Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pada dasarnya suatu penyakit dapat diobati oleh satu obat. Obat tersebut
ditetapkan dosis dan frekuensi pemakaiannya dalam sehari karena pada umumnya
obat digunakan untuk pemakaian ganda (berulang). Saat ini banyak obat yang
dibuat oleh industri farmasi berupa kombinasi tetapi dalam satu bentuk sediaan
farmasi (misalnya tablet dan kapsul) yang mengandung dua zat berkhasiat atau
lebih dengan frekuensi pemakaian yang sama (Dalimunthe 2009). Dunia farmasi
yang semakin berkembang menyebabkan masalah baru timbul, salah satunya
adalah drug interaction problem atau masalah interaksi obat. Interaksi obat
didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan
pada awalnya atau diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu
obat atau lebih berubah (Rahmawati et al 2006).
Interaksi obat dapat menimbulkan efek baik dan efek buruk terhadap
pasien dalam interaksinya satu sama lain, sehingga menyebabkan terjadinya
kesalahan pengobatan. Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (object drug)
berubah akibat adanya obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman
(Gitawati 2008). Kejadian interaksi obat akan semakin meningkat dikarenakan
polypharmacy atau multiple drug therapy (Gapar 2003). Polypharmacy terjadi
jika pasien mengkonsumsi lebih dari 5 macam obat secara bersamaan (Sinaga
2004). Secara umum kesalahan pengobatan akibat interaksi obat jarang terungkap
akibat kurangnya pengetahuan kita, baik dokter, apoteker, dan klien.
Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang dikehendaki (desirable drug
interaction) atau efek yang tidak dikehendaki (undesirable/adverse drug
interactions = ADIs). Adverse drug interaction dapat menyebabkan efek samping
dan toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma atau menurunkan
kadar obat dalam plasma yang menyebabkan tidak optimalnya hasil terapi
(Gitawati 2008). Oleh karena itu perlu perhatian khusus dalam meracik obat atau
mengombinasikan obat untuk terapi sehingga kejadian interaksi obat dapat
diminimalisasi.

TINJAUAN PUSTAKA
Obat
Obat adalah zat aktif berasal dari nabati, hewani, kimiawi alam maupun
sintetis dalam dosis atau kadar tertentu dapat dipergunakan untuk preventif
(profilaksis), rehabilitasi, terapi, dan diagnosa terhadap suatu keadaan penyakit
pada manusia maupun hewan. Namun zat aktif tersebut tidak dapat dipergunakan
begitu saja sebagai obat, terlebih dahulu harus dibuat dalam bentuk sediaan seperti
pil, tablet, kapsul, sirup, suspensi, supositoria, salep dan lainnya (Jas 2007).
Dalam pengertian umum, obat adalah suatu substansi yang melalui efek kimianya
membawa perubahan dalam fungsi biologik (Katzung 2007).
Menurut Katzung (2007), setiap obat memiliki sifat khusus agar dapat
bekerja dengan baik. Pertama, sifat fisik obat dapat berupa benda padat pada
temperatur kamar ataupun bentuk gas namun dapat berbeda dalam penanganannya
berkaitan dengan pH, kompartemen tubuh dan derajat ionisasi obat tersebut.
Kedua, ukuran molekuler obat yang bervariasi dari ukuran sangat besar (BM
59.050) sampai sangat kecil (BM 7) dapat mempengaruhi proses difusi obat
tersebut dalam kompartemen tubuh. Ketiga, bentuk suatu molekul juga harus
sedemikian rupa sehingga dapat berikatan dengan reseptornya. Setiap obat
berinteraksi dengan reseptor berdasarkan kekuatan atau ikatan kimia. Selain itu,
desain obat yang rasional berarti mampu memperkirakan struktur molekular yang
tepat berdasarkan jenis reseptor biologisnya.
Interaksi obat
Peristiwa perubahan efek yang dihasilkan oleh suatu obat dengan zat lain
jika diberikan bersamaan atau hampir bersamaan dapat menguntungkan atau
merugikan. Peristiwa ini lebih dikenal dengan istilah interaksi obat (drug
interaction). Interaksi obat dapat terjadi antara suatu obat dengan obat lain
(interaksi obat-obat), interaksi obat dengan makanan (interaksi obat-makanan),
dan interaksi antara obat dengan unsur-unsur atau senyawa kimia lainnya.
Interaksi obat melibatkan dua jenis obat yaitu obat objek (object drug) dan obat
presipitan (precipitant drug). Obat objek adalah obat yang aksi/efeknya
dipengaruhi atau diubah oleh obat lain, sedangkan obat presipitan adalah obat
yang mengubah aksi/efek obat lain (Dalimunthe 2009).
Menurut Dalimunthe (2009) interaksi obat merupakan interaksi yang
terjadi antar obat yang dikonsumsi bersamaan. Interaksi obat didefinisikan oleh
Committee for Proprietary Medicine Product (CPMP) sebagai keadaan dimana
obat dipengaruhi oleh penambahan obat lain dan menimbulkan pengaruh klinis.
Pengaruh klinis ini dapat terlihat sebagai efek samping (efek negatif) maupun efek
menguntungkan. Obat yang bertindak sebagai precipitant drug memiliki sifat
sebagai berikut:
a. Obat yang terikat banyak oleh protein plasma akan menggeser obat lain
(object drug) dari ikatan proteinnya.
Contoh: Aspirin, Fenilbutazon.
b. Obat yang menghambat atau merangsang metabolisme obat lain.
Contoh: obat perangsang metabolisme (Fenitoin, Griseofulvin) dan obat
penghambat metabolisme (Simetidin, Eritromisin, Ketokonazol).
c. Obat yang mempengaruhi renal clearance object drug.
2

