Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

P-KONSTIPASI

Dosen Pembimbing : Ns. Noifke Kaghoo,S.kep.,M.Kes

Disusun oleh :

Nama : Patrichia Veronika Marcus


Nim : 19180060
Tk/Semester : Dua/Tiga
AKADEMIK KEPERAWATAN RUMKIT TK.III MANADO
TA. 2019/2020

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Pendahuluan ini dengan judul Demam
Thypoid dengan tepat waktu Adapun tujuan dari penulisan laporan pendahuluan
ini adalah untuk memenuhi tugas Praktek Klinik Perawatan. Selain itu Laporan
Pendahuluan ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Praktek Klinik
Perawatan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu Ns. Noifke Kaghoo,S.kep.,M.Kes
yang telah memberikan bimbingan, sehingga saya dapat menyelesaikan laporan
pendahuluan, saya juga mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan.
Saya menyadari laporan pendahuluan dengan judul konstipasi yang saya buat ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan saya nantikan demi kesempurnaan laporan pendahuluan ini.

Manado,23 Januari 2020

Patrichia Veronika Marcus


DAFTAR ISI

JUDUL..................................................................................
KATA PENGANTAR..........................................................
DAFTAR ISI ........................................................................
BAB I PENDAHULUAN.....................................................
1.1 LATAR BELAKANG....................................................
2.1 RUMUSAN MASALAH................................................
3.1 TUJUAN.........................................................................
BAB II PEMBAHASAN......................................................

A. DEFINISI...............................................................................
B. TIPE KONSTIPASI…………………………………………………………
C. ETIOLOGI…………………………………………………………………………
D. MANIFISTASI KLINIS………………………………………….
E. PATOFISIOLOGI…………………………………………………
F. KOMPLIKASI………………………………………………………
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG……………………………..
H. PENATALAKSANAAN…………………………………………
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN……………………………….
J. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN……………….
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

.
Data dari badan pusat statistik kota Padang tahun 2017 menunjukkan bahwa
kecamatan Koto Tangah menjadi kecamatan dengan jumlah penduduk miskin
terbanyak yaitu mencapai 47.831 jiwa.15 Dari 13 kelurahan yang terdapat di
kecamatan Koto Tangah, kelurahan Pasia Nan Tigo menjadi salah satu kelurahan
dengan persentasi penduduk miskin yang cukup tinggi.16 Berdasarkan survei
pendahuluan melalui wawancara dengan beberapa siswa di sekolah dasar Pasia
Nan Tigo secara umum memiliki keluhan kesulitan BAB dikarenakan kebiasaan
tidak mengkonsumsi sayur. Ditambah lagi karena lokasi yang dekat dengan pantai
membuat pola makan penduduk lebih pada konsumsi ikan atau hasil laut.
Bahkan beberapa siswa hampir tidak pernah mengkonsumsi sayur setiap harinya.
Dari data yang telah dipaparkan diatas terkait kejadian konstipasi yang tinggi pada
anak sekolah dasar dan data yang masih terbatas di Indonesia terutama di
Sumatera Barat serta adanya berbagai faktor yang diduga mempengaruhi
terjadinya konstipasi fungsional pada anak usia sekolah sehingga penulis tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai faktor yang berhubungan dengan kejadian
konstipasi fungsional pada anak sekolah dasar di kelurahan Pasia Nan Tigo
kecamatan Koto Tangah kota Padang.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan sebelumnya maka dapat


dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Berapakah distribusi frekuensi kejadian konstipasi fungsional pada anak
sekolahdasar di Kelurahan Pasia Nan Tigo Kecamatan Koto Tangah Kota Padang?
2. Bagaimanakah hubungan antara asupan serat makanan dengan kejadian
konstipasi fungsional pada anak sekolah dasar?
3. Bagaimanakah hubungan antara asupan cairan dengan kejadian konstipasi
fungsional pada anak sekolah dasar?
4. Bagaimanakah hubungan antara keenganan menggunakan toilet sekolah
dengan kejadian konstipasi fungsional pada anak sekolah dasar?
5. Bagaimanakah hubungan antara gangguan psikososial dengan kejadian
konstipasi fungsional pada anak sekolah dasar?
6. Apakah faktor yang paling dominan berhubungan dengan kejadian konstipasi
fungsional pada anak sekolah dasar di Kelurahan Pasia Nan Tigo Kecamatan Koto
Tangah Kota Padang?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan
dengan kejadian konstipasi fungsional pada anak sekolah dasar
BAB II
PEMBAHASAN
KONSTIPASI
A. Definisi
Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang
disertai dengan
perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses (Stanley, 2007).
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang,
disertai dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya
feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah
penurunan frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama
atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu
tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat,
masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar
kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk
melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat
menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry, 2005).

