Anda di halaman 1dari 30

SISTEM GATRO ENTERO HEPATOLOGI

MODUL 4 ”KONSTIPASI”

Kelompok 1

Guruh Anwar Ibrahim 2014730037


Alifa Farah Safira 2016730111
Alifa Sarah Safira 2016730112
Wahid Imam Fauzi Prabowo 2016730139
Tengku Syarifah Luthfia Rikzhan 2017730119
Adinda Wulan Novia Triningrum 2017730133
Agung kalimasyahda 2017730134
Alif Ramadhan Suhartono 2017730135
Annisa Adelia Savitri 2017730136
Audria Fibi Annisa 2017730137

Tutor:
dr. Rina Nurbani, M. Biomed

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KESEHATAN DAN KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memeberikan rahmat dan
karunia-Nya pada kelompok kami, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan PBL modul 4
“KONSIPASI” sistem GASTRO ENTERO HEPATOLOGI (GEH) tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga serta pengikutnya
hingga akhir zaman. Amien ya robbal alamin.

Laporan ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas wajib yang dilakukan setelah
selesai membahas kasus PBL. Pembuatan laporan inipun bertujuan agar kita bisa mengetahui serta
memahami mekanisme serta aspek lain tentang sistem GASTRO ENTERO HEPATOLOGI
(GEH)

Terimakasih kami ucapkan pada tutor kami “dr. Rina Nurbani, M. Biomed“ yang telah
membantu kami dalam kelancaran pembuatan laporan ini. Terimakasih juga kepada semua pihak
yang telah membantu kami dalam mencari informasi, mengumpulkan data dan menyelesaikan
laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kelompok kami pada khususnya dan bagi
pada pembaca pada umumnya.

Laporan kami masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangatlah kami harapkan untuk menambah kesempurnaan laporan
kami.

Jakarta, Oktober 2019

Kelompok 1
BAB I

PENDAHULUAN
SKENARIO

Seorang laki-laki 35 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan sulit buang air besar yang
sudah berlangsung lebih dari satu tahun. BABnya keras dan selalu lebih dari 3 hari sekali. Ia juga
mengeluh setiap BAB tidak puas dan perutnya terasa sering kembung. Ia mengaku tidak
mempunyai masalah kesehatan lain dan kadang-kadang hanya minum obat bebas tanpa ada
perbaikan gejala.

KATA / KALIMAT KUNCI

1. Laki-laki 35 tahun
2. Sulit BAB sejak satu tahun lalu
3. BAB keras dan lebih dari 3 hari
4. BAB tidak puas dan Kembung
5. Minum obat bebas tanpa perbaikan gejala

MIND MAP
PERTANYAAN – PERTANYAAN

1. Apa perbedaan konstipasi dan opstipasi?


2. Jelaskan fisiologi dari defekasi!
3. Jelaskan etiologi dari konstipasi!
4. Jelaskan patofisiologi dari konstipasi!
5. Bagaimana patomekanisme dari perut kembung?
6. Bagaimana alur diagnosis dari skenario?
7. Apa saja diagnosis banding yg sesuai dengan skenario?
8. Bagaimana tatalaksana terkait skenario?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi konstipasi dan opstipasi

Konstipasi adalah evakuasi feses yang jarang atau sulit. (Dorland, 2012)
Konstipasi didefinisikan sebagai keadaan kesulitan waktu defekasi dengan kotoran yangn
keras dan kering serta frekuensi buang air besar yang kurang dari 3 kali dalam seminggu.
Berdasarkan Kriteria Diagnostik Roma III, konstipasi ditegakkan jika terdapat dua atau
lebih manifestasi klinik di bawah ini dalam waktu sekurang-kurangnya 12 minggu (tidak harus
konsekutif) dalam kurun waktu 1 tahun:

 Mengedan pada lebih dari 25% buang air besar


 Kotoran yang keras pada lebih dari 25% buang air besar
 Perasaan tidak lampias pada lebih dari 25% buang air besar
 Perasaan blokade pada dasar anorektal pada lebih dari 25% buang air besar
 Evakuasi feses manual pada lebih dari 25% buang air besar
 Frekuensi buang air besar kurang dari 3 kali seminggu
Menurut Akmal, dkk (2010), ada beberapa tanda dan gejala yang umum ditemukan pada
sebagian besar atau terkadang beberapa penderita sembelit sebagai berikut:
a. Perut terasa begah, penuh dan kaku;
b. Tubuh tidak fit, terasa tidak nyaman, lesu, cepat lelah sehingga malas mengerjakan
sesuatu bahkan terkadang sering mengantuk;
c. Sering berdebar-debar sehingga memicu untuk cepat emosi, mengakibatkan stress, rentan
sakit kepala bahkan demam
d. Aktivitas sehari-hari terganggu karena menjadi kurang percaya diri, tidak bersemangat,
tubuh terasa terbebani, memicu penurunan kualitas, dan produktivitas kerja;
e. Feses lebih keras, panas, berwarna lebih gelap, dan lebih sedikit daripada biasanya;
f. Feses sulit dikeluarkan atau dibuang ketika air besar, pada saat bersamaan tubuh
berkeringat dingin, dan terkadang harus mengejan atupun menekan-nekan perut terlebih
dahulu supaya dapat mengeluarkan dan membuang feses (bahkan sampai mengalami
ambeien/wasir);
g. Bagian anus atau dubur terasa penuh, tidak plong, dan bagai terganjal sesuatu disertai
rasa sakit akibat bergesekan dengan feses yang kering dan keras atau karena mengalami
wasir sehingga pada saat duduk tersa tidak nyaman;
h. Lebih sering bung angin yang berbau lebih busuk daripada biasanya;
i. Usus kurang elastis ( biasanya karena mengalami kehamilan atau usia lanjut), ada bunyi
saat air diserap usus, terasa seperti ada yang mengganjal, dan gerakannya lebih lambat
daripada biasanya;
j. Terjadi penurunan frekuensi buang air besar;

Obstipasi adalah konstipasi yang sulit disembuhkan. (Dorland, 2012)


Adapun untuk sembelit kronis ( obstipasi ), gejalanya tidak terlalu berbeda hanya sedikit
lebih parah, diantaranya:
a. Perut terlihat seperti sedang hamil dan terasa sangat mulas;
b. Feses sangat keras dan berbentuk bulat-bulat kecil;
c. Frekuensi buang air besar dapat mencapai berminggu-minggu;
d. Tubuh sering terasa panas, lemas, dan berat;
e. Sering kurang percaya diri dan terkadang ingin menyendiri;
f. Tetap merasa lapar, tetapi ketika makan akan lebih cepat kenyang (apalagi ketika hamil
perut akan tersa mulas ) karena ruang dalam perut berkurang dan mengalami mual
bahkan muntah.
Konstipasi fungsional atau konstipasi transit normal yaitu feses didiorong ke bagian distal
saluran cerna dalam waktu yang normal. Konstipasi pada keadaan ini diduga ole h karena kesulitan
saat evakuasi feses atau feses yang keras. Pasien biasanya mengeluh kembung dan rasa tidak
nyaman di perut atau bahkan nyeri perut.
Konstipasi karena obat-obatan yaitu disebabkan oleh antasid, anti-kolinergik, antidepresan
serta berbagai obat lainnya.

