Anda di halaman 1dari 133

Zainal Arifin Adnan

Reumatologi Praktis
klinis, diagnosis dan terapi
JILID 3

SEBELAS MARET UNIVERSITY PRESS

i
Reumatologi Praktis
klinis, diagnosis dan terapi
JILID 3

Oleh : DR.Dr.Zainal Arifin Adnan,SpPD-KR


Editor :
: Dr.Arief Nurudhin, SpPD
Dr. Yulyani Werdiningsih, SpPD
Desain sampul : dr. Habibie Arifianto
Cetakan ke-2 tahun 2015

Percetakan :
Sebelas Maret University Press
Jl.Ir .Sutami 36A
Telp. 0271-646994 Psw.341
Surakarta

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin dalam waktu yang relatif tidak begitu lama penulis dapat
menyelesaikan buku jilid III Reumatologi Praktis, klinis, diagnosis dan terapi.
Harapan penulis semoga buku ini mampu menambah khasanah ilmu dalam pelayanan
dan arah pemikiran di bidang reumatologi.

Reumatologi adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari sistema
muskuloskeletal termasuk sendi yang mengalami gangguan fungsi akibat kelainan
yang disebabkan oleh infeksi, keradangan, degenerasi, idiopatik, penyakit
autoimmun, penyakit metabolisme, trauma mekanik dan kelainan cacat sejak lahir.
Dalam hal ini meliputi tendonitis, artritis, bursitis, fibromialgia, kapsulitis, vaskulitis,
dan lain-lain kelainan yang dapat melibatkan satu atau beberapa sendi, secara akut
atau kronis, diketahui secara jelas penyebabnya atau tersamar dan bisa terjadi akibat
kelainan langsung (lokal) maupun sistemis.

Reumatologi merupakan ilmu yang terus berkembang dengan cepat dalam tingkat
seluler maupun molekuler. Walaupun teori molekuler dalam bidang reumatologi telah
banyak diteliti namun hasil yang menuju suatu terapi etiologi belum bisa
menggembirakan, kecuali gangguan sendi akibat faktor infeksi dan sampai saat ini
pengobatan reumatologi banyak berorientasi pada terapi simtomatis dan anti
keradangan.

Tidak jarang dalam praktek sehari-hari kita menemukan kasus reumatologi yang
cukup sulit untuk membedakan antara diagnosis satu dengan diagnosis yang lain
(diagnosis banding), sehingga untuk mencapai dan mendapatkan hasil terapi yang
tepat masih cukup sulit. Selain itu juga masih sering dijumpai perbedaan istilah
penyebutan yang tidak sama pada satu kelainan.

Penulis berharap semoga buku reumatologi: diagnosis dan terapi praktis ini, dapat
membantu dan memenuhi kebutuhan dalam memberikan pelayanan yang memuaskan
kepada penderita reumatik. Walaupun buku ini masih sangat banyak kekurangannya,

iii
tapi dengan saran dan keinginan tahu dari sejawat dapat mampu mendorong
penyempurnaan buku ini pada edisi berikutnya.
Kepada isteri saya Ny. Hj. Muslimah Sri Sularni yang telah banyak
mendorong terbitnya buku ini, juga anak saya dr. Habibie Arifianto yang tidak sedikit
andilnya dalam membantu dan mengoreksi naskah ini, penulis menyampaikan
penghargaan yang sebesar-besarnya dan jazakumullahu khairan, dan juga kepada
saudara Nanang Harri Nugroho yang telah membantu menyusun dan mengantarkan
kepada terbitnya buku ini.

Penulis

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
BAB II INFEKSI
II.1. Demam Reumatik Akut (DRA)....................................................................3
II.2. Endokarditis Bakterial..................................................................................8
II.3. Penyakit Lyme..............................................................................................11
II.4. Fungal Artritis..............................................................................................17
II.5. Osteomyelitis................................................................................................21
II.6.Septik Bursitis...............................................................................................24
II.7. Artritis Tuberkulosis.....................................................................................27
BAB III GANGGUAN TULANG DAN VASKULITIS
III.1. Osteoporosis................................................................................................31
III.2. Periostitis.....................................................................................................38
III.3. Polymyalgia Rheumatica............................................................................40
III.4. Reumatoid Vasculitis..................................................................................44
III.5. Eritema Nodusum.......................................................................................48
III.6. Imunodefisiensi...........................................................................................51
III.7. Multiple Sclerosis.......................................................................................54
III.8. Myasthenia Gravis......................................................................................57
III.9. Miopati........................................................................................................60
BAB IV KELAINAN NON-ARTICULAR
IV.1. Bursitis, Tendinitis, Enthesitis.....................................................................66
IV.2. Penyakit Paget.............................................................................................75
IV.3. Panniculitis..................................................................................................79
BAB V PSEUDOGOUT ……………………………………………………………
V.I Penyakit deposisi kristal dehidrasi kalsiumfosfat …………………………..
V.2 Churg-Strauss-angiitis ………………………………………………………
BAB VI KELAINAN MUSKULOSKELETAL …………………………………….
BAB VII NEUROPATI ARTRITIS …………………………………………………
BAB VIII NSAID GASTROPATHY ……………………………………………….
BAB IX POEMS SYNDROME …………………………………………………….

v
BAB X KEHAMILAN DAN ARTRITIS ……………………………………………..
BAB XI SARKOIDOSIS ………………………………………………………………
BAB XII STREPTOCOCCAL REACTIVE ARTRITIS ……………………………...
BAB XIII WAGENER′S GRANULOMATOSUS …………………………………….

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Reumatologi yang sejak ribuan tahun lalu telah diderita dan ditemukan pada makhluk
yang bergerak dan mempunyai tulang, otot dan sendi. Karena terbukti adanya
kelainan pada penelitian arkeologi yang mendapatkan erosi pada ujung tulang maupun
kelainan anatomis dari tulang. Makin aktif geraknya sendi maka kemungkinan
terjadinya trauma dengan segala akibatnya sampai terjadinya cacat sendi makin
tinggi, demikian pula adanya faktor kegemukan maupun kelebihan beban kerja diluar
batas fisiologis.

Sehat tulang dan sendi merupakan masalah yang tidak ringan untuk di sosialisasikan,
ternyata ajakan WHO 10 tahun (sampai 2010) merupakan dekade menuju sehat tulang
dan sendi. Tentu saja seruan ini bisa tecapai secara maksimal bilamana semua profesi
yang terkait dengan pelayanan sehat tulang dan sendi ikut berpartisipasi secara aktif,
praktis dan selalu meneliti demi kemajuan bidang ilmiah penyakit reumatik.

Pada hakekatnya hidup adalah bergerak, sehingga sangat tergantung kepada


kenyamanan gerak, dan untuk bergerak sebagian besar tergantung pada fungsi
jaringan sendi termasuk didalamnya sistema muskuloskeletal yang menopang dan
mempunyai peran utama menjaga stabilitas dan mobilitas gerak dalam kehidupan.
Sendi mempunyai struktur yang sangat kompleks yang didalamnya terdapat jaringan
rawan sendi dan terdiri dari berbagai unsur penopang dalam matriks ekstra seluler
yang semuanya terbungkus kuat dan rapi oleh kapsul sendi. Masing-masing
komponen sendi terbentuk dari bermacam-macam kelompok sel dan molekul protein
yang mempunyai fungsi khusus, serta terjalin suatu sistem komunikasi inter seluler
yang sangat kompleks, termasuk didalamnya sistema hematopoeitik, sistema
endoretikuler, sistema limfe dan sistema syaraf yang juga membantu serta menjaga
stabilitas fungsi jaringan sendi sehingga sendi, jaringan kapsul sendi, otot dan tulang
dapat berfungsi secara kompleks dan nyaman.

Sangat menggembirakan perkembangan penelitian bidang reumatologi yang telah


merambah masuk ke bidang biologi molekuler dan imunologi seluler dan molekuler.

1
Penemuan berbagai molekul yang berperan dalam reaksi keradangan dan respon
immun seperti berbagai mediator, sitokin, molekul reseptor dan lain sebagainya telah
dapat menjelaskan berbagai mekanisme penyebab terjadinya penyakit di bidang
reumatologi serta terapi terkini yang disebut terapi gen, sel biologi serta sel punja.

Harapan kedepan penelitian bidang reumatologi mampu menerangkan penyebab,


patogenesis serta menegakkan diagnosis sampai kepada terapi penyebab penyakit
yang sebelumnya masih kabur.

2
BAB II
INFEKSI

II.1. Demam Reumatik Akut (DRA)

Pengertian Umum:
Demam reumatik akut (DRA) adalah suatu penyakit sistemik akibat reaksi
imun dengan demam yang terjadi sebagai sekuel yang terlambat dari infeksi
Streptococcus grup A dan ditandai dengan lesi inflamasi pada jaringan penghubung.
Manifestasi klinis yang paling sering adalah demam, poliartritis yang berpindah-
pindah dan karditis. 1,2,3

Etiologi:
DRA terjadi 2-3 minggu setelah faringitis yang disebabkan streptococcus grup
A- hemolitikus yang tidak tertangani (3% dari kasus yang tidak tertangani). 1,2

Patogenesis:
Mekanisme yang pasti belum diketahui. Respon imun humoral akan berujung
pada penimbunan komplek imun. Hal ini sepertinya melibatkan respon imun terhadap
antigen streptococcus grup A yang kemudian akan bereaksi silang dengan jaringan
manusia melalui sebuah mimikri molekuler. Perbedaan strain dari streptococcus grup
A akan membedakan kemampuan mereka untuk memicu terjadinya DRA, dan
perubahan pada prevalensi strain reumatogenik dapat mempengaruhi insidensi dari
DRA.
Toksin ekstra seluler streptococcus, yang dapat berperan sebagai super antigen
mungkin dapat menjadi patogen. Faktor genetik penjamu, termasuk beberapa antigen
HLA dan non-HLA, dapat meningkatkan penerimaan terhadap strain reumatogenik.
Peningkatan frekuensi yang signifikan dari HLA-DRB1*0701, -DR6, dan –
DQB1*0201 telah diteliti pada beberapa penelitian internasional demam reumatik.3,4,5

Demografi:
Puncak insidensi dari DRA adalah 5-15 tahun dengan insiden yang menurun
pada orang dewasa. Sangat jarang ditemukan pada anak-anak dibawah umur 3 tahun.

3
Demam reumatik akut menjadi endemik dan penyebab utama dari penyakit katup
jantung pada negara-negara berkembang. Yang termasuk faktor resiko adalah
kemiskinan, kepadatan penduduk dan usia muda. 6,7

Temuan Pokok:
Pada tahun 1944 Dr. T. Duckett Jones menciptakan diagnosis kriteria untuk
DRA (Jones criteria) yang didasarkan dari observasinya dari ratusan pasien. Kriteria
Jones telah direfisi beberapa kali dan yang paling baru adalah tahun 1992. dan
menjadi dasar dari diagnosis klinis DRA. 1,2,3

Kriteria Jones
Kriteria Mayor
Karditis
Poliartritis
Chorea
Eritema marginatum
Nodul subkutan
Kriteria Minor
Demam
Artragia
Peningkatan reaktan fase akut (C-reaktif protein atau laju endap retrosit)
PR interval memanjang pada EKG
Bukti pendukung dari infeksi streptococcus grup A
Kultur usap tenggorok yang positif atau tes antigen
Peningkatan titer antibodi streptococcus

Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor, ditambah
dengan bukti pendukung dari infeksi streptococcus grup A.

Kriteria Mayor:
- Artritis terjadi pada sekitar 75% pasien dengan DRA. Artritis ini berpindah-pindah
dan terjadi pada banyak sendi. Artritis biasanya mempengaruhi sendi-sendi besar
terutama lutut, tumit, pergelangan tangan dan siku, dan jarang mempengaruhi sendi-
sendi kecil dari tangan dan kaki. Sendi yang mengalami inflamasi sering nampak
kemerahan, bengkak, dan tidak nyaman. Apabila dibiarkan tidak tertangani
peradangan pada sendi tunggal akan sembuh secara spontan setelah beberapa hari.
Namun, poliartritis akan berlangsung selama 1-4 minggu. Artritis pada DRA sangat
respon terhadap terapi salisilat.
- Karditis terjadi 50-60% dari keseluruhan kasus DRA. Dan hal ini jarang ditemui
setelah dewasa. Ketika DRA mempengaruhi jantung, biasanya akan berpengaruh pada

4
endokardium, myokardium dan perikardium pada derajat yang berbeda. Endokarditis
akan menyebabkan valvulitis pada mitral dan / atau aorta (yang paling sering terjadi),
katup trikuspid dan pulmonal jarang terinfeksi. Kriteria Jones yang telah direvisi
memerlukan auskultasi bising jantung yang baru, untuk penegakan diagnosis dari
karditis. Ketika terjadi demam reumatik kronis regurgitasi katup jantung akan menjadi
stenosis katup.
- Chorea sydenham yang terjadi pada 10-15% pasien biasanya merupakan manifestasi
akhir dari DRA. Penampakan klinis dari Chorea adalah gerakan involunter yang tidak
berguna, inkoordinasi, perubahan mimik wajah dan ketidak stabilan emosi. Chorea
adalah penyakit yang sembuh sendiri, dan kesembuhan yang sempurna memakan
beberapa bulan. Chorea terjadi karena antibodi yang bereaksi silang dengan neuron
ganglia basalis.
- Eritema marginatum terjadi kurang dari 2% dari seluruh kasus. Hal ini akan nampak
seperti bercak makuler pada kulit yang eritematus, rata dengan inti yang pucat. Bercak
ini biasanya terjadi pada badan dan lengan.
- Nodul subkutan terjadi kurang dari 1% dari kasus DRA dengan diameter < 2 cm,
yang berlokasi pada penonjolan tulang atau selubung tendon. Biasanya sembuh
sempurna tanpa diikuti gejala sisa.

Kriteria Minor:
Demam pada DRA biasanya > 39,0OC, yang muncul pada permulaan sakit dan
akan sembuh sempurna walaupun tanpa pengobatan setelah beberapa minggu. Nyeri
sendi terjadi berpindah-pindah dan kadang sangat nyeri walaupun tanpa disertai tanda
radang.

Pemeriksaan Laboratorium:
Sekitar sepertiga dari pasien ARF tidak memiliki riwayat faringitis yang
simptomatis. Dan akan sangat penting untuk menemukan bukti laboratoris dari
infeksi streptococcus grup A sebelumnya. Peningkatan kadar anti streptolysin-O
(ASTO), anti –DNase B, anti-NADase, anti streptokinase dan anti hyaluronidase
kesemuanya menjadi bukti infeksi streptococcus. Walaupun tidak ada pemeriksaan
yang spesifik untuk DRA, sekurang-kurangnya satu macam pemeriksaan dengan titer
meningkat 90% pada infeksi streptococcus. Peningkatan pada kadar reaktan fase akut
(CRP dan/atau laju endap eritrosit) dan anemia akibat inflamasi kronis sering terjadi.

5
Kultur usap tenggorok untuk infeksi streptococcus biasanya negatif, hasil positif
mungkin hanya pada infeksi yang berat. EKG, foto torak dan ekhokardiogram kadang
diperlukan untuk mendiagnosis blok atrio ventrikular derajat I atau karditis. Aspirasi
cairan pada sendi yang terkena berisi cairan sendi steril dan ditemukan sel-sel
radang.6,7

Diagnosis Banding:
Pada anak-anak yang menyebabkan poliartritis akut diantaranya : juvenile
reumatoid artritis, SLE, artritis gonococcus, artritis reaktif dan serum sickness.
Kejang chorea dapat terjadi pada SLE, tumor pada ganglia basalis, penyakit wilson,
kehamilan (chorea gravidarum) dan penyakit Huntington.

Terapi:
Menggunakan antibiotik (penicilin dan turunannya) digunakan untuk
mengeradikasi streptococcus grup A. Terapi antiradang dapat digunakan salisilat atau
AINS lainnya. Penicilin (eritromisin bila alergi) provilaksis jangka panjang sering
direkomendasikan. 6,7,8

Terapi Demam Rematik Akut


Terapi anti inflamasi ringan atau tidak ada Aspirin 50-100 mg/kg/hr dalam 4 dosis terbagi
karditis selama 2-4 minggu kemudian diturunkan dosis
perlahan 4-6 minggu

Karditis sedang atau berat Prednisone 2 mg/kg/hr dalam 2 dosis selama 2-


4 minggu, kemudian diturunkan dengan
penambahan aspirin saat dosis prednisone <
0,5 mg/kg/hr
Terapi primer antistreptococcus 1,2 juta unit penisilin G IM atau penisilin/
eritromisin oral selama 10 hari.
Profilaksis streptococcus grup A 1,2 juta unit penisilin G IM setiap 4 minggu,
atau sulfadiazine 500 mg PO (BB < 27 kg)
atau 1 gr PO (BB > 27 kg) atau penisilin V 250
mg PO.
Terapi untuk mengontrol gejala jantung (jika Diuretik, ACE inhibitor dan digoksin dengan
diperlukan) hati-hati.
Terapi untuk mengontrol Chorea (jika Haloperidol atau Phenobarbital
diperlukan)
Profilaksis endokarditis bakterial Sesuai rekomendasi asosiasi jantung Amerika

6
Prognosis:
Mortalitas yang berhubungan dengan karditis jarang terjadi, gejala sisa yang
paling serius adalah penyakit jantung reumatik. Yang biasanya terjadi 10-20 tahun
setelah infeksi. Nyeri sendi biasanya sembuh sendiri, dan berlangsung kurang dari 6
minggu.

Kepustakaan

1. Amigo MC, Martinex-Lavin M, Reyes P. Acute rheumatic fever. Rheum Dis Clin North Am
1993;19;333-350.
2. Rullan E, Sigal LH. Rheumatic fever. Curr Rheumatol Rep 2001;3:445-452. Tani LY, Veasy
LG, Minich LL, et al. Rheumatic fever in children younger than 5 years: is the presentation
different? Pediatrics 2003;112:1065-1068.

3. Ayoub EM, Ahmed S. Update on complications of group A strep-tococcal infections. Curr


Prob Pediatr. 1997:27:90. (Proposed criteria for poststreptococcal artritis.)

4. Special Writing Group of the Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki
Disease of the Council on Cardiovascular Diseases in the Young of the American Heart
Association. Guidelines for the diagnosis of rheumatic fever. Jones criteria, 1992 update.
JAMA. 1992;268:2069. (Most recent American Heart Association revision of the Jones
criteria for ARF with detailed clinical descriptions of criteria.)

5. Crea MA, Mortimer EA. The nature of scarlatinal artritis. Pediatrics. 1959;23:879. (Original
description of poststreptococcal artritis.)

6. Mackie SL, Keat A. Poststreptococcal reactive artritis: what is it and how do we know?
Rheumatology. 2004;43:949. (Review of 188 cases in the medical literature of
poststreptococcal artritis and details clinical and epidemiologic trends in patients.)

7. Shulman ST, Stollerman G, Beall B, Dale JB, Tanz RR. Temporal changes in streptococcal M
protein types and the near disappearance of acute rheumatic fever in the U.S. Gin Infec Dis.
2006:42:441.

8. Dajani A, Taubert K, Ferrieri P, Peter G, Shulman ST. Treatment of acute streptococcal


pharyngitis and prevention of rheumatic fever: a statement for health professionals. Pediatrics.
1995:96:758. (American Heart Association guidelines for treatment of rheumatic fever.)

9. Stollerman GH. Rheumatic fever in the 21st century. Clin Infect Dis. 2001:33:806. (Gives
historical perspective on ARF and the diagnostic criteria, and describes the etiology and
pathogenesis of ARF.)

7
II.2. Endokarditis Bakterial

Pengertian Umum:
Infeksi dari katup jantung dan myocardium. Endokarditis adalah penyebab
demam yang tidak biasa, atralgia dan nyeri punggung bawah.1,2

Etiologi:
Sebagian besar infeksi terjadi pada katup yang abnormal atau kerusakan pada
permukaan endokardial, ketika pola peredaran darah yang abnormal membentuk clot
platelet-trombin yang dapat menjadi fokal infeksi. Beberapa kasus terjadi pada
pecandu obat-obatan intravena dan disebabkan oleh stereptokokus dan stafilokokus
bervirulensi tinggi. Endokarditis dubakut disebabkan oleh Streptococcus ß
haemoliticus, Streptococcus bovis, dan enterokokus. Endokarditis pada pecandu obat-
obatan dapat disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Pseudomonas spp, Candida spp,
dan bakteri gram negatif. 1,3,4

Patogenesis:
Infeksi biasanya terbentuk pada tempat steril yang terdapat platelet dan fibrin.
Kebanyakan pada area bertekanan tinggi, biasanya pada sebelah kiri jantung. Pada
pasien dengan penyakit katup sebelumnya, biasanya didapatkan penebalan katup
jantung daripada sebelumnya.1,5,6

Demografi:
Resiko terbesar pada orang dengan penyakit katup traumatik atau katup
prostetik, pengguna obat-obatan intravena yang tidak rasional, kateter vena menetap,
dan kondisi bakteremia.1

Temuan Pokok:
Kebanyakan pasien mengeluh demam (dengan atau tanpa keringat malam) dan
adanya bising jantung. Nodul pada ujung-ujung jari (nodul Osler) dan perdarahan
kecil dibawah kuku dapat ditemukan. Anoreksia, penurunan berat badan, atralgia,
artritis frank, nyeri punggung bawah, dan splenomegali juga kerap ditemukan. Nyeri
punggung mungkin dapat disebabkan oleh bakteremia atau emboli septik yang
mengakibatkan peradangan septik pada diskus intervertebralis.1,3

8
Pemeriksaan Laboratorium:
Diagnosis dapat ditegakkan dengan kultur darah positif, namun kadang pada
sebagian kecil kasus kultur darah tetap negatif. Peningkatan kadar reaktan fase akut
(ESR, CRP) dapat ditemukan. Pada endokarditis subakut, anemia penyakit kronis, dan
kadar komplemen yang rendah.1,2,3

Pencitraan:
Ekokardiografi, termasuk pendekatan transesofagus, direkomendasikan.

Diagnosis Banding:
Pada pasien didapatkan demam tanpa sebab yang jelas. Perdarahan pada
bawah kuku dan nodul Osler dapat didiagnosis banding dengan vaskulitis sistemuk
(pada Churg-Strauss, cryoglobulinemia). Pembengkakan sendi multiple dan sendi
yang meradang kemungkinan dicurigai adanya gout atau sindroma Reiter. Beberapa
pasien memiliki RF positif, jadi kadang poliartritis dirancukan dengan RA.
Kemungkina lain termasuk osteomyelitis, demam rematik dan tuberculosis. 1,2,3

Terapi:
Terapi definitif memerlukan antibiotik jangka panjang. Penggantian katup
jantung dengan pembedahan kadang diperlukan.6,7,8

Komplikasi:
Gagal jantung kongestif, ruptur katup atau chorda tendinea, abses
myokardium, infark myokardium. Gagal ginjal karena glomerulonefritis pernah
dilaporkan.

Prognosis:
Outcome jangka panjang ditentukan oleh keparahan penyakit katup jantung
sebelumnya, dan komplikasi pada perkembangan penyakit.

9
Kepustakaan

1. Roberts-Thomson PI, Rischmueller M, Kwiatek RA, et al. Rheumatic manifestations of infec-


tive endocarditis. Rheumato/lnt 1992;12:61--63.

2. Salvarani C, Cantini F, Boiardi L, Hunder GG. Polymyalgia rheu-matica and giant-cell


arteritis. N Engl J Med. 2002;347:261. [PMID: 12140303]

3. Weyand CM, Goronzy JJ. Medium- and large-vessel vasculitis. NEngl JMed. 2003;349:160.
[PMID: 12853590]

4. Ferrieri P, Gewitz MH, Gerber MA, et al. Unique features of infective endocarditis in
childhood. Circulation. Apr 30 2002;105(17):2115-26.
5. Hoyer A, Silberbach M. Infective endocarditis. Pediatr Rev. Nov 2005;26(11):394-400.
6. Baddour LM, Wilson WR, Bayer AS, et al. Infective endocarditis: diagnosis, antimicrobial
therapy, and management of complications: a statement for healthcare professionals from the
Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease, Council on
Cardiovascular Disease. Circulation. Jun 14 2005;111(23):e394-434.
7. Habib G. Management of infective endocarditis. Heart. Jan 2006;92(1):124-30.
8. Brook MM. Pediatric bacterial endocarditis. Treatment and prophylaxis. Pediatr Clin North
Am. Apr 1999;46(2):275-87.

10
II.3. Penyakit Lyme

Pengertian Umum :
Penyakit Lyme adalah infeksi yang disebabkan oleh spiroketa yang dibawa
oleh kutu, disertai dengan sekuela akut atau kronis yang menyerang kulit, jantung,
sendi, dan sistem syaraf.1

Etiologi:
Spiroketa Borrelia burgdorferi, yang menyebabkan penyakit Lyme ditularkan
melalui gigitan berbagai jenis kutu. Penularan terjadi setelah gigitan kutu (hingga
10% kasus). Spesies Ixodes dari kutu rusa menyebarkan penyakit di wilayah-wilayah
tertentu di daerah Timur Laut Amerika Serikat (Ixodes dammini dan Ixodes
scapularis) dan pada Pantai Pasifik Amerika Serikat (Ixodes pasificus). Di bagian
Atlantik Amerika Serikat dan Texas, lone star tick (Amblyomma americanum), dan di
beberapa wilayah tertentu di Eropa, kutu domba (Ixodes riciusn) adalah penyebabnya.
Tikus berkaki putih adalah reservoir dari kutu yang masih dalam tahap tumbuh-
kembang.1,2

Patogenesis:
Terdapat bukti bahwa infeksi yang menetap dan infeksi yang reaktif
berpengaruh pada patogenesis penyakit Lyme. Keberadaan spiroketa di dalam
jaringan (sistem syaraf pusat) secara terus menerus menyebabkan reaksi peradangan
yang berat. Pasien dengan HLA-DR4 dan HLA-DR2 memiliki resiko yang lebih
tinggi untuk berkembang menjadi arthropati erosif kronis yang meniru RA
seronegatif. B. burgdorferi telah diisolasi dengan PCR dari cairan sinovial pada
penyakit yang tidak ditangani atau sedang ditangani. Akan tetapi, belum jelas apakah
artritis kronis disebabkan oleh infeksi yang persisten atau mekanisme reaksi
imunologis.1,2

Demografi:
Di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa penyakit Lyme banyak ditemukan di
bagian Timur Laut dan di sekitar Great Lakes (terutama di Wisconsin daerah utara dan
Minnesota). Penyakit Lyme adalah penyakit musiman dan ditentukan oleh pola

11
pemberian makan dari nimfa kutu, yang kebanyakan aktif pada akhir musim semi dan
awal musim panas. Penyakit Lyme menyebar ke seluruh penjuru dunia, antara lain
terdapat beberapa kasus yang dilaporkan dari Eropa, Cina, Australia, Rusia, dan
Swedia.1,2

Penemuan Pokok:
Dalam perkembanganya terjadi tiga tahap penyakit Lyme, tetapi banyak pasien
yang tidak mengalami perjalanan klinis penyakit ini secara berurutan. Beberapa orang
pasien mungkin memiliki beberapa ciri klinis dalam waktu yang bersamaan atau
seluruh tahapan timbul gejala pada satu pasien. Tahapan penyakit Lyme hanya berlaku
sebagai petunjuk untuk mengira-kira suatu tingkatan waktu untuk gejala klinis yang
paling umum.1,2
-Tahap 1 (3 hari sampai 4 minggu setelah infeksi): Gejala-gejala konstitusional
seperti malaise, kelelahan dan demam akan mendominasi. Manifestasi utama dari
awal penyakit Lyme adalah erythema chronicum migran. Erythema chronicum
migran umumnya terjadi pada ekstremitas atau mendekati daerah intertriginosa (paha,
selangkangan, ketiak) pada daerah gigitan kutu. Erythema chronicum migran
memiliki zona sentral yang berwarna bersih yang dikelilingi oleh area melingkar
kemerahan pada kulit dengan batas yang dapat meluas dan membesar seluas 20 cm.
Lesi ini dapat bertahan selama satu bulan dan tidak menunjukkan gejala maupun rasa
nyeri, atau terkadang indurasi. Lesi kulit anuler sekunder mungkin juga terjadi di
lokasi lain. Arthralgia atau mialgia difus adalah manifestasi muskuloskeletal awal.
Gejala-gejala awal lain yang tidak spesifik termasuk sakit kepala, faringitis,
konjungtivitis, limfadenopati regional, dan pembengkakan testis.
-Tahap 2 (berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah infeksi): Kira-kira
8% kasus Lyme, berkembang menjadi sekuela pada jantung diantaranya blok
atrioventricular (derajat pertama, Weckenbach, atau komplit), mioperikarditis, dan
jarang sekali ditemukan kardiomiopati. Tampilan neurologis terjadi pada 15% pasien
diantaranya meningoensefalitis, neuropati cranial (biasanya Bell’s palsy), dan
radikuloneuritis. Mialgia migran, arthralgia, dan nyeri tulang atau tendon juga sering
ditemukan. Jarang dilaporkan adanya uveitis anterior dan posterior dan panoftalmitis.
-Tahap 3 (lebih dari 5 bulan setelah onset): Di Amerika Serikat, artritis
oligoartikuler episodik terutama pada ekstremitas bawah adalah manifestasi penyakit
Lyme yang paling umum ditemukan, terjadi pada 50% hingga 70% pasien. Sekuela

12
neurologis kronis mungkin dapat menyebabkan gejala-gejala sistem syaraf pusat difus
yang menyerupai sindroma otak organik. Ensepalopati demyelinasi dan
radikuloneuropati kronis adalah komplikasi syaraf yang lain. Acrodermatitis chronica
atrophicans (perubahan kulit sklerotik atau atropik yang berubah menyerupai
morphea) adalah manifestasi akhir kulit yang terdapat di Eropa tetapi jarang
ditemukan di Amerika Serikat.

