Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENGELOLAAN OBAT

FARMAKOLOGI KEPERAWATAN

DOSEN PENGAMPU :
ACHMAD SYA’ID, S. Kp., M. Kep

OLEH :
LONATRISTA SELINDA REETY KRYSANTHE 22102079 | 22B
ROFIATUL DELLA TRI LESTARI 22102099 | 22B

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS dr. SOEBANDI
2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang “Pengelolaan
Obat” untuk mata kuliah Farmakologi Keperawatan.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materi. Kami
berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca.
Kami sebagai penulis merasa bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu, kami membutuhkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca agar makalah ini dapat kami sempurnakan.

2
DAFTAR ISI

COVER 1

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 4

1.2 Rumusan Masalah 4

1.3 Tujuan 4

1.4 Manfaat 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengelolaan Obat Pada Anak (Pediatrik) 5

2.2 Pengelolaan Obat Pada Lansia 10

2.3 Pengelolaan Secara Home care 12

2.4 Isu Non Adherent Pada Treatment Obat 13

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan dan Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 15

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam instansi kesehatan maupun home care perawat memiliki
tanggungjawab penuh terhadap penggunaan obat-obatan kimia untuk
meningkatkan derajat kesehatan dan meminimalkan efek obat yang
merugikan. Maka dari itu perawat harus mempunyai kemampuan untuk
mengelola, mengontrol, dan memberikan obat secara aman.
Sebelum memberikan obat pada pasien, perawat harus mengetahui secara
pasti tentang nama obat, golongan obat, efek yang diinginkan, efek samping,
dan sebagainya. Hal ini harus sangat diperhatikan terutama untuk pemberian
obat pada anak-anak maupun lansia karena pada masa-masa tersebut rawan
terjadi komplikasi. Pemberian obat pada anak dan lansia berbeda dengan
pemberian obat pada usia remaja-dewasa. Karena dosis yang diberikan benar-
benar harus sesuai dengan usia, berat badan, dan seberapa parah penyakitnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengelolaan obat pada anak?
2. Bagaimana pengelolaan obat pada lansia?
3. Bagaimana pengelolaan obat secara home care?
4. Apakah isu non adherent pada treatment obat?
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami dan mampu mengelola obat pada anak.
2. Untuk memahami dan mampu mengelola obat pada lansia.
3. Untuk memahami dan mampu mengelola obat secara home care.
4. Untuk mengetahui isu non adherent pada treatment obat.
1.4 Manfaat
1. Bagi tenaga kesahatan, makalah ini diharapkan mampu menjadi acuan
dalam pemberian obat kepada pasien.
2. Bagi mahasiswa, makalah ini diharapkan bisa dikembangkan menjadi
makalah yang lebih baik lagi untuk menambah nilai dan pengetahuan.
3. Bagi masyarakat umum, makalah ini diharapkan bisa membantu dalam
penggunaan obat yang baik sesuai kondisi yang dialami.

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengelolaan obat pada anak (pediatrik)
Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), pediatrik adalah
spesialisasi ilmu kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan sosial
kesehatan anak sejak lahir sampai dewasa muda. Pediatrik juga merupakan
disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengaruh biologis, sosial, lingkungan
dan dampak penyakit pada perkembangan anak. Anak-anak berbeda dari
orang dewasa secara anatomis, fisiologis, imunologis, psikologis,
perkembangan dan metabolisme (Purwaningsih, Rahmawati and Wahyono,
2015). Secara internasional populasi pediatrik dikelompokan menjadi:
a. Preterm newborn Infants ( bayi premature yang baru lahir).
b. Term newborn infants ( bayi yang baru lahir usia 0-28 hari).
c. In fants ans toddlers ( bayi dan anak kecil yang baru belajar berjalan usia
>28 hari sampai 23 bulan).
d. Children (anak-anak usia 2-11 tahun).
e. Adolescents (anak remaja usia 12 sampai 16 tahun).