Persarafan organ gastrointestinal


Traktus gastrointestinal mempunyai persarafan sendiri yang disebut sistem saraf enterik, yang
terbagi dua menjadi :
- Pleksus mienterikus atau pleksus Auerbach (terletak di antara serat otot sirkularis dan
longitudinal) mengatur fungsi pergerakan organ gastrointestinal.
- Pleksus submukosa atau pleksus Meissner (terletak di lapisan submukosa) mengatur fungsi
sekresi organ gastrointestinal.

Pleksus Auerbach mengatur fungsi pergerakan organ gastrointestinal dengan cara


mengatur aktifitas otot di sepanjang usus. Jika mendapat rangsangan, efeknya akan meningkatkan
kontaksi tonik atau tonus dinding usus, meningkatkan intensitas kontraksi ritmis, sedikit
meningkatkan kecepatan irama kontraksi, dan meningkatkan kecepatan konduksi gelombang
eksitatoris di sepanjang dinding usus yang menyebabkan Gerakan gelombang peristaltik lebih
cepat. Tetapi, beberapa ujung dari pleksus Auerbach ini juga ada yang bersifat inhibitor, yang
dapat menghambat sfingter intestinal seperti sfingter pilorik dan sfingter katup ileosekal.
Pleksus Meissner mengatur fungsi di dalam dinding sebelah dalam tiap bagian kecil
segmen usus. Efeknya adalah mengatur sekresi intestinal lokal, absorpsi lokal, dan kontraksi otot
submukosa lokal yang menyebabkan berbagai tingkat pelipatan mukosa gastrointestinal.
Persarafan enterik ini dapat dipengaruhi oleh saraf ekstrinsik yaitu parasimpatis dan
simpatis yang dapat menghambat atau meningkatkan kerja dari sistem saraf enterik.

Pengaturan otonom saluran gastrointestinal


Sistem saraf otonom terdiri dari persarafan parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis
meningkatkan aktifitas sistem saraf enterik sementara simpatis menurunkan aktifitas sistem saraf
enterik.
1. Parasimpatis
Terdiri dari kranial dan sakral.
Kranial : nervus vagus (inervasi ke esofagus, gaster, pankreas, sedikit ke usus sampai
dengan separuh bagian pertama kolon).
Sakral : dari S2, S3, S4 medula spinalis, berjalan melewati nervus pelvikus ke separuh
bagian distal kolon dan sepanjang anus (berperan pada proses defekasi).
2. Simpatis
Berasal dari antara medulla spinalis Th5 hingga L2 kemudian rantai simpatis (di lateral
kolumna spinalis) berjalan ke ganglia seliaka dan mesenterika kemudian menyebar ke semua
bagian usus. Perangsangan sistem saraf simpatis hambat sistem saraf enterik, efek yang
ditimbulkan antara lain :
- Hambat otot polos traktus intestinal melalui mekanisme sekresi norepinefrin.
- Inhibisi norepinefrin pada neuron seluruh sistem saraf enterik, rangsangan yang kuat dapat
menginhibisi motor usus dan hentikan pergerakan makanan melalui traktus intestinal.
Etiologi konstipasi
Adapun etiologi dari konstipasi sebagai berikut :
a. Diet rendah serat :
Makanan lunak dan rendah serat yang berkurang pada feses sehingga menghasilkan produk
sisa yang tidak cukup untuk merangsang refleks pada proses defekasi. Makan rendah serat seperti:
beras, telur dan daging segar bergerak lambat di saluran cerna. Meningkatnya asupan cairan
dengan makanan seperti itu meningkatkan pergerakan makanan tersebut.
b. Kurang cairan/minum :
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan yang
adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh
melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang kolon. Dampaknya
chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi
berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal,
sehingga meningktakan reabsorbsi dari chyme
c. Kebiasaan buang air besar (BAB) yang tidak teratur :
Salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan konstipasi adalah kebiasaan BAB
yang tidak teratur. Refleks defekasi yang normal dihambat atau diabaikan, refleks-refleks ini
terkondisi untuk menjadi semakin melemah. Ketika kebiasaan diabaikan, keinginan untuk defekasi
habis. Anak pada masa bermain bisa mengabaikan refleks-refleks ini; orang dewasa
mengabaikannya karena tekanan waktu dan pekerjaan. Klien yang dirawat inap bisa menekan
keinginan buar air besar karena malu menggunakan bedpan atau karena proses defekasi yang tidak
nyaman. Perubahan rutinitas dan diet juga dapat berperan dalam konstipasi. Jalan terbaik untuk
menghindari konstipasi adalah membiasakan BAB teratur dalam kehidupan
d.Obat – obatan ;
Banyak obat yang menyebabkan efek samping konstipasi. Beberapa di antaranya seperti ;
morfin, codein sama halnya dengan obat-obatan adrenergik dan antikolinergik, melambatkan
pergerakan dari kolon melalui kerja mereka pada sistem syaraf pusat. Kemudian, menyebabkan
konstipasi yang lainnya seperti: zat besi, mempunyai efek menciutkan dan kerja yang lebih secara
local pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi
dan dapat menyebabkan diare pada sebagian orang. Selain itu ada beberapa hal lain yang
menyebabkan konstipasi, antara lain:
• Kelainan struktural kolon ; tumor, stiktur, hemoroid, abses perineum,magakolon.
• Penyakit sistemik ; hipotiroidisme, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus.
• Penyakit neurologik ; hirschprung, lesi medulla spinalis, neuropati otonom.
• Disfungsi otot dinding dasar pelvis.
• Idiopatik transit kolon yang lambat, pseudo obstruksi kronis
• Irritable Bowel syndrome tipe konstipasi
Patofisiologi konstipasi
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantar feses ke rektum
untuk dikeluarkan. Feses masuk dan merenggangkan ampula dari rekum diikuti relaksasi dari
sfingter anus interna. Untuk menghindari pengeluaran feses secara spontan, terjadi refleks
kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dipersarafi oleh saraf
pudendus. Otak menerima rangsangan keinginan untuk buang air besar dan sfingter anus eksterna
diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi
otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot-
otot levator ani.
Ketika serat yang dikonsumsi sedikit, kotoran akan menjadi kecil dan keras. Konstipasi
akan timbul, dimana dalam proses defekasi terjadi tekanan yang berlebihan dalam usus besar
(kolon) keluar dari otot, membentuk kantong kecil yang disebut divertikula. Hemoroid juga bisa
sebagai akibat dari tekanan yang berlebihan saat defekasi (Wardlaw, Hampl, and DiSilvestro,
2004). Hampir 50% dari pasien dengan penyakit divertikular atau anorektal, ketika ditanya,
menyangkal mengalami konstipasi/sembelit. Namun, hampir semua pasien ini memiliki gejala
ketegangan atau jarang defekasi.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebab multipel mencakup beberapa faktor yaitu:
1. Diet rendah serat , karena motalitas usus bergantung pada volume isi usus. Semakin besar
volume akan semakin besar motalitas.
2. Gangguan refleks dan psikogenik. Hal ini termasuk:
(1) fisura ani yang terasa nyeri dan secara refleks meningkatkan tonus sfingter ani sehingga
semakin meningkatnya nyeri;
(2) anismus (obstruksi pintu bawah panggul), yaitu kontraksi (normalnya relaksasi) dasar
pelvis saat rektum terenggang.
3. Gangguan transport fungsional, dapat terjadi karena kelainan neurogenik, miogenik,
refleks, obat-obatan atau penyebab iskemik (seperti trauma atau arteriorsklerosis arteri
mesentrika).
4. Penyebab neurogenik. Tidak adanya sel ganglion di dekat anus karena kelainan kongenital
(aganglionosis pada penyakit Hirschsprung) menyebabkan spasme yang menetap dari
segmen yang terkena akibat kegagalan relaksasi reseptif dan tidak ada refleks penghambat
anorektal (sfingter ani internal gagal membuka saat rektum mengisi).
5. Penyakit miogenik. distrofi otot, sklerosisderma, dermatomiosistis dan lupus eritamatosus
sistemik.
6. Obstruksi mekanis di lumen usus (misal, cacing gelang, benda asing, batu empedu).
7. Pada beberapa pasien konstipasi dapat terjadi tanpa ditemukannya penyebabnya. Stress
emosi atau psikis sering merupakn faktor memperberat keadaan yang disebut irritable
colon.
Alur Diagnosis
Konstipasi bukanlah suatu proses fisiologis yang terjadi dengan bertambahnya umur.
Namun berbagai keadaan yang disebabkan oleh bertambahnya umur (menurunnya motilitas usus,
berbagai penyakit sistemik yang terjadi). Anamnesis dan pemeriksaanfisik yang cermat harus
dilakukan untuk menyingkirkan berbagai penyebab konstipasi sekunder. Konstipasi sekunder itu
konstipasi yang disebabkan kelainan organik, misalnya penyakit metabolik dan endokrin (Diabetes
Melitus, Hiperkalsemia), keadaan miopati, kelainan neurologis, gangguan psikologis, kehamilan,
dll. Sebelum melakukan Anamnesis hingga pemeriksaan Laboratorium di wajibkan terlebih
dahulu untuk mengisi data pasien, karena data pasien penting dan bisa berhubungan dengan
penyakit atau keluhan.

Pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuenasi defekasi. Bila konstipasi


menjadi kronik, jumlah defekasi per hari atau perminggu mungkin bukan indikator terpercaya
untuk konstipasi pada anak. Dengan terjadinya retensi tinja, gejala, dan tanda lain konstipasi
berangsur muncul seperti nyeri dan distensi abdomen. Seorang anak yang mengalami kosntipasi
biasanya mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan, yang mengalami perbaikan
bila konstipasinya diobati.

Langkah Pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan


pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang tua bahwa anaknya menderita
konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai konsistensi
tinja dan frekuensi defekasi. Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen dan colok dubur perlu
dilakukan. Bila tinja anak lunak dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan, maka tidak
ada konstipasi berapa kalipun frekuensi defekasinya. Orang tua merasa anaknya memiliki masalh
defekasi bila tidak melihat anaknya defekasi dalam sehari.

Bila memang terdapat konstipasi, langkah berikutnya adalah membedakan apakah


konstipasi berlangsung akut atau kronik. Dikatakan konstipasi akut bila keluhan berlangsung
kurang dari 1-4 minggu, sedangkan kronik berlangsung lebih dari 1 bulan.

1. Anamnesis
Keluhan Utama: Ada apa?Ada yang bisa saya bantu? Sejak kapan?. Disini kita dapat
mengetahui bahwa pasien ini mengalami konstipasi. Tapi kita belum mengetahui apakah
kriteria konstipasi ini dan penyebabnya.
Riwayat Penyakit Sekarang: biasanya seminggu BAB berapa sekali atau sehari berapa
sekali? Seberapa lama proses mengedan berlangsung? Waktu BAB terakhir tinjanya
bentuknya seperti apa, apa seperti kotoran kambing? Lunak atau keras? Tinjanya ada
darahnya tidak

Keluhan Tambahan: Apa disertai dengan nyeri perut?, nyeri pada anus saat defekasi?
Ada mual muntah?
Riwayat Penyakit Dahulu: Apa dulu pernah merasakan keluhan seperti ini juga? Pernah
melakukan operasi di perut? Apa pernah kejang?

Riwayat Penyakit Keluarga: di keluarga ada turunan kencing manis?

Riwayat Pengobatan: udah berobat belum atau minum obat sebelum ke sini? Apa
pernah minum obat antaside, analgesik?

Riwayat Psikososial: Kebiasaan sebelum makan cuci tangan atau tidak? Terus suka
makan sayur atau tidak? Buah-buahan sering makan tidak? Kalau mau BAB itu sering
ditahan-tahan tidak sampe tidak mau lagi BAB? Jarang tidak menggunting kukunya?

Riwayat Alergi: pernah tidak kalau setelah minum obat gatal-gatal kemerahan (alergi)?

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat dan hati-hati harus dapat mengevaluasi tanda-tanda
vitaldan status nutrisi.
Tanda-tanda vital: Suhu, nadi, pernapasan.
Status Nutrisi: berat badan dan tinggi badan
Inspeksi:
- Skelera iktrik/tidak
- Bibir pucat atau tidak
- Lidah kuning atau tidak
- Kulit tubuh kuning atau tidak?
- Terdapat edema tidak diseluruh ekstremitas?
- Inspeksi abdomen perlihatkan benttuknya datar/ cekung/ skafoid
- Adabekas operasi tidak?
- Distensi abdomen atau tidak? Distensi abdomen sering ditemukan pada anak
dengan obstruksi usus, konstipasi, ileus, atau asites.
- Adakah pembesaran hati? Lihat dari samping abdomen dan lihatlah dari arah
kaki tempat tidur untuk melihat adakah asimetris yang dihubungkan dengan
massa lokal, seperti pembesaran hati atau kandung kemih.

Palpasi:

- Pastikan tangan pemeriksa hangat


- Mintalah pasien untuk menekuk kedua kakinya
- Jika pasien ada nyeri abdomen mintalah pasien menunjukan lokasi nyeri di
abdomen.
- Lokasi nyeri tekan sangatlah penting. Nyeri tekan pada epigastrium
menandakan ulkus peptik
- Ada Masa yang teraba?
- Palpasi organ yang membesar. Periksalah hati, kandung empedu, limpa dan
ginjal secara bergantianselama inspirasi dalam

Auskultasi:

- Lakukan auskultasi pada abdomen dan perhatikan bunyi peristaltik.


- Bunyi peristaltik adalah bunyi berderak yang ditimbulkan aktivitas peristaltik
normal usus.
- Ketiadaan bising usus menandakan ileus paralitik atau peritonitis.
- Pada obstruksi usus, bunyi usus terjadi dengan frekuensi dan volume yang
meningkat dan memiliki nada tinggi, dengan kualitas berdenting.
- Bruit menandakan ateromatosa, atau aneurisme aorta atau stenosis arteri
mesentrika superior. Terdengarnya hepatic bruit menunjukan karsinoma hati
atau hepatitis alkoholik.

Perkusi:

- Distensi abdomen dengan bunyi timpani yang minimal menunjukan adanya


cairan atau massa padat. Jika mencurigai adanya cairan, lakukan pemeriksaan
gelombang cairan
- Cairan pada abdomen (asites) anak ditemukan pada penyakit hati kronik,
penyakit ginjal kronik

Inspeksi anus:

- Posisi anus. Letak anus didepan jika konstipasi organik.


- Eritem di sekitar anus ada atau tidak? Jika ada itu disebabkan mengedan yang
terlalu keras. Terdapat fistula tidak disekitar kulit perianal.r4
- Fisura ani membesar dan lebar atau tidak? Jika iya merupakan tanda penting
untuk konstipasi

Colok Dubur:

- Nilai kedutan anus. Jika hilang kedutan anus maka konstipasi organik
- Ada tidak impaksi feses.
- Ampula rekti kososng padahal teraba massa tinja pada palpasi abdomen ini
pada konstipasi organik
- Tinja menyemprot bila telunjuk dicabut pada pemeriksaan colok dubur.