B. Tipe Konstipasi
Berdasarkan International Workshop on Constipation, adalah sebagai berikut:
1. Konstipasi Fungsional
Kriteria:
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan:
a. Mengedan keras 25% dari BAB
b. Feses yang keras 25% dari BAB
c. Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
d. BAB kurang dari 2 kali per minggu
2. Penundaan pada muara rektum
Kriteria:
a. Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
b. Waktu untuk BAB lebih lama
c. Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses

Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari


feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan
adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan
sumbatan pada anus.

C. Etiologi
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah
sebagai berikut:
1. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk
defekasi dapat menyebabkan konstipasi.
2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya
daging, produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan
penutup yang berat) sering mengalami masalah konstipasi, karena bergerak
lebih lambat didalam saluran cerna. Asupan cairan yang rendah juga
memperlambat peristaltik.
3. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur
menyebabkan konstipasi.
4. Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi
normal. Selain itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan
sempurna, memerlukan waktu untuk diisi kembali oleh masa feses.
5. Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek
menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk
menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan
dapat menyebabkan diare pada sebagian orang), diuretik, antasid dalam
kalsium atau aluminium, dan obat-obatan antiparkinson dapat
menyebabkan konstipasi.
6. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot
abdomen, dan penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering
mengonsumsi makanan rendah serat.
7. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI
(gastrointestinal), seperti obstruksi usus, ileus paralitik, dan divertikulitus.
8. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya
cedera pada medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.
9. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau
hypokalemia dapat menyebabkan konstipasi.
Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:
10. Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan
konstipasi dengan menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari
epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus
spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi colon ). Yang
berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal,
meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya antara diare
dan konstipasi.
11. Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada
orang tua turut berperan menyebabkan konstipasi.
D. Manifestasi klinis
Menurut Stanley (2007) :
a. Mengejan berlebihan saat BAB
b. Massa feses yang keras
c. Perasaan tidak puas saat BAB
d. Sakit pada daerah rektum saat BAB
e. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses

E. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan
perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan
fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari
konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB
normal (Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal
melalui empat tahap kerja, antara lain: rangsangan refleks penyekat rektoanal,
relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam
region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen). Gangguan dari salah
satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan
peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan.
Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari
sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan,
terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar
pelvis yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang
keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi,
sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding
perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan
otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam
proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup
beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan
yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh
bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan
perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang
menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang
khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat
tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk
aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti
petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan.
Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi
menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang
dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari.
Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon sebelah kiri
dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid. Pemeriksaan
elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan
konstipasi menunjukkan berkurangnya

respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena


degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf
pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu
gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-
endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate
endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate
yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan
menghambat refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan
kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan.
Pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan
feses yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama.
Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan
kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut.
Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga
perubahan patologis pada rektum, sebagai berikut:
1. Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan
sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar
regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna
dan interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum sering
didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk BAB
sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena
tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang
dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus dan
rektum
2. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter
anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan
peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.
3. 222222222222222222222222222222222222Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering
ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel
Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.

