BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan
sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses (kotoran) kurang, atau fesesnya keras dan kering. Semua orang dapat
mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada
usus, red) lebih lambat dan kemungkinan sebab lain. Kebanyakan terjadi jika makan kurang berserat, kurang minum,
dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.
Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4-30 persen pada kelompok usia 60 tahun ke atas.
Ternyata, wanita lebih sering mengeluh konstipasi dibanding pria dengan perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden
konstipasi meningkat seiring bertambahnya umur, terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang
berusia usia 65 tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34 persen wanita dan pria 26 persen.
Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya, bingung
caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa
karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor
kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada
rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik.
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Lagi-lagi, kuncinya adalah mengonsumsi serat yang cukup.
Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika penderita konstipasi ini mengalami kesulitan
mengunyah, misalnya karena ompong, haluskan sayur atau buah tersebut dengan blender.
1.2 Rumusan Masalah
Apa konsep teori dari konstipasi dan bagaimana asuhan keperawatan dalam menangani kasus konstipasi?
1.3 Tujuan
Tujuan umum :
Mengetahui dan memahami konsep teori konstipasi dan asuhan keperawatan dalam menangani kasus konstipasi
Tujuan khusus :
Model tinja atau feses 1 (konstipasi kronis), 2 (konstipasi sedang) dan 3 (konstipasi ringan) dari Bristol Stool Chart
yang menunjukkan tingkat konstipasi atau sembelit.
2.2 Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat
lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis
untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya
mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal. Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat
konstipasi.
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantakan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses
masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan
pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis
yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna
diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut.
kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis
maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang tumpang tindih.
Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh
bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna.
perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang khusus
terjadi pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak mendapatkan adanya
perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus
dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya,
penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9
hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari. Petanda
radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari
kolon sigmoid.
Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan
berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus
mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan
memanjangnya waktu gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun jug aterbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang meningkat, disertai
peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan
opiate yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia,
khususnya pada perempuan. pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses
yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada
saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada mereka yang mengalami
konstipasi dapat mengalami 3 perubahan patologis pada rektum :
1. Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan peningkatan ambang
kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan
interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena
dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena tanggapnya atau
penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah
anus dan rektum
1. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara
manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada
penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.
2.3 Faktor- faktor risiko konstipasi pada usia lanjut
Dibutuhkan pengenalan faktor-faktor resiko yang berkaitan dengan konstipasi pada usia lanjut untuk memahami
masalah ini. Sebagai contoh, polifarmasi dapat menyebabkan konstipasi karena beberapa golongan obat mempunyai
potensi untuk hal ini. Beberapa kelainan neurologis dan endokrin-metabolik juga dapat mengakibatkan konstipasi
yang berat.
Faktor-faktor resiko konstipasi pada usia lanjut :
1. Obat-obatan
1. Antikolinergik
2. Narkotik
3. Analgesik
4. Diuretik
5. NSAID
6. Kalsium antagonis
7. Preparat kalsium
8. Preparat besi
9. Antasida alumunium
10. Penyalahgunaan pencahar
11. Kondisi neurologis
1. Stroke
2. Penyakit Parkinson
3. Traauma medulla spinalis
4. Neorupati diabetik
12. Gangguan metabolik
1. Hiperkalsemia
2. Hipokalemia
3. Hipotiroid
13. Kausa Psikologis
1. Psikosis depresi
2. Demensia
3. Kurang privasi untuk BAB
4. mengabaikan dorongan BAB
5. konstipasi imajiner
14. Penyakit-penyakit saluran cerna
1. Kanker kolon
2. Divertikel
3. Illeus
4. Hernia
5. Volvulus
6. Irritable Bowel Syndrome
7. Rektokel
8. Wasir
9. Fistula atau Fissura ani
10. Inersia kolon
15. Lain-lain
1. Diet rendah serat
2. Kurang cairan
3. Imobilitas atau kurang olahraga
4. Bepergian jauh
5. Pasca tindakan bedah perut
2.4 Manifestasi klinis
Anamnesis yang terperinci merupakan hal terpenting untuk mengungkapkan adakah konstipasi dan faktor resiko
penyebabnya. Konstipasi merupakan suatu keluhan klinis yang umum dengan berbagai tanda dan keluhan lain yang
berhubungan.
Pasien yang mengeluh konstipasi tidak selalu sesuai dengan patokan-patokan yang obyektif. Misalnya jika dalam 24
jam belum BAB atau ada kesulitan dan harus mengejan serta perasaan tidak tuntas untuk BAB sudah mengira dirinya
menderita konstipasi.
Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah :
Pemeriksaan fisis pada konstipasi sebagian besar tidak didapatkan kelainan yang jelas. Walaupun demikian,
pemeriksaan fisis yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan-kelainan yang berpotensi
mempengaruhi khususnya fungsi usus besar. Diawali dengan pemerikssaan rongga mulut meliputi gigi gerigi, adanya
lesi selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
Pemeriksaan daerah perut dimulai dengan inspeksi adakah pembesaran abdomen, peregangan atau tonjolan.
Selanjutnya palpasi pada permukaan perut untuk menilai kekuatan otot-otot perut. Palpasi lebih dalam dapat meraba
massa feses di kolon, adanya tumor atau aneurisma aorta. Pada perkusi dicari antara lain pengumpulan gas
berlebihan, pembesaran organ, asietes, atau adanya massa feses. Auskultasi antara lain untuk mendengarkan suara
gerakan usus besar, normal atau berlebihan misalnya pada jembatan usus. Pemeriksaan daerah anus memberikan
petunjuk penting, misalnya adakah wasir, prolaps, fisur, fistula, dan massa tumor di daerah anus dapat mengganggu
proses BAB.
Pemeriksaan colok dubur harus dikerjakan antara lain untuk mengetahui ukuran dan kondisi rektum serta besar dan
konsistensi feses.
Colok dubur dapat memberikan informasi tentang :
1. Tonus rektum
2. Tonus dan kekuatan sfingter
3. Kekuatan otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis
4. Adakah timbunan massa feses
5. Adakah massa lain (misalnya hemoroid)
6. Adakah darah
7. Adakah perlukaan di anus
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor-faktor resiko penyebab konstipasi, misalnya
glukosa darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia yang berhubungan dengan keluarnya darah dari rektum, dan
sebagainya. Prosedur lain misalnya anuskopi dianjurkan dikerjakan secara rutin pada semua pasien dengan
konstipasi untuk menemukan adakah fisura, ulkus, wasir dan keganasan.
Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi, terutama yang terjadinya akut. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi adakah impaksi feses dan adanya massa feses yang keras yang dapat menyebabkan sumbatan dan
perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan dengan barium Enema untuk memastikan
tempat dan sifat sumbatan. Pemeriksaan intensif ini dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan
konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu.
Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomik (enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) atau fisiologik (waktu
singgah di kolon, cinedefecografi, menometri, dan elektromiografi). Proktosigmoidoskopi bisanya dikerjakan pada
konstipasi yang baru tejadi sebagai pprosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum. Bila ada penurunan berat
badan, anemia, keluarnya darah dari rektum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan
kolonoskopi.
Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan radioologis
setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi
ekspulsi, sedangkan bila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anaorektal untuk menilai evakuasi feses secara tuntas,
mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai
semacam pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke dalam rektum. Kemudian penderita duduk pada
toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar X. Penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut.
Dinilai kelainan anorektal saat proses berlangsung.
Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran anus saat istirahat dan pada berbagai
rangsang untuk menilai fungsi anorektal. pemerikasaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter
dan fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respon sfingter yang terhambat. Pada
kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomik maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi
disebut sebagai non-spesifik.
