Latar Belakang
Pada dasarnya suatu penyakit dapat diobati oleh satu obat. Obat tersebut
ditetapkan dosis dan frekuensi pemakaiannya dalam sehari karena pada umumnya
obat digunakan untuk pemakaian ganda (berulang). Saat ini banyak obat yang
dibuat oleh industri farmasi berupa kombinasi tetapi dalam satu bentuk sediaan
farmasi (misalnya tablet dan kapsul) yang mengandung dua zat berkhasiat atau
lebih dengan frekuensi pemakaian yang sama (Dalimunthe 2009). Dunia farmasi
yang semakin berkembang menyebabkan masalah baru timbul, salah satunya
adalah drug interaction problem atau masalah interaksi obat. Interaksi obat
didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan
pada awalnya atau diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu
obat atau lebih berubah (Rahmawati et al 2006).
Interaksi obat dapat menimbulkan efek baik dan efek buruk terhadap
pasien dalam interaksinya satu sama lain, sehingga menyebabkan terjadinya
kesalahan pengobatan. Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (object drug)
berubah akibat adanya obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman
(Gitawati 2008). Kejadian interaksi obat akan semakin meningkat dikarenakan
polypharmacy atau multiple drug therapy (Gapar 2003). Polypharmacy terjadi
jika pasien mengkonsumsi lebih dari 5 macam obat secara bersamaan (Sinaga
2004). Secara umum kesalahan pengobatan akibat interaksi obat jarang terungkap
akibat kurangnya pengetahuan kita, baik dokter, apoteker, dan klien.
Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang dikehendaki (desirable drug
interaction) atau efek yang tidak dikehendaki (undesirable/adverse drug
interactions = ADIs). Adverse drug interaction dapat menyebabkan efek samping
dan toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma atau menurunkan
kadar obat dalam plasma yang menyebabkan tidak optimalnya hasil terapi
(Gitawati 2008). Oleh karena itu perlu perhatian khusus dalam meracik obat atau
mengombinasikan obat untuk terapi sehingga kejadian interaksi obat dapat
diminimalisasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Obat
Obat adalah zat aktif berasal dari nabati, hewani, kimiawi alam maupun
sintetis dalam dosis atau kadar tertentu dapat dipergunakan untuk preventif
(profilaksis), rehabilitasi, terapi, dan diagnosa terhadap suatu keadaan penyakit
pada manusia maupun hewan. Namun zat aktif tersebut tidak dapat dipergunakan
begitu saja sebagai obat, terlebih dahulu harus dibuat dalam bentuk sediaan seperti
pil, tablet, kapsul, sirup, suspensi, supositoria, salep dan lainnya (Jas 2007).
Dalam pengertian umum, obat adalah suatu substansi yang melalui efek kimianya
membawa perubahan dalam fungsi biologik (Katzung 2007).
Menurut Katzung (2007), setiap obat memiliki sifat khusus agar dapat
bekerja dengan baik. Pertama, sifat fisik obat dapat berupa benda padat pada
temperatur kamar ataupun bentuk gas namun dapat berbeda dalam penanganannya
berkaitan dengan pH, kompartemen tubuh dan derajat ionisasi obat tersebut.
Kedua, ukuran molekuler obat yang bervariasi dari ukuran sangat besar (BM
59.050) sampai sangat kecil (BM 7) dapat mempengaruhi proses difusi obat
tersebut dalam kompartemen tubuh. Ketiga, bentuk suatu molekul juga harus
sedemikian rupa sehingga dapat berikatan dengan reseptornya. Setiap obat
berinteraksi dengan reseptor berdasarkan kekuatan atau ikatan kimia. Selain itu,
desain obat yang rasional berarti mampu memperkirakan struktur molekular yang
tepat berdasarkan jenis reseptor biologisnya.
Interaksi obat
Peristiwa perubahan efek yang dihasilkan oleh suatu obat dengan zat lain
jika diberikan bersamaan atau hampir bersamaan dapat menguntungkan atau
merugikan. Peristiwa ini lebih dikenal dengan istilah interaksi obat (drug
interaction). Interaksi obat dapat terjadi antara suatu obat dengan obat lain
(interaksi obat-obat), interaksi obat dengan makanan (interaksi obat-makanan),
dan interaksi antara obat dengan unsur-unsur atau senyawa kimia lainnya.
