Anda di halaman 1dari 4

MAKANAN DAN HUBUNGAN MAKAN II

A. Strategi Mencari Makan


Masalah makan yaitu masalah mendapatkan materi dan energi, juga masalah aktivitas yang
menghabiskan energi, sekaligus berisiko. Hal ini karena pada umumnya hewan perlu usaha dalam
mendapatkan makanan. Menurut teori mencari makan optimum, strategi hewan dalam mencari
makan ialah mendapatkan perolehan semaksimal mungkin dengan risiko seminimal mungkin.
Setiap kali hewan mencari makan/mangsa, energi harus dikeluarkan. Setiap jenis hewan,
berbeda corak pencarian makanannya. Pada jenis predator tertentu (buaya, ular) energi tidak
digunakan untuk aktivitas mengejar mangsa, melainkan untuk menyergap mangsa secara tiba-tiba.
Beberapa jenis hewan tidak mengeluarkan energi ekstra setiap mencari makan. Misal lebah, sebagian
besar energinya untuk pembuatan dan perbaikan jaring penangkap mangsa.
Ada jenis hewan mencari makan secara individual atau berkelompok. Secara berkelompok
akan memberikan keuntungan bila ketersedian sumberdaya makanan di lingkungan berlimpah. Pada
tingkat kelimpahan yang rendah menguntungkan untuk individual, bagi yang berkelompok belum
menguntungkan, karena dapat menyebabkan persaingan antar-individu. Mencari makan secara
berkelompok mempunyai nilai penting, yaitu sumberdaya makanan lebih mudah dan cepat
ditemukan, serta bahaya yang mengancam lebih cepat terdeteksi. Biaya mencari makan umumnya
lebih rendah pada hewan yang jenis makanannya banyak (polifag), dibandingkan dengan yang jenis
makanannya sedikit (oliofag) atau hanya 1 macam makanan saja (monofag).

B. Kebiasaan Makan
Berdasarkan macam makanan yang dimakan, dikenal empat kategori, yaitu:
 Herbivor, makanan utamanya tumbuhan atau bagian-bagian tumbuhan.
 Karnivor (predator, pemangsa), makanan utama berupa jenis hewan lain.
 Omnivor, makanan berupa tumbuhan dan jenis hewan lain dalam proporsi yang lebih kurang
sebanding.
 Saprovor (saprofag), makanan berupa tumbuhan mati dan bangkai hewan atau feses yang
mengalami pembusukan.

C. Rantai dan Jaring Makan


Berbagai jenis organisme dalam suatu komunitas ekosistem terlibat interaksi hubungan makan
yang menghasilkan rantai-rantai makanan yang menggambarkan urutan hubungan linier antara
organisme makanan dengan organisme pemakannya pada tingkatan-tingkatan trofik berurutan.
Rantai makanan merupakan perwujudan abstrak dari aliran energi melalui populasi-populasi dalam
komunitas.
Adanya polifagi dan omnivore yang melibatkan makanan dari tingkatan trofik yang berbeda-
beda menyebabkan rantai makanan seperti beranastomosis membentuk jaring makanan. Corak
jaring makanan dapat stabil maupun rawan perubahan. Komunitas yang kurang berpotensi stabil
disebabkan karena spesialisasi makan terlalu tinggi, atau hewan herbivor dan karnivornya terlalu
sedikit.
Penelitian mengenai rantai dan jarring makanan dalam komunitas biotic jarang yang lengkap
dan rinci mencakup semua spesies dalam komunitas itu. Karena spesies kunci yang menjadi pusat
perhatian berbeda-beda, maka strategi untuk memelihara suatu komunitas akan berbeda dari
komunitas lainnya.
Berbagai ciri hewan sebagai konsumen, mulai dari yang menempati tingkat trofik 2 hingga ke
tingkat puncak. Jumlah tingkatan trofik dalam suatu rantai makananm jarang yang berjumlah lebih
dari 5. Sebab fenomena hubungan makan pada dasarnya masalah transfer energi, dan setiap transfer
energi selalu ada sebagian energi yang tidak termanfaatkan (hilang sebagai panas). Energi yang
tersedia pada tingakatan trofik yang lebih tinggi akan semakin sedikit.
Rantai makanan tidak selalu berawal dari tumbuhan hijau. Hewan non-karnivor yang hidup di
bagian dasar dan lapisan dalam afotik lautan, memanfaatkan ‘hujan detritus’ organic yang turun dari
lapisan eutrofik di atasnya. Hujan detritus merupakan sumber energi awal.
Rantai makanan sebagai suatu sirkuit energi dapat dibagi atas:
 Sirkuit merumput (grazing circuit), konsumen primer mendapat energi dari tumbuhan hijau.
 Sirkuit detritus organic, konsumen primer mendapat energi dari detritus.
Salah satu konsekuensi dari rantai dan jaring makanan adalah timbulnya magnifikasi biologis.
Substansi-substansi yang persisten (DDT, zat radio aktif) cenderung makin terkonsentrasi pada
tingkatan trofik yang lebih tinggi.

