Anda di halaman 1dari 5

Steven-Johnson Syndrom et causa Paracetamol

PENDAHULUAN
Steven-Johnson’s Syndrome (SJS) merupakan suatu penyakit akut yang dapat mengancam
jiwa yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang dikenal dengan trias
kelainan pada kulit vesikobulosa, mukosa orifisium dan mata disertai gejala umum berat.
Stevens dan Johnson pertama kali melaporkan dua buah kasus seperti erupsi kutaneus yang
disertai erosive stomatitis dan kelainan pada mata. Pada tahun 1956, Lyell mendeskripsikan
pasien dengan kehilangan epidermis hingga nekroses dan pertama kali diperkenalkan sebagai
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). Baik SJS maupun TEN ditandai dengan kelainan pada
kulit dan mukosa. Makula eritem merupakan lesi yang sering terdapat pada lokasi tubuh dan
kaki bagian proksimal lalu berkembang secara progresif menjadi bula flaccid yang
menyebabkan pelepasan epidermal. Dikarenakan kesamaan antara gejala klinis, penemuan
histopatologis, penyebab, serta mekanismenya, kedua kondisi ini hanya dapat bisa dibedakan
dengan total body surface area yang terkena <10% dan dikatakan TEN apabila total body
surface area yang terkena >30%. Apabila total body surface area yang terkena 10-30%
disebut SIS-TEN overlap, keduanya juga dikenal dengan istilah epidermal necrolysis.

A. Zat Toksik
Pada pembahasan jurnal ini, zat yang bersifat toksik adalah paracetamol yang disebabka
karena akumulasi dari salah satu metabolitnya yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI),
yang dapat terjadi karena overdosis, pada pasien malnutrisi, atau pada peminum alcohol
kronik.

B. Wujud Zat Toksik


Paractamol atau asetaminofen adalah obat analgesik non narkotik dan antipiretik yang
popular dan digunakan untuk melegakkan sakit kepala, sengal-sengal dan sakit ringan, serta
demam. Digunakan dalam sebagian besar resep obat analgesik selesma dan flu. Paracetamol
aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapat, overdosis obaat baik sengaja ataupun
tidak sering terjadi.
Paracetamol adalah para aminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah
digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Paracetamol mempunyai daya kerja analgesik,
antipiretik, tidak mempunyai daya antiradang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan
lambung (Sartono, 1993).
Paracetamol berbentuk serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit dengan berat
molekul 151,16. Kelarutan larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N dan mudah larut
dalam etanol. Jarak lebur paracetamol antara 1680 dan 1720.

C. Dosis Zat Toksik


Paracetamol dosis 140 mg/ kg pada anak-anak dan 15 g pada dewasa dapat menyebabkan
hepatotoksik berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Sebagaimana juga obat-obat
lain, bila penggunaan paracetamol tidak benar, maka berisiko menyebabkan efek yang tidak
diinginkan. Paracetamol dalam jumlah 10-15g (20-30 tablet) dapat menyebabkan kerusakan
serius pada hati dan ginjal. Kerusakan fungsi hati juga bisa terjadi pada peminum alkohol
kronik yang mengonsumsi paracetamol dengan dosis 2g/ hari atau bahkan kurang dari itu.
Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim hati,
kerusakan lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit meningkat.

D. Perubahan Biokimia, Struktural, dan Fungsional Zat Toksik


Paracetamol umumnya dikonversi oleh enzim sitokom P450 di hati menjadi metabolit
reaktifnya, yang disebut N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI). Proses ini disebut
aktivasi metabolik, dan NAPQI berperan sebagai radikal bebas yang memiliki lama hidup
yang sangat singkat. Meskipun metabolism paracetamol melalui ginjal tidak begitu berperan,
jalur aktivasi metabolic ini terdapat pada ginjal dan penting secara toksikologi. Dalam
keadaan normal, NAPQI akan didetoksifikasi secara cepat oleh enzim glutation dari hati.
Glutation mengandung gugus sulfhidril yang akan mengikat secara kovalen radikal bebas
NAPQI , menghasilkan konjugat asam merkapturat, yang kemudian keduanya dapat
diekskresikan melalui urine.
Pada dosis terapi N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI) bersifat hepatotoksik, dimana
pada dosis berlebih (over dosis) produksi metabolit hepatotoksik meningkat melebihi
kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan
sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan
keracunan Paracetamol terapi diajukan untuk menstimulasi sintesa glutation.

Kerusakan paracetamol biasanya terbagi dalam 4 fase, yaitu :


Fase 1 :
Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, perasaan tak menentu pada tubuh yang tak
nyaman (malaise) dan banyak mengeluarkan keringat.
Fase 2 :
Pembesaran liver, peningkatan bilirubin dan konsentrasi enzim hepatik, waktu yang
dibutuhkan untuk pembekuan darah menjadi bertambah lama dan kadang terjadi
penurunan volume urine.
Fase 3 :
Berulangnya kejadian pada fase 1 (biasanya 3-5 hari setelah munculnya gejala awal) serta
terlihat gejala awal gagal hasil seperti pasien tampak kuning karena terjadinya
penumpukan pigmen empedu di kulit, membrane mukosa dan sklrea (jaundice),
hipoglikemia, kelainan pembekuan darah, dan penyakit degenerative pada otak
(encephalopathy). Pada fase ini juga mungkin terjadi gagal ginjal dan berkembangnya
penyakit yang terjadi pada jantung (cardiomyophaty).
Fase 4 :
Penyembuhan atau berkembang menuju gagal hati yang fatal.

E. Deskripsi Masalah yang Terjadi


Seorang perempuan berusia 24 tahun datang ke UGD RSUD Dr. H Abdoel Moelok
dengan keluhan bibir melepuh sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Keluhan
disertai dengan mata perih dan sulit dibuka serta kulit wajah terasa panas dan sekujur tubuh
terasa menggigil. Pasien merasakan bibirnya melepuh seperti terbakar sehingga ia menjadi
sulit untu makan dan berbicara. Sejak ±1 minggu SMRS, pasien merasakan tidak enak badan
dan sakit kepala, saat itu pasien minum obat dari warung (Paracetamol). Sore harinya pasien
merasakan panas pada wajahnya lalu muncul gelembung-gelembung berisi air berukuran
kecil seperti cacar air padaa wajah, leher, dada, dan punggung waah. Sejak 5 hari SMRS,
gelembung pada wajah, leher, dada, dan punggung bawah pasien pecah dan menjadi bercak-
bercak kehitaman. Pasien juga merasakan gatal pada wajah, leher, dada, dan punggung
bawahnya.

Pasien mengkonsumsi paracetamol yang merupakan obat golongan antipiretik, dimana


hal ini sesuai dengan teori bahwa antipiretik merupakan salah satu obat penyebab terjadinya
SJS.

F. Waktu Terpapar Zat Toksik

Reaksi hipersentifitas terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali


dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi
radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T.Terjadi pengaktifan sel T penghasil
limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen, sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya. Dapus no. 3

G. Anti Dotum yang Digunakan


1. Arang aktif (norit) dengan dosis 100 g dalam 200 ml air untuk orang dewasa dan
larutan 1 g/ kgBB untuk anak-anak untuk mengikat obat yang tersisa di saluran
pencernaan.
2. Apabila keracunan paracetamol dalam hitungan menit dapat dicoba untuk
mengosongkan perut. Hal ini dapat dicapai dengan menginduksi muntah atau dengan
menempatkan sebuah tabung besar melalui mulut seseorang dan masuk ke perut,
memasukkan cairan ke dalam perut kemudian memompa keluar (gastric lavage).
3. Pemberian N-asetilsisten (NAC)
N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan paracetamol. N-
konjugasi sulfat pada paracetamol. Methionine per oral, juga bisa asetilsistein bekerja
mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan meningkatkan digunakan
sebagai antidotum yang efektif, tetapi absorpsi lebih lambat dibandingkan dengan N-
asetilsistein.
Daftar Pustaka
Olson, K. R., Poisoning and Drug Overdose 5th ed, McGraw-Hill Inc., 2007, p. 68-71.
Wilmana, P. F., 1995, Analgesik, Antipiretik, Antiinflamasi Non Steroid dan Obat Pirai,
Farmakologi dan Terapi, Editor Ganiswara, S. G., Edisi IV, FKUI, Jakarta.
Sartono, 1993. Pengaruh pemberian dosis tunggal parasetamol terhadap komposisi
metabolit paracetamol dalam urine tikus jantan malnutrisi. Majalah Kedokteran
Diponegoro 30 (3,4)L227-32.
George N, Johnson P, Thomas J, Mariya A. Drug induced Stevens Johnson Syndrome:
a case report. JPPCM. 2016; 2(4):144-5.

Anda mungkin juga menyukai