Kemungkinan tinja terdapat darah pada konstipasi organik.


Pemeriksaan penunjang untuk konstipasi
1. Dilakukan pemeriksaan colok dubur, bila tidak dapat dilakukan atau bila tidak teraba
adanya distensi rektum oleh masa tinja, dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen untuk
melihat kaliber kolon dan masa tinja dalam kolon.
2. Pemeriksaan enema barium untuk mencari penyebab organik seperti Morbus Hirschprung
dan obstruksi usus.
3. Biopsi hisap rektum untuk melihat ada tidaknya ganglion pada mukosa rektum secar
histopatologis untuk memastikan adanya penyakit Hirschprung.
4. Pemeriksaan manometri untuk menilai motilitas kolon.
5. Pemeriksaan lain-lain untuk mencari penyebab organik lain, seperti hipotiroidisme,
ultrasonografi abdomen,MRI, dll.

ILEUS PARALITIK

Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan di mana usus gagal/tidak mampu
melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik ini bukan suatu penyakit
primer usus melainkan akibat dari berbagai penyakit primer, tindakan (operasi) yang berhubungan
dengan rongga perut, toksin dan obat-obatan yang dapat mempengaruhi kontraksi otot polos usus.

Ileus paralitik hampir selalu dijumpai pada pasien pasca operasi abdomen. Keadaan ini
biasanya hanya berlangsung antara 24-74 jam. Beratnya ileus paralitik pascaoperasi bergantung
pada lamanya operasi/narkosis, seringnya manipulasi usus dan lamanya usus berkontak dengan
udara luar. Pencemaran peritoneum oleh asam lambung, isi kolon, enzim pankreas, darah dan urin
akan menimbulkan paralisis usus. Kelainan retroperitoneal seperti hematoma retroperitoneal,
terlebih lahi bila disertai fraktur vertebra sering menimbulkan ileus paralitik yang berat. Demikian
pula kelainan pada rongga dada seperti penumonia paru bagian bawah, epiema, dan infark miokard
dapatdisertai paralisis usus. Gangguan elektrolit terutama hipokalemia merupakan penyebab yang
cukup sering.

Penyakit / keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan seperti yang
tercantum di bawah ini :

Kausa Ileus Paralitik

 Neurogenik : pascaoperasi, kerusakan medula spinalis, keracunan timbal, kolik ureter,


iritasi persarafan slanknikus. Pankreatitis
 Metabolik : Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemis), uremia,
komplikasi DM, penyakit sistemik seperti SLE, sklerosismultipel
 Obat-obatan : Narkotik, antikolinergik, katekolamin, fenotiazin, anthistamin
 Infeksi : Pneumonia, empiema, urosepsi, peritonitis, infeksi sistemik berat lainnya
 Iskemia usus
Manifestasi Klinis

Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (abdominal distention), anoreksia,
mual, mual, dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Kelihan perut kembung
pada ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan keluhan perut kembung pada ileus obstruksi. Pasien
ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai nyeri kolik abdomen yang
paroksismal..

Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan
bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien
hanya menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal
(nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis
yang ditemukan adalah gambaran peritonitis.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium mungkin daat membantu mencari kausa penyakit. Pemeriksaan


yang penting untuk dimintakan yaiut leukosit darah, kadar elektrolit, ureum, glukosa darah dan
amilase. Foto polos abdomen sangat menegakkan diagnosis. Pada ielus paralitik akan ditemukan
distensi lambung usus halus dan usus besar. air fluid level ditemukan berupa suatu gambran line
up (segaris). Hal ini berbeda dengan air fluid level pada ileus obstrukti yang memberikan
gambaran stepladder (seperti anak tangga). Apabila dengan pemeriksaan foto polos abdomen
masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan foto abdomen dengan mempergunakan kontras.

Khususnya untuk ileus paralitik, pemeriksaan laboratorium memainkan peran yang sangat
penting, dikarenakan banyak gangguan metabolik dan elektrolit yang umumnya dapat
menyebaban ileus paralitik.

Beberapa prosedur laboratorium yang perlu dilakukan pada kasus ileus paralitik:

 Pemeriksaan darah lengkap : Hb, Ht, eritrosit, lekosit, hitung jenis, untuk mengidentifikasi
adanya infeksi/inflamasi
 Evaluasi kadar elektrolit serum: K, Ca, Mg, untuk mengidentifikasi ketidakseimangan
elektrolit
 Kimia darah :
o Pemeriksaan fungsi ginjal: urea-nitrogen darah dan kreatinin
o Fungsi pankreas dan hepatobilier : gula darah, bilirubin, SGOT dan SGPT,
kolesterol, trigliserida, amilase dan lipase.
Pemeriksaan radiologis

Penting untuk melakukan pemeriksaan x-ray untuk mendeteksi pneumonia dan adanya
udara bebas pada ruang subdiafragmatik (karena perforasi traktus gastrointestinal). Pemeriksaan
radiologi abdomen tanpa kontras dalam 3 posisi (tegak, telentang dan lateral) sangat penting untuk
membangun diagnosis klinis ileus paralitik.

Ketepatan diagnosis berdasarkan pemeriksaan radiologi 3 posisi kira-kira 85%.

 Pada keadaan normal, umumnya tidak ditemukan gas pada usus, dan hanya terdapat sedikit
gelembung udara ditemukan pada feses di kolon.
 Pada kasus ileus paralitik, terdapat akumulasi penyebaran udara yang merata pada
lambung, usus, dan kolon, dan
 Ditemukan gambaran herring bone yang sebenarnya adalah kolon haustra, divisualisasikan
karena distensi berlebihan oleh udara.
Pemeriksaan abdommen menggunakan kontras barium kadan diperlukan, jika tidak bisa
membedakan ileus paralitik ata pseudo-obsttruksi kolon akut dengan obstruksi mekanik pada
kolon dengan pecitraan polos abdomen .dengan menggunakan agaen kontras, dapat diidentifikasi
penyempitan lumen dan area obstruksi pada kasus obstruksi usus mekanik.

Elektrokardiografi

Elektrokardiografi berguna untuk mendeteksi hipokalemia pada ileus paralitik.

Pengelolaan

Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya berupa


dekompresi, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati kausa atau penyakit primer
dan pemberian nutrisi yang adekuat. Beberapa obat parasimpatomimetik pernah dicoba, ternyata
hasilnya tidak konsisten. Untuk dekompresi dilakukan pemasangan pipa nasogastrik (bila perlu
dipasang juga rectal tube). Pemberian cairan, koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral
hendaknya diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip-prinsip pemberian nutrisi parenteral.
Beberapa obat yangdapat dicoba yaitu metoklopramid bermanfaat untuk gastroparesis, sisaprid
bermanfaat untuk ileus paralitik pasca operasi dan klonidin dilaporkan bermanfaat untuk
mengatasi ileus paralitik karena obat-obatan.

Intinya, pengelolaan ileus paralitik secara langsung bertujuan untuk mengatasi etiologi,
tanpa perlu pembedahan. Hingga sekarang, belum ditemukan obat / farmakoterapi yang telah
terbukti bermanfaat untuk mengembalikan motilitas kolon atau usus pada pasien dengan ileus
paralitik.