D. Analisis Makanan
Dalam menganalisis makanan hewan, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yatu;
1. Pengamatan Langsung
Hewan yang diselidiki tidak perlu dimatikan terlebih dahulu. Relatif lebih mudah dilakukan
terhadap hewan berukuran besar, diurnal, serta aktivitas dalam habitatnya mudah diikuti
pengamat. Cara ini memakan banyak waktu dan tenaga. Ada kalanya merupakan satu-satunya
cara untuk menyelidiki kebiasaan makan jenis hewan langka.
Cara ini juga dilakukan pada hewan yang menyimpan makanan dalam kantung pipi atau
tembolok. Organ-organ itu dimanipulasi hingga isinya dikeluarkan dengan cara dirangsang untuk
dimuntahkan. Pada jenis hewan lain, analisis dapat dilakukan melalui tinjanya, meskipun
hasilnya kurang akurat.
2. Pengamatan Tak Langsung
a. Analisis isi lambung
Dengan cara menganalisis isi kandungan yang relatif belum tercerna dari bagian anterior
pencernaan (tembolok, lambung). Makanan nabati, teruatam biji-bijian relatif sukar
tercerna, setelah 24 jam dikonsumsi masih dapat dikenali. Isi lambung diidentifikasi
macamnya dan aspek kuantitatifnya dapat dinyatakan secara numerical (jumlah),
gravimetric (berat) ataupun volimetrik (isi).
b. Cara penelusuran radioisotope
Jenis makanan yang dimakan adakalanya diselidiki dengan cara menelusuri jalur
perpindahan melalui rantai dan jaring makanan, dari jenis makanan yang sudah ditandai
menggunakan radioisotope yang usia-paruhnya relatif panjang. Radioisotop yang sudah
diketahui besarannya dimasukkan ke dalam lingkungan, kemudian jalur perpindahan serta
laju kecepatan perpindahannya dideteksi dan dikur dengan alat khusus (pecacah Geiger dan
sebagainya). Cara ini sangat mahal, butuh keterampilan khusus dan berisiko tinggi apabila
di lingkungan alami.
E. Nisbah Pemangsaan
Salah satu cara untuk mengetahui hubungan antara pemanfaatan makanan dengan ketersediannya,
dihitung dari nisbah pemangsaan (Np) sebagai berikut:
Np= (Proporsi (%) jenis makanan yang dikonsumsi)/(Proporsi (%) jenis makanan yang terdapat di
lingkungan)
Nilai pembilang diperoleh dari hasil analisis isi lambung, nilai penyebut dari hasil pencuplikan dari
habitat yang ditempati.
Jika:
Np = 1, jenis hewan yang dimakan itu dimanfaatkan oleh hewan secara proporsional dengan
ketersediaan di lingkungan.
Np > 1, jenis makanan yang dimakan tidak proporsional dengan ketersediannya, melainkan lebih
sering. Mungkin disebabkan karena jenis makanan lebih disuakai, lebih diperlukan atau mudah
didapatkan dibandingkan dengan yang lainnya.
Np < 1, jenis makanan yang dimakan kurang sering diambil dari lingkungannya, mungkin karena
kurang disukai, kurang diperlukan, atau sukar didapatkan.
Preferensi hewan terhadap suatu jenis makanan sifatnya ada yang pasti, tidak dipengaruhi oleh
variasi ketersediann di lingkungan. Preferensi dapat berarti jenis makanan itu lebih diperlukan
dibandingkan dengan jenis lain. Ada jenis hewan yang beralih preferensi. Misal, apabila ketersedian
suatu jenis makanan rendah, maka kurang dimafaatkan sebagai makanan, tetapi bila ketersedian
tinggi, dikonsumsi lebih sering. Preferensi makanan dapat diamati melalui percobaan di
laboratorium. Namun informasi yang diperoleh di laboratorium tidak dapat begitu saja diterapkan
bagi hewan di lingkungan alaminya, karena harus berhadapan dengan perubahan kondisi lingkungan
dan persaingan antara hewan lain. Faktor abiotik dan biotic di lingkungan alami dapat mengubah
aspek kualitatif dan kuantitatif makanan yang dikonsumsi hewan.