2.5 Komplikasi Konstipasi Pada Usia Lanjut
Walaupun untuk kebanyakan orang usia lanjut, konstipasi hanya sekedar mengganggu, tetapi untuk untuk sebagian
kecil dapat berakibat komplikasi yang serius, misalnya impaksi feses. Impaksi feses merupakan akibat dari
terpaparnya feses pada daya penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan. Feses dapat menjadi sekeras
batu, di rektum (70%), sigmoid(20%), dan kolon bagian proksimal(10%).
Impaksi feses penyebab penting dari morbiditas pada usia lanjut, menigkatkan resiko perawatan di rumah sakit dan
mempunyai potensi terjadinya komplikasi yang fatal. penampilannya sering hanya berupa kemunduran klinis yang
tidak spesifik. kadang-kadang dari pemeriksaan fisis didapatkan panas sampai 39,5 o, delirium perut yang tegang,
suara usus melemah, aritmia serta takipnia karena karena peregangan dari diafragma. pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukositosis. peristiwa ini dapat disebabkan ulserasi sterkoraseus dari suatu fecaloma yang keras
menyebabkan ulkus dengan tepi yang nekrotik dan meradang. dapat terjadi perforasi dan penderita datang dengan
sakit perut berat yang mendadak.
Impaksi feses yang berat pada daerah rektosigmoid dapat menekan leher kandung kemih menyebabkan retensio
urin, hidronefrosis bilateral, dan kadangh-kadang gagal ginjal yang membaik setelah impaksi dihilangkan titik.
Inkontinensia alvi juga sering didapatkan, karena impaksi feses di daerah kolorektal.
Volvulus daerah sigmoid juga sering terjadi sebagai komplikasi dari konstipasi. Mengejan berlebihan dalam jangka
waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum.
2.6 Penatalaksanaan
Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan
pengobatan secara simptomatik. Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukan pada penyebab dari
konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus
dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi :
1. Pengobatan non-farmakologis
1. Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada
penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur
setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah
makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat
menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau
menunda dorongan untuk BAB ini.
2. Diet : peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut. data
epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian
konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal.
Serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung
manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk
asupan cairan.
3. Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi jalan kaki atau lari-
lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut
untuk memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut
2. Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan
golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
1. memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose, Psilium.
2. melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses,
sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak kastor, golongan dochusate.
3. golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita
gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
4. merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai.
Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak
pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya :Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara tersebut di atas, mungkin
dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini
dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada
respons dengan pengobatan yang diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau
adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.
2.7 WOC
DOWNLOAD : WOC ASKEP KONSTIPASI
2.8 Asuhan Keperawatan
Seorang kakek bernama Ikhwan yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian bawah. Kakek
mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak
pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya karena kurang nafsu makan. Setelah dikaji inspeksi terdapat
pembesaran abdomen dan saat dipalpasi ada impaksi feses.
1. Pengkajian
Nama : Ikhwan
Tanggal lahir : 5 November 1945
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal MRS : 30 November 2010
Alamat : Surabaya
Diagnosa Medis : Konstipasi
Sumber Informasi : Klien, pemeriksaan fisik, kolonoskopi
Keluhan utama : nyeri pada perut, seminggu belum BAB
Riwayat penyakit sekarang : Ikhwan yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian bawah. Kakek
mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak
pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya. Selain itu, kakek mengaku mudah lelah untuk melakukan aktivitas
sehari-hari.
Riwayat kesehatan keluarga : -
Review of system :
1. B1 (Breath) : RR meningkat
2. B2 (Blood) : denyut jantung meningkat, TD meningkat
3. B3 (Brain) : nyeri pada abdomen bawah
4. B4 (Bladder) : -
5. B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun
6. B6 (Bone): -
Analisa data
Data Etiologi Masalah
Data subyektif : Pola BAB tidak teratur Kontipasi
Ø Seminggu tidak BAB, Eliminasi feses tidak
kebiasaan BAB tiga kali lancar
sehari konstipasi
Data obyektif :
Inspeksi :
pembesaran
abdomen
Palpasi : perut
terasa keras, ada
impaksi feses
Perkusi : redup
Auskultasi : bising
usus tidak
terdengar
Data Subjektif: Sulit BAB Nutrisi kurang dari
Ø Klien tidak nafsu Perut terasa begah kebutuhan
makan Nafsu makan menurun
Data Objektif: Menurunnya intake
Ø Bising usus tidak makanan
terdengar
Data Subjektif konsistensi tinja yang Nyeri akut
Ø Keluhan nyeri dari keras
pasien sulit keluar
Data Objektif Akumulasi di kolon
Ø Perubahan nafsu Nyeri anbdomen
makan
2. Diagnosa
1. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
3. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
3. Intervensi dan Rasional
1. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
Tujuan: pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari)
Kriteria hasil :
Ø Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari
Ø Konsistensi feses lembut
Ø Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan
Intervensi Rasional
Mandiri
Tentukan pola defekasi bagi klien dan latih klien Ø Untuk mengembalikan keteraturan pola defekasi klien
untuk menjalankannya Ø Untuk memfasilitasi refleks defekasi
Atiur waktu yang tepat untuk defekasi klien Ø Nutrisi serat tinggi untuk melancarkan eliminasi fekal
seperti sesudah makan Ø Untuk melunakkan eliminasi feses
Berikan cakupan nutrisi berserat sesuai dengan
indikasi
Berikan cairan jika tidak kontraindikasi 2-3 liter Ø Untuk melunakkan feses
per hari
Kolaborasi
Ø Pemberian laksatif atau enema sesuai indikasi
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
Tujuan: menunjukkan status gizi baik
Kriteria Hasil:
Ø Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
Ø Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
Ø Nilai laboratorium dalam batas normal
Ø Melaporkan keadekuatan tingkat energi
Intervensi Rasional
Mandiri
Buat perencanaan makan dengan pasien untuk Menjaga pola makan pasien sehingga pasien
dimasukkan ke dalam jadwal makan. makan secara teratur
Dukung anggota keluarga untuk membawa
makanan kesukaan pasien dari rumah.
Health Edukasi
Ø Ajarkan pasien dan keluarga
tentang makanan yang bergizi dan
tidak mahal
Klien terbiasa makan dengan terencana dan
teratur.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat
diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga dapat
diartikan sebagai keadaan dimana membengkaknya jaringan dinding dubur (anus) yang mengandung pembuluh
darah balik (vena), sehingga saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan feses dan kesulitan untuk
melakukan buang air besar. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia) akibat
gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih lambat dan kemungkinan sebab lain yakni
penggunaan obat-obatan seperti aspirin, antihistamin, diuretik, obat penenang dan lain-lain. Kebanyakan terjadi
jika makan makananan yang kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah
jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Kasus konstipasi umumnya diderita
masyarakat umum sekitar 4% sampai 30% pada kelompok usia 60 tahun ke atas. Ternyata wanita lebih sering
mengeluh konstipasi dibanding pria dengan perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi meningkat seiring
bertambahnya umur, terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia usia 65 tahun ke
atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34% wanita dan pria 26%. Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas
usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar . Di Australia sekitar 20% populasi
di atas 65 tahun mengeluh menderita konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria. Menurut National
Health Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi
terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.
Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya,
bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi
bisa karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena
faktor kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan
pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik.
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah mengonsumsi serat yang cukup.
Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika penderita konstipasi ini mengalami kesulitan
mengunyah, misalnya karena ompong, caranya haluskan sayur atau buah tersebut dengan diblender.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum:
Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien dengan konstipasi, serta
mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan konstipasi.
2. Tujuan Khusus:
f. Untuk mengetahui dan mampu menerapkan pemeriksaan, penatalaksanaan serta pencegahan untuk pasien
dengan konstipasi
g. Untuk memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan konstipasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan kesulitan
keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup jumlahnya, berbentuk keras dan
kering (Oenzil, 1995).
Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut konsistensi tinja dan frekuensi
berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih
dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin karena feses keras atau kering sehingga
terjadi kebiasaaan defekasi yang tidak teratur, faktor psikogenik, kurang aktifitas, asupan cairan yang tidak adekuat
dan abnormalitas usus. (Paath, E.F. 2004) .
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan frekunsi defekasi, yang diikuti
oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu
tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat, masa feses lebih lama terpapar pada
dinding usus dan sebagian besar kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk
melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat menimbulkan nyeri pada rektum.
(Potter & Perry, 2005).
Normalnya pola defekasi yang biasanya setiap 2 sampai 3 hari sekali tanpa ada kesulitan, nyeri, atau
perdarahan dapat dianggap normal.
B. Tipe Konstipasi
1. Konstipasi Fungsional
Kriteria:
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan:
Kriteria:
Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan penundaan pada muara
rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada
anus.
C. Etiologi
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi dapat menyebabkan konstipasi.
2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya daging, produk-produk susu, telur) dan
karbohidrat murni (makanan penutup yang berat) sering mengalami masalah konstipasi, karena bergerak lebih
lambat didalam saluran cerna. Asupan cairan yang rendah juga memperlambat peristaltik.
3. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur menyebabkan konstipasi.
4. Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal. Selain itu, kolon bagian bawah yang
dikosongkan dengan sempurna, memerlukan waktu untuk diisi kembali oleh masa feses.
5. Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan dan kerja yang lebih secara
lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat
menyebabkan diare pada sebagian orang), diuretik, antasid dalam kalsium atau aluminium, dan obat-obatan
antiparkinson dapat menyebabkan konstipasi.
6. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan penurunan sekresi mukosa
usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
7. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal), seperti obstruksi usus, ileus paralitik,
dan divertikulitus.
8. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya cedera pada medula spinalis, tumor) dapat
menyebabkan konstipasi.
9. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau hypokalemia dapat menyebabkan konstipasi.
11. Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada orang tua turut berperan menyebabkan
konstipasi.
D. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja otot-otot polos
dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan
kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena
banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal (Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang
oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot
sfingter internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-
abdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan
peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan
ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang
spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi oleh
saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk
relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan
menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun
parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang tumpang
tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh
oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran
cerna. Perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang
khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak mendapatkan
adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu
pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah
dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan
waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang
lagi sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon sebelah kiri dan paling
lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid. Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari
kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya
inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf pada otot
polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang meningkat, disertai
peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan
opiate yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan
dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk
mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat
berakibat penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada mereka yang
mengalami konstipasi dapat mengalami tiga perubahan patologis pada rektum, sebagai berikut:
1. Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan peningkatan ambang
kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan
interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari
karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena tanggapnya atau
penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit
daerah anus dan rektum
2. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara
manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada
penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.
E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain, karena pola makan, hormon,
gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang berbeda-beda, tetapi biasanya tanda dan gejala yang umum
ditemukan pada sebagian besar atau kadang-kadang beberapa penderitanya adalah sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan tinja (jika tinja sudah tertumpuk sekitar 1
minggu atau lebih, perut penderita dapat terlihat seperti sedang hamil).
2. Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan jumlahnya lebih sedikit daripada
biasanya (bahkan dapat berbentuk bulat-bulat kecil bila sudah parah).
3. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang harus mengejan ataupun menekan-
nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan tinja.
6. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada biasanya (jika kram perutnya parah,
bahkan penderita akan kesulitan atau sama sekali tidak bisa buang
7. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang air besar (biasanya buang air besar
menjadi 3 hari sekali atau lebih).
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi
dalam waktu 3 bulan :
3. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB, dan
F. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan yang jelas. Namun demikian
pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi
mempengaruhi fungsi usus besar.
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir mulut dan
tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan. Perabaan permukaan
perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar,
adanya tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan,
pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja.
Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar serta mengetahui
adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau
fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses
buang air besar.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya darah.
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko konstipasi seperti gula darah,
kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor.
Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja
keras yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari
dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi
hanya sekadar mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan komplikasi serius. Tinja dapat mengeras
sekeras batu di poros usus (70%), usus besar (20%), dan pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan kesakitan
dan meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi menimbulkan akibat yang fatal. Pada konstipasi
kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5oC , delirium (kebingungan dan penurunan kesadaran), perut
tegang, bunyi usus melemah, penyimpangan irama jantung, pernapasan cepat karena peregangan sekat rongga
badan. Pemadatan dan pengerasan tinja berat di muara usus besar bisa menekan kandung kemih menyebabkan
retensi urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar dubur, sehingga keluar tinja tak terkontrol.
Sering mengejan berlebihan menyebabkan turunnya poros usus.
G. Penatalaksanaan
Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi, merangsang upaya untuk
memberikan pengobatan secara simptomatik. Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukan pada
penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang
peristaltik usus, harus dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi:
1. Pengobatan non-farmakologis
Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas
penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan
usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex
gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda
dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
b. Diet:
Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut. Data epidemiologis
menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-
macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan
berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup
asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
c. Olahraga:
Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang
dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat
otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut.
2. Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan
golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose, Psilium.
b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga
mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak kastor, golongan dochusate.
c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal,
antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu
diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus
dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara tersebut di atas, mungkin
dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini
dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak
ada respons dengan pengobatan yang diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau
adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.
H. Pencegahan
3. Minum air putih minimal 1,5 sampai 2 liter air (kira-kira 8 gelas) sehari dan cairan lainnya setiap hari.
4. Olahraga, seperti jalan kaki (jogging) bisa dilakukan. Minimal 10-15 menit untuk olahraga ringan, dan minimal 2 jam
untuk olahraga yang lebih berat.
5. Biasakan buang air besar secara teratur dan jangan suka menahan buang air besar.
6. Konsumsi makanan yang mengandung serat secukupnya, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran.
BAB III
a. Biodata Pasien
b. Keluhan Utama
c. Riwayat Kesehatan
d. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang awitan dan durasi konstipasi, pola emliminasi
saat ini dan masa lalu, serta harapan pasien tentang elininasi defekasi. Informasi gaya hidup harus dikaji, termasuk
latihan dan tingkat aktifitas, pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan, serta stress. Riwayat medis dan bedah masa lalu,
terapi obat-obatan saat ini, dan penggunaan laksatif serta enema adalah penting. Pasien harus ditanya tentang
adanya tekanan rektal atau rasa penuh, nyeri abdomen, mengejan berlebihan saat defekasi, flatulens, atau diare
encer.
f. Pemeriksaan Fisik
h. Analisa Data
Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna, bau, konsistensi, ukuran, bentuk, dan komponen.
Abdomen diauskultasi terhadap adanya bising usus dan karakternya. Distensi abdomen diperhatikan. Area
peritonial diinspeksi terhadap adanya hemoroid, fisura, dan iritasi kulit.
2. Diagnosa
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan.
3. Intervensi
4. Implementasi
5. Evaluasi
Contoh kasus:
Seorang kakek bernama Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian bawah. Kakek
mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak
pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya karena kurang nafsu makan. Setelah dikaji inspeksi terdapat
pembesaran abdomen dan saat dipalpasi ada impaksi feses.
1. Pengkajian
Nama : Evart
Alamat : Surabaya
Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian bawah. Kakek mengatakan bahwa sudah
seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah menghabiskan
porsi makan sehari-harinya. Selain itu, kakek mengaku mudah lelah untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Review of system :
d. B4 (Bladder) : -
f. B6 (Bone) : -
c. Perkusi : redup
Analisa Data:
Inspeksi : pembesaran
abdomen.
konstipasi
Palpasi : perut terasa
keras, ada impaksi feses.
Perkusi : redup.
Menurunnya intake
makanan
sulit keluar
Data objektif:
Nyeri abdomen
2. Diagnosa
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan.
Kriteria hasil :
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
a. Tentukan pola defekasi bagi klien dan latih a. Untuk mengembalikan keteraturan pola
klien untuk menjalankannya defekasi klien
d. Berikan cairan jika tidak kontraindikasi 2-3 c. Nutrisi serat tinggi untuk melancarkan
liter per hari eliminasi fekal
2. Kolaborasi:
Kriteria Hasil :
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
a. Buat perencanaan makan dengan pasien a. Menjaga pola makan pasien sehingga
untuk dimasukkan ke dalam jadwal pasien makan secara teratur
makan.
b. Pasien merasa nyaman dengan makanan
b. Dukung anggota keluarga untuk yang dibawa dari rumah dan dapat
membawa makanan kesukaan pasien dari meningkatkan nafsu makan pasien.
rumah.
c. Dengan pemberian porsi yang besar dapat
menjaga keadekuatan nutrisi yang masuk.
c. Tawarkan makanan porsi besar disiang d. Tinggi karbohidrat, protein, dan kalori
hari ketika nafsu makan tinggi diperlukan atau dibutuhkan selama
perawatan.
d. Pastikan diet memenuhi kebutuhan tubuh
sesuai indikasi. e. Untuk mendukung peningkatan nafsu
makan pasien
g. Kaji turgor kulit pasien
1) Untuk dapat mengetahui tingkat
kekurangan kandungan Hb, albumin, dan
glukosa dalam darah.
2. Kolaborasi: 2) Klien terbiasa makan dengan terencana
dan teratur.
a. Observasi:
b. Health Edukasi
c. Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan
5) Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan non-analgesik secara tepat
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
a. Bantu pasien untuk lebih berfokus pada a. Klien dapat mengalihkan perhatian dari
aktivitas dari nyeri dengan melakukan nyeri
penggalihan melalui televisi atau radio.
b. Perhatikan bahwa lansia mengalami
peningkatan sensitifitas terhadap efek
analgesik opiat b. Hati-hati dalam pemberian anlgesik opiate
2. Kolaborasi
a. Observasi
b. Health Education
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat
diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi bisa terjadi
di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar
seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek
samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor kelainan organ di kolon
seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada rektum, anak dan dasar
pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik. Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit.
Kuncinya adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur.
B. Saran
Saran dari kami tim penulis adalah sebaiknya bagi penderita kuncinya adalah dengan mengonsumsi makanan
yang berserat.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Hadi S,.2001.Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II,
Edisi ke-3, Gaya baru, Jakarta.
askep konstipasi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
kami telah dapat menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Konstipasi”.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kesalahan pada makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Tujuan
Bab II : Isi
A. Definisi
B. Etiologi
C. Patofisiologi
D. Manifestasi Klinis
E. Komplikasi
F. Penatalaksanaan
G. Asuhan Keperawatan
Bab III : Penutup
A. Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
ISI
A. Definisi
Konstipasi merupakan defekasi tidak teratur yang abnormal dan juga pengerasan feses tak normal yang
membuat pasasenya sulit dan kadang menimbulkan nyeri.
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang dari 3 kali per
minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit
saat buang air besar (NIDDK, 2000).
Konstipasi adalah suatu keluhan, bukan penyakit (Holson, 2002;Azer, 2001). Pada umumnya konstipasi
sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara
individu (Azer,2001). Penggunaan istilah konstipasi secara keliru dan belum adanya definisi yang
universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini (Hamdy, 1984). Sedangkan batasan dari konstipasi klinik
yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah feses pada kolon, rektum atau keduanya yang
tampak pada foto polos perut (Harari, 1999).
Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan frekuensi buang air besar, kesulitan
dalam mengeluarkan feses, atau perasaan tidak tuntas ketika buang air besar. Studi epidemiologik
menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan dengan usia terutama berdasarkan keluhan penderita
dan bukan karena konstipasi klinik. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar
setiap hari. Sering ada perbedaan pandangan antara dokter dan penderita tentang arti konstipasi
(cheskin dkk, 1990).
B. Etiologi
• Obat-obatan tertentu (tranquilizer, antikolinergis, antihipersensitif, opioid, antasida dengan aluminium)
• Gangguan rektal/anal (hemoroid, fisura)
• Obstruksi (kanker usus)
• Kondisi metabolis, neurologis, dan neuromuskuler
• Kondisi endokrin
• Keracunan timah
• Gangguan jaringan pembuluh
Faktor penyebab lainnya mencakup kelemahan, imobilitas, kecacatan, keletihan, dan ketidakmampuan
untuk meningkatkan tekanan intra-abdomen untuk mempermudah pasase feses, seperti yang terjadi
pada emfisema.
C. Patofisiologi
Patofisiologi konstipasi masih belum dipahami. Konstipasi diyakini, berhubungan dengan pengaruh dari
sepertiga fungsi utama kolon : (1) transpor mukosa, (2) aktifitas mioelektrik, atau (3) proses defekasi.
Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja :
rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter external dan
otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen. Gangguan salah satu dari empat
proses ini dapat menimbulkan konstipasi.
Apabila dorongan untuk defekasi diabaikan, membran mukosa rektal dan muskulatur menjadi tidak peka
terhadap adanya massa fekal, dan akibatnya rangsangan yang lebih kuat diperlukan untuk menghasilkan
dorongan peristaktik tertentu agar terjadi defekasi. Efek awal retensi fekal ini adalah untuk menimbulkan
kepekaan kolon, dimana pada tahap ini sering mengalami spasme, khususnya setelah makan, sehingga
menimbulkan nyeri kolik midabdominal atau abdomen bawah. Setelah proses ini berlangsung sampai
beberapa tahun, kolon kehilangan tonus dan menjadi sangat tidak responsif terhadap rangsangan
normal, akhirnya terjadi konstipasi. Atoni usus juga terjadi pada proses penuaan, dan hal ini dapat
diakibatkan oleh penggunaan laksatif yang berlebihan.
E. Komplikasi
• Hipertensi arterial
• Imfaksi fekal
• Hemoroid dan fisura anal
• Megakolon
F. Penatalaksanaan
a. Pengobatan non-farmakologis
1. Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada
penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara
teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit
setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini
dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak
menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
2. Diet : peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut. Data
epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian
konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal.
Serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung
manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi
untuk asupan cairan.
3. Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi jalan kaki
atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan
sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni
pada otot perut
Intervensi
Mandiri
• Tentukan pola defekasi bagi klien dan latih klien untuk menjalankannya
• Atur waktu yang tepat untuk defekasi klien seperti sesudah makan
• Berikan cakupan nutrisi berserat sesuai dengan indikasi
• Berikan cairan jika tidak kontraindikasi 2-3 liter per hari
Kolaborasi
• Pemberian laksatif atau enema sesuai indikasi
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
Tujuan : menunjukkan status gizi baik
Kriteria Hasil :
• Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
• Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
• Nilai laboratorium dalam batas normal
• Melaporkan keadekuatan tingkat energy
Intervensi
Mandiri
• Buat perencanaan makan dengan pasien untuk dimasukkan ke dalam jadwal makan.
• Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien dari rumah.
• Tawarkan makanan porsi besar disiang hari ketika nafsu makan tinggi
• Pastikan diet memenuhi kebutuhan tubuh sesuai indikasi.
• Pastikan pola diet yang pasien yang disukai atau tidak disukai.
• Pantau masukan dan pengeluaran dan berat badan secara periodik.
• Kaji turgor kulit pasien
Kolaborasi
• Pantau nilai laboratorium, seperti Hb, albumin, dan kadar glukosa darah
• Ajarkan metode untuk perencanaan makan
3. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
Tujuan : menunjukkan nyeri telah berkurang
Kriteria Hasil :
• Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan
• Mempertahankan tingkat nyeri pada skala kecil
• Melaporkan kesehatan fisik dan psikologisi
• Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri
• Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan non-analgesik secara tepat.
Intervensi
Mandiri
• Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas dari nyeri dengan melakukan penggalihan melalui
televisi atau radio
• Perhatikan bahwa lansia mengalami peningkatan sensitifitas terhadap efek analgesik opiate
• Perhatikan kemungkinan interaksi obat – obat dan obat penyakit pada lansia
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang dari 3 kali per
minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit
saat buang air besar. Konstipasi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas,
kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.
Manifestasi klinis yang sering muncul adalah distensi abdomen, borborigimus, Rasa nyeri dan tekanan,
penurunan nafsu makan, sakit kepala, kelelahan, tidak dapat makan, sensasi pengosongan tidak
lengkap, mengejan saat defekasi, eliminasi volume feses sedikit, keras, dan kering. Komplikasi yang bisa
terjadi jika konstipasi tidak diatasi adalah hipertensi arterial, imfaksi fekal, hemoroid dan fisura anal,
megakolon
Penatalaksanaan konstipasi pada lansia dengan tatalaksana non farmakologik : cairan, serat, bowel
training, latihan jasmani, evaluasi panggunaan obat. Tatalaksana farmakologik : pencahar pembentuk
tinja, pelembut tinja, pencahar stimulant, pencahar hiperosmolar dan enema.
DAFTAR PUSTAKA
Ketika mengevaluasi pasien dengan konstipasi harus dipahami dengan baik gejalanya.
Penting untuk memperjelas apakah pasien mengeluhkan frekuensi BAB. Riwayat
mengejan berlebihan berusaha “menarik” tinja, perasaan penuh di dubur merupakan
gejala-gejala dari disfungsi otot dasar panggul. Kronik atau tidaknya gejala juga penting
untuk ditanyakan. Pasein juga mesti menjelaskan perilaku BABnya, waktu dan lama
yang dibutuhkan. Riwayat diet (khususnya serat), konsumsi serat dan depresi
(gangguan emosional) juga perlu ditanyakan.
Pembagian Konstipasi
Jenis konstipasi tersering. Tinja
melewati usus dengan kecepetan
yang normal. Kesulitannya adalah
saat mengeluarkan dan tinja yang
keras. Pasien meraksana kembung
dan nyeri atau rasa tidak nyaman di
Konstipasi Konstipasi normal transit perut juga bisa terjadi stress
primer (konstipasi fungsional) pasikososisal.
Terapi Konstipasi
- Latihan BABHendaknya BAB pada waktu yang
tepat sama setiap harinya. Waktu yang optimal
untuk BAB adalah di pagi hari setelah berjlaan dan
sarapan sehingga saat aktivitas kolon sangat
tinggi. Pasien juga disaranakan untuk tidak
mengedan berlebihan.
- Laksative osmotik
- Laksative Stimulan
- Agen Prokinetik
- Diare
- Inkontinensi
Operasi
Definisi umum konstipasi adalah defekasi yang tidak lebih sering dari tiga
hari sekali. Akan tetapi, beberapa orang percaya bahwa defekasi setiap hari adalah
normal dan penting untuk mempertahankan kesehatan dan bagi mereka, dan pola
defekasi yang lain menunjukkan konstipasi. Penyebab konstipasi adalah kurang serat
dalam diet dan kurangnya asupan cairan.
Penyebab penyakit konstipasi lainnya adalah :
Cedera saraf spinalis yang mempengaruhi sistem saraf otonom
Kondisi dinding usus yang tidak memiliki saraf
Faktor psikologis efek inhibisi pada intervasi otonom.
Tumor, penyakit divertikel, hemoroid, abnormalitas kongenital.
Kadar progesteron yang menyebabkan penurunan motilitas pada saluran cerna
Diabetes melitus, hipotiroidisme
Konstipasi cenderung menetap dengan sendirinya, apapun penyebabnya. Tinja yang
besar dan keras di dalam rektum sulit dan bahkan sakit jika dikeluarkan, jadi lebih
sering terjadi retensu dan kemudian terbentuklah suatu lingkaran setan. Distensi rektu
dan kolon mengurangi sensitivitas refleks defekasi dan efektifitas peristaltik. Akhirnya
cairan dari kolon proksimal dapat menapis disekitar tinja yang keras dan keluar dari
rektum tanpa terasa oleh anak.
Meski merupakan gejala umum dalam kehamilan, konstipasi yang dibiarkan beralut-
larut, bisa menjadi semakin parah, dan memicu timbulnya wasir atau ambeien. Namun
demikian, untuk mengatasi kontsipasi, ibu hamil tidak disarankan untuk makan
sembarangan obat-obat pencahar atau pelancar BAB.
Penyakit Konstipasi
Posted by Konstipasi
Konstipasi adalah masalah yang sering terjadi dan umum pada saluran
pencernaan. Dimana anda mengalami kesulitan dalam buang air besar atau jarang
buang air besar. Tinja anda mungkin keras sehingga susah buang air besar untuk
dikeluarkan sehingga membuat anda harus berusaha payah untuk mengeluarkannya.
Atau anda mungkin merasa ingin buang air besar lagi padahal sebelumnya anda sudah
melakukannya.
Tidak semua orang mempunyai kebiasaan buang air besar satu hari sekali. Tidak benar
satu pernyataan yang menyatakan bahwa anda seharusnya buang air besar setiap
harinya untuk dianggap kebiasaan atau pola buang auir besar anda teratur. Jarak atau
rentang waktu yang normal dalam buang air besar adalah antara 3 kali sehari sampai 3
kali seminggu. Anda mungkin mengalami penyakit konstipasi jika anda mulai sering
mengalami buang air besar lebih sedikit daripada yang biasanya terjadi.
Pencegahan Sembelit
Posted by Konstipasi
Gejala sembelit terlihat dari feses yang keras dan nyeri saat buang air besar, kadang-
kadang konstipasi disertai dengan keluarnya darah. Untuk mengatasinya,
pencegahan sembelit diperlukan pola makan berserat tinggi dan pola hidup
sehat.
Pengobatan yang aman dan tanpa efek samping dapat digunakan jika diperlukan. Obat
sembelit akan berfungsi membantu melancarkan buang air besar, dan sangat
membantu pasien penderita wasir dan hernia, dimana penderita tidak boleh mengejan.
Beberapa faktor penyebab sembelit adalah :
kurang minum
kurang makanan berserat
tidak membiasakan diri buang air besar setiap hari
usia
kurangnya aktivitas fisik
kehamilan
dalam kondisi sakit
stres.
Untuk meghindari sembelit, jagalah kebersihan usus, terutama usus besar yang
merupakan bagian akhir dari saluran pencernaan, yang berfungsi sebagai tempat untuk
mengumpulkan sisa makanan, mengabsorbsi air dan beberapa mineral, sekaligus
tempat pertumbuhan bakteri. Dengan menjaga usus selalu dalam keadaan bersih,
secara tidak langsung telah menghindari kasus sembelit.Usus sehat, hidup pun menjadi
sehat.
Penyebab Sembelit
Posted by Konstipasi
Kurangnya aktivitas fisik dan terlalu sedikitnya serat dalam makan yang di
konsumsi merupakan penyebab yang paling sering ditemukan pada
sembelit yang menahun. Peran serat dalam mengatasi sembelit ialah untuk manjaga
kadar air dalam saluran pencernaan, sehingga buang air besar (BAB) manjadi lancar.
Penyebab lainnya adalah penyalahgunaan pencahar, gangguan hormonal, kehamilan,
antasid, sumplemen besi, akitivitas kelenjar tiroid yang kurang (hipotiroid), kadar
kalsium darah yang tinggi (hiperkalsemia), penyakit parkinson, penurunan kontraksi
usus besar(koloniaktif), dan rasa tidak nyaman pada saat buang air besar (defekasi).
Sedangkan faktor psikologis, berperan pada munculnya sembelit akut maupun sembelit
yang menahun. Penyakit sembelit selain mengindikasikan adanya kekacauan pada
sistem pencernaan, juga merupakan gejala awal adanya penyakit.
Jika sembelit berlangsung berhari-hari disertai dengan rasa mual, kembung, pening,
selera makan berkurang, tidur kurang nyenyak, bahkan terjadi pendarahan anus, wasir
dan lain-lain, maka akan berdampak pada kelangsungan aktivitas sehari-hari.
Untuk membantu meringankan penderita sembelit, banyak minum air putih dan makan
makanan yang mengandung serat. Jika penderita dibawa ke dookter maka dokter akan
memberikan obat mineral oil atau decusate sodium. Obat-obat ini berfungsi untuk
melunakkan kotoran, sehingga pembuangan feses melalui anus lebih mudah.
BAB I
PENDAHULUAN
Proses penuaan adalah suatu proses fisiologi umum yang sampai saat ini masih sulit untuk
dipahami. Ditandai dengan adanya proses degenerasi sel dan sistem yang dibentuknya secara
keseluruhan, perlahan tapi pasti. Proses menua berbeda pada setiap individu. Perbedaan tersebut
dipengaruhi oleh faktor keturunan, nutrisi, gaya hidup dan faktor lingkungan.
Setiap tahun jumlah lansia di seluruh dunia semakin bertambah karena semakin meningkatnya
usia harapan hidup. Di negara – negara yang sudah maju, jumlah lansia rerlatif lebih besar dibanding
dengan negara - negara berkembang, karena tingkat perekonomian yang lebih baik dan fasilitas
pelayanan kesehatan sudah memadai. Hal ini juga akan menimbulkan masalah pelayanan kesehatan
terutama pada kaum lansia.
Usia harapan hidup di Indonesia saat ini adalah 65 tahun. Sejalan dengan bertambahnya umur
mereka, mereka sudah tidak tidak produktif lagi, kemampuan fisik maupun mental mulai menurun, tidak
mampu lagi melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat, memasuki masa pensiun, ditinggal
pasangan hidup, stress menghadapi kematian, munculnya berbagai macam penyakit, dan lain - lain.
Karena sel-sel mengalami degeneratif maka fungsi dari sistem organ juga mengalami penurunan. Kulit
menjadi keriput, rambut putih dan menipis, gigi berlubang dan tanggal, fungsi penglihatan, pendengaran,
pengecapan atau pencernaan mulai menurun, konstipasi, osteoporosis, gangguan sistem kardiovaskuler
dan lain-lain.
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna yang terbanyak pada usia lanjut. Trejadi
peningkatan keluhan ini dengan bertambahnya usia, 30-40 % orang berusia di atas 65 tahun mengeluh
konstipasi. Di Inggris, 30 % penduduk berusia di atas 60 tahun merupakan konsumen yang teratur
menggunakan obat pencahar. Suatu penelitian yang melibatkan 3.000 orang berusia di atas 65 tahun
menunjukkan sekitar 34 % perempuan dan 26% laki-laki mengeluh mengalami konstipasi.
BAB II
ISI
2. Retraksi dari struktur gusi, misalnya Kesulitan dalam mempertahankan gigi palsu yang pas.
5. Penurunan motilitas lambung, misalnya Penurunan absorbsi obat- obatan, zat besi, kalsium, vit. B12.
konstipasi sering terjadi.
1. Ukuran hati dan pancreas mengecil, penurunan kapasitas menyimpan, kemampuan mensintesis protein
dan enzim-enzim pencernaan, misalnya sekresi insulin berkurang.
kebutuhan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk malakukan kegiatan tubuh dalam
keadaan istirahat, misalnya : untuk jantung, usus, pernafasan dan ginjal.
Berdasarkan kegunaannya bagi tubuh, zat gizi dibagi ke dalam tiga kelompok
besar, yaitu :
Kelompok ini meliputi makanan – makanan yang banyak mengandung protein, baik protein hewani
maupun nabati, seperti daging, ikan, susu, telur, kacangkacangan dan olahannya.
Kelompok ini meliputi bahan-bahan yang banyak mengandung vitamin dan mineral, seperti buah-
buahan dan sayuran.
LANSIA
2. Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan penurunan terhadap cita rasa manis, asin, asam,
dan pahit.
5. Gerakan usus atau gerak peristaltic lemah dan biasanya menimbulkan konstipasi.
1. Gizi berlebih
Gizi berlebih pada lansia banyak terjadi di negara-negara barat dan kota-kota besar. Kebiasaan
makan banyak pada waktu muda menyebabkan berat badan berlebih, apalai pada lansia
penggunaan kalori berkurang karena berkurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan makan itu sulit untuk
diubah walaupun disadari untuk mengurangi makan. Kegemukan merupakan salah satu pencetus
berbagai penyakit, misalnya : penyakit jantung, kencing manis, dan darah tinggi.
2. Gizi kurang
Gizi kurang sering disebabkan oleh masalah-masalah social ekonomi dan juga karena gangguan
penyakit. Bila konsumsi kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan menyebabkan berat badan
kurang dari normal. Apabila hal ini disertai dengan kekurangan protein menyebabkan kerusakan-
kerusakan sel yang tidak dapat diperbaiki, akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit
menurun, kemungkinan akan mudah terkena infeksi.
3. Kekurangan vitamin
Bila konsumsi buah dan sayuran dalam makanan kurang dan ditambah dengan kekurangan protein
dalam makanan akibatnya nafsu makan berkurang, penglihatan menurun, kulit kering, penampilan
menjadi lesu dan tidak bersemangat.
Catatan untuk wanita dengan TB kurang dari 150 cm dan pria dengan TBkurang dari 160 cm,
digunakan rumus : Berat badan ideal = TB dalam cm – 100
Jika BB lebih dari ideal artinya gizi berlebih, jika BB kurang dari ideal artinya gizi kurang
Waspadai lansia dengan riwayat : Pendapatan yang kurang, kurang bersosialisasi, hidup sendirian,
kehilangan pasangan hidup atau teman, kesulitan mengunyah, pemasangan gigi palsu yang kurang
tepat, sulit untuk menyiapkan makanan, sering mangkonsumsi obat-obatan yang mangganggu
nafsu makan, nafsu makan berkurang, makanan yang ditawarkan tidak mengundang selera. Karena
hal
ini dapat menurunkan asupan protein bagi lansia, akibatnya lansia menjadi lebih mudah sakit dan
tidak bersemangat.
3. Kekurangan vitamin D
Biasanya terjadi pada lansia yang kurang mendapatkan paparan sinar matahari, jarang atau tidak
pernah minum susu, dan kurang mengkonsumsi vitamin D yang banyak terkandung pada ikan, hati,
susu dan produk olahannya.
1. Makanan harus mengandung zat gizi dari makanan yang beraneka ragam, yang terdiri dari : zat
tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.
hendaknya diatur merata dalam satu hari sehingga dapat makan lebih sering
3. Banyak minum dan kurangi garam, dengan banyak minum dapat memperlancar pengeluaran sisa
makanan, dan menghindari makanan yang terlalu asin akan memperingan kerja ginjal serta
mencegah kemungkinan terjadinya darah tinggi.
4. Batasi makanan yang manis-manis atau gula, minyak dan makanan yang berlemak seperti santan,
mentega dll.
5. Bagi pasien lansia yang prose penuaannya sudah lebih lanjut perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
Bila kesulitan mengunyah karena gigi rusak atau gigi palsu kurang baik, makanan harus
lunak/lembek atau dicincang
Makanan selingan atau snack, susu, buah, dan sari buah sebaiknya
diberikan
6. Batasi minum kopi atau teh, boleh diberikan tetapi harus diencerkan sebab berguna pula untuk
merangsang gerakan usus dan menambah nafsu makan.
7. Makanan mengandung zat besi seperti : kacang-kacangan, hati, telur, daging rendah lemak,
bayam, dan sayuran hijau.
8. Lebih dianjurkan untuk mengolah makanan dengan cara dikukus, direbus, atau dipanggang
kurangi makanan yang digoreng.
1. Sarankan untuk mengkonsumsi makanan berserat tinggi setiap hari, seperti sayuran dan buah-
buahan segar, roti dan sereal.
2. Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 8 gelas cairan setiap hari untuk melembutkan feses.
3. Anjurkan untuk tidak menggunakan laksatif secara rutin , karena pasien akan menjadi tergantung
pada laksatif.
Nasi, bubur beras, nasi jagung, kentang, singkong, ubi, talas, biskuit, roti , crakers, maizena,
tepung beras, tepung terigu, tepung hunkwe, mie, bihun.
Minyak goreng, minyak ikan, margarin, kelapa, kelapa parut, santan, lemak daging.
Kacang ijo, kacang kedelai, kacang merah, kacang tanah, oncom, tahu, tempe.
Manusia perlu minum untuk mengganti cairan tubuh yang hilang setelah melakukan
aktivitas. Air sangat besar artinya bagi tubuh kita, karena air membantu menjalankan fungsi tubuh,
mencegah timbulnya berbagai penyakit disaluran kemih seperti kencing batu, batu ginjal, dll. Air
juga sebagai pelumas bagi fungsi tulang dan sendi. Manfaat lain dari minum air putih adalah
mencegah sembelit karena untuk mengolah makanan dalam usus sangat dibutuhkan air, tentu saja
tanpa air yang cukup
Air mineral atau air putih lebih baik daripada kopi, teh kental, softdrink, alkohol, es, maupun
sirup dan dianjurkan minimal kita minum air putih 1.5 sampai dengan 2 liter/hari. Minuman seperti
kopi, teh kental, softdrink, alkohol, es, maupun sirup bahkan tidak baik untuk kesehatan dan harus
dihindari terutama bagi para lansia yang mempunyai penyakit-penyakit tertentu seperti kencing
manis, darah tinggi, obesitas, dan jantung.
1. Berat badan (lemak tubuh) cenderung meningkat dengan bertambahnya usia, sedangkan sel-sel
lemak mengandung sedikit air, sehingga komposisi air dalam tubuh lansia kurang dari manusia
dewasa yang lebih muda atau anak-anak dan bayi.
2. Fungsi ginjal menurun dengan bertambahnya usia. Terjadi penurunan kemampuan untuk
memekatkan urin, mengakibatkan kehilangan air yang lebih tinggi.
3. Terdapat penurunan asam lambung, yang dapat mempengaruhi individu untuk mentoleransi
makanan-makanan tertentu. Lansia terutama rentan terhadap konstipasi karena penurunan
pergerakan usus. Masukan cairan yang terbatas, pantangan diit, dan penurunan aktivitas fisik dapat
menunjang perkembangan konstipasi. Penggunaan laksatif yang berlebihan atau tidak tepat dapat
mengarah pada masalah diare.
4. Lansia mempunyai pusat haus yang kurang sensitif dan mungkin mempunyai masalah dalam
mendapatkan cairan ( misalnya gangguan dalam berjalan ) atau mengungkapkan keinginan untuk
minum (misalnya pasien stroke).
Masalah cairan yang lebih sering dialami lansia adalah kekurangan cairan tubuh, hal ini
berhubungan dengan berbagai perubahan-perubahan yang dialam lansia, diantaranya adalah
peningkatan jumlah lemak pada lansia, penurunan fungsi ginjal untuk memekatkan urin dan
penurunan rasa haus.
2.3.1 Konstipasi
Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat
variasi yang berlainan antara individu. Biasanya konstipasi berdasarkan laporan pasien sendiri. Batasan
dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar feses memenuhi ampula
rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon, rectum, atau keduanya yang tampak
pada foto polos perut.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling seedikt 2 dari keluhan di
bawah ini yang terjadi, yaitu:
3. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB.
a. Konstipasi fungsional
Konstipasi yang disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses. Kriterianya meliputi :
Konstipasi ini menunjukkan adanya disfungsi anorectal, biasanya ditandai adanya perasaan sumbatan
pada anus. Kriteria :
1. Pemeriksaan fisik
b. Palpasi : pada permukaan perut untuk menilai kekuatan otot- otot perut, palpasi lebih dalam dapat
meraba masa feses di kolon, adanya tumor atau aneurisma aorta
c. Perkusi : dicari antara lain pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, asites, adanya masa feses.
d. Auskultasi : mendengarkan suara gerakan usus besar, normal/ berlebihan missal pada sumbatan usus.
Pada pemeriksaan anus memberikan petunjuk penting misalnya adakah wasir, prolaps, fisura, fistula,
dan masa tumor di daerah anus yang dapat mengganggu proses BAB. Pemeriksaan colok dubur harus
dikerjakan antara lain untuk mengetahui ukuran dan kondisi rectum serta besar dan konsistensi feses.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium, dikaitkan dengan upaya mendeteksi factor- factor resiko penyebab
konstipasi. Seperti : BSN/ 2JPP, DL, elektrolit
b. Anuskopi, dianjurkan dikerjakan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk menemukan
adakah fisura, ulkus, wasir, dan keganasan.
c. Foto polos perut harus dikerjakan pada pasien konstipasi terutama yang terjadinya akut. Dapat
mendeteksi adakah impaksi feses yang dapat menyebabkan sumbatan pada kolon.
d. Sinedefecografi, adalah pemeriksaan radiologis daerah anorektal untuk menilai evakuasi feses secara
tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rectal.
e. Uji manametri, dilakukan untuk menguji tekanan pada rectum dan saluran anus saat istirahat dan pada
berbagai rangsang untuk menlai fungsi anorektal.
f. Elektromiografi, dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi saraf pudendus, adakah atrofi
saraf yang dibuktikan dengan respon sfingter yang terhambat
a. Obat- obatan
b. Kondisi neurologis
c. Gangguan metabolic
d. Kausa psikologis
C. Komplikasi :
a. Impaksi feses (feses kering dan keras) di rectum 70%, sigmoid 20%, kolon bagian proksimal 10%
c. Prolaps rectum
D. Pengobatan
b. Diet
c. Olah raga
2. Pengobatan Farmakologis
REFERENSI :
(Inkontinensia Alvi)
A. PENGERTIAN
B. ETIOLOGI
Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf, tidak sempurnanya pengosongan usus, atau
kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk defekasi. Konstipasi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan
motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.
1.Obat-obatan: golongan anti kolinergik, golongan narkoti k, golongan analgeti k,golongan diuretik, NSAID, kalsium
antagonis, preparat kalsium, preparat besi, antasida aluminium, penyalahgunaan pencahar.
4.Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB, mengabaikan dorongan BAB, konstipasi
imajiner.
5.Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, diverti kel, ileus, hernia, volvulus, iritable bowel syndrome, rektokel,
wasir, fistula/fisura ani, inersiakolon.
6.Lain-lain: defi siensi diet dalam asupan cairan dan serat, imobilitas / kurang olahraga, bepergian jauh, paska
tindakan bedah parut
C. MANIFESTASI KLINIS
4 . P e r a s a a n ti d a k t u n t a s s a a t B A B
Gejala dan tanda akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain, karena pola makan, hormon, gaya
hidup dan bentuk usus besar setiap orang berbeda-beda, tetapi biasanya gejala dan tanda yang umum ditemukan pada
sebagian besar atau kadang-kadang beberapa penderitanya adalah sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan tinja (jika tinja sudah tertumpuk sekitar 1 minggu atau
lebih, perut penderita dapat terlihat seperti sedang hamil).
2. Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya
(bahkan dapat berbentuk bulat-bulat kecil bila sudah parah).
3. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang harus mengejan ataupun menekan-
nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan tinja.
4. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
5. Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat bergesekan dengan tinja yang panas dan keras.
6. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada biasanya (jika kram perutnya parah, bahkan penderita
akan kesulitan atau sama sekali tidak bisa buang angin).
7. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang air besar (biasanya buang air besar menjadi 3
hari sekali atau lebih).
3. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB;
International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan batasan konstipasi. Berdasarkan rekomendasinya,
konstipasi dikategorikan dalam dua golongan :
1. Konstipasi fungsional, Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan penundaan pada
muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.
2. Konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektisigmoid. Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan
yang lambat dari feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang
terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.
E. PATOFISIOLOGI
Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang menyertakan kerja otot-otot polosdan serat lintang, persarafan,
sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadranyang baik dan kemampuan fisik untuk mencari tempat BAB. Defekasi
dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses kerektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan
meregangkan ampula rektum yang diikuti relaksasi sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses
yang spontan, terjadi refleks kontraksi refleks anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dilayani oleh syaraf pudendus.
Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, dan rektum
mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi
sfingter dan otot elevator ani. Baik persyarafan simpatis ataupun Parasimpatis terlibat dalam proses ini. Patogenesis konstipasi
bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak
terpengaruh dengan bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan perjalanan saluran
cerna.
Pengurangan respon motorik sigmoid disebabkan karena berkurangnya inervasi instinsik akibat degenerasi pleksus
myenterikus, sedangkan pengurangan rangsang saraf pada otot polos sirkuler menyebabkan memanjangnya waktu gerakan
usus. Pada lansia mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiat
endogen di usus. Ini dibuktikan dengan efek konstipasif sediaan opiat karena dapat menyebabkan relaksasi tonus otot kolon,
motilitas berkurang dan menghambat refleks gaster-kolon. Terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan
otot-otot polos berkaitan dengan usia khususnya pada wanita. Pada penderita konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar
untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras, menyebabkan upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini berakibat
penekanan pada saraf pudendus dengan kelemahan lebih lanjut.
F. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan yang jelas. Namun demikian
pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi mempengaruhi fungsi
usus besar. Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang
dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan. Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan
atau tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa
tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan,
pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja. Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk
mendengarkan suara gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan dubur untuk
mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan
tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar. Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur,
adanya timbunan tinja, atau adanya darah.Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko
konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur. Anoskopi dianjurkan
untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada
penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika
ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu
dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi hanya sekadar mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat
menimbulkan komplikasi serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70 persen), usus besar (20 persen), dan
pangkal usus besar (10 persen). Hal ini menyebabkan kesakitan dan meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan
berpotensi menimbulkan akibat yang fatal. Pada konstipasi kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5 derajat celcius,
delirium (kebingungan dan penurunan kesadaran), perut tegang, bunyi usus melemah, penyimpangan irama jantung,
pernapasan cepat karena peregangan sekat rongga badan. Pemadatan dan pengerasan tinja berat di muara usus besar bisa
menekan kandung kemih menyebabkan retensi urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar dubur, sehingga
keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan berlebihan menyebabkan turunnya poros usus.
G. PENATALAKSANAAN
a). Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu
diingatkan untuk minum sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi. Asupan
cairandapat dicapai bila tersedia cairan / minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal dari
sup, sirup dan es. Asupan cairan perlu lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi jantungnya stabil.
b). Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit(transit time). Pada orang lanjut usia
disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak
15-20 per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah, sayur, kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi
gerakan usus dengan meningkatkan masa tinjadan mengurangi waktu transit usus. Serat juga menyediakan substrat untuk
bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam lemak rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat
tidaklah efektif tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan impaksi tinja (skibala) atau dilatasi
kolon. Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan gejala kembung, banyak gas dan buang besar tidak teratur terutama pada
2-3 minggu pertama, yang sering kalimenimbulkan ketidak patuhan obat.
c). Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk buang air besar. Hal tersebut akan menyebabkan
rektum lebih mengembang karena adanya penumpukan feses. Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan langkah
awal yang lebih baik untuk dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga diterapkan pada pasien usia lanjut yang mengalami
gangguan kognitif. Pada pasien yang sudah memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur, dianjurkan
meneruskan kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien yang tidak memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu
yang baik untuk buang air besar adalah setelah sarapan dan makan malam.
d). Latihan jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi bermanfat bagi orang usia lanjut yang masih
mampu berjalan. Jalan kaki satu setengah jam setelah makan cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari
tampat tidur, dapat didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur.
Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak, meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali
dengan interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah
baring dapat dibantu dengan menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur, jangan diberi bed pan. Mengurut perut
dengan hati-hati mungkin dapat pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu dilakukan untuk mengeliminasi, mengurangi dosis, atau
mengganti obat yang diperkirakan menimbulkan konstipasi. Obat anti depresan, obat Parkinson merupakan obat yang potensial
menimbulkan konstipasi. Obat yang mengandung zat besi juga cenderung menimbulkan konstipasi, demikian obat anti
hipertensi (antagonis kalsium). Anti kolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan yang sering pula menyebabkan
konstipasi.
2. Tatalaksana farmakologik
a). Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative) Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran.
Sediaan yang ada merupakan bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium dan isophagula husk, dan senyawa sintetik
seperti metal selulosa. Bulking agent sistetik dan serat natural sama-sama efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume
tinja. Obat ini tidak menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia lanjut, tidak seperti bran yang tidak
diproses. Pencahar bulk terbukti menurunkan konstipasi pada orangusia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid.
Sama halnya dengan serat, obat ini juga harus diimbangi dengan asupan cairan.
b) Pelembut tinja
Docusate sering kali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja.
Docusate sodium bertindak sebagai surfaktan, menurunkan tegangan permukaan feses untuk membiarakan air masuk
dan memperlunak feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong konstipasi yang kronik, penggunaannya sebaiknya
dibatasi pada situasi dimana mangedan harus dicegah.
c) Pencahar
Stimulan senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna meningkatkan peristaltik di kolon distal
dan menstimulasi peristaltik diikuti dengan evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari selama 6 bulan
oleh pasien berusia lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan protein atauelektrolit. Senna umumnya menginduksi
evakuasi tinja 8-12 jam setelah pemberian.Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama yakni sampai
dengan10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang teratur. Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko
inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus ditritasi berdasarkan respon individu. Terapi dengan kodil supositoria
memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong untuk mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya
diberikan segera setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatkan efek refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap
hari dapat menyebabkan sensasi terbakar pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan sekitar 3 kali semingg.
PENANGANAN
Penanganan sembelit tergantung pada penyebabnya. Bila penyebabnya adalah gaya hidup, penanganan terbaik
adalah mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Dokter mungkin juga meresepkan obat-obatan berikut untuk meringankan
sembelit:
Agen penggumpal (bulking agents), yang tidak harus berupa obat, untuk melunakkan dan membentuk feses.
Agen osmotik yang meningkatkan jumlah air dalam tinja dengan menarik air dari lapisan usus.
Obat deterjen yang memecah lapisan permukaan tinja, menyebabkan air menembus dan melunakkannya.
Sembelit yang disebabkan oleh penyakit, gangguan hormonal dan penyumbatan, penanganan harus dilakukan dengan
menghilangkan penyebab yang mendasarinya. Jika sembelit disebabkan oleh konsumsi obat-obatan tertentu, penggantian
atau modifikasi dosis obat mungkin diperlukan.
“Mengapa mengalami konstipasi?” Pertanyaan ini mungkin hinggap di pikiran KITA. Jawabannya mungkin ada di daftar berikut
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan
http://www.proses_pencernaan_makanan.html
http://www.siklus_alami_tubuh_dalam_proses_pencernaan_makanan.html