ANTIHISTAMIN
Disusun Oleh :
Kelompok 7
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat, karunia dan hidayah- Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Antihistamin” dengan sebaik mungkin.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi.
Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Bunda Heti Rais Khasanah,
M.Sc.,Apt. selaku dosen mata kuliah Farmakologi. Semoga makalah ini dapat
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi para pembaca.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hidup sehari-hari, manusia tidak terpisah dengan makhluk lainnya
baik hewan, tumbuhan maupun benda-benda mikroskopik seperti debu, tungau,
serbuk bunga sampai berbagai makanan yang kita konsumsi sehari-hari seperti
susu, telur, kacang-kacangan dan seafood.
Alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang terjadi di tubuh akibat
masuknya suatu zat asing. Pengobatan gatal-gatal karena alergi dilakukan
dengan jalan pemberian obat antihistamin yang banyak dijual secara bebas.
Antihistamin merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan,
karena antihistamin adalah obat yang paling bermanfaat untuk mengatasi
penyakit alergi seperti rhinitis,urtikaria, pruritus, dan lain-lain. Walaupun
selama ini ahtihistamin dianggap sebagai obat yang cukup aman, namun efek
samping sedasi (rasa mengantuk) menyebabkan penurunan daya tangkap,
terutama pada antihistamin generasi pertama, sangat mengganggu aktivitas
sehari-hari. Oleh sebab itu, untuk penanganan penyakit alergi gunakan
antihistamin yang aman dan efektif.
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah
penglepasan atau kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk
menjelaskan antagonis histamin yang mana pun, namun seringkali istilah ini
digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang bekerja pada
reseptor histamin H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang
disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab
alergi), seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi ini menunjukkan
penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.
B. Rumusan Masalah
a. Apa saja penggolongan Obat Antihistamin
b. Apa saja Indikasi Obat Antihistamin dan
c. Bagaimana Efek samping obat Antihistamin
C. Tujuan Penulisan
Untuk dapat mengetahui :
1. Penggolongan obat Antihistamin
2. Indikasi pada obat Antihistamin dan
3. Efek samping pada obat Antihistamin
BAB II
PEMBAHASAN
B. PENGGOLONGAN ANTIHISTAMIN
Berdasarkan hambatan pada reseptor khas antihistamin digolongkan
menjadi 4 yaitu :
1. Antagonis reseptor Histamin H1
2. Antagonis reseptor Histamin H2
3. Antagonis reseptor Histamin H3
4. Antagonis reseptor Histamin H4
3. Chlorcyclizine
Chemical name : 1-(4-Chlorobenzhydryl)-4-methylpiperazine
hydrochloride
Molecular formula : C18H21ClN2 ,HCl = 337.3
4. Promethazine
Chemical name : Dimethyl (1-methyl-2-phenothiazin-10-
ylethyl)amine
Molecular formula : C17H20N2S = 284.4
5. Terfenadine
Chemical name : 1-(4-tert-Butylphenyl)-4-[4-(α
hydroxybenzhydryl) piperidino] butan-1-ol
Molecular formula : C32H41NO2 = 471.7
Mekanisme kerja :
Menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacammacam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati
reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan histamin
endogen berlebihan.
Farmakokinetik :
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik.
Efeknya timbul 15-30 menit dan minimal 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah
pemberian dosistunggal kira-kira 4-6jam. Untuk gol. klorsiklizir 8-12 jam,
Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal
dalam darah setelah kira-kira 2jam berikutnya. Kadar tertinggi terdapat pada
paru-paru. Tempat utama biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi dapat juga
pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24jam, terutama
dalam bentuk metabolitnya.
Farmakodinamik :
Yang memblock reseptor H1,dengan efek terhadap penciutan bronchi,
usus, dan rahim, terhadap ujung saraf (vasodilatasi, naiknya permeabilitas).
Interaksi :
Efek toksik :
Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat
sebagai obat persediaan rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena
kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-
30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak.
Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pada anak kecil efek
yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi,
ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai
tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol.
Gejala lain mirip gejala keracunan atropin misalnya midriasis, kemerahan
dimuka dan sering timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps
kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa,
manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada pemulaan, kemudian
eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.
Farmakodinamik :
Simetidine dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung,
sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung
dihambat.
Farmakokinetik :
Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian
IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan. Absorpsi terjadi
pada menit ke 60-90. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam. Bioavaibilitas
ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien
penyakit hati. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang
meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam
1-3 jam setelah pengguanaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang terikat
protein plasma hanya 15%.Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan
30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin.
Mekanisme Kerja :
Walaupun simetidin dan ranitidin berfungsi sama yaitu menghambat
reseptor H2, namun ranitidin lebih poten. Simetidin juga menghambat histamin
N-methyl transferase, suatu enzim yang berperan dalam degrasi histamin.