Menentukan penyakit yang menyebabkan ileus paralitik tidak sederhana. Dengan


demikian, terapi konservatif dapat segera diberikan jika gejala klinis memberikan petunjuk kuat
dari ileus paralitik, sambil mengidentifikasi diagnosis etiologik, sedangkan terapi kausal dapat
secepatnya dimulai ketika penyakit/kondisi yang mendasari telah ditentukan.
Terapi Suportif

Terapi suportif untuk ileus paralitik terdiri dari:

 Tatalaksana umum
o Informasi dan edukasi mengenai penyakit pasien dan tatalaksananya kepada pasien
dan keluarga sangat penting, karena keberhasilan terapi sangat bergantung pada
tingkat kerjasama pasien, seperti puasa, perlunya memasang pipa nasogastrik,
pemeriksaan selanjutnya dan obat yang perlu dikonsumsi
o Bed rest
o Puasa
o Pantau kondisi umum dan tanda vital (kesadaran, tekanan darah, denyut nadi,
temperatur, dan laju pernapasan) secara intermiten setiap 6-8 jam untuk 24-48 jam
pertama.
o Memasangkan IV dan berikan kristaloid (0,9% NaCl atau ringer laktat) untuk
darurat. Sesuaikan volume dan kecepatan pemberian dengan kondisi pasien.
o Lakukan pemeriksaan laboratorium selanjutnya: pemeriksaan darah perifer
lengkap,ureum dan kreatinin, gula darah, serum elektrolit, analisis gas darah
o Memasang kateter urin untuk memeriksa output urin 24 jam
o Pantau ECG untuk mengidentifikasi hipokalemia
o Mengevaluasi temuan laboratorium (pemeriksaan darah perifer lengkap,ureum dan
kreatinin, gula darah, serum elektrolit, analisis gas darah) setiap 6-8 jam untuk 24-
48 jam pertama.
 Koreksi cairan, elektrolit, dan ketidakseimbangan asam-basa
 Dekompresi abdominal
 Nutrisi parenteral umum
Prognosis

Beberapa kondisi dapat menyebabkan masalah pada manajemen ileus paralitik, seperti
syok hipovolemik, septicemia, bahkan syok sepsis dan malnutrisi. Namun, umumnya prognosis
ileus paralitik memuaskan, meskipun terkadang etiologi tidak dapat ditemukan. Dengan terapi
suportif, ileus paralitik dapat mereda secara spontan. Prognosis ileus paralitik baik bila penyakit
primernya dapat diatasi. Lamaya perawatan tergantung penyebab ileus paralitik :

 Jika disebabkan oleh pankreatitis akut:


