Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Pola defekasi yang normal umumnya dipandang sebagai petanda anak sehat.
Sementara orang tua sangat memperhatikan frekuensi defekasi dan karakteristik
anaknya. Konstipasi merupakan masalah yang biasa ditemukan pada anak sehingga
memicu orang tua untuk memeriksakan anaknya.1
Penyebab konstipasi bermacam-macan dan perlu penanganan yang tepat. Kasus
konstipasi ringan yang memerlukan terapi adekuat beberapa kasus memerlukan
tindakan segera sementara kasus konstipasi kronis memerlukan kesabaran dan
penangan yang cermat.1
Referat ini disusun dalam rangka melakukan pendekatan diagnosis dan
tatalaksana konstipasi pada anak dan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak RSUD R. M. Djoelham, Binjai, Medan.

1
BAB II
Fisiologi dan pola Buang Air Besar

Mekanisme buang air besar dirangsang oleh gerakan peristaltik akibat adanya
masa tinja di dalam rektum. Rangsangan sensori pada kanal anus akan menurunkan
tonus sfingter anus internus, sehingga terjadilah proses defekasi.2

GAMBAR 1
Fisiologi kolon

Dua refleks defekasi yang terjadi:3


 Refleks defekasi intrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum
memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus unuk
memulai gelombang peristaltik mendekati anus. Begitu gelombang
peristaltik mendekati anus, sfingter anal interna tidak menutup dan bila
sfingter ani externa tenang maka feses keluar.
 Refleks defekasi parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal
cord (sacrum 2-4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon
sigmoid dan rektum. Sinyal-sinyal parasimpatis ini meningkatkan
gelombang peristaltik melemaskan sfingter anus internal dan
meningkatkan refleks defekasi intrinsik.
2
GAMBAR 2
Fisiologi defekasi

Relaksasi otot puborektal yang menyebabkan mekanisme yang berperan dalam


proses buang air besar. Selain itu proses buang air besar dirangsang oleh adanya gerak
peristaltik akibat adanya masa tinja di dalam rektum. Rangsangan sensori pada kanal
anus akan menurunkan tonus sfingter anus internus sehingga terjadi proses defekasi.
Proses diawali dengan relaksasi otot puborektal yang menyebabkan sudut anorektal
melebar, diikuti oleh relaksasi otot levator yang menyebabkan pembukaan kanal anus.
Buang air besar terjadi akibat adanya bantuan dari tekanan intra-abdominal yang
meningkat akibat penutupan glottis, fiksasi diafragma, dan kontraksi otot abdomen.
Frekuensi BAB mempunyai korelasi dengan watu transit gastrointestinal. Anak-anak
dengan frekuensi BAB kurang dari 4 kali seminggu memiliki waktu transit lebih dari
33 jam. Keadaan ini lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan anak yang
mempunyai pola BAB normal.1,2,3

3
GAMBAR 3
Fisiologi defekasi

Frekuensi BAB pada anak menurun seiring dengan pertambahan usia. Berikut ini
merupakan frekuensi normal defekasi pada anak:

Tabel 1 frekuensi normal defekasi pada anak


Umur Defekasi/minggu Defekasi/hari
0-3 bulan
- ASI 5-40 2,9
- Formula 5-28 2,0
6-12 bulan 5-28 1,8
1-3 tahun 4-21 1,4
>3 tahun 3-14 1,0

4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi1
IDAI memiliki definisi konstipasi yaitu ketidakmampuan melakukan evakuasi
tinja secara sempurna, yang tercermin dari 3 aspek yaitu, berkurangnya frekuensi
berhajat biasanya, tinja lebih keras dari sebelumnya, dan pada palpasi abdomen teraba
massa tinja (skibala) dengan atau tanpa disertai enkopresis.
Konstipasi adalah kesulitan defekasi atau berkurangnya frekuensi defekasi tanpa
melihat apakah tinjanya keras atau tidak. (Rogers)
Konstipasi merupakan kesulitan defekasi yang terjadi menimbulkan nyeri dan
distress pada anak. (Lewis &Muir)
Konstipasi adalah suatuperubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan
pola defekasi individu yang bersangkutan yaitu frekuensi berhajat lebih jarang dan
tinja lebih keras dari biasanya. (Abel)
Definisi lainnya adalah buang air besar kurang dari 3 kali per minggu atau
riwayat buang air besar dengan tinja yang banyak dan keras. (Steffen dan Loening
Baucke)