Tidak seperti ranitidin, simetidin menunjukkan aktivitas antiandrogen, suatu
efek yang diketahui tidak berhubungan dengan kemampuan menghambat
raseptor H2. Simetidin tampak meningkatkan sistem imun dengan menghambat
aktivitas sel T supresor. Hal ini disebabkan oleh blokade resptor H2 yang dapat
dilihat dari supresor limfosit T. Imunitas humoral dan sel dapat dipengaruhi.
Efek samping :
Insiden efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan
dengan pemhambatan terhadap reseptor H2, beberapa efek samping lain tidak
berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain :
Nyeri kepala, Pusing, Malaise, Mialgia, Mual, Diare, Konstipasi, Ruam kulit,
Pruritus, Kehilangan libido, Impoten
Farmakokinetik :
Biovailabilitas oral simetidin sekitar 70%. Ikatan protein plasmanya hanya
20%. Absorpsi simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan
maksud untuk memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi
simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk kedalam SSP
dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80%
dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal
dalam urin. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam.
Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati.Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada
orang dewasa dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal.
Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun
tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam
setelah penggunaan 150 mg ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama
melalui ginjal sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan
IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam
bentuk asal.
Efek Samping :
Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan
dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Beberapa efek samping lain tidak
berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain :
nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mula, diare, konstipasi, ruam kulit,
pruritus, kehilangan libido dan impoten.
Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan
ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian
terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan
ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi
prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah pemberian simetidin
kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap peninggian prolaktin ini kecil.
Interaksi Obat :
Antasid dan metoklopramid mengurangi biovailabilitas oral simetidin
sebanyak 20-30%. Ketakonazol harus diberikan 2jam sebelum pemberian
simetidin karena absorpsi ketakonazol berkurang sekitar 50% bila diberikan
bersama simetidin. Selain itu ketakonazol membutuhkan pH lebih tinggi yang
terjadi pada pasien yang juga mendapat AH2.
Simetidin terikat sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim
mikrosom hati, jadi obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama
simetidin. Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin adalah arfarin,
karbamazepin, diazepam, propranolol, metaprolol dan imipramin.
Ranitidin jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan
simetidin akan tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteaksi dengan
ranitidin yaitu nifedifin warfarin, teofilin, dan metaprolol. Ranitidin dapat
menghambat absorbsi diazepam dan dapat mengurangi kadar plasmanya
sejumlah 25%. Obat-obat ini diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam
sama dengan penggunaan ranitidin bersama abtasid atau antikolinergik.
Simetidin dan ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga
akan memperlambat bersihan obat lain. Simetidin dapata menghambat alkohol
dehidrigenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan kadar
alkohol serum. Simetidin juga mengganggu disposisi dan meningkatkan kadar
lidokoin serta meningkatkan antagonis kalsium dalam serum. Simetidin dapat
menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama pada pasien usia lanjut atau
dengan penyakit hati atau ginjal. Gejala ganggua slurredspeech, somnolen,
letargi, gelisah, bingung, disorentasi, agitasi, halusinasi, dan kejang. Gejala
seperti demensia dapat timbul pada penggunaan simetidin bersama obat
psikotropik atau sebagai efek samping simetidin. Ranitidin menyebabkan
gangguan SSP ringan karena sukarnya melewati sawar darah otak.
Efek samping simetidin yang jarang terjadi adalah trombositopenia,
granulositopenia, toksisitas terhadap ginajal atau hati. Pemberian simetidin dan
ranitidin IV sesekali menyebabkan bradikardi dan efek kardiotoksik lain.
Indikasi :
Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Penghambatan
50% sekresi asam lambung dicapai bila kadar simetidin plasma 800ng/ml atau
kadar renitidin plasma 100 ng/ml. Tetapi yang lebih penting adalah efek
penghambatannya selama 24jam. Simetidin ranitidin atau antagonis reseptor
H2 mempercepat penyembuhan tungkak duodenum. Pada sebagian besar
pasien pemberian obatobatan tersebut sebelum tidur dapat mencegah
kekambuhan tukak duodeni bila obat diberikan sebagai terapi pemeliharaan.
AH2 sama efektif dengan pengobatan intensif dengan antasid untuk
penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Untuk refluks esofagitis
seperti halnya dengan antasid antagonis reseptor H2 menghilangkan gejalanya
tetapi tidak menyembuhkan lesi.
Terhadap tukak peptikem yang diinduksi oleh obat AINS, AH2 dapat
mempercepat penyembuhan tetapi tidak dapat mencegah terbentuknya tukak.
Pada pasien yang sedang mendapat AINS antagonis reseptor H2 dapat
mencegah kekambuhan tukak duodenum tetapi tidak bermanfaat untuk tukak
lambung.
Simetidin dan ranitidin telah digunakan dalam penelitian untuk stress ulcer
dan perdarahan, dan ternyata obat-obat tersebut lebih bermanfaat untuk
profilaksis daripada untuk pengobatan. AH2 juga bermanfaat untuk
hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison . Dalam hal in i
mungkin lebih baik digunakan ranitidin untuk mengurangi kemungkinan
timbulnya efek samping obat akibat besarnya dosis simetidin yang diperlukan.