Pada pediatrik, secara fisiologi beberapa organ penting belum matang


seperti bahwa orang dewasa. Oleh karena itu akan mempengaruhi proses
farmakokinetik-farmakodinamik obat dan perubahan akan terjadi sejalan
dengan pendewasaan, sehingga mempengaruhi efikasi atau toksisitas obat.
Kinetika obat dalam tubuh anak-anak berbeda dengan dewasa sesuai dengan
pertambahan usianya (Farhani, Suwendar and Yuniarni, 2020). Beberapa
perubahan farmakokinetika terjadi selama periode perkembangan dari masa
anak-anak sampai masa dewasa yang menjadi pertimbangan dalam penetapan
dosis untuk pediatri yaitu:

a. Absorpsi
Absorpsi obat melalui rute oral dan parenteral pada anak sebanding
dengan pasien dewasa. Pada bayi dan anak sekresi asam lambung belum
sebanyak pada dewasa, sehingga pH lambung menjadi lebih alkalis. Hal
tersebut akan menurunkan absorbsi obat-obat yang bersifat asam lemah
seperti fenobarbital dan fenitoin, sebaliknya akan meningkatkan absorbsi

5
obat–obat yang bersifat basa lemah seperti penisilin dan eritromisin.
Waktu pengosongan dan pH lambung akan mencapai tahap normal pada
usia sekitar tiga tahun. Waktu pengosongan lambung pada bayi baru lahir
yaitu 6-8 jam sedangkan dewasa 3-4 jam. Oleh karena itu harus
diperhatikan pada pemberian obat yang di absorbsi di lambung. Peristaltik
pada neonatus tidak beraturan dan mungkin lebih lambat karena itu
absorbsi obat di usus halus sulit di prediksi.
Absorpsi perkutan meningkat pada bayi dan anak-anak terutama pada
bayi prematur karena kulitnya lebih tipis, lebih lembab, dan lebih besar
dalam ratio luas permukaan tubuh per kilogram berat badan. Sebagai
contoh terjadinya peningkatan absorpsi obat melalui kulit, terjadi pada
penggunaan 7 steroid, asam borat, heksaklorofen, iodium, asam salisilat
dan alcohol. Absorpsi obat pada pemberian secara intramuskular bervariasi
dan sulit diperkirakan. Perbedaan masa otot, ketidakstabilan vasomotor
perifer, kontraksi otot dan perfusi darah yang relatif lebih kecil dari
dewasa, kecuali persentase air dalam otot bayi lebih besar dibandingkan
dewasa.
Efek total dari faktor-faktor ini sulit diperkirakan, misalnya
fenobarbital akan diabsorpsi secara cepat sedang absorpsi diazepam
memerlukan waktu lebih lama. Oleh karena itu, pemberian secara
intramuskular jarang dilakukan pada neonatus kecuali pada keadaan
darurat atau tidak dimungkinkannnya pemberian secara intra vena.
Pemberian obat secara rektal umumnya berguna untuk bayi dan anak yang
tidak memungkinkan menggunakan sediaan oral seperti pada kondisi
muntah, kejang. Namun demikian, seperti halnya pada pasien dewasa, ada
kemungkinan terjadinya variasi individu pada suplai darah ke rektum yang
menyebabkan variasi dalam kecepatan dan derajat absorpsi pada
pemberian secara rektal.
b. Distribusi
Distribusi obat pada bayi dan anak berbeda dengan orang dewasa,
karena adanya perbedaan volume cairan ekstraseluler, total air tubuh,
komposisi jaringan lemak, dan ikatan protein. Volume cairan ekstraseluler