2. Epidemiologi
Sekitar 3% kunjungan dan 10-15% ditangani oleh gastroenterologi anak
merupakan kasus konstipasi kronis. 90-95% merupakan konstipasi fungsional, hanya
5-10% yang mempunyai penyebab organik. Pada 5-10% bayi dan anak konstipasi
disebabkan kelainan anatomis, neurologis, atau penyebab lain.1

3. Patofisiologi
Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan
tersebut menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna yang akan direspons
sampai individu mencapai toilet. Untuk proses defekasi, sfingter anus eksterna dan
muskulus puborektalis mengadakan relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara
kanal anus dan rektum terbuka, membentuk jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui
anus. Kemudian mendorong tinja keluar melalui anus. Pada keadaan normal, epitel

5
sensorik di daerah anus rektum memberitahu individu mengenai sifat tinja, apakah
padat, cair, gas, atau kombinasi ketiganya.1,2
Kolon berfungsi menyimpan dan mengeringkan tinja cair yang diterimanya dari
ileum. Makan maupun minum merupakan stimulus terjadinya kontraksi kolon (refleks
gastrokolik) yang diperantarai oleh neuropeptida pada sistem saraf usus dan koneksi
saraf visera. Kandungan nutrisi tinja cair dari ileum yang masuk ke kolon akan
menentukan frekuensi dan konsistensi tinja. Kurangnya asupan serat (dietary fiber)
sebagai kerangka penyebab konstipasi. Berat tinja berkaitan dengan asupan serat
makanan. Tinja yang besar akan dievakuasi lebih sering. Waktu singgah melalui
saluran pencernaan lebih cepat apabila mengkonsumsi banyak serat. Waktu singgah
pada bayi berusia 1-3 bulan adalah 8,5 jam. Waktu singgah meningkat dengan
bertambahnya usia, dan pada dewasa berkisar antara 30-48 jam. Berkurangnya
aktivitas fisik pada individu yang sebelumnya aktif menjadi tidak aktif merupakan
predisposisi. Stress dan perubahan aktivitas rutin sehari-hari dapat mengubah
frekuensi defekasi, seperti liburan, berkemah, masuk sekolah kembali setelah liburan,
ketersediaan toilet dan masalah psikososial, dapat menyebabkan konstipasi.1
Kebiasaan menahan tinja (retensi tinja) yang berulang akan meregangkan rektum
dan kemudian kolon sigmoid yang menampung bolus tinja berikutnya. Tinja yang
berada di kolon akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk
skibala. Seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja yang keras dan
makin besar-nyeri waktu berhajat- dan seterusnya.4,5

GAMBAR 4
Patofisiologi konstipasi

Bila konstipasi menjadi kronik, massa tinja berada di rektum, kolon sigmoid, dan
kolon desenden dan bahkan seluruh kolon. Distensi tinja kronis sebagai akibat retensi
6
tinja menyebabkan menurunnya kemampuan sensor terhadap volume tinja, yang
sebetulnya merupakan panggilan atau rangsangan untuk berhajat.4
Lingkaran setan terus berlangsung: tinja keras-nyeri waktu berhajat-retensi tinja-
tinja makin banyak-reabsorbsi air-tinja makin keras dan makin besar-nyeri waktu
berhajat-dan seterusnya.1

GAMBAR 5
Lingkaran konstipasi

4. Etiologi
Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah1
1. Fungsional
2. Fisura ani
3. Infeksi virus dengan ileus
4. Diet
5. Obat-obatan: anestesi, analgesik narkotik, opuat, antikolinergik dan
simpatomimetik, antikonvulsan dan diet ketogenik, antimotilitas, antipsikotik, anti
depresan, barium untuk pemeriksaan radiologis, penghambat kanal kalsium,
antidisritmia, mineral (alumunium, kalsium, besi, timbal, merkuri, arsen, bismuth),
antiinflamasi non steroid.
Jika diet anak berubah juga akan mengakibatkan konstipasi akut, hal ini sering
terjadi pada saat liburan. Bila diet mengandung banyak susu atau rendah buah dan
sayuran, kemungkinan penyebab konstipasi adalah faktor diet. Dalam hal ini,
7
modifikasi diet lebih diutamakan pada laksatif. Perubahan diet dari ASI ke formula ke
susu penuh (full cream) pada anak usia 1 tahun dapat mebimbulkan konstipasi pada
beberapa anak/bayi. Pada konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan.
Konstipasi kronis biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit
Hirschprung karena berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius.4,5
Tabel 2 Penyebab konstipasi berdasarkan umur
Neonatus/Bayi
- Meconium plug
- Penyakit Hirschprung
- Fibrosis kistik
- Malformasi anorektal bawaan, termasuk anus imperforata, stenosis ani, anal
band
- Chronic idiopatic intestinal pseudo-obstruction
- Endokrin: hipotiroid
- Alergi susu sapi
- Metabolik: diabetes insipidus, renal tubular asidosis
- Retensi tinja
- Perubahan diet
Toddler dan umur 2-4 tahun
- Fissura ani, retensi tinja
- Toilet refusal
- Alergi susu sapi
- Penyakit Hirschprung segmen pendek
- Penyakit saraf: sentral atau muskular dengan hipotoni
- Medulla spinalis: meningomielokel, tumor, tethered cord
Usia sekolah
- Retensi tinja
- Ketersediaan toilet terbatas
- Keterbatasan kemampuan mengenali rangsang fisiologis
- Preokupasi dengan kegiatan lain
- Tethered cord
Adolesen
- Irritabel bowel syndrome
- Jejas medulla spinalis (kecelakaan, trauma)
- Diet
8
- Anoreksia
- Kehamilan
- Laxative abuse
Segala usia
- efek samping obat, perubahan diet, paska operasi
- riwayat operasi anal-rektum
- retensi tinja dan enkoporesis akibat distensi tinja kronis
- perubahan aktivitas fisik, dehidrasi
- hipotiroid

5. Gejala Klinis
Penyebab tersering konstipasi adalah menahan defekasi akibat pengalaman nyeri
pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fissura ani. Pada anamnesis didapatkan
riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Bila konstipasi menjadi kronik, jumlah
defekasi per hari atau per minggu mungkin bukan indikator terpercaya untuk
konstipasi pada anak. Awalnya ditandai dengan gejala pola defekasi yang jarang dan
sudah berjalan beberapa bulan atau tahunan. Biasanya timbul gejala lainnya seperti
distensi abdomen yang hilang sesudah defekasi, tinja keras, dan atau sangat besar
yang menyumbat, tinja yang cair diantara yang keras. Anoreksia dan kurangnya
kenaikan berat badan yang akan membaik jika konstipasi sudah diatasi. Berbagai
posisi menahan tinja dapat pula diamati pada anak-anak seperti menyilangkan kedua
kaki, menarik kaki kanan dan kiri bergantian kedepan dan ke belakang (seperti
berdansa) merupakan manuver untuk menahan tinja yang jika diamati kadang
menyerupai kejang.1,2,4,5
Inkontinensia urin dan infeksi saluran kemih seringkali berkaitan dengan
konstipasi pada anak. Kadangkala, retensi urin, megakistik, dan refluks vesikoureter
ditemukan pada anak dengan kostipasi kronis.1
Pemeriksaan fisik didapatkan distensi abdomen dengan bising usus normal,
meningkat, atau berkurang. Massa abdomen dapat teraba atau pada kasus yang kronis
didapatkan massa tinja di daerah epigastrium. Fissura ani serta ampula rekti yang
besar dan lebar merupakan tanda penting pada konstipasi.

9
Tabel 3 Pemeriksaan fisik pada anak dengan konstipasi
Abdomen
- Distensi
- Hati dan limpa
- Massa tinja
Inspeksi anus
- Posisi
- Adanya tinja di sekitar anus atau celana
- Eritema sekitar anus
- Skin tags
- Fissura ani
Colok dubur
- Kedutan anus
- Tonus anus
- Massa tinja
- Adanya tinja
- Konsistensi
- Adakah massa lain
- Tinja menyemprot bila jari dicabut
- Darah dalam tinja
Punggung dan spina
- Lesung
- Berkas rambut
Neurologi
- Tonus
- Kekuatan
- Refleks kremaster
- Refleks tendon

Tabel 4 temuan pada pemeriksaan fisik yang membedakan konstipasi organik


dari fungsional
- Gagal tumbuh
10
- Distensi abdomen
- Hilangnya lengkung lumbosakral
- Pilonidal dimple covered by a tuft hair
- Kelainan pigmentasi di garis tengah spina (lumbosakral)
- Agenesis sakrum
- Bokong datar
- Letak anus di depan
- Patulous anus
- Ampula rekti kosong padahal teraba massa tinja pada palpasi abdomen
- Tinja menyemprot bila telunjuk dicabut pada pemeriksaan colok dubur
- Darah dalam tinja
- Hilangnya kedutan anus
- Hilangnya reflek kremaster
- Tonus dan kekuatan otot ekstremitas bawah turun
- Hilang atau menurunnya fase relaksasi refleks tendon ekstremitas bawah

Pada pemeriksaan manometri anak dengan konstipasi kronis adalah


meningkatnya ambang rangsang sensasi rektum. Dengan pengobatan jangka panjang,
hal ini dapat kembali normal. Pada sebagian kasus yang sembuh meninggalkan
sensasi rektum yang abnormal sehingga memicu kekambuhan.
Kontraksi puborektalis paradoksal merupakan kontraksi sfingter ani eksterna dan
m.puborektalis yang kurang selama upaya defekasi, merupakan temuan yang biasa
pada pemeriksaan manometri anorektum anak dengan konstipasi kronis.

11
GAMBAR 6
Konstipasi dengan
enkopresis

6. Diagnosis

Menentukan diagnosis konstipasi minimal didapatkan salah satu gejala berikut2


(1) Defekasi kurang dari 3 kali seminggu
(2) Nyeri saat BAB
(3) Impaksi rektum
(4) Adanya massa feses di abdomen
Kriteria untuk anak berusia diatas 4 tahun agak berbeda, digunakan kriteria
sebagai berikut:2
(1) Frekuensi BAB kurang atau sama dengan dua kali seminggu tanpa
menggunakan laksatif
(2) Dua kali atau lebih episode soiling/enkopresis dalam seminggu
(3) Teraba masa feses di abdomen atau rektum pada pemeriksaan fisik.

Konstipasi dikatakan akut jika keluhan berlangsung kurang dari 1-4 minggu dan
dikatakan kronis bila berlangsung lebih dari 1 bulan. Pada konstipasi akut dikatakan
mengancam nyawa apabila tampak tanda obstruksi usus, dehidrasi dan botulisme
infantil. Penyebab tersering konstipasi akut adalah infeksi virus yang menyebabkan
berkurangnya frekuensi defekasi dan ileus nonspesifik.1,2
Petunjuk penting dari konstipasi adalah umur pada saat awitan gejala timbul. Jika
gejala didapatkan sejak lahir kemungkinan disebabkan penyakit Hirschprung. Bila

12
gejala timbul pada saat usia toilet training (> 2 tahun) kemungkinan penyebabnya
fungsional.
Lebih dari 90% konstipasi pada anak tergolong konstipasi fungsional, beberapa
etiologinya merupakan multifaktorial.

GAMBAR 7
Kteria roma untuk menentukan konstipasi fungsional

GAMBAR 8
Perbedaan konstipasi fungsional dan penyakit Hirschprung

7. Komplikasi
13
Nyeri perut atau rektum dan enkopresis atau kebocoran (tidak
disengaja;involuntary) tinja cair atau lembek di sekitar massa tinja merupakan
komplikasi primer konstipasi pada anak, hal inilah yang mendorong orang tua
membawa anaknya ke dokter. Enuresis terjadi lebih dari 40% anak dengan
enkorporesis. Beberapa kasus enuresis menghilang apabila massa tinja dievakuasi
sehingga memungkinkan kandung kemih mengembang. Kompilikasi urologis lainnya
adalah dilatasi kolon distal sehingga meningkatkan frekuensi miksi dan obstruksi
ureter kiri, kemudian dapat menyebabkan berkurangnya tonus kolon yang
mengakibatkan invaginasi, yang dapat bermanifestasi prolaps rekti setelah defekasi.
Prolaps kolon ringan yang berlangsung lama dapat berakibat ulkus iskemik pada
dinding mukosa rektum (ulkus soliter) yang secara klinis tampak sebagai tinja yang
berlendir dan berdarah apapun konsistensi tinjanya. Iritasi difus pada kolon akibat
tinja yang amat keras bahkan dapat menyebabkan protein-losing enteropathy.4,5,6
Sindrom stasis terlihat pada pseudo-obstruksi. Stigma sosial yang berkaitan
dengan sering flatus dan kecepirit yang menimbulkan bau tidak sedap dapat
mempengaruhi anak. Sebagian besar anak dengan enkorporesis kronis akan
menyangkal bila ditanyakan mengenai masalah enkorporesisnya dan bahkan sering
menyembunyikan celana dalamnya karena kecepirit.6
Tabel 5 Komplikasi konstipasi kronis pada anak
- Nyeri: anus atau abdomen
- Fissura ani
- Enkopresis
- Enuresis
- Infeksi salurah kemih/obstruksi ureter
- Prolaps rektum
- Ulkus soliter
- Sindrom stasis
 Bakteri tumbuh lampau
 Fermentasi karbohidrat, maldigesti
 Dekonjugasi asam empedu
 Steatorea

8. Pemeriksaan Penunjang

14
Pemeriksaan dilakukan pada kasus tertentu yang dicurigai mempunyai penyebab
organik.1,2,4,5,6
1. Foto polos abdomen
Melihat kaliber kolon dan massa tinja di kolon. Bila rectal toucher tidak dapat
dilakukan atau tidak teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja.
2. Barium enema
Mencari penyebab seperti Morbus Hirschprung dan obstruksi usus.
3. Biopsi hisap rektum
Melihat adanya ganglion mukosa rektum secara histopatologis untuk
memastikan adanya penyakit Hirschprung.
4. Manometri
Menilai motilitas kolon
5. Lainnya, mencari penyebab organik lain, seperti hipotiroidisme,
ultrasonografi abdomen, MRI

GAMBAR 9
Foto polos abdomen

9. Tatalaksana
Tatalaksana konstipasi fungsional meliputi:
1. Edukasi orangtua
Anak dianjurkan banyak minum dan mengkonsumsi karbohidrat dan serat.
Buah-buahan seperti pepaya, semangka, bengkuang, dan melon yang mengandung
banyak serat dan air betujuan untuk melunakkan tinja. Serat dan sorbitol banyak
didapatkan pada prune, pear, dan apel dapat dikonsumsi dalam bentuk jus untuk
meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan tinja.1,7

15
Makanan berserat akan mudah dihancurkan oleh bakteri di dalam usus.
Makanan serat dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu insoluble fibre dan soluble fibre.
Selain itu serat dapat meningkatkan retensi air shingga dapat melunakkan tinja,
mempercepat waktu singgah di dalam kolon dan meningkatkan frekuensi BAB.2,7

2. Evakuasi tinja (disimpaction)


Fecal impaction adalah massa tinja (skibala) yang teraba pada regio abdomen
bawah, rektum yang dilatasi dan penuh dengan tinja yang ditemukan pada rectal
toucher atau tinja yang berlebihan dalam kolon yang terlihat pada foto abdomen.1
Evakuasi perlu dilakukan sebelum terapi rumatan, dilakukan dengan obat oral
atau rektal. Program dilakukan selama 2-5 hari sampai evakuasi lengkap dan
sempurna.1
Pada terapi per oral, digunakan mineral oil (parafin liquid) dosis 15-30
ml/tahun umur (maksimal 240ml per hari) kecuali bayi. Larutan polietilen glikol
(PEG) 20 ml/kg/jam (maksimal 1000 ml/jam) diberikan dengan pipa nasogstrik
selama 4 jam per hari.1
evakuasi dengan obat per rektal menggunakan enema fosfat hipertonik (3
ml/kg 2 kali sehari maksimal 6 kali enema), enema garam fisiologis (600-1000
ml) atau 120 ml mineral oil. Pada bayi digunakan suposituria/enema gliserin 2-5
ml.1
3. Terapi rumatan1
Setelah evakuasi berhasil terapi dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan.
Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku dan pemberian
laksatif untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang
sempurna.
4. Modifikasi perilaku
Toilet training segera setelah makan pagi dan malam, anak dianjurkan untuk
buang air besar. Berikan waktu 10-15 menit bagi anak untuk BAB. Bila dilakukan
secara teratur mengembangkan refleks gastrokolik pada anak berhasil melakukan
defekasi. Sebaiknya berikan pujian pada anak disetiap usahanya untuk BAB.6
Anak dilatih untuk meningkatkan sensasi rektum, menguatkan dan
mengontrol sfingter anus, serta meningkatkan koordinasi kontraksi dan relaksasi
otot secara benar. Beberapa penulis mengemukakan bahwa latihan ini berguna
untuk konstipasi kronis dan enkopresis, namum beberapa laporan terakhir
16
meragukan efektifitasnya, karena mereka tidak menemukan hasil yang berbeda
dengan terapi konvensional. Pada anak dengan soiling akibat nonretensi tinja,
penambahan laksatif pada terapi biofeedback training juga tidak memperlihatkan
hasil yang berbeda dibanding terapi biofeedback training saja. Peran pembedahan
pada kasus konstipasi pada anak hanya pada kasus tertentu, seperti obstruksi
pelvic outlet, inersia kolon, atau kombinasi keduanya.2,7
Bila cara diatas tidak berhasil, perlu dikonsulkan ke ahli psikiatri anak.
Berikut ini kriteria untuk merujuk anak dengan konstipasi kepada psikiatri antara
lain:
(1) Kecurigaan kearah psikopatologi primer
(2) Psikopatologi sekunder yang berhubungan dengan konstipasi
(3) Tidak responsif terhadap terapi yang telah diberikan dengan alasan yang
tidak jelas
5. Medika mentosa
Obat umumnya masih diperlukan pada terapi rumatan. Laktosa (larutan 70%)
dapat diberikan dengan dosis 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Mineral
oil (parafin liquid) diberikan 1-3 ml/kgBB/hari, tetapi tidak diberikan pada bayi
dan anak dengan gangguan ginjal. Bila respon terapi belum memadai, mungkin
perlu ditambahkan cisapride 0,2 mg/kgBB/kali untuk 3-4 kali per hari selama 4-5
minggu. Terapi rumatan dapat dikurangi kemudian dihentikan. Pengamatan masih
perlu dilakukan karena angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka
panjang banyak anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai adolesen.1
6. Konsultasi

Evidence based medicine dan konstipasi1


Rekomendasi umum
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat merupakan bagian
penting dari evaluasi komperhensif bayi atau anak dengan konstipasi (III).
- Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat
ternyata cukup untuk mendiagnosis konstipasi fungsional pada banyak kasus
(III).
- Uji darah samar dalam tinja dianjurkan pada semua bayi dengan konstipasi
dan pada anak dengan konstipasi yang juga mengalami sakit perut, gagal