Contoh: Furosamid (diuretik) yang dapat menghambat eksresi Gentamisin,


sehingga menimbulkan toksik.
Obat yang dipengaruhi (object drug) menunjukan kurva dose-response
yang curam, dimana obat ini dapat menimbulkan perubahan reaksi terapeutik yang
besar dengan perubahan dosis kecil. Kelainan yang ditimbulkan dapat
memperbesar efek terapi dan juga bisa menjadi dosis toksik atau dosisnya
mendekati dosis terapi. Hal ini yang dinamakan keracunan obat akibat interaksi
obat (Dalimunthe 2009). Contoh kurva dose-response yang curam adalah garis
kurva berwarna merah pada gambar 1. Apabila Dosis object drug dekat dengan
dosis terapi, kemungkinan besar akan timbul penurunan efek terapi atau
timbulnya efek samping obat, misal antibiotik (golongan aminoglikosida,
antikoagulan, immunosupresan, dan antikonvulsi).

Gambar 1 Kurva dosis-respon obat


Beberapa obat sering diberikan secara bersamaan pada penulisan resep,
maka mungkin terdapat obat yang kerjanya berlawanan. Obat pertama dapat
memperkuat atau memperlemah, memperpanjang atau memperpendek kerja obat
kedua. Interaksi obat harus lebih diperhatikan, karena interaksi obat pada terapi
obat dapat menyebabkan kasus yang parah dan tingkat kerusakan-kerusakan pada
pasien, dengan demikian jumlah dan tingkat keparahan kasus terjadinya interaksi
obat dapat dikurangi (Mutschler 1991).
Interaksi obat dapat dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu:
1. Interaksi Farmasetik
Interaksi ini terjadi diluar tubuh (sebelum obat di berikan) antar
obat yang tidak bisa di campur (inkompatibel). Pencampuran obat
demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisika atau
kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan,
perubahan warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi
ini biasanya berakibat inaktivasi obat (Batubara 2008).
Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik
bersifat langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadinya

presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible), yang selanjutnya


menyebabkan obat menjadi tidak aktif, contohnya yaitu:
a. karbenisilin dengan gentamisin terjadi inaktivasi
b. fenitoin dengan larutan dextrosa 5% terjadi presipitasi
c. amfoterisin B dengan larutan NaCl fisiologik terjadi presipitasi.
2. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi Farmakokinetik adalah interaksi yang menunjukan proses
yang dialami obat didalam tubuh atau pengaruh tubuh terhadap obat,
meliputi proses transpor, perubahan metabolik, dan dijadikan sebagai
landasan cara memakai obat dalam Farmakoterapi. Interaksi dalam
farmakokinetik meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
(ADME) yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar obat dalam
plasma. Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat
tidak berlaku untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi.
Hal tersebut dikarenakan perbedaan sifat fisikokimia yang menghasilkan
sifat farmakokinetik yang berbeda. Contoh dari interaksi farmakokinetik
adalah Cimetidine yang tidak dimiliki oleh H2 Bloker, interaksi antara
terfenadin yang tidak dimiliki oleh antihistamin non sedatif lainnya
(Gitawati 2008).

Gambar 2 Skema farmakonetika obat (kiri) dan hakekat farmakokinetik (kanan)


a. Absorpsi
Interaksi pada proses absorbsi terjadi karena adanya perubahan pH
obat pertama. Obat yang asam atau basa apabila diberikan bersamaan
dengan sianida akan menyebabkan jumlah absorbsinya berubah akibat
adanya kenaikan pH dalam saluran usus bagian atas. Pengaruh absorbsi
obat kedua dapat mempengaruhi lama atau tidaknya obat pertama untuk
diabsorbsi dalam saluran cerna. Digoxin merupakan obat yang sukar untuk
diabsorbsi. Pemberian metoklopramide menyebabkan pengurangan
absorbsi obat didalam saluran cerna. Pemberian digoxin yang disertai
dengan pemberian obat antikolinergik menyebabkan peningkatan absorbsi
digoxin dalam saluran cerna. Senyawa senyawa komplek terbentuk pada
pemakaian yang bersamaan antara tetrasiklin dan garam besi. Tetrasiklin
4

dapat mengurangi absorbsi dari garam besi, sehingga reaksi garam besi
menjadi berkurang. Tetrasiklin yang diberikan secara bersamaan dengan
garam besi akan menyebabkan perusakan flora usus sehingga dapat
mengganggu sirkulasi enterohepatik senyawa-senyawa yang dikonjugasi
hati dan didekonjugasi lagi dalam usus oleh flora usus (Mutschler 2006).

Gambar 3 Skema absorpsi obat dalam saluran cerna


b. Distribusi
Jika dalam darah terdapat beberapa obat, kemungkinan akan terjadi
persaingan terhadap tempat ikatan protein plasma. Suatu interaksi dapat
terjadi karena salah satu obat mampu menggeser obat lain dari ikatan
protein yang ada dalam plasma darah. Hal tersebut menyebabkan kadar
obat bebas dalam darah meningkat sehingga meningkatkan efek obat
tersebut. Fenilbutazon dapat menggeser antikoagulan dari ikatan protein.
Hal tersebut menyebabkan konsentrasi antikoagulan bebas dalam plasma
darah meningkat. Kenaikan konsentrasi antikoagulan menyebabkn
kenaikan eliminasi sehingga menghambat sintesis protombin. Sintesis
protombin yang terhambat menyebabkan terjadinya pendarahan. Salisilat
dan Sulfonamide yang diberikan secara bersamaan pada bayi akan
menggeser ikatan bilirubin dari ikatan albuin. Hal tersebut akan
menyebabkan ikterus (Mutschler 2006).

Gambar 4 Skema distribusi obat dalam sistem sirkulasi darah


c. Metabolisme
5

Interaksi pada fase metabolisme dapat terjadi bila metabolisme


object drug dirangsang atau dihambat oleh precipitant drug. Pada fase
metabolisme, enzim metabolisme akan dirangsang dan dihambat.
Perangsangan atau induksi retikulum endoplasma di hepatosit dan
sitokrom P 450 yang merupakan enzim metabolik menyebabkan metabolik
precipitant drug bertambah dan konsentrasi plasma object drug berkurang
efektivitasnya (Mutschler 2006).

Gambar 5 Skema metabolisme obat dalam organ hati


d. Ekskresi
Kompetisi pada sekresi tubulus ginjal adalah mekanisme yang
penting dalam interaksi ini. Aliran darah renal akan diturunkan melalui
mekanisme obat (misal : Beta-Bloker). Beta-Bloker jika bertemu dengan
aspirin akan menghambat mekanisme renal spesifik di tubulus proksimal,
mempengaruhi pH urin, mempengaruhi ionisasi obat asam lemah atau basa
lemah, merubah reabsorbsi di tubulus renalis sehingga akan
mempengaruhi ikatan proten dan meningkatkan filtrasi (Mutschler 2006).

Gambar 6 Skema eksresi obat melalui saluran urinari


3. Interaksi Farmakodinamik
6

Interaksi farmakodinamik dapat terjadi apabila dua buah obat atau


lebih saling berinteraksi dan bekerja secara sinergis (saling memperkuat)
ataupun antagonis (saling meniadakan) pada suatu reseptor. Interaksi
antagonis adalah interaksi antara inhibitor monoaminoksidase dan
simpatomimetika secara tidak langsung akan menyebabkan perubahan
tekanan darah (kenaikan atau penurunan tekanan darah) (Mutschler 2006).
Pada interaksi farmakodinamik, kerja precipitant drug dapat
mempengaruhi object drug baik secara langsung maupun tidak langsung,
yakni:
a. Interaksi farmakodinamika secara langsung
Terjadi jika dua obat saling berinteraksi pada reseptor yang sama
(antagonis atau sinergis) atau memiliki aksi pada dua tempat yang berbeda
yang hasil akhirnya sama.
Antagonis pada reseptor yang sama:
1. Penurunan efek opiat dengan naloxon
2. Penurunan efek walfarin dengan vitamin K
3. Penurunan efek obat obat hipoglikemik oleh glukokortikoid
Sinergis pada reseptor yang sama
Anti hipertensi dan obat-obat yang menyebabkan hipotensi misalnya anti
angina, vasodilatator.
b. Interaksi farmakodinamika secara tak langsung
Pada interaksi ini, farmakologik, terapeutik,atau efek toksik dari
precipitant drug dalam beberapa kesempatan dapat mengubah efek terapi
atau efek toksik dari object drug, tetapi terdapat 2 efek yang tidak
berkaitan dan tidak berinteraksi secara mandiri (langsung).

Gambar 7 Skema interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik obat

PEMBAHASAN
7

Studi Kasus
1. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM), atau lebih dikenal diabetes, merupakan
penyakit metabolik di mana kadar gula darah yang tinggi dalam jangka
waktu lama. Diabetes dapat disebabkan oleh pankreas yang tidak mampu
memproduksi insulin yang cukup atau sel-sel tubuh yang tidak mampu
merespon baik insulin yang diproduksi. Tiga jenis diabetis yang utama
adalah:
DM tipe 1 adalah hasil dari kegagalan pankreas untuk memproduksi
insulin yang mencukupi. Kondisi ini sebelumnya disebut sebagai
"insulin-dependent diabetes mellitus" (IDDM) atau "juvenile
diabetes.
DM tipe 2 dimulai dengan resistensi insulin, suatu kondisi dimana selsel gagal untuk merespon baik dengan insulin. Defisiensi insulin juga
dapat terjadi diikuti dengan perkembangan penyakit. DM tipe 2
sebelumnya disebut sebagai "non insulin-dependent diabetes mellitus"
(NIDDM) atau "adult-onset diabetes". Penyebab utama penyakit ini
adalah berat badan yang berlebihan dan tidak cukup berolahraga.
Diabetes gestasional terjadi ketika wanita hamil tanpa riwayat diabetes
mengalami peningkatan kadar gula darah.
Berdasarkan komite etik Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, pengobatan dengan obat tradisional tidak direkomendasikan
untuk diberikan secara tunggal karena mengingat DM merupakan penyakit
kronis yang penatalaksanaannya harus menggunakan Obat Hipoglikemik
Oral (OHO) sintetik. Salah satu contoh OHO yang merupakan obat pilihan
pertama dalam mengatasi DM tipe 2 adalah metformin (DepKes RI 2009).
Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness.) merupakan
salah satu tanaman yang tergolong dalam obat tradisional, yang dapat
digunakan sebagai obat anti diabetes mellitus (anti DM). Menurut Reyes
et al. (2006), rebusan herba sambiloto dapat menurunkan kadar glukosa
darah pada tikus DM tipe 1 yang diinduksi oleh aloksan. Selain itu,
Subramanian et al. (2008) menyatakan bahwa ekstrak sambiloto dapat
merangsang pelepasan insulin dan menghambat absorbsi glukosa melalui
penghambatan enzim -glukosidase dan -amilase. Kadar optimal ekstrak
etanol herba sambiloto untuk menurunkan kadar glukosa tikus adalah 2,0
g/ kg BB (Yulinah et al. 2011).
Setelah diabsorpsi, distribusi obat ke seluruh tubuh selain
tergantung sirkulasi darah, juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya.
Distribusi dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas
yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Metformin tidak terikat
protein plasma (Sutanegara 2006) sehingga tidak akan terjadi
penghambatan/ interaksi pada jalur distribusi obat ini. Selain itu, absorpsi
metformin berlangsung relatif lambat dan dapat diperpanjang sampai
sekitar 6 jam. Makanan dapat menghambat absorpsi metformin. Oleh
karena itu, berdasarkan farmakokinetikanya, bioavaibilitas absolut
metformin sebanyak 500 mg yang diberikan dalam kondisi puasa adalah
50-60% (Sukandar 2008).
8

Kombinasi metformin dan ekstrak sambiloto untuk penurunan daya


hipoglikemik merupakan interaksi yang terjadi pada fase absorpsi karena
absorpsi metformin berlangsung relatif lambat dan dapat diperpanjang
sampai sekitar 6 jam. Metformin menurunkan kadar glukosa darah dengan
meningkatkan penggunaan glukosa oleh sel usus (Sutanegara 2006).
Metformin dan ekstrak sambiloto memiliki kemampuan yang hampir sama
dalam menurunkan kadar glukosa darah baik preprandial maupun
postprandial karena adanya andrografolid di dalam ekstrak sambiloto.
Menurut Yu et al. 2003 andrografolid dapat meningkatkan penggunaan
glukosa otot pada tikus yang dibuat diabetes dengan Streptozotocin (STZ)
melalui stimulasi transporter GLUT-4. Hal ini membuktikan bahwa
andrografolid dapat meningkatkan penggunaan glukosa pada otot untuk
menurunkan kadar glukosa dalam plasma tikus. Selain itu, didapati bahwa
analog senyawa andrografolid juga dapat menurunkan kadar glukosa
darah, meningkatkan insulin, dan merangsang GLUT-4 pada tikus DM tipe
1 yang diinduksi aloksan (Zhang et al. 2009).
Dari efek yang diamati dari penelitian tersebut diketahui bahawa
penggunaan ekstrak sambiloto dan metformin memberikan interaksi obat
yang sinergis. Oleh karena itu kombinasi kedua obat tersebut dianjurkan
diberikan bersama untuk terapi DM.
2. Alzheimers
Alzheimer merupakan penyakit progresif yang merusak memori
dan fungsi mental. Menurut Adaes (2015), penyakit Alzheimers juga
dikarakterisas idengan respons inflamatori yang utamanya dipicu oleh
mikroglia pada otak. Pada penderit apenyakit Alzheimers, peptida yaitu
amyloid membentuk aggregasi yang berakumulasi di otak dan
membentuk deposisi yang dikenal sebagai plaque amyloid (Gandy 2005).
Inflamasi dan kerusakan akiba toksidasi juga berkaitan dalam proses
penyakit Alzheimer.
Curcumin diketahui dapat menghambat pembentukan amyloid
oligomer secara in vitro. Jika disuntik secara peripheral, curcumin dapat
melewati blood brain barrier pada hewan model penderita penyakit
Alzheimer (Yang et al. 2005). Namun, masih belum diketahui jika
curcumin digunakan secara oral dapat menembus blood brain barrier atau
menghambat perkembangan penyakit alzheimers pada manusia. Temuan
besar pada hewan model menyebabkan percobaan uji klinis suplemen
curcumin oral pada penderita Alzheimers tahap awal dapat dijalankan.
Pada peringkat awal, penderita Alzheimer akan mengalami
kekeliruan yang tidak serius dan kesukaran dalam mengingat. Pada
akhirnya, penderita penyakit ini juga berkemungkinan untuk melupakan
orang yang penting dalam hidup mereka. Selain itu, penderita juga
berkemungkinan mengalami perubahan personalitas yang dramatik.
Menurut Baum dan Ng (2004), curcumin bersifat anti-oksidan dan
anti-inflamasi. Hal ini telah diuji pada hewan model penyakit Alzheimer.
Hasil uji menunjukkan penurunan amyloid dan protein teroksidasi. Hal ini
mencegah cognitive deficit (defisit kognitif). Tembaga dan besi dapat
menginduksi toksisitas yang konsentrasinya tinggi di otak penderita
9

