Anda di halaman 1dari 5

PARACETAMOL

Pengertian
- Paracetamol atau acetaminophen adalah obat untuk meredakan demam dan nyeri
ringan hingga sedang, misalnya sakit kepala, nyeri haid, atau pegal-
pegal. Paracetamol atau acetaminophen tersedia dalam bentuk tablet, sirop, tetes,
suppositoria, dan infus.
- Paracetamol diketahui dapat bekerja pada pusat pengaturan suhu yang ada di otak
untuk menurunkan suhu tubuh saat seseorang sedang mengalami demam. Selain itu,
paracetamol juga bisa menghambat pembentukan prostaglandin, yaitu senyawa yang
memicu nyeri dan bengkak ketika terjadi kerusakan atau cedera pada jaringan tubuh.
Merek dagang paracetamol yang dapat kita temui yaitu bodrex, sanmol, termorex, dan
lain sebagainya.
- Paracetamol termasuk dalam golongan obat bebas yang termasuk dalam kategori
analgesik dan antipiretik.

Farmakologi:
Merupakan obat golongan non-opioid dengan onset analgesik dan antipiretik yang cepat (5-
10 menit analgesik, 30 menit antipiretik). Lama kerja 4-6 jam dan dieliminasi melalui hati,
serta memiliki morphine-sparing effect.

Indikasi:
Terapi jangka pendek untuk demam dan nyeri derajat ringan-sedang.

Dosis:
Oral atau rektal
- Pada dewasa diberikan obat paracetamol dalam 500 sampai 1000 mg dalam satu kali
minum
- Pada bayi atau anak diberikan obat paracetamol sekitar 10-15 mg per kg berat badan
anak
Infus intravena selama 15 menit.

- Dewasa BB >50 kg: 1000 mg/pemberian, interval minimal 4 jam, dosis maksimal 4
g/hari. - Anak & dewasa >33-50 kg: 15 mg/kgBB, interval minimal 4 jam, dosis
maksimal 60 mg/kgBB.

- Anak 10-33 kg: 15 mg/kgBB, interval minimal 6 jam, dosis maksimal 60 mg/kgBB.

- Bayi <10 kg: 7,5 mg/kgBB, interval minimal 6 jam, dosis maksimal 30 mg/kgBB.

- Dewasa dengan gangguan ginjal: Dosis sesuai BB, interval minimal 6 jam.

Kontraindikasi:
Hipersensitif dan gangguan hati berat.
Peringatan dan Perhatian:
Ibu hamil dan menyusui, alkoholisme kronik, dehidrasi, malnutrisi dengan cadangan
glutathione rendah, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal berat.

Efek Samping:
Malaise, kenaikan kadar transaminase, ruam, reaksi hipersensitif, hepatotoksik (overdosis).

Interaksi Obat:
Hati-hati jika dikonsumsi bersamaan dengan barbiturat, antikoagulan, amoksisilin.

OVERDOSIS PARACETAMOL
Tanda dan gejala overdosis paracetamol
Tanda dan gejala keracunan parasetamol terjadi dalam tiga fase. Fase pertama dimulai
dalam beberapa jam setelah overdosis, terdiri dari mual, muntah, penampilan pucat, dan
berkeringat. Namun, pasien seringkali tidak memiliki gejala spesifik atau hanya gejala ringan
dalam 24 jam pertama keracunan. Pada kejadian jarang, setelah overdosis yang tinggi, pasien
dapat mengalami gejala asidosis metabolik dan koma di awal perjalanan keracunan.
Fase kedua terjadi antara 24 jam dan 72 jam setelah overdosis dan memiliki tanda-
tanda peningkatan kerusakan hati. Secara umum, kerusakan terjadi pada sel-sel hati saat
hepatosit memetabolisme parasetamol. Penderita mungkin mengalami nyeri perut kuadran
kanan atas. Meningkatnya kerusakan hati juga mengubah penanda biokimiawi fungsi
hati: rasio normalisasi internasional (INR) dan transaminase hati (ALT dan AST) naik ke
tingkat abnormal. Gagal ginjal akut juga dapat terjadi selama fase ini, biasanya disebabkan
oleh sindrom hepatorenal atau sindrom disfungsi multiorgan. Dalam beberapa kasus, gagal
ginjal akut mungkin merupakan manifestasi klinis utama dari toksisitas. Pada kasus tersebut,
kemungkinan bahwa metabolit toksik dihasilkan lebih banyak di ginjal daripada di hati.
Fase ketiga terjadi pada 3 sampai 5 hari, dan ditandai dengan komplikasi nekrosis hati
masif yang mengarah ke gagal hati fulminan dengan komplikasi gangguan koagulasi, gula
darah rendah, gagal ginjal, ensefalopati hepatik, pembengkakan otak, sepsis, kegagalan
multiorgan, dan kematian. Jika fase ketiga pasien tetap hidup, maka nekrosis hati yang
berkembang akan berhenti, dan fungsi hati dan ginjal biasanya kembali normal dalam
beberapa minggu. Tingkat keparahan toksisitas parasetamol bervariasi tergantung pada dosis
dan apakah pengobatan yang tepat telah diterima.

