Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH FARMAKOLOGI

ANTIHISTAMIN

Disusun Untuk Memenuhi : Tugas Farmakologi

Dosen Pengampu : Heti Rais Khasanah, M.Sc.,Apt

Disusun Oleh :

Kelompok 7

1. Bella Rohani Nadeak ( P05150221008 )


2. Penny Febrianti ( P05150221030 )
3. Reni Dwi Puspitasari ( P05150221031 )
4. Zahra Atika Putri ( P05150221047 )

PROGAM STUDI D III FARMASI JURUSAN ANALIS KESEHATAN

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU

TAHUN AJARAN 2022


KATAPENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat, karunia dan hidayah- Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Antihistamin” dengan sebaik mungkin.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi.
Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Bunda Heti Rais Khasanah,
M.Sc.,Apt. selaku dosen mata kuliah Farmakologi. Semoga makalah ini dapat
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi para pembaca.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat


kesalahan dan kekeliruan, baik yang berkenan dengan materi pembahasan maupun
dengan teknik pengetikan sehingga masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu, 25 Juli 2022

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam hidup sehari-hari, manusia tidak terpisah dengan makhluk lainnya
baik hewan, tumbuhan maupun benda-benda mikroskopik seperti debu, tungau,
serbuk bunga sampai berbagai makanan yang kita konsumsi sehari-hari seperti
susu, telur, kacang-kacangan dan seafood.
Alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang terjadi di tubuh akibat
masuknya suatu zat asing. Pengobatan gatal-gatal karena alergi dilakukan
dengan jalan pemberian obat antihistamin yang banyak dijual secara bebas.
Antihistamin merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan,
karena antihistamin adalah obat yang paling bermanfaat untuk mengatasi
penyakit alergi seperti rhinitis,urtikaria, pruritus, dan lain-lain. Walaupun
selama ini ahtihistamin dianggap sebagai obat yang cukup aman, namun efek
samping sedasi (rasa mengantuk) menyebabkan penurunan daya tangkap,
terutama pada antihistamin generasi pertama, sangat mengganggu aktivitas
sehari-hari. Oleh sebab itu, untuk penanganan penyakit alergi gunakan
antihistamin yang aman dan efektif.
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah
penglepasan atau kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk
menjelaskan antagonis histamin yang mana pun, namun seringkali istilah ini
digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang bekerja pada
reseptor histamin H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang
disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab
alergi), seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi ini menunjukkan
penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.
B. Rumusan Masalah
a. Apa saja penggolongan Obat Antihistamin
b. Apa saja Indikasi Obat Antihistamin dan
c. Bagaimana Efek samping obat Antihistamin

C. Tujuan Penulisan
Untuk dapat mengetahui :
1. Penggolongan obat Antihistamin
2. Indikasi pada obat Antihistamin dan
3. Efek samping pada obat Antihistamin
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEINISI OBAT ANTIHISTAMIN


Obat antihistamin berkhasiat untuk mengurangi efek histamin pada
peristiwa hipersensitivitas sehingga gejala alergi muncul lebih ringan.
Hipersensitivitas terjadi akibat reaksi berlebih antara antigen yang masuk
dalam tubuh dengan antibody sehingga merangsang pelepasan histamin dari
sel-sel jaringan.
Histamin adalah suatu amin nabati yang di temukan oleh dr.Paul Ehrich
(1878) dan merupakan produk normal dari pertukaran zat histidin. Asam amino
ini masuk kedalam tubuh terutama lewat daging dan di jaringan (juga di usus
halus) diubah secara enzimatis menjadi histamin (dekarboksilasi).
Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi
efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblokir reseptor histamin
(penghambatan saingan). Pada awalnya, hanya dikenal 1 jenis
antihistaminikum tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor khusus pada tahun
1972, yang disebut reseptor-H2, maka secara farmakologis reseptor histamin
dapat dibagi dalam 2 tipe, yaitu reseptor -H1 dan reseptor -H2.
Berdasarkan penemuan antihistaminika juga dapat dibagi menjadi 2
kelompok, yakni antagonis reseptor -H1 (singkatnya disebut H1-blokers atau
antihistaminika) dan antagonis reseptor -H2 ( H2-blokers, zat penghambat
asam).
1. H1-blokers (‘antihistaminika’) memblokir reseptor -H1 dengan
menyaingi histamin pada reseptornya di otot licin dinding pembuluh
dan dengan demikian menghindarkan timbulnya reaksi alergi. Khasiat
lainnya menciutkan bronchi, saluran cerna, kandung kemih dan rahim,
terhadap ujung saraf (gatal-gatal, flare reaction) serta terhadap efek
histamin pada kapiler. Kebanyakan antihistaminka termasuk dalam
kelompok ini.
2. H2-blokers (penghambat asam). Obat-obat dari kelompok ini
menghambat secara selektif efek histamin terhadap reseptor-H2
dilambung dengan jalan persaingan. Efeknya adalah berkurangnya
hipersekresi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan turunya
tekanan darah. Sejauh ini khusus digunakan pada terapi tukak lambung
dan usus guna mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai
tambahan pada terapi dengan prednison. Pengahambat asam yang
banyak digunakan adalah simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin
dan roxatidin (Roxan, Roxit) (Tjay T.H & Raharja K., 2002)

