Konstipasi memiliki arti berbeda bagi tiap pasien, pasien dapat menggambarkan
konstipasi sebagai berkurangnya frekuensi defekasi, volume feses sedikit, kesulitan dalam
mengeluarkan feses, tegang pada saat buang air besar, buang air besar tidak dapat keluar
sepenuhnya, atau kurangnya dorongan untuk feses. Pada umumnya konstipasi berarti penurunan
frekuensi defekasi. Hal ini disebabkan oleh abnormalitas/melambatnya pergerakan feses
melewati kolon sehingga terjadi akumulasi pada ujung (descending) kolon.
Orang normal biasanya buang air besar sedikitnya 3 x dalam seminggu. Beberapa definisi
mengenai konstipasi yang biasanya digunakan dalam studi klinis diantaranya meliputi :
a. Kurang dari 3x buang air besar dalam seminggu bagi perempuan dan
kurang dari 5x dalam seminggu bagi laki-laki.
b. Kurang dari 2x buang air besar dalam seminggu
c. Kesulitan dalam defekasi dan kurang dari 1x buang air besar dalam sehari
dengan usaha minimal.
Berbagai definisi yang ada ini menyebabkan kesulitan dalam mengklasifikasikan
konstipasi, oleh karena itu suatu komisi internasional mendefinisikan dan mengklasifikasikan
konstipasi berdasar frekuensi buang air besar, konsistensi dan kesulitan defekasi.
Kriteria konstipasi adalah sebagai berikut:
1. Kurang dari 3 x buang air besar dalam seminggu
2. Feses yang keras lebih dari 25% bowel movements
3. BAB tidak bisa keluar sepenuhnya
4. Mengejan berlebihan lebih dari 25% bowel movements
5. Sensasi adanya hambatan pada anus
Codein mengaktivasi reseptor μ-opioid secara perifer maupun sentral sehingga
timbul efek samping konstipasi. Dengan pengaktifan reseptor μ melalui stimulasi
langsung pada sistem saraf enterik dan sistem syaraf pusat mempengaruhi motilitas dari
usus yang berakibat konstipasi.Secara sentral, codein mengaktivasi reseptor opioid pada
saraf enterik dan usus. Ikatan pada reseptor μdan δ opioid menurunkan aktivitas neuronal
saraf enterik dan pelepasan neurotransmiter. Selain menginhibisi pelepasan asetilkolin
dari enterik interneuron dan pelepasan purin juga menghambat motilitas propulsif pada
usus.
Parasetamol termasuk golongan NSAID. NSAID memiliki efek samping yang
didasari oleh hambatan pada system biosintesis prostaglandin. Secara umum NSAID
dapat menyebabkan efek samping pada tiga sistem organ, yaitu saluran cerna, ginjal dan
hati.Terdapat dua mekanisme iritasi lambung, iritasi yang bersifat lokal menimbulkan
difusi asam lambung ke mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan dan iritasi secara
sistemik akan melepaskan PGE2 dan PGI2 yang akan menghambat sekresi asam lambung
dan merangsang sekresi mukus usus halus.
4. Mekanisme parasetamol sebagai antipiretik
Jawab:
Sebagai Antipiretik, parasetamol bekerja dengan menghambat cox-3 pada
hipotalamus. Parasetamol memiliki sifat yang lipofil sehingga mampu menembus Blood
Brain Barrier, sehingga menjadi first line pada antipiretik.
Mekanisme kerja parasetamol menimbulkan kerja antipiretik adalah dengan
meningkatkan eliminasi panas, pada penderita dengan suhu badan yang tinggi,dengan
cara meningkatkan dilatasi pembuluh darah periferdan mobilisasi air sehingga terjadi
pengenceran darah dan pengeluaran keringat. Penurunan suhu tersebut adalah hasil kerja
obat pada sistem saraf pusat yang melibatkan pusat kontrol suhu di hipotalamus.
Absorbsi obat dalam saluran cerna cepat dan hampirsempurna,kadar plasma tertinggi
dicapai dalam ±0,5 sampai 1jam setelah pemberian oral,dengan waktu paruh plasma±1-
2,5jam.
