Anda di halaman 1dari 14

Tanaman Anting-Anting (Acalypha indica L.) Acalypha indica Linn.

sering juga disebut kucing-kucingan atau akar kucing karena akarnya disenangi kucing. Kucing-kucingan merupakan gulma yang sangat umum ditemukan tumbuh liar di pinggir jalan, lapangan rumput, maupun di lereng gunung. Rasanya pahit, sejuk dan bersifat astringen. Umumnya orang menggunakan bagian akarnya untuk menangani penyakit asam urat (Felicia, 2009). Tanaman anting-anting (Acalypha indica L.) merupakan tanaman herba semusim yang tegak dan sedikit berambut. Tinggi batangnya 30 -50 cm, bercabang, dengan garis memanjang kasar. Daun terletak berseling bentuk bulat lonjong sampai lanset, bagian ujung dan pangkal daun lancip, tepi bergerigi, panjang 2,5-8 cm, lebar 1,5-3,5 cm. Bunga berkelamin tunggal dan berumah satu, berada di ketiak daun. Biji berbentuk bulat panjang, berwarna cokelat. Akar berupa akar tunggang, berwarna putih (Arisandi dan Andriani, 2008). Perbanyakan tanaman anting-anting dengan menggunakan biji. Tanaman ini sangat mudah dipelihara dan membutuhkan air seperti tanaman lain dengan cara penyiraman secara merata atau menjaga kelembaban tanah. Tanaman ini menghendaki tempat yang cukup sinar matahari dan sedikit agak terlindung (Arisandi dan Andriani, 2008)

Klasifikasi tanaman anting-anting adalah sebagai berikut (Felicia, 2009): Kerajaan Divisi Subdivisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledoneae : Euphorbiales : Euphorbiaceae : Acalypha : Acalypha indica L. Tanaman anting-anting di beberapa daerah dikenal dengan sebutan berikut ceka mas (Melayu), lelatang (Jakarta), rumput kokosongan (Sunda), rumput bolong-bolong (Jawa) dan

anting-anting (Malang, Jawa Timur). Nama asing tanaman ini adalah copperleaf herb (Inggris) (Azrianingsih, 2009).

Tie xian

(Cina),

Marga Acalypha menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid, amida, glukosida dan sterol (Wei-Feng et al, 1994). Kartika (2004) menyebutkan bahwa daun tanaman anting-anting (Acalypha indica Linn.) mengandung saponin, tanin, flavonoid, acalyphine dan minyak atsiri. Efek farmakologis tanaman anting-anting adalah antibiotik, antiradang, peluruh kencing (diuretik), pencahar dan penghenti pendarahan (hemostatis) dalam bentuk segar ataupun yang telah dikeringkan. Selain itu, tanaman ini sering digunakan sebagai pengobatan seperti disentri basiler, disentri amuba, diare, malnutrisi, gangguan pencernaan makanan, malaria dan sembelit (Felicia,2009).

Ekstraksi Maserasi Pengertian Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya.

Tujuan Ekstraksi Untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Proses ekstraksi ini didasarkan atas perpindahan massa komponen zat padat yang ada dalam simplisia ke dalam pelarut organik. Setelah pelarut menembus lapisan permukaan, dinding sel zat padat yang terlarut, berdifusi karena faktor perbedaan konsentrasi dalam sel dan pelarut organik di luar sel, proses ini berselang terus-menerus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel. Pembuatan sediaan ekstrak dimaksudkan agar zat berkhasiat yang terdapat disimplisia terdapat dalam bentuk yang mempunyai kadar yang tinggi dan hal ini memudahkan zat berkhasiat dapat diatur dosisnya. Dalam sediaan ekstrak yang dapat distandarisasikan kadar zat berkhasiat di dalamnya sukar untuk diperoleh hasil yang sama.