o Pada pankreatitis akut ringan-sedang (edema): 2-3 minggu
o Pada pankreatitis berat (hemoragik/abses): 3-5 minggu
 Jika disebabkan oleh agen spasmolitik : 1 minggu
 Jika disebabkan oleh infeksi: 1-3 minggu
Irritable bowel syndrome (IBS)
Adalah salah satu penyakit gastrointenstinal fungsional. Irritable bowel syndrome
memberikan gejala berupa adanya nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi tanpa
gangguan organik.
Gejala klinik IBS berupa nyeri perut atau rasa tidak nyaman di abdomen dan perubahan
pola buang air besar seperti diare, konstipasi atau diare dan konstipasi bergantian serta rasa
kembung. Didiagnosis atas dasar gejala-gejala yang khas tanpa adanya gejala alarm seperti
penurunan berat badan, perdarahan per rektal, demam atau anemia. Pemeriksaan fisik dan tes
diagnostik yang sekarang tersedia tidak cukup spesifik untuk menegakkan diagnosis IBS, sehingga
diagnosis IBS ditegakkan atas dasar gejala-gejala yang khas tersebut.
Sebagai gejala tambahan pada nyeri perut, diare atau konstipasi, gejala khas lain meliputi
perut gejala khas lain meliputi perut kembung, adanya gas dalam perut, stool urgensi atau strining
dan perasaan evakuasi kotoran tidak lengkap.
Oleh karena patofisiologi dan penyebab IBS yang kurang dipahami, pengobatan utama
difokuskan pada gejala-gejala yang muncul untuk mempertahankan fungsi sehari-hari dan
meningkatkan kualitas hidup orang dengan IBS.
Epidemiologi
Kejadian dari IBS mencapai 20% dari penduduk Amerika, hal ini didasarkan pada gejala
yang sesuai dengan kriteria IBS. Kejadian IBS lebih banyak pada perempuan dan mencapai 3 kali
lebih besar dari laki-laki. Prevalensi IBS bisa mencapai 3,6-21, 8% dari jumlah penduduk dengan
rata-rata 11%6,7.
Etiologi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS antara lain gangguan motilitas,
intoleransi makanan, abnormalitas sensoris, abnormalitas dari interaksi aksis braingut,
hipersensitivitas viseral, dan pasca infeksi usus. Adanya IBS predominan diare atau predominan
konstipasi menunjukkan bahwa pada IBS terjadi sesuatu perubahan motilitas. Pada IBS tipe diare
terjadi peningkatan kontraksi usus dan memendeknya waktu transit kolon dan usus halus.
Sedangkan IBS tipe konstipasi terjadipenurunan kontraksi usus dan memanjangnya waktu transit
kolon dan usus halus. IBS yang terjadi pasca infeksi dilaporkan hampir pada 1/3 kasus IBS.
Penyebab IBS paska infeksi antara lain virus, giardia atau amuba. Faktor-faktor yang dapat
mengganggu kerja dari usus adalah sebagai berikut:
1. Faktor psikologis
Stress dan emosi dapat secara kuat mempengaruhi kerja kolon. Kolon memiliki banyak
saraf yang berhubungan dengan otak. Sebagian kolon dikontol oleh SSP, yang berespon terhadap
stress. Sebagai contoh kolon dapat berkontraksi secara cepat atau sebaliknya.
2. Sensitivitas terhadap makanan
Gejala IBS dapat ditimbulkan oleh beberapa jenis makanan seperti kafein, coklat, produk-
produk susu, makanan berlemak, alkohol, sayur-sayuran yang dapat memproduksi gas (kol dan
brokoli) dan minuman bersoda.
3. Genetik
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada kemungkinan IBS diturunkan dalam keluarga
dengan perkiraan faktor genetik berperan berkisar antara 0-57%9.
4. Hormon
Gejala IBS sering muncul pada wanita yang sedang menstruasi, mengemukakan bahwa
hormone reproduksi estrogen dan progesteron dapat meningkatkan gejala dari IBS10.
5. Obat obatan konvensional
Banyak pasien yang menderita IBS melaporkan bertambah beratnya gejala setelah
menggunakan obatobatan konvensional seperti antibiotik, steroid dan obat anti inflamasi.
Klasifikasi
Menurut kriteria Roma III dan berdasarkan pada karakteristik feses pasien, subklasifikasi
IBS dibagi menjadi:
1. IBS predominan diare (IBS-D) :
- Feses lunak >25 % dan feses keras <25% dalam satu waktu
- Terjadi pada 1/3 kasus
- Sering pada pria
2. IBS predominan konstipasi (IBS-C):
- Feses keras >25% dan feses lunak <25% dalam satu waktu
- Terjadi pada 1/3 kasus
- Sering pada wanita
3. IBS campuran(IBS-M) :
- Defekasi berubah-ubah: diare dan konstipasi
- 1/3 – ½ dari kasus
Berdasarkan gejala klinis subklasifikasi lain dapat digunakan:
1. Berdasarkan gejala:
- IBS predominan disfungsi usus:
- IBS predominan nyeri
- IBS predominan kembung
2. Berdasarkan faktor pencetus:
- Post-infectious (PI-IBS)
- Food-induced
- Berhubungan dengan stress
Patofisiologi
1. Perubahan motilitas usus
Dalam 50 tahun terakhir, perubahan pada kontraktilitas kolon dan usus halus telah
diketahui pada pasien IBS. Stress psikologis atau fisik dan makanan dapat merubah kontraktilitas
kolon. Motilitas abnormal dari usus halus selama puasaditemukan pada pasien IBS. Juga
dilaporkan adanya respon kontraksi yang berlebihan pada makanan tinggi lemak.
2. Hipersensitivitas visceral
Salah satu penjelasan yang mungkin adalah sensitivitas dari reseptor pada viscus dirubah
melalui perekrutan silence nociseptor pada respon terhadap iskemia, distensi, kandungan
intraluminal, infeksi, atau faktor psikiatri. Beberapa penulis menyatakan bahwa kewaspadaan yang
berlebihan lebih bertanggung jawab dari pada hipersensitivitas visceral murni untuk ambang nyeri
yang rendah pada pasien IBS.
3. Faktor psikososial
Stress psikologis dapat merubah fungsi motor pada usus halus dan kolon, baik pada orang
normal maupun pasien IBS. Sampai 60% pasien pada pusat rujukan memiliki gejala psikiatri
seperti somatisasi, depresi, dan cemas. Dan pasien dengan diagnosis IBS lebih sering memiliki
gejala ini.
4. Ketidakseimbangan neurotransmitter
Lima persen serotonin berlokasi di susunan saraf pusat, 95% di saluran gastrointestinal
dalam sel enterokromafin, saraf, sel mast, dan sel otot polos. Serotonin mengakibatkan respon
fisiologis sebagai reflek sekresi usus dan peristaltik dan gejala seperti mual, muntah, nyeri perut,
dan kembung.
Neurotransmitter lain yang memiliki peranan penting pada kelainan fungsional saluran
cerna meliputi calcitonin gene–related peptide, acetylcholine, substance P, pituitary adenylate
cyclase–activating polypeptide, nitric oxide, and vasoactive intestinal peptide. Neurotransmitter
ini menyediakan hubungan tidak hanya antara kontraktilitas usus dan sensitivitas visceral, tapi juga
antara sistem saraf usus dan sistem saraf pusat.
Serotonin memegang peranan penting dalam mengatur sekresi, motilitas dan keadaan
sensori pada saluran cerna melaui aktivasi dari sejumlah reseptor yang tersebar luas pada saraf
usus dan eferen sensoris. Sel enterosit mengakhiri efek dari serotonin dengan membuangnya dari
ruangan interstitial melaui aksi dari reuptake serotonin transporter (SERT). Sehingga merubah
kandungan dan pelepasan, ekspresi dari reseptor atau perubahan pada ekspresi SERT/ aktivitas
dapat berperanan pada fungsi sensimotor pada IBS.
Peningkatan pelepasan mediator seperti nitric oxide, interleukin, histamin, dan protease
menstimulasi system saraf enterik; mediator yang dikeluarkan menyebabkan gangguan motilitas,
sekresi serta hiperalgesia sistem gastrointestinal.
5. Infeksi dan inflamasi
Ditemukan adanya bukti yang menunjukkan bahwa beberapa pasien IBS memiliki
peningkatan jumlah sel inflamasi pada mukosa kolon dan ileum. Adanya episode enteritis infeksi
sebelumnya, faktor genetik, alergi makanan yang tidak terdiagnosis, dan perubahan pada
mikroflora bakteri dapat berperanan pada terjadinya proses inflamasi derajat rendah. Inflamasi
dikatakan dapat mengganggu reflex gastrointestinal dan mengaktivasi sistem sensori visceral.
Kelainan pada interaksi neuroimun dapat berperanan pada perubahan fisiologi dan
hipersensitivitas gastrointestinal yang mendasari IBS.
6. Faktor genetic
Data menunjukkan mungkin ada komponen genetik pada IBS meliputi: pengelompokan
IBS pada keluarga, frekuensi 2 kali meningkat pada kembar monozigot jika dibandingkan dengan
dizigot. Adanya polimorpisme gen yang mengendalikan down regulation dari inflamasi (seperti
IL-10 dsn TGF-1) dan SERT. Faktor genetik sendiri tidak merupakan penyebab, tapi berinteraksi
palingdengan faktor lingkungan.
Sampai saat ini belum ada model konsep tunggal yang dapat menjelaskan semua kasus dari
IBS.
ManifestasiKlinik
Gejala klinik dari IBS biasanya bervariasi diantaranya nyeri perut, kembung dan rasa tidak
nyaman di perut. Gejala lain yang menyertai biasanya perubahan defekasi dapat berupa diare,
konstipasi atau diare yang diikuti dengan konstipasi. Diare terjadi dengan karakteristik feses yang
lunak dengan volume yang bervariasi. Konstipasi dapat terjadi beberapa hari sampai bulan dengan
diselingi diare atau defekasi yang normal.
Selain itu pasien juga sering mengeluh perutnya terasa kembung dengan produksi gas yang
berlebihan dan melar, feses disertai mucus, keinginan defekasi yang tidak bias ditahan dan
perasaan defekasi tidak sempurna. Gejalanya hilang setelah beberapa bulan dan kemudian kambuh
kembali pada beberapa orang, sementara pada yang lain mengalami pemburukkan gejala.
Pada sekitar 3-35% pasieng ejala IBS muncul dalam 6 sampai 12 bulan setelah infeksi
sistem gastrointestinal. Secara khusus ditemukan sel inflamasi mukosa terutama sel mast di
beberapa bagian duodenum dan kolon.
Diagnosis
Diagnosis dari IBS berdasarkan atas kriteria gejala, mempertimbangkan demografi pasien
(umur, jenis kelamian dan ras) dan menyingkirkan penyakit organik. Melalui anamnesis riwayat
secara spesifik menyingkirkan gejala alarm (red flag) seperti penurunan berat badan, perdarahan
per rektal, gejala nokturnal, riwayat keluarga dengan kanker, pemakaian antibiotic dan onset gejala
setelah umur 50 tahun.
Tidak ada tes diagnosis yang khusus, diagnosis ditegakkan secara klinis. Pendekatan klinis
ini kemudian dipakai guideline dengan berdasarkan kriteria diagnosis. Saat ini ada beberapa
kriteria diagnosis untuk IBS diantaranya kriteria Manning, Rome I, Rome II, dan Rome III.
Menurut kriteria Rome III, nyeri perut atau rasa tidak nyaman setidaknya 3 hari per bulan
dalam 3 bulan terakhir dihubungkan dengan 2 atau lebih hal berikut:
1. Membaik dengan defekasi;
2. Onset dihubungkan dengan perubahan pada frekuensi kotoran;
3. Onset dihubungkan dengan perubahan pada bentuk (penampakan) dari kotoran.
Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya 6 bulan sebelum
diagnosis. Gejala penunjang yang tidak masuk dalam kriteria diagnosis meliputi kelaianan pada
frekuensi kotoran (<3 kali per minggu atau >3x/hari), kelainan bentuk kotoran (kotoran keras atau
kotoran encer/berair), defekasi strining, urgency, juga perasaan tidak tuntas saat buang air besar,
mengeluarkan mukus dan perut kembung.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk IBS meliputi pemeriksaan darah lengkap, LED,biokimia
darah dan pemeriksaan mikrobiologi dengan pemeriksan telur, kista dan parasite pada kotoran.
Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial, yaitu:
1. Pemeriksaan darah lengkap;
2. Pemeriksaan biokimia darah;
3. Pemeriksaan hormon tiroid;
4. Sigmoidoskopi;
5. Kolonoskopi.
Diagnosa Banding
Pada IBS diare sering didiagnosis banding dengan defisiensi laktase. Kelainan lain yang
juga harus dipikirkan adalah:
1. Inflammatory Bowel Disease
2. Kanker kolorektal;
3. Divertikulitis;