penyakit Alzheimer. Interaksi antara curcumin dengan tembaga dan besi


bersifat antagonis yaitu menurunkan atau mencegah sama sekali efek
agonis. Di India di mana kunyit sering digunakan dalam makanan seperti
kari, prevalensi penyakit Alzheimers hanya 1% pada mereka yang
berumur 65 tahun keatas. Curcumin diuji coba dalam pengobatan pada
hewan model penderita penyakit Alzheimers karena efek samping dari
curcumin lebih rendah dibanding obat anti-inflamasi yang lain.
Pengobatan menggunakan curcumin memblokade perkembangan
cognitive deficit pada tikus model. Curcumin dicoba pada hewan model
utamanya karena efek anti inflamasinya yang telah diketahui. Namun,
salah satu kemungkinan mekanisme alternatif dimana curcumin dapat
memberi efek anti penyakit Alzheimers adalah kelasi logam. Bukti
menunjukkan metal seperti tembaga, seng atau besi mempunyai peranan
dalam penyakit Alzheimers. Studi menunjukkan curcumin dapat mengikat
ion metal seperti tembaga dan logam. Pengukuran affinitas curcumin bagi
tembaga, logam dan seng dapat membantu dalam estimate kebarang kalian
kelasi adalah mekanisme di mana curcumin melindungi dari penyakit
Alzheimers pada hewan model. Oleh karena curcumin menunjukkan
warna yang kuat walau dalam cairan yang encer, absorbansi optikal
spectra pada cairan curcumin diobservasi terhadap perubahan ketika
penambahan metal ion untuk memperoleh bukti dalam hubungan antar
curcumin dan metal ion.
Dapat ditarik kesimpulan dari penelitian tersebut diketahui
curcumin bersifat antagonis terhadap logam sehingga terjadi kelasi logam
dan mengakibatkan terhambatnya perkembangan penyakit Alzheimers.
3. Sedian Anastetikum
Diazepam telah dibuktikan berguna dan secara essensial
merupakan obat yang selamat dalam praktik anastesi dan mempunyai rasio
therapeutik yang tinggi. Namun jika terjadi efek overdosis dapat
menyebabkan perpanjangan koma dan di bawah kondisi tersebut, antidota
yang efektif sangat diperlukan. Pada tahun 1981, Stirt melaporkan kasus di
mana aminophylline dalam dosis yang rendah dapat melawan sedasi dalam
yang diakibatkan oleh diazepam. Aminophylline bisa didapatkan secara
luas.
Dalam praktik anastesi, diazepam telah diterima dengan luas
sebagai obat yang relatif aman. Diazepam sering digunakan dalam dosis
yang berlebihan oleh karena itu itu antagonisnya sangat diperlukan. Dari
hasil penelitian yang dilakukan, aminophylline ternyata efektif sebagai
antagonis diazepam dengan pemberian dosis yang cukup dapat
menyebabkan sedasi yang dalam.
Aminophylline sebagai adenosine turut memberi kesan terhadap
efek yang ditimbulkan oleh diazepam.. Berdasarkan studi in vivo pada
tikus, ditunjukkan bahwa diazepam menghalangi uptake adenosine
sehinggga meningkatkan tingkat adenosine ekstra selluler. Diazepam juga
menekan pelepasan acethycholine dari korteks serebral. Aminophylline
menimbulkan efek berlawanan.

10

Aminophylline dalam dosis yang rendah adalah antagonis yang


sangat baik terhadap sedasi dalam yang diakibatkan oleh diazepam. Atau
dengan kata lain aminophylline merupakan antidota ketika mengalami
kondisi overdosis oleh diazepam.