Maserasi Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana, yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya. Secara umum ekstraksi senyawa metabolit sekunder dari seluruh bagian tumbuhan seperti bunga, buah, daun, kulit batang dan akar menggunakan metode maserasi (Lenny, 2006). Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin. Maserasi umumnya dilakukan dengan cara : memasukkan simplisia yang sudah diserbukkan dengan derajat halus tertentu sebanyak 10 bagian ke dalam bejana maserasi yang dilengkapi pengaduk mekanik, kemudian ditambahkan 75 bagian cairan penyari ditutup dan dibiarkan selama 5 hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari, disaring kedalam dalam bejana penampung, kemudian ampasnya diperas dan ditambah cairan penyari lagi secukupnya dan diaduk kemudian disaring lagi hingga diperoleh sari 100 bagian. Sari yang diperoleh ditutup dan disimpan pada tempat yang terlindung dari cahaya selama 2 hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya dipekatkan. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna. Maserasi dapat dilakukan modifikasi misalnya : 1. Digesti, adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu pada suhu 40 50oC. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan. Dengan pemanasan akan diperoleh keuntungan antara lain : a. Kekentalan pelarut berkurang, yang dapat mengakibatkan berkurangnya lapisan-lapisan batas. b. Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat, sehingga pemanasan tersebut mempunyai pengaruh yang sama dengan pengadukan.

c. Koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolut dan berbanding terbalik dengan kekentalan, hingga kenaikan suhu akan berpengaruh pada kecepatan difusi. Umumnya kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu dinaikkan. 2. Maserasi dengan mesin pengaduk, Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terusmenerus, waktu proses maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam. 3. Remaserasi, Cairan penyari dibagi dua, Seluruh serbuk simplisia dimaserasi dengan cairan penyari pertama, sesudah dienaptuangkan dan diperas, ampas dimaserasi lagi dengan cairanpenyari yang kedua. 4. Maserasi melingkar, Maserasi dapat diperbaiki dengan mengusahakan agar cairan penyari selalu bergerak dan menyebar. Dengan cara ini penyari selalu mengalir kembali secara berkesinambungan melalui serbuk simplisia dan melarutkan zat aktifnya. Keuntungan cara ini : a. Aliran cairan penyari mengurangi lapisan batas. b. Cairan penyari akan didistribusikan secara seragam, sehingga akan memperkecil kepekatan setempat. c. Waktu yang diperlukan lebih pendek. 5. Maserasi melingkar bertingkat, Pada maserasi melingkar penyarian tidak dapat dilaksanakan secara sempurna, karena pemindahan massa akan berhenti bila keseimbangan telah terjadi. Masalah ini dapat diatas dengan maserasi melingkar bertingkat. Proses maserasi ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam, karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi kontak sampel dan pelarut yang cukup lama, dan dengan terdistribusinya pelarut organik yang terus menerus ke dalam sel tumbuhan mengakibatkan perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga pemecahan dinding dan membran sel dan metabolit sekunder yang berada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik, dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Metode maserasi ini sangat menguntungkan karena pengaruh suhu dapat dihindari, suhu yang tinggi kemungkinan akan mengakibatkan terdegradasinya senyawa senyawa metabolit sekunder (Widodo, 2007).

Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektifitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam pelarut tersebut. Secara umum pelarut etanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam, karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder (Darwis, 2000). Halimah (2010) menyatakan dalam penelitiannya tentang tanaman anting-anting bahwa ekstraksi maserasi yang dilakukan yaitu menggunakan tiga pelarut yang berbeda kepolarannya. Rendemen ekstrak pekat yang didapat yaitu etanol 4,397%`, kloroform 0,876% sedangkan rendemen terendah pada ekstrak n-heksana yaitu 0,109 %. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan senyawa-senyawa polar dalam tanaman anting-anting lebih besar daripada senyawasenyawa semipolar dan non-polar. Rita (2010) juga menyebutkan dalam penelitiannya tentang isolasi, identifikasi, dan uji aktivitas antibakteri senyawa golongan triterpenoid pada rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) bahwa ekstraksi maserasi yang dilakukan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya yaitu pelarut etanol dan n-heksana. Rendemen terendah yaitu pada ekstrak nheksana sebanyak 1,632%, sedangkan ekstrak etanol 3,908%.

Pelarut n-heksana Heksana adalah sebuah senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14. Nama lain dari heksana (hexane) adalah kaproil hidrida, metal n-butil metan dengan rumus molekul CH3(CH2)4CH3. Heksana mempunyai karakteristik sangat tidak polar, volatile, mempunyai bau khas yang dapat menyebabkan pingsan. Cairan ini bersifat mudah terbakar, mengiritasi, berbahaya, berbahaya bagi lingkungan, toksik pada alat reproduksi. Berat molekul heksana adalah 86,2 g/mol dengan titik leleh -94,3 C sampai -95,3 C. Titik didih heksana pada tekanan 760 mmHg adalah 69 C. Densitas heksana pada suhu 20 C sebesar 0,6603 g/ml (Scheflan, 1953).