4. Obstruksi mekanik pada usus halus atau kolon;
5. Infeksi usus;
6. Iskemia usus;
7. Maldigesti dan malabsorbsi;
8. Endometriosis pada pasien yang mengalami nyeri saat menstruasi
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan IBS meliputi modifikasi diet, intervensi psikologi, dan terapi farmakologi.
Ketiga bentuk pengobatan ini harus berjalan bersamaan. Dalam memberikan obatobatan
mempunyai efek samping dan yang juga akan memperburuk kondisi psikis pasien.Target terapi
IBS adalah mengurangi gejala sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien16.
1. Diet
Modifikasi diet terutama meningkatkan konsumsi serat pada IBS predominan konstipasi.
Sebaliknya pada pasien IBS dengan predominan diare konsumsi serat dikurangi. Pada IBS tipe
konstipasi peningkatan konsumsi serat juga disertai konsumsi air yang meningkat disertai aktivitas
olah raga rutin. Selanjutnya menghindari makanan dan minuman yang dicurigai sebagai pencetus,
jika menghilang setelah menghindari makanan tersebut coba lagi setelah 3bulan secara bertahap.
Oligosakarida yang difermentasi, disakarida, monosakarida dan poliol (FODMAPs) diduga
menyebabkan efek osmotik yang memicu distensi lumen.
2. Psikoterapi
Terapi psikologis bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan gejala psikologis lainnya
serta gejala gastrointestinal. Intervensi psikologis ini meliputi edukasi (penerangan tentang
perjalanan penyakitnya), relaksasi, hypnotherapy, terapi psikodinamik atau interpersonal dan
cognitive behavioural therapy serta obat-obat psikofarmaka.
Terapi fisik seperti masa sedan akupuntur pada beberapa penelitian dapat mengurangi
gejala dan tanda emosional.
3. Farmakoterapi
Obat-obatan yang diberikan untuk IBS terutama untuk menghilangkan gejala yang timbul
antara lain untuk mengatasi nyeri abdomen, mengatasi konstipasi, mengatasi diare dan
antiansietas. Obat-obatan ini biasanya diberikan secara kombinasi.
Untuk mengatasi nyeri abdomen sering digunakan antispasmodik yang memiliki efek
kolinergik dan lebih bermanfaat pada nyeri perut setelah makan. Obat-obat yang sudah beredar di
Indonesia antara lain mebeverine 3x135 mg, hyocine butylbromide 3x10 mg, chlordiazepoksid 5
mg, klidinium 2,5 mg 3x1 tablet dan alverine 3x30 mg.Untuk IBS konstipasi, tegaserod suatu 5-
HT4 reseptor antagonis bekerja meningkatkan akselerasi usus halus dan meningkatkan sekresi
cairan usus. Tegaserod biasanya diberikan dengan dosis 2 x 6 mg selama 10-12minggu. Untuk IBS
tipe diare beberapa obat juga dapat diberikan antara lain loperamid dengan dosis 2-16 mg per hari.
Antibiotik jangka pendek direkomendasikan untuk mengatasi kembung pada IBS.
Penggunaan antibiotic non absorbent seperti rifaksimin, mengatasi sensasi tidak nyaman abdomen,
namun penggunaannya dapat menyebabkan relaps yang tinggi.
Beberapa obat yang pernah diteliti seperti naloxone (antagonis reseptor mu), fedotozine
(kappa opioid antagonis), clonidine (alpha-2 agonist), neomycin, colpermin (peppermint oil),
chinese herbal medicine, lactobacillus plantarum dan beidelliticmontmorillonite20. Tinjauan
sistematik dan metaanalisisefikasi TCA (tricyclic antidepressant) dan SSRI (selective serotonin
reuptake inhibitor) pada terapi IBS hasilnya efektif mengatasi gejala IBS.
Pemberian probiotik juga merupakan salah satu terapi pada IBS, namun mekanisme belum
sepenuhnya diketahui. Salah satu hipotesis menyatakan kerapatan epitel intestinal mencegah
bakteri masuk kecelah intersel dan melakukan invasi, produksi substansi antimikroba dapat
mencegah invasi, perubahan mikroflora intestinal dapat berdampak pada fungsi motoric dan
sekretorik intestinal dan menjadi signal epitel intestinal yang berfungsi memodulasi imunitas
luminal dan respon inflamasi.
Pencegahan
Untuk mencegah IBS antara lain:
1. Hindari stress.
2. Konsumsi makanan yang banyak mengandung serat.
3. Hindari makanan pemicu (makanan pedas).
4. Kurangi intake lemak.
5. Kurangi intake short chain carbohidrat.
6. Kurangi konsumsi alkohol, kafein, dan pemanis buatan.
7. Menjaga kebersihan makanan.
Prognosis
Penyakit IBS tidak akan meningkatkan mortalitas, gejala-gejala pasien IBS biasanya akan
membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus dan hanya <5% yang akan memburuk dan
sisanya dengan gejala yang menetap. Tidak ada perkembangan menjadi keganasan dan penyakit
imflamasi.
Kanker kolorektal
Adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar, terdiri dari kolon (bagianter
panjang dari usus besar) dan/atau rektum (bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus).
EPIDEMIOLOGIMenurut American Cancer Society, kanker kolorektal (KKR) adalah kanker
ketiga terbanyak dan merupakan kanker penyebab kematian ketiga terbanyak pada pria
dan wanita di Amerika Serikat.1Berdasarkan survei GLOBOCAN 2012, insidens KKR di
seluruh dunia menempati urutan ketiga (1360 dari 100.000 penduduk [9,7%], keseluruhan
laki-laki dan perempuan) dan menduduki peringkat keempat sebagai penyebab kematian
(694 dari 100.000 penduduk [8,5%], keseluruhan laki-laki dan perempuan). Di Amerika
Serikat sendiri pada tahun 2016, diprediksi akan terdapat 95.270 kasus KKR baru, dan 49.190
kematian yang terjadi akibat KKR.
Secara keseluruhan risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal adalah 1 dari 20
orang (5%). Risiko penyakit cenderung lebih sedikit pada wanita dibandingkan pada pria.
Banyak faktor lain yang dapat meningkatkan risiko individual untuk terkena kanker kolorektal.
Angka kematian kanker kolorektal telah berkurang sejak 20 tahun terakhir. Ini berhubungan
dengan meningkatnya deteksi dini dan kemajuan pada penanganan kanker kolorektal.
FAKTOR RISIKO DAN PENCEGAHAN
Secara umum perkembangan KKR merupakan interaksi antara faktor lingkungan dan
faktor genetik. Faktor tidak dapat dimodifikasi: adalah riwayat KKR atau polip adenoma
individual dan keluarga dan riwayat individual penyakit kronis inflamatori pada usus. Faktor risiko
yang dapat dimodifikasi: Inaktivitas, obesitas, konsumsi tinggi daging merah merokok dan
konsumsi alkohol moderat-sering. Sementara aktivitas fisik, diet berserat6dan asupan vitamin D
termasuk dalam faktor protektif.
Pencegahan kanker kolorektal dapat dilakukan mulai dari fasilitas kesehatan layanan
primer melalui program KIE di populasi/masyarakat dengan menghindari faktor-faktor risiko
kanker kolorektal yang dapat di modifikasi dan dengan melakukan skrining atau deteksi dini
pada populasi, terutama pada kelompok risiko tinggi.
DETEKSI DINI DAN DIAGNOSISA.
Tujuan skrining kanker kolorektal adalah deteksi dini, membuang lesi pre-kanker dan
mendeteksi penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan terapi kuratif.IndikasiIndikasi
pemeriksaan dini atau skrining kanker kolorektal adalah individu dengan risiko sedang dan
risiko tinggi.yang termasuk risiko sedang adalah:
1. Individu berusia 50 tahun atau lebih;
2. Individu yang tidak mempunyai riwayat kanker kolorektal atau inflammatory bowel disease
3. Individu tanpa riwayat keluarga kanker kolorektal;
4. Individu yang terdiagnosis adenoma atau kanker kolorektal setelah berusia 60 tahun.
Yang termasuk risiko meningkat atau risiko tinggi adalah:
1. Individu dengan riwayat polip adenomatosa
2.Individu dengan riwayat reseksi kuratif kanker kolorektal;
3.Individu dengan riwayat keluarga tingkat pertama kanker kolorektal atau adenoma kolorektal
(rekomendasi berbeda berdasarkan umur keluarga saat diagnosis);
4.Individu dengan riwayat inflammatory bowel diseaseyang lama;
5.Individu dengan diagnosis atau kecurigaan sindrom hereditary non-polyposis olorectal cancer
(HNPCC) atau sindromLynch ataufamilial adenomatous polyposis (FAP).
Deteksi dini pada populasi
Pilihan pemeriksaan skrining ditentukan berdasarkan risiko individual, pilihan individual
dan akses.Pada orang dewasa dengan risiko sedang, skrining harus dimulai pada individu berusia
50 tahun dengan pilihan berikut:
1. Colok dubur
2. FOBT atau FIT setiap 1 tahun
3. Sigmoidoskopi fleksibel setiap 5 tahun
4. Kolonoskopi setiap 10 tahun
5. Barium enema dengan kontras ganda setiap 5 tahun
6. CT kolonografi setiap 5 tahun
Deteksi Dini pada Individual Dengan Risiko Meningkat dan Risiko Tinggi
Rekomendasi skrining pada individual dengan risiko meningkat dibagi menjadi 3:
(1) Pasien dengan riwayat polip pada kolonoskopi sebelumnya,
(2) Pasien dengan kanker kolorektal,
(3) Pasien dengan riwayat keluarga.
B. Diagnosis
Nilai prediksi tinggi KKR
Berikut ini adalah gejala dan tanda yang menunjukkan nilai prediksi tinggi akan adanya KKR:
a. Keluhan utama dan pemeriksaan klinis:
Perdarahan per-anum disertai peningkatan frekuensi defekasi dan/atau diare selama
minimal 6 minggu (semua umur)
Perdarahan per-anum tanpa gejala anal (di atas 60 tahun)
Peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6minggu (di atas 60 tahun)
Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur)
Massa intra-luminal di dalam rectum
Tanda-tanda obstruksi mekanik usus.
Setiap pasien dengan anemia defisiensi Fe (Hb <11g% untuk laki-laki atau <10g% untuk
perempuan pascamenopause)
b.Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap pasien dengan gejala ano-rektal.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetapkan keutuhan sfingter ani dan menetapkan ukuran
dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal. Pada pemeriksaan colok dubur ini
yang harus dinilai adalah:
Keadaan tumor: Ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap
cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccygis.
Mobilitas tumor: Hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan.
Ekstensi dan ukuran tumor dengan menilai batas atas, bawah, dan sirkuler.
Pemeriksaan penunjang.
Endoskopi
Endoskopi merupakan prosedur diagnostik utama dan dapat dilakukan dengan
sigmoidoskopi(>35% tumor terletak di rektosigmoid) atau dengan kolonoskopi total.
Enema barium dengan kontras ganda
Pemeriksaan enema barium yang dipilih adalah dengan kontras ganda..
CT colonography (Pneumocolon CT)
Modalitas CT yang dapat melakukan CT kolonografi dengan baik adalah modalitas
CT scan yang memiliki kemampuan rekonstruksi multiplanar dan 3D volume rendering.
Kolonoskopi virtual juga memerlukan software khusus.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari kanker kolorektal adalah:
Irritable bowel syndrome (IBS)
Kolitis ulseratif
Penyakit Crohn
Hemoroid
Fisura anal
Penyakit diverticulum
TATALAKSANA
Penatalaksanaan kanker kolorektal bersifat multidisiplin. Pilihan dan rekomendasi
terapi tergantung pada beberapa faktor Terapi bedah merupakan modalitas utama untuk kanker
stadium dini dengan tujuan kuratif. Kemoterapi adalah pilihan pertama pada kanker stadium
lanjut dengan tujuan paliatif. Radioterapi merupakan salah satumodalitas utama terapi
kanker rektum. Saat ini, terapi biologis (targeted therapy) dengan antibodi monoklonal
telah berkembang pesat dan dapat diberikan dalam berbagai situasi klinis, baik sebagai obat
tunggal maupun kombinasi dengan modalitas terapi lainnya. Penatalaksanaan kanker kolorektal
dibedakan menjadi penatalaksanaan kanker kolon dan kanker rectum.
Penatalaksanaan Konstipasi
DAFTAR PUSTAKA