Patofisiologi
Ketika digunakan dalam dosis terapi normal, parasetamol telah terbukti aman. Pada
dosis terapeutik, sebagian besar obat diubah menjadi metabolit nontoksik melalui
metabolisme fase II melalui konjugasi dengan sulfat dan glukuronida, dengan sebagian kecil
dioksidasi melalui sistem enzim sitokrom P450.Sitokrom P450 2E1 dan 3A4 mengubah
sekitar 5% parasetamol menjadi metabolit antara yang sangat reaktif, N -asetil-p-benzokuinon
imina (NAPQI).Dalam kondisi normal, NAPQI didetoksifikasi melalui konjugasi
dengan glutation membentuk konjugat sistein dan asam merkapturat.
Dalam kasus overdosis parasetamol, jalur sulfat dan glukuronida menjadi jenuh, dan
lebih banyak parasetamol dialihkan ke sistem sitokrom P450 untuk menghasilkan NAPQI.
Akibatnya, pasokan glutation hepar menjadi habis, karena kebutuhan glutation lebih tinggi
daripada pembentukan barunya. Oleh karena itu, NAPQI tetap dalam bentuk toksiknya di hati
dan bereaksi dengan molekul membran seluler, mengakibatkan kerusakan dan kematian
hepatosit yang meluas, yang menyebabkan nekrosis hati akut.Pada penelitian hewan,
simpanan glutation hati ditemukan turun hingga kurang dari 70% dibanding tingkat normal
sebelum terjadi toksisitas hati.

ANTIDOT
Pengertian
Acetylcysteine atau asetilsistein antidot adalah obat untuk intoksikasi paracetamol.
Obat ini digunakan untuk melindungi hati saat terjadi keracunan atau overdosis paracetamol.
Berbeda dengan acetylcysteine mukolitik yang digunakan untuk terapi simptomatik bronkitis,
emfisema, pneumonia, dan sistik fibrosis. Efek terapi obat acetylcysteine antidotum overdosis
paracetamol atau acetaminophen adalah dengan menjadi hepatoprotektor. Mekanisme kerja
dengan cara memperbanyak glutation pada hati, bekerja sebagai pengganti glutation, dan
meningkatkan konjugasi sulfat non toksik dari paracetamol.
Indikasi dan dosis
Indikasi acetylcysteine atau asetilsistein antidot pada pasien keracunan paracetamol.
Acetylcysteine diberikan secara intravena (infus) atau peroral (selang nasogastrik), dengan
dosis berdasarkan umur dan berat badan. Pemberian intravena dikenal dengan 21-hour
regimen.
Kontraindikasi dan peringatan
Kontraindikasi penggunaan acetylcysteine atau asetilsistein antidot adalah riwayat
hipersensitivitas terhadap obat ini, tetapi pasien overdosis paracetamol tetap dapat diberikan
obat ini dengan berhati-hati. Peringatan saat meresepkan obat ini adalah pasien dengan
riwayat asma, karena berisiko bronkospasme.

Farmakologi

Farmakologi acetylcysteine atau asetilsistein antidot adalah bertindak sebagai hepatoprotektor


pada kondisi keracunan paracetamol. Acetylcysteine antidot dapat bekerja efektif untuk
mencegah kerusakan hati akibat keracunan paracetamol bila diberikan segera dalam 8‒10 jam
pertama.