11

DAFTAR PUSTAKA
Adaes. 2015. Can the imune system trigger alzheimer disease?. [Internet].
[diunduh
2015
Feb
5].
Tersedia
pada:
http://brainblogger.com/2015/12/19/can-the-immune-system-triggeralzheimers-disease/
Arvidsson S, Niemand D, Martinell S, Ekstrom-Jodal B. 1984. Aminophylline
Reversal of Diazepam Sedation. Anaesthesia. 39:806-809
Batubara PL. 2008. Farmakologi Dasar, Ed ke-2. Jakarta (ID):Lembaga Studi dan
Konsultasi Farmakologi.
Baum L, Ng A. 2004. Curcumin Interaction with Copper and Iron Suggests One
Possible Mechanism of Action in Alzheimers Disease Animal Models.
Journal of Alzheimers Disease. 6:367-377
Chaerunisaa YA, Surahman E, Soeryati S. 2009. Farmasetika Dasar, Konsep
Teoritis Dan Aplikasi Pembuatan Obat. Bandung (ID): Widya Padjadjaran
Dalimunthe A. 2009. Interaksi pada Obat Antimikroba [disertasi]. Medan
(ID):Universitas Sumatera Utara
Fradgley S. 2003. Interaksi Obat dalam Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy)
menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta
(ID): PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia
Gandy S. 2005. The role of cerebral amyloid beta accumulation in common forms
of Alzheimer disease. J Clin Invest. 115(5):1121-1129.
Gapar S. 2003. Interaksi Obat Beta Blocker dengan Obat lain. Medan(ID): USU
Digital Library
Gitawati R. 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Media Litbang
Kesehatan.18(4):175-184
Jas A. 2007. Perihal Resep & Dosis serta Latihan Menulis Resep. Ed ke-1. Medan
(ID): Universitas Sumatera Utara Press.
Katzung BG. 2007. Basic & Clinical Pharmacology. 10th Ed. United States (US):
Lange Medical Publications.
May RJ. 1997. Dalam: Pharmacotherapy a phatophysiologic approach. Adverse
drug reactions and interactions. Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC. Appleton
& Lange. Hal:101-16.
Mutschler E. 2006. Dinamika Obat. Mathilda BW, Anna SR, penerjemah. Kosasih
P, editor. Bandung (ID): Penerbit ITB. Terjemahan dari :
Arzneimittelwirkungen, 5 Volling Neubearbeitete und Erweiterte Auflage
Rahmawati F, Handayani R, Gosal V. Kajian Retrospektif Interaksi Obat di
Rumah Sakit Pendidikan Dr. Sardjito Yogyakarta. Majalah Farmasi
Indonesia. 17(4):177-183
Stockley IH. 1991. Drug Interaction. Ed ke-5. London (UK): The Pharmaceutical
Press
Yang F, Lim GP, Begum AN, et al. 2005. Curcumin inhibits formation of amyloid
beta oligomers and fibrils, binds plaques, and reduces amyloid in vivo. J
Biol Chem. 280(7):5892-5901.

12

Lampiran
Tabel 1 Contoh obat dengan interaksi farmasetik
Obat A (object drug)
Obat B (presipitant drug)
Interaksi
Gentamisin
Karbemisilin
Inaktivasi Gentamisin
Penisilin G
Vitamin C
Inaktivasi Penisilin
Amfotericin B
Infus NaCl
Endapan
Sumber: Dalimunthe 2009
Tabel 2 Contoh obat dengan interaksi farmakokinetik
I Absorpsi
Obat A (object drug)
Obat B (presipitant drug)
a. Interaksi langsung
Tetrasiklin
Katin multivalent (Ca2+ ,
Mg2+, Al3+, dalam antasi,
Ca2+ dalam susu, Fe2+
dalam sedian besi
Linkomisin
Kaolin-oektat
Rifampisin

Bentonit

Interaksi
Terbentuk kelat yang
tidak diabsorpsi jumlah
absorpsi tetrasiklin dan
Fe2+ menurun
Linkomisin
diserap
oleh kaolin sehingga
absorpsi
Rifampisin
akan
diserap oleh bentonit
sehingga
absorpsi
berkurang

b. Perubahan pH cairan saluran pencernaan


Tetrasiklin
NaHCO3

Kelarutan
tetrasiklin
akan
berkurang
sehingga
jumlah
absorpsinya berkurang
Penisilin G
Antasida
Kelarutan
tetrasiklin
akan
berkurang
sehingga
jumlah
absorpsinya berkurang
c. Perubahan waktu pengosongan lambung dan transit usus
Ioniazid
Gel Al(OH)3
Gel Al(OH)3 akan
memperpanjang waktu
pengosongan lambung
sehingga
bioavailabilitas
isonazid berkurang
II Metabolisme
Obat A (object drug)
Obat B (presipitant drug)
a. Metabolik dipercepat
Kloramfenikol
Fenobarbital

Interaksi
Fenobarbital
akan
menginduksi
system
enzym
metaboisme
13

INH, PAS

Rifampisin

b. Metabolisme dihambat
Fenitoin
Kloramfenikol, INH, PAS

kloramfenikol
sehingga
metabolismenya
meningkat
dan
kadarnya
dalam
plasma menurun
Rifampisin
akan
menginduksi
system
enzym
metaboisme
kloramfenikol
sehingga
metabolismenya
meningkat
dan
kadarnya
dalam
plasma menurun
Antibiotik
akan
menghambat
metabolisme fenitoin
sehingga
efek/toksisitas fenitoin
akan meningkat