5. Pengertian atrial fibriation
Jawab :
Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling umum
didapatkan. Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan frekuensi atrium
sebesar 350-650 x/menit sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke nodus
AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh periode refrakter dari nodus AV dan terjadi
tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler. Atrial fibrilasi
dapat terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara permanen, kasus
tersebut sulit untuk dikontrol. Atrial fibrilasi terjadi karena meningkatnya kecepatan dan
tidak terorganisirnya sinyal-sinyal listrik di atrium, sehingga menyebabkan kontraksi
yang sangat cepat dan tidak teratur (fibrilasi). Sebagai akibatnya, darah terkumpul di
atrium dan tidak benar-benar dipompa ke ventrikel. Ini ditandai dengan heart rate yang
sangat cepat sehingga gelombang P di dalam EKG tidak dapat dilihat.Ketika ini terjadi,
atrium dan ventrikel tidak bekerja sama sebagaimana mestinya.
Pada dasarnya, jantung dapat melakukan kontraksi karena terdapat adanya sistem
konduksi sinyal elektrik yang berasal dari nodus sinoatrial(SA). Pada atrial fibriasi, nodus
SA tidak mampu melakukan fungsinya secara normal, hal ini menyebabkan tidak
teraturnya konduksi sinyal elektrik dari atrium ke ventrikel. Akibatnya, detak jantung
menjadi tidak teratur dan terjadi peningkatan denyut jantung. Keadaan ini dapat terjadi
dan berlangsung dalam menit ke minggu bahkan dapat terjadi bertahun-tahun.
Kecenderungan dari atrial fibrilasi sendiri adalah kecenderungan untuk menjadi kronis
dan menyebabkan komplikasi lain.
Cacat tabung saraf atau yang sering disebut Neural Tube Defects (NTD)
merupakan salah satu kelainan bawaan. Neural tube defects adalah suatu kelainan
kongenital yang terjadi akibat kegagalan penutupan lempeng saraf (neural plate) yang
terjadi pada minggu ketiga hingga keempat masa gestasi. Kelainan yang terjadi pada
cacat tabung saraf biasanya mengenai meningen, vertebra, otot, dan kulit. Kelainan yang
termasuk dalam NTD meliputi anencephaly, encephalocele, meningocelekranial,
myelomeningocele, spinal meningocele, lipomeningocele, spina bifida, dan cacat otak
lainnya.
Neural tube defect terbagi atas 2 yaitu defek neurilasi dan defek post neurilasi.
Defek neurilasi sendiri terdiri dari anencephali dan meningimyelocele.Sedangkan defek
post neurilasi terjadi akibat migrasi yang abnormal dan terbagi atas 2 yaitu Cranial dan
Spinal. Yang terjadi pada area cranial yaitu microcephaly, hydraencephaly,
holoprocencephaly, lissencephaly, Porecenphaly, Agenesis corpus callosum dan
macrocephaly. Sedangkan pada area spinal bisa berbentuk diastomatomyelia
hydromyelia/syringomyelia. Myelomeningocele and anencephaly berasal dari 2
mekanisme. “Teori Nonclosure” menyatakan bahwa Neural tube defek adalah kegagalan
penutupan neural tube. Teori kedua yaitu teori overdistention, defek neural tube mewakili
adanya overdistensi dan ruptur yang terjadi pada awal penutupan neural tube.
Teori nonclosure lebih diterima secara luas, dimana teori overdistensi tidak
diterima. Namun, teori overdistensi tidak dapat dilupakan karena sebagai penyebab
beberapa defek neural tube, khususnya yang disebabkan oleh vitamin A. Sejak penutupan
neural tube bergantung pada interaksi kompleks dari proses sel multiple, neural tube
defek mungkin saja disebabkan oleh berbagai macam kelainan embrionik.Pada masa ini
lebih difokuskan pada pentingnya vitamin folatpada embryogenesis dari neural tube
defects. Asupan antagonis folate pada saat ibu masih mengandung seperti aminopterin
dapat menyebabkan neural tube defects.Sebenarnya bukan asam folat secara langsung
yang menyebabkan terjadinya neural tube defects melainkan karena defisiensi folat maka
proses metabolik akan menjadi terganggu.Folat ini sangat penting dalam metabolisme
methionine dan homocystein.Tetapi apapun penyebabnya, hasil akhir dari Neural tube
defects adalah tidak menutupnya neural tube. Sifat dan beratnya bergantung dari lokasi
dan panjangnya segmen saraf yang tidak terbentuk. Kegagalan neurulisasi pada bagian
cranial akan menyebabkan timbulnya anencephaly, sementara kegagalan neurulisasi pada
bagian kaudal dikenal dengan myelomeningocele.Istilah myelomeningocele
menunjukkan adanya neural tube bagian caudal yang terbuka.