1. Farmakodinamik
Acetylcysteine antidot bekerja sebagai hepatoprotektor dengan cara
memperbanyak glutation pada hati, bekerja sebagai pengganti glutation dan
meningkatkan konjugasi sulfat non toksik dari paracetamol. L-sistein merupakan
prekursor antioksidan enzim glutation. Sekitar 4% fraksi metabolit
dari paracetamol dimetabolisme di hati oleh isoenzim CYP2E1 dan sitokrom P450
(CYP) menjadi N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI) yang merupakan zat yang
toksik untuk hepar.
Senyawa NAPQI dapat diikat oleh glutation sehingga membentuk metabolit
yang non toksik yaitu konjugasi metabolit sistein dan mercapturic acid. Ketika terjadi
overdosis paracetamol, maka semakin besar paracetamol yang dimetabolisme oleh
enzim CYP dan dan jumlah glutation sedikit, sehingga menyebabkan jumlah NAPQI
yang banyak.
NAPQI dapat berikatan dengan sel hepar menyebabkan nekrosis lobulus
sentral pada hati. Acetylcysteine mencegah NAPQI berikatan dengan sel hepar
sehingga mencegah terjadinya kerusakan hati.
2. Farmakokinetik
Acetylcysteine antidot diberikan melalui injeksi intravena atau peroral. Obat
ini diserap secara cepat melalui saluran peroral, sehingga dapat diberikan
melalui selang nasogastrik.
Absorbsi
Obat acetylcysteine diabsorbsi dengan cepat melalui saluran pencernaan.
Bioavailabilitas acetylcysteine secara oral adalah 4‒10%. Waktu yang diperlukan
untuk mencapai konsentrasi puncak pada plasma pada penggunaan acetylcysteine
secara oral adalah 0,5–1 jam.
Distribusi
Volume distribusi acetylcysteine adalah 0,47 L/kgBB. Acetylcysteine
berikatan dengan protein plasma (protein binding plasma) sebanyak 83%.
Metabolisme
Acetylcysteine dimetabolisme di hati dan dinding saluran cerna.
Acetylcysteine dapat dimetabolisme menjadi sistein, disulfida dan konjugat (N, N-
diacetylcysteine, N-acetylcysteine, N-acetylcysteine-glutation, N-acetylcysteine-
protein).
Ekskresi
Acetylcysteine diekskresi melalui urin. Waktu paruh obat acetylcysteine
yang digunakan secara intravena adalah 5,58 jam. Waktu pengeluaran rata-rata
(mean clearance/CR) acetylcysteine adalah 0,11 liter/kgBB/jam.

Efek Samping
Efek samping yang dapat ditimbulkan akibat penggunaan acetylcysteine di antaranya:

 Bronkospasme terutama pada pasien asma akut, yang disebabkan oleh pelepasan
histamin lokal dan penghambatan takifilaksis alergen oleh acetylcysteine
 Reaksi hipersensitivitas, seperti angioedema, pruritus, urtikaria, rash, takikardi, dan
hipotensi
 Gangguan saluran pencernaan, seperti mual, muntah, diare

Pemberian acetylcysteine intravena dapat menyebabkan reaksi anafilaktoid, yang ditandai


dengan ruam, wheezing/sesak, atau hipotensi. Jika terjadi reaksi ini, perlu dilakukan
penanganan suportif. Pemberian acetylcysteine dapat ditunda atau tetes infus bisa
diperlambat, kemudian pasien diberikan antihistamin atau bronkodilator bila diperlukan.

Interaksi Obat
Efektivitas obat acetylcysteine akan berkurang bila dikonsumsi bersamaan dengan
obat yang mengandung logam, seperti zat besi dan copper. Selain itu, penurunan efektivitas
dapat terjadi jika digunakan bersama obat antimikroba, seperti amfoterisin B, ampisilin Na,
erythromycin lactobionate, dan tetrasiklin.
Sebaiknya obat acetylcysteine tidak dikonsumsi bersamaan dengan obat antitusif,
karena dapat menyebabkan penumpukan lendir pada saluran napas. Untuk penggunaan
acetylcysteine pada pasien asma akut atau yang memiliki riwayat bronkospasme, sebaiknya
disertai dengan pemberian bronkodilator.

Formulasi
Formulasi acetylcysteine atau asetilsistein antidot adalah dalam bentuk larutan 10%
dan 20%, yaitu mengandung 100 mg/mL atau 200 mg/mL acetylcysteine. Pemberian
acetylcysteine antidot adalah injeksi intravena atau peroral.

Anda mungkin juga menyukai