Ranitidin juga lebih baik dari simetidin untuk pasien yang mendapat banyak
obat, pasien yang refrakter terhadap simetidin, pasien yang tidak tahan efek
samping simetidin dan pada pasien usia lanjut.
2. Famotidin
Farmakodinamik :
Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam
lambung pada keadaan basal, malam dan akiabt distimulasi oleh pentagastrin.
Famotidin tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten
daripada simetidin.
Indikasi :
Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8
minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada penelitian
selama 6 bula famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang
secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya
pada pasien sindrom Zollinger-Ellison meskipun untuk keadaan ini omeprazol
merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak
lambung, refluks esofagitis dan pencegahan tukak stres pada saat ini sedang
diteliti.
Efek Samping :
Efek samping biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit kepala,
pusing, konstipasi, dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin
nampaknya lebih baik daripada simetidin karena belum pernah dilaporkan
terjadinya efek antiandrogenik. Famotidin harus digunakan hati-hati pada ibu
menyusui karena obat ini belum diketahui apakah obat ini diekskresi kedalam
air susu ibu.
Interaksi Obat :
Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain belum belum
dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat. Famotidin tidak
mengganggu oksidasi diazepam feofilin, warfarin atau fenitoin di hati.
Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga kurang efektif
bial diberikan bersama AH2.
Farmakokinetik :
Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah
penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-
50%, Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal
sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal
ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam. Intravena Pada pasien
hipersekresi asam lambung tertentu atau pada pasien yang tidak dapat
diberikan sediaan oral, faotidin diberikan intravena 20 mg tiap 12 jam. Dosis
obat untuk pasien harus ditritasi berdasarkan jumlah asam lambung yang
disekresi.
3. Nizatidin
Farmakodinamik :
Potensi nitazidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih
sama dengan ranitidin.
Indikasi :
Efektvitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan
ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya
dapat menyembuhkan tukak duodeni dalam 8 minggu dan dengan pemberian
satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Pada refluks esofagitis,
sindrom ZollingerEllison dan gangguan asam lambung lainnyan nizatidin
siperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun masih diperlukan
pembuktian lanjut.
Efek Samping :
Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek smaping. Efek samping
ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan
transaminase serum ditemukan pada beberapa pasien dan nampaknya tidak
menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Pada tikus nizatidin dosis besar
berefek antiandrogrnik, tetapi efek tersebut belum terlihat pada uji klinik.
Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada mukosa lambung dan
menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi dalam serum. Dalam dosis
ekuivalen simetidin, nizatidin tidak menghambat enzim mikrosom hati yang
metabolisme obat. Pada sukarelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interaksi
obat bila nitazidin diberikan bersama feofilin, lidokain, warfarin,
klordiazepoksid, diazepam atau lorezepam. Ketakonazol yang membetuhkan
pH asam menjadi kurang efektiftif bila pH lambung lebih tinggi pada pasien
yang mendapat AH2.
Farmakokinetik :
Biovailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh
makanan atau antikolinergik. Bersihan menurun pada pasien uremik dan usia
lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1jam,
masa paruh plasma sekitar 2 1/2 jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam.
Nizatidin diekskresi terutama melalui ginjal 90% dari dosisi yang digunakann
ditemukan di urin dalam 16 jam.
b) Senyawa Etilendiamin :
c) Senyawa Alkilamin :
1. Klorfeniramin 2. Bromfeniramin
3. Deksklorfeniramin.
d) Senyawa Siklizin :
1. Homoklorsiklizin.
e) Senyawa Fenotiazin :
1. Prometazin 2. Oksomemazin.
1. Simetidin 2. Ranitidine
3. Famotidine
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat
histamin pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat,
histamin dibagi menjadi antagonis reseptor H1, reseptor H2, dan reseptor H3.
Penghambat reseptor H1 digunakan pada terapi alergi yang diperantai IgE.
Obat-obatan tersebut telah tersedia tetapi penggunaan generasi antihistamin
pertama (klorfeniramin, bomfeniramin, difenhidramin, klemastin, hidroksizin)
terbatas, karena adanya efek samping sedasi primer dan menyebabkan
keringnya membran mukosa. Antihistamin generasi kedua (loratadin, cetirizin)
dan ketiga (feksofenadin, desloratadin) bekerja menghambat reseptor histamin
H1 disamping efek antiinflamasi.
Pemakaian diklinik hendaknya mempertimbangkan cara kerja obat,
farmakokinetik dan farmakodinamik, indikasi dan kontra indikasi, cara
pemberian, serta efek samping obat dan interaksi obat lain. Beberapa
antihistamin mempunyai efek samping yang serius jika dikonsumsi bersamaan
dengan obat lain atau menggunakan antihistamin tanpa alasan yang jelas
DAFTAR PUSTAKA