17
tumbuh, diare atau riwayat keluarga menderita polip atau kanker kolorektal
(III).
- Pada kasus tertentu, pemeriksaan foto polos abdomen, bila diinterpretasi
dengan benar, dapat bermanfaat dalam mendiagnosis fecal impaction (II-2).
- Biopsi rektum dengan pemeriksaan histopatologis dan manometri rektum
merupakan satu-satunya cara yang akurat untuk menyingkirkan penyakit
Hirschsprung (II-1).
- Pada kasus tertentu, pengukuran waktu singgah dengan petanda radioopak
dapat menentukan apakah terdapat konstipasi (II-3).
Rekomendasi untuk bayi
- Pada bayi, evakuasi feses dapat dilakukan dengan supositoria gliserin. Enema
harus dihindari (II-3).
- Pada bayi, jus yang mengandung sorbitol, seperti jus prune, pear, dan apel,
dapat mengurangi konstipasi (II-3).
- Barley malt extract, corn syrup, latulosa atau sorbitol (laksatif osmotik) dapat
digunakan sebagai pelunak tinja (III).
- Mineral oil (parafin) dan laksatif stimulan tidak dianjurkan pada bayi (III).
Rekomendasi untuk anak
- Pada anak, evakuasi tinja dapat dilakukan dengan pengobatan peroral atau
rektal termasuk enema (II-3).
- Pada anak, diet seimbang yang mengandung whole grains, buah dan sayuran
dianjurkan sebagai bagian pengobatan konstipasi (III).
- Pemakaian obat-obatan dikombinasikan dengan modifikasi perilaku dapat
mengurangi waktu remisi pada anak dengan konstipasi fungsional (I).
- Mineral oil (pelicin) dan magnesium hidroksida, laktulosa dan sorbitol
(laksatif osmotik) merupakan obat yang aman dan efektif (I).
- Terapi emergensi dengan pemberian laksatif stimulan dapat dilakukan pada
kasus-kasus tertentu (II-3).
- Senna dan bisakodil (laksatif stimulan) dapat bermanfaat pada kasus tertentu
yang sulit ditangani (II-1).
- Cisapride telah terbukti bermanfaat sebagai laksatif pada beberapa penelitian
(walaupun tidak semua) dan dapat digunakan pada kasus tertentu (I).

18
- Larutan elektrolit polietilen glikol (PEG), diberikan dalam dosis rendah dalam
waktu lama, mungkin merupakan alternatif pengobatan efektif pada
konstipasi yang sulit diatasi (III).

Catatan:
Kategori kualitas bukti adalah sebagai berikut:
I Bukti diperoleh dari minimal satu penelitian RCT
II-1 Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol tanpa randomisasi
II-2 Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol, terutama pada lebih
dari 1 senter atau pusat penelitian
II-3 Bukti penelitian dari laporan kasus berkala dan multipel dengan atau tanpa
intervensi
III Pendapat ahli yang didasarkan pada pengalaman klinis, penelitian deskriptif, atau
laporan komite ahli

Kegagalan Terapi2
Kegagalan terapi terjadi pada 20% anak dengan konstipasi fungsional. Anak yang
cenderung mengalami kegagalan terapi umumnya adalah mereka yang telah
mengambil keuntungan di balik keadaan konstipasinya, misalnya mendapatkan
perhatian orangtua yang sebelumnya tidak didapatkannya.

Status Gizi yang Mempengaruhi Kejadian Konstipasi pada Anak

Anak dengan Obesitas


Peningkatan prevalensi obesitas pada anak merupakan masalah utama yang
dihadapi dokter anak. Perubahan pola makan seperti kurangnya mengkonsumsi
makanan berserat, aktivitas fisik yang berkurang dan iklan-iklan televisi yang
merubah kebiasaan makan pada anak merupakan penyebab penting terjadinya
obesitas.8 Taveras dkk pada studi cross sectional menjelaskan faktor ras dan suku
bangsa memiliki andil dalam terjadinya obesitas.10 Hal ini bukan semata karena gen
seseorang tetapi karena kebiasaan makan, faktor demografi yang berhubungan dengan
bahan-bahan makanan yang tersedia di daerah tersebut dan pola makan suatu ras atau
suku.11

19
Pashankar dkk pada studi retrospektif menjelaskan bahwa obesitas memiliki
hubungan yang kuat dengan kejadian konstipasi, 41% anak obesitas mengalami
konstipasi.9 Hal ini diperkuat oleh Fishman dkk pada studi cross sectional, didapati
23% anak obesitas mengalami konstipasi. Etiologi konstipasi pada anak obesitas
belum jelas diketahui. Fishman menjelaskan bahwa perubahan hormon atau
hiperglikemia berperan penting dalam terjadinya konstipasi pada anak obesitas.8
Hal ini dijelaskan oleh Bertrand, dkk. (2012) bahwa waktu transit kolon yang
melambat pada obesitas dihubungkan dengan diet tinggi lemak yang menyebabkan
penurunan jumlah sel Enterochromaffn yang berperan untuk melepaskan serotonin ke
lumen usus agar dapat memodulasi refleks saluran cerna, sehingga menyebabkan
penurunan motilitas kolon serta meningkatkan lamanya waktu transit kolon. Di
samping itu, diet tinggi lemak juga menurunkan konsentrasi hormone motilin usus,
sehingga terjadi penurunan motilitas kolon yang memicu terjadinya konstipasi.13
Jika seorang anak mengalami konstipasi, cobalah untuk tidak memberinya terlalu
banyak makanan dengan sedikit atau tanpa serat, seperti : 12
 Keju
 keripik
 makanan cepat saji
 es krim
 daging
 makanan siap saji, seperti beberapa makanan beku dan makanan ringan,
seperti biskuit asin atau hewan, kue makanan malaikat, dan wafer vanila
 makanan olahan, seperti hot dog atau beberapa makan malam microwave,
seperti pizza, steak Salisbury, dan pot pie.