III Eksresi
Obat A (object drug)
Obat B (presipitant drug)
Interaksi
a. Eksresi melalui empedu dan sirkulasi enteroplastik
Rifampisin
Rifampisin
Preobenisid
akan
mengurangi
eksresi
rifampisin
melalui
empedu sehingga efek
rifampisin meningkat
Neomisin, rifampisin
Kontrasepsi oral
Antibiotik
akan
menghambat sirkulasi
enterohepatik
obat
kontrasepsi
oral
sehingga efek KB
menurun
b. Sekresi tubuli ginjal
Penisilin, depsin, PAS
Probenesid
Probenesid
menghambat
sekresi
antibiotik
sehingga
meningkatkan
efek/toksisitasnya
Gentamisin
Furosemid
Furosemid
menghambat
sekresi
antibiotik
sehingga
meningkatkan
efek/toksisitasnya
14

Penisilin

Fenilbutazon

Fenilbutazon
menghambat
sekresi
antibiotik
sehingga
meningkatkan
efek/toksisitasnya

Sumber: Dalimunthe 2009


Tabel 3 Contoh obat dengan interaksi farmakodinamik
Interaksi fisiologi
Obat A (object drug)
Obat B (presipitant drug)
Interaksi
d-tubokurare
Aminoglikoside,
Meningkatkan efek dtetrasiklin,
klindamisin, tubokurare
linkomisin
Kumarin
Antibiotik spektrum luas
Meningkatkan
efek
kumarin
Aminoglikosida
Furosemid, vankomisin
Meningkatkan
ototoksisitas
Aminoglikosida
Sefaloritin, amphoterisin
Meningkatkan
nefrotoksik
Sumber: Dalimunthe 2009
Tabel 4 Contoh obat dengan interaksi antimikroba dan makanan
Absorpsi yang ditingkatkan
Obat
Mekanisme
Perhatian
Eritromisin
Tidak diketahui
Gunakan
bersama
makanan
Griseofulvin
Obat bersifat larut lemak
Gunakan
bersama
makanan dengan kadar
lemak tinggi
Absorpsi yang ditunda
Obat
Mekanisme
Perhatian
Ampisilin
Mengurangi volume cairan Gunakan bersama air
perut
Amoksisilin
Mengurangi volume cairan Gunakan bersama air
perut
INH
Makanan akan menaikan Minum saat perut
pH saluran cerna dan kosong
memperlambat
waktu
pengosongan lambung
Linnkomisin
Mekanisme tidak diketahui Minum saat perut
kosong
Sulfonamida
Mekanisme tidak diketahui Gunakan
bersama
dengan makanan yang
akan
memperanjang
waktu
pengosongan
lambung
Tetrasiklin
Berikatan
dengan
ion Gunakan 1 jam atau 2
kaslium dan garam besi jam setelah makan, dan
15

membentuk
tidak larut

kelat

yang hindari susu

Sumber: Dalimunthe 2009


Tabel 5 Contoh obat dengan interaksi jenis farmakokinetik atau farmakodinamik
No
Jenis obat yang berinteraksi
Mekanisme interaksi
1
Isoniasid-Rifampisin
Farmakokinetika
2
3

Fenobarbital-Fenitoin
Fenitoin-Asam folat

4
Teofilin -Salbutamol
5
Asam folat-Fenobarbital
6
Diazepam-Parasetamol
7
Digoksin-Spironolakton
8
Furosemid-Digoksin
9
Diklofenak-Ranitidin
10 Antasid-Ranitidin
11 Fluoksetin-Amitriptilin
12 Parasetamol-Fenobarbital
13 Salbutamol-Prednison
14 Parasetamol -fenitoin
15 Teofilin-Prednison
Sumber: Stockley 1999

Farmakokinetika
Farmakokinetika
Farmakodinamik
Farmakokinetika
Farmakokinetika
Farmakokinetika
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetika
Farmakokinetika
Farmakokinetika
Farmakodinamik
Farmakokinetika
Farmakokinetika

16

Anda mungkin juga menyukai