Embryogenesis dari myelomeningocele cervical dan upper thoraic memberikan
penampakan yang berbeda pada myelomeningocele. Area cervicothorasic biasanya
tertutup dan memiliki lapisan atau kulit dan atau jaringan fibrous yang tebal dan tidak
didapatkan CSF leakage, sedangkan meylomneingocele lumbosacral merupakan suatu
lesi terbuka yang ditandai dengan CSF leakage. Lesi cervicothorasic memiliki defek
fascial yang kecil sedangkan lesi pada lumbosacral memiliki defek fascial yang lebih
besar. Lesi cervicothorasic hanya terdiri dari band neural tissue yang kecil, yang berasal
dari medulla spinalis bagian dorsal dan masuk kedalam defek yang kecil dan berakhir di
sepanjang permukaan bagian dalam dari kantung, sedangkan myelomeningocele
lumbosacral biasanya terdiri dari placode terminalis yang besar. Lesi cervicothorasic
bisanya dihubungkan dengan fungsi sensorimotor yang normal atau hampir normal di
bagian caudal dari lokasi lesi, sedangkan lesi lumbosacral biasanya dihubungkan dengan
paralisis sensorimotor pada bagian kaudal dari lokasi kelainan.
Sel tulang terdiri dari tiga jenis yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast
bertanggung jawab atas pembentukan tulang, mineralisasi, dan ekspresi reseptor hormon
paratiroid. Osteoklast adalah sel tulang multinuklear yang berasal dari prekursor hematopoietik
monosit makrofag yang merupakan fusi dari beberapa sel mononuklear dengan tepi tidak rata
dan mempunyai enzim lisosom dalam sitoplasma. Sedangkan osteosit adalah sel tulang
terbanyak, berbentuk pipih kecil dan terdapat dalam matriks tulang. Osteosit akan mengalami
apoptosis atau fagositosis selama resorpsi osteoklast. Osteosit juga merupakan reseptor mekanik
yang mengubah stimulasi mekanik menjadi sinyal yang menginduksi remodelling tulang agar
searah stimulasi. Kepadatan tulang ditentukan oleh keseimbangan dinamik antara proses
pembentukan dan resorpsi tulang. Bila pertumbuhan linear dan volume masa tulang maksimal
telah tercapai, proses remodelling bertujuan untuk mempertahankan masa tulang. Remodelling
tulang dipengaruhi oleh estrogen, androgen, vitamin D, hormon paratiroid, tumor necrosis factor
(TNF), dan insulin like growth factor I dan II, nutrisi, konsumsi kalsium, dan aktivitas fisik.
Peran utama kalsium adalah untuk kontraksi dan eksitasi otot jantung dan otot lainnya,
transmisi sinap sistem saraf, agregasi platelet, koagulasi, dan sekresi hormon dan regulator lain
yang memerlukan eksositosis. Keseimbangan metabolisme kalsium diatur oleh tiga faktor,
hormon paratiroid, vitamin D, dan kalsitonin yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Fungsi utama
vitamin D adalah sebagai pengatur keseimbangan kadar kalsium dengan mengatur absorbsi
kalsium di usus halus, interaksi dengan hormon paratiroid sehingga mobilisasi kalsium dari
tulang meningkat, dan mengurangi ekskresi kalsium melalui ginjal. Defisiensi vitamin D
menyebabkan absorbsi dan reabsorbsi kalsium dan fosfat tidak adekuat sehingga terjadi
penurunan konsentrasi kalsium plasma. Penurunan konsentrasi kalsium plasma menyebabkan
peningkatan sekresi hormon paratiroid yang bertujuan mengembalikan konsentrasi kalsium
plasma tetapi dengan resorpsi dari tulang. Kadar fosfat sendiri akan tetap di bawah normal
karena hormon paratiroid justru akan menyebabkan ekskresi fosfat melalui urin sehingga tidak
terjadi mineralisasi tulang baru dan matriks kartilago yang menyebabkan tulang menjadi rapuh.