Interaksi obat melibatkan dua jenis obat yaitu obat objek (object drug) dan obat
presipitan (precipitant drug). Obat objek adalah obat yang aksi/efeknya
dipengaruhi atau diubah oleh obat lain, sedangkan obat presipitan adalah obat
yang mengubah aksi/efek obat lain (Dalimunthe 2009).
Menurut Dalimunthe (2009) interaksi obat merupakan interaksi yang
terjadi antar obat yang dikonsumsi bersamaan. Interaksi obat didefinisikan oleh
Committee for Proprietary Medicine Product (CPMP) sebagai keadaan dimana
obat dipengaruhi oleh penambahan obat lain dan menimbulkan pengaruh klinis.
Pengaruh klinis ini dapat terlihat sebagai efek samping (efek negatif) maupun efek
menguntungkan. Obat yang bertindak sebagai precipitant drug memiliki sifat
sebagai berikut:
a. Obat yang terikat banyak oleh protein plasma akan menggeser obat lain
(object drug) dari ikatan proteinnya.
Contoh: Aspirin, Fenilbutazon.
b. Obat yang menghambat atau merangsang metabolisme obat lain.
Contoh: obat perangsang metabolisme (Fenitoin, Griseofulvin) dan obat
penghambat metabolisme (Simetidin, Eritromisin, Ketokonazol).
c. Obat yang mempengaruhi renal clearance object drug.
2
dapat mengurangi absorbsi dari garam besi, sehingga reaksi garam besi
menjadi berkurang. Tetrasiklin yang diberikan secara bersamaan dengan
garam besi akan menyebabkan perusakan flora usus sehingga dapat
mengganggu sirkulasi enterohepatik senyawa-senyawa yang dikonjugasi
hati dan didekonjugasi lagi dalam usus oleh flora usus (Mutschler 2006).
PEMBAHASAN
7
Studi Kasus
1. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM), atau lebih dikenal diabetes, merupakan
penyakit metabolik di mana kadar gula darah yang tinggi dalam jangka
waktu lama. Diabetes dapat disebabkan oleh pankreas yang tidak mampu
memproduksi insulin yang cukup atau sel-sel tubuh yang tidak mampu
merespon baik insulin yang diproduksi. Tiga jenis diabetis yang utama
adalah:
DM tipe 1 adalah hasil dari kegagalan pankreas untuk memproduksi
insulin yang mencukupi. Kondisi ini sebelumnya disebut sebagai
"insulin-dependent diabetes mellitus" (IDDM) atau "juvenile
diabetes.
DM tipe 2 dimulai dengan resistensi insulin, suatu kondisi dimana selsel gagal untuk merespon baik dengan insulin. Defisiensi insulin juga
dapat terjadi diikuti dengan perkembangan penyakit. DM tipe 2
sebelumnya disebut sebagai "non insulin-dependent diabetes mellitus"
(NIDDM) atau "adult-onset diabetes". Penyebab utama penyakit ini
adalah berat badan yang berlebihan dan tidak cukup berolahraga.
Diabetes gestasional terjadi ketika wanita hamil tanpa riwayat diabetes
mengalami peningkatan kadar gula darah.
Berdasarkan komite etik Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, pengobatan dengan obat tradisional tidak direkomendasikan
untuk diberikan secara tunggal karena mengingat DM merupakan penyakit
kronis yang penatalaksanaannya harus menggunakan Obat Hipoglikemik
Oral (OHO) sintetik. Salah satu contoh OHO yang merupakan obat pilihan
pertama dalam mengatasi DM tipe 2 adalah metformin (DepKes RI 2009).
Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness.) merupakan
salah satu tanaman yang tergolong dalam obat tradisional, yang dapat
digunakan sebagai obat anti diabetes mellitus (anti DM). Menurut Reyes
et al. (2006), rebusan herba sambiloto dapat menurunkan kadar glukosa
darah pada tikus DM tipe 1 yang diinduksi oleh aloksan. Selain itu,
Subramanian et al. (2008) menyatakan bahwa ekstrak sambiloto dapat
merangsang pelepasan insulin dan menghambat absorbsi glukosa melalui
penghambatan enzim -glukosidase dan -amilase. Kadar optimal ekstrak
etanol herba sambiloto untuk menurunkan kadar glukosa tikus adalah 2,0
g/ kg BB (Yulinah et al. 2011).
Setelah diabsorpsi, distribusi obat ke seluruh tubuh selain
tergantung sirkulasi darah, juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya.
Distribusi dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas
yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Metformin tidak terikat
protein plasma (Sutanegara 2006) sehingga tidak akan terjadi
penghambatan/ interaksi pada jalur distribusi obat ini. Selain itu, absorpsi
metformin berlangsung relatif lambat dan dapat diperpanjang sampai
sekitar 6 jam. Makanan dapat menghambat absorpsi metformin. Oleh
karena itu, berdasarkan farmakokinetikanya, bioavaibilitas absolut
metformin sebanyak 500 mg yang diberikan dalam kondisi puasa adalah
50-60% (Sukandar 2008).
8
10
11
DAFTAR PUSTAKA
Adaes. 2015. Can the imune system trigger alzheimer disease?. [Internet].
[diunduh
2015
Feb
5].
Tersedia
pada:
http://brainblogger.com/2015/12/19/can-the-immune-system-triggeralzheimers-disease/
Arvidsson S, Niemand D, Martinell S, Ekstrom-Jodal B. 1984. Aminophylline
Reversal of Diazepam Sedation. Anaesthesia. 39:806-809
Batubara PL. 2008. Farmakologi Dasar, Ed ke-2. Jakarta (ID):Lembaga Studi dan
Konsultasi Farmakologi.
Baum L, Ng A. 2004. Curcumin Interaction with Copper and Iron Suggests One
Possible Mechanism of Action in Alzheimers Disease Animal Models.
Journal of Alzheimers Disease. 6:367-377
Chaerunisaa YA, Surahman E, Soeryati S. 2009. Farmasetika Dasar, Konsep
Teoritis Dan Aplikasi Pembuatan Obat. Bandung (ID): Widya Padjadjaran
Dalimunthe A. 2009. Interaksi pada Obat Antimikroba [disertasi]. Medan
(ID):Universitas Sumatera Utara
Fradgley S. 2003. Interaksi Obat dalam Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy)
menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta
(ID): PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia
Gandy S. 2005. The role of cerebral amyloid beta accumulation in common forms
of Alzheimer disease. J Clin Invest. 115(5):1121-1129.
Gapar S. 2003. Interaksi Obat Beta Blocker dengan Obat lain. Medan(ID): USU
Digital Library
Gitawati R. 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Media Litbang
Kesehatan.18(4):175-184
Jas A. 2007. Perihal Resep & Dosis serta Latihan Menulis Resep. Ed ke-1. Medan
(ID): Universitas Sumatera Utara Press.
Katzung BG. 2007. Basic & Clinical Pharmacology. 10th Ed. United States (US):
Lange Medical Publications.
May RJ. 1997. Dalam: Pharmacotherapy a phatophysiologic approach. Adverse
drug reactions and interactions. Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC. Appleton
& Lange. Hal:101-16.
Mutschler E. 2006. Dinamika Obat. Mathilda BW, Anna SR, penerjemah. Kosasih
P, editor. Bandung (ID): Penerbit ITB. Terjemahan dari :
Arzneimittelwirkungen, 5 Volling Neubearbeitete und Erweiterte Auflage
Rahmawati F, Handayani R, Gosal V. Kajian Retrospektif Interaksi Obat di
Rumah Sakit Pendidikan Dr. Sardjito Yogyakarta. Majalah Farmasi
Indonesia. 17(4):177-183
Stockley IH. 1991. Drug Interaction. Ed ke-5. London (UK): The Pharmaceutical
Press
Yang F, Lim GP, Begum AN, et al. 2005. Curcumin inhibits formation of amyloid
beta oligomers and fibrils, binds plaques, and reduces amyloid in vivo. J
Biol Chem. 280(7):5892-5901.
12
Lampiran
Tabel 1 Contoh obat dengan interaksi farmasetik
Obat A (object drug)
Obat B (presipitant drug)
Interaksi
Gentamisin
Karbemisilin
Inaktivasi Gentamisin
Penisilin G
Vitamin C
Inaktivasi Penisilin
Amfotericin B
Infus NaCl
Endapan
Sumber: Dalimunthe 2009
Tabel 2 Contoh obat dengan interaksi farmakokinetik
I Absorpsi
Obat A (object drug)
Obat B (presipitant drug)
a. Interaksi langsung
Tetrasiklin
Katin multivalent (Ca2+ ,
Mg2+, Al3+, dalam antasi,
Ca2+ dalam susu, Fe2+
dalam sedian besi
Linkomisin
Kaolin-oektat
Rifampisin
Bentonit
Interaksi
Terbentuk kelat yang
tidak diabsorpsi jumlah
absorpsi tetrasiklin dan
Fe2+ menurun
Linkomisin
diserap
oleh kaolin sehingga
absorpsi
Rifampisin
akan
diserap oleh bentonit
sehingga
absorpsi
berkurang
Kelarutan
tetrasiklin
akan
berkurang
sehingga
jumlah
absorpsinya berkurang
Penisilin G
Antasida
Kelarutan
tetrasiklin
akan
berkurang
sehingga
jumlah
absorpsinya berkurang
c. Perubahan waktu pengosongan lambung dan transit usus
Ioniazid
Gel Al(OH)3
Gel Al(OH)3 akan
memperpanjang waktu
pengosongan lambung
sehingga
bioavailabilitas
isonazid berkurang
II Metabolisme
Obat A (object drug)
Obat B (presipitant drug)
a. Metabolik dipercepat
Kloramfenikol
Fenobarbital
Interaksi
Fenobarbital
akan
menginduksi
system
enzym
metaboisme
13
INH, PAS
Rifampisin
b. Metabolisme dihambat
Fenitoin
Kloramfenikol, INH, PAS
kloramfenikol
sehingga
metabolismenya
meningkat
dan
kadarnya
dalam
plasma menurun
Rifampisin
akan
menginduksi
system
enzym
metaboisme
kloramfenikol
sehingga
metabolismenya
meningkat
dan
kadarnya
dalam
plasma menurun
Antibiotik
akan
menghambat
metabolisme fenitoin
sehingga
efek/toksisitas fenitoin
akan meningkat
III Eksresi
Obat A (object drug)
Obat B (presipitant drug)
Interaksi
a. Eksresi melalui empedu dan sirkulasi enteroplastik
Rifampisin
Rifampisin
Preobenisid
akan
mengurangi
eksresi
rifampisin
melalui
empedu sehingga efek
rifampisin meningkat
Neomisin, rifampisin
Kontrasepsi oral
Antibiotik
akan
menghambat sirkulasi
enterohepatik
obat
kontrasepsi
oral
sehingga efek KB
menurun
b. Sekresi tubuli ginjal
Penisilin, depsin, PAS
Probenesid
Probenesid
menghambat
sekresi
antibiotik
sehingga
meningkatkan
efek/toksisitasnya
Gentamisin
Furosemid
Furosemid
menghambat
sekresi
antibiotik
sehingga
meningkatkan
efek/toksisitasnya
14
Penisilin
Fenilbutazon
Fenilbutazon
menghambat
sekresi
antibiotik
sehingga
meningkatkan
efek/toksisitasnya
membentuk
tidak larut
kelat
Fenobarbital-Fenitoin
Fenitoin-Asam folat
4
Teofilin -Salbutamol
5
Asam folat-Fenobarbital
6
Diazepam-Parasetamol
7
Digoksin-Spironolakton
8
Furosemid-Digoksin
9
Diklofenak-Ranitidin
10 Antasid-Ranitidin
11 Fluoksetin-Amitriptilin
12 Parasetamol-Fenobarbital
13 Salbutamol-Prednison
14 Parasetamol -fenitoin
15 Teofilin-Prednison
Sumber: Stockley 1999
Farmakokinetika
Farmakokinetika
Farmakodinamik
Farmakokinetika
Farmakokinetika
Farmakokinetika
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetika
Farmakokinetika
Farmakokinetika
Farmakodinamik
Farmakokinetika
Farmakokinetika
16