B. PENGGOLONGAN ANTIHISTAMIN
Berdasarkan hambatan pada reseptor khas antihistamin digolongkan
menjadi 4 yaitu :
1. Antagonis reseptor Histamin H1
2. Antagonis reseptor Histamin H2
3. Antagonis reseptor Histamin H3
4. Antagonis reseptor Histamin H4

1.1. ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN H1 (Antihistaminika Klasik)


Golongan ini dibagi lagi berdasarkan rumus bangun kimianya, yaitu:
a) Senyawa Etanolamin; antara lain Difenhidramin, Dimenhidrinat
Karbinoksamin maleat.
b) Senyawa Etilendiamin; antara lain Antazolin, Pirilamin, dan
Tripelenamin.
c) Senyawa Alkilamin; antara lain Fenirarnin, Klorfeniramin,
Bromfeniramin, dan Deksklorfeniramin.
d) Senyawa Siklizin; antara lain Siklizin, Klorsiklizin, dan
Homoklorsiklizin.
e) Senyawa Fenotiazin; antara lain Prometazin, Metdilazin, dan
Oksomemazin.
f) Senyawa lain-lain; yaitu Dimetinden, Mebhidrolin, dan Astemizol.
1. Diphenhydramine
Chemical name : 2-Benzhydryloxy-NN-dimethylethylamine
Molecular formula : C17H21NO =255.4
2. Chlorpeniramine
Chemical name : N-(4-Chlorobenzyl)-N´N´-dimethyl-N-(2
pyridyl) ethylenediamine hydrochloride
Molecular formula : C16H20ClN3 ,HCl = 326.3

3. Chlorcyclizine
Chemical name : 1-(4-Chlorobenzhydryl)-4-methylpiperazine
hydrochloride
Molecular formula : C18H21ClN2 ,HCl = 337.3

4. Promethazine
Chemical name : Dimethyl (1-methyl-2-phenothiazin-10-
ylethyl)amine
Molecular formula : C17H20N2S = 284.4

5. Terfenadine
Chemical name : 1-(4-tert-Butylphenyl)-4-[4-(α
hydroxybenzhydryl) piperidino] butan-1-ol
Molecular formula : C32H41NO2 = 471.7

Mekanisme kerja :
Menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacammacam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati
reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan histamin
endogen berlebihan.

Farmakokinetik :
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik.
Efeknya timbul 15-30 menit dan minimal 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah
pemberian dosistunggal kira-kira 4-6jam. Untuk gol. klorsiklizir 8-12 jam,
Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal
dalam darah setelah kira-kira 2jam berikutnya. Kadar tertinggi terdapat pada
paru-paru. Tempat utama biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi dapat juga
pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24jam, terutama
dalam bentuk metabolitnya.

Farmakodinamik :
Yang memblock reseptor H1,dengan efek terhadap penciutan bronchi,
usus, dan rahim, terhadap ujung saraf (vasodilatasi, naiknya permeabilitas).

Interaksi :

Diphenhydramine menghalangi CYTOCHROME P450 ISOENZYME


CYP2D6 yang bertanggung jawab untuk metabolisme beberapa beta blockers
termasuk metoprolol dan antidepressant venlafaxine.