6
relatif lebih tinggi dibandingkan orang-orang dewasa, volume ini akan
terus menurun seiring bertambahnya usia; pada neonatus 50%, pada bayi
berusia 4-6 bulan 35%, pada usia satu tahun 25% sedangkan pada orang
dewasa sebanyak 20-25% dari total berat badan.
Hal lain yang lebih penting adalah total cairan dalam tubuh akan lebih
tinggi pada bayi yang dilahirkan secara prematur (80-85% dari total berat
badan) dibandingkan pada bayi normal (75% dari total berat badan) dan
pada bayi usia 3 bulan 60% dan pada orang dewasa (55% dari total berat
badan). Besarnya volume cairan ekstra sel dan total air tubuh akan
menyebabkan volume distribusi dari obat-obat yang larut dalam air contoh
fenobarbital Na, penisillin dan aminoglikosida, akan meningkat sehingga
dosis mg/kg BB harus diturunkan.
Hal sebaliknya terjadi berupa lebih sedikitnya jaringan lemak pada
bayi dibandingkan pada orang dewasa. Pada bayi prematur 1-2%
sedangkan pada bayi lahir cukup bulan 15% sedangkan pada orang dewasa
sekitar 20%. Sebagai konsekuensinya volume distribusi obat yang larut
lemak pada bayi dan anak lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa
sehingga diperlukan penurunan dosis dan/atau penyesuaian interval.
Afinitas ikatan obat dengan protein plasma pada bayi dan anak lebih
rendah dibandingkan dengan orang dewasa, hal ini ditambah pula dengan
terjadinya kompetisi untuk tempat ikatan obat tertentu oleh senyawa
endogen tertentu seperti bilirubin.
Ikatan protein plasma seperti fenobarbital, salisilat dan fenitoin pada
neonatus lebih kecil daripada orang dewasa sehingga diperlukan dosis
yang lebih kecil atau interval yang lebih panjang. Afinitas ikatan obat
dengan protein akan sama dengan orang dewasa pada usia 10-12 bulan.
Sebagai contoh, dosis gentamisin pada neonatus usia 0-7 hari 5 mg/kg BB
setiap 48 jam, bayi usia 1 - 4 minggu tiap 36 jam, lebih dari 1 bulan setiap
24 jam. Pada anak usia 7-8 bulan 4 mg/kgBB setiap 24 jam.
c. Metabolisme
Rendahnya metabolisme obat di hati pada neonatus disebabkan oleh
rendahnya aliran darah ke hati, asupan obat oleh sel hati, kapasitas enzim

7
hati dan ekskresi empedu. Sistem enzim di hati pada neonatus dan bayi
belum sempurna, terutama pada proses oksidasi dan glukoronidase,
sebaliknya pada jalur konjugasi dengan asam sulfat berlangsung
sempurna.
Meskipun metabolisme asetaminofen melalui jalur glukoronidase pada
anak masih belum sempurna dibandingkan pada orang dewasa, sebagian
kecil dari bagian ini dikompensasi melalui jalur konjugasi dengan asam
sulfat. Jalur metabolisme ini mungkin berhubungan langsung dengan usia
dan mungkin memerlukan waktu selama beberapa bulan sampai satu tahun
agar berkembang sempurna. Hal ini terlihat dari peningkatan klirens pada
usia setelah satu tahun.
Dosis beberapa jenis antiepilepsi dan teofilin untuk bayi lebih besar
daripada dosis dewasa agar tercapai konsentrasi plasma terapeutik. Hal ini
disebabkan bayi belum mampu melakukan 10 metabolisme senyawa
tersebut menjadi bentuk metabolit aktifnya.
d. Eliminasi melalui ginjal
Filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, reabsorbsi tubulus menurun dan
bersihan (clearance) obat tidak dapat di prediksi, tergantung cara eliminasi
obat tersebut di ginjal. Pada umumnya obat dan metabolitnya dieliminasi
melalui ginjal. Kecepatan filtrasi glomerulus pada neonatus adalah 0,6–0,8
mL/menit per 1,73 m2 dan pada bayi adalah 2-4 mL/menit per 1,73 m2.
Proses filtrasi glomerulus, sekresi tubuler dan reabsorpsi tubuler akan
menunjukkan efisiensi ekskresi ginjal. Proses perkembangan proses ini
akan berlangsung sekitar beberapa minggu sampai satu tahun setelah
kelahiran.