Senyawa Triterpenoid Terpena merupakan senyawa organik bahan alam yang terdapat dalam metabolit sekunder tanaman, mencakup mono, di, tri dan senyawa politerpena. Senyawa terpena dikaitkan terhadap

bentuk strukturnya yang merupakan kelipatan satuan lima atom karbon (isoprena)

(Sastrohamidjojo, 1996). Berikut merupakan struktur dari isoprena :

Terpenoida merupakan komponen tumbuhan yang mempunyai bau dan dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan sebagai minyak atsiri (Lenny, 2006). Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari 6 satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang

kebanyakan berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat (Harborne, 1987).

Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa yaitu triterpena, steroid, saponin dan glikosida jantung. Triterpenoid pentasiklik yang umum terdapat dalam tanaman berbiji. Senyawa triterpenoid terutama terdapat dalam lapisan malam daun dan dalam buah, dan juga terdapat dalam damar, kulit batang dan getah. Triterpenoid berfungsi sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba (Harborne, 1987).

Triterpena Senyawa triterpena terdapat dalam bentuk asiklik maupun siklik. Banyak triterpena dikenal dalam tumbuhan dan secara berkala senyawa baru ditemukan dan dicirikan. Sampai saat ini hanya beberapa saja yang diketahui tersebar luas yaitu triterpena pentasiklik -amirin dan amirin serta asam turunannya, yaitu asam ursolat dan asam uleanolat. Triterpena tertentu terkenal karena rasanya, terutama kepahitannya, misalnya limonin. Senyawa ini termasuk dalam triterpena pentasiklik sebagai limonoid dan kuasinoid (Harborne, 1987). Zetra dan Prasetya (2007) menyatakan bahwa ekstrak dari kulit batang tumbuhan Beilschmiedia Roxburghiana setelah dikarakterisasi dengan spektrofotometer UV-Vis, inframerah, C-NMR dan H-NMR menunjukkan bahwa senyawa yang diperoleh merupakan suatu triterpenoid pentasiklik dengan nama senyawa -amirin dengan kerangka dasar ursan.

Pemisahan Senyawa Triterpenoid dari Tanaman Anting -anting dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan dan uji senyawa kimia secara kualitatif dan kuantitatif. Gritter (1991) menyatakan bahwa kromatografi lapis tipis (KLT) pada hakikatnya melibatkan 2 peubah yaitu sifat fasa diam atau sifat lapisan dan sifat fasa gerak atau campuran pelarut pengembang. Fase diam dalam KLT merupakan suatu lapisan dibuat dari bahan-bahan berbutir halus yang ditempatkan pada suatu lempengan yang berfungsi sebagai permukaan penyerap (Sastrohamidjojo, 1991). Silika gel GF254 merupakan fase diam yang paling sering digunakan (Stahl, 1985 dalam Octavia, 2009). Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan pereaksi kimia tanpa pemanasan dengan pemanasan, sinar lampu ultraviolet pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm (Stahl, 1985 dalam Octavia, 2009). Parameter dalam kromatografi lapis tipis adalah faktor retensi (Rf), merupakan perbandingan jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh fase gerak. Adapun rumusnya sebagai berikut:

Rf =

Jarak yang ditempuh komponen Jarak yang ditempuh eluen

Harga Rf komponen murni dapat dibandingkan dengan harga Rf senyawa standar, karena pada kondisi tertentu suatu senyawa akan memiliki harga Rf yang sama. Faktor -faktor yang mempengaruhi harga Rf antara lain: tebal lapisan penyerap, kadar air, jenis eluen, suhu, tingkat kejenuhan bejana oleh uap eluen dan ukuran partikel (Soemarno,2001 dalam Octavia 2009). Halimah (2010) menyatakan bahwa larutan pengembang yang menghasilkan resolusi terbaik pada KLT untuk senyawa triterpenoid dari tanaman anting-anting adalah campuran nheksana : etil asetat (1 : 1) pada lampu UV 366 nm yang menghasilkan noda dengan 3 Rf antara 0,14-0,82 dan ketika direaksikan dengan reagen Liebermen Burchard menghasilkan warna merah muda, merah keunguan dan merah kecoklatan. Setiap jenis senyawa yang akan dianalisis mempunyai perbedaan dalam jenis campuran eluen, reagen, maupun panjang gelombang sinar lampu UV yang digunakan, tidak terkecuali pada senyawa golongan triterpenoid. Sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini : Triterpena Triterpena dapat dipisahkan dengan KLT memakai pengembang seperti heksana : etil asetat (1: 1) dan kloroform : metanol (10 : 1) dengan pendeteksi antimon klorida dalam kloroform akan tetapi, beberapa campuran triterpena tidak mudah dipisahkan seperti -amirin. Senyawa -amirin hanya dapat dipisahkan dengan baik jika dikromatografi memakai n -butanol : NH4OH 2M (1 : 1) (Harborne, 1987). Zetra dan Prasetya (2007) menyatakan bahwa senyawa -amirin dapat dipisahkan dengan campuran eluen n-heksana dan diklorometana (1 : 9) dan dengan pereaksi Lieberman-Burchard menghasilkan warna merah pada isolasi senyawa -amirin dari tumbuhan Beilschmiedia Roxburghiana. Gunawan dkk (2008) menyatakan bahwa eluen kloroform : metanol (3 : 7) dengan pereaksi Lieberman-Burchard dapat memisahkan ekstrak herba meniran (Phyllanthus niruri Linn) yang isolatnya positif mengandung triterpenoid dengan menghasilkan warna ungu muda. Eluen kloroform : metanol (10:1) dengan pereaksi Carr-Price (larutan antimon klorida 20% dalam kloroform) dapat memisahkan isolat yang mengandung triterpenoid (Harborne, 1987).

Steroid Reaksi warna yang digunakan untuk uji warna pada steroid adalah dengan reaksi Lieberman-Burchard yang menghasilkan warna hijau biru. Reaksi warna yang lain pada steroid dilakukan dengan Brieskorn dan Briner (asam klorosulfonat dan Sesolvan NK) menghasilkan warna coklat (Robinson, 1995). Uji yang banyak digunakan adalah Lieberman-Burchard yang dengan kebanyakan triterpen dan sterol memberikan warna hijau biru (Harborne, 1987). Masroh (2010) menyatakan bahwa hasil pemonitoran dengan metode KLT pada isolat daun pecut kuda memperlihatkan pemisahan noda yang baik menggunakan fase gerak n -heksana: etil asetat (7 : 3) dengan lampu UV366 menunjukkan Rf antara 0,27-0,82 dengan 6 noda. Isolat diduga termasuk golongan steroid berwarna hijau kebiruan. karena hasil uji dengan pereaksi Lieberman Burchard

Saponin Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin karena ikatan glikosidanya dan lebih mudah dipisahkan dengan KKT atau KLT pada selulosa atau silika gel (Hostettman, 1987). Larutan pengembang yang paling sesuai untuk campuran saponin dari tanaman obat yaitu dengan kloroform-metanol-air (65:50:10) yang dijenuhkan pada temperatur 20C setelah 30 menit. Dapat juga digunakan n-butanol : asam asetat glasial : air (50:10:40) yang sangat sensitif pada temperatur rendah tetapi membutuhkan waktu pengembang yang lama 5-6 jam (Wagner, 2001). Menurut Harborne (1987), pemisahan saponin melalui plat silika gel KLT menggunakan larutan pengembang seperti butanol yang dijenuhkan dengan air atau kloroform-metanol-air (13:7:2). Kristianingsih (2005) menyatakan bahwa larutan pengembang yang menghasilkan resolusi terbaik pada KLT untuk senyawa saponin dari akar tanaman kedondong laut adalah campuran kloroform-metanol-air (20:60:10) yang menghasilkan noda dengan 3 Rf antara 0,550,73 dan ketika ditambah H2SO4 akan menimbulkan warna ungu-ungu gelap. Uji warna dengan

reagen

Lieberman-Burchard menunjukkan warna biru untuk sapogenin steroid dan hijau

kebiruan untuk saponin triterpenoid dan sterol bebas (Tarigan, 1980).

Glikosida Jantung Wagner (2001) menyatakan bahwa larutan pengembang yang sesuai untuk glikosida jantung yaitu etil asetat : metanol : air (100 : 13,5 : 10). Pendeteksi spesifik untuk -cincin lakton dari kardenolida yaitu menggunakan pereaksi Kedde. Seketika disemprot dengan reagen tersebut, kardenolida akan menghasilkan warna merah muda atau biru keunguan. Setelah beberapa menit warna akan meredup, akan tetapi warna dapat diperoleh kembali dengan pengulangan penyemprotan. Metode pendeteksi secara umum untuk tipe kardenolida dan bufadienolida yaitu dapat menggunakan SbCl3, yang pada UV 365 nm akan tampak warna abu-abu, ungu atau coklat (Wagner, 2001).

Prinsip Penampakan Noda Pada Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Lapisan tipis sering mengandung indikator fluoresensi yang ditambahkan untuk

membantu penampakan bercak tanwarna pada lapisan yang telah dikembangkan. Indikator fluoresensi ialah senyawa yang memancarkan sinar tampak jika disinari dengan sinar uv. Jadi, lapisan yang mengandung indikator fluoresensi akan bersinar jika disinari pada panjang gelombang yang tepat. Sinar uv yang digunakan biasanya pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. UV 254 nm Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan tampak berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 254 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator fluoresensi yang terdapat pada lempeng. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang

tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi (Sudjadi, 1986). Jika senyawa pada bercak yang akan ditampakkan mengandung ikatan rangkap

terkonjugasi atau cincin aromatik jenis apa saja, sinar UV yang mengeksitasi tidak dapat mencapai indikator fluoresensi, dan tidak ada cahaya yang dipancarkan. Hasilnya ialah bercak gelap dengan latar belakang yang bersinar (Gritter,1991). UV 366 nm Pada UV 366 nm noda akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi. Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 terlihat terang karena silika gel yang digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366 nm (Sudjadi, 1986).

Identifikasi Senyawa Triterpenoid Identifikasi Senyawa Triterpenoid Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis Spektroskopi UV-Vis adalah absorbsi sinar UV-Vis oleh molekul/atom yang disebabkan promosi elektron dari keadaan elektronik dasar ke keadaan tereksitasi. Spektrum yang diabsorpsi oleh suatu senyawa adalah sejumlah sinar yang diserap oleh satu senyawa pada panjang gelombang tertentu. Untuk senyawa berwarna akan memiliki satu atau lebih penyerapan spektrum yang tertinggi di daerah spektrum tampak (400-700 nm). Spektrum yang terserap pada ultra violet (200-400 nm) dan daerah nampak terjadi karena adanya perubahan energi elektron terluar dari molekul yang disebabkan adanya ikatan atau bukan ikatan. Umumnya elektron yang berpindah tempat ini disebabkan adanya ikatan rangkap karbon-karbon atau pasangan nitrogen dengan oksigen (Sudarmadji, 1996). Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum UV-Vis tergantung pada struktur elektronik dari molekul. Spektrum UV-Vis dari senyawa organik berkaitan erat dengan transisi-

transisi elektron diantara tingkatan-tingkatan tenaga elektronik. Transisi-transisi tersebut biasanya antara orbital ikatan atau orbital pasangan bebas dan orbital non ikatan tak jenuh atau orbital anti ikatan. Tetapi dalam praktek, UV-Vis digunakan terbatas pada sistem-sistem terkonjugasi (Sastrohamidjojo, 2001). Transisi yang penting pada daerah ultraviolet dan tampak yaitu transisi n *dan *, sedangkan transisi n* jarang terjadi (Fessenden and Fessenden, 1989). Sukadana dkk (2008) menyatakan bahwa hasil identifikasi menggunakan spektroskopi UV-Vis dalam biji pepaya menunjukkan adanya serapan maksimum pada panjang gelombang 228,5 nm yang kemungkinan diakibatkan oleh terjadinya transisi elektrn n * dari kromofor C=O dan juga serapan yang landai pada panjang gelombang 287,7 nm kemungkinan diakibatkan oleh terjadinya transisi elektronik n * dari ikatan rangkap C=O. Hasil serapan ini didukung dengan data dari spektroskopi inframerah kemungkinan merupakan senyawa golongan triterpenoid aldehida. Senyawa golongan triterpenoid asam karboksilat pada rimpang temu putih (Rita, 2010) juga mempunyai transisi elektron yang sama dengan triterpenoid aldehida pada biji pepaya. Munculnya serapan maksimum pada panjang gelombang 242 nm diduga diakibatkan oleh adanya transisi elektron dari n * yang disebabkan oleh adanya suatu kromofor C=O. Serapan landai pada panjang gelombang 280 nm kemungkinan diakibatkan oleh terjadinya transisi elektron dari n * yang disebabkan oleh adanya ikatan rangkap C=O.