Efek toksik :
Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat
sebagai obat persediaan rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena
kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-
30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak.
Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pada anak kecil efek
yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi,
ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai
tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol.
Gejala lain mirip gejala keracunan atropin misalnya midriasis, kemerahan
dimuka dan sering timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps
kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa,
manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada pemulaan, kemudian
eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.

1.2 ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN H2 (Penghambat Asma)


Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan
lambung, perangsangan jantung serta relaksasi uterus tikus dan bronkus
domba. Beberapa jaringan seperti otot polos, pembuluh darah mempuntai
kedua reseptor yaitu H1 dan H2.
Sejak tahun 1978 di Amerika Serikat telah diteliti peran potensial H2
cemitidine untuk penyakit kulit. Pada tahun 1983, ranitidine ditemukan pula
sebagai antihistamin H2. Baik simetidine dan ratidine diberikan dalam bentuk
oral untuk mengobati penyakit kulit
-Struktur
Antihistamin H2 secara struktur hampir mirip dengan histamin. Simetidin
mengandung komponen imidazole, dan ranitidin mengandung komponen
aminomethylfuran moiety.

Farmakodinamik :
Simetidine dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung,
sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung
dihambat.

Farmakokinetik :
Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian
IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan. Absorpsi terjadi
pada menit ke 60-90. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam. Bioavaibilitas
ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien
penyakit hati. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang
meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam
1-3 jam setelah pengguanaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang terikat
protein plasma hanya 15%.Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan
30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin.

Mekanisme Kerja :
Walaupun simetidin dan ranitidin berfungsi sama yaitu menghambat
reseptor H2, namun ranitidin lebih poten. Simetidin juga menghambat histamin
N-methyl transferase, suatu enzim yang berperan dalam degrasi histamin.
Tidak seperti ranitidin, simetidin menunjukkan aktivitas antiandrogen, suatu
efek yang diketahui tidak berhubungan dengan kemampuan menghambat
raseptor H2. Simetidin tampak meningkatkan sistem imun dengan menghambat
aktivitas sel T supresor. Hal ini disebabkan oleh blokade resptor H2 yang dapat
dilihat dari supresor limfosit T. Imunitas humoral dan sel dapat dipengaruhi.

Penggunaan klinis Indikasi :


Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Antihistamin H2
sama efektif dengan pengobatan itensif dengan antasid untuk penyembuhan
awal tukak lambung dan duodenum. Antihistamin H2 juga bermanfaat untuk
hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison. Penggunaan
antihistamin H2 dalam bidang dermatologi seringkali digunakan ranitidin atau
simetidin untuk pengobatan gejala dari mastocytosis sistematik, sperti urtikaria
dan pruritus. Pada beberapa pasien pengobatan digunakan dosis tinggi.

Efek samping :
Insiden efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan
dengan pemhambatan terhadap reseptor H2, beberapa efek samping lain tidak
berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain :
Nyeri kepala, Pusing, Malaise, Mialgia, Mual, Diare, Konstipasi, Ruam kulit,
Pruritus, Kehilangan libido, Impoten

1. Simetidin Dan Ranitidin


Farmakodinamik :
Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversibel. Perangsangan H2 akan merangsang sekresi cairan lambung,
sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung
dihambat. Pengaruh fisiologi simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2
lainnya, tidak begitu penting. Walau tidak lengkap simetidin dan renitidin
dapat menghambat sekresi cairan lambung akibat perangsangan obat
muskarinik atau gastrin. Semitisin dan ranitidin mengurangi volume dan kadar
ion hidrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan
perubahan pepsinogen menjadi pepsin juga menurun.

Farmakokinetik :
Biovailabilitas oral simetidin sekitar 70%. Ikatan protein plasmanya hanya
20%. Absorpsi simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan
maksud untuk memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi
simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk kedalam SSP
dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80%
dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal
dalam urin. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam.
Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati.Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada
orang dewasa dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal.
Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun
tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam
setelah penggunaan 150 mg ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama
melalui ginjal sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan
IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam
bentuk asal.

Efek Samping :
Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan
dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Beberapa efek samping lain tidak
berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain :
nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mula, diare, konstipasi, ruam kulit,
pruritus, kehilangan libido dan impoten.
Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan
ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian
terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan
ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi
prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah pemberian simetidin
kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap peninggian prolaktin ini kecil.