Biphosphonate termasuk kedalam golongan kortikosteroid yang mana fungsi utama
menjaga homeostasis, yaitu mempertahankan diri terhadap perubahan lingkungan, antara lain
mengatur metabolisme karbohidrat dan protein, keseimbangan cairan dan elektrolit, dan anti
inflamasi Kortikosteroid dapat mempengaruhi masa tulang. Pengaruh langsung terjadi karena
terdapat reseptor glukokortikoid pada osteoblast dan osteoklast yang apabila terinduksi akan
menyebabkan penurunan replikasi dan proliferasi osteoblast, memperpendek waktu remodelling,
meningkatkan resorpsi osteoklast, dan menurunkan sintesis IGF-1, prostaglandin E (PGE2), dan
IGF-binding protein. Pengaruh tidak langsung adalah mengurangi absorbsi kalsium di saluran
cerna dan meningkatan ekskresi kalsium melalui ginjal, hiperparatiroidisme sekunder, dan
defisiensi hormon anabolik akibat berkurangnya sintesis hormon gonadal dan
adrenal,mengurangi respon sel terhadap hormon dan faktor pertumbuhan, dan mengurangi IGF-
binding protein. kan ekspresi RANK dan menurunkan ekspresi osteoprotegerin. Kortikosteroid
juga meningkatkan ekspresi colony stimulating factor-1 (CSF-1) yang bila ada bersama RANK
akan menginduksi osteoklastogenesis. Selain itu kortikosteroid mempengaruhi aktivitas
proliferasi dan metabolik sel tulang dengan inhibisi ekspresi gen bone morphogenetic protein-2
(BMP-2) sehingga osteoblastogenesis menurun dan meningkatkan apoptosis sehingga lama
hidup osteoblast menurun. Jumlah osteosit yang menurun menyebabkan penurunan kualitas
tulang sehingga lebih mudah mengalami fraktur.
9. Doxasozine, apa solusi?
Jawab:
Antagonis adrenoreseptor alfa1 (α1-blocker) adalah terapi utama untuk mengobati LUTS.
α1-blocker yang biasa digunakan untuk mengobati LUTS termasuk doxazosin, terazosin,
alfuzosin dan tamsulosin. Doxasozine berikatan pada adrenoreceptor alpha-1 dan menghambat
respon reseptor antara epinefrin atau norepinefrin.
Hipertrofi prostat jinak (BPH) adalah kondisi umum yang dapat menyebabkan gejala
saluran kemih bagian bawah (LUTS). Doxasozine dapat digunakan untuk pengobatan gangguan
aliran urinary (Meningkatkan buang air kecil)dan gejala-gejala yang berhubungan dengan
Benigh Prostatic Hyperplasia (BPH).
Jawab :
Kebanyakan pasien dengan asma tidak dapat menggunakan turbuhaler dengan benar.
Kesalahan umum yang sering terjadi ialah koordinasi inspirasi dan aktuisi yang tidak adekuat
dan ketidakmampuan untuk mendapatkan inspiratory flow rate yang cukup tinggi. Walaupun
dengan pelatihan, beberapa pasien tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini. Pasien yang
menggunakan Turbuhaler dengan asma yang parah sangat kurang untuk mendapatkan
inspiratory rate yang cukup tinggi untuk mengaktifkan turbuhaler tersebut, bahkan setelah
diberikan instruksi. Turbuhaler digunakan dengan cara menghisap, dosis obat ke dalam mulut,
kemudian diteruskan ke paru-paru. Hal ini kurang tepat untuk pasien seharusnya lebih efisien
dan efektif jika digunakan dalam sediaan nebulizer yakni diberikan langsung pada
tempat/sasaran aksinya seperti paru-paru sehingga dosis yang diberikan rendah. Dosis yang
rendah dapat menurunkan absorpsi sistemik dan efek samping sistemik.
Thiazide bekerja pada ginjal dengan mengurangi reabsorpsi Na di tubulus distal. Dengan
mengganggu transport Na di tubulus distal, maka akan memicu terjadinya natriuresis dan
kehilangan cairan secara bersamaan, hal ini yang menyebabkan efek tekanan darah menurun
namun karena kerjanya yang demikian maka Thiazide tidak efektif untuk pasien dengan gagal
ginjal.
Pasien yang menggunakan oksimetazolin sebagai obat tunggal tidak boleh lebih dari 3
hari secara berturut-turut. Untuk terapi kombinasi, oksimetazolin digunakan terlebih dahulu 5
menit sebelum steroid intranasal. Jika digunakan dalam waktu yang lebih lama daripada yang
direkomendasikan, maka ada kemungkinan bisa terjadi perburukan, perbaikan atau kembalinya
gejala hidung tersumbat; selain efek samping yang lain yaitu rasa panas-terbakar, rasa tertusuk,
ingus bertambah, rasa kering di dalam rongga hidung, bersin, cemas, mual, pusing, sakit kepala,
gangguan tidur, dan denyut jantung yang bertambah cepat atau bertambah lambat.
Jika obat diberikan dengan dosis berlebih maka risiko munculnya efek yang tidak
diinginkan
khususnya pada obat yang memicu kerusakan ginjal juga meningkat. Allopurinol dapat
memperlambat progresivitas penyakit ginjal, namun jika diberikan dengan dosis berlebih pada
pasien gangguan CKD akan memicu terjadinya toksisitas allopurinol. Pada penurunan fungsi
ginjal perlu penyesuaian dosis allopurinol. Allopurinol pada gangguan fungsi ginjal ringan
sampai sedang dimulai dengan dosis rendah (50-100mg) perhari dan dapat dinaikkan dosis untuk
mencapai kadar AU yang diinginkan dengan pemantauan ketat terhadap efek samping.
Pemberian infus yang mengandung kalium harus dengan infus intravena lambat,
termasuk bolus kalium untuk hipokalemia (kecepatan pemberian umumnya tidak boleh melebihi
20 mEq / jam). Ketika memasukkan kalium dalam jangka panjang atau pemberian cairan
pemeliharaan, konsentrasi tidak boleh melebihi 40mEq / L (pengecualian mungkin hipokalemia
berat yang berhubungan dengan aritmia jantung atau ketoasidosis diabetik di mana konsentrasi
yang lebih tinggi dari 60 hingga 80 mEq / L memerlukan kehati-hatian). Pemantauan EKG terus
menerus dan pengukuran serial konsentrasi kalium plasma sangat penting selama pemberian IV
kalium, terutama bila kecepatan pemberian lebih dari 20 mEq / jam.
Larutan kalium IV harus diberikan hanya pada pasien yang terhidrasi dengan baik dan
dengan aliran urin yang memadai (terutama pada pasien pasca operasi).
Pemilian dosis kalium membutuhkan kehati-hatian pada pasien dengan gangguan ginjal
dan pasien geriatri. Kalium asetat, kalium klorida, dan kalium fosfat tersedia sebagai larutan
pekat yang memerlukan pengenceran sebelum pemberian intravena. Intoleransi vaskular lokal
mungkin menjadi faktor pembatas dalam kemampuan pemberian larutan pekat. Idealnya,
pemberian infus kalium harus melalui vena aliran tinggi yang besar (misalnya, vena femoralis),
atau pemberian larutan dengan konsentrasi lebih rendah dapat dibagi dalam dosis terbagi melalui
vena perifer.
Pada pasien dengan gangguan mekanisme ekskresi kalium, pemberian garam kalium
dapat menyebabkan hiperkalemia dan serangan jantung. Ini menjadi perhatian penting pada
pasien yang diberikan kalium IV. Hiperkalemia yang berpotensi fatal dapat berkembang dengan
cepat dan asimtomatik. Pasien rawat inap yang diberi kalium terutama dengan IV, pemantauan
elektrolit serum, EKG dan status klinis pasien diindikasikan.
Jika mekanisme ekskresi terganggu atau jika kalium IV diberikan terlalu cepat,
hiperkalemia yang berpotensi fatal dapat terjadi (Lihat Kontra Indikasi dan Tindakan
Pencegahan). Namun, hiperkalemia biasanya asimtomatik dan dapat dimanifestasikan hanya
dengan peningkatan konsentrasi kalium serum dan karakteristik perubahan EKG (puncak
gelombang T, hilangnya gelombang P, depresi segmen S-T, dan perpanjangan interval QT).
Manifestasi lanjut termasuk kelumpuhan otot dan kolaps kardiovaskular akibat serangan jantung.
Jika salah satu dari manifestasi ini terjadi, segera hentikan pemberian kalium.
Jawab :
Fibrat adalah obat yang direkomendasikan PERKI untuk pentalaksanaan pasien
hipertrigliseridemia. Fibrat diketahui dapat menurunkan kadar trigliserida secara
signifikan (40-60%) dan dalam jumlah kecil mampu meningatkan kadar HDL-c (15-25
persen).