang tersedia tidak
sebanding dengan jumlah pakan yang dibutuhkan, perpindahan kesukaan
terhadap jenis pakan dapat terjadi. Jika ketersediaan suatu jenis pakan di
suatu lingkungan rendah, maka jenis makanan itu kurang dimanfaatkan
sebagai makanannya, namun jika ketersediaannya tinggi atau berlimpah dari
biasanya maka akan dikonsumsi lebih tinggi (sering). Switching atau
perpindahan suatu jenis pakan ke jenis pakan lain berdasarkan pengalaman
sebelumnya dapat terjadi apabila ketersediaan makanan di lingkungannya
sudah terbatas (Campbell, N.A.. Rechee and Mitchell, 2002).

Preferensi berarti bahwa jenis makanan itu lebih diperlukan dibandingkan


jenis makanan lain yang terdapat di lingkungan. Preferensi hewan terhadap
suatu jenis makanan atau mangsa tertentu sifatnya tetap dan pasti,
dipengaruhi oleh ketersediaannya di lingkungan. Preferensi makanan dapat
diamati melalui percobaan-percobaandengankondisi terkontrol seperti di
laboratorium, faktor biotik dan abiotik dilingkungan alam tersebut dapat
mengubah aspek kualitatif dan kuantitatif makanan yang dikonsumsi hewan
(Jumar, 2000).

Sumber pakan bagi hewan, khususnya serangga tidaklah selalu tersedia


dalam jumlah yang melimpah, terkadang karena beberapa faktor seperti
cuaca, dapat menyebabkan sumber pakan jenis hewan tertentu berkurang
ketersediaanya atau keberadaannya di alam. Jika hal ini terjadi, hewan
tersebut cenderung untuk mencari pakan baru untuk mengganti pakan
aslinya. Biasanya, peralihan preferensi pakan ini digantikan oleh jenis pakan
yang hampir sama, baik rasa maupun aromanya walau berasal dari spesies
yang berbeda.Kesukaan hewan terhadap pakannya sangat tergantung kepada
jenis dan jumlah pakan yang tersedia. Bila jumlah pakan yang tersedia tidak
sebanding dengan jumlah pakan yang dibutuhkan, perpindahan kesukaan
terhadap jenis pakan dapat terjadi (Campbell, N.A.. Rechee and Mitchell,
2004).

Persaingan dapat terjadi apabila sejumlah organisme dari spesies yang sama
atau yang berbeda menggunakan sumber pakan yang sama yang
ketersediaannya kurang, atau walaupun ketersediaanya cukup. Namun
persaingan juga dapat terjadi apabila organisme-organisme itu ketika
memanfaatkan sumber pakan tersebut saling menyerang (Starr, 2001).

Pada kajian prefensi hewan terhadap lingkungannya atau batas tolerir hewan
terhadap kondisi lingkungan sekitar maka perilaku hewan memerlukan
kemampuan untk medeteksi stimulus. Stimulus ialah beberapa jenis
informasi tentang lingkungan yang dideteksi oleh reseptor sensoris. Jenis
stimulus yang dapat dideteksi oleh hewan dan jenis respons yang dapat
dibuat oleh hewan dimulai dengan sistem sararafnya (Jumar, 2000).

Kesukaan atau yang dikenal dengan preferensi hewan spesifik dari suatu
jenis, namun dapat berubah oleh pengalaman. Preferensi berarti bahwa jenis
makanan itu lebih diperlukan dibandingkan jenis makanan lain yang
terdapat dilingkungan. Preferensi hewan terhadap suatu jenis makanan atau
mangsa tertentu sifatnya tetap dan pasti, tidak dipengaruhi oleh
ketersediaannya dilingkungan (Patra, 1994). Misalnya, dari hasil sebuah
penelitian, kesukaan hewan terhadap pakannya sangat tergantung kepada
jenis dan jumlah pakan yang tersedia. Epilachna sp. lebih menyukai
makanan daun rimbang dan tidak menyukai daun cabe karena makanan
terbatas, hewan ini melakukan switching dengan memakan daun yang
lainnya yang masih satu famili.

Gambar 16. Epilachana sp


Sumber : https://images.app.goo.gl/AXFWYqJvEouXsQ3J9
DAFTAR PUSTAKA
Berliana, E. (2016). Penggunaan Metode Pembelajaran Picture and Picture untuk
Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Siswa Pada Pokok Bahasan Cara-
Cara Mahluk Hidup Beradaptasi dengan Lingkungannya di Kelas V SDN
Toblong 2 Majalaya (Doctoral dissertation, FKIP UNPAS).
Campbell, N.A., Rechee and Mitchell, 2002. Biologi Edisi 5 Jilid 3.
Erlangga.Jakarta
Campbel, Neil, et all. 2004. Biologi Edisi-lima Jilid 3. Jakarta. Erlangga.
Dharmaretnam, M.(1995). A Note on The Elytral Pattern and The Bionomics of
Epilachna Septima in Batticalea Sri Lanka (Coleoptera, Coccinellida),
JNSE,30:29
Fatwa, A., Simanjuntak, R. G., & Hadi, S. (2020). Analisis Fenotip Kamuflase
Serangga Ranting (Lopaphus Transiens (REDTENBACHER, 1908)] di
Andong, Magelang, Jawa Tengah. Science Tech: Jurnal Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, 6(1), 43-49.
Jumar.(2000). Entomologi Pertanian. Kinka Cipta: Jakarta.
Patra, N.S., (1994). Serangga di Sekitar Kita. Konisius: Yogyakarta.
Pratiwi, E. M., & Susilohadi, S. (2019). Kamuflase dan Strategi Antipredasi Pada
Kepiting Hantu Ocypode (Weber, 1795) di Pantai Congot, Kulonprogo,
Yogyakarta. Biospecies, 12(1), 68-75.
Qurniawan. (2013). Preferensi Pakan Alami Empat Jenis Anura (Hylarana
chalconota, Phrynoidis aspera, Leptobrachium haseltii dan Odorrana hosii)
Di Kawasan Karst Menoreh Kulon Progo, DIY. Bionatura Jurnal Ilmu-
ilmu Hayati dan Fisik Vol. 15, No. 3. November 2013: 178-182 ISSN
1411 - 0903.
Sumarto, S & Koneri, R. (2016). Ekologi Hewan. Bandung: CV. Patra Media
Grafindo Bandung.
Star. (2001). Biologi: Kesatuan dan Keragaaman Makhluk Hidup. Jakarta:
Salemba Teknika Tipler
Yasin, M. (2009). Kemampuan Akses Makan Serangga Hama Kumbang Bubuk
dan Faktor Fisiokimia Yang Mempengaruhinya. Prosiding seminar
nasional serealia.

Anda mungkin juga menyukai