Interaksi Obat :
Antasid dan metoklopramid mengurangi biovailabilitas oral simetidin
sebanyak 20-30%. Ketakonazol harus diberikan 2jam sebelum pemberian
simetidin karena absorpsi ketakonazol berkurang sekitar 50% bila diberikan
bersama simetidin. Selain itu ketakonazol membutuhkan pH lebih tinggi yang
terjadi pada pasien yang juga mendapat AH2.
Simetidin terikat sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim
mikrosom hati, jadi obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama
simetidin. Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin adalah arfarin,
karbamazepin, diazepam, propranolol, metaprolol dan imipramin.
Ranitidin jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan
simetidin akan tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteaksi dengan
ranitidin yaitu nifedifin warfarin, teofilin, dan metaprolol. Ranitidin dapat
menghambat absorbsi diazepam dan dapat mengurangi kadar plasmanya
sejumlah 25%. Obat-obat ini diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam
sama dengan penggunaan ranitidin bersama abtasid atau antikolinergik.
Simetidin dan ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga
akan memperlambat bersihan obat lain. Simetidin dapata menghambat alkohol
dehidrigenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan kadar
alkohol serum. Simetidin juga mengganggu disposisi dan meningkatkan kadar
lidokoin serta meningkatkan antagonis kalsium dalam serum. Simetidin dapat
menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama pada pasien usia lanjut atau
dengan penyakit hati atau ginjal. Gejala ganggua slurredspeech, somnolen,
letargi, gelisah, bingung, disorentasi, agitasi, halusinasi, dan kejang. Gejala
seperti demensia dapat timbul pada penggunaan simetidin bersama obat
psikotropik atau sebagai efek samping simetidin. Ranitidin menyebabkan
gangguan SSP ringan karena sukarnya melewati sawar darah otak.
Efek samping simetidin yang jarang terjadi adalah trombositopenia,
granulositopenia, toksisitas terhadap ginajal atau hati. Pemberian simetidin dan
ranitidin IV sesekali menyebabkan bradikardi dan efek kardiotoksik lain.

Indikasi :
Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Penghambatan
50% sekresi asam lambung dicapai bila kadar simetidin plasma 800ng/ml atau
kadar renitidin plasma 100 ng/ml. Tetapi yang lebih penting adalah efek
penghambatannya selama 24jam. Simetidin ranitidin atau antagonis reseptor
H2 mempercepat penyembuhan tungkak duodenum. Pada sebagian besar
pasien pemberian obatobatan tersebut sebelum tidur dapat mencegah
kekambuhan tukak duodeni bila obat diberikan sebagai terapi pemeliharaan.
AH2 sama efektif dengan pengobatan intensif dengan antasid untuk
penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Untuk refluks esofagitis
seperti halnya dengan antasid antagonis reseptor H2 menghilangkan gejalanya
tetapi tidak menyembuhkan lesi.
Terhadap tukak peptikem yang diinduksi oleh obat AINS, AH2 dapat
mempercepat penyembuhan tetapi tidak dapat mencegah terbentuknya tukak.
Pada pasien yang sedang mendapat AINS antagonis reseptor H2 dapat
mencegah kekambuhan tukak duodenum tetapi tidak bermanfaat untuk tukak
lambung.
Simetidin dan ranitidin telah digunakan dalam penelitian untuk stress ulcer
dan perdarahan, dan ternyata obat-obat tersebut lebih bermanfaat untuk
profilaksis daripada untuk pengobatan. AH2 juga bermanfaat untuk
hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison . Dalam hal in i
mungkin lebih baik digunakan ranitidin untuk mengurangi kemungkinan
timbulnya efek samping obat akibat besarnya dosis simetidin yang diperlukan.
Ranitidin juga lebih baik dari simetidin untuk pasien yang mendapat banyak
obat, pasien yang refrakter terhadap simetidin, pasien yang tidak tahan efek
samping simetidin dan pada pasien usia lanjut.
2. Famotidin
Farmakodinamik :
Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam
lambung pada keadaan basal, malam dan akiabt distimulasi oleh pentagastrin.
Famotidin tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten
daripada simetidin.

Indikasi :
Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8
minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada penelitian
selama 6 bula famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang
secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya
pada pasien sindrom Zollinger-Ellison meskipun untuk keadaan ini omeprazol
merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak
lambung, refluks esofagitis dan pencegahan tukak stres pada saat ini sedang
diteliti.

Efek Samping :
Efek samping biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit kepala,
pusing, konstipasi, dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin
nampaknya lebih baik daripada simetidin karena belum pernah dilaporkan
terjadinya efek antiandrogenik. Famotidin harus digunakan hati-hati pada ibu
menyusui karena obat ini belum diketahui apakah obat ini diekskresi kedalam
air susu ibu.

Interaksi Obat :
Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain belum belum
dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat. Famotidin tidak
mengganggu oksidasi diazepam feofilin, warfarin atau fenitoin di hati.
Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga kurang efektif
bial diberikan bersama AH2.
Farmakokinetik :
Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah
penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-
50%, Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal
sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal
ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam. Intravena Pada pasien
hipersekresi asam lambung tertentu atau pada pasien yang tidak dapat
diberikan sediaan oral, faotidin diberikan intravena 20 mg tiap 12 jam. Dosis
obat untuk pasien harus ditritasi berdasarkan jumlah asam lambung yang
disekresi.

3. Nizatidin
Farmakodinamik :
Potensi nitazidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih
sama dengan ranitidin.

Indikasi :
Efektvitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan
ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya
dapat menyembuhkan tukak duodeni dalam 8 minggu dan dengan pemberian
satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Pada refluks esofagitis,
sindrom ZollingerEllison dan gangguan asam lambung lainnyan nizatidin
siperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun masih diperlukan
pembuktian lanjut.

Efek Samping :
Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek smaping. Efek samping
ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan
transaminase serum ditemukan pada beberapa pasien dan nampaknya tidak
menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Pada tikus nizatidin dosis besar
berefek antiandrogrnik, tetapi efek tersebut belum terlihat pada uji klinik.
Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada mukosa lambung dan
menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi dalam serum. Dalam dosis
ekuivalen simetidin, nizatidin tidak menghambat enzim mikrosom hati yang
metabolisme obat. Pada sukarelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interaksi
obat bila nitazidin diberikan bersama feofilin, lidokain, warfarin,
klordiazepoksid, diazepam atau lorezepam. Ketakonazol yang membetuhkan
pH asam menjadi kurang efektiftif bila pH lambung lebih tinggi pada pasien
yang mendapat AH2.

Farmakokinetik :
Biovailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh
makanan atau antikolinergik. Bersihan menurun pada pasien uremik dan usia
lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1jam,
masa paruh plasma sekitar 2 1/2 jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam.
Nizatidin diekskresi terutama melalui ginjal 90% dari dosisi yang digunakann
ditemukan di urin dalam 16 jam.

1.3 ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN H3


Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat
kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit
Alzheimer's, dan schizophrenia. Contoh obatnya adalah ciproxifan, dan
clobenpropit.

1.4 ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN H4


Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai
antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalah tioperamida. Beberapa obat
lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah obat
antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya
ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin.
Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil, mampu mencegah
penglepasan histamin dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga mencegah
degranulasinya.
C. INDIKASI dan DOSIS
a) Senyawa Etanolamin :
Difenhidramin : untuk mengobati bersin-bersin, rinorrhea, mata
berair, serta hidung dan tenggorokan gatal pada kasus rhinitis alergi
dan common could. Diphenhydramine juga dapat digunakan untuk
insomnia, pruritus, urtikaria , gigitan serangga, dan ruam alergi.
Dosis : Dewasa : 25 -50 mg 3*1
Anak : 2-6 tahun: 6,25 mg setiap 4-6 jam, tidak melebihi 37,5 mg/hari
6-12 tahun: 12,5-25 mg setiap 4-6 jam, tidak melebihi 150 mg/hari
Dimenhidrinat : Mengobati mual, muntah, dan pusing akibat mabuk
perjalanan serta meredakan vertigo akibat penyakit maniere.
Dosis : Dewasa dan anak usia ≥12 tahun: 50–100 mg, tiap 6–8 jam.
Dosis maksimal: 400 mg per hari.
usia 2–6 tahun: 12,5-25 mg, tiap 6–8 jam.
Dosis maksimal: 75 mg per hari.
usia 6–12 tahun: 50 mg, tiap 6–8 jam.
Dosis maksimal: 150 mg per hari.
b) Senyawa Etilendiamin :
Antazolin : meredakan rasa sakit pada mata, serta iritasi mata merah
Dosis : Dewasa :Oleskan 1-2 tetes ke mata yang terkena 2-3 kali sehari.
Tripelenamin : Untuk mengobati bersin; pilek; gatal, mata berair;
gatal-gatal; ruam; gatal , dan gejala lain dari alergi dan flu biasa
c) Senyawa Alkilamin :
Klorfeniramin : untuk meredakan gejala alergi yang bisa dipicu oleh
makanan, obat-obatan, gigitan serangga, paparan debu, paparan bulu
binatang, atau paparan serbuk sari.
Dosis : Dewasa dan anak usia >12 tahun: 4 mg, tiap 4–6 jam.
Dosis maksimal 24 mg per hari.
Anak usia 6–12 tahun: 2 mg, tiap 4–6 jam
Bromfeniramin : Meredakan gejala alergi dan flu
Dosis : Dewasa: 4 mg, setiap 4–6 jam.
Anak-anak usia 6–12 tahun: 2 mg, setiap 4–6 jam.
Deksklorfeniramin : untuk meredakan gejala alergi, demam, dan flu
biasa. Gejala ini termasuk ruam, mata berair, mata/hidung/tenggorokan/
kulit gatal, batuk, pilek, dan bersin.
Dosis : Dewasa: 2 mg,
Anak: 2 - 6 tahun 0,5 mg; 6 - 12 tahun: 1 mg. Diberikan 3 - 4
kali/hari
d) Senyawa Siklizin
Homoklorsiklizin : Gejala alergi sepertirinitis alergi,urtikaria
Dosis : Dewasa : 1-2 tablet, 3*1 sehari
e) Senyawa Fenotiazin :
Prometazin : Gejala alergi seperti hay fever,urtikariaa, premedikasi
Dosis : Oral 25 mg malam hari -50 mg atau 10-20 mg 2-3 kali/hari
Oksomemazin : Gejala alergi kulit dan respirasi,batuk
Dosis : Dewasa : 10-40 mg/hari
Anak 5-10 th : 15-30 mg/hari
D. CONTOH OBAT

1.1. ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN H1 (Antihistaminika Klasik)


a) Senyawa
1. Difenhidramine 2. Dimenhidrinat

b) Senyawa Etilendiamin :
c) Senyawa Alkilamin :
1. Klorfeniramin 2. Bromfeniramin

3. Deksklorfeniramin.

d) Senyawa Siklizin :
1. Homoklorsiklizin.
e) Senyawa Fenotiazin :
1. Prometazin 2. Oksomemazin.

1.2. ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN H2 (Penghambat Asma)

1. Simetidin 2. Ranitidine
3. Famotidine

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat
histamin pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat,
histamin dibagi menjadi antagonis reseptor H1, reseptor H2, dan reseptor H3.
Penghambat reseptor H1 digunakan pada terapi alergi yang diperantai IgE.
Obat-obatan tersebut telah tersedia tetapi penggunaan generasi antihistamin
pertama (klorfeniramin, bomfeniramin, difenhidramin, klemastin, hidroksizin)
terbatas, karena adanya efek samping sedasi primer dan menyebabkan
keringnya membran mukosa. Antihistamin generasi kedua (loratadin, cetirizin)
dan ketiga (feksofenadin, desloratadin) bekerja menghambat reseptor histamin
H1 disamping efek antiinflamasi.
Pemakaian diklinik hendaknya mempertimbangkan cara kerja obat,
farmakokinetik dan farmakodinamik, indikasi dan kontra indikasi, cara
pemberian, serta efek samping obat dan interaksi obat lain. Beberapa
antihistamin mempunyai efek samping yang serius jika dikonsumsi bersamaan
dengan obat lain atau menggunakan antihistamin tanpa alasan yang jelas
DAFTAR PUSTAKA

Denny. (2014). Farmakologi Toksikologi Obat Antihistamin. Scribd, 2-16.

ershahasan. (2012). Antihistamin. Scribd, 3.

Selvhy. (2013). ANTIHISTAMIN. Scribd, 2.

Tjay, Tan Hoan. Raharja, Kirana. 2002. Obat-obat Penting: Khasiat,


Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo

Anda mungkin juga menyukai