Pemeriksaan Laboratorium:
Pemeriksaan serologis penyakit Lyme seharusnya dilakukan hanya ketika
terdapat dugaan kuat penyakit Lyme, dikarenakan sukarnya pemeriksaan penunjang
diagnosis. Diagnosis serologis dicurigai dengan adanya peningkatan antibodi IgG
terhadap B. burgdorferi dan/atau IgM yang spesifik. Peningkatan serologis tidak
terjadi hingga 2-4 minggu setelah infeksi. ELISA adalah standar pemeriksaan terbaru
untuk serologi penyakit Lyme, dengan tes konfirmasi yang dilakukan menggunakan
Western blot. Variasi yang signifikan di dalam maupun di luar laboratorium yang
berkaitan dengan pengujian serologi dipasangkan dengan banyaknya hasil positif dan
negatif palsu yang mempersulit interpretasi dari hasil tes tersebut. Pemberian
antibiotik awal bisa menggagalkan atau membatasi produksi antibodi. Sebagai
tambahan, reaksi silang yang signifikan ada pada Treponema pallidum dan spiroketa
yang lain. Pada penyakit Lyme awal, mikrohematuria, proteinuria dan peningkatan
enzim hati dapat dideteksi sebagai tambahan indikator non spesifik dari peradangan
akut seperti pada peningkatan ESR dan anemia ringan. Biasanya ditemukan
peradangan cairan sinovial dengan hitung sel darah putih rata-rata 25.000 sel/mm 3
(khususnya netrofil). Pada penyakit Lyme yang menyerang sistem syaraf pusat
limfositik pleositosis dan peningkatan ringan protein cairan serebrospinal biasanya
ditemukan. Antibodi B. burgdorferi di dalam cairan serebro spinal mungkin lebih
besar daripada dalam serum pada pasien dengan neuroborreliosis. Biopsi kulit pada
tepi erythema chronicum migran jarang didapatkan spiroketa.3,4

Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Lyme1,3,4


Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan
Hitung sel darah lengkap Hitung sel darah putih normal atau sedikit
meningkat (khususnya netrofil)
Laju endap eritrosit Meningkat pada 50% kasus
Tes fungsi hati Peningkatan ringan GGT dan ALT
ANA, faktor reumatoid Negatif

13
Cairan sinovial Peradangan, hitung sel berkisar antara 2000-
100.000 (khususnya netrofil); protein normal
atau meningkat; glukosa normal
Cairan serebrospinal Limfositik pleositosis; peningkatan protein;
glukosa normal

Kunci Diagnosis:
Bercak erythema chronicum migran (disebabkan oleh gigitan kutu) sangat
membantu secara diagnosis. Sayangnya, hanya 50% dari penderita yang mampu
mengingat riwayat gigitan kutu, dan erythema chronicum migran mungkin tidak dapat
dilihat atau tidak terjadi sama sekali. Penyakit Lyme adalah sebuah diagnosis klinis
dengan konfirmasi laboratorium.1,2

Diagnosis Banding:
Penyakit Lyme tahap awal harus dibedakan dari penyebab-penyebab lain
sindroma demam artritis dengan bercak kulit, termasuk artritis viral, demam rematik,
SLE, dan penyakit Still. Penyakit Lyme kadang dirancukan dengan erythema
multiforme. Tahap lanjutan penyakit Lyme mungkin rancu dengan penyebab-
penyebab lain dari artritis oligoartikular seperti spondiloarthropati. Migrasi alamiah
dari artritis pada penyakit Lyme dan keterlibatan tendon juga nampak seperti artritis
gonokokus. Polyartritis mungkin rancu dengan RA. Di daerah timur laut Amerika,
ehrlichiosis dan babesiosis mungkin menyebabkan ko-infeksi dengan gejala klinis
yang saling overlap. Keletihan kronis yang hebat dan mialgia mungkin lebih
menunjukkan gejala fibromyalgia daripada penyakit Lyme kronis (khususnya pada
pasien non-endemik).1,2

Terapi:
Pencegahan primer dari gigitan kutu, termasuk perlindungan dari pakaian yang
sesuai, penggunaan obat pembasmi serangga, dan pemusnahan kutu dengan tepat.
Penggunaan antibiotik setelah gigitan kutu pada daerah endemik masih menjadi
perdebatan. Terapi pencegahan dengan antibiotik mungkin efektif apabila resiko
penyakit Lyme secara regional >1% setelah gigitan kutu. Anjuran terapi berdasarkan
pada tahapan penyakit Lyme dan manifestasinya ditunjukkan tabel dibawah. Bentuk
awal tanpa gejala yang berhubungan dengan jantung atau syaraf dapat dimanajemen
dengan doxycycline oral. Penyakit jantung ringan, keterlibatan neurologis tang

14
terbatas (Bell palsy), dan artritis tahap awal mungkin dapat diterapi secara efektif
dengan antibiotik oral. Pada penyakit dengan keterlibatan sendi, jantung, atau syaraf
yang signifikan membutuhkan terapi intravena, umumnya dengan ceftriaxone. Pada
arthropathy yang signifikan mungkin dapat merespon terapi intraarticular dengan
kortikosteroid dan kadang diperlukan synovectomy. Penggunaan pacu jantung di
indikasikan pada kasus dengan blok pada jantung. Terdapat pertanyaan klinis ketika
pasien, khususnya mereka yang sudah menerima terapi antibiotik yang tepat untuk
penyakit Lyme, mengalami arthralgias dan keletihan kronis. Antibiotik intravena
dinilai tidak efektif secara ekonomis untuk pasien dengan serologi positif yang hanya
memiliki manifestasi myalgias dan keletihan. Tampaknya antibiotik profilaksis tidak
memiliki nilai untuk penderita tanpa gejala, bahkan di daerah penyebaran. Vaksin
Lyme diperkenalkan pada tahun 1998, tetapi ditarik kembali pada tahun 2002 karena
tingkat penjualan yang rendah dan efek samping pada musculoskeletal.
Perkembangan pada vaksin generasi ke-2 sangat lambat.5,6

Terapi Penyakit Lyme5,6,7,8


Bentuk Penyakit Penanganan Terapi
Penyakit awal (tahap 1)
Erythema chronicum migrans Antibiotik oral selama 3 minggu (atau sesuai
anjuran)
Doxycycline 100 mg p.o. 2 x 1.a atau
Amoxicillin 500 mg p.o. 3 x 1. atau
Cefuroxime axetil 500 mg 2 x 1. atau
Clarithromycin 500 mg 2 x 1.b atau
Azithromycin 500 mg setiap hari selama 1
minggub
Carditis (tahap 2)
Ringan (PR interval ≤ 0.30s) Doxycycline 100 mg p.o. 2 x 1. selama 3
minggu atau
Amoxicillin 500 mg p.o. 3 x 1. selama 3
minggu
Sedang atau berat Terapi parentral selama 2 minggu
Ceftriaxone 2.0 g i.v. per hari. atau
Cefotaxime 2.0 g i.v. per 4 jam atau
Pen G 24 juta unit i.v. per hari.

Bell palsy terisolasi (tahap 2) Jika fungsi lumbal negatif, pertimbangkan


regimen oral (seperti di atas)
Meningitis (tahap 2) Ceftriaxone 2.0 g i.v. per hari. selama 3
minggu atau
Penicillin G 24 juta unit i.v. per hari.

15
Radang sendi (tahap 3) Doxycycline 100 mg p.o. 2 x 1. selama 4
minggu atau
Amoxicillin dengan probenecid, keduanya
pada dosis 500 mg p.o. per hari selama 4
minggu atau
Ceftriaxone 2.0 g i.v. per hari. x 2 minggu
a
Tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan anak-anak.
b
Azithromycin atau clarithromycin belum disahkan oleh Badan Pengawasan Obat &
Makanan Amerika Serikat untuk digunakan pada penyakit Lyme.

Prognosis:
Dengan terapi antibiotik yang tepat selama 4 minggu dari onset, penyakit
Lyme kemungkinan besar dapat disembuhkan dan tidak menyebabkan komplikasi
kronis. Keterlambatan dalam mengenali dan kegagalan terapi dapat mengakibatkan
gejala-gejala yang terus menerus, arthralgia, dan komplikasi syaraf sebanyak 34%
kasus. Jumlah komplikasi syaraf dari penyakit Lyme dilaporkan semakin meningkat.
Kerusakan tulang dan otot yang berkepanjangan dan hilangnya daya ingat verbal
secara merata dikaitkan dengan penanganan yang terlambat.

Kepustakaan
1. Fauci, Anthony S. (2008). Harrison's Principles of Internal Medicine: Editors, Anthony S.
Fauci ... [Et Al.]. McGraw-Hill Medical Publishing, Chapter 166.
2. Feder HM, Johnson BJ, O'Connell S, et al (October 2007). "A critical appraisal of "chronic
Lyme disease"". N. Engl. J. Med. 357 (14): 1422–30.
3. Steere AC, Sikand VK, Schoen RT, Nowakowski J (2003). "Asymptomatic infection with
Borrelia burgdorferi". Clin. Infect. Dis. 37 (4): 528–532.
4. Ryan KJ, Ray CG (editors) (2004). Sherris Medical Microbiology, 4th ed., McGraw
5. Krupp LB, Hyman LG, Grimson R, et al (June 2003). "Study and treatment of post Lyme
disease (STOP-LD): a randomized double masked clinical trial". Neurology 60 (12): 1923–
30.
6. Klempner MS, Hu LT, Evans J, et al (July 2001). "Two controlled trials of antibiotic treatment
in patients with persistent symptoms and a history of Lyme disease". N. Engl. J. Med. 345 (2):
85–92.
7. Kaplan RF, Trevino RP, Johnson GM, et al (June 2003). "Cognitive function in post-treatment
Lyme disease: do additional antibiotics help?". Neurology 60 (12): 1916–22.
8. Johnson L, Stricker R (2004). "Treatment of Lyme disease: a medicolegal assessment".
Expert Rev Anti Infect Ther 2 (4): 533–557.

16
II.4. Fungal Artritis

Pengertian Umum:
Infeksi jamur pada tulang dan sendi biasanya disebabkan oleh infeksi spesifik
dari histoplasmosis, coccidioidomycosis, blastomycosis, and cryptococcosis, dan
biasanya infeksi pada tuland dan sendi didapat dari inhalasi. Infeksi primer biasanya
asimtomatik namun berkaitan dengan athralgia atau artritis sementara, mungkin
sebagai dasar reaksi hipersensitivitas dari infeksi pada paru-paru. Osteomyelitis dan
infeksi sendi merupakan kelanjutan infeksi diseminata, tampilan klinis biasanya
merupakan suatu proses yang lambat dan menyerupai TB skeletal. Diagnosis
didasarkan atas temuan histologis dengan adanya organisme pada specimen biopsy
synovium atau tulang yang terkena atau pada pewarnaan dan kultur cairan synovial
dan material biopsy.1,2,3

Demografi:
Dengan pengecualian pada kasus dengan sporotrichosis dan histoplasmosis,
kebanyakan infeksi jamur pada tulang atau sendi biasanya didapat pada pasien dengan
keadaan imunokompromise akibat penyakit sistemik (misal, HIV), malignansi,
penyakit kronis (diabetes), gangguan peradangan kronis, ataupun obat-obatan (missal,
kortikosteroid, TNF inhibitor).4

Infeksi Spesifik:
-Sporotrichosis:
Infeksi osteoartikuler biasanya disebabkan oleh infeksi Sporothrix schenckii,
yang memiliki distribusi di seluruh dunia. Paparan jamur melalui kulit, dan seringkali
sekunder akibat tusukan duri tanaman pada pekebun dan pekerja agrikultur atau
kecelakaan kerja pada pekerja luar ruang. Infeksi bermula pada kulit sebagai nodul
yang nyeri. Artritis unifokal lambat seringkali menyerang lutut namun kadang dapat
juga menyerang pergelangan tangan, tangan, pergelangan kaki dan siku. Terjadinya
tenosynovitis juga dimungkinkan. Arthrtitis poliartikuler jarang terlihat pada pasien
dengan kondisi imunokompromise dan mengalami infeksi tulang. Diagnosis
ditegakkan dengan kultur dari kulit, cairan synovial atau tulang. Penggunaan
amphotericin B telah digantikan dengan terapi iraconazole oral dalam penanganan
penyakit yang berkaitan dengan limfokutaneus, artikuler dan osseus., dengan tingkat

17
kesembuhan mencapai 70% hingga 100%. Reseksi dengan pembedahan kadang
diperlukan.3,4,5
-Candida artritis:
Sering disebabkan oleh Candida albicans, infeksi dicurigai berasal dari
perkembangbiakan langsung pada sendi atau penyebaran hematogen, sering
disebabkan oleh kateter transkutaneus yang lama tidak diganti. Penyakit ini
bermanifestasi menjadi monoartritis pada 60-75% dari keseluruhan pasien, dan paling
sering menyerang lutut. Diagnosis ditegakkan melalui kultur cairan synovial dan/ atau
darah. Terapi pilihan adalah amphotericin B sistemik. Prognosis buruk, dan tingkat
mortalitas relative tinggi karena ditunjang adanya faktor komorbiditas, dan terjadinya
candidemia yang sering dan terus-menerus.4,5
-Coccidioidomycosis:
Infeksi Coccidioides immitis sering terjadi pada Amerika Serikat bagian barat
dan barat daya, dengan tingkat insidensi tertinggi di musim panas. Infeksi respiratorik
primer terjadi setelah inhalasi spora dan mungkin berhubungan dengan manifestasi
konstitusional dan sistemik, termasuk eritema nodusum, eritema multiformis dan
artritis migrans. Infeksi primer biasanya tidak menimbulkan gejala, namun pada
sebagian kecil kasus akan menimbulkan athralgia atau artritis yang sembuh spontan.
Infeksi diseminata jarang ditemukan (kecuali pada host imunokompromise) dan
berhubungan dengan keterlibatan tulang yang cukup sering dan monoartritis,
umumnya pada lutut. Tampilan klinis kadang mirip dengan tuberculosis. Pemeriksaan
histologis mengungkap adanya granuloma non-sekresi dengan spora jamur. Diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan kulit positif yang tampak pada 80% kasus selama 1-3
minggu saat infeksi. Kultur csiran synovial sukar dilakukan namun kadang-kadan
positif. Pemeriksaan serologis positif pada penyakit difus. Gambaran radologis dada
juga kadang abnormal. Terapi pilihan termasuk itraconazole atau flconazole untuk
penyakit yang terbatas. Amphotericin B direkomendasikan untuk kasus infeksi
diseminata.4,5
-Blastomycosis:
Blastomyces dermatitidis menyebabkan infeksi yang jarang terjadi di
Mississippi dan lembah sungai Ohio di Amerika Serikat. Infeksi respiratorik primer
terjadi setelah inhalasi spora. Pada serangan akut, arthralgia dan myalgia biasa terjadi.
Diseminasi jamur pada tulang, sendi dan kulit jarang ditemukan. Tulang lebih sering
terserang dibanding dengan sendi dan mungkin dikarenakan adanya penyebaran

18
langsung dari osteomyelitis disekitarnya. Keterlibatan skeletal kadand-kadang tidak
menimbulkan gejala. Tulang-tulang panjang, costae, dan vertebrae adalah bagian yang
paling sering terkena dan akan tampak gambaran osteolitik pada pemeriksaan
radiologis. Kadang-kadang dapat terjadi abses pada jaringan lunak dan vertebral.
Jamur dapat dideteksi pada cairan synovial dengan menggunakan preparat KOH.
Kultur pada media agar Sabouraud hanya bersidat konfirmatif. Amphotericin B
digunakan sebagai terapi infeksi berat pada host imunokompromise.3,4,5
-Cryptococcosis:
Infeksi Cryptococcus neoformans terdapat diseluruh dunia, terutama pada host
imunokompromise. Infeksi respiratorik primer setelah inhalasi spora (sering
ditemukan pada kotoran burung dara). Keterlibatan tulang jarang terjadi (<10%
kasus), dan artritis infeksius jarang ditemukan. Uji aglutinasi lateks untuk antigen
Cryptococcus biasanya positif. Penyakit yang terbatas dapat diobati hanya dengan
fluconazole. Amphotericin B dengan 5-fluorocytosine direkomendasikan untuk kasus
yang berat.
-Histoplasmosis:
Infeksi Histoplasma capsulatum sering ditemukan pada Mississippi dan
lembah sungai Ohio, namun insidensinya juga dapat ditemukan diseluruh dunia.
Infeksi respiratorik primer biasanya tidak menimbulkan gejala. Spora cenderung
tumbuh dan hidup ditanah yang terkontaminasi kotoran burung dan kelelawar.
Histoplasmosis merupakan penyakit respiratorik yang tidak berbahaya, dan dapat
sembuh spontan. Infeksi akut ditandai dengan adanya eritema nodusum, athralgia,
atau oligo, poliartritis akut. Infeksi kronis jarang ditemukan. Diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan histopatologi (granuloma beragi) atau dengan kultur.
Itraconazole digunakan untuk terapi penyakit yang ringan hingga sedang.
Amphotericin B, dengan atau tanpa debridemen, mungkin diperlukan untuk penyakit
yang berat atau pada host imunokompromise berat.

19
Kepustakaan
1. Hansen BL, Andersen K. Fungal artritis. A review. Scand J Rheumatol 1995;24:248-250.
2. Espinoza LR. Infections of bursae, joints, and bones. In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil
Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007: chap 293.
3. Ohl CA. Infectious artritis of native joints. In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, eds.
Principles and Practice of Infectious Diseases. 6th ed. Philadelphia, Pa: Churchill Livingstone
Elsevier; 2005: chap 98.
4. McGill PE. Geographically specific infections and artritis, including rheumatic syndromes
associated with certain fungi and parasites, Brucella species and Mycobacterium leprae. Best
Pmct Res Clin Rheumatol. 2003;17:289.
5. Murray, HW; Fialk, MA; Roberts, RB. Candida artritis. A manifestation of disseminated
candidiasis. Am J Med. 1976 Apr;60(4):587–595.
6. Malaviya AN, Kotwal PP. Artritis associated with tuberculosis. Best Pmct Res Clin Rheumatol.
2003;17:319.
7. Blumberg HM, Burman WJ, Chaisson RE, et al. American Thoracic Society/Centers for
Disease Control and Prevention/Infectious Diseases Society of America: treatment of
tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med. 2003:167:603.

20
II.5. Osteomyelitis

Pengertian Umum:
Osteomyelitis adalah infeksi tulang dan sumsum tulang.

Etiologi:
Sebagian besar kasus terjadi secara hematogen atau penyebaran dari infeksi
jaringan lunak setempat atau berdasarkan inokulasi langsung (misalnya trauma).
Peredaran darah yang tinggi pada metafisis (pada anak-anak) atau diafisis (pada orang
dewasa) adalah daerah yang sering terkena penyebaran secara hematogen. Penyebaran
kontak lebih sering terjadi pada area yang minim pembuluh darah. Osteomyelitis
hematogen akut sering disebabkan oleh S. aureus, Streptococcus spp, dan H.
influenzae. Banyak kasus yang disebabkan oleh penyebaran kontak dapat melibatkan
campuran organisme aerobik dan anaerobik. Infeksi yang ditimbulkan oleh peralatan
prostesa dapat disebabkan oleh coagulase negatif staphylococci, S. aureus, atau
bakteri gram-negatif.1,2,3

Patologi:
Pada osteomyelitis akut, jaringan pada tulang yang terlibat menunjukkan
infiltrat supuratif, kongesti pembuluh darah, edema, dan trombosis. Keterlibatan
osteomyelitis kronis menunjukkan melemahnya jaringan pada tulang atau penggantian
fibrosis.1,2

Demografi:
Pada bayi dan anak-anak, hampir seluruh kasus disebabkan dari penyebaran
hematogen. Infeksi pada orang dewasa dapat berkembang dari penyebaran hematogen
atau penyebaran lokal. Penyebaran lokal kemungkinan besar melibatkan tulang pada
individu dengan komorbiditas yang signifikan seperti diabetes atau RA.2,3

Faktor-Faktor Resiko:
Diabetes, RA, penyakit sel sabit, penggunaan obat intravena, hemodialysis,
trauma, fraktur baru, implan protesa, dan insufisiensi vaskuler adalah faktor resiko.1,3

Temuan Pokok:

21
Tanda-tanda akut peradangan, seperti pada erythema, bengkak dan nyeri,
mungkin terbatas pada daerah yang terkena. Tetapi, banyak pasien yang memiliki
sedikit tanda-tanda lokal dan datang dengan nyeri tulang yang lebih dalam yang
mungkin teletak jauh dari lesi. Penyebaran kontak pada tulang, seharusnya dicurigai
di sekitar infeksi jaringan lunak kronis yang mungkin mengakibatkan kekeringan
sinus. Demam seringkali terjadi tetapi tidak secara umum. Daerah yang terserang
terdiri dari satu maupun beberapa daerah; anak-anak biasanya memiliki beberapa
luka. Infeksi pada tulang tubuler pada umumnya menyerang anak-anak, dan infeksi
pada kolom tulang belakang seringkali menyerang orang dewasa.1,2,3

Kunci Diagnosis:
Rasa nyeri pada tulang atau ketidaknormalan radiografi pada pasien dengan
infeksi lokal atau kemungkinan bacteremia sebaiknya disarankan untuk
mempertimbangkan adanya osteomyelitis. Osteomyelitis lebih banyak terjadi pada
pasien dengan imunosupresi atau yang memiliki faktor resiko komorbid.1,2

Pemeriksaan Laboratorium:
Biopsi tulang dan kultur sangat diperlukan untuk diagnosis definitif. Kultur
darah dapat bermanfaat tetapi memiliki hasil positif hanya pada beberapa kasus.
Leukocytosis dan peningkatan ESR serta CRP mungkin dapat ditemukan.1,2

Pencitraan:
Radiografi mungkin dapat menunjukkan pembengkakan jaringan lunak,
peningkatan reaksi periosteal, radio lusensi kortikal (dengan atau tanpa sclerosis di
sekitarnya), dan kerusakan atau pengikisan metafisis, epifisis, atau diafisis. Pada
osteomyelitis kronis mungkin dapat ditemukan osteolisis dan periostitis. Scintigrafi
dan MRI dapat digunakan untuk melihat adanya osteomyelitis dan yang paling
berguna dalam mengenali osteomyelitis kronis.1,2

Diagnosis Banding:
Infeksi kronis dari jaringan lunak (selulitis, abses) dapat terjadi tanpa
melibatkan tulang. Osteonekrosis dan penyebab-penyebab lain dari infark tulang
mungkin rancu dengan osteomyelitis.
Terapi:

22
Apabila organisme yang dikenali melalui kultur biopsi tulang atau kultur
darah, terapi dengan antibiotik yang sesuai yang diberikan secara parenteral,
diperlukan selama empat hingga enam minggu.4,5,6

Pembedahan:
Terapi pembedahan mungkin diperlukan pada osteomyelitis kronis untuk
debridement jaringan non-vital atau untuk drainase abses. Terapi oksigen hyperbaric
merupakan terapi tambahan yang berguna dalam kasus insufisiensi vaskuler.7

Prognosis:
Hasil benar-benar tergantung pada waktu saat diagnosis ditegakkan dan faktor
komorbiditas. Anak-anak dapat sembuh total; sebaliknya, orang dewasa dengan
infeksi pada bagian tubuh tertentu mungkin harus diamputasi.

Kepustakaan
1. Aloui N, Nessib N, Jalel C. (2004). Acute osteomyelitis in children: early MRI diagnosis. J
Radiol. ;85(4 Pt 1):403-8.
2. Bocchini CE, Hulten KG, Mason EO. (2006). Panton-Valentine leukocidin genes are
associated with enhanced inflammatory response and local disease in acute hematogen
Staphylococcus aureus osteomyelitis in children. Pediatrics. ;117(2):433-40.
3. Carek PJ, Dickerson LM, Sack JL. (2001). "Diagnosis and management of osteomyelitis." Am
Fam Physician.;63(12):2413-20.
4. Gelfand MS, Cleveland KO. (2004). Vancomycin therapy and the progression of methicillin-
resistant Staphylococcus aureus vertebral osteomyelitis. South Med J. ;97(6):593-7.
5. Hsu LY, Koh TH, Tan TY. (2006). Emergence of community-associated methicillin-resistant
Staphylococcus aureus in Singapore: a further six cases. Singapore Med J. ;47(1):20-6.
6. Kawashima M, Tamura H, Nagayoshi I, Takao K, Yoshida K, Yamaguchi T (2004).
"Hyperbaric oxygen therapy in orthopedic conditions". Undersea Hyperb Med 31 (1): 155–
62.. Retrieved on 2008-05-16.
7. McKeever, Duncan Clark ( 2008). "The classic: maggots in treatment of osteomyelitis: a
simple inexpensive method. 1933". Clin. Orthop. Relat. Res. 466 (6): 1329–35.

23
II.6. SEPTIK BURSITIS

Pengertian Umum:
Septik bursitis adalah infeksi bakterial pada ruang bursa, pada umumnya
menyerang olekranon dan area prepatellar.1,2,3

Etiologi:
Kebanyakan kasus diakibatkan oleh inokulasi flora normal kulit ke dalam
ruang bursa melalui trauma lokal. Beberapa pekerjaan (misalnya menggelar tikar,
memasang atap) mungkin merupakan faktor predisposisi peradangan atau septik
bursitis.3,4,5,6

Patogenesis:
Perubahan peradangan akut dan kronis pada bursa dan jaringan-jaringan yang
saling berbatasan.1,2,3

Demografi:
Sebagian besar rangkaian yang utama menyerang kaum pria, kemungkinan
karena bahaya pekerjaan. Individu normal tanpa kondisi komorbiditas yang mendasari
juga dapat terserang.1,2,3

Temuan Pokok:
Bentuk klasik berupa pembengkakan yang akut, nyeri, dan terasa hangat di
daerah periarticular. Karena sendi tidak terserang, jangkauan gerak biasanya tidak
terpengaruh. Biasanya tidak ditemukan demam.

Kunci Diagnosis:
Onset akut dari pembengkakan periartikular dapat dicurigai. Septik artritis
dapat didiagnosis dengan aspirasi bursa dan kultur.5,6,7

Pemeriksaan Laboratorium:
Karena bentuk peradangan fokal akut, aspirasi bursa sebaiknya dilakukan
dengan jarum yang besar (18 atau 19 gauge). Kultur dari cairan bursa dapat digunakan
untuk diagnosis. Hitung sel darah putih pada cairan bursa dapat bervariasi dan tidak
berkaitan dengan keparahan penyakit. Bahkan nilai hitung sel darah putih yang relatif

24
rendah terlihat pada infeksi bakteri aktif; dengan demikian, kultur merupakan unsur
yang penting dalam seluruh kasus dugaan. Cairan bursa lebih superfisial daripada
cairan sinovial; kehati-hatian harus dilakukan untuk menghindari ruang sendi.1,3,7

Diagnosis Banding :
Septik artritis sebaiknya dicurigai apabila terjadi demam dan terbatasnya
jangkauan gerak sendi atau apabila rasa nyeri membatasi gerakan. Bursitis akut dapat
dilihat pada gout dan RA. Cellulitis atau tendinitis dapat meniru bursitis dengan rasa
nyeri dan perubahan kulit eritematus.

Terapi:
Antibiotik harus diberikan segera setelah dilakukan aspirasi bursa. Antibiotik
oral biasanya cukup memadai. Meskipun hasil kultur tertunda (biasanya 24-48 jam),
antibiotik inisial harus menjangkau perlindungan untuk S. aureus sampai hasil kultur
lebih lanjut dapat memandu terapi. Drainase dengan pembedahan atau penghilangan
bursa jarang dibutuhkan.8,9,10

Prognosis:
Sebagian besar pasien sembuh total tanpa kambuh lagi.

Kepustakaan

1. Raddatz, DA; Hoffman, GS; Franck, WA. Septic bursitis, presentation, treatment and
prognosis. J Rheumatol. 1987;14:1160–1163.
2. Cea-Pereiro, JC, Garcia-Meijide, J, Mera-Varela, A, Gomez-Reino, JJ. (2001). A comparison
between septik bursitis caused by Staphylococcus aureus and those caused by other
organisms. Clin Rheumatol; 20:10.
3. Small, LN, Ross, JJ. Suppurative tenosynovitis and septic bursitis. Infect Dis Clin North Am
2005; 19:991.
4. Coste, N, Perceau, G, Leone, J, et al. (2004). Osteoarticular complications of erysipelas. J Am
Acad Dermatol; 50:203.
5. Drezner, JA, Sennett, BJ. (2004). Subacromial/subdeltoid septik bursitis associated with
isotretinoin therapy and kortikosteroid injection. J Am Board Fam Pract; 17:299.
6. Friedman, ND, Sexton, DJ. (2001). Bursitis due to Mycobacterium goodii, a recently
described, rapidly growing mycobacterium. J Clin Microbiol; 39:404.
7. Kim, RS, Lee, JY, Jung, SR, Lee, KY. (2002). Tuberkulosis subdeltoid bursitis with rice
bodies. Yonsei Med J; 43:539.

25
8. Laupland, KB, Davies, HD. (2001). Olecranon septik bursitis managed in an ambulatory
setting. The Calgary Home Parenteral Therapy Program Study Group. Clin Invest Med;
24:171.
9. Ogilvie-Harris DJ, Gilbart M. (2000). Endoscopic bursal resection: the olecranon bursa and
prepatellar bursa. Arthroscopy. ;16(3):249-53.
10. Drezner, JA, Sennett, BJ. Subacromial/subdeltoid septic bursitis associated with isotretinoin
therapy and corticosteroid injection. J Am Board Fam Pract 2004; 17:299.

26
II.7. Artritis Tuberkulosis

Sinonim:
TB, penyakit Pott’s.

Pengertian Umum:
Artritis tuberkulosis adalah artritis akibat infeksi sekunder Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sub-akut, atau kadang-kadang kronis.1,2

Etiologi:
Tuberkulosis menyebar dari paru-paru menuju ke persendian perifer secara
hematogen atau melalui saluran limfa. Persendian perifer biasanya terinfeksi oleh
penyebaran kontak dari osteomyelitis tuberkulosis yang berdekatan. Tuberkulosis
spinal mungkin berasal dari penyebaran kontak paru-paru atau melalui hematogen dan
limfogen. Karena tuberkulosis tidak menghasilkan kolagenase, kerusakan sendi lebih
lambat daripada artritis yang disebabkan oleh bakteri.1,2,3,4

Patologi:
Spesimen biopsi synovium didapatkan bakteri tahan asam pada pewarnaan.
Pemeriksaan secara histologis tampak proliferasi sinovial, jaringan granulasi, dan
pannus.5

Demografi:
Prevalensi tuberkulosis menurun dalam 50 tahun terakhir. Tetapi, di antara
tahun 1985 hingga 1993, muncul resistensi pada kuman tuberkulosis terhadap terapi
multi drugs di Amerika Serikat yang kemungkinan berhubungan dengan
bertambahnya penderita AIDS (dengan resiko yang relatif untuk tuberkulosis 500
kalinya dari populasi penduduk secara umum) dan peningkatan kasus tuberkulosis di
antara beberapa etnik minoritas dan imigran dari negara-negara yang tertinggal.
Orang-orang Amerika keturunan Afrika memiliki resiko lebih tinggi terserang
tuberkulosis dilihat dari faktor genetik maupun sosial-ekonomi. Tuberkulosis
osteoartikuler ditemukan pada <5% dari semua pasien penderita tuberkulosis.5,6

27
Temuan Pokok:
Setelah ditemukan kasus tuberkulosis, diagnosis artritis tuberkulosis sering
dikenali dari monartritis kronis (jarang ditemukan oligoartritis). Sendi besar penopang
berat badan lebih banyak terserang pada wilayah endemik. Sendi yang membengkak
mungkin kurang menunjukkan bentuk peradangan lain, seperti rasa panas dan
erythema. Spondylitis tuberkulosis, atau penyakit Pott’s, seringkali dimulai dari
diskus intervertebra thoraks. Jumlahnya ~50% dari tuberkulosis osteoartikuler. Lesi
pada tulang belakang dapat mengakibatkan kifosis parah yang mengacu pada
destruksi tulang belakang. Penyakit paru-paru jarang aktif pada saat terjadi
manifestasi sendi, meskipun gambaran radiografi dada tetap menunjukkan hasil yang
abnormal pada separuh dari jumlah pasien. Gejala konstitusional seperti demam dan
menurunnya berat badan seringkali ditunjukkan pada saat terjadinya penyakit tulang
atau sendi.3,4,5

Temuan Tidak Lazim:


Terdapat laporan yang jarang ditemui dari tenosynovitis dan fasciitis. Infeksi
sakroiliak terjadi pada ~7% pasien penderita tuberkulosis tulang. Sindroma Poncet’s
menunjukkan adanya poliartritis reaktif dari tangan dan kaki pasien dengan infeksi
tuberkulosis aktif maupun lama. Sebuah mycobacteria atipik dapat juga menjadi
penyebab artritis atau manifestasi muskuloskeletal lain, khususnya pada pasien yang
terinfeksi HIV. Ada laporan yang jarang ditemui dari kejadian artritis reaktif setelah
dilakukan imunoterapi intravesikal basil Calmette-Guerin.1,3

Pemeriksaan Laboratorium:
Kultur M. tuberkulosis pada cairan synovium dan/atau biopsi sinovial positif
pada ~90% kasus. Pewarnaan tahan asam dari cairan synovium sendiri memiliki hasil
<10%. Teknik kultur yang dikembangkan dan penggunaan PCR dapat mendeteksi
organisme dalam waktu yang singkat. Biopsi sinovial yang menunjukkan gambaran
granuloma dengan pemeriksaan histopathologi adalah pilihan diagnostik yang kurang
spesifik. Biopsi jarum dengan panduan CT dari lesi tulang belakang dapat membantu
membuktikan hasil diagnosis. Temuan cairan synovium non spesifik termasuk
neutrofilik pleositosis (hitung darah putih biasanya 10.000-20.000 sel/mm3),
peningkatan protein, dan kadar glukosa cairan synovium yang rendah (dideteksi pada

28
>50% pasien). Beberapa orang (90%) penderita penyakit osteoartikuler menunjukkan
hasil positif pada pemeriksaan derifat protein yang dimurnikan.5,6,7

Pencitraan :
Radiografi dari sendi perifer dengan artritis tuberkulosis tingkat lanjut dapat
menunjukkan adanya arthropati destruktif tanpa formasi tulang reaktif yang
signifikan.1,2

Kunci Diagnosis:
Cari monartritis kronis pada host yang beresiko, dengan bakteri tahan asam
pada pemeriksaan cairan sendi atau biopsi synovium.1,2

Diagnosis Banding :
Artritis fungal, OA inflamatorik, dan pseudogout perlu dipikirkan.

Terapi:
Rejimen multi-drugs untuk tuberkulosis osteoartikuler biasanya sama dengan
yang diberikan pada terapi tuberkulosis paru; tetapi, paling sedikit diperlukan
perawatan selama enam hingga sembilan bulan (ditambah tiga bulan pada host non-
AIDS dan enam bulan pada pasien penderita AIDS). Terapi biasanya dilakukan
dengan isoniazid (5 mg/kg, dosis maksimal 300 mg/hari), pyrazinamide (15-30 mg/kg
dosis maksimal 2 g setiap hari), dan rifampisin (10 mg/kg dosis maksimal 600 mg per
oral setiap hari). Pyrazinamide dapat dihentikan setelah delapan minggu. Apabila
kejadian dari resistensi multi drugs sebesar <4%, disarankan menggunakan
ethambutol (5-25 mg/kg) atau streptomycim (15 mg/kg) ditambahkan hingga
resistensi diketahui. Rejimen terapi didasarkan oleh pola resistensi pada lingkungan
tempat tinggal dan status kekebalan dari host. Pembedahan mungkin diperlukan
apabila terjadi destruksi tulang yang meluas atau apabila tulang belakang terserang
penyakit Pott’s.8,9,10

Prognosis:
Apabila tulang yang terkena hanya sebagian kecil, penyakit artikuler dapat
dirawat hanya dengan terapi obat-obatan saja. Penyakit Pott’s dapat mengakibatkan
kerusakan neurologis, dan pada pasien berusia lanjut, kematian mencapai 20%.

29
Laporan yang paling baru menyatakan bahwa hampir 80% kesembuhan dari penyakit
yang lebih parah dengan terapi obat yang tepat.

Kepustakaan
1. MalaviyaAN, Kotwal PP. Artritis associated with tuberculosis. Best Praa Res Clin Rheumatol
2003; 17:319.
2. Fremond, C. M., Yeremeev, V., Nicolle, D. M., Jacobs, M., Quesniaux, V. F., and Ryffel, B.
(2004). Fatal Mycobacterium tuberculosis infection despite adaptive immune response in the
absence of MyD88. J Clin Invest 114, 1790-1799.
3. Harrington JT. Mycobacterial and fungal artritis. Curr Opin Rheumatol 1998;10:335-338.
4. Botha, T., and Ryffel, B. (2002). Reactivation of latent tuberculosis by an inhibitor of
inducible nitric oxide synthase in an aerosol murine model. Immunology 107, 350-357.
5. Botha, T., and Ryffel, B. (2003). Reactivation of latent tuberculosis infection in TNF-deficient
mice. J Immunol 171, 3110-3118.
6. American Thoracic Society, Centers for Disease Control and Prevention. Targeted tuberculin
testing and treatment of latent tuberculosis infection. Am J Respir Crit Care Met
2000;161:S221-S247.
7. Askling, J., Fored, C. M., Brandt, L., Baecklund, E., Bertilsson, L., Coster, L., Geborek, P.,
Jacobsson, L. T., Lindblad, S., Lysholm, J., et al. (2005). Risk and case characteristics of
tuberculosis in reumatoid artritis associated with tumor necrosis factor antagonists in Sweden.
Artritis Rheum 52, 1986-1992.
8. Blumberg HM, Burman WJ, Chaisson RE, et al. American Thoracic Society/Centers for
Disease Control and Prevention/Infectious Diseases Society of America: treatment of
tuberculosis. Am J Rcspir Crit Can Med. 2003:167:603.
9. Gomez-Reino, J. J., Carmona, L., Valverde, V. R., Mola, E. M., and Montero, M. D. (2003).
Treatment of reumatoid artritis with tumor necrosis factor inhibitors may predispose to
significant increase in tuberculosis risk: a multicenter active-surveillance report. Artritis
Rheum 48, 2122-27.
10. Edrees AF, Misra SN, Abdou SI. (2005). Anti-tumor necrosis factor (TNF) therapy in
reumatoid artritis: correlation of TNF-alpha serum level with clinical response and benefit
from changing dose or frequency of infliximab infusions. Clin Exp Rheumatol. 23:469-474.

30
BAB III

GANGGUAN TULANG DAN VASKULITIS

III.1. Osteoporosis

Pengertian Umum:
Osteoporosis adalah gangguan skeletal sistemik yang ditandai dengan
berkurangnya kepadatan tulang, atau osteopenia, disrupsi mikroarsitektur jaringan
tulang dan berkurangnya kekuatan tulang yang mengarah pada peningkatan resiko
fraktur. Kepadatan tulang yang menurun akan berakibat peningkatan kerapuhan dan
dapat mengakibatkan fraktur dengan trauma minimal.
Osteoporosis umum ditemui pada wanita post-menopause, namun biasanya tidak
terdeteksi hingga terjadi fraktur. Fraktur pinggul adalah yang paling merugikan dalam
kasus ini, baik secara medis, psikososial dan ekonomi.1,2

Etiologi:
Banyak penyebab yang dikenali termasuk defisiensi esterogen, glucocorticoid
yang berlebihan (Cushing atau iatrogenik), kekurangan seks steroid pada pria dan
wanita, kekurangan gaya gravitasi (imobilisasi atau penerbangan luar angkasa), atau
kekurangan gizi (kalsium, vitamin D), yang dapat diakibatkan dari buruknya intake
atau malabsorbsi. Pada osteoporosis pasca menopause disebabkan oleh defisiensi
esterogen yang menyebabkan ketidakseimbangan antara formasi tulang dan resorbsi,
dimana resorbsi lebih dominant daripada pembentukan tulang. Defisiensi estrogen
juga mempertinggi kemungkinan pengeroposan tulang melalui produksi sitokin
termasuk IL-1, selain itu dipengaruhi juga oleh penuaan (berkurangnya populasi
osteoprogenitor, defisiensi nutrisional dan malabsorbsi).3,4,5,6,7

Penyebab Sekunder Osteoporosis Pada Pria dan Wanita


Gangguan rematologis Reumatoid artritis
Ankilosing spondilitis
Gangguan jaringan penghubung Sindroma Marfan
Sindroma Ehlers-Danlos
Osteogenesis imperfekta

31
Gangguan endokrin Hiperparatiroidisme primer/sekunder
Sindroma Cushing
Hipogonadisme
Anoreksia nervosa dengan amenore
Hiperprolaktinemia dengan amenore atau
hipogonadisme
Diabetes tergantung insulin
Gangguan hematologist Multiple myeloma
Mastositosis sistemik
Limfoma
Leukemia
Gangguan gastrointestinal Malabsorbsi
Celiac sprue
Short bowel syndrome
Penyakit Crohn
Penyakit hati kronis (terutama sirosis)
Sirosis bilier primer
Pasca gastrektomi
Kondisi lain COPD (PPOK)
Pasca tranplantasi
Gaya gravitasi yang rendah
Malnutrisi
Terapi obat Glukokortikoid
Antikonvulsan
Pengganti tiroksin yang berlebihan
Antikoagulan (heparin)
Gonadotropin releasing hormone agonist

Patogenesis:
Kehilangan massa tulang pada wanita dimulai sebelum terjadinya menopause,
biasanya pada akhir dekade 30 dan diawal 40-an, dan kemudian meningkat dalam 5-
10 tahun pasca menopause. Mineral tulang dan materi organik secara struktural baik
dan berada dalam proporsi yang normal. Defek utama adalah pada kuantitas
keseluruhan tulang, seperti berkurangnya ketebalan pada wilayah trabekular dan
kortikal.1,2

Demografi:
Lebih dari sepuluh juta penduduk Amerika terkena osteroporosis dan sebanyak
34 juta orang sangat beresiko. Wanita pada usia pasca menopause mewakili kelompok
pasien yang paling besar. Pria berusia 60 tahun ke atas mungkin menunjukkan gejala
pengeroposan tulang, meskipun resiko keretakan tidak terlihat hingga setelah usia 70
tahun. Pasien dari semua kelompok usia yang dirawat dengan glucocorticoid
mempercepat pengeroposan tulang. Resiko fraktur kompresi tulang belakang dan
fraktur pinggul pada wanita berkulit putih pasca menopause hampir mencapai 20%.

32
Orang-orang berkulit hitam cenderung memiliki kepadatan tulang yang lebih dan
dengan demikian memiliki resiko pengeroposan osteoporosis jauh lebih sedikit.1,2,8

Faktor Resiko Terjadinya Fraktur Osteoporosis Pada Wanita


Tidak dapat dimodifikasi
Pertambahan Usia
Riwayat fraktur saat dewasa
Riwayat keluarga adanya fraktur (terutama pinggul) pada keluarga derajat pertama Ras kulit
putih
Demensia
Imobilisasi
Kondisi komorbid: hiperparatiroidisme, hipertiroidisme, diabetes mellitus, sindroma
malabsorbsi, sindroma Cushing, reumatoid artritis
Dapat dimodifikasi
Kebiasaan dan gaya hidup: tembakau, alkohol, kurang olahraga, malnutrisi
Berat badan rendah (< 60 kg untuk ras kulit putih, < 50 kg untuk ras Asia)
Menopause prematur
Intake kalsium yang rendah
Sering terjatuh dan penglihatan yang buruk
Kurangnya aktivitas fisik
Obat-obatan: glucocorticoid, phenytoin, obat-obatan thyroid, heparin
Defisiensi vitamin D
Dimodifikasi dari National Osteoporosis Foundation

Temuan Pokok:
Pada permulaan, osteoporosis secara klinis tidak menimbulkan gejala apapun.
Pada tingkat lanjutan, fraktur mungkin terjadi pada tulang belakang, dengan akibat
bentuk tulang yang melengkung yang dapat menyebabkan rasa sakit dan
menyebabkan kyphosis yang berlebihan, dikenal dengan istilah dowager’s hump.
Daerah lain yang dapat terkena resiko fraktur termasuk lengan bawah (fraktur Colles)
dan pinggul. Fraktur osteoporosis pada tulang iga mungkin dapat disebabkan oleh
batuk dan dapat menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Fraktur tekanan pada tulang
kortikal mungkin terjadi pada ekstermitas bawah atau kaki. Fraktur vertebral jarang
terjadi dan jarang mengakibatkan cedera sumsum tulang belakang.1,2,9

Kunci Diagnosis:
Sebuah diagnosis awal dapat dilakukan (sebelum terjadi fraktur) apabila
seseorang merupakan populasi yang beresiko dapat dikenali dan diperkirakan dengan
penelitian tingkat kepadatan tulang atau radiografi secara rutin.

33
Pemeriksaan Laboratorium:
Osteoporosis dapat dikenali berdasarkan pemeriksaan radiografi secara rutin,
meskipun hal tersebut kurang sensitif untuk memeriksa kepadatan tulang. Tetapi
walaupun demikian, fraktur dapat terlihat pada radiografi standar. Pengukuran melalui
densitometri tulang (misalnya DXA scan) dapat dilakukan untuk diagnostik.
Pengujian sebaiknya dilakukan pada dua area: pinggul dan tulang punggung lumbal.
Pengukuran serum kalsium dan kadar fosfat serta kimia ginjal dan hati sangat penting
untuk mengetahui keberadaan kondisi yang mendasari. Peningkatan serum kalsium
atau pengukuran densitometer yang rendah sebaiknya diikuti oleh pengukuran
hormon parathyroid dan, kemungkinan, dilakukan evaluasi endokrinologi (misalnya
uji fungsi thyroid). Laki-laki penderita osteoporosis sebaiknya melakukan
pemeriksaan kadar testosteron. Pemeriksaan marker biokimia untuk turn over tulang
tidak dilakukan secara rutin.1,2

Diagnosis Banding:
Fraktur sebaiknya dibedakan antara fraktur patologis dan ketidaknormalan
yang mendasari (misalnya metastase tulang). Utamanya hiperparatiroidisme
menyebabkan percepatan pengeroposan tulang pada tulang kortikal, terutama daerah
pinggul. Osteomalasia dapat dihubungkan dengan rendahnya kadar 25-
hydroxyvitamin D dan fosfat. Biopsi tulang mungkin diperlukan untuk diagnosis
definitif pada osteomalasia. Penyakit keturunan dari jaringan penghubung, termasuk
sindroma Marfan dan Ehlers-Danlos, sering dihubungkan dengan osteoporosis.1,2,11

Terapi:
Sasaran utama terapi sebaiknya mengacu pada pencegahan fraktur.
-Terapi umum:
Perubahan gaya hidup sebaiknya disertai penghentian penggunaan tembakau
dan alkohol yang berlebihan. Latihan weight bearing sangat disarankan. Pasien pada
kondisi tubuh yang lemah dan lanjut usia dengan resiko fraktur tinggi sebaiknya
membatasi kegiatan yang banyak menggunakan tangga, atau sebaiknya menggunakan
alat bantu berjalan apabila diperlukan.
-Obat-obatan:
Suplementasi kalsium (1.000-1.500 mg/hari) dan vitamin D sangat disarankan
untuk semua golongan. Pada wanita pasca menopause, terapi sulih hormon jangka

34
panjang dengan estrogen terkonjugasi (dengan atau tanpa progesteron) sangat efektif
tetapi sering dihubungkan dengan resiko-resiko yang tidak dapat diterima
(cardiovascular, kanker payudara). Pilihan lainnya adalah penggunaan raloxifene
(selektif estrogen receptor modulator), bisphosphonate oral mingguan (misalnya
alendronate, risedronate), atau calcitonin (tersedia dalam bentuk semprotan nasal atau
injeksi subkutan). Calcitonin memiliki keuntungan tambahan yaitu analgesik, yang
mungkin bermanfaat untuk perawatan dari nyeri fraktur. Injeksi subkutan harian
teriparatide (hormon parathyroid sintetis) ditambahkan dalam rejimen untuk melawan
osteoporosis. Penggunaan sodium fluoride menimbulkan kontroversi. Penggabungan
terapi-terapi tersebut tidak menyebabkan dampak kecanduan.1,2,12
Pedoman Yang Disarankan ACR Tahun 1997 Untuk Osteoporosis yang di induksi
steroid:
1. Penggunaan dosis steroid terendah secara efektif.
2. Penggunaan steroid topikal atau steroid inhalasi apabila memungkinkan.
3. Konsumsi kalsium yang cukup (≥1.500 mg/hari).
4. Vitamin D (800 IU/hari atau 50.000 IU tiga kali seminggu) atau kalsium
(0,5μg/hari).
5. Berhenti merokok.
6. Membatasi konsumsi alkohol.
7. Mulai program latihan harian weight bearing excercise.
8. Menggunakan kalsium, vitamin D, dan terapi sulih hormon kecuali apabila
terjadi kontra indikasi.
9. Ketika terapi sulih hormon menimbulkan kontra indikasi, gunakan
bisphosphonate atau calcitonin.
10. Pasien dengan fraktur osteoporosis pengguna steroid dengan kepadatan
mineral tulang yang normal sebaiknya diperiksa untuk mengetahui penyebab
lain fraktur.
11. Kepadatan mineral tulang sebaiknya menyertakan pemeriksaan dari tulang
punggung dan leher femur; apabila hanya pada satu area, gunakan tulang
punggung untuk pria dan wanita berusia kurang dari 60 tahun dan leher femur
untuk yang berusia lebih dari 60 tahun.
12. Ulangi pemeriksaan kepadatan mineral tulang dalam enam hingga 12 bulan.
13. Berikan penjelasan pada pasien.

35
Pembedahan jarang diperlukan kecuali untuk menstabilkan fraktur. Deteksi awal dari
kolaps tulang belakang mungkin dapat dimanajemen dengan vertebroplasty (infus
semen bertekanan tinggi ke dalam tulang belakang yang kolaps) atau kyphoplasty
(pengembalian ketinggian tulang belakang dengan menggunakan sebuah balon
intravertebral yang diikuti oleh semen) untuk menghilangkan rasa nyeri dan
mengembalikan morfologi tulang belakang. Biopsi tulang terkadang diperlukan untuk
memperkuat dugaan bahwa tidak terdapat kondisi lain (osteomalasia,
hiperparatiroidisme, penyakit Paget, penyakit metastatik).

Prognosis:
Fraktur (terutama fraktur pinggul) pada pasien berusia lanjut dihubungkan
dengan morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Peningkatan kewaspadaan dan
jangkauan luas dari terapi yang tersedia terhadap osteoporosis dapat mengubah
tingkat penyakit ini secara signifikan.

Kepustakaan

1. Simonelli, C et al (2006). "ICSI Health Care Guideline: Diagnosis and Treatment of


Osteoporosis, 5th edition" (PDF). Institute for Clinical Systems Improvement. Retrieved on
2008-04-08.
2. Raisz L (2005). "Pathogenesis of osteoporosis: concepts, conflicts, and prospects.". J Clin
Invest 115 (12): 3318–25.
3. Berg KM, Kunins HV, Jackson JL et al (2008). "Association between alcohol consumption
and both osteoporotic fracture and bone density". Am J Med 121 (5): 406–18.
4. Shapses SA, Riedt CS (2006). "Bone, body weight, and weight reduction: what are the
concerns?". J. Nutr. 136 (6): 1453–6. .
5. Nieves JW (2005). "Osteoporosis: the role of micronutrients.". Am J Clin Nutr 81 (5): 1232S–
1239S.
6. Bone and Tooth Society of Great Britain, National Osteoporosis Society, Royal College of
Physicians (2003). Glucocorticoid-induced Osteoporosis. London, UK: Royal College of
Physicians of London.
7. Wong PK, Christie JJ, Wark JD (2007). "The effects of smoking on bone health". Clin. Sci.
113 (5): 233–41.
8. Melton LJ (2003). "Epidemiology worldwide". Endocrinol. Metab. Clin. North Am. 32 (1): 1–
13, v.

36
9. Ebeling PR (2008). "Clinical practice. Osteoporosis in men". N Engl J Med 358 (14): 1474–
82.
10. Gourlay M, Franceschini N, Sheyn Y (2007). "Prevention and treatment strategies for
glucocorticoid-induced osteoporotic fractures". Clin Rheumatol 26 (2): 144–53.
11. Kim DH, Vaccaro AR (2006). "Osteoporotic compression fractures of the spine; current
options and considerations for treatment". The spine journal : official journal of the North
American Spine Society 6 (5): 479–87.
12. WHO Scientific Group on the Prevention and Management of Osteoporosis (2000 : Geneva,
Switzerland) (2003). "Prevention and management of osteoporosis : report of a WHO
scientific group" (pdf). Retrieved on 2007-05-31.

37
III.2. Periostitis

Pengertian Umum:
Periostitis mengacu pada peningkatan gambaran radiologi dari periosteum
sebagai respon terhadap cedera, peradangan, atau infeksi.1,2

Histopatologi:
Perisotitis seringkali dihubungkan dengan peningkatan vaskuler dan aliran
darah setempat. Awalnya terjadi infiltrasi dari sel bulat ke dalam lapisan fibrous
paling luar diikuti oleh deposisi tulang baru pada tulang kortikal yang asli. Periosteum
dari tulang baru kurang kepadatannya secara patologis dan radiografis.1,2

Kelainan Yang Berkaitan:


Hipertrofi paru-paru osteoarthropati (primer maupun sekunder), osteomyelitis,
thyroid acropachy, psoriatikartritis, RA, sindroma Reiter , juvenile artritis, DISH,
syphilis, tuberkulosis, leukemia, lymphoma, diskrasia sel plasma, neurofibromatosis,
obat-obatan (hipervitaminosis A, fluorosis, prostaglandin E, IL-11), atau stasis
pembuluh darah vena dapat memiliki keterkaitan.1,2

Temuan Pokok:
Periostitis mungkin dapat terjadi tanpa gejala ataupun nyeri. Penyakit ini
cenderung terasa nyeri pada tahap awal atau akut. Rasa sakit yang digambarkan
adalah sakit yang dalam, tidak tertahankan, atau seperti terbakar. Terdapat nyeri tekan,
rasa hangat pada satu tempat atau pembengkakan, dengan atau tanpa adanya pitting
edema.

Pemeriksaan Laboratorium:
Perubahan karakteristik disertai berkurangnya kepadatan, formasi tulang baru
yang meningkat, sambungan paralel pada tulang kortikal dan mungkin tampak linear,
berlapis-lapis, atau bertaji.1,2

38
Pencitraan :
Periostitis tampak paling baik dengan radiografi konvensional tetapi mungkin
dapat diidentifikasi dengan scintigrafi atau CT. Peningkatan periosteal seringkali
ditemukan di sekitar (pada frekuensi yang berkurang) diafisis, metafisis, atau epifisis
dari tulang panjang, terutama tibia, fibula, radius, metakarpal, atau metatarsal.

Terapi:
Mengobati penyakit yang mendasari. Elevasi tungkai, kompres es pada area
setempat, atau AINS mungkin efektif dalam mengatasi rasa sakit.3,4

Kepustakaan
1. Resnick D, Niwayama G. Enostosis, hyperostosis and periostitis. In: Resnick D, Niwayama G,
eds. Diagnosis of bone and joint disorders, 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 1988:4073-
4139.
2. Ochiai T, et al. Psoriatic onycho-pachydermo-periostitis successfully treated with low-dose
methotrexate. Med Sci Monit 2006; 12: CS27
3. Bongartz T, et al. Successful treatment of psoriatic onycho-pachydermo periostitis (POPP)
with adalimumab. Artritis Rheum 2005; 52: 280
4. Liang GC, Barr WG. Long term followup of the use of leflunomide in recalcitrant psoriatic
artritis and psoriasis. Artritis Rheum 2001; 44:S121

39
III.3. POLYMYALGIA RHEUMATICA

Pengertian Umum:
Polymyalgia rheumatica adalah kelainan peradangan yang menyerang orang
kulit putih berusia lanjut, menyebabkan rasa sakit dan kaku pada bahu, leher dan
pinggul, biasanya lenih buruk pada pagi hari. Penyakit ini biasanya timbul bersamaan
dengan giant cell arteritis (GCA) namun juga sering timbul sendiri.1,2

Etiologi:
Tidak diketahui penyebabnya. Penyakit ini memiliki hubungan yang erat
dengan penanda HLA terutama HLA-DR4. Seperti halnya pada RA, genotype HLA-
DRB1*04 lebih sering terjadi pada polymyalgia rheumatica daripada populasi secara
umum. Pengelompokan secara musiman dari polymyalgia rheumatica dan jumlah
yang lebih besar pada orang-orang yang hidup di daerah utara mungkin membawa
petunjuk etiopathogenetis.1,2,3

Patogenesis:
Tidak terdapat lesi yang dapat ditetapkan secara patologis yang telah dikenali,
baik di dalam otot maupun di sekitar persendian. Biopsi arthroscopic sinovial dari
bahu pada pasien yang terkena menunjukkan synovitis tingkat rendah, menunjukkan
adanya hubungan dengan radang sendi besar.1,4

Demografi:
Prevalensi polymyalgia rheumatica mendekati jumlah populasi RA pada
penduduk lanjut usia. Hampir dua kali lebih banyak menyerang wanita daripada pria,
dan terjadi lebih banyak pada orang dewasa dari keturunan Eropa Utara. Jarang
ditemukan pada orang-orang dari ras bukan kulit putih. Kira-kira 85% pasien
penderita polymyalgia rheumatica berusia 60 tahun ke atas. Diperkirakan bahwa
sebanyak 400.000 hingga 700.000 pasien penderita polymyalgia rheumatica di
Amerika Serikat. Insidensi tahunan untuk orang-orang yang berusia 50 tahun ke atas
adalah 59 kasus per 100.000.1,2

40
Temuan Pokok:
Onset sebelum usia 50 tahun sangat tidak lazim. Gejala-gejala mungkin
bermula secara tiba-tiba, nyeri, kaku, dan rasa tidak nyaman pada leher, pinggul, dan
tulang bahu. Kekakuan yang berkepanjangan pada pagi hari juga merupakan
karakteristik penyakit ini. Biasanya pasien akan mengeluh nyeri pada daging (bukan
pada persendian) apabila diminta untuk melokalisasi nyeri. Berhubungan dengan
gejala konstitusional seringkali disertai anoreksia, keletihan, penurunan berat badan,
sub-febril, dan terkadang berkeringat pada malam hari. Pembengkakan sinovial
terlihat dalam 20% hingga 35% dan dapat terjadi pada pergelangan tangan, lutut, dan
persendian kecil di tangan. Polymyalgia rheumatica umumnya sering dirancukan
dengan serangan RA onset lambat.
Bahu adalah daerah yang paling banyak terkena (70%-95%) daripada pinggul (50%-
70%). Nyeri bahu pada polimyalgia rheumatica dapat bermula secara unilateral
namun secara cepat menjadi bilateral. Pasien dengan polimyalgia rheumatica biasanya
mengeluh memiliki kesulitan untuk bangkit dari tempat tidur, berdiri dari toilet atau
menggosok giginya.1,2

Kunci Diagnosis:
Melihat pada serangan secara mendadak dan rasa sakit di bahu dan otot
pinggul dengan kekakuan, keletihan, dan ESR yang meningkat pada orang kulit putih
berusia lanjut. Polymyalgia rheumatica mungkin menunjukkan gejala seperti fever of
unknown origin atau anemia karena sebab yang tersembunyi ataupun kehilangan berat
badan. Kriteria diagnosis yang harus ditemukan untuk mendiagnosis polimyalgia
reumatika adalah: (1) usia > 50 tahun; (2) Nyeri atau kekakuan setidaknya
berlangsung selama 1 bulan, pada paling tidak 2 dari 3 area yang disebutkan diatas
(bahu, leher dan pinggul); (3) kekakuan di pagi hari yang berlangsung setidaknya
selama 1 jam; (4) laju endap eritrosit > 40 mm/jam; (5) tidak disertai penyakit lain
kecuali GCA; (6) respon terapi terhadap prednisone (≤ 20 mg/hari).2,3,4

Pemeriksaan Laboratorium:
Karakteristik utama adalah peningkatan laju endap eritrosit secara ringan
hingga berat (biasanya >60 mm/h) atau CRP. Anemia penyakit kronis, leukositosis,
trombositosis reaktif, dan penurunan albumin juga umum ditemukan. Alkali fosfatase
dan enzim hati dapat meningkat. Faktor VIII/von Willebrand dan protein yang berasal

41
dari endothelium dapat meningkat pada pasien penderita polymyalgia rheumatica,
tetapi pemeriksaan tidak disarankan secara klinis. Scan radioisotope telah
menunjukkan synovitis pada persendian besar tetapi tidak memiliki nilai
diagnostik.1,2,3

Diagnosis Banding :
Terdapat banyak sekali peradangan sistemik yang lain, infeksi dan penyakit
neoplastik yang dapat menunjukkan gejala-gejala yang hampir sama. Hipotiroid
adalah pertimbangan yang sering muncul. Polymyalgia rheumatica dibedakan dari
peradangan miopati (DM dan PM) tanpa adanya kelemahan otot frank atau kekhasan
pada kulit dan penemuan-penemuan lain yang tidak berhubungan dengan tulang dan
otot. Tidak seperti fibromyalgia, polymyalgia rheumatica memiliki bukti yang
signifikan dari peradangan sistemik, dengan pengujian di laboratorium.

Terapi:
Terapi awal dengan kortikosteroid dosis rendah hingga menengah (prednisone,
10-20 mg/hari) sangat efektif untuk menghilangkan gejala. Sebuah respon yang
signifikan dalam dua sampai tiga hari dengan prednisone mungkin akan berguna
secara diagnosis. Ketika gejala dapat dikendalikan dengan baik, kortikosteroid dapat
dikurangi perlahan kira-kira 1-2 mg/bulan. Penelitian menunjukkan bahwa hanya
terdapat 24% hingga 40% pasien yang mampu menghentikan prednisone setelah 24
bulan terapi, dan tidak ada alternatif yang sesuai dan sudah terbukti untuk steroid.
Walaupun agen penyerta steroid kadang-kadang diberikan, tetapi tidak ada jaminan
(misalnya MTX). Hydroxychloroquine telah digunakan pada beberapa kesempatan
untuk terapi polymyalgia rheumatica yang terjadi bersama dengan RA onset lambat.
AINS boleh ditambahkan untuk membantu menangani gejala peradangan ringan
ketika dosis prednisone diberikan sebanyak 10 mg/hari atau kurang.5,6,7

Komplikasi:
Perkembangan dari polymyalgia rheumatica menjadi arteritis sel raksasa
terlihat dalam 10% hingga 13% pasien penderita polymyalgia rheumatica. Meskipun
demikian, biopsi pembuluh darah arteri sebaiknya tidak dilakukan pada pasien-pasien
ini. Perkembangan menuju RA terlihat dalam >15%, hal ini yang menyebabkan
sukarnya membedakan polymyalgia rheumatica dan RA.1,2,4

42
Prognosis:
Meskipun mungkin banyak menyebabkan disabilitas, polymyalgia rheumatica
sendiri bukanlah penyakit yang mengancam jiwa. Walaupun begitu, morbiditas yang
dapat dipertimbangkan mungkin berasal dari terapi kortikosteroid jangka panjang.

Kepustakaan
1. Epperly TD, Moore KE, Harrover JD. (2000). Polymyalgia rheumatica and temporal
artritis. Am Fam Physician. ;62(4):789-96, 801.
2. Evans JM, Hunder GG. (2000). Polymyalgia rheumatica and giant cell arteritis. Rheum Dis
Clin North Am. ;26(3):493-515.
3. Gonzalez-Gay MA. (2004). Giant cell arteritis and polymyalgia rheumatica: two different but
often overlapping conditions. Semin Artritis Rheum.;33(5):289-93.
4. Pipitone N, Salvarani C. (2006). Systemic vasculitis: state of the art and emerging
concepts. Curr Opin Rheumatol. ;18(1):1-2.
5. Narváez J, Nolla-Solé JM, Clavaguera MT, Valverde-García J, Roig-Escofet D. (1999).
Longterm therapy in polymyalgia rheumatica: effect of coexistent temporal arteritis. J
Rheumatol;26:1945-1952.
6. Weyand CM, Goronzy JJ. (2003). Giant-cell arteritis and polymyalgia rheumatica. Ann Intern
Med. ;139(6):505-15.
7. Hunder GG. (2001). Polymyalgia rheumatica new treatment (new steroid sparing agents).
Presented at the Second Annual European League Against Rheumatism Congress, Prague,
Czech Republic, . abstract.

43
III.4. Reumatoid Vasculitis

Pengertian Umum:
Reumatoid vasculitis adalah peradangan pembuluh darah sedang yang
menyerang pasien penderita RA yang berat. Vasculitis dianggap sebagai sebuah wujud
RA ekstra-artikular yang serius. Bentuk khas pasien dengan RA yang berat dan lama
ditandai dengan adanya nodul reumatoid, penyakit destruksi sendi, dan titer faktor
reumatoid yang tinggi. Diagnosis reumatoid vaskulitis harus ditegakkan pada setiap
pasien RA yang memiliki gejala konstitusional yang baru, ulserasi kulit, serositis,
ischemia jari, vaskulitis mesenterika atau gejala disfungsi syaraf sensorik atau
motorik (mononeuritis multiple).1,2,3

Etiologi:
Kompleks imun, yang mungkin mengandung RF, disimpan secara pasif dalam
dinding pembuluh darah. Semua pasien yang terserang reumatoid vasculitis memiliki
titer IgM-RF yang sangat tinggi. Sebagian besar kompleks yang mengandung RF juga
memperbaiki komplemen, yang mengakibatkan kerusakan jaringan. Beberapa alel
human leukocyte antigen (HLA-DR4) yang merupakan predisposisi pasien dengan
RA yang berat juga mempertinggi kemungkina pasien menderita reumatoid vaskulitis.
Merokok juga meningkatkan resiko terjadinya penyakit ini. Bagaimanapun, kejadian
yang memicu perkembangan reumatoid vaskulitis pada pasien yang sebelumnya
menderita artritis destruktif tidak diketahui. Faktor tambahan pada vaskulitis (misal,
diabetes, atherosklerosis dan hipertensi) nampaknya memainkan peranan tambahan
dalam meningkatkan oklusi vaskuler, namun masalah utama pada reumatoid vaskulitis
adalah peradangan nekrotik pada pembuluh darah.1,2,4

Demografi:
Reumatoid vaskulitis biasanya berhubungan dengan RA yang agresif dan
bertahan lama. Insidensi pada pria lebih banyak daripada wanita. Mayoritas secara
luas pada pasien menunjukkan hasil positif pada IgM-RF; kasus dari pasien dugaan
seronegative mungkin berhubungan dengan IgG-RF, yang tidak terdeteksi oleh
pemeriksaan klinis rutin. Komplikasi RA tersebut tampaknya terbukti semakin
berkurang insidensinya. Lesi kulit yang terbatas lebih umum ditemukan daripada

44
komplikasi nekrosis yang parah, yang jarang ditemukan. Penelitian otopsi
menunjukkan bahwa kejadian vasculitis yang sebenarnya lebih tinggi, meskipun
kebanyakan kasus bersifat sub-klinis dan tidak terdeteksi sepanjang hidup.1,2,3

Temuan Pokok:
Lesi pada lipatan kuku sering ditemukan dan termasuk didalamnya adalah
pembuluh darah periungual prominen, infark lokal, perdarahan, dan makula ringan
dari ujung jari (yang mungkin berwarna merah gelap atau coklat), digambarkan juga
sebagai palpable purpura. Serangan pada pembuluh darah besar seringkali berupa
ulserasi pada tungkai kaki. Keterlibatan syaraf seringkali tampak sebagai sindroma
mononeuritis multipleks (contoh, wrist atau drop foot). Keterlibatan pada arteri besar
yang akan berakibat infark miokard, usus, paru dan lainya jarang ditemui. Perikarditis
dan pleuritis dapat terjadi sebagai hubungannya dengan reumatoid vaskulitis.
Neuropati syaraf tepi merupakan manifestasi yang sering terjadi pada reumatoid
vaskulitis. Neuropati campuran motorik dan sensorik atau mononeuritis multiple juga
dapat ditemukan. Manifestasi pada susunan syaraf pusat seperti stroke, kejang dan
palsy syaraf cranial jarang ditemukan.
Vaskulitis retinal adalah sebuah manifestasi reumatoid vaskulitis yang sering namun
seringkali asimtomatis. Skleritis nekrotikan dan keratitis ulseratif perifer mengancam
penglihatan dan memerlukan terapi imunosupresan yang agresif.1,2,5

Kunci Diagnosis:
Sebuah diagnosis dari reumatoid vasculitis sebaiknya dipertanyakan apabila
pasien tidak menderita RA seropositive parah dalam durasi yang lama. Tetapi,
peradangan aktif sinovial tidak memiliki hubungan dengan serangan atau aktivitas
vasculitis. Dalam kasus-kasus pada organ tertentu atau serangan pada jaringan seperti
sindroma mononeuritis, biopsi dari jaringan yang terserang (dalam hal ini yang
dimaksud adalah syaraf) mungkin dapat bermanfaat dalam mendapatkan sebuah
diagnosis. Biopsi kulit sebaiknya dilakukan apabila terlihat adanya palpable
purpura.1,2,3

Pemeriksaan Laboratorium:
Pasien yang secara universal seropositive dengan titer IgM-RF yang tinggi.
ESR dan CRP biasanya sangat meningkat. Kadar komplemen (C3, C4) biasanya

45
menurun. Mungkin terdapat leukositosis, anemia dari penyakit kronis,
cryoglobulinemia, ANA, anti endothelial cell antibodies dan atypical anti neutrophil
cytoplasmic antibodies (ANCA). Pengujian kecepatan konduksi syaraf dapat
menunjukkan indikasi mononeuritis multipleks.
Selain pemeriksaan tersebut, diagnosis harus ditegakkan melalui biopsy jaringan
apabila memungkinkan. Biopsi kulit dalam (biopsy tebal dan utuh yang menyertakan
jaringan lemak subkutan) yang diambil dari tepi ulserasi sangat berguna untuk
mendeteksi adanya vaskulitis pembuluh darah sedang. Pengujian konduksi syaraf juga
membantu untuk dilakukannya biopsi syaraf. Biopsi otot (missal, otot gastrocnemius)
harus dilaklukan bersamaan dengan biopsi syaraf.5,6,7

Histopatologi:
Pada pembuluh darah yang berukuran kecil hingga medium, lesi yang timbul
berisi infiltrat sel mononuklear maupun polimorfonuklear, dan fibrinoid nekrosis.
Pada pembuluh darah kecil kulit, mungkin dapat dilihat vaskulitis leukositoklastik.5,6,7

Diagnosis Banding :
Lesi-lesi klinis dan patologis mungkin dapat menyerupai lesi yang terlihat memiliki
hubungan dengan endokarditis bakterial sub-akut, Polyarteritis Nodusa,
granulomatosis Wegener, atau sindroma emboli kolesterol. Diabetes mellitus adalah
penyebab utama lain mononeuritis multiple, namun mononeuropati multiple terjadi
selama jangka waktu yang singkat dan tidak biasa pada kondisi tersebut.7,8

Terapi:
Leukocytoclastic vaskulitis tidak membutuhkan terapi yang agresif. Terapi
agresif dengan cyclophosphamide diterapkan pada reumatoid vaskulitis yang
menyerang pembuluh darah berukuran sedang hingga besar. Cyclophosphamide dapat
digunakan sebagai dosis oral harian atau sebagai infus bolus intravena secara berkala.
Laporan penggunaan TNF inhibitor pada reumatoid vaskulitis memberikan hasil yang
baik. Durasi dari terapi tidak diketahui dengan jelas, meskipun beberapa pasien
membutuhkan terapi selama bertahun-tahun. Wrist dan drop foot dirawat dengan
pembidaian.9,10

46
Prognosis:
Hasil tergantung pada sistem organ yang terlibat. Pasien penderita vasculitis
terbatas pada lesi di ujung jari umumnya sembuh dengan baik, sebagaimana
keterlibatan pada syaraf besar atau arteri pada organ-organ seperti jantung yang
berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk. Penggunaan cyclophosphamide
memiliki dampak besar dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan satu sama lain.

Kepustakaan
1. Bacon PA, Moots RJ. Extra-articular reumatoid artritis. In: Koopman WJ, ed. Artritis and al-
lied conditions: a textbook of rheumatology, 13th ed. Baltimore: Williams & Wilkins,
1997:1071-1088.
2. Vollertsen RS, Conn DL. Vasculitis associated with reumatoid artritis. Rheum Dis Clin North
Am. 1990;16:445.
3. Goronzy JJ, Weyand CM. Vasculitis in reumatoid artritis. Curr Opin Rhcumatol. 1994;6:290.
4. Stone JH, Francis HW. Immune-mediated inner ear disease. Curr Opin RheumatoL 2000;
12:32.
5. Grasland A, et al. Typical and atypical Cogan's syndrome: 32 cases and review of the
literature. Rheumatology (Oxford) 2004; 43:1007.
6. Bacon PA, Kitas GD. The significance of vascular inflammation in reumatoid artritis (review).
Ann Rheum Dis 1994;53:621-623.
7. Belizna, C, Duijvestijn, A, Hamidou, M, Cohen Tervaert, JW. (2006). Antiendothelial cell
antibodies in vasculitis and connective tissue disease. Ann Rheum Dis; 65:1545.
8. Said, G, Lacroix, C. (2005). Primary and secondary vasculitic neuropathy. J Neurol; 252:633.
9. Takayanagi, M, Haraoka, H, Kikuchi, H, Hirohata, S. (2003). Myocardial infarction caused by
reumatoid vasculitis: histological evidence of the involvement of T limfosits. Rheumatol Int;
23:315.
10. Stone JH, Nousari HC. "Essential" cutaneous vasculitis: what every rheumatologist should
know about vasculitis of the skin. Curr OpinRhmmatol. 2001 ;13 :23.

47
III.5. Eritema Nodusum

Sinonim:
Pannikulitis

Pengertian Umum:
Eritema nodusum adalah sebuah pannikulitis septal terbatas akut, yang
ditandai dengan nodul subkutan yang nyeri, biasanya terletak pada permukaan
anterior tibial. Penyebab penyakit belum diketahui, namun penyakit ini sering
menyertai beberapa penyakit infeksi (streptococcus, tuberculosis, lepra, infeksi jamur
dan usus), gangguan sistemik (sindroma Bechet, sarkoidosis, penyakit peradangan
usus, kehamilan), atau dikarenakan oleh obat-obatan (penicillin, sulfonamide,
kontrasepsi oral).1,2

Etiologi:
Separuh dari keseluruhan kasus memiliki hubungan dengan kondisi yang
mendasari. Patogenesis belum diketahui namun mungkin memiliki keterkaitan dengan
kompleks imun dalam sirkulasi. Hubungan juga didapatkan dengan HLA-B8.3,4,5

Demografi:
Wanita terserang lebih dominan, dengan rasio pria:wanita hingga 1:3. penyakit
ini umum menyerang pada usia antara 25-40 tahun. Insiden dilaporkan mencapai 2-3
kasus per 10.000 penduduk.1,2

Temuan Pokok:
Adanya onset nyeri pada satu tempat atau lebih, nodul eritematosa atau
violaseosa ditemukan pada permukaan tibia, jarang diatas paha atau lengan atas. Lesi
berupa nodul dalam dengan diameter 1-10cm, yang akan berubah menjadi lunak, lesi
echimosis, dan biasanya sembuh dalam 6-8 minggu tanpa meninggalkan bekas luka.
Pada individu berkulit gelap, lesi biasanya hiperpigmentasi. Gejala-gejala seperti
demam dan athralgia biasanya berhubungan dengan kondisi tertentu. Synovitis biasa
terjadi pada pergelangan kaki dan lutut. Sindroma Loefgen, sebuah varian spesifik

48
dari sarkoidosis, didefinisikan sebagai trias adenopati hiler bilateral, eritema nodusum
dan poliathralgia atau poliartritis. Ulserasi pada kulit sangat jarang terjadi.1,2,5,6
Kunci Diagnosis:
Mencari adanya nodul subkutan yang nyeri, eritematosa pada permukaan tibial
anterior.

Histopatologi:
Peradangan septal akut (neutrofilik) dan kronis (granulomatosa) tampak pada
jaringan adipose subkutan dan disekitar pembuluh darah.

Pemeriksaan Laboratorium:
Pemeriksaan klinis untuk mengidentifikasi kondisi kesehatan lain yang
berhubungan harus dilakukan. Laju endap eritrosit biasanya meningkat.

Diagnosis Banding:
Eritema nodusum mungkin sering dirancukan dengan vaskulitis dengan lesi
noduler, penyakit Webber Christian, atau panniculitis yang berhubungan dengan
pankreatitis.

Terapi:
Terapi ditujukan pada kondisi kesehatan lain yang mendasari. Manajemen
simtomatik berupa bed rest, kompres dingin, dan AINS. Steroid atau potasium iodida
sistemik jangka pendek mungkin dapat sangat berguna.1,2,7

Prognosis:
Eritema nodusum biasanya sembuh sendiri, dengan tahap resolusi selama 6-8
minggu. Prognosis mungkin ditentukan dengan gangguan lain yang berhubungan.

Kepustakaan
1. Calista D, Landi G. Lichen planus, erythema nodosum, and erythema multiforme in a patient
with chronic hepatitis C. Cutis 2001;67:454-6.
2. Kakourou T, Drosatou P, Psychou F, et al. Erythema nodosum in children: a prospective
study. J Am Acad Dermatol. Jan 2001;44(1):17-21.
3. Mert A, Ozaras R, Tabak F, Ozturk R. Primary tuberculosis cases presenting with erythema

49
nodosum. J Dermatol. Jan 2004;31(1):66-8.
4. Mert A, Ozaras R, Tabak F, et al. Erythema nodosum: an experience of 10 years. Scand J
Infect Dis. 2004;36(6-7):424-7.
5. Moraes AJ, Soares PM, Zapata AL, et al. Panniculitis in childhood and adolescence. Pediatr
Int. Feb 2006;48(1):48-53.
6. Requena L, Sanchez-Yus E. Panniculitis. Part I. Mostly septal panniculitis. Am Acad Dermatol
2001^5:163-183.
7. Soon SL, Crawford RI. Recurrent erythema nodosum associated with Echinacea herbal
therapy. J Am Acad Dermatol 2001;44:298-9.

50
III.6. Imunodefisiensi

Pengertian Umum:
Penyakit imunodefisiensi adalah kelompok gangguan yang beragam yang
berasal dari defek kuantitatif atau kualitatif pada bagian-bagian tertentu sistem imune.
Hal ini dapat dikategorikan sebagai primer dan sekunder. 1,2

Penyakit-penyakit Imuno defisiensi


Imunodefisiensi primer
 Defek sel B (antibodi atau imunoglobulin)
 Agammaglobulinemia X-linked (Bruton)
 Imunodefisiensi variabel umum
 Difisiensi IGA
 Defek gabungan sel B dan sel T
 Imunoderfisiensi kombinasi berat
 Sindroma Wiskott-Aldrich
 Defek sel T
 Sindroma DiGeorge
 Defek fagosit
 Penyakit granulomatosa kronis
 Defisinsi komplemen
Imunodefisiensi sekunder
 Farmakologis/ terapiutik
 Kortikosteroid
 Kemoterapi
 Plasmaforesis
 Iradiasi
 Penyakit limfoproliferatif
 Limfoma/ Leukemia
 Infeksi
 HIV-1, HIV-2
 Influensa
 Penyakit peradangan sistemik
 SLE
 RA
 Penyakit lainya
 Nefropati/enteropati kehilangan protein
 Diabetes mellitus
 Tumor padat
 Malnutrisi

Etiologi:
Imunodefisiensi primer sering berhubungan dengan defek fokal pada sistem
enzimatik, Molekul permukaan sel, atau faktor kritis lainya pada perkembangan atau
fungi sel-sel imunokompeten. Imunodefisiensi sekunder mewakili adanya gangguan

51
pada respon imun yang berhubungan dengan penggunaan obat-obatan imunosupresan,
infeksi sistemik dan kondisi-kondisi lain. 1,2,3

Demografi:
Insidensi imunodefisiensi primer berkisar antara 1 per 10000 hingga 1 per
seratus ribu populasi. Hal ini biasanya timbul saat anak-anak, dan sekitar 85% dari
keseluruhan kasus ditemukan pada 15 tahun atau lebih muda. Karena kebanyakan
imunodefisiensi primer berhubungan dengan kromosom X, anak laki-laki seharusnya
memiliki resiko lebih besar daripada anak perempuan. Imunodefisiensi sekunder lebih
umum terjadi dari primer, sebagai tambahan, hal ini biasa terjadi pada usia dewasa. 1,2

Temuan Pokok:
Tanda klinis utama imunodefisiensi adalah peningkatan kerentanan terhadap
infeksi. Bagaimanapun, beberapa penyakit imunodefisiensi berhubungan dengan
bermacam-macam manifestasi autoimun dan muskuloskeletal. Hal ini kadang benar
untuk sindroma defisiensi antibodi atau imunoglobulin, yang berhubungan dengan
peningkatan insidensi artritis, SLE, imun trombositopenia, anemia hemolitik
autoimun, myositis dan vaskulitis. Manifestasi muskuloskeletal yang umum terjadi
adalah artritis, yang dapat terjadi pada 35% pasien dengan defisiensi dengan
imunoglobulin yang tidak diterapi. Artritis yang terjadi biasanya oligoartikuler dan
mengenai sendi-sendi besar seperti lutut. Pada beberapa pasien, artritis mungkin
berhubungan dengan infeksi Mycoplasma. Etiologi infeksi pada artritis yang dicurigai
pada pasien tersebut didukung dengan menurunya insidensi diantara pasien yang
menerima terapi γ-globulin.3,4

Kunci Diagnosis:
Kunci untuk mendiagnosis adanya imunodefisiensi adalah kecurigaan klinis
yang tinggi. Pasien biasanya memiliki riwayat infeksi yang berulang-ulang yang dapat
menjadi berat, respon yang buruk terhadap terapi, atau disebabkan oleh organisme
yang tidak umum.

52
Pemeriksaan Laboratorium:
Diagnosis imunodefisiensi ditegakkan dengan ditemukanya defek pada
beberapa komponen respon imun tertentu. Untuk defisiensi imunoglobulin, yang
pertama diperiksa adalah kadar serum imunoglobulin (IgG, IgA, IgM).

Terapi:
Terapi sindroma defisiensi antibodi terdiri dari γ-globulin, biasanya diberikan
intravena dengan interval 4 minggu. Hal ini hampir seluruhnya mengganti bentuk
terapi cara lama dengan pemberian γ-globulin intramuskuler atau antibiotik
profilaksis. 4,5

Prognosis:
Dengan terapi yang tepat prognosis pasien dengan penyakit defisiensi antibodi
membaik dan mendekati normal.

Kepustakaan
1. Rosen FS, Cooper MD, Wedgwood JP. The primary immunodeficiencies. N Engl J Med
1995;333:431-440.
2. Menard, D., M. J. Mandeng, M. B. Tothy, E. K. Kelembho, G. Gresenguet, and A. Talarmin.
2003. Immunohematological reference ranges for adults from Central African Republic. Clin.
Diagn. Lab. Immunol. 10:443-445.
3. Bonilla FA, Bernstein IL, Khan DA, et al. Practice parameter for the diagnosis and
management of primary immunodeficiency. Ann Allergy Asthma Immunol. 2005 May;94(5
Suppl 1):S1-63.
4. Cassidy JT, Burt A, Petty R, et al. Selective IgA deficiency in connective tissue diseases. N
Engl J Med 1969;280:275-279.
5. Huston DP, Kavanaugh AF, Rohane PW, et al. Immunoglobulin deficiency syndromes
andtherapy. / Allergy Clin Immunol 1991;87:1-19.

53
III.7. Multiple Sclerosis

Pengertian Umum:
Multiple sclerosis adalah penyakit imunologis yang ditandai dengan
demyelinisasi sistem syaraf pusat. Bentuk klinis yang khas adalah kejadian neurologis
yang berselang waktu (berulang-ulang atau kambuh) dan lokasi (muncul di bagian-
bagian tertentu pada otak, batang otak, dan tulang belakang).1,2

Demografi:
Multiple sclerosis sebelumnya terjadi pada kebanyakan orang berkulit putih
dari keturunan Eropa Utara. Multiple sclerosis terjadi kira-kira pada 20 di antara
100,000 orang yang hidup di Amerika Serikat bagian selatan; kejadiannya melebihi
125 dari 100,000 orang Kanada. Meskipun ada sedikit kecenderungan genetik untuk
multiple sclerosis (kembar monozygotic memiliki kecocokan kira-kira 25%), paparan
antigen tidak dikenal dari lingkungan pada usia muda sangatlah penting. Puncak usia
insidensi adalah 20 hingga 40 tahun, wanita dua kali lebih banyak daripada pria.1,3

Temuan Pokok:
Karakteristik klinis yang ditunjukkan dari multiple sclerosis adalah kerusakan
syaraf dalam lokasi dan waktu terpisah. Sebagian besar defek berkembang akut
dengan kejadian 75% dalam beberapa hari. Biasanya, defek berlangsung selama 6
hingga 8 minggu, dan banyak yang sembuh secara spontan. Pada kebanyakan pasien,
hal ini diikuti oleh kambuhnya defek neurologis. Gejala-gejala umum yang terjadi
termasuk melemahnya satu anggota tubuh atau lebih (50%), kaku/mati rasa (45%),
neuritis optik (20%), ataxia (15%), dan diplopia (10%). Sebuah petunjuk klinis yang
berguna untuk diagnosis dari multiple sclerosis adalah bahwa gejala-gejala
menunjukkan keterkaitan dengan substansia alba dari sistem syaraf pusat. Dengan
demikian, jarang ditemukan gejala yang berkaitan dengan kerusakan substansia grisea
di dalam sistem syaraf pusat (contoh: kehilangan kesadaran, kejang, syncope,
dementia, atrofi otot, rasa nyeri). Pemeriksaan secara fisik mungkin dapat
mengungkapkan bukti yang berhubungan dengan syaraf penglihatan (contoh:
internuclear ophthalmoplegia) atau yang berhubungan dengan tulang belakang
(contoh: refleks Babinski positif, disfungsi sfingter).1,2,3

54
Pemeriksaan Laboratorium:
Laboratorium standar dan pemeriksaan serologi tidak bernilai banyak,
pemeriksaan cairan serebro spinal mungkin dapat menunjukkan jumlah sel atau
menunjukkan mononuclear pleocytosis ringan, peningkatan protein cairan serebro
spinal ringan, peningkatan indeks IgG cairan serebro spinal (90%), atau bukti dari
cincin oligoclonal cairan serebro spinal atau protein dasar myelin (>85%). Sebagai
tambahan, potensial yang tercetus secara visual atau potensial yang tercetus oleh
batang otak mungkin membantu untuk memberikan diagnosis dari multiple
sclerosis.1,2

Pencitraan:
Diagnosis dari multiple sclerosis dapat didukung dengan gambaran radiologis.
Daerah demyelinisasi atau plak, dapat di diagnosis menggunakan MRI. Pada beberapa
pasien (contohnya yang memiliki keterkaitan utama dengan tulang belakang) bisa jadi
memiliki hasil scan yang normal. Meskipun konsisten dengan multiple sclerosis, lesi
substansi alba pada MRI dapat juga dilihat di dalam kondisi lainnya, termasuk
hypertensive vasculopathy, SLE disertai keterkaitan dengan sistem syaraf pusat, dan
berbagai macam infeksi (contoh penyakit Lyme, HIV, T-cell lymphotropic virus tipe
1).1,2

Terapi:
Terapi konservatif termasuk evaluasi terapi secara fisik dan terapi okupasional.
Interferon beta 1-a dan beta 1-b dan glatiramer asetat telah disarankan untuk
digunakan dalam penanganan multiple sclerosis sebagai terapi lini pertama.
Kortikosteroid juga termasuk dalam lini pertama teutama pada pasien dengan neuritis
optic. Terapi lini kedua diantaranya gamma-gloubin iv, azathioprine, methotrexate,
dan cyclophosphamide.4,5,6

55
Kepustakaan
1. Franklin GM, Nelson L (2003). "Environmental risk factors in multiple sclerosis: causes,
triggers, and patient autonomy". Neurology 61 (8): 1032–4.
2. Comi G, Filippi M, Barkhof F, et al. (2001). "Effect of early interferon treatment on
conversion to definite multiple sclerosis: a randomised study". Lancet 357 (9268): 1576–82.
3. Dovio A, Perazzolo L, Osella G, et al (2004). "Immediate fall of bone formation and transient
increase of bone resorption in the course of high-dose, short-term glucocorticoid therapy in
young patients with multiple sclerosis". J. Clin.
4. Ruggieri M, Avolio C, Livrea P, Trojano M (2007). "Glatiramer acetate in multiple sclerosis: a
review". Drug Rev 13 (2): 178–91.
5. Uttner I, Müller S, Zinser C, et al (2005). "Reversible impaired memory induced by pulsed
methylprednisolone in patients with MS". Neurology 64 (11): 1971–3.
6. Munari L, Lovati R, Boiko A (2004). "Therapy with glatiramer acetate for multiple sclerosis".
Cochrane Database Syst Rev (1): CD004678.

56
III.8. Myasthenia Gravis

Pengertian Umum:
Miastenia gravis adalah penyakit autoimun pada sambungan (sinapsis) syaraf
otot. Secara klinis ditandai dengan kelemahan otot dan secara imunologis dengan
autoantibodi terhadap reseptor postsinaps asetilkolin. Autoantibodi ini sangat patogen,
menyebabkan bertambahnya pergantian dan berkurangnya bentuk permukaan dari
rangsangan asetilkoline, yang menyebabkan penurunan depolarisasi otot dan
kelemahan.
Banyak pasien penderita miastenia gravis, khususnya pada onset usia muda , memiliki
kaitan dengan thymomas (10% pasien) atau hyperplasia thymic (70%). Miastenia
gravis juga berkaitan dengan penyakit autoimun lain, termasuk penyakit thyroid (15%
pasien), RA (4%), dan SLE (2%).1,2,3

Etiologi:
Walaupun banyak kasus miastenia gravis merupakan idiopati, pada beberapa
pasien berhubungan dengan thymoma atau hyperplasia thymic. Miastenia gravis
mungkin juga terjadi atas reaksi langka dari terapi D-penicillamine.1,3

Demografi:
Miastenia gravis sangat langka, dengan kejadian sekitar 14 per 100.000 dan
memiliki banyak modus penyebaran. Wanita sedikit lebih dominan, dengan onset
penyakit pada dekade 20 hingga 30 tahun. Sedang pada pria dominan di usia lebih
dari 50 tahun. Ada kecenderungan genetik, sebagian berhubungan dengan ekspresi
gen HLA-B8 dan DR3.1,2,3

Temuan Pokok:
Gambaran klinis dari miastenia gravis adalah kelemahan otot yang semakin
memburuk ketika digunakan berulang-ulang dan membaik pada saat beristirahat.
Yang paling umum ditemukan adalah keterkaitan dengan otot mata, dan dua pertiga
pasien menunjukkan gejala-gejala seperti ptosis dan diplopia. Gejala-gejala tersebut
biasanya semakin memburuk setelah mengalami ketegangan dan pada saat sore hari.
Kira-kira 15% pasien tetap menderita miastenia gravis terbatas pada otot mata.
Sisanya, penyakit ini berkembang ke arah orofaringeal (contoh: dysphagia, dysphonia,

57
dysarthria) dan otot tungkai. Ketika penyakit ini berdampak pada otot-otot
pernapasan, miastenia gravis dapat menjadi fatal. Pada sekitar dua pertiga penderita,
melemahnya otot secara maksimum terjadi pada tahun pertama penyakit.
Bertambahnya rasa sakit secara terus menerus mungkin dapat dihubungkan dengan
faktor yang beragam seperti tekanan emosional (stress), infeksi, dan penyakit thyroid.
Sebagai tambahan, pengobatan yang mempengaruhi transmisi syaraf otot (contoh:
antibiotik aminoglycoside, penghambat neuromuskuler, antiarrhythmia kelas I) juga
dapat memperparah miastenia gravis.4,5,6

Pemeriksaan Laboratorium:
Diagnosis miastenia gravis mungkin dapat dilakukan dengan beberapa hal. Tes
farmakologi atau tes tensilon menggunakan penghambat asetilkolinesterase kerja
cepat (contoh edrophonium) dan mungkin menunjukkan perkembangan yang dramatis
pada kekuatan otot. Tes farmakologi bisa menjadi negatif palsu pada beberapa pasien
dengan miastenia gravis, terutama pada anak-anak.
Konsentrasi serum yang bertambah pada antibodi yang digunakan untuk melawan
reseptor asetilkoline dilihat dari sekitar 65% pasien penderita miastenia gravis terbatas
pada otot mata dan 85% pasien dengan miastenia gravis general.
Akhirnya, penelitian elektrofisiologi mungkin dapat memberikan bantuan dalam
melakukan diagnosis miastenia gravis dengan menunjukkan ketidak-normalan sifat
(contoh: respon yang berkurang pada rangsangan otot secara berulang-ulang).1,2

Diagnosis Banding:
Miastenia gravis mungkin rancu dengan Eaton-Lambert syndrome (umumnya
sindroma paraneoplastik yang berdampak pada bagian presynaptic dari pertemuan
syaraf otot), peradangan miositis (contoh: PM, DM, termasuk miositis badan),
Miopati lain, multiple sklerosis, sindroma keletihan kronis.

Terapi:
Terapi miastenia gravis harus dibedakan, obat-obatan antikolinesterase aksi
lama (contoh: pyridostigmine) adalah terapi dasar untuk kebanyakan pasien,
thymectomy diindikasikan pada beberapa pasien penderita miastenia gravis,
khususnya yang mengidap thymoma. Thymectomy tidak disarankan untuk orang-
orang yang memiliki resiko pembedahan yang lebih banyak daripada keberhasilan

58
yang potensial, termasuk para manula dan pada pasien khusus dengan penyakit yang
menyerang otot penglihatan. Berbagai agen immunomodulator juga memiliki peran
sebagai terapi untuk pasien penderita miastenia gravis.
Kortikosteroid, dengan dosis awal yang tinggi (misalnya 1 mg/kg), mencapai respon
sampai pada 75% pasien. Terapi-terapi immunomodulator yang lain yang telah
digunakan termasuk gamma-globulin iv, pergantian plasma, azathioprine,
cyclosporine, dan cyclophosphamide.6,7,8,9

Kepustakaan
1. Palace J, Vincent A, Beeson D. (2001). Myasthenia gravis: diagnostic and management
dilemmas. Curr Opin Neurol;14(5):583-9.
2. Juel VC. (2004). Myasthenia gravis: management of myasthenic crisis and perioperative
care. Semin Neurol. ;24(1):75-81.
3. Keesey JC. (2004). Clinical evaluation and management of myasthenia gravis. Muscle
Nerve. ;29(4):484-505.
4. Lacomis D. (2005). Myasthenic crisis. Neurocrit Care. ;3(3):189-94.
5. Mazia CG, De Vito EL, Varela M. (2003). BiPAP in acute respiratory failure due to
myasthenic crisis may prevent intubation. Neurology. ;61(1):144; author reply 144.
6. Dalakas MC. (2004). Intravenous immunoglobulin in autoimmune neuromuscular
diseases. JAMA. ;291(19):2367-75.
7. Saperstein DS, Barohn RJ. (2004). Management of myasthenia gravis. Semin
Neurol. ;24(1):41-8.
8. Richman DP, Agius MA. (2003). Treatment of autoimmune myasthenia
gravis. Neurology. ;61(12):1652-61.
9. Rivner MH. (2002). Steroid treatment for myasthenia gravis: steroids are
overutilized. Muscle Nerve. ;25(1):115-7.

59
III.9. Miopati

Sinonim:
Penyakit metabolik otot, metabolik miopati, miopati yang disebabkan oleh
statin, miopati yang disebabkan oleh obat.

Pengertian Umum:
Miopati adalah istilah umum yang diterapkan kepada suatu kelompok
heterogen dari kelainan yang menyerang otot. Miopati harus dibedakan dengan
penyakit peradangan otot. Diagnosis banding dari kelemahan dan miopati sangat luas.
Miopati metabolik termasuk kelainan otot rangka yang disebabkan oleh gangguan
pada jalur biokimia dan dibagi menjadi kelainan glycogenolysis, metabolisme lipid,
dan miopati mitokondrial.1,2,3

Etiologi:
Kebanyakan kelainan ini memiliki dasar genetik dan menunjukkan sebuah
pola autosomal resesif yang diturunkan. Miopati mitokondrial menunjukkan sebuah
pola transmisi maternal karena semua DNA mitokondrial didapat dari jalur ibu.
Terdapat sejumlah penyakit yang menyertai kelainan ini, seperti sirosis, gagal ginjal,
kelainan metabolis, atau obat-obatan.3,4

Demografi:
Kebanyakan kasus akan timbul pada anak-anak dan orang dewasa muda tetapi
mungkin terjadi pada usia yang lebih tua.

Temuan Pokok:
Kelainan ini pada umumnya mengganggu fungsi otot dan seringkali
bermanifestasi sebagai keletihan, nyeri, kram, dan mialgia serta mungkin dapat
mengakibatkan mioglobinuria, rhabdomyolysis, atau kelemahan permanen pada
beberapa bagian. Kebanyakan, gejala-gejala hanya berkembang ketika melakukan
aktivitas yang menggunakan otot dan malnutrisi dapat menunjukkan kerusakan yang
didasari oleh penyakit tersebut. Kebanyakan pasien menunjukkan kelemahan otot.

60
Beberapa mungkin dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan normal tanpa
masalah apapun tetapi menjadi kambuh pada tingkat aktivitas yang lebih tinggi.3,4
Sub-Pengelompokan Miopati
1. Kelainan Glycogenolysis
-Penyakit McArdle’s:
Disebabkan oleh kekurangan myophosphorylase .
-Penyakit Tarui:
Disebabkan oleh kekurangan phosphofructokinase, penyakit tarui memiliki
ciri-ciri yang hampir sama dengan penyakit McArdle’s, tetapi mungkin juga terdapat
rasa mual, muntah, dan anemia hemolitic. Kebanyakan pasien mulai terdiagnosis saat
dewasa dan bisa jadi tidak mengingat kegiatan yang tidak boleh dilakukan pada masa
kecil. Pasien penderita kekurangan phosphofructokinase tidak dapat memanfaatkan
glukosa, dan dengan demikian makanan yang mengandung karbohidrat tinggi
mungkin menimbulkan rasa sakit pada saat bergerak.
-Kekurangan asam maltase:
Sebuah penyakit autosomal resesif dengan tiga fenotipe. Penyakit ini timbul
sebelum usia 2 tahun, ditandai dengan kelemahan pada masa kanak-kanak, hypotonia,
gagal jantung, dan kematian dini. Ragam yang kedua dimulai pada masa kanak-kanak
awal yang ditandai dengan kelemahan otot trunchus, proksimal dan otot-otot
pernapasan. Terakhir, sub-pengelompokan pada orang dewasa yang lebih ringan
mungkin dimulai pada dekade ketiga atau keempat, dengan kelemahan otot dan pola-
pola yang tidak dapat dibedakan dari polymyositis atau dystrophy otot pada alat
gerak. Kekurangan asam maltase menyebabkan vacuolar miopati, dan pemeriksaan
biokimia diperlukan untuk membuktikan diagnosis tersebut.
-Lain-lain:
Miopati yang terus menerus mungkin terjadi sebagai akibat dari kekurangan
lactate dehydrogenase, aldolase, B-enolase, phosphorylase b kinase, atau
phosphoglycerate mutase. Kekurangan brancher enzyme menyebabkan miopati pusat
tubuh kronis pada anak-anak atau orang dewasa. Kekurangan enzyme debrancher
lebih menyebabkan miopati pada bagian distal daripada proksimal.
-Kekurangan myoadenylate deaminase:
Myoadenylate deaminase adalah isoenzyme khusus otot dan terlibat dalam
siklus produksi purine nucleotide dari fumarate. Hal ini dikenali dengan kram yang
berhubungan dengan gerakan pada anak-anak dan jarang sekali menyebabkan

61
myoglobinuria. Mungkin berkaitan dengan keterlambatan motorik dan perkembangan
bicara, hypotonia, atau cardiomiopati. Enzim otot biasanya normal atau tinggi, namun
pada pemeriksaan mikroskopis otot dengan pengecatan histokimia terdapat
kekurangan aktivitas myoadenylate deaminase. Pada uji ischemic forearm exercise,
pasien-pasien tersebut tidak dapat menghasilkan tingkat pertambahan serum
ammonia.
2. Kelainan Metabolisme Lipid
-Kekurangan carnitine:
Kurangnya perpindahan mata rantai asam lemak bebas ke dalam mitokondria
disebabkan oleh kekurangan carnitine. Kelemahan otot dimulai pada masa kanak-
kanak dan mungkin berkaitan dengan mialgia, kelemahan proksimal, kelemahan otot
pernapasan, kardiomiopati, myoglobinuria, kreatin phosphokinase yang bertambah,
hypoketotic hypoglycemia, dan lipid otot yang bertambah.
-Kekurangan carnitine palmityltransferase:
Sebuah kelainan autosomal resesif, kekurangan carnitine palmitytransferase
secara khusus menyerang pria, dengan mialgia, kram, kekakuan otot dan
mioglobinuria. Serangan dipicu oleh olah raga atau puasa. Creatine phosphokinase
dan uji ischemic exercise biasanya normal. Diagnosis berdasarkan pada analisa
biokimia dari aktivitas enzim otot. Pada beberapa pasien berkembang menjadi
rhabdomyolysis dan gagal ginjal, yang mana masih reversible apabila dirawat dengan
tepat.
3. Miopati Mitokondrial
Miopati mitokondrial termasuk di dalamnya jenis kelainan yang menyebabkan
gangguan struktur mitokondria, jumlah, atau ukuran. Hal-hal tersebut mungkin dapat
terjadi pada anak-anak sebagai miopati di tungkai, dengan atau tanpa
ophthalmoplegia. Pasien menunjukkan ketidakmampuan bergerak, kelemahan otot
proksimal atau ekstraokuler, myoklonus, ataxia, tuli sensorineural, atau neuropati
saraf tepi. Miopati mitokondrial mungkin dapat terjadi pada orang dewasa sebagai
ketidakmampuan bergerak, kelemahan proksimal atau general, dan dengan tingkat
creatine phosphokinase yang normal atau meningkat. Beberapa di antaranya dapat
terjadi setelah paparan terhadap toxin mithochondrial seperti zidovudine atau
clofibrate.
4. Statin Miopati

62
Miopati dilaporkan telah terjadi dengan cerivastatin, lovastatin, and
simvastatin jauh lebih umum daripada dengan pravastatin atau atorvastatin. Efek
myotoxic (termasuk mialgia, myositis, atau rhabdomyolysis) dari statin terjadi pada
1% hingga 7% pasien. Sebuah ulasan FDA pada tahun 2002 tentang anjuran
keamanan statin bahwa tingkat rhabdomyolysis yang fatal adalah 0,15 kasus dalam
setiap 106 resep. Cerivastatin ditarik dari peredaran setelah 31 kasus rhabdomyolysis
fatal dan 52 kematian di seluruh dunia. Orang-orang yang memiliki resiko diberikan
dosis yang lebih tinggi dan meminum gemfibrozil secara bersamaan. Faktor lain yang
mungkin memperparah statin miopati termasuk usia, insufisiensi ginjal, obstruksi
bilier, kelainan myopathic yang telah ada sebelumnya (contoh: hypothyroidism), dan
penggunaan dari obat-obatan myotoxic lainnya atau obat yang meningkatkan enzim
cytochrome P-450 CYP2A4. Mekanismenya tidak digambarkan secara keseluruhan,
tetapi statin menghalangi pembentukan mevalonate dan utamanya ubiquinone
(coenzyme Q10). Kekurangan ubiquinone mungkin dapat menghalangi produksi
mitokondrial adenosine 5’-triphosphate lebih jauh dan fungsi myocyte. Tidak ada
bukti bahwa penambahan ubiquinone akan memberikan keuntungan secara klinis
pada pasien-pasien tersebut. Keberhasilan terapi berdasar pada pengenalan dini dan
penghentian obat pada saat yang tepat.

Pemeriksaan Laboratorium:
Serum potassium, magnesium, dan creatine kinase harus diukur. Beberapa,
tetapi tidak semua, Miopati metabolis dikaitkan dengan jumlah creatine
phosphokinase yang meningkat; jumlah normal tidak berarti terbebas dari penyakit
ini. Kerusakan di dalam jalur glycogenolytic seperti kerusakan myophosphorylase
mungkin dapat dikenali dari uji forearm ischemic exercise. Myoglobin sebaiknya
diukur di dalam air seni jika diperkirakan adanya rhabdomyolysis.1,3
Histopatologi:
Pemeriksaan ringan melalui mikroskop dari contoh biopsi otot menunjukkan
deposisi lipid (ditunjukkan pada pewarnaan oil red-O) dalam miopati yang
berhubungan dengan metabolisme lipid. Abnormalitas mitokondrial mungkin juga
dapat dilihat pada pemeriksaan mikroskop rutin, gambaran potongan-potongan serat
berwarna merah yang irregular memberi kesan sebuah kelainan mitokondrial. Pada
pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron, peningkatan endapan kolagen

63
mungkin dapat diamati pada pasien miopati yang berhubungan dengan glycogen yang
menumpuk. Tetapi, contoh-contoh biopsi dari beberapa pasien dapat terlihat normal.4,5

Biopsi:
Mungkin diperlukan biopsi otot untuk menegakkan diagnosis. Beberapa
sindroma metabolis dikaitkan dengan jumlah enzim otot yang meningkat, tetapi
banyak yang tidak menunjukkan kelainan atau hanya ditemukan selama episode
rhabdomiolisis, pada kasus ini pengukuran aktivitas enzymatic dalam spesimen biopsi
biasanya diperlukan. Penanganan khusus pada contoh jaringan untuk mendapatkan
keakurasian enzimatik, dan konsultasi dengan laboratorium patologi yang akan
menganalisa, penting untuk meyakinkan bahwa contoh dikumpulkan dengan benar.
Analisa enzimatik membutuhkan biopsi terbuka, bukan biopsi dengan jarum.4,5

Kunci Diagnosis:
Diperlukan biopsi otot dan pengukuran tingkat enzim otot untuk
mengembangkan diagnosis pada seorang pasien dengan kelemahan yang terus
menerus atau kelemahan gerakan atau rhabdomyolysis. Kasus-kasus sekunder
mungkin dapat dikenali dari pemeriksaan darah dan air seni secara rutin untuk
ketidakseimbangan metabolis.4,5

Terapi:
Perawatan yang spesifik tidak selalu diperlukan. Tetapi, pasien mungkin
disarankan untuk mengubah pola makan dan berolahraga untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya masalah, maka dari itu penegakan diagnosis sangat penting.
Sebagai contoh, para pasien penderita kekurangan carnitine palmitytransferase
sebaiknya disarankan untuk menghindari puasa dan latihan steno; asupan karbohidrat
sebelum latihan olahraga ringan mungkin bermanfaat.
Kekurangan carnitine dapat diterapi dengan suplementasi makanan (sebanyak 4 gram
carnitine/hari), dan laporan-laporan yang menarik menyarankan dalam penggunaan L-
carnitine, coenzyme Q10, atau menadione untuk pasien penderita miopati
mithocondrial.
Rhabdomyolysis akut, yang mungkin terjadi pada beberapa sindroma ini, merupakan
keadaan medis darurat, membutuhkan hidrasi yang agresif, mannitol (untuk

64
pengentalan urine) dan alkalinisasi urine dalam menghindari kerusakan ginjal yang
permanen.1,6

Prognosis:
Kebanyakan pasien dapat mengikuti kegiatan sehari-hari dengan normal dan
tidak mengakibatkan masalah yang progresif. Tindakan pencegahan berkenaan
dengan pengaturan pola makan dan olahraga adalah unsur yang sangat penting untuk
hasil yang baik.

Kepustakaan
1. Fardeau M, Tomè FMS. (1994). Congenital Myopathies in Myology, 2nd ed., vol. 2, chap 57,
pp. 1487–1532. McGraw-Hill, New York, NY.
2. Jungbluth H, Sewry CA, Muntoni F. (2003). What's new in neuromuscular disorders? The
congenital myopathies. Eur J Paediatr Neurol 7:23–30
3. Manzur AY, Sewry CA, Ziprin J, Dubowitz V, Muntoni F. (1998). A severe clinical and
pathological variant of central core disease with possible autosomal recessive inheritance.
Neuromuscul Disord 8:467–473
4. Mulley JC, Kozman HM, Phillips HA, Gedeon AK, McCure JA, Iles DE, Gregg RG, Hogan
K, Couch FJ, MacLennan DH. (1993). Refined genetic localization for central core disease.
Am J Hum Genet 52:398–405
5. Romero NB, Monnier N, Viollet L, Cortey A, Chevallay M, Leroy JP, Lunardi J, Fardeau M.
(2003). Dominant and recessive central core disease associated with RYR1 mutations and fetal
akinesia. Brain 126:2341–2349
6. Sewry CA, Muller C, Davis M, Dwyer JS, Dove J, Evans G, Schroder R, Furst D, Helliwell T,
Laing N, Quinlivan RC. (2002). The spectrum of pathology in central core disease.
Neuromuscul Disord 12:930–938,

65
BAB IV KELAINAN NON-ARTICULAR

IV.1. BURSITIS, TENDINITIS, ENTHESITIS

Sinonim:
Rematik jaringan lunak, sindromaa overuse, bursitis; tendinitis; enthesitis.

Pengertian Umum:
Istilah kelainan non-articular mengacu pada rasa nyeri dan disfungsi yang
berhubungan dengan struktur/ susunan penyangga di sekitar persendian dan karena
kedekatan hubungan tersebut seringkali rancu dengan radang sendi. Rasa nyeri yang
berasal dari dalam struktur non-articular mungkin adalah keluhan pada otot dan tulang
yang paling banyak ditemui secara umum. Susunan non-articular termasuk di
dalamnya sejumlah bursa, tendon, dan ligamen yang berada di seluruh tubuh. Dalam
beberapa kasus, kerusakan sekunder pada penggunaan yang berlebihan secara
berulang-ulang atau trauma dapat menyebabkan peradangan dan rasa nyeri. Tetapi,
beberapa susunan tersebut dapat meradang secara sekunder pada kondisi sistemik
seperti RA atau gout.1,2,3
-Bursa:
Sejumlah bursa (>150) berada di seluruh tubuh. Biasanya terletak di sela-sela
otot atau di antara otot dan tulang serta berisi sedikit cairan yang menyerupai
sinovium. Fungsinya adalah untuk memperlancar gerakan di antara permukaan yang
saling berdekatan dan menyediakan penyangga untuk mencegah cedera. Peradangan
bursa, atau bursitis, biasanya berasal dari trauma (terutama, trauma yang berulang-
ulang), penggunaan secara berlebihan, atau jenis-jenis lain dari cedera langsung.
Bursitis mungkin juga berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik (misalnya:
gout, pseudogout, RA). Peradangan atau kerusakan bursa sering membesar dengan
cairan dan dapat menjadi sumber yang menimbulkan rasa nyeri. Bursa dapat juga
terinfeksi, biasanya dengan organisme (contoh: S. aureus) yang berasal dari
permukaan kulit.4,5
-Tendon:
Tendon dapat menjadi sumber rasa nyeri yang secara khusus berkaitan dengan
penyebab-penyebab biomekanik karena penggunaan yang berlebihan atau cedera yang
berulang-ulang. Seperti halnya pada bursa, ketika tendinitis menjadi penyebab rasa

66
nyeri, ketidaknyamanan biasanya dapat di deteksi dengan palpasi dan pemeriksaan
range of motion (ROM). Sejumlah tendon berjalan melewati tabung fibrosa atau
selubung. Peradangan dari selubung ini dikenal sebagai tenosynovitis. Tenosynovitis
mungkin disebabkan dari trauma langsung, cedera karena penggunaan secara terus
menerus, penyakit radang sistemik, atau infeksi. Stenosis dan/atau peradangan
jaringan tendon mungkin berhubungan dengan gerakan halus dari tendon. “Trigger
finger” terjadi ketika tendon flexor dari tangan tidak dapat melewati dengan lancar
melalui terowongan fibrosa pada tangan dan akhirnya terjebak. Kondisi lain dari rasa
nyeri dan jeratan berkaitan dengan adanya tenosinovial termasuk de Quervain’s
tenosynovitis, sindroma karpal dan tarsal tunnel. Ketika cidera tendon atau
peradangan menjadi kronis, mungkin dapat mengakibatkan ruptur tendon.5,6
-Ligamen:
Ligamen melekatkan satu tulang dengan yang lain dan dengan demikian
membentuk susunan utuh dalam kerangka. Cidera pada ligamen biasanya diakibatkan
oleh tenaga yang berlebihan. Kasus terkilir mencakup tingkat keparahan dari sobekan
ringan hingga disrubsi komplet dari ligament.5,6
-Entheses:
Tempat di mana ligamen dan tendon masuk ke dalam tulang (enthesis)
mungkin juga menjadi daerah peradangan. Enthesitis mungkin diakibatkan oleh
trauma tetapi mungkin juga berkaitan dengan penyakit peradangan sistemik seperti
seronegatif spondyloarthropathy.5,6,7

Etiologi:
Kebanyakan bentuk dari rasa nyeri non-articular disebabkan oleh trauma
langsung, cidera karena penggunaan yang berulang-ulang, peradangan sistemik atau
diakibatkan oleh kristal, atau infeksi.1,2,3

Demografi:
Tendinitis, bursitis, dan sindroma overuse sangat lazim ditemukan, menyerang
usia muda, usia menengah, dan yang lebih tua. Kondisi traumatik lebih umum
ditemukan pada usia muda. Kaum pria sedikit lebih sering terserang daripada kaum
wanita. Diperkirakan rata-rata bursitis sebanyak 2%.

Temuan Pokok:

67
Seringkali, anamnesis riwayat yang penting dan pemeriksaan fisik dapat
menunjukkan dengan tepat penyebab spesifik dari keluhan pasien. Tetapi, mungkin
kadang-kadang sulit untuk membedakan sindromaa jaringan lunak ini dengan radang
sendi atau proses yang lainnya. Seringkali tendinitis, bursitis, atau enthesitis dapat
dikenali dari penunjukan daerah yang sakit oleh pasien dan mungkin mengakibatkan
rasa nyeri pada gerakan yang aktif, tetapi tidak pada gerakan pasif. Contoh-contoh
dari rasa nyeri non-articular seperti yang disebutkan di bawah ini.5,6
-Subacromial (subdeltoid) bursitis.
Bursa subacromial, bursa yang terbesar di dalam tubuh, terletak di antara otot
deltoid dan sendi bahu. Dapat meradang berkaitan dengan disfungsi sendi rotator atau
dengan sendirinya. Diagnosis subacromial bursitis biasanya dilakukan dengan rasa
nyeri saat palpasi (bursa tepat terlihat di bawah acromion).3,4,5
-Bicipital tendinitis:
Bicipital tendinitis seringkali terjadi dengan rasa nyeri yang terlokalisasi
terutama di daerah bahu anterior. Rasa nyeri seringkali berasal dari ujung proksimal
otot bisep, yang berjalan melalui selubung tendon di dalam alur otot bisep pada
humerus di bahu. Palpasi langsung pada tendon yang meradang seringkali
mengakibatkan rasa nyeri. Rasa nyeri mungkin juga diakibatkan oleh gerakan paksa
fleksi dan supinasi lengan atas dalam melawan tahanan. Ruptur tendon otot bisep
akan terlihat sebagai tonjolan di lengan atas. 3,4,5
-Olecranon bursitis:
Bursa olecranon terletak tepat di atas prosesus olecranon pada siku. Bursitis
olecranon merupakan sebuah kondisi yang umum, khususnya di antara orang-orang
berusia lanjut. Meskipun mungkin dihubungkan dengan kondisi-kondisi lain semacam
RA, gout, pseudogout, dan infeksi karena S. auerus (septik bursitis), kebanyakan
kasus idiopatik atau disebabkan dari trauma kecil yang berulang-ulang pada daerah
tersebut. Nyeri pada saat palpasi dan pembengkakan yang berasal dari efusi adalah
kunci penemuan pada pemeriksaan fisik. Sebuah petunjuk yang berguna dalam
membantu membedakan olecranon bursitis dari synovitis siku adalah bahwa rasa
nyeri yang berhubungan dengan olecranon bursitis akan semakin bertambah ketika
lengan bawah fleksi penuh (yang akan menarik bursa) dan berkurang ketika siku
dalam keadaan ekstensi penuh. Sangat berbeda, dengan synovitis siku yang
sebenarnya, pasien seringkali menahan siku pada posisi netral (misalnya fleksi 30

68
derajat); fleksi penuh atau ekstensi penuh sama-sama menambah tekanan dalam
synovium dan menyebabkan rasa nyeri.7,8

- Tennis elbow:
Peradangan tendon dari otot ekstensor lengan bawah ditempat masuknya ke
epicondylus tulang humerus. Bentuk epicondylitis lateral ini seringkali diakibatkan
oleh penggunaan yang berlebihan (misalnya pronasi atau supinasi pergelangan tangan
secara berulang-ulang melawan tahanan). Pemeriksaan fisik seringkali menunjukan
rasa tidak nyaman pada epicondylus lateral.7,8
-Epicondylitis medial:
Kadang-kadang disebut golfer’s elbow, epicondylitis medial kurang begitu
sering ditemukan dibandingkan epicondylitis lateral. Rasa nyeri pada tempat
masuknya tendon fleksor pada epicondylus medial adalah kunci dari diagnosis.
Sebagai tambahan untuk kondisi tersebut, penyebab-penyebab lain dari rasa nyeri siku
termasuk synovitis dari sendi siku dan syaraf ulnar yang terjepit (dengan nyeri saat
palpasi dari alur syaraf ulnar dan tanda-tanda neuropathy ulnar).7,8
-Tenosynovitis pergelangan tangan:
Umumnya ditemukan pada pasien penderita RA, tenosynovitis pergelangan
tangan mungkin sulit untuk dibedakan dari synovitis pada sendi radiocarpal.
Unilateral tenosynovitis mungkin dapat ditemukan penyebarannya pada beberapa
pasien penderita infeksi gonococcal atau gout.1,2
-de Quervain tenosynovitis:
Peradangan dari abduktor pollicis longus atau ekstensor pollicis brevis pada
sisi radial dari pergelangan tangan.1,2
-Trochanteric bursitis:
Ada banyak bursa di dalam area trochanter mayor pada tulang femur. Bursa ini
terletak di antara trochanter (penonjolan tulang yang terasa pada sisi lateral paha atas),
otot-otot gluteus medius dan minimus, dan fascia lata. Trochanteric bursitis
merupakan penyebab umum dari rasa nyeri di daerah pinggul. Hal ini terjadi
kebanyakan di antara orang-orang berusia lanjut dan lebih sering ditemukan pada
kaum wanita. Mungkin juga memiliki hubungan dengan kondisi-kondisi lain yang
mempengaruhi cara berjalan, seperti OA pada pinggul, lutut, atau tulang punggung
lumbar; panjang kaki yang berbeda; dan kegemukan. Keadaan umum biasanya kronis,
rasa nyeri intermiten terjadi pada samping pinggul. Rasa nyeri mungkin dapat

69
merambat ke bawah atau ke atas dan mungkin rancu dengan nyeri pinggul karena
sebab yang lainnya. Diagnosis biasanya didapat dari nyeri palpasi pada trochanter.
Sebagai tambahan pada AINS dan suntikan kortikosteroid lokal, terapi dilakukan
langsung pada kondisi yang berkaitan mungkin akan mengurangi keluhan.7,8
-Ischial bursitis:
Peradangan dari bursa ischial menunjukkan bahwa rasa nyeri pada tuberositas
ischial (tulang yang menonjol di bawah otot pantat) yang terasa semakin parah dengan
duduk di atas permukaan yang keras dalam jangka waktu yang cukup lama. Ischial
bursitis sering disebut “weaver’s bottom”. Iliopsoas bursitis ditunjukkan dengan rasa
nyeri pada anterior sendi panggul dan lateral pembuluh femoral.1,3
-Meralgia paresthetica:
Neuropati kompresi dari syaraf kulit femoral lateral secara umum ditunjukkan
dengan sensasi terbakar pada sisi anterolateral pinggul dan paha. Umumnya hal itu
dapat terjadi pada pasien yang hamil, penderita diabetes, atau kegemukan.
-Anserine bursitis:
Bursa anserina terletak tepat di bagian inferior dan medial lutut. Anserine
bursitis sangat umum ditemukan, khususnya pada wanita yang mengalami kelebihan
berat badan. Rasa nyeri dapat ditemukan dengan palpasi pada bursa dan seringkali
diakibatkan oleh menaiki tangga. Bursa yang lain terletak di bawah medial dan lateral
ligamen kolateral dan dapat menjadi sumber penyebab rasa nyeri.8,9
-Prepatellar bursitis:
Sering berupa pembengkakan dan rasa tidak nyaman pada tempurung lutut,
prepatellar bursitis (sebelumnya dikenal dengan sebutan “housemaid’s knee”)
memiliki hubungan dengan trauma pada lutut depan, seperti ketika berlutut. Tendinitis
dari tendon patela juga mungkin mengakibatkan rasa nyeri pada lutut anterior. Hal itu
biasanya semakin memburuk dengan melakukan kegiatan atletik dan sering disebut
“jumper’s knee”. Pada anak-anak, khususnya anak laki-laki berusia 10 hingga 16
tahun, rasa nyeri dari tempat insersi tendon lutut pada tibia mungkin mengarah kepada
penyakit Osgood-Schlatter (avulsi tuberositas tibia).1,3
- Chondromalacia patellae:
Ditandai dengan nyeri lutut, krepitasi, dan degenerasi tulang rawan di bawah
tempurung lutut, chondromalacia patellae terutama terjadi pada orang dewasa,
khususnya pada kaum wanita. Rasa nyeri dari chondromalacia patella diakibatkan
oleh fleksi lutut melawan tahanan, sebagai contoh dengan menaiki tangga. Gerakan-

70
gerakan semacam itu menarik tempurung lutut mendekati kondilus femoralis. Sebagai
tambahan, pasien mungkin mengeluhkan rasa nyeri dan kaku dengan inaktivitas
dalam jangka waktu yang lama dan dapat sembuh dengan bergerak. Rasa nyeri yang
diakibatkan oleh chondromalacia patella seringkali dapat ditemukan dengan menekan
patella pada tulang paha, khususnya pada sisi samping. Keadaan ini juga dikenal
sebagai sindroma rasa nyeri patellofemoral dan pelacakan kelainan patellofemoral.
Kelemahan yang bersangkutan dari otot paha medial yang menyebabkan pergeseran
ke samping tempurung lutut dan gerakan-gerakan untuk melacak kelainan mungkin
dapat memberi kontribusi pada pathophysiology. Lebih jauh lagi, sebagai tambahan
AINS dan mencegah penggunaan secara berlebihan, latihan-latihan yang bertujuan
pada penguatan otot-otot paha medial (misalnya bersepeda) mungkin dapat menjadi
terapi intervensi yang berguna. Pada kasus lain yang lebih sukar, penanganan dengan
pembedahan (contoh: melepaskan retinaculum samping, re-alinasi otot vastus medial
oblik) mungkin diperlukan untuk beberapa pasien.7,8
- Kista Adams-Baker’s:
Pasien penderita synovitis lutut mungkin dapat berkembang menjadi kista
Adams-Baker’s (juga dikenal dengan nama kista Baker’s atau kista popliteal). Pada
keadaan ini, cairan semakin menumpuk pada kompartemen posterior lutut. Meskipun
efusi dan pembengkakan pada awalnya mungkin saja tanpa menunjukkan gejala,
akumulasi yang terus menerus seringkali menimbulkan rasa nyeri. Sebagai tambahan,
cairan mungkin dapat masuk ke bawah, di antara otot-otot betis. Hal ini dapat
mengakibatkan bentuk klinis yang menyerupai trombosis vena dalam, dan
ultrasonografi mungkin diperlukan untuk membedakan keduanya. Kondisi yang
beragam (RA, OA, kerusakan mekanis lutut) berkaitan dengan kista popliteal.
Akumulasi cairan sinovial pada kista disebabkan oleh mekanisme bola katup, dimana
cairan sinovial dipaksa dari anterior menuju sisi posterior dari lutut dan tidak dapat
mengalir kembali dengan lancar. Hal ini mungkin merupakan akibat dari proliferasi
synovium (contoh pada RA atau bentuk lain peradangan sendi), sobekan meniscus,
atau synovium yang menekuk (dikenal dengan sebutan plica). Terapi dilakukan pada
kondisi yang mendasari. Kondisi yang meradang kadang-kadang dapat dilakukan
perawatan, dan kista teratasi, dengan suntikan kortikosteroid lokal ke dalam sendi dan
bukan ke dalam kista tersebut.1,2,3
- Achilles tendinitis:

71
Nyeri tendon achilles dapat terasa sangat menyakitkan dari bermacam-macam
penyebab, termasuk trauma langsung (misalnya dengan alas kaki yang tidak sesuai),
penggunaan berlebihan secara berulang-ulang (misalnya dengan kegiatan olahraga),
dan penyakit peradangan sistemik (contoh: AS, sindroma Reiter). Rasa nyeri dari
palpasi seringkali didapatkan pada masuknya tendon pada tulang. Dalam keadaan
kronis, tendon dapat menjadi “berbenjol-benjol” dengan pembengkakan irreguler dan
krepitasi dalam gerakan. Ada juga bursa superficial dan dalam pada tendon achilles
yang dapat meradang dan menjadi sumber rasa nyeri. Meskipun tidak secara khusus
berkaitan dengan rasa nyeri, xanthoma atau nodul reumatoid di sepanjang tendon
achilles dapat dilihat pada pasien penderita hiperkolestrolemia atau RA.1,3
-Plantar fasciitis:
Plantar fascia dapat menjadi sumber utama dari rasa nyeri. Plantar fasciitis
dapat berkaitan dengan trauma, dan beberapa pasien tampak taji pada pemeriksaan
sinar-x.
-Costochondritis:
Rasa nyeri mungkin timbul dari pertemuan costochondral. Istilah sindroma
Tietze umumnya digunakan untuk menggambarkan kasus costochondritis di mana
tidak hanya terdapat rasa nyeri pada pemeriksaan namun juga pembengkakan.
Pertemuan costochondrial yang 1 dan 2 biasanya adalah yang paling sering terkena.5,6

Kunci Diagnosis:
Rasa nyeri non-articular sebaiknya dikenali ketika ada riwayat trauma atau
gerakan yang berulang-ulang berkaitan dengan onset gejala penyakit. Rasa nyeri pada
sendi tanpa kelainan sendi sebaiknya dipikirkan untuk mencari sumber non-articular
(periarticular) dari rasa nyeri sendi.5,6

Pemeriksaan Laboratorium:
Pemerikasaan laboratorium jarang sekali berguna karena hal ini merupakan
diagnosis klinis.