F. Komplikasi
Menurut Darmojo&Martono (2006) akibat-akibat atau komlikasi dari konstipasi
antara lain:
a. Impaksi feses
Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya
penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan.
b. Volvulus daerah sigmoid
Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan
konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum.
c. Haemorrhoid
Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi sehingga
ada kemungkinan akan menimbulkan haemorrhoid.
d. Kanker kolon
Bakteri menghasilkan zat-zat penyebab kanker. Konsistensi tinja yang keras
akan memperlambat pasase tinja sehingga bakteri memiliki waktu yang
cukup lama untuk memproduksi karsinogen dan karsinogen yang
diproduksi menjadi lebih konsentrat.
e. Penyakit divertikular
Mengedan berlebihan (peningkatan tekanan intraabdominal) pada
penderita konstipasi dapat menyebabkan terbentuknya kantung-kantung
pada dinding kolon, di mana kantung-kantung ini berisi sisa-sisa makanan.
Kantung-kantung ini dapat meradang dan disebut dengan divertikulitis.
G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan
kelainan yang jelas. Namun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan
menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi
mempengaruhi fungsi usus besar.
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka
pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan
proses menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau
tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut.
Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya
tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan
gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya
massa tinja.
Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara
gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang
pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan)
atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor
di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya
timbunan tinja, atau adanya darah.
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor
risiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia
akibat keluarnya darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna,
tukak, wasir, dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita
konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang
menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia,
keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu
dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi hanya sekadar
mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan komplikasi serius.
Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%), usus besar (20%), dan
pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan kesakitan dan meningkatkan
risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi
menimbulkan akibat yang fatal. Pada konstipasi kronis kadang-kadang
terjadi demam sampai 39,5oC , delirium (kebingungan dan penurunan
kesadaran), perut tegang, bunyi usus melemah, penyimpangan irama jantung,
pernapasan cepat karena peregangan sekat rongga badan. Pemadatan dan
pengerasan tinja berat di muara usus besar bisa menekan kandung kemih
menyebabkan retensi urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot
lingkar dubur, sehingga keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan berlebihan
menyebabkan turunnya poros usus.

H. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana non farmakologik
a) Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi.
Kecuali ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk
minum sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari)
untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia
cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula cairan
yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih banyak
bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi jantungnya
stabil.
b) Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan
waktu transit (transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar
mengkonsumsi serat skitar 6-10 gram per hari. Ada juga yang
menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20 per hari. Serat
berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah, sayur, kacang-
kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus dengan meningkatkan
masa tinja dan mengurangi waktu transit usus. Serat juga menyediakan
substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam lemak rantai
pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah
efektif tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien
dengan impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah
serat dapat menyebabkan gejala kembung, banyak gas, dan buang besar
tidak teratur terutama pada 2-3 minggu pertama, yang seringkali
menimbulkan ketidakpatuhan obat.
c) Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa
untuk buang air besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum  lebih
mengembang karena adanya penumpukan feses. Membuat jadwal untuk
buang air besar merupakan langkah awal yang lebih baik untuk dilakukan
pada pasien tersebut, dan baik juga diterapkan pada pasien usia lanjut
yang mengalami gangguan kognitif. Pada pasien yang sudah memiliki
kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur, dianjurkan
meneruskan kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien yang tidak
memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu yang baik untuk
buang air besar adalah setelah sarapan dan makan malam.
d) Latihan jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi
bermanfat bagi orang usia lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu
setengah jam setelah makan cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu
bangun dari tampat tidur, dapat didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan
disekitar tempat tidur. Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak,
meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan interval 15
menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus dekubitus. Tentu saja pasien yang
mengalami tirah baring dapat dibantu dengan menyediakan toilet atau komod dengan
tempat tidur, jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati mungkin dapat
pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
e) Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu dilakukan untuk
mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti obat yang diperkirakan
menimbulkan konstipasi. Obat antidepresan, obat Parkinson merupakan obat yang
potensial menimbulkan konstipasi. Obat yang mengandung zat besi juga cenderung
menimbulkan konstipasi, demikian obat anti hipertensi (antagonis kalsium).
Antikolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan yang sering pula
menyebabkan konstipasi.
 
2. Tatalaksana farmakologik
a) Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative)
Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran.
Sediaan yang ada merupakan bentuk serat alamiah non-wheat seperti
pysilium dan isophagula husk, dan senyawa sintetik seperti
metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat natural sama-sama efektif
dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat ini tidak
menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia lanjut,
tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti
menurunkan konstipasi pada orang usia lanjut dan nyeri defekai pada
hemoroid. Sama halnya dengan serat, obat ini juga harus diimbangi
dengan asupan cairan.
b) Pelembut tinja
Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang
lanjut usia sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate
sodium bertindak sebagaisurfaktan, menurunkan tegangan permukaan
feses untuk membiarakan air masuk dam memperlunak feses. Docusate
sebenarnya tidak dapat menolong konstipasi yang kronik,
penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana mangedan harus
dicegah.
c) Pencahar stimulan
Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang
usia lanjut. Senna meningkatkan peristaltik di kolon distal dan
menstimulasi peristaltik diikuti dengan evakuasi feses yang lunak.
Pemberian 20 mg senna per hari selama 6 bulan oleh pasien berusia lebih
dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan protein atau elektrolit.
Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam setelah
pemberian. Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih
lama yakni sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai kebiasaan
defekasi yang teratur. Pemberian sebelum tidur malam mengurangi
risiko inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus ditritasi
berdasarkan respon individu. Terapi dengan Bisakodil supositoria
memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong untuk
mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan segera
setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatka efek refleks
gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan sensasi
terbakar pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan
sekitar 3 kali seminggu.
d) Pencahar hiperosmolar
Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol.
Di dalam kolon keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon menjadi
bentuk laktat, aetat, dan asam dengan melepaskan karbondioksida. Asam
organik dengan berat molekul rendah ini secara osmotic meningkatkan
cairan intraluminal dan menurunkan pH feses. Laktulosa sebagai
pencahar hiperosmolar terbukti memperpendek waktu transit pada
sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang mengalami konstipasi.
Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama menunjukkan efektifitasnya
dalam mengobati konstipasi pada orang usia lanjut yang berobat jalan.
Sorbitol sebaiknya diberikan 20-30 selama empat kali sehari. Glikol
polietelin merupakan pencahar hiperosmolar yang potensial yang
mengalirkan cairan ke lumen dan merupakan zat pembersih usus yang
efektif. Gliserin adalah pencahar hiperomolar yang dugunakan hanya
dalam bentuk supositoria.
e) Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi
kolon; hasil yang kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak
memadai. Enema harus digunakan secara hati-hati pada usia lanjut.
Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring mungkin membutuhkan
enema secara berkala untuk mencegah skibala. Namun, pemberian
enema tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan efek samping. Enema
yang berasal dari kran (tap water) merupakan tipe paling aman untuk
penggunaan rutin, karena tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon.
Enema yang berasal dari air sabun (soap-suds) sebaiknya tidak diberikan
pada orang usia lanjut.

I. Diagnosa keperawatan
Beberapa diagnose keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan
konstipasi diantaranya:
Konsti NOC : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan konstipasi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
a. Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari
b. Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi
c. Mengidentifikasi indicator untuk mencegah konstipasi
d. Feses lunak dan berbentuk
Intervensi :
Constipation/ impaction managemen
a. Monitor tanda dan gejala konstipasi
b. Monitor bising usus
c. Monitor feses, frekuensi, konsistensi dan volume
d. Konsultasi dengan dokter tentang penurunan atau peningkatan bising
usus
e. Monitor tanda dan gejala rupture usus atau peritonitis
f. Jelaskan etiologi dan rasionalisasi tindakan terhadap pasien
g. Identifikasi faktor penyebab dan kontribusi konstipasi
h. Dukung intake cairan
i. Kolaborasi dalam pemberian laksatif
j. Pantau tanda dan gejala konstipasi
k. Dorong untuk meningkatkan asupan cairan kecuali yang di
kontraindikasikan
l. Evaluasi profil obat untuk efek samping gastrointestinal
m. Anjurkan pasien untuk diet tinggi serat
1) pasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
2) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia
3) Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
J. Rencana tindakan keperawatan
1) Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
n. Anjurkan pasien untuk mencatat warna, konsistensi, frekuensi dan
volume feses
o. Menyarankan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter jika sembelit
atau impaksi terus ada
2) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia
3) NOC : : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
dapat teratasi dengan kriteria hasil:
a. Adanya peningkatan berat badan
b. Berat badan sesuai dengan tinggi badan
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
d. Tidak ada tanda0tanda malnutrisi
e. Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dan menelan
f. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Intervensi:
Nutrition managemen:
a. Kaji adanya alergi makanan
b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan
c. Anjurkan intake Fe
d. Anjurkan pasien untuk meningkatkna protein dan vitamin C
e. Yakinkan diet yang digunakan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
f. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan harian makanan
g. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
h. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
i. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang diinginkan
4) Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
NOC: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan nyeri akut dapat teratasi dengan kriteria hasil:
a. Mampu mengontrol nyeri
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang
c. Dengan menggunakan managemen nyeri
d. Mampu mengenali nyeri
e. Merasakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Intervensi:
Pain managemen:
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehesif
b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman neri
d. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
e. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
f. Control lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
g. Kurangi fktor presipitasi nyeri
h. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
i. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
j. Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi
k. Kolaborasi untuk pemberian obat analgetik
l. Evaluasi keefektifan control nyeri
m. Monitor penerimaan pasien tentang manageman nyeri

Anda mungkin juga menyukai