F. Koevolusi Hubungan Makan


Koevolusi merupakan suatu proses antara dua atau lebih spesies yang mempengaruhi proses
evolusi satu sama lainnya. Semua organisme dipengaruhi oleh makhluk hidup disekitarnya, namun
pada koevolusi, terdapat bukti bahwa sifat-sifat yang ditentukan oleh genetika pada tiap spesies
secara langsung disebabkan oleh interaksi antara dua organisme. Pengaruh evolusioner mutualistik
antara dua spesies disebut koevolusi (Anies, 2006). Organismee mangsa akan mengalami koevolusi
dengan organisme pemangsanya. Berarti perubahan evolusioner pada organismee mangsa akan
menyebabkan terjadinya perubahan evolusioner pada organisme pemangsa, begitu pula sebaliknya.
Hasil koevolusi yang bersifat umpan balik tersebut acapkali dapat dikenali dari kesesuaian fenotipnya.
Kesesuaian itu paling baik perkembangannya pada spesies-spesies yang terlibat yang mutualisme.
Koadaptasi khusus tidak saja menyangkut masalah bentuk, namun juga warna, bau, dan perilaku
bunga tumbuhan.
Dalam artian terluas, koevolusi adalah "perubahan pada objek biologis yang dicetuskan oleh
perubahan pada objek lain yang berkaitan dengannya". Koevolusi dapat terjadi pada berbagai
tingkatan biologis: ia dapat terjadi secara makroskopis maupun mikroskopis. Tiap-tiap pihak dalam
suatu hubungan evolusioner memberikan tekanan seleksikepada pihak lainnya, sehingga
mempengaruhi evolusi pihak lain tersebut. Mahluk hidup akan semaksimal mugkin mengeksploitasi
lingkungan kehidupannya, inilah prinsip koevolusi. Syarat terjadinya koevolusi adalah adanya pola-
pola hubungan antara spsis satu dengan spesies yang lain dalam komunitas. Hubungan antara spesies
ini akan memunculkan tipe-tipe adapasi yang merpakan tanda terjadinya koevolusi.

TUGAS 5
1. Jelaskan mengapa dalam mencari makan, berbagai hewan memiliki cara/strategi yang berbeda
beda? Apa tujuan strategi yang dilakukan tersebut!
2. Berdasarkan jenis makanannya, dibagi 4 kategori hewan, berikan masing-masing contoh dari tiap
kategori beserta gambar!
3. Jelaskan perbedaan rantai makanan dan jaring makanan! Buatlah masing-masing 1 rantai
makanan dan 1 jaring makanan!
4. Carilah minimal 3 contoh koevolusi hubungan makan antara pemangsa dan mangsa (tanaman dan
hewan) dan jelaskan! Disertai gambar
TUGAS DIKETIK DAN DIKIRM DALAM BENTUK PDF DENGAN FORMAT “TUGAS 5_NAMA_NIM”

Anda mungkin juga menyukai