Pencitraan:
Secara umum, penggunaan radiografi terhadap pasien penderita tendinitis dan
bursitis terbatas fungsinya. Saat cidera jaringan lunak ini menjadi kronis, mungkin

72
dihubungkan dengan endapan lokal kalsium, mengakibatkan kondisi seperti calcific
tendinitis dan periartritis.1,3

Diagnosis Banding :
Daerah yang terkait menunjukkan diagnosis banding. Secara umum
pengambilan riwayat dan pemeriksaan fisik diperlukan untuk membedakan radang
sendi dari tendinitis, bursitis, dan enthesis. Ketika peradangan terjadi, infeksi,
pengkristalan, dan kondisi yang semakin meradang sebaiknya diperhatikan.1,3

Terapi:
Terapi untuk cidera jaringan lunak lokal secara khusus melibatkan beberapa
modalitas. Umumnya AINS paling banyak digunakan, baik dalam dosis analgesik
rendah atau pada dosis anti inflamasi yang lebih tinggi. Terapi topikal (misalnya
pemanasan dan pendinginan lokal) mungkin memiliki beberapa keuntungan.
Fisioterapi adalah bagian yang paling penting dalam perawatan dari kondisi-kondisi
tersebut. Karena banyak di antaranya yang berkaitan dengan penggunaan secara
berlebihan, istirahat dan perlindungan dari daerah yang terserang seringkali berhasil
secara akut. Berikutnya, sasaran fisioterapi dalam pencegahan yang terjadi terus
menerus dengan mengoptimalkan range of motion, mengembangkan kelenturan, dan
memaksimalkan kekuatan otot disekitar daerah yang sakit. Pada beberapa kasus,
suntikan kortikosteroid lokal dapat menyembuhkan peradangan secara efektif dan
mengurangi rasa nyeri.9,10,11

Kepustakaan
1. Abeles AM, Pillinger MH, Solitar BM, Abeles M. Narrative review: the pathophysiology of
fibromyalgia. Ann Intern Med. May 15 2007;146(10):726-34.
2. Abeles AM, Pillinger MH, Solitar BM, Abeles M: Narrative review: the pathophysiology of
fibromyalgia. Ann Intern Med. May 15 2007;146(10):726-34.
3. Biundo JJ, Mipro RC, Fahey P. Sports-related and other soft-tissue injuries, tendinitis, bursitis
and occupation-related syndromes. Curr Opin Rheumatol 1997;9:151-154.
4. Floemer F, Morrison WB, Bongartz G, Ledermann HP. MRI characteristics of olecranon
bursitis. AJR Am J Roentgenol 2004; 183:29–34.
5. Yoshida S, Shidoh M, Imai K, et al. Rice bodies in ischiogluteal bursitis. Postgrad Med
J. Apr 2003;79(930):220-1
6. Khan, KM; Cook JL, Kannus P, Maffulli N, Bonar SF (2002). "Time to abandon the

73
"tendinitis" myth: Painful, overuse tendon conditions have a non-inflammatory pathology".
BMJ 324: 626–7. doi:10.1136/bmj.324.7338.626.
7. Wilson, JJ; Best TM (Sep 2005). "Common overuse tendon problems: A review and
recommendations for treatment" (PDF). American Family Physician 72 (5): 811–8. PMID
16156339.
8. Glazier RH, Dalby DM, Badley EM, Hawker GA, Bell MJ, Buchbinder R. Determinants of
physician confidence in the primary care management of musculoskeletal disorders. J
Rheumatol 1996;23:351-6.
9. Glazier RH, Dalby DM, Badley EM, Hawker GA, Bell MJ, Buchbinder R, et al. Management
of the early and late presentations of reumatoid artritis: a survey of Ontario primary care
physicians. CMAJ 1996;155(6):679-87.
10. .Hoffman JH. Guidelines for Beneficial Group Exercise for Fibromyalgia. Practical Pain
Management. 2007/06;7:50-57.Goldenberg DL, Burckhardt C, Crofford L. Management of
fibromyalgia syndrome. JAMA. Nov 17 2004;292(19):2388-95.
11. Gendreau R, Mease P, Rao S, et al. Milnacipran: A potential new treatment of
fibromyalgia. Artritis Rheum. 2003;48:S616.Arnold LM, Goldenberg DL, Stanford SB,
Lalonde JK, Sandhu HS, Keck PE Jr. Gabapentin in the treatment of fibromyalgia: a
randomized, double-blind, placebo-controlled, multicenter trial. Artritis
Rheum. Apr 2007;56(4):1336-44.

74
IV.2. PENYAKIT PAGET

Sinonim:
Osteitis deformans.

Pengertian Umum:
Penyakit Paget adalah kelainan tulang vokal di mana tingkat pergantian tulang
bertambah. Penyakit tersebut dapat menyerang satu ruas tulang maupun beberapa
tulang secara simultan.1,2

Etiologi:
Tidak diketahui penyebabnya, meskipun terdapat postulat mengenai etiologi akibat
virus.3,4

Patogenesis:
Pada tahap awal, peningkatan resorbsi tulang menghasilkan gambaran lisis.
Hal ini diikuti oleh sebuah tahap menengah di mana resorbsi tulang yang aktif dan
formasi tulang yang baru (sclerosis reaktif) terjadi dalam batasan yang sempit.
Trabeculae tulang mungkin menunjukkan penebalan. Pada tahap penyakit lanjut,
perubahan statis sclerosis tulang terjadi tanpa ada remodeling lebih lanjut.1,2

Demografi:
Terjadinya penyakit Paget secara merata sebesar ~3% pada usia 40 tahun ke
atas. Penelitian menyatakan adanya prevalensi yang tinggi di daerah beriklim
sedang.1,2

Temuan Pokok:
Dengan adanya profil pengujian laboratorium otomatis yang semakin luas,
penyakit Paget pada sebagian besar pasien dideteksi dalam tahap yang asimptomatic
dengan ditemukanya peningkatan alkali phosphatase. Dapat terjadi rasa nyeri dan
kelainan bentuk pada tulang, penyebarannya bergantung pada unsur skeletal yang
terlibat secara spesifik. Rasa nyeri tersebut digambarkan dalam, terus menerus, dan
memburuk pada malam hari serta dapat meningkat dengan panas. Perubahan bentuk
yang terjadi meliputi pemanjangan tulang panjang, yang mengakibatkan kaki

75
melengkung. Ukuran tengkorak mungkin juga dapat bertambah yang mengakibatkan
penonjolan frontal. Tulang paget yang tidak stabil dapat mengakibatkan fraktur
patologis karena trauma kecil.5,6

Temuan Tidak Lazim:


Karena aliran darah yang tinggi melalui tulang yang baru saja terbentuk, kulit
yang terdapat pada area yang terserang menjadi hangat. Pada kasus yang parah ,
mungkin terjadi gagal jantung karena output yang terlalu tinggi. Kehilangan
pendengaran atau vertigo dapat menyertai sebagai akibat penjepitan pada nervus
kranialis VIII. Ada peningkatan resiko giant cell tumor dan osteogenic sarcoma.1,3

Pemeriksaan Laboratorium:
Peningkatan kadar alkali phosphatase mengarah pada diagnosis. Peningkatan
ekskresi hydroxyproline melalui air seni mungkin dapat bermanfaat pada aktivitas
penyakit lanjut. Biopsi tulang jarang diindikasikan dan biasanya untuk mengetahui
keberadaan tumor tulang.1,2

Pencitraan:
Apabila rasa nyeri pada tulang terjadi, radiografi dari area tersebut mungkin
bersifat diagnostik. Tulang-tulang yang panjang menunjukkan tahapan penyakit yang
beragam dari osteolysis hingga formasi tulang yang berlebihan. Penebalan tulang
tengkorak dapat dilihat pada film tengkorak. Karena pada umumnya yang terserang
adalah tulang punggung dan sacrum, radiograf dari wilayah-wilayah tersebut mungkin
berguna bahkan ketika tidak terdapat gejala apapun. Pencitraan radionuclide pada
tulang membantu menemukan besarnya keterlibatan tulang kerangka.4,5

Diagnosis Banding :
Beberapa lesi lysis mungkin menunjukkan penyakit metastasis. Perubahan
tulang yang berhubungan dengan hiperparatiroidism mungkin dapat dipertimbangkan,
tetapi pada penyakit Paget tingkat serum kalsium biasanya normal.5,6,7

Terapi:
Pasien asimptomatis tidak membutuhkan perawatan. Rasa sakit pada tulang,
keterlibatan tulang belakang, deformitas tulang, atau rasa panas yang tidak nyaman

76
merupakan indikasi-indikasi untuk terapi medis. Bisphosphonate (contoh: etidronate,
alendronate, dan pamidronate) sangat bermanfaat dalam mengurangi turn-over tulang
dan memiliki dampak yang relatif tahan lama. Hiperfosfatemia merupakan efek
samping yang mungkin terjadi yang dapat diatasi dengan mengurangi dosis.
Bisphosphonate harus diminum dalam keadaan perut kosong untuk memberi
kemudahan dalam penyerapannya. Calcitonin, tersedia dalam bentuk semprotan nasal.
Kontrol nyeri pasti akan lebih baik dengan calcitonin daripada dengan diphosphonate,
tetapi dampak dari agen tersebut tidak tahan lama. Dengan demikian, perluasan lebih
sering terjadi ketika pengobatan dihentikan.
Pembenahan bentuk tulang, termasuk penggantian sendi secara total, tampaknya
memiliki kesuksesan yang sama besar untuk pasien tanpa penyakit Paget.6,7

Prognosis:
Pengobatan yang mengubah tahap penyakit membuat penyembuhan berhasil
pada beberapa pasien.

Penyakit Paget: Kunci Pedoman


 Alkali phosphatase tinggi
 Kadar kalsium normal
 Urine hydroxyproline tinggi
 Penyusutan/penambahan tulang pada pemeriksaan sinar-x
 Terapi dengan bisphosphonate, calcitonin

Kepustakaan
1. Siris, ES. (1994). Epidemiological aspects of Paget's disease: family history and relationship
to other medical conditions. Semin Artritis Rheum; 23:222.
2. Whyte, MP. (2006). Clinical practice. Paget's disease of bone. N Engl J Med; 355:593..
3. Basle, M.F.; Fournier, J.G.; Rozenblatt, S.; Rebel, A.; Bouteille, M. (1986). "Measles virus
RNA detected in Paget's disease bone tissue by in situ hybridization". Journal of General
Virology 67 (5): 907–913.
4. Friedrichs, W.E.; Reddy, S.V.; Bruder, J.; Cundy, T.I.M.; Cornish, J.; Singer, F.R.; Roodman,
G.D. (2002). "Sequence Analysis of Measles Virus Nucleocapsid Transcripts in Patients with
Paget's Disease". Journal of Bone and Mineral Research 17 (1): 145–151.
5. Gordon, M.T.; Anderson, D.C.; Sharpe, P.T. (1991). "Canine distemper virus localised in bone
cells of patients with Paget's disease". Bone 12 (3): 195–201.
6. Hoyland, J.A.; Dixon, J.A.; Berry, J.L.; Davies, M.; Selby, P.L.; Mee, A.P. (2003). "A

77
comparison of in situ hybridisation, reverse transcriptase-poLymerase chain reaction (RT-
PCR) and in situ-RT-PCR for the detection of canine distemper virus RNA in Paget's disease".
Journal of Virological Methods 109 (2): 253–259.
7. Reid, IR, Miller, P, Lyles, K, et al. (2005). Comparison of a single infusion of zoledronic acid
with risedronate for Paget's disease. N Engl J Med 353:898.

78
IV.3. PANNICULITIS

Sinonim:
Erythema nodosum, penyakit Weber-Christian

Pengertian Umum:
Panniculitis adalah peradangan didalam jaringan lemak subkutan.1,2,3

Etiologi:
Panniculitis dapat disebabkan oleh beragam penyakit sistemik dan
dikelompokkan menurut kriteria histopatologi dalam empat kelompok besar: septal,
lobular, campuran, dan dengan vasculitis. Panniculitis jarang terjadi dalam kaitannya
dengan vaskulitis hipersensitivitas atau PAN. Patogenesis melibatkan sebuah proses
yang dinamis dari perkembangan peradangan dari infiltrasi neutrofil hingga akhirnya
fibrosis.1,3,4

Jenis-Jenis Panniculitis Yang Utama


Penyakit Subtipe Jangkauan Rasio Ciri-Ciri Kunci
Histologi Usia Pria:Wanita
Erythema Septal 25-40 1:3 Proses akut,
nodosum anterior tibia;
sembuh tanpa
bekas luka
Penyakit Weber- Lobular 37 3:7 Demam,
Christian menyerang pada
banyak tempat,
keterlibatan
organ dalam
Lupus Campuran 27 1:9 Lesi pada wajah,
panniculitis lengan atas,
(lupus pantat,
profoundus) payudara, dapat
ulserasi dengan
bekas luka

Demografi:
Panniculitis sangat langka; rata-rata kurang dari satu per 100.000. Hal tersebut
terjadi di dalam dekade tiga sampai lima.1,2,3

79
Temuan Pokok:
Ciri-ciri umum pada seluruh panniculitide termasuk nodul tipis subkutan.
Fenomena yang berkaitan sangat umum ditemukan dan bergantung pada terdapatnya
sindroma klinis yang mendasari. Pada erythema nodosum , nodul halus terlihat pada
permukaan anterior tibial dan berkembang menjadi lesi ecchymotic yang biasanya
berkurang dalam empat hingga enam minggu tanpa bekas luka. Penyakit Weber-
Christian dikenali dengan nodul subkutan rekuren, demam, arthralgia, myalgia, dan
kadang sakit perut; yang akhirnya menyebabkan fibrosis. Lupus erythematosus
panniculitis (lupus profundus) terlihat kurang dari 3% pasien penderita SLE, dengan
nodul halus yang mungkin menyebabkan ulserasi pada wajah, lengan, pantat, atau
payudara. Pada PAN, peradangan pembuluh darah kecil dapat menyebabkan
panniculitis. Beberapa pasien penderita penyakit pankreas berkembang menjadi
necrosis pada lemak subkutan (lobular panniculitis) dengan polyartritis. Panniculitis
lobular juga memiliki hubungan dengan kekurangan α1-antitrypsin.3,4

Kunci Diagnosis:
Panniculitis sebaiknya dicurigai dengan nodul halus subkutan yang sering
berwarna merah dan dapat berubah menjadi keunguan. Fibrosis terlihat pada kasus
lanjut. Jarang ditemukan adanya ulserasi.5

Pemeriksaan Laboratorium:
Pilihan pemeriksaan tergantung pada gambaran klinis tetapi mungkin menyertakan
kultur usap pharyngeal untuk infeksi streptococcus, radiografi dada, test kulit untuk
tuberkulosis, dan pemeriksaan serum amylase, lipase, dan α1-antitrypsin. Biopsi
kulit/lemak biasanya tidak diperlukan untuk mendiagnosis adanya erythema nodosum
tetapi mungkin berguna di dalam bentuk lain panniculitis.4,5,6

Histopatologi:
Pemeriksaan biopsi kulit/lemak menunjukkan usia dari lesi. Neutrophil
tampak pada gejala awal, diikuti oleh infiltrasi makrofag dan formasi granulomata.
Fibrosis tampak pada gejala akhir.1,2

80
Terapi:
Terapi dilakukan pada penyakit yang mendasari, apabila ditemukan. Dalam
beberapa kasus idiopatik, manajemen berdasar gejala yang timbul: bed-rest dan
elevasi ekstremitas (apabila terserang). AINS mungkin berguna, dan kortikosteroid
oral paling efektif. Agen imunosupresif dapat diterapkan sebagai penanganan
cadangan untuk penyakit yang kambuh/sukar sembuh.7,8,9

Prognosis:
Prognosis bergantung pada penyakit yang mendasari. Kebanyakan kasus dari
erythema nodosum membaik dalam empat hingga enam minggu. Penyakit Weber-
Christian biasanya kronis, dengan resiko kematian 10% hingga 15% kasus. Pada
lupus profundus, seringkali tidak mengikuti aktivitas penyakit sistemik.

Kepustakaan
1. Patterson JW. Panniculitis. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, eds. Dermatology. St.
Louis, MO: Mosby,(2003) : 1551–1574.
2. Lee UH, Yang JH, Chun DK, Choi JC. (2005).Erythema nodosum migrans. J Eur Acad
Dermatol Venereol. ;19(4):519-20.
3. Daskalogiannaki M, Voloudaki A, Prassopoulos P, Magkanas E, Stefanaki K, Apostolaki E, et
al. (2000).CT evaluation of mesenteric panniculitis: prevalence and associated diseases.
AJR;174:427–31.
4. Requena L, Sanchez Yus E. Panniculitis. Part-II. Mostly lobular panniculitis J Am Acad
Dermatol 2001; 45:325.
5. Ho WT, Lam PW. (2002). Sonographic appearance of acute panniculitis involving the breasts.
J Ultrasound Med; 21:581 –583
6. van der Zee JA, van Hillegersberg R, Toonstra J, Gouma DJ. Subcutaneous nodules pointing
towards pancreatic disease: pancreatic panniculitis. Dig Surg 2004; 21:275-6.
7. Lee UH, Yang JH, Chun DK, Choi JC. Erythema nodosum migrans. J Eur Acad Dermatol
Venereol. Jul 2005;19(4):519-20.
8. De Silva BD, McLaren K, Doherty VR. (2000). Equestrian perniosis associated with cold
agglutinins: a novel finding. Clin Exp Dermatol. ;25(4):285-8.
9. Diamantis S, Bastek T, Groben P, Morrell D. (2006).Subcutaneous fat necrosis in a newborn
following icebag application for treatment of supraventricular tachycardia. J
Perinatol. ;26(8):518-20.

81
BAB V PSEUDOGOUT

V.1. PENYAKIT DEPOSISI KRISTAL DEHIDRASI


KALSIUMPYROPHOSPHATE

Persamaan:
chondrocalcinosis, pyrophosphate arthropathy.

Pengertian:
Penyakit CPPD adalah termasuk sindrome artritis berkaitan dengan penyakit deposisi
kristal di dalam persendian. Penyakit ini disebut juga:
- Chondrocalcinosis:
Pengapuran tulang rawan sendi (diagnosis sinar-x).
- Penyakit pyrophosphate kronis:
Ketidaknormalan susunan tulang dan tulang rawan yang berkaitan dengan
deposisi kristal CPPD dalam sendi (intraarticular).
- Pseudogout:
Sindrom klinis dari sinovitis akut yang disebabkan oleh deposisi kristal CPPD,
bentuk yang paling umum ditemukan pada penyakit deposisi kristal CPPD.

Penyebab:
Penyebab penyakit deposisi kristal ini tidak diketahui. Pembentukan kristal CPPD
pada tulang rawan mungkin berkaitan dengan perubahan susunan matriks atau
merupakan hasil dari meningkatnya kadar kalsium atau pyrophosphate inorganic.
Dalam beberapa kasus tampaknya cenderung merupakan penyakit keturunan,
walaupun di mana pada kasus lain bersifat idiopathic (tidak diketahui penyebabnya).

Penyebaran:
Kristal CPPD ditemukan pada kapsul sendi dan dalam tulang rawan. Deposisi yang
paling awal terlihat pada perbatasan sistem lacunar pada kondrosit. Netrophil dapat
terlihat sangat banyak didalam matriks cairan sendi, dengan akibat pengikisan tulang

82
rawan sendi dan menurunnya serabut kolagen. Perkembangan selanjutnya dalam
jaringan sinovial dapat terjadi pembengkakan menyerupai reumatoid pannus.
Demografi:
Diagnosis penyakit deposisi kristal CPPD kebanyakan berasal dari hasil radiologi,
lebih sering pada kondrokalsinosis lutut. Terutama pada usia manula, penyakit ini
memiliki kekerapan pada usia antara 65 hingga 75 tahun dan terutama pada wanita
(rasio perbandingan wanita dengan pria adalah 2 sampai 7:1). Penyebaran
chondrocalcinosis yang merata pada populasi secara umum adalah 5% hingga 8% dan
bertambah hingga >15% sejak dekade ke-sembilan. Penyakit tersebut menyebar luas
di seluruh dunia, kecenderungan penyakit ini dalam keturunan keluarga yang
dilaporkan pada beberapa kelompok kasus, hanya beberapa yang memiliki gejala
serangan awal yang parah, sebagai penyakit poliartikular (dekade ke-tiga hingga ke-
empat).

Hubungan Penyakit:
Beberapa kondisi yang dihubungkan dengan penyakit kristal CPPD adalah:
hiperparatiroidism, hipokalsiuria, hiperkalsemia, hemokhromatosis, hemosiderosis,
hipofosfatasia, hipomagnesemia, hipotiroidism, encok, jaringan saraf pada sendi,
amiloidosis, trauma, OA, dan pada penuaan (degenerasi sendi).

Gejala-Gejala Utama:
Dapat bermacam-macam gejala menurut jenis penyakitnya.
- Pseudogout:
Pseudogout seringkali dimulai sebagai serangan akut yang berlangsung antara satu
hari hingga empat minggu dan mungkin akan bertambah parah dan menyerupai
penyakit rematik akut. Serangan akut seringkali bersamaan dengan tindakan medis
dan pembedahan secara bersamaan. Sendi lutut dapat terserang pada 50% kasus,
diikuti oleh pergelangan tangan, bahu, pergelangan kaki, dan siku.
Podagra reumatika biasanya menyerang ibu jari kaki (metatarsofalangeal jari yang
pertama) juga dapat terjadi. Sering penderita tidak menunjukkan gejala apapun
ketika terjangkit penyakit tersebut. Pada pria lebih banyak terserang, sebesar 20%
yang tidak berhubungan dengan hiperurisemi secara bersamaan, dan 5% kasus
bersamaan adanya kristal asam urat monosodium pada cairan sinovial. Diagnosis

83
pasti dijumpai dari gejala klinis yang dipastikan dengan pemeriksaan cairan
sinovial (kristal CPPD) atau radiografi (kondrokalsinosis).

- Penyakit deposisi kristal CPPD kronis:


Penyakit deposisi kristal CPPD kronis pada umumnya menyerang kaum wanita,
progresif, dan seringkali sebagai poliartritis dan simetris, yang menyerang lutut
(paling umum ditemukan) tetapi juga dapat menyerang pergelangan tangan,
persendian metakarpofalangeal (terutama jari ke-dua dan ke-tiga), pinggul, tulang
belakang, bahu, siku, dan pergelangan kaki. Biasanya pasien mengalami rasa nyeri
yang kronis, kaku pada pagi hari walaupun tidak melakukan aktivitas, gerakannya
menjadi terbatas, dan diikuti kerusakan sendi. Gejala ini mungkin terbatas hanya
pada beberapa sendi saja. Persendian yang terserang menunjukkan tanda-tanda
OA dengan tingkat terjadinya sinovitis yang beragam. Kejadian pada lutut yang
lanjut dapat menyebabkan bentuk genuvalgus atau genuvarus. Penyakit deposisi
kristal CPPD kronis berbeda dengan pseudogout dalam tingkat perjalanannya,
dengan kecenderungan untuk menyerang persendian metakarpofalangeal dan
tulang belakang. Bentuk akhir muncul gejala OA yang meningkat secara progresif
dengan tanda peradangan sinovitis yang sering kambuh.
- Chondrocalcinosis:
Secara umum adalah gejala radiografi insidentil, dan chondrocalcinosis biasanya
terlihat pada usia manula yang tidak menunjukkan gejala klinis, hanya tampak
bentuk tulang sendi yang menonjol.

Gejala sinovitis yang parah pada penyakit deposisi kristal CPPD dapat terlihat seperti
bentuk pseudoreumatoid.
Artropati sendi lutut pada beberapa pasien yang menyerupai penyakit charcot
dianggap berkaitan dengan penyakit deposisi kristal CPPD. Jarang sekali terdapat
hubungan menyerupai artropati spondilitis.
Tendinitis, tenosinovitis, bursitis, dan tofaseous deposisi kristal CPPD dapat terjadi.

Pengujian Diagnosis:
Cairan sinovial biasanya menunjukkan lekosit yang meningkat lebih dari 20.000/mm3
dengan >90% netrofil, dan dapat terlihat terjadinya anemia. Pemeriksaan sederhana
dengan mikroskop menunjukkan adanya rhomboidal atau kristal intrasellular yang

84
menyerupai batang dengan birefringence (memisahkan cahaya positif menjadi dua
secara lemah).
Pada pseudogout, cairan sendi sebaiknya tetap diperiksa bakteri Gram untuk
menyingkirkan diagnosis banding sebagai proses artritis septik. Peningkatan pada fase
akut, ESR atau CRP dapat dilihat bersama-sama dengan perhitungan lekosit yang
meningkat. Pada artropati kronis, kadar serum ferritin yang meningkat dan anemia
ringan jarang ditemukan. Uji saring secara teratur untuk penyebab kelainan
metabolisme dari penyakit deposisi kristal CPPD sebaiknya dilakukan untuk orang-
orang yang mengidap artritis dengan gejala serangan awal (usia ≤55 tahun). Pada
pasien-pasien seperti itu, disarankan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium
berikut ini: serum kalsium, serum alkaline fosfatase, serum magnesium, dan kadar
serum ferritin dan pemeriksaan fungsi hati.

Radiografi:
Pengapuran serat tulang rawan artikular dapat terlihat jelas sebagai kepadatan linear,
paling umum terlihat pada fibrokartilaginous menisi lutut. Pengapuran daerah lain
termasuk mangkuk sendi artikular dari sendi distal radioulnar (serat tulang rawan
triangular), tulang simfisis, glenoid dan asetabular labra, dan serat annulus dari
mangkuk sendi intervertebra. Pengapuran tulang rawan hialin terjadi pada lapisan
tengah, tampak seperti garis radiopaque yang melintang kearah lapisan luar dari
tulang yang terkena. Pada umumnya, persendian yang lebih besar akan terkena
artropati yang semakin memburuk mirip dengan yang terdapat pada OA, dengan kista
subkondral yang terlihat dengan jelas, sklerosis, osteofit, dan penyempitan ruang
sendi.

Diagnosis Pasti
- Pseudogout:
Keberadaan sinovitis akut pada beberapa sendi, dengan kondrokalsinosis
radiografi dan/atau kristal sinovial CPPD secara pasti menyebabkan pseudogout.
Cairan sinovial mungkin menjadi purulen (nanah), yang mungkin sebelumnya
telah ada infeksi purulen pada sendi.
- Penyakit deposisi kristal CPPD kronis:
Pada beberapa kasus, sebuah gambaran bentuk sendi, secara radiografi, dan
adanya kristal CPPD pada cairan sendi dapat dikerjakan untuk menuju diagnosis

85
secara mudah. Serangan poliartikular dengan peningkatan ESR dan RF yang
positif mungkin dapat mengkaburkan dengan RA. Yang membedakan dengan RA
adalah ciri-ciri umum yang tidak simetris, kurangnya pengikisan radiografi, dan
periartikular osteopenia. Yang membedakan dengan OA dapat dikenali dari sendi
metakarpofalangeal yang terserang, gambaran radiografi, dan adanya tanda klinis
dengan serangan akut yang telah ada.

Kriteria Diagnosis Untuk CPPD


I. Ditemukan adanya kristal CPPD merupakan diagnosis definitif (berdasar hasil
sinar-x, analisa kimia).
II. A. Identifikasi dari adanya kristal CPPD dengan pemeriksaan mikroskop sinar
terang.
B. Adanya pengapuran sendi pada gambar roentgenograms.
III. A. Artritis akut, terutama pada sendi lutut.
B. Artritis kronis, terutama pada sendi lutut, pinggul, pergelangan tangan, karpal
(tulang sendi pada pergelangan tangan), metakarpofalangeal, siku, atau bahu;
dibedakan dari OA dengan memperhatikan beberapa ciri di bawah ini:
1. Daerah yang tidak lazim untuk OA primer (persendian
metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku, bahu).
2. Gambaran radiografi (pergelangan tangan atau lutut yang menyempit,
terpisah dan menyendiri).
3. Adanya kista subkondral.
4. Keadaan yang semakin parah atau memburuk secara progresif (akibat
melemahnya tulang subkondral, adanya serpihan tulang padat
intraartikular).
5. Pembentukan osteofit yang tidak teratur.
6. Pengapuran tendo.
7. Terlibatnya beberapa aksis atau sumbu tulang.

Diagnosis
Pasti (definite diagnosis), adanya deposisi kristal CPPD: kriteria I atau II.A dan
II.B.
Mungkin (probable diagnosis), adanya deposisi kristal CPPD: kriteria II.A atau
II.B.

86
Masih mungkin (possible diagnosis), adanya deposisi kristal CPPD: kriteria III.A
atau III.B.
Diagnosis Banding:
Gout, pseudogout, OA, septik artritis, reaktif OA, neropatik artritis, atau
osteoartropati hipertropik.

Terapi
- Pseudogout:
Prinsip umum dari tatalaksana setelah ditegakkan diagnosis harus segera diberikan
terapi. Dengan aspirasi cairan sendi dapat meringankan gejala, dan dibutuhkan
segera suntikan intraartikular steroid yang tepat, atau bersama-sama aspirasi.
Pemberian asetaminofen atau NSAID merupakan pengobatan tambahan yang
sangat meringankan. Colchicines dapat digunakan sebagai terapi akut untuk
pseudogout walaupun jarang dipergunakan. Colchicine juga dapat bermanfaat
sebagaimana prophylaxis pada pasien-pasien dengan serangan pseudogout.
Kortikosteroid secara sistemik dapat digunakan apabila obat lainnya ternyata
memiliki kontraindikasi, meskipun secara pasti belum diteliti pada percobaan-
percobaan yang terkait.
- Penyakit deposisi kristal CPPD kronis:
Tidak terdapat terapi spesifik untuk penyakit deposisi kristal CPPD kronis, dan
hanya perawatan atas ketidakseimbangan metabolisme yang mendasari biasanya
mengurangi terjadinya kerusakan sendi. Tujuan dari pengaturan tersebut adalah
untuk meringankan gejala dan meningkatkan fungsi sendi.
Pemberian NSAID jangka lama atau terapi colchicines mungkin dapat diberikan
secara efektif, dengan pengawasan efek samping adanya perdarahan lambung atau
gangguan fungsi ginjal. Persendian yang terkena dapat dirawat dengan suntikan
intraarticular steroid. Arthroplasty sendi mungkin juga dapat disarankan bilamana
penggunaan medikamentosa telah gagal.

Prognosis:
Meskipun pseudogout biasanya memiliki respon yang baik dengan terapi, penyakit
deposisi kristal CPPD kronis seringkali bersifat progresif dan pada beberapa kasus
mungkin telah terjadi kecacatan dan kelainan bentuk sendi secara signifikan.

87
DAFTAR PUSTAKA
1. Agudelo CA, Wise CM. Crystal-assopciated artritis in the elderly. Rheum Dis Clin North Am.
2000; 26: 527-546.
2. Doherty M. Calcium pyrophosphate dehydrate crystal-associated arthrpathy. In: Hochberg
MC, Silman AJ, Smolen JS, et al., eds. Rheumatology, 3rd ed. Edinburgh: Mosby, 2003: 1937-
1050.
3. Li-Yu, J; Clayburne, G; Sieck, M; Beutler, A; Rull, M; Eisner, E; Schumacher, HR., Jr
Treatment of chronic gout. Can we determine when urate stores are depleted enough to
prevent attacks of gout? J Rheumatol. 2001 Mar;28(3):577–580.
4. Lumbreras, B; Pascual, E; Frasquet, J; González-Salinas, J; Rodríguez, E; Hernández-Aguado,
I. Analysis for crystals in synovial fluid: training of the analysts results in high consistency.
Ann Rheum Dis. 2005 Apr;64(4):612–615.

88
V.2. CHURG-STRAUSS ANGIITIS

Persamaan:
Allergic Angiitis atau granulomatosis

Pengertian:
Churg-Strauss angiitis adalah granulamatous vaskulitis dari pembuluh darah
berukuran kecil dan yang dikaitkan dengan penyakit paru-paru dan hiper eosinofilia.

Penyebab:
Vaskulitis sistemik ini belum diketahui penyebab yang pasti.

Penyebaran:
Churg-Strauss angiitis adalah vaskulitis yang menyebabkan nekrose sel dengan
kumulasi sel eosinofilic pada jaringan dan diikuti terjadinya jaringan granulomatous
baik pada kapiler, pembuluh darah arteri kecil dan sedang serta vena.

Demografi:
Kelainan yang sangat langka ini lebih sering ditemukan pada pria berusia setengah
baya yang menderita antecedent asma dan rinitis.