 Murray, Robert K. et. Al, 2003, Biokimia Harper , edisi 25, EGC, Jakarta
 Mayes, Peter A. et. Al, 1987, Biokimia Harper (Harper’s Review of Biochemistry), edisi
20, EGC, Jakarta
 Setiati, siti.2014.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi VI jilid I Bab10 hal.776.
Jakarta: DIAGNOSIS BANDING19Diagnosis banding dari kanker kolorektal
adalah:Irritable bowel syndrome (IBS)Kolitis ulseratifInterna Publishing
 Sutanto, inge.2014. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran edisi VI hal. 8. Jakarta : BPFKUI
 Douglas Graham. 2014. Macleod Pemeriksaan Klinis. Singapore:Elsevier
 Bickley S Lynn. 2013. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik& Riwayat Klinis Ed 8. Jakarta: EGC
 Brown. 1983. Dasar Parasitologi. Karta; Gramedia
 Bennett, John E., et al. 2010. Mandell, Douglas, Bennett’s Principles and Practice of
Infectious Disease, 7thEd Vol. 2. Philadelphia: Elsevier
 Juffrie Mohammad, et al. 2012. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI
 Nadisastra, Djaenudin, et al. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh
yang Diserang. Jakarta: EGC
 Soedarto. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto
 Farmakologi FK UI
 Buku Ajar Gastroenterologi Edisi 1, 2011
 Buku Ajar Ilmu Gizi
 Guyton dan Hall. 2016. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Singapura : Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai