Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FARMAKOLOGI

KONSTIPASI

Disusun Oleh :

Mellitri prahara haxari


(P05150218021)

PRODI DIII FARMASI


POLEKKES KEMENKES BENGKULU
TA 2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konstipasi adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan kesulitan buang air
besar sebagai akibat dari feses yang mengeras.Konstipasi dapat diartikan terhambatnya
defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Menurut North American Society for
Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition (NAPSGAN) 2006, menyebutkan
konstipasi adalah kelambatan atau kesulitan dalam defekasi yang terjadi dalam 2 minggu
atau lebih dan cukup membuat pasien menderita. Petunjuk paktis pada World
Gastroenterology Organization (WGO) menjelaskan sebagian besar pasien menyebutkan
konstipasi sebagai defekasi keras (52%), tinja seperti pil atau butir obat (44%),
ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang (33%).
Konstipasi biasa terjadi pada anak 40% diantaranya diawali sejak anakberusia 1 -
4 tahun, pada anak usia 7 - 8 tahun angka kejadiannya menurun hingga sebesar 1,5 % dan
usia 10 - 12 tahun menjadi sekitar 0,8 % saja. Frekuensi buang air besar pada anak
dialami setiap hari kedua dan ketiga, tanpa kesulitan. Anak-anak yang sering makan
makanan cepat saji seperti burger, kentang goreng, milkshake, permen, kue, minuman
ringan manis biasanya lebih sering konstipasi.. Pada bayi, konstipasi dapat terjadi akibat
transisi dari ASI ke susu formula bayi, atau dari makanan bayi ke makanan padat (Kamm,
2003).
Van den Berg MM, dalam Yusri Dianne (2012), menyebutkan prevalensi
konstipasi 0,7% sampai 26,9%. Pada studi retrospektif oleh Loening-Baucke tahun 2005
didapatkan prevalensi konstipasi pada anak sampai usia 1 tahun mencapai 2,9% 2 dan
meningkat pada tahun kedua, yaitu sekitar 10,1%. Sejumlah 97% kasus konstipasi
anakdisebabkan oleh konstipasi fungsional dengankejadian yang sama antara laki-laki
dan perempuan. Berdasarkan International Database US Census Bureaupada tahun 2003
prevalensi konstipasi di Indonesia sebesar 3.857.327 jiwa. Angka kejadian konstipasi di
dunia maupun di indonesia cukup tinggi, sekitar 12% dari populasi penduduk di seluruh
dunia mengalami konstipasi. Angka kejadian konstipasi di eropa bervariasi antara 3%-
20%.(Wiki, 2007).
Penyebab konstipasi pada anak dapat dibagi menjadi organik dan fungsional.
Hampir 95% konstipasi pada anak disebabkan kelainan fungsional dan hanya 5% oleh
kelainan organic. Konstipasi fungsional pada umumnya terkait dengan kurangnya asupan
serat, kurangnya minum, kurang aktivitas isik, stress dan perubahan aktivitas rutin,
ketersediaan toilet dan masalah psikososial. Sebagian besar (90%-95%) konstipasi pada
anak merupakan konstipasi fungsional, hanya 5%-10% yang mempunyai penyebab
organik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu
keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu. Penggunaan istilah konstipasi
secara keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya hal
ini. Biasanya konstipasi berdasarkan laporan pasien sendiri atau konstipasi anamnestik
dipakai sebagai data pada penelitian-penelitian. Batasan dari konstipasi klinis yang
sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar feses memenuhi ampul rektum pada
colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon, rektum, atau keduanya yang tampak
pada foto polos perut.

Studi epidemiologis menunjukkan kenaikan pesat dari konstipasi terkait dengan


usia terutama berdasarkan keluhan pasien dan bukan karena konstipasi klinis. Banyak
orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar (BAB) tiap hari sehingga
sering terdapat perbedaan pandang antara dokter dan pasien tentang arti konstipasi itu
sendiri.

Frekuensi BAB bervariasi dari 3 kali per hari sampai 3 kali per minggu. Secara
umum, bila 3 hari belum BAB, massa feses akan mengeras dan ada kesulitan samapi rasa
sakit saat BAB. Konstipasi sering diartikan sebagai. kurangnya frekuensi BAB, biasanya
kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, serta kadangkal
disertai kesulitan sampai rasa sakit saat BAB. Orang usia lanjut seringkali terpancang
dengan kebiasaan BABnya. Hal ini mungkin merupakan kelanjutan dari pola hidup
semasa kanak-kanak dan saat masih muda, dimana setiap usaha dikerahkan untuk BAB
teratur tiap hari, kalau perlu dengan menggunakan pencahar untuk mendapatkan perasaan
sudah bersih. Ada anggapan umum yang salah bahwa kotoran yang tertimbun dalam usus
besar akan diserap lagi, berbahaya untuk kesehatan, dan dapat memperpendek usia. Ada
pula yang mengkhawatirkan keracunan dari fesesnya sendiri bila dalam jangka waktu
tertentu tidak dikeluarkan.

Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari
keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
a. konsistensi feses yang keras;
b. mengejan dengan keras saat BAB;
c. rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB;
d. frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.

International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan batasan


konstipasi. Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam dua golongan :
1) konstipasi fungsional, 2) konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara
rektisigmoid.

Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses,


sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi
anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.

Tabel 1. Definisi Konstipasi sesuai international workshop on constipation

No Tipe Kriteria

Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit


dalam 12 bulan :

1. mengedan keras 25% dari BAB


1. Konstipasi Fungsional
2. feses yang keras 25% dari BAB
3. rasa tidak tuntas 25% dari BAB
4. BAB kurang dari 2 kali per minggu

1. hambatan pada anus lebih dari 25% BAB


Penundaan pada muara 2. waktu untuk BAB lebih lama
2.
rektum 3. perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan
feses

Model tinja atau feses 1 (konstipasi kronis), 2 (konstipasi sedang) dan 3


(konstipasi ringan) dari Bristol Stool Chart yang menunjukkan tingkat konstipasi atau
sembelit.

B. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer,
koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai
tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena
banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal. Gangguan dari salah satu
mekanisme ini dapat berakibat konstipasi.

Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantakan feses ke
rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti
relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan,
terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang
depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan
sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan
isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan
dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun
parasimpatis terlibat dalam proses BAB.

Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa


faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada
usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang
normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. perubahan
patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi
memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.

Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang
sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk
aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda
radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya,
penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan
waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat
tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama
lambat jalannya pada kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon
sigmoid.
Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien
dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat
berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga
berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan
memanjangnya waktu gerakan usus.

Individu di atas usia 60 tahun jug aterbukti mempunyai kadar plasma beta-
endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di
usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat
menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks
gaster-kolon.

Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan


otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. pasien dengan
konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan
keras sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat
penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.

Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut.
Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami 3 perubahan
patologis pada rektum :

1. Diskesia Rektum

Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi


rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum
untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok
dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak
disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga
dapat diakibatkan karena tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB
seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus
dan rectum
2. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus
eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan
tekanan pada saluran anus saat mengejan.
3. Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada
kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana
konstipasi merupakan hal yang dominan.

C. Penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi

Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi,


merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara simptomatik. Sedangkan bila
mungkin, pengobatan harus ditujukan pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat
pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus
dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi :

1)  Pengobatan non-farmakologis

a.   Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang
disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita
dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan
gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan,
sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan
kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan
rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
b.  Diet : peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia
lanjut. data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat
mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal
lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan
berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa
serat ini, diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada
kontraindikasi untuk asupan cairan.
c.   Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi
konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan
kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-
otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut

2)   Pengobatan farmakologis

Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan
biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :

a.   memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose,


Psilium.
b.  melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak
kastor, golongan dochusate.
c.   golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan,
misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
d.     merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini
yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai
untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat
dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi
dengan cara-cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan.
Misalnya kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini
dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak
diketahui penyebabnya serta tidak ada respons dengan  pengobatan yang diberikan.
Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus,
tidak dilakukan tindakan pembedahan.

Bisacodyl

Merek dagang Bisacodyl: Bicolax, Bisacodyl, Custodiol, Dulcolax, Laxacod,


Laxana, Laxamex, Prolaxan, Stolax
Bentuk obat: tablet

 Pembersihan isi usus (bowel evacuation) sebelum tindakan medis


Dewasa: dosis awal 10-20 mg, yang dikonsumsi malam hari sebelum prosedur. Dosis
lanjutan pemberian supositoria 10 mg pada esok pagi.

 Konstipasi
Anak usia >10 tahun hingga dewasa: 5-10 mg, yang dikonsumsi sebelum tidur
malam. Dosis maksimal 20 mg, jika diperlukan.

Bentuk obat: supositoria

 Konstipasi
Anak usia >10 tahun hingga dewasa: 10 mg yang diberikan pada pagi hari.

Senna

Merek dagang Senna atau daun jati cina: Daun Senna Semesta, Herba Senna Aloe,
GNC Herbal Plus Senna Leaf Extract, Senna

Bentuk obat: kapsul

 Sembelit
Dewasa: 15-30 mg, 1-2 kali per hari.
Remaja usia 12 tahun ke atas: 15-30 mg dikonsumsi sebelum tidur.

 Pembersihan isi usus (bowel evacuation) sebelum tindakan medis


Dewasa: 105-157,5 mg yang diberikan sehari sebelum tindakan dilakukan.

Sodium Picosulfate

Merek dagang: Laxoberon, Pisucon

Bentuk obat: obat tetes


 Konstipasi
Anak usia > 10 tahun hingga dewasa: 5-10 mg, sebagai dosis tunggal, yang diberikan
sebelum tidur malam.

 Pembersihan isi usus (bowel evacuation) sebelum tindakan medis


Dewasa: 10 mg, yang diberikan bersama magnesium sitrat, diberikan pada pagi dan
siang hari sebelum tindakan medis.
Anak usia >10 tahun: 5-10 mg, diberikan sebelum tidur malam.

D. Mekanisme kerja obat


1. Obat Pencahar Tipe Bulk-forming (Serat)

Laksatif tipe ini memiliki cara kerja yang sama dengan serat makanan alami, yaitu
dengan meningkatkan serapan cairan pada feses, sehingga feses menjadi lebih lembek,
mengembang, dan mudah dikeluarkan.Beberapa contoh obat laksatif ini antara lain
Benefiber, Mecamucil, Fibercon, Fiber-Lax dan Equilactin.

2. Obat Pencahar Tipe Lubrikan

Sesuai dengan namanya, pencahar ini berfungsi untuk melumasi atau melicinkan.
Kandungan minyak dalam obat ini dapat melapisi dinding usus sehingga mencegah
kotoran mengeras dan memperlancar pergerakannya. Meskipun laksatif jenis ini sangat
efektif mengatasi sembelit, namun penggunaannya sebaiknya hanya untuk jangka
pendek.

3. Obat Pencahar Tipe Pelunak Feses (Stool Softener)

Stool softener dikenal juga sebagai emollient laxative. Cara kerjanya dengan
membasahi dan melembutkan feses berkat kandungan bahan aktif berupa dokusat atau
surfaktan. Berbeda dengan tipe pencahar lainnya, tipe pelunak feses ini perlu waktu
lebih lama dalam menjalankan fungsinya, sekitar seminggu atau lebih.Obat ini biasanya
direkomendasikan untuk mereka yang baru menjalani operasi, wanita yang baru
melahirkan atau penderita wasir.

4. Obat Pencahar Tipe Osmotik (hiperosmolar)


Obat pencahar tipe ini bekerja dengan meningkatkan kadar air dalam usus dan jaringan
di sekitarnya. Lebih banyak air pada usus berarti membuat tinja lebih lunak dan mudah
untuk dibuang.Beberapa pencahar jenis ini seperti Miralax, Paralax, MOM (milk of
magnesia) dan Kristalose merupakan obat dengan zat aktif penghidrogenasi yang dapat
menarik cairan ke usus.Sangat penting untuk minum banyak air saat menggunakan
laksatif tipe osmotik ini, tidak hanya agar lebih efektif namun juga untuk mengurangi
kemungkinan kram perut dan munculnya gas berlebih.

5. Obat Pencahar Tipe Stimulan

Laksatif tipe ini akan merangsang saraf yang mengendalikan otot-otot yang melapisi
saluran pencernaan. Dengan begitu akan mempercepat pergerakan tinja di usus halus
dan usus besar. Obat jenis ini juga dapat meningkatkan penyerapan cairan pada tinja.
Beberapa merek yang umum digunakan diantaranya, Dulcolax, Correctol, Ex-lax dan
Senokot.

Catatan: Jangan gunakan pencahar tipe stimulan dalam jangka waktu lama. Jenis
pencahar ini bisa melemahkan kemampuan alami tubuh untuk buang air besar dan
menyebabkan ketergantungan dengan obat pencahar. Selain itu, obat ini juga dapat
menyebabkan kram perut dan diare.

6. Obat Pencahar Tipe Guanilat Cyckase-C Agonist

Jenis pencahar satu ini akan mengubah bentuk tinja dan meningkatkan jumlah air pada
rongga saluran usus serta meningkatkan gerakan gastrointestinal. Salah satu obat
pencahar jenis ini adalah Plecanatide (Tulance) yang merupakan obat resep untuk
penderita konstipasi idiopatik kronis.

Meskipun dinilai efektif dalam meningkatkan BAB menjadi lebih rutin, namun
beresiko menyebabkan diare dan pada anak-anak dapat menyebabkan dehidrasi berat.

Karena adanya perbedaan jenis pencahar dan masing-masing memiliki fungsi yang
spesifik, ada baiknya memilih dengan bijak obat pencahar apa yang sebaiknya
digunakan. Itulah pentingnya untuk berkonsultasi dengan dokter.
E. Prognosis
Pada umumnya konstipasi yang tidak disebabkan oleh gangguan gastrointestinal
mempunyai prognosis yang baik dan fungsi saluran cerna dapat kembali normal.
Konstipasi sekunder yang disebabkan oleh beberapa kelainan memiliki prognosis yang
tergantung kepada penyakit penyerta. Rekurensi mungkin timbul karena sangat
bergantung terhadap kedisiplinan pasien dalam menerapkan modifikasi gaya hidup.Pada
beberapa kasus yang jarang, operasi mungkin diperlukan. Misalnya pada pasien dengan
resistensi terhadap laksatif dan pasien dengan obstruksi jalan keluar feses (outlet
obstruction).
DAFTAR PUSTAKA

1. Indijah. SW dan Fajri. P. 2016. Modul Farmakologi Komperhensif. Jakarta Selatan:PPSDM


Kesehatan
2. Gunawan SG. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI.
3. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Diterjemahkan oleh Irawati Setiawan
dkk. ed 9. Jakarta: EGC.
4. Katzung BG. 1995. Farmakologi Dasar dan Klinik ed VI. Jakarta: EGC. Lullmann H, et al.
2000. Color Atlas of Pharmacology. 2nd ed. Georg Thieme Verlag: Stuttgart.
5. Tan HT, Rahardja K. 2007. Obat-obat penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya.
Edisi ke-6. Jakarta: Elex Media Komputindo

Anda mungkin juga menyukai