Gejala-gejala Utama:
Pada penderita asma dengan gejala rembesan eosinofilik pada paru-paru (menyerupai
Loeffler’s syndrome), eosinofilik pneumonia kronis, dan eosinofilik gastroenteritis
yang mungkin didahului vaskulitis. Vaskulitis mungkin terlihat dengan kemampuan
absorpsi selaput lendir yang memburuk disertai dengan gejala sistemik yang serupa
dengan yang terjadi pada poliartritis nodosa (PAN). Bentuk-bentuk tersebut termasuk
gejala-gejala biasanya lebih parah seperti artralgia, mononeuritis multipleks, jantung
kambuhan dan gejala-gejala yang berhubungan dengan gangguan perut atau usus.
Gejala pada paru-paru dan kulit lebih umum ditemukan dalam Churg-Strauss angiitis
daripada PAN.

89
Gejala-Gejala Yang Jarang:
Perbedaan dengan PAN, yaitu glomerulonefritis biasanya tidak ada, dan penyakit
ginjal tampak pada hanya 40% pasien. Perbedaan dengan Wegener’s granulomatosis,
pada Churg-Strauss angiitis dijumpai radang paru-paru jarang sebagai kavitasi, dan
kelainan saluran nafas bagian atas lebih jarang terkena.

Pengujian Diagnosis:
Sangat tidak spesifik termasuk adanya peradangan sistemik yang menyertai (ESR
dan/atau CRP), leukositosis, anemia, dan thrombositosis. Pada darah tepi dijumpai
eosinofilia dan meningkatnya IgE seringkali terjadi. Pada sistema sirkulasi dijumpai
respon immune kompleks, hipokomplementemia, dan hiperglobulinemia. P-ANCA
kadang-kadang saja ditemukan. Diagnosis pasti didukung oleh bukti adanya proses
angiitis pembuluh arteri kecil dan sedang serta eosinofilia.

DiagnosisPasti:
Bilamana ditemukan gejala mirip dengan yang terjadi pada PAN tetapi dengan
melibatkan paru-paru dan adanya reaksi alergi yang kuat.

Kriteria Diagnosis:
Menggunakan kriteria ACR 1990 termasuk di dalamnya (a) asma; (b) eosinofilia
(>10% pada hitung jenis lekosit); (c) mononeuropati atau polineuropati; (d) infiltrat
pada paru-paru; (e) kelainan sinus paranasalis; dan (f) eosinofilia ekstravaskular pada
biopsi pembuluh darah. Adanya empat atau lebih dari enam kriteria tersebut
merupakan pendukung diagnosis (85% sensitivitas; 99,7% spesifisitas). Riwayat
alergi merupakan kriteria pendukung diagnosis.

Terapi:
Digunakan kortikosteroid dosis tinggi (≥1 mg/kg prednisone, terkadang dimulai
menggunakan 1-g bolus dari methylprednisolone). Terapi cytotoxic dengan
cyclophosphamide atau yang kurang lazim seperti azathioprine sering digunakan pada
mulanya atau ditambahkan kemudian sebagai pengantar penghematan steroid.

90
Prognosis:
Tingkat hidup sedikit lebih baik daripada poliartritis nodosa, dengan jumlah hingga
90% pasien hidup satu tahun lebih lama setelah tegaknya diagnosis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Gay Rm, Ball GV. Vasculitis. In: Koopman WJ, ed. Artritis and allied conditions: a textbook
of rheumatology. 13th ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1997:1500-1501.
2. Lhote F, Guillevin L. Polyarteritis nodosa, microscopic polyangiitis and Churg Strauss
syndrome: clinical aspects and treatment. Rheum Dis Clin North Am. 1995; 21: 911-948.
3. Masi AT, Hunder Gg, Lie JT, et al. The American College of Rheumatology 1990 criteria for
the classification of Churg-Strauss syndrome (allergic granulomatosis and angiitis). Artritis
Rheum 1990; 33: 1094-1100).

91
BAB VI.KELAINAN MUSKULOSKELETAL
(TERMASUK HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS)

Pengertian:
Suatu jenis sindroma rematik yang bisa berhubungan dengan infeksi HIV-1.

Penyebab:
Beberapa sindrom rematik (misalnya artritis septik dan piomiositis dapat disebabkan
oleh kurangnya respons kekebalan tubuh sekunder terhadap menghilangnya sel T
CD4. Penyakit lain seperti infiltrat limfositik sindrom merupakan konsekuensi dari
respons terhadap rangsangan antigenik kronis dengan infeksi HIV-1.
Infiltrat yang menyebar dikaitkan dengan human leukocyte antigens (HLA) tertentu:
HLA-B45, HLA-B49, HLA-B50, HLA-DR5, dan HLA-DR6. Infeksi dengan HIV-1
menyebabkan bentuk kekebalan yang gagal sebagaimana produksi sitokin yang tidak
normal, yang dapat mengakibatkan salah satunya timbul peradangan artritis. Penyakit
ketergantungan CD8 seperti Reiter’s syndrome dan psoriasis tampaknya menyerang
lebih agresif pada infeksi HIV-1.

Penyebaran:
Pada empat puluh juta orang di seluruh dunia yang terinfeksi HIV, timbul masalah
gejala rematik yang biasanya terjadi kemudian pada orang-orang yang menderita
penyakit infeksi HIV yang akhirnya menjadi AIDS. Penelitian epidemiologi pada
orang-orang yang mengidap Reiter syndrome dan psoriasis menghasilkan data yang
kurang sesuai. Pada umumnya, sindrome rematik pada populasi penduduk yang
terjangkit HIV positif tampaknya terjadi dengan frekuensi yang sama dengan populasi
immunokompeten, meskipun lebih agresif atau tidak menunjukkan ciri-ciri khusus.

92
Petunjuk Klinis:
Beberapa penyakit yang jelas telah dilaporkan menyerang pasien-pasien yang positif
terjangkit HIV.

- Arthralgia/myalgia:
Sindrom ini terjadi pada satu per tiga pasien pengidap HIV, yang biasanya
kemudian menjadi penyakit AIDS. Gejala-gejala ini diperkirakan bersifat reaktif
artritis dan bukan adanya infeksi langsung dengan virus pada sendi.
- Inflammatory artritis:
Adanya RF-positif, simetris, poliartritis yang erosif sangat jarang terjadi pada
infeksi HIV-1, meskipun terjadi penipisan sel T CD4. Terdapat laporan anekdot
dari pasien-pasien penderita RA yang berkembang menjadi infeksi HIV dengan
perkembangan sinovitis. Tetapi bagaimanapun, kejadian ini sangat jarang
ditemukan, dan hubungan antara aktivitas RA dengan infeksi HIV tetap tidak
terbukti. Terdapat lebih dari 25 laporan HIV dan SLE pada catatan rekam medis.
- Reiter’s syndrome dan psoriatic artritis:
Serangan penyakit biasanya datang dengan uretritis atau enteritis dan kemudian
diikuti oleh penyakit kulit dan sendi. Uveitis dan sakroiliitis jarang ditemukan.
Penyakit kulit (psoriasis atau keratoderma blenorrhagica) yang kita kenal, terjadi
keratoderma blenorrhagica, kemunculan papulosquamous yang terjadi pada
telapak tangan, telapak kaki, dan batang zakar, mungkin tidak dapat disembuhkan
dari pustular psoriasis. Oligoartikular artritis (yang menyerang lutut atau
pergelangan kaki), daktilitis, dan entesitis biasanya ditemukan. Meskipun ciri-ciri
Spondiloartritis seringkali dijumpai, tetapi artritis septik tidak terbukti
berhubungan dengan HIV atau AIDS.
- Diffuse infiltrative lymphocytosis syndrome:
Sindrom ini, sebuah kelainan yang menyerupai Sjögren syndrome, diakibatkan
oleh infiltrat sel T CD8 dengan pembesaran kelenjar parotis bilateral (kadang
besar), gejala sicca (jarang dijumpai), dan daerah utama ekstraglandular yang
terjadi dari infiltrat limfosit (paru-paru, otot, kelenjar getah bening). Infiltrat sel T
CD8 pada paru-paru menyebabkan limfosit pneumonitis interstisial yang diikuti
dengan dispnea dan dapat berkembang ke arah fibrosis paru. Infiltrat yang
berkepanjangan pada limfositosis sindrom dikaitkan dengan perkembangan AIDS
yang lambat.

93
- Myopathy:
Infiltrat sel T CD8 pada otot dapat menyebabkan miopati yang tidak dapat
disembuhkan, dengan serum kreatine kinase yang meningkat, kelemahan pada
otot proksimal, dan kadang-kadang luka pada kulit merupakan sifat dari DM
(heliotrope, Gottron papules, periungual eritema). Terapi HIV dengan zidovudine
(AZT) dapat menyebabkan miopati yang mirip dengan Polimiositis tetapi dengan
infiltrat sel radang yang lebih sedikit.
- Vasculitis:
Laporan yang jarang terjadi menggambarkan hubungan HIV dengan
hipersensitivitas vaskulitis (seringkali akibat reaksi obat-obatan), PAN,
granulomatous angiitis, atau angiitis CNS primer.
- Musculoskeletal infections:
Sebagaimana pada individu yang normal, jumlah infeksi S. aureus mencapai
>70% kasus nongonococcal septic artritis. Pasien-pasien seperti itu sering tampak
mengidap monoartritis akut tetapi dengan gejala sistemik. Pyogenic sacroiliitis,
pada umumnya terjadi pada pengguna obat-obatan intravenous, yang juga
biasanya disebabkan oleh S. aureus. Dengan pengurangan sel T CD4 stadium
lanjut, maka infeksi jamur (misalnya cryptococcal) dan mycobacterial septic
artritis juga dilaporkan terjadi. Artritis secara umum merupakan monoartikular
yang berjalan lamban, dengan peradangan yang hampir tidak terlihat.
Juxtaarticular osteomyelitis bukanlah komplikasi yang jarang teradi. Piomiositis,
atau bisul dalam otot, biasanya terjadi dengan rasa nyeri otot yang akut (seringkali
menyerang bagian paha), dengan pengerasan seperti kayu, pembengkakan, dan
erythema; biasanya disebabkan oleh S. aureus.

Laboratorium:
Ketidak normalan hasil sangat beragam sesuai dengan gambaran klinis. Pasien
pengidap HIV positif mungkin memiliki kejadian panjang dari pengukuran rendah
ANA dan RF. Pasien-pasien lain digambarkan dengan cryoglobulins, antibodi APL,
dan hasil VDRL positif palsu.
- Artritis:
Monartritis atau oligoartritis dengan gejala sistemik (sebagai contoh, demam)
sebaiknya cepat dipertimbangkan untuk tegaknya diagnosis dengan artrosintesis,
analisa cairan sinovial dengan penghitungan sel, dan kultur bakteri, jamur, dan

94
mikrobakteria. Pengujian serologi (ANA, RF) dan pengujian HLA-B27 kadang-
kadang diperlukan untuk mendiagnosis peradangan inflammatory artritis dan
Reiter syndrome.
- Myopathy:
Serum creatine kinase, urine toxicology screen (misalnya cocaine), dan penarikan
zidovudine (apabila diperlukan) dengan pengulangan uji serum creatine kinase
dalam waktu empat hingga enam minggu juga sebaiknya dipertimbangkan.
Peningkatan terus-menerus serum creatine kinase yang tidak dapat dijelaskan
sebaiknya diperiksa dengan EMG atau biopsi otot untuk mengetahui bukti adanya
peradangan miositis. Pada piomiositis, penelitian gambar (ultrasonografi, CT scan,
atau MRI) diperlukan untuk diagnosis dan dapat digunakan untuk aspirasi
diagnosis, baktreri Gram, dan bakteri yang lain.
- Vasculitis:
Biopsi dari jaringan yang paling mudah dicapai atau mudah terserang (misalnya
kulit, syaraf, hati, ginjal) atau angiografi mungkin diperlukan sebagai dugaan
vaskulitis.
- Syndrome perembesan lymphocytosis yang berkepanjangan:
Keterlibatan kelenjar eksokrine dapat difikirkan dengan biopsi kelenjar ludah
minor atau cara yang tidak invasif dengan scan gallium-67.

Terapi:
Banyak pasien yang terinfeksi HIV dapat dirawat secara aman dengan kortikosteroids
dan sedikit rincian tentang pilihan obat di bawah ini. Tetapi bagaimanapun, beberapa
pengobatan immunosuppressive (sebagai contoh MTX, azathioprine, cyclosporine,
cyclophosphamide) sebaiknya dihindari karena mungkin menyebabkan melemahnya
kekebalan lebih lanjut pada pasien dan cenderung menjadi penyakit yang berkembang
atau terjadinya infeksi.
- Penyakit infeksi musculoskeletal:
Terapi antimikobial sebaiknya diterapkan pada organisme kausatif. Persendian
yang meradang sebaiknya dirawat secara berkala. Persendian yang tidak
terjangkau seperti sacroiliac membutuhkan panduan penggambaran aspirasi.
Reiter’s syndrome atau psoriatik artritis:
Pada awalnya, diberikan terapi antiretroviral yang optimal. Pertimbangkan
penggunaan sulfasalazine (2-3 g/hari pada dosis yang terbagi), domethacin (75-

95
150 mg/hari) dan hydroxychloroquine (400 mg/hari) yang telah terbukti manjur
dan juga memiliki dampak anti-HIV. Perawatan efektif dengan thalidomide atau
obat pencegah TNF (contohnya etanercept) telah dilaporkan, meskipun ada
kekhawatiran tentang infeksi sekunder.
- Polymyositis (PM):
Dapat dirawat secara aman dengan prednisone (0,5-1,0 mg/kg/hari selama tiga
bulan dan dengan cepat meruncing kepada dosis minimum yang efektif). Pasien
yang sulit disembuhkan mungkin memiliki respons terhadap terapi intravenous
gamma-globulin.
- Syndrome infiltrat lymphocytosis yang berkepanjangan:
Seringkali, syndrome ini memiliki respons terhadap terapi antiretroviral saja.
Prednisone (20-40 mg/hari) akan mengurangi ukuran kelenjar ludah dengan cepat
dan mengembangkan lymphocytic pneumonitis interstisial. Dapat diruncingkan
pada dosis minimum yang efektif, pada pasien-pasien yang tampaknya dapat
menerima prednisone dosis rendah dengan baik.
- Vasculitis:
Kortikosteroid dosis tinggi mungkin diperlukan untuk orang-orang yang
menderita systemic necrotizing vasculitis yang menyebabkan kematian. Infeksi
HIV stadium lanjut seringkali menghalangi terapi immunosuppressive, tetapi
dapat digunakan pada beberapa pasien dengan vasculitis yang mengancam
kehidupan.

Prognosis:
Tingkat HIV seringkali menentukan perkiraan penyakit. Pasien dengan infeksi HIV
stadium lanjut, umumnya pada HIV yang memiliki respons yang lebih lemah terhadap
terapi yang diterapkan. Pasien dengan sindrom infiltrat limfosit yang berkepanjangan
memberi respons dengan baik dan biasanya tidak menunjukkan perkembangan jangka
panjang. Vasculitis pada HIV-1 memiliki perkiraan yang lemah juga. Pencegah
protease (relatif baru, obat antiretroviral yang kuat) dalam beberapa hal, dapat
mengembalikan penyakit klinis secara dramatis.

96
DAFTAR PUSTAKA
1. Medina Rodrigues F. Rheumatic manifestations of human immunodeficiency virus infection.
Rheum Dis Clin North Am 2003; 29: 145-161.
2. Casado E, Olive A, Holgado S, Perez-Andres R, Romeu J, Lorenzo JC, et al. Musculoskeletal
manifestations in patients positive for human immunodeficiency virus: correlation with CD4
count. J Rheumatol 2001;28:802–4.
3. Casado E, Olive A, Holgado S, et al. Musculoskeletal manifestations in patients positive for
human immunodeficiency virus. Correction with CD4 count. J Rheumatology 2001 ; 28 : 802
-3.
4. Reis MD, Barcohana B, Davidson A et al . Association between human immunodeficiency
virus and osteonecrosis of femoral head. J . Arthroplasty 2002; 17: 135-9.

97
BAB VII NEUROPATHIC ARTRITIS

Persamaan: Charcot artritis

Pengertian:
Penyakit sendi neuropatik (Charcot artritis) dengan perjalanan penyakit secara kronis,
yang menjadi lebih parah oleh artritis degeneratif yang disebabkan oleh hilangnya
rangsang propriosepsi sendi yang terserang.

Penyebab:
Hilangnya rangsang propriosespsi yang mengakibatkan trauma yang berulang-ulang
pada sendi sehingga terajadi bentuk osteoartritik. Penyebab yang umum akibat
diabetik neuropati, tabes dorsalis (syphilis), dan siringomielia, termasuk penyakit
deposisi kristal CPPD, intraartikular steroids yang berulang, neuropathy alcoholic,
amyloidosis, meningomielokele, kelainan tulang belakang. Sebanyak satu pertiga
pasien tidak terlihat memiliki kelainan neurologi.

Penyebaran:
Perubahan perjalanan penyakit mirip dengan yang terjadi pada OA. Pannus sering
ditemuka, mungkin terdapat beberapa kebetulan dengan hancurnya tulang secara
cepat diikuti pembentukan tulang yang baru.

Demografi:
Demografi bergantung pada kondisi yang ada. Neuroartropathi terjadi pada 0,1%
hingga 0,5% penderita diabetes, 4% hingga 10% pasien pada tabes dorsalis, dan
>30% penderita siringomielia.

Gejala Utama:
Mungkin terdapat pengikisan sendi yang besar, sinovitis, perubahan bentuk sendi,
kelainan posisi sendi, dan terjadi pecahnya tulang dengan tanda krepitasi.
Perkembangannya sangat beragam.

98
Terdapat dua bentuk yang digambarkan:
1. Neuropatik artropati akut (bentuk penyerapan/atropik) jarang ditemukan dan
berbentuk sebagai gejala peradangan akut monartritis dari sendi bukan penyangga
beban, dengan pembengkakan sebagai tanda radang, dengan rasa panas, bengkak,
nyeri spontan dan nyeri dalam gerakan serta kemerahan. Mungkin perlu
difikirkan perbedaan dengan diagnosis sebagai infeksi atau artritis kristal
monsodium asam urat (gout).
2. Bentuk neuropatik artropati kronis, sebagai bentuk yang lebih umum yang sering
ditemukan. Sering terdapat latar belakang kelainan sendi yang kronis sehingga
menimbulkan masalah sendi, biasanya melibatkan sendi yang menyangga beban
badan. Pada persendian biasanya terdapat tanda radang akibat dari pengikisan
sendi sehingga semakin memperparah osteoartritis. Persendian biasanya tidak
begitu terasa sakit, dan terdapat kelemahan refleks tendo.
Bentuk kelainan sendi berbeda menurut etiologi.
- Diabetic neuroarthropathy:
Sendi tarsometatarsal seringkali terserang (jarang ditemukan pada, pergelangan
kaki dan sendi metatarsofalangeal). Mungkin juga terdapat adanya peradangan
jaringan lunak. Rasa nyeri seringkali lebih lemah daripada yang diperkirakan
untuk tingkat kelainan bentuk dan perubahan tulang.
- Tabes dorsalis:
Lutut dan pinggul umumnya tidak terserang, seringkali mengikuti kelainan bentuk
genu varum. Pada sendi lutut biasanya dapat disertai dengan biji Argyll Robertson
pupil dan hilangnya refleks sentakan lutut. Kelainan bentuk sumbu tulang juga
pernah didapatkan.
- Syringomyelia:
Kondisi degenerative ini menyerang ruas tulang belakang, mengakibatkan
kelemahan dan atrophy pada tungkai kaki dan tangan dengan hilangnya refleks
dan anastesi rasa panas (thermal). Neuroartropati mungkin dapat menyerang bahu,
siku, dan tulang belakang bagian tengkuk.

Komplikasi:
Patah tulang spontan, terkilir (dislokasi), dan osteomielitis mungkin bisa terjadi.

99
Diagnosis:
Pengujian laboratorium dapat menunjukkan kelainan sesuai penyakit dasar yang ada.
Cairan sinovial normal tanpa peradangan ataupun hemoragic. Peradangan tidak lazim
ditemukan dan sebaiknya dilakukan penelitian untuk penyebab-penyebab yang lain
(misalnya artritis kristal).

Radiologis :
Sepanjang tingkat akut, perubahan tidak khas dan menunjukkan pembengkakan
jaringan lunak. Perubahan awal yang menyerupai OA, kadang tampak osteofite yang
besar, sebagai pembentukan tulang baru, fisura tulang, dislokasi sendi dapat terjadi.
Kerusakan pada jaringan periartikular dapat terlihat dengan batas yang tidak jelas dan
dapat menyebabkan dislokasi sebagian atau terjadi kelainan bentuk tulang. Scan pada
tulang menunjukkan ke-tidak normalan penyerapan tetapi jarang memerlukan
diagnosis. Scan tulang dan MRI dapat bermanfaat dalam men-diagnosis osteomielitis
yang telah ada sebelumnya atau keretakan yang tidak terlihat.

Kunci Diagnosis:
Diagnosis sebaiknya difikirkan adanya (a) diabetes dengan rasa sakit pada kaki; (b)
pasien-pasien dengan OA stadium lanjut pada lutut; (c) keretakan spontan setelah
trauma kecil atau tanpa trauma; dan (d) skoliosis tulang belakang yang parah dengan
perubahan radiografi yang sangat jelas (cari juga siringomielia atau sifilis).

Terapi:
Kelainan penyakit dasar yang ada sebaiknya diterapi, yang mungkin mencegah
kerusakan lebih lanjut.Kurangi berat badan dan pada ketidak mampuan/sulit bergerak
penggunaan orthotics dapat bermanfaat. Pengobatan rasa sakit dengan NSAID tidak
diperlukan pada kebanyakan kasus. Intraarticular steroids merupakan kontra indikasi.

Pembedahan:
Artrodesis dan penggantian sendi memiliki tingkat kegagalan yang tinggi dan pada
umumnya menimbulkan kontra indikasi. Amputasi mungkin jarang diperlukan untuk
penyakit komplikasi lanjutan yang disebabkan oleh infeksi.

100
DAFTAR PUSTAKA
1. Ellman MH. Neuropathic joint disease (Charcot Joints). In: Koopman WJ, ed. Artritis and
allied conditions: a textbook of rheumatology, 13th ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1997:
1641-1659.
2. Cupta R. A short history of neuropathic arthropathy, Clin Orthop 1993; 296: 43-49.

101
BAB VIII. NSAID GASTROPATHY

Pengertian:
Penggunaan NSAID dikaitkan dengan beberapa efek samping yang penting terutama
dalam bidang saluran cerna bagian atas (GIT), secara khusus adanya luka pada
lambung. Efek samping pada saluran cerna bagian atas yang berkaitan dengan
penggunaan NSAID merupakan terapi yang paling sering dilaporkan di seluruh dunia
termasuk Amerika Serikat.

Penyebab:
Obat penghambat cyclooxygenase (COX) termasuk jenis NSAID, enzim yang mampu
mengubah asam arachidonat menjadi prostaglandin. Pencegahan prostaglandin, yang
biasanya melindungi selaput lendir lambung, adalah mekanisme yang utama pada
NSAID gastropathy yang ada. Kebanyakan NSAID juga merupakan gabungan
senyawa asam yang memiliki konsentrasi yang tinggi pada selaput lendir lambung
pada satu tempat, hal ini yang mempertinggi efek samping pada selaput lendir dinding
lambung. Beberapa mekanisme yang lain mungkin juga dapat terjadi.

Faktor Resiko:
Faktor resiko yang penting pada pasien untuk gastropati NSAID termasuk:
a) adanya riwayat penyakit tukak pada lambung
b) ada riwayat perdarahan dari GIT
c) adanya penyakit yang kronis dan yang serius (misalnya penyakit
korpulmonale, sirosis hati, diabetes melitus stadium lanjut)
d) usia lanjut (>60 tahun)
Beberapa faktor lain termasuk penggunaan antikoagulan (warfarin) dan penggunaan
kortikosteroid jangka panjang. Dalam beberapa kasus, pasien dengan gejala dispepsi
(rasa panas dan tidak nyaman dalam perut) dan pasien yang mengobati sendiri dengan
antasida yang melebihi batas juga memiliki resiko terkena gastropati NSAID.
Beberapa kasus pada gastropati yang berhubungan dengan NSAID, termasuk
pemakaian dosis tinggi dan/atau penggunaan NSAID kombinasi mengakibatkan
resiko gastropati NSAID lebih besar. Penggunaan obat-obatan seperti aspirin,
piroxicam, indometasin, naproxen, sulindac merupakan resiko yang lebih jarang

102
daripada pengunaan diclofenac, etodolac, ibuprofen, nabumetone, meloxicam. Juga
memiliki resiko yang lebih rendah lagi pada penggunaan celecoxib, rofecoxib,
valdecoxib.
Perbedaan pada kecenderungan penyebab gastropati NSAID mungkin berbeda yang
berhubungan dengan penggunaan obat penghambat COX-1 dan COX-2 isoenzymes.
Aspirin dosis rendah (81 mg/hari) dikaitkan dengan resiko yang tinggi untuk
terjadinya tukak lambung dan pendarahan. NSAID nonacetylate (misalnya salsalate)
tidak berbeda dengan penghambat COX (100 kali lipat lebih rendah daripada aspirin),
yang jarang sekali berhubungan dengan gastropati. Pasien penderita gastropati
NSAID mungkin menjadi lebih mudah terinfeksi Helicobacter pylori, sehingga pada
pasien yang terjangkit H. pylori akan lebih tinggi resiko infeksi yang berhubungan
dengan gastropati dan tukak lambung.

Demografi:
Menyebarnya gastropati NSAID semakin luas seiring bertambahnya usia dan dalam
hubungannya dengan faktor-faktor resiko yang disebutkan di atas. Penyebaran dan
kemunculan gastropati NSAID secara signifikan dapat dianalisa dengan beberapa
cara. Penelitian telah menunjukkan bahwa dalam tiga bulan pertama perawatan
NSAID, 10% hingga 20% pasien mengalami tukak lambung yang baru, dan 4%
hingga 10% berkembang menjadi tukak usus dua belas jari (duodenum). Data tersebut
merupakan penelitian secara endoskopik dan kadang-kadang tukak terlihat sangat
kecil, hal ini mungkin menjadi penilaian yang terlalu sensitif dari gejala klinis yang
signifikan. Di Amerika Serikat, gastropati NSAID menyebabkan ~70.000 orang
dirawat di rumah sakit dan 7.000 orang meninggal dunia setiap tahun. Antara 20%
sampai 40% pasien yang mengalami pendarahan GIT bagian atas telah ditemukan
menderita gastropati NSAID kronis. Tukak GIT dengan gejala nyeri terdapat pada 2%
hingga 4% pasien yang menderita gastropati NSAID selama lebih dari satu tahun,
tetapi bagaimanapun, hal ini mungkin merupakan sebuah sikap meremehkan karena
kebanyakan gastropati NSAID tidak menimbulkan gejala. Faktor yang membuat
perkiraan dari penyebaran yang sesungguhnya sangat sulit. Sebagai tambahan,
penggunaan NSAID secara luas (>13 x 106 orang di Amerika Serikat menderita
gastropati NSAID kronis) merupakan hal penting dan menjadi masalah kesehatan
yang serius.

103
Gejala Umum:
NSAID yang berkaitan dengan tukak lambung terjadi dua kali lebih sering
dibandingkan dengan tukak usus dua belas jari. Sebagai tambahan untuk tukak yang
terlihat berbatas jelas, bentuk erosi juga mungkin terlihat. Perdarahan yang tidak
menimbulkan gejala merupakan masalah yang penting karena >50% pasien dengan
gastropati NSAID dibandingkan dengan kurang-lebih 25% pasien dengan gastropati
NSAID yang tidak memiliki keterkaitan. Esofagitis juga dapat dikaitkan, atau
gastropati NSAID yang semakin parah. Anoreksia, kehilangan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan, pusing ortostatik, atau anemia mungkin merupakan tanda-tanda awal
terjadinya pendarahan GIT yang disebabkan oleh tidak tampaknya gastropati NSAID.

Komplikasi:
Pendarahan adalah komplikasi yang paling umum ditemukan. Karena banyak tukak
yang tidak menunjukkan gejala, hal tersebut mungkin tidak diketahui. Tukak dapat
menjadi parah, menyebabkan komplikasi seperti perforasi sehingga terjadi gagal
jantung akibat kehilangan darah yang berlebihan.

Diagnosis Banding:
Penyakit tukak lambung tanpa sebab saat ini dianggap sebagai infeksi sekunder
dengan H. pylori pada pasien yang memiliki gastropati NSAID, mungkin sulit untuk
disembuhkan daripada gastropati NSAID yang berhubungan dengan gastropati tanpa
sebab. Hal ini jelas secara khusus di antaranya pada orang tua. Usia lanjut adalah
faktor resiko untuk gastropati NSAID maupun infeksi H. pylori (penyebaran infeksi
ini melebihi 50% pada pasien berusia >60 tahun). Beberapa sifat H. pylori – yang
berkaitan dengan penyakit tukak lambung juga memungkinkan untuk dibedakan dari
gastropati NSAID:
(a) kebanyakan pasien dengan H.pylori mengalami tukak usus dua belas jari dan
bukan tukak lambung
(b) terjadi gastritis atau radang lambung
(c) keadaan kambuhan ditemukan biasanya tanpa infeksi yang tidak perlu
mendapatkan
perawatan.
Meskipun demikian, pasien yang ditemukan mengidap penyakit tukak lambung
seringkali diperiksa untuk H. pylori, bahkan apabila penyakit tukak lambung diduga

104
berkaitan dengan NSAID. Pasien-pasien seperti itu biasanya dirawat untuk
menyembuhkan infeksi tambahan dan untuk menyembuhkan tukaknya.

Kunci Diagnosis:
Pasien pengguna NSAID yang mengalami gejala-gejala GIT mungkin dapat dicurigai
mengidap gastropati. Karena banyak pasien dengan gastropati tidak menunjukkan
gejala, tingkat dugaan klinis yang tinggi sangat diperlukan, khususnya pada pasien
dengan satu atau lebih faktor resiko untuk menderita gastropati NSAID.

Pengujian Diagnosis:
Penelitian radiografi GIT yang lebih tinggi digunakan pada pasien dengan gejala dan
pasien tanpa gejala dengan bukti adanya perdarahan. Pemeriksaan teratur dari darah
tinja adalah prosedur yang sangat baik dan tepat untuk selalu mencurigai adanya
perdarahan GIT pada pasien pengguna NSAID, meskipun jarang mendapat hasil
positif bagi penderita pendarahan GIT yang signifikan. Endoskopi memungkinkan
penilaian definitif dari penyebaran tukak esofagogastroduodenal. CBC mungkin dapat
mengungkapkan penyebab kehilangan darah yang signifikan.