20
BAB IV
KESIMPULAN

Konstipasi sering ditemukan pada anak, baik yang akut maupun kronis. Sebagian
besar (90%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional. Pada sebagian
besar kasus, anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sudah cukup memadai untuk
penatalaksanaan anak dengan konstipasi. Pada sebagian kecil kasus, yang diduga
penyebabnya organik, beberapa pemeriksaan perlu dilakukan untuk memastikan
penyebabnya. Pengobatan konstipasi terdiri dari evakuasi tinja bila terjadi skibala dan
dilanjutkan dengan terapi rumatan yang terdiri dari obat, modifikasi perilaku, edukasi
pada orangtua dan konsultasi. Terapi memerlukan waktu lama (berbulan-bulan) dan
memerlukan kerjasama yang baik dengan orangtua. Prognosis umumnya baik
sepanjang orangtua dan anak dapat mengikuti program terapi dengan baik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa hasil penelitian obesitas sangat
mempengaruhi kasus konstipasi pada anak. Akan tetapi belum ada penjelasan teori
yang jelas mengenai kenapa obesitas mempengaruhi kejadian konstipasi.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari


H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar gastroenterologi-
hepatologi. Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2010
2. Endyarni B, Syarif H Badriul. Konstipasi Fungsional.Sari Pediatri, Vol. 6, No. 2,
September 2004.
3. Ranuh, IG.N. 2005. Masalah Kesehatan Anak. Tumbuh Kembang Anak dan
Remaja, Jakarta: IDAI
4. Gutama. 2004. Aspek Gizi dan Stimulasi Pendidikan Anak Dini Usia. Dalam
Prosiding Inovasi Pangan dan Gizi untuk Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak.
Jakarta, IDAI
5. Guyton & Hall. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: ECG
6. Wyllie R. Constipation. Dalam : Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB,

Stanton BF, penyunting. Nelson Text Book of Pediatrics. 18thed. Philadelphia:


Saunders Elsevier, 2007.
7. World Gastroenterology Organisation. World gastroenterology organization
practice guidelines: constipation. WGO.
8. Fishman L, Lenders C, Fortunato C, Noonan C, Nurko S. Increased prevalence
of constipation and fecal soiling in a population of obese children. J Pediatr
2004; 145: 253-4.
9. Pashankar DS, Loening-Baucke V. Increased prevalence of obesity in children
with functional constipation evaluated in a academic medical center. Pediatrics.
2005; 116:377-80.
10. Taveras EM, Gillman MW, Kleinman K, Rich-Edwards JW, Rifas-Shiman SL.
Racial ethnic differences in early-life risk factors for childhood obesity.
Pediatrics 2010; 125: 686-95.
11. Barlow SE, Expert Committee. Expert committee recomendations regarding the
prevention, assessment, and treatment of childhood and adolescent overweight
and obesity: summary report. Pediatrics 2007; 120: 164-92.
12. U.S. Department of Agriculture and U.S. Department of Health and Human
Services. Dietary Guidelines for Americans, 2010 . 7th ed. Washington, D.C.:
U.S. Government Printing Office; 2010.
22
13. Bertrand RL, Senadheera S, Tanoto A, Tan KL, Howitt L, Chen H, et al.
Serotonin availability in rat colon is reduced during a Western diet model of
obesity. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 2012: 424-33.

23

Anda mungkin juga menyukai