Identifikasi Senyawa Triterpenoid Menggunakan Spektrofotometer FTIR Pada dasarnya Spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infra Red) adalah sama dengan Spektrofotometer IR dispersi, yang membedakannya adalah pengembangan pada sistem optiknya sebelum berkas sinar infra merah melewati sampel (Giwangkara, 2007). Spektrofotometer IR dispersi menggunakan prisma (grating) sebagai pengisolasi radiasi, sedangkan spektrofotometer FTIR menggunakan interferometer yang dikontrol secara otomatis dengan komputer. Jika sinar inframerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik, maka terdapat sejumlah frekuensi yang diserap dan ada yang diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung pada struktur pada struktur elektronik dari molekul tersebut. Molekul yang menyerap energi tersebut terjadi perubahan energi vibrasi dan

perubahan tingkat energi rotasi (Suseno dan Firdausi 2008). Spektrofotometer FTIR dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif (Hayati, 2007). Spektroskopi inframerah adalah suatu metoda analisis yang didasarkan pada penyerapan sinar inframerah. Fungsi utama dari spektroskopi inframerah adalah untuk mengenal struktur molekul (gugus fungsional). Spektroskopi inframerah adalah grafik dari persentasi transmitansi dengan panjang gelombang atau penurunan frekuensi. Tiap lekukan yang disebut gelombang atau puncak menunjukkan adsorbsi dari radiasi inframerah oleh cuplikan pada frekuensi tersebut (Fessenden&Fessenden:1981 dalam Iskandar, 2007). Kegunaan paling penting dari spektroskopi inframerah adalah untuk identifikasi senyawa organik, karena spektrumnya sangat kompleks dan terdiri dari banyak puncak-puncak. Spektrum inframerah mempunyai sifat fisik dan karakteristik yang khas, artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda (Hayati, 2007). Sukadana dkk (2007) menyatakan bahwa hasil identifikasi dalam ekstrak kental nheksana dari batang brotowali menunjukkan bahwa kemungkinan termasuk senyawa golongan triterpenoid. Data spektrum inframerah isolat menunjukkan terjadi serapan melebar dengan intensitas kuat pada daerah bilangan gelombang 3435,9 cm-1 yang diduga serapan untuk gugus O-H dan didukung dengan adanya serapan tajam dengan intensitas kuat pada daerah bilangan gelombang 1241,2 cm-1 dan 1108,1 cm-1 yang diduga merupakan gugus C-O stretching. Adanya pita tajam dengan intensitas kuat pada daerah bilangan gelombang 2921,3 cm-1 dan 2850,3 cm-1 diduga menunjukkan adanya gugus C-H stretching alifatik yang didukung oleh adanya serapan pada daerah bilangan gelombang 1495,9 cm-1 dan 1457,3 cm-1 yang diduga menunjukkan adanya gugus C-H bending alifatik. Serapan tajam dengan intensitas kuat pada daerah bilangan gelombang 1717,7 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O stretching. Adanya serapan pada daerah bilangan gelombang 1654,4 cm-1 diduga dari gugus C=C stretching alifatik. Rita (2010) menyatakan bahwa dalam ekstrak rimpang temu putih menunjukkan bahwa isolat kemungkinan termasuk senyawa golongan triterpenoid asam karboksilat. Data spektrum inframerah isolat triterpenoid menunjukkan adanya pita serapan melebar dengan intensitas kuat pada daerah bilangan gelombang 3425,58 cm-1 yang diduga serapan dari gugus OH terikat. Adanya gugus OH ini didukung dengan munculnya serapan kuat pada bilangan gelombang 1242,16 cm-1dari CO alkohol. Pita serapan yang tajam dengan intensitas kuat pada bilangan

gelombang 2924,09 cm-1 dan 2854,65 cm-1 diduga mengandung gugus CH alifatik stretching. Dugaan ini diperkuat oleh adanya serapan pada daerah bilangan gelombang 1450,47 cm -1 dan 1381,03 cm-1 yang merupakan serapan dari CH2 dan CH3 bending. Serapan tajam dengan intensitas kuat pada daerah bilangan gelombang 1728,22 cm-1 diduga karena adanya gugus fungsi C=O dari suatu asam karboksilat, sedangkan munculnya pita serapan tajam dengan intensitas kuat pada daerah bilangan gelombang 1620,21 cm -1 menunjukkan adanya gugus fungsi C=C alifatik stretching. Connolly and Hill (2003) menyatakan bahwasanya terdapat beberapa senyawa golongan

triterpenoid asam karboksilat yang terdapat dalam beberapa jenis tanaman. Kerangka struktur senyawa golongan triterpenoid asam karboksilat

Kerangka struktur senyawa golongan triterpenoid asam karboksilat

Anda mungkin juga menyukai