Terapi:
Terapi gastropati NSAID biasanya menghentikan NSAID. Pada pasien dengan
dispepsia yang tidak memiliki penyakit tukak lambung atau penyebaran GIT yang
serius, sangat mungkin untuk meringankan gejala-gejala dengan menurunkan dosis
NSAID, atau mengganti jenis NSAID yang lain, atau menambahkan antasida seperti
penghambat H2-histamine (misalnya ranitidine, cimetidine, famotidine).
Pada pasien dengan penyakit tukak lambung, penggunaan NSAID harus dihentikan,
dan perawatan dengan penghambat H2 dapat diberikan. Tingkat kesembuhan
gastropati NSAID yang berkaitan dengan penyakit tukak lambung setelah
menghentikan NSAID diperkirakan 95% hingga 100% dari tukak lambung dan tukak
usus dua belas jari dapat disembuhkan dengan terapi selama delapan minggu dengan
penghambat H2. Apabila dianggap perlu maka penggunaan pengobatan NSAID
mengakibatkan penyembuhan tukak menjadi lebih lambat dan kurang sempurna
(80%-90% disembuhkan dalam waktu dua belas minggu dengan terapi penghambat
H2). Pada pasien seperti itu, penghambat pompa proton (contohnya omeprazole,
lansoprazole) lebih efektif. Ukuran tukak sebagai faktor utama dalam penyembuhan;

105
tukak yang lebih besar (>0,5 cm) sembuh lebih lama dan kurang sempurna daripada
yang berukuran lebih kecil.
Pencegahan gastropati NSAID adalah pertimbangan yang penting. Pertama, NSAID
sebaiknya dihindari kecuali sangat diperlukan untuk pengendalian penyakit sendi.
Meskipun tidak efektif untuk merawat semua pasien yang mendapatkan NSAID,
pasien dengan satu atau lebih faktor resiko penting untuk gastropati NSAID dapat
diberikan perawatan dengan penghambat COX-2 dengan atau tanpa pemberian
gastroprotective seperti misoprostol (200 mg q.i.d.) atau penghambat pompa proton
(misalnya omeprazole). Penghambat COX-2 yang bersifat selektif mengurangi resiko
gastropati NSAID tetapi tidak sangat manjur dibanding secara klinis daripada NSAID
yang bersifat non-selektif.

Daftar Pustaka
1. Fendrick AM. Helicobacter pylori and NSAID gastropathy: an ambiguous association. Curr
Rheumatol Rep 2003; 3: 107-111.
2. Fries JF. NSAID gastropathy: The second most deadly rheumatic disease? Epidemiology and
risk appraisal. J Rheumatol 1991; 18 (suppl 28) : 6-10.
3. Hawkey CJ, Kanasch JA, Szczeparski L, et al. Omeprazole compared with misoprostol or
ulcers associated with nonsteroidal anti-inflammatory drugs. N Engl J Med 1998; 338: 727-
734.
4. Straus WL. Gastrointestinal toxicity associated with nonsteroidal anti-inflammatory drugs.
Epidemiologic and economic issues. Gastroenterol Clin North Am 2001; 30: 895-920.

106
BAB IX. POEMS SYNDROME

Pengertian:
Sebuah kelainan sistemis yang berkaitan dengan sel plasma dyscrasias.

Penyebab:
Penyebab yang pasti belum diketahui. Konsentrasi serum yang meningkat dari sitokin
peradangan adalah IL-1, IL-6 dan TNF-α dan metalloproteinases TIMP dan VEGF.

Tanda Klinis:
Singkatan POEMS (Plasma cell dyscrasia, Organomegaly, Endocrinopathy,
Monoclonal gammopathy, Skin changes) mempunyai tanda utama, yaitu:
- Plasma cell dyscrasia dengan polyneuropathy:
Plasmocytomas sering tampak adanya luka sklerotik pada tulang. Peradangan
yang parah pada saraf sensoris dan saraf motoris jarang ditemukan.
- Organomegaly:
Hepatomegaly dan lymphadenopathy terjadi pada 67%, dan splenomegaly terlihat
pada 33% pasien.
- Endocrinopathy:
Hypothyroidism, hypogonadism dengan gynecomastia, amenorrhea, impotensi,
atau hyperprolactinemia dapat ditemukan.
- Monoclonal gammopathy:
IgG atau IgA monoclonal paraproteinemia dapat ditemukan.
- Skin changes (perubahan kulit):
Perubahan kulit seperti skleroderma sistemik sering ditemukan, disamping
perubahan hyperpigmentasi, hypertrichosis, hyperhidrosis, dan angiomas.
- Ciri-ciri lain:
Demam, anorexia, dan adanya trombositosis. Hubungan yang jarang ditemukan
untuk penyakit Castleman atau vaskulitis.

107
Terapi:
Pada awalnya, kebanyakan pasien dirawat dengan kortikosteroid. Cyclophosphamide
dan dan beberapa imunomodulator yang lain dapat digunakan pada kasus-kasus yang
sulit disembuhkan.

Daftar Pustaka:

1. Gherardi, R., L. Bélec, M. Soubrier, D. Malapert, M. Zuber, J. P. Viard, L. Intrator, J. D.


Degos, and F. J. Authier. 1996. Overproduction of proinflammatory cytokines imbalanced by
their antagonists in POEMS syndrome. Blood 87: 1458-146.
2. Soubrier, M., J. J. Dubost, A. F. Serre, J. M. Ristori, B. Sauvezie, P. Cathebras, J. C. Piette, A.
Chapman, F. J. Authier, and R. K. Gherardi. 1997. Growth factors in POEMS syndrome:
evidence for a marked increase of circulating vascular endothelial growth factor. Artritis
Rheum. 40: 786-787.
3. Humbert, M., G. Monti, F. Brenot, O. Sitbon, A. Portier, L. Grangeot-Keros, P. Duroux, P.
Galanaud, G. Simonneau, and D. Emilie. 1995. Increased interleukin-1 and interleukin-6
serum concentrations in severe primary pulmonary hypertension. Am. J. Respir. Crit. Care
Med. 151: 1628-1631.
4. Petitprez, P., F. Brenot, R. Azarian, F. Parent, B. Rain, P. Hervé, and G. Simonneau. 1994.
Pulmonary hypertension in patients with human immunodeficiency virus infection:
comparison with primary pulmonary hypertension. Circulation 89: 2722-2727.
5. Voelkel, N. F., and R. M. Tuder. 1995. Cellular and molecular mechanisms in the pathogenesis
of severe pulmonary hypertension. Eur. Respir. J.

108
BAB X. KEHAMILAN DAN ARTRITIS

Pengertian:
Perubahan hormon yang menyertai kehamilan dapat mengakibatkan aktivitas penyakit
pada pasien dengan beberapa keluhan rematik. Disamping adanya perubahan anatomi
yang berkaitan dengan kehamilan dapat mengakibatkan beberapa keluhan
muskuloskeletal.

Perkembangan Penyakit:
Perbaikan gejala pada RA telah dicatat secara sembrono selama lebih dari setengah
abad, hal tersebut dilaporkan bahwa pasien penderita RA mengalami perkembangan
baik pada artritis mereka selama kehamilan. Kira-kira separuh kasus, perkembangan
terjadi dalam trimester pertama, meskipun beberapa pasien mengalami perkembangan
hanya dalam trimester ke-tiga. Perkembangan pada gejala hampir selalu tetap ada
antara lain adanya gejala artritis yang kambuh setelah melahirkan selalu terjadi.
Kelainan-kelainan lain yang dilaporkan membaik selama kehamilan termasuk
psoriasis, psoriatik artritis, dan sarkoidosis.

Penyakit Yang Kambuh:


Pasien dengan penyakit rematik lain mungkin kambuh selama kehamilan, meskipun
masih merupakan kontroversi, sebagian besar dari catatan medis adanya pasien SLE
yang kambuh selama kehamilan. Kontroversi datang dari fakta bahwa kelompok
pasien dengan SLE, tidak hanya yang sedang hamil, diamati dalam lebih dari periode
sembilan bulan, cenderung memiliki banyak penyakit yang makin parah selama
periode tersebut. Meskipun demikian, tampaknya pasien penderita SLE kambuh
selama trimester ke-tiga dan di dalam pertengahan periode postpartum. Lagipula,
pasien dengan tingkat aktivitas kekambuhan atau makin parah yang meningkat
sebelum kehamilan diperkirakan mengalami keparahan dengan mudah. Sehingga,
banyak ahli rematologi menyarankan supaya pasien menunggu sampai penyakitnya
tenang selama paling tidak enam bulan sebelum hamil. Hal ini sangat relevan karena
banyak pengobatan yang digunakan untuk SLE yang memiliki kontra-indikasi selama
kehamilan. Pasien dengan SLE juga memiliki kejadian lebih tinggi aborsi mendadak,
prematur, dan kematian intrauterine. Sulit membedakan antara SLE ginjal dan

109
preeclampsia atau keadaan riskan selama masa kehamilan. Meskipun data kurang
jelas, penyakit lain yang dilaporkan terus memburuk selama kehamilan termasuk PM
dan DM.

Nyeri Punggung:
Merupakan akibat perubahan postur yang berhubungan dengan kehamilan
diperkirakan memiliki peranan penting pada keluhan nyeri punggung bagian bawah
pada wanita hamil. Kira-kira 50% wanita hamil mengeluhkan nyeri punggung bagian
bawah selama masa kehamilan, terutama selama trimester ke-dua dan ke-tiga yang
terakhir. Rasa nyeri biasanya terjadi di daerah tulang belakang atau punggung bagian
bawah.
Bentuk punggung lordosis yang berlebihan, menyebabkan tekanan pada tulang
belakang akibat berat janin dan kelemahan ikatan sendi bagian pinggul telah
disebutkan sebagai faktor pendukung yang penting. Terakhir, kurang tidur dapat
menyebabkan fibromialgia sekunder.

Terapi:
Kebanyakan pemberian terapi farmakologis lebih baik dihindari selama masa
kehamilan. Apabila memang diperlukan, kortikosteroid dapat digunakan selama masa
kehamilan. Acetaminophen dan NSAID juga dapat digunakan, tetapi NSAID tidak
boleh dilanjutkan di atas minggu ke-30 untuk menghindari kelahiran prematur dari
ductus arteriosus.
Obat-obatan yang dinyatakan kontra-indikasi selama masa kehamilan termasuk MTX,
leflunomide, penicillamine, gold, cyclophosphamide, dan cyclosporine. Penggunaan
azathioprine selama masa kehamilan masih menjadi pertentangan. Tampaknya
corticosteroids, sulfasalazine, dan hydroxychloroquine dapat digunakan dengan aman,
apabila perlu, selama masa kehamilan. Meskipun termasuk pengantar yang lebih baru,
anakinra dan penghalang TNF, belum diteliti secara sistematis pada wanita hamil, ini
merupakan resiko kelas B dalam kehamilan dan wanita hamil telah diujikan pada obat
ini secara sporadis tanpa mengalami keracunan atau teratogen.

110
Daftar Pustaka
1. Barrett JH, Brennan P, Fiddler M, Silman A. Breast-feeding and postpartum relapse in women
with reumatoid and inflammatory artritis. Artritis Rheum. May 2000;43(5):1010-5.
2. Bowden AP, Barrett JH, Fallow W, Silman AJ. Women with inflammatory polyartritis have
babies of lower birth weight. J Rheumatol. Feb 2001;28(2):355-9.
3. Brennan P, Barrett J, Fiddler M, et al. Maternal-fetal HLA incompatibility and the course of
inflammatory artritis during pregnancy. J Rheumatol. Dec 2000;27(12):2843-8.
4. Cecere FA, Persellin RH. The interaction of pregnancy and the rheumatic diseases. Clin
Rheum Dis 1981; 2: 747-768.
5. Crocker IP, Baker PN, Fletcher J. Neutrophil function in pregnancy and reumatoid
artritis. Ann Rheum Dis. Jul 2000;59(7):555-64.
6. Cush JJ. Biological drug use: US perspectives on indications and monitoring. Ann Rheum
Dis. Nov 2005;64 Suppl 4:iv18-23.

111
BAB XI. SARKOIDOSIS

Persamaan:
Boeck’s sarcoid, demam uveoparotid, Loefgren’s syndrome.

Pengertian:
Sarkoidosis adalah kelainan radang sistemik yang kronis yang tidak diketahui
sebabnya akibat noncaseating granulomata pada daerah yang terserang.

Penyebab:
Meskipun fokus pada jenis organisme yang menyebabkan infeksi atau beberapa
keadaan pengaruh lingkungan yang lain telah lama menjadi hipotesa yang
behubungan sebagai penyebab penyakit ini, tidak ada yang terbukti secara konklusif.
Sebuah jenis organisme penyebab infeksi (khususnya intracellular pathogens seperti
jamur) dapat mengakibatkan perubahan histopathologis yang serupa, tetapi tidak ada
yang terbukti sembuh dari luka sarkoid. Perubahan-perubahan yang serupa juga dapat
dilihat dalam kaitannya dengan suatu keganasan.

Penyebaran:
Berdasarkan penelitian histopathologi, aktivasi sel T helper CD4+ yang aktif dianggap
memiliki peran utama dalam penyebab peradangan sarkoid. Meskipun secara umum
dianggap sebagai kelainan pada paru-paru, tetapi proses perkembangan penyakit ini
dapat menyerang beberapa sistem organ yang lain. Sesungguhnya, kira-kira satu
setengah pasien penderita sarkoidosis pada awalnya menunjukkan gejala-gejala
konstitusional seperti demam atau gejala-gejala yang berkaitan dengan peradangan
pada daerah ekstratorasik, salah satunya adalah keluhan muskuloskeletal. Keterlibatan
ekstratorasik juga umum ditemukan pada stadium perjalanan penyakit, kira-kira 10%
hingga 15% pasien dengan sarkoidosis menderita artritis.

Demografi:
Sarkoid pada umumnya menyerang orang-orang muda dan dewasa berusia menengah.
Penderita wanita jumlahnya sedikit lebih tinggi daripada pria. Penyebarannya
tertinggi di antara orang-orang Amerika keturunan Afrika (~40 per 100.000) dan

112
orang-orang berkulit putih dari bagian Eropa utara (~60 per 100.000). Pasien dengan
sarkoidosis disarankan mendapatkan HLA-B8 allele mungkin dengan mudah
berkembang menjadi eritema nodosum dan artritis akut, di mana pasien-pasien
dengan sarkoidosis positif untuk HLA-DR3 mungkin lebih cenderung berkembang
menjadi bentuk artritis kronis.

Ciri-Ciri Umum:
Sarkoid seringkali menyerang banyak sistem organ tubuh.
- Paru-paru:
Meskipun beberapa pasien tidak menunjukkan gejala yang berkaitan dengan paru-
paru, lebih 90% menunjukkan ke-tidaknormalan gambaran radiografi.
Berdasarkan kelainan telah digolongkan menjadi tiga jenis:
a) tipe I, bilateral hilar limfadenopati, kadang-kadang berkaitan dengan
paratracheal limfadenopati bagian kanan
b) tipe II, limfadenopati seperti pada tipe I ditambah dengan infiltrat pada
paru-paru
c) tipe III, infiltrat pada paru-paru tanpa limfadenopati
Pasien dengan gambaran radiografi tipe I mengalami kesembuhan secara tiba-tiba
jauh lebih sering daripada orang-orang dengan tipe II dan III dan biasanya
membutuhkan penanganan terapi yang lebih sederhana.

- Musculoskeletal:
Keluhan muskuloskeletal yang paling umum ditemukan mengenai sarkoidosis
adalah artritis, yang menyerang 10% hingga 15% pasien. Sarkoid artritis dapat
terjadi pada dua pola yang berbeda, dan timbulnya artritis lebih awal pada tingkat
perkembangan penyakit (misalnya pada permulaan enam bulan pertama) berbeda
dari apa yang terjadi kemudian. Artritis awal, jenis yang lebih umum ditemukan
dan mungkin merupakan gejala awal sarkoidosis, biasanya berbentuk oligoartritis
pada pergelangan kaki dan kurang lazim pada lutut. Sebagai tambahan untuk
artritis yang sesungguhnya, pasien juga mengalami peradangan tenosinovitis dan
periartikular. Apabila terdapat efusi sendi, seringkali tidak menimbulkan gejala
peradangan. Sarkoid artritis awal seringkali terbatas, berkembang beberapa hari
hingga beberapa bulan, dan memiliki perkiraan prognosis yang sangat baik.
Sebagai contoh, kebanyakan pasien penderita Loefgren’s syndrome (yang

113
disebutkan sebagai artritis akut, eritema nodosum, dan bilateral hilar
limfadenopati), yang terjadi pada pasien dengan penyakit awal, mengalami
kesembuhan secara tiba-tiba.
Sarkoid artritis stadium akhir pada umumnya terjadi lebih 6 bulan setelah terlihat
adanya gejala penyakit. Meskipun seringkali berbentuk monartritis, biasanya
menjadi oligoartritis, dengan dua atau tiga sendi yang terserang. Dalam beberapa
kejadian, persendian yang terserang termasuk lutut, pergelangan kaki, dan
persendian proksimal interfalangeal. Sebagai tambahan untuk sinovitis, pasien
mungkin mengalami pembengkakan periartikular. Ketika hal ini terjadi pada jari
(dactylitis atau jari sosis), boleh jadi menyerupai ciri-ciri yang terlihat pada
seronegative Spondilo Artrosis, seperti Reiter’s syndrome. Meskipun juga tetap
tinggal, sarkoid tahap akhir artritis menetap lebih sering daripada artritis tahap
awal, yang memiliki implikasi dari pendekatan terapi. Terakhir, meskipun
gambaran radiografi sendi pada sarkoid artritis tahap awal umumnya normal,
perubahan dapat dicatat pada artritis tahap akhir, termasuk perubahan sistik dalam
pertengahan ruas kaki.
- Dermatologi:
Kira-kira sekitar satu pertiga pasien penderita sarkoidosis memiliki satu dari
bentuk dermatologi yang bervariasi dari penyakit ini. Eritema nodosum seringkali
terjadi pada tingkat awal penyakit dan sembuh secara mendadak. Hal tersebut
berkaitan dengan artritis awal, terjadi pada dua pertiga pasien. Artritis tahap akhir
tidak dikaitkan dengan eritema nodosum tetapi lebih kepada beberapa bentuk
dermatologi kronis dari sarkoidosis, termasuk plak, papules, dan gumpalan serta
luka yang bersisik. Luka lupus pernio adalah sifat dari sarkoidosis dan tampak
kronis, memperkeras papules atau plak, berwarna merah kecoklatan atau ungu,
membengkak, luka pada kulit di atas bibir yang mengkilat, pipi, telinga, dan wajah
bagian tengah dan lebih umum ditemukan pada wanita Amerika keturunan Afrika.
- Lain-Lain:
Bentuk-bentuk ekstratorasik dari sarkoidosis sangat relevan dari sudut pandang
rematologi karena menyerupai penyakit peradangan yang beragam. Keterlibatan
mata okular, khususnya uveitis, mungkin berkembang pada lebih 20% pasien
sarkoid. Uveitis dikaitkan dengan bermacam-macam penyakit peradangan
sistemik. Keterlibatan sarkoid dari kelenjar eksokrin dari kepala (misalnya
parotid, lacrimal) mungkin menyerupai ciri-ciri dari Sjörgen’s syndrome.

114
Sarkoidosis dari otot tulang, meskipun tidak menunjukkan gejala, dapat terjadi
dengan gambaran klinis yang menyerupai peradangan miositis. Akhirnya, sarkoid
juga dapat menyerang hati, sistem syaraf tengah (Bell’s palsy) dan sistem syaraf
periferal, organ limfoid, dan ginjal.

Diagnosis:
Tidak ada satu pun pengujian laboratorium klinis yang dapat men-diagnosis
sarkoidosis. Ciri-ciri yang tidak spesifik termasuk leukopenia, limfopenia, anemia,
dan enzyme hepatic yang meningkat atau alkaline fosfatase. Hiperkalsiuria dan
hiperkalsemia telihat pada lebih 10% pasien.
- Pengujian kveim:
Secara historis, pengujian ini pernah menjadi sebuah diagnosis. Bahan yang
didapat dari sarkoid granuloma disuntikkan ke dalam kulit, dan pasien diperiksa
untuk perkembangan reaksi dari hipersensitivitas yang tertunda. Tetapi
bagaimanapun, kepekaan dan rincian dari pengujian ini mengecewakan, dan tidak
lagi diterima untuk suntikan jaringan halus dari satu pasien ke pasien lain untuk
tujuan diagnosis. Dengan demikian, pengujian ini tidak lagi dilakukan.
- Angiotensin-converting enzyme:
Tingkat serum menunjukkan aktivitas makrofag pada granulomata dan
ditingkatkan pada ~60% pasien penderita sarkoidosis. Tetapi bagaimanapun,
peningkatan jumlah enzyme pengubah angiotensin tidak spesifik atau sarkoidosis
sebagaimana pada kondisi yang lain. Lagipula, karena mereka menunjukkan
aktivitas makrofag, pada umumnya ditingkatkan pada pasien dengan penyakit
paru-paru aktif yang substansial. Dengan demikian, peningkatan enzyme
pengubah angiotensin merupakan sarana penggambaran diagnosis yang lemah
untuk populasi yang tidak terpilih dan untuk pasien dengan presentasi khusus
yang lebih sedikit.

Pencitraan:
Gambaran radiografi paru-paru sering menujukkan abnormalitas. Banyak peneliti
yang percaya bahwa keberadaan dari limfadenopati bilateral dan limfadenopati
paratracheal sebelah kanan, keduanya konsisten dengan diagnosis dari sarkoidosis dan
berkaitan dengan perkiraan penyakit yang tidak ganas untuk penanganan diagnosis
lanjutan pada kemudian hari mungkin tidak diperlukan. Scan gallium dapat

115
menunjukkan penyerapan dalam dada, limfonodi, dan kelenjar parotid selama periode
aktif perkembangan penyakit.

Kunci Diagnosis:
Diagnosis sarkoidosis biasanya diperoleh dari kumpulan beberapa ciri klinis,
penyembuhan penyakit dengan kondisi yang serupa, dan (apabila diperlukan)
demonstrasi dari noncaseating granulomata pada contoh-contoh histopatologi.

Diagnosis Banding:
Penyakit dengan gejala klinis yang serupa dengan sarkoidosis termasuk di dalamnya
penyakit yang menyebabkan infeksi (misalnya mikobakteria, jamur), limfoproliferatif
neoplasma, reaksi benda asing, Sjörgen’s syndrome, Spondilo Artrosis, dan SLE.

Terapi:
Terapi untuk sarkoidosis beragam dan biasanya diakibatkan oleh penyakit organ tubuh
yang terlibat. Pada banyak kasus, terapi dipusatkan pada pengobatan paru-paru,
meskipun serangan pada organ lain (misalnya uveitis) juga memerlukan perawatan
yang agresif. Kortikosteroid, seringkali diberikan pada dosis yang relatif tinggi (≥40
mg/hari), telah diterapkan terapi untuk sarkoidosis parah.
Sarkoid artritis awal, karena seringkali terbatas dengan sendirinya, biasanya dirawat
dengan NSAID dan analgesik sederhana. Suntikan intraartikular dari steroid mungkin
bermanfaat pada pasien penderita oligoartritis. Dalam kasus yang sulit disembuhkan,
sebuah jenis agen telah dicoba, termasuk di antaranya kolchicines, MTX, DMARD
yang lainnya, dan penghambat TNFα. Kortikosteroid oral jarang sekali diberikan
sebagai sarkoid artritis, tetapi pasien dirawat dengan steroid untuk bentuk-bentuk
penyakit yang mungkin menunjukkan pekembangan dramatis pada artritis mereka.
Penelitian yang tidak menggunakan kontrol menunjukkan penghambat TNFα tidak
efektif secara konsisten untuk sarkoid paru-paru tetapi efektif pada pasien penderita
penyakit di luar paru-paru.

116
DAFTAR PUSTAKA
1. FitzGerald AA, Davis P. Artritis, hilar adenopathy, erythema nodosum complex. J. Rheumatol.
1982 ‘9: 935-938.
2. Giuffrida TJ, Kerdel FA. Sarcoidosis. Dermatol Clin. 2002; 20: 435-447.
3. Zabel P, Entzian P, Dalhoff K, Schlaak M. Pentoxifylline in treatment of sarcoidosis. Am J
Respir Crit Care Med. May 1997;155(5):1665-9.
4. Doty JD, Mazur JE, Judson MA. Treatment of sarcoidosis with
infliximab. Chest. Mar 2005;127(3):1064-71.
5. Yee AM, Pochapin MB. Treatment of complicated sarcoidosis with infliximab anti-tumor
necrosis factor-alpha therapy. Ann Intern Med. Jul 3 2001;135(1):27-31.
6. Lower EE, Baughman RP. Prolonged use of methotrexate for sarcoidosis. Arch Intern
Med. 1995;155:846-851.

117
BAB XII. STREPTOCOCCAL REACTIVE ARTRITIS

Persamaan:
Incomplete rheumatic fever, post-streptococcal artritis.

Penyebaran:
Artropati reaktif disebabkan oleh infeksi streptococcal (kelompok A dan G).

Demografi:
Streptococcal reaktif artritis paling umum ditemukan pada anak-anak dan dewasa
berusia muda tetapi juga pernah dilaporkan menyerang orang dewasa.

Ciri-Ciri Umum:
Biasanya terjadi setelah adanya faringitis yang disebabkan bakteri streptococcal.
Artropati (nonmigratory oligoartritis atau poliartritis) terjadi dalam dua minggu
setelah terjadi infeksi yang menyerang faring. Kurang lebih satu pertiga dari kasus
berbentuk klinis secara episodik artralgia atau artritis. Banyak timbul gejala sistemik
yang berkembang termasuk demam, mialgia, lesu, dan serositis.
Beberapa pasien mengalami karditis yang berkembang pada kondisi yang parah dan
kronis sehingga memerlukan perawatan jangka panjang.

Pengujian Diagnosis:
Kebanyakan pasien dijumpai meningkatnya titer antibodi antistreptolysin O atau
DNase B.

Diagnosis:
Streptococcal reaktif artritis dibedakan dari ARF (artritis rheumatic fever) oleh
kurangnya tanda yang cukup untuk kriteria Jones. Tidak ditemukan tanda klasik pada
kulit, jantung, dan neurologi dari ARF.

Terapi:
Terapi mirip dengan yang diterapkan pada ARF, tetapi antibiotik profilaksis berikut
yang diperlukan masih kontroversial.

118
Tingkatan:
Secara karakteristik, respons terhadap terapi dengan salisilat atau NSAID berjalan
lambat atau tidak sempurna. Seringkali terjadi pada infeksi ringan pada terapi dengan
hasil yang cukup baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Deighton C. β-Hemolytic streptococci and reactive artritis in adults. Ann Rheum Dis. 1993;
52: 475-482.
2. Jansen TL, Janssen M, de Jong AJ, et al. Post-streptococcal reactive artritis: a clinical and
serological description, revealing its distinction from acute rheumatic fever. J Intern Med.
1999: 245: 261-267.
3. Martin, M; Turco, JH; Zegans, ME; Facklam, RR; Sodha, S; Elliot, JA; Pryor, JH; Beall, B;
Erdman, DD; Baumgartner, YY; Sanchez, PA; Schwatrzman, JD; Montero, J; Schuchat, A;
Whitney, CG. An Outbreak of Conjunctivitis Due to Atypical Streptococcus pneumoniae. N
Engl J Med. 2003;348:1112–1121. doi: 10.1056/NEJMoa022521.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Outbreak of Bacterial Conjunctivitis at a College-
New Hampshire, January-March, 2002. Morb Mortal Wkly Rep. 2002;51:205–207.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Pneumococcal Conjunctivitis at an Elementary
School – Maine, September 20-December 6, 2002. Morb Mortal Wkly Rep. 2003;52:64–66.
6. Hannu, T; Inman, R; Granfors, K; Leirisalo-Repo, L. Reactive artritis or post-infectious
artritis? Best Pract Res Clin Rheumatol. 2006;20:419–33. doi: 10.1016/j.berh.2006.02.003.

119
BAB XIII. WEGENER’S GRANULOMATOSIS

Pengertian:
Wegener’s granulomatosis adalah sindrom vaskulitis yang berkaitan dengan saluran
pernafasan bagian atas, paru-paru, dan keterlibatan ginjal. Hal tersebut secara
histologi didasari dari necrotizyng granulomatous vasculitis dari pembuluh darah
arteri kecil dan pembuluh vena.

Penyebab:
Meskipun telah lama dicurigai bahwa Wegener’s granulomatosis berkaitan dengan
pengaruh lingkungan, tetapi tidak ada bukti yang jelas,juga tidak ada bukti adanya
hubungan dari penyakit imun kompleks. Juga tidak ada faktor resiko yang berkaitan
ataupun kecenderungan secara genetis. Tidak diketahui apakah ANCA merupakan
pathogenic atau epiphenomenal.

Patologi:
Adanya perubahan sifat termasuk keterlibatan granulomatous dan vaskulitis dari
saluran pernafasan bagian atas dan bawah, sinus paranasalis, mata, ginjal, sistem saraf
pusat, dan jantung. Lesi vaskular menyerang pembuluh darah kecil dengan granuloma
dan sel raksasa multinuklear. Lesi pada ginjal dapat berupa pauci-immune yang
dengan cepat berkembang menjadi glomerulonefritis progresif, focal necrotyzing
glomerulonephritis, crescentic glomerulonephritis, dan yang kurang lazim
proliferative glomerulonephritis yang berlangsung kronis, atau nefritis interstisialis.
Arteritis terlihat pada <8% lesi di ginjal. Vaskulitis dari vasa nervorum terlihat dengan
mononeuritis multiplex.

Demografi:
Kisaran usia terjadinya gejala kira-kira sekitar 40 tahun, jangkauan dari 8 hingga 80
tahun. Tingkat serangan pada kaum pria sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan
kaum wanita. Wegener granulomatosis sangat jarang ditemukan dengan penyebaran
lebih kecil dari tiga kasus per 100.000 jiwa penduduk. Hampir 97% pasien adalah
orang kulit putih dan 2% adalah orang Amerika keturunan Afrika.

120
Tanda Klinis:
Pasien dengan Wegener’s granulomatosis dapat menunjukkan gejala yang beragam.
Gejala yang paling umum menunjukkan serangan pada sistem pernafasan bagian atas
dan bawah. Pasien juga dapat menunjukkan gejala umum, seperti demam, kehilangan
berat badan, dan tidak enak badan. Yang lain tidak memiliki gejala atau hanya
menunjukkan gejala yang sedikit. Biasanya kelainan ditemukan dengan alat
radiografi.
Meskipun dapat menyerang banyak organ seperti paru-paru, saluran pernafasan
bagian atas, dan ginjal merupakan gejala yang paling sering ditemui. Sekitar 25%
pasien penderita Wegener’s granulomatosis memiliki tanda klasik dari serangan pada
ketiga sistem organ ini. Kadang kasus lain memiliki gejala penyakit yang lebih
terbatas, kira-kira 20% hanya memiliki lesi pada sistem pernafasan bagian atas dan
bawah, dan kira-kira 17% mengalami serangan pada ginjal dengan keterlibatan sistem
pernafasan bagian atas dan bawah.

Terapi:
- Pernafasan bagian atas:
Gejalanya termasuk sinusitis, batuk rinitis, tukak pada hidung, otitis media serosa,
gangguan pendengaran, dan jarang sekali adanya subglottic stenosis. Pernafasan
bagian atas yang terserang oleh Wegener’s granulomatosis secara khusus tidak
membahayakan jiwa, tetapi bagaimanapun, hal itu dapat menjadi sumber infeksi
yang kronis dan ganas seperti epistaksis, sinusitis dan rhinorrhea purulenta.
Penyakit tersebut juga dapat menghancurkan tulang rawan pada hidung,
mengakibatkan kelainan bentuk yang disebut “saddle nose” atau hidung sadel.
Banyak orang yang mengalami Wegener’s granulomatosis sering diikuti sinusitis
yang dengan infeksi, khususnya dengan S. aureus. Gejala-gejala sinus berkaitan
dengan infeksi mungkin sulit untuk dibedakan dari gejala yang berhubungan
dengan penyebaran vaskulitis. Mungkin juga terdapat hubungan antara penyebab
infeksi dan kekambuhan.
- Paru-Paru:
Gejala klinis adanya sesak nafas, batuk darah, dan pleuritis diikuti bilateral
pulmonary infiltrat (seringkali bentuk noduler) terlihat pada separuh dari jumlah
pasien dan mungkin pada akhirnya terbentuk kavitas paru.

121
- Ginjal:
Serangan pada ginjal hampir selalu mengikuti serangan penyakit sistem
pernafasan bagian atas dan bawah dan mungkin dapat berupa proteinuria,
hematuria, silinder sel darah merah, atau insufisiensi ginjal. Glomerulonefritis