Faktor yang berhubungan dengan efikasi dan toksisitas obat harus


dipertimbangkan dalam perencanaan terapi untuk pasien pediatri selain adanya
perbedaan farmakokinetik antara pasien pediatri dan pasien dewasa.
Perubahan patofisiologi yang spesifik berlangsung pada pasien pediatri yang
mempunyai penyakit tertentu, contoh terjadinya perubahan patofisiologik dan
farmakodinamik pada pasien yang menderita asma kronik. Manifestasi klinik
asma kronik pada anak berbeda dengan dewasa. Anak-anak menunjukkan tipe

8
asma ekstrinsik yang bersifat reversibel, sedangkan dewasa berupa asma non
atopik bronkial iritabilitas (SUSETHA, 2020). Hal ini tampak dengan
diperlukannya terapi hiposensitisasi adjunctive pada pasien pediatri dengan
asma ekstrinsik.

Efek samping yang pasti terjadi pada neonatus telah diketahui, dimana
efek samping toksik lain dapat menjadi perhatian untuk beberapa tahun selama
masa anak-anak. Toksisitas kloramfenikol meningkat pada neonatus karena
metabolisme yang belum sempurna dan tingginya bioavailabilitas. Mirip
dengan kloramfenikol, propilen glikol – yang ditambahkan kepada beberapa
sediaan injeksi seperti fenitoin, fenobarbital, digoksin, diazepam, vitamin D
dan hidralazin dapat menyebabkan hiperosmolalitas pada bayi.

Ada beberapa obat berkurang toksisitasnya pada pasien pediatri dibanding


pasien dewasa (Lubis and Lubis, 2011). Aminoglikosida lebih rendah
toksisitasnya pada bayi dibandingkan pada orang dewasa. Pada pasien dewasa,
toksisitas aminoglikosida berhubungan langsung dengan akumulasi pada
kompartemen perifer dan sensitifitas pasien yang bersifat permanen terhadap
konsentrasi aminoglikosida di jaringan. Meskipun jaringan kompartemen
perifer neonatus untuk gentamisin telah dilaporkan mempunyai ciri yang
mendekati dengan kondisi pada pasien dewasa dengan fungsi ginjal yang
sama, gentamisin jarang bersifat nefrotoksik untuk bayi. Perbedaan insiden
nefrotoksik tersebut menunjukkan bahwa neonatus mempunyai sensitifitas
jaringan yang permanen dan lebih rendah terhadap toksisitas dibandingkan
pada pasien dewasa.

Perbedaan efikasi, toksisitas dan ikatan protein obat pada pasien pediatri
dan pasien dewasa menimbulkan pertanyaan penting tentang rentang
terapeutik pada anak yang dapat diterima. Contoh yang lain terjadinya
sindroma Reye, merupakan penyakit fatal yang menyebabkan efek kerusakan
pada banyak organ, khususnya otak dan hati. Hal ini dapat terjadi berkaitan
dengan penggunaan aspirin oleh pasien pediatri yang sedang menderita
penyakit karena virus misalnya cacar air. Penyakit ini dapat menyebabkan
fatty liver dengan inflamasi minimal, dan ensefalopati parah (dengan

9
pembesaran otak). Hati sedikit membengkak dan kencang, dan tampak
perubahan pada ginjal. Biasanya tidak terjadi jaundice. Diagnosis awal
merupakan hal penting, karena jika tidak dapat terjadi kerusakan otak atau
kematian. Perhatian juga perlu pada penggunaan tetrasiklin dan fluorokinolon.

2.2 Pengelolaan obat pada lansia

Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60


tahun keatas. Pada usia ini terjadi penurunan fungsi organ (fisiologis),
penurunan pengetahuan (kognitif), dan penurunan psikologis yang dapat
menyebabkan komplikasi penyakit sehingga menyebabkan lansia menerima
obat dalam jumlah yang banyak dan dapat mengakibatkan permasalahan
dalam mengkonsumsi obat. Proses penuaan pada lansia dapat diuraikan
sebagai berikut:

a. Kulit menjadi lebih tipis, kering, berkurangnya kadar lemak, berkerut,


kurangnya fungsi melindungi, dan bahkan kurangnya liran darah ke kulit.
b. Sistem pembuluh darah menurun, seperti kurangnya aliran darah yang
dipompa jantung, kurangnya elastisitas pembuluh darah, dan
menumpuknya zat-zat lemak pada bagian dalam arteri yang menyebabkan
hipertensi.
c. Sistem pernafasan mengalami gangguan, misalnya menempelnya kolagen
di paru-paru yang menyebabkan kurangnya kemampuan untuk
mengembang dan berkurangnya aliran darah ke paru-paru yang
menyebabkan pernafasan menjadi kurang efisien. Hal ini menyebabkan
frekuensi nafas lebih cepat dari pernafasan normal.
d. Sistem saraf mengalami penurunandaya ingat dan kemampuan mengambil
keputusan karena sel otak yang mati atau berkurangnya aliran darah ke
otak. Bingung dan perubahan personalitas dapat terjadi karena kekurangan
oksige yang dibawa darah ke otak.
e. Sistem sensor atau indera umumnya kurang kuat dan jelas, mata kadang-
kadang tidak tahan terkena cahaya matahari langsung, telinga kurang
mendengar, dan lain sebagainya.

10
f. Sistem pencernaan mengalami penurunan gerakan dan sekresi asam
lambung yang akan menyebabkan makanan sukar dicerna, sukar
mengunyah atau tidak nyaman karena gigi yang berkurang, dan absorpsi
yang berkurang sehingga kekurangan nutrisi.
g. Sistem sekresi yang menurun, seperti terjadinya penumpukan sisa-sisa
metabolisme tubuh yang seharusnya dibuang yang disebabkan karena
melambatnya fungsi penyaringan ginjal dan melambatnya aliran darah
yang masuk ke ginjal sehingga menyebabkan intensitas pembuangan air
seni menurun.
h. Sistem hormon yang mengalami gangguan sehinga sistem metabolisme sel
tubuh tidak dapat diatur dengan baik dan tubuh tidak dapat bereaksi cepat
terhadap tekanan dari luar, misalnya lansia yang mengalami diabetes.
i. Sistem reproduksi yang mengalami pengurangan hormon seks yang
menyebabkan perubahan fisik.
j. Sistem otot mengalami penurunan kekuatan dan kelenturan.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun


2004, lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas
(Assalwa et al., 2021). Biasanya pada usia ini terjadi penurunan kemampuan
untuk beradaptasi dengan lingkungan luar. Fungsional tubuh juga mengalami
penurunan mulai dari penurunan fungsi organ (fisiologis), penurunan
pengetahuan (kognitif), dan penurunan psikologis (Fredy Akbar K, Idawati
Ambo Hamsah, 2020). Penurunan fungsional tubuh ini menyebabkan
komplikasi penyakit mulai dari penyakit akut hingga penyakit kronis seperti
hipertensi, diabetes, cardiovascular disease, stroke dll.

Komplikasi penyakit yang diderita dapat menyebabkan pasien lansia


menerima obat dalam jumlah yang banyak (lebih dari 5 jenis obat) dalam
sekali terapi atau yang biasa disebut dengan polifarmasi. Hal tersebut
berpotensi menimbulkan permasalahan dalam ketidakpatuhan konsumsi obat
yang dapat menurunkan kualitas hidup lansia. Penurunan fisiologis, kognitif,
dan psikologis juga dapat menyebabkan kesalahpahaman dalam penggunaan
obat. Terdapat prinsip umum penggunaan obat pada lanjut usia untuk
memilimalisir terjadinya kesalahan dalam penggunaan obat, antara lain:

11
a. Berikan obat yang hanya benar-benar diperlukan, artinya hanya bila ada
indikasi yang tepat.
b. Pilih obat yang memberikan rasio manfaat dan resiko paling
menguntungkan bagi pasien usia lanjut.
c. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa
diberikan pada pasien dewasa muda.
d. Sesuaikan dosis obat berdasarkan respons klinik pasien, bila perlu monitor
kadar obat dalam plasma pasien.
e. Berikan regimen dosis yang sederhana dan obat yang mudah di telan untuk
memelihara kepatuhan pasien.
f. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien dan hentikan obat
yang sudah tidak diperlukan.

Permenkes RI Nomor 35 tahun 2014 membahas mengenai pelayanan


kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) dimana apoteker sebagai
pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian
yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien
dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Adapun pelayanan kefarmasian
di rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker meliputi penilaian/pencarian
(assessment) masalah yang berhubungan dengan pengobatan, identifikasi
kepatuhan pasien, pendampingan pengelolaan obat dan alat kesehatan di
rumah, konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum, serta
monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien.

2.3 Pengelolaan Obat secara Homecare

Home Care merupakan salah satu bentuk pelayanan keperawatan


termasuk pada asuhan keperawatan komunitas yang dilaksanakan di rumah.
Pelaksanaan Home Care sendiri merupakan aplikasi dari berbagai macam ilmu
keperawatan yang mempelajari manusia baik sebagai individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat. Perawatan di rumah merupakan kunjungan rumah
yang dilakukan oleh perawat, dilaksanakan untuk membantu individu,

12
keluarga dan masyarakat, mencapai kemandirian dalam menyelesaikan
masalah yang mereka hadapi.

Pengelolaan obat merupakan salah satu prosedur dari asuhan keperawatan.


Perawat juga dapat memberikan obat-obatan tertentu (obat bebas terbatas)
untuk membantu proses penyembuhan pada pasien. Perawat mempunyai peran
dalam melakukan pengkajian secara berkelanjutan, untuk ini perawat harus
mempunyai pengetahuan yang memadai tentang farmakologi obat yang
diberikan kepada pasien sehingga dapat sehingga dapat mengobservasi
keefektivan obat dan mendeteksi adanya toksisitas.

Pengetahuan perawat tentang farmakologi yang harus diketahui oleh


perawat cukup bervarisai, antara lain tentang dosis, reaksi obat, mekanisme
tubuh, efek obat, efek samping obat, cara pemberian, interaksi obat, dengan
bahan yang lain, makna pemberian obat, serta perilaku dan persepsi pasien
dalam menerima terapi obat.

2.4 Isu Non Adherent Pada Treatment Obat

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan Saran
Perawat memiliki tanggungjawab penuh atas pengelolaan obat untuk
pasien. Oleh karena itu, perawat harus mampu memahami dan mampu
mengelola obat dengan baik. Terutama untuk pasien lansia dan anak-anak
yang rentan akan toksisitas obat. Selain di dalam instansi kesehatan, seorang
perawat juga bisa melayani pasien secara home care. Untuk menunjang
kesehatan pasien home care, perawat juga perlu memberikan obat-obatan
sesuai dengan kebutuhan pasien. Pemberian obat harus dilakukan secara tepat
agar tidak muncul efek buruk pada pasien.

14
DAFTAR PUSTAKA
Assalwa, U. et al. (2021) ‘Profil Perilaku Pengelolaan Obat Pada Lansia’, Jurnal
Farmasi Komunitas, 8(1), pp. 9–14. doi: 10.20473/jfk.v8i1.21916.

Farhani, N. F., Suwendar, S. and Yuniarni, U. (2020) ‘Studi Literatur Rasionalitas


Penggunaan Obat Diare pada Pasien Pediatri’, Farmasi, 6(2), pp. 742–748.
Available at: http://103.78.195.33/handle/123456789/28635.

Fredy Akbar K, Idawati Ambo Hamsah, A. M. M. (2020) ‘Gambaran Nutrisi


Lansia Di Desa Banua Baru’, Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada,
9(1), pp. 1–7. doi: 10.35816/jiskh.v10i2.193.

Lubis, I. N. D. and Lubis, C. P. (2011) ‘Penanganan Demam pada Anak’, Sari


Pediatri, 12(6), pp. 409–418. doi: 10.14238/sp12.6.2011.409-18.

Purwaningsih, A. E. D. A., Rahmawati, F. and Wahyono, D. (2015) ‘EVALUASI


PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PEDIATRI RAWAT
INAP’, Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi, 5(3), pp. 211–218.

SUSETHA, M. (2020) ‘ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK ASMA


BRONKIAL DENGAN KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN
NAPAS DI RUANG MELATI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
CIAMIS’, KARYA TULIS ILMIAH, pp. 1–137. Available at:
http://repository.bku.ac.id/xmlui/handle/123456789/673.

15

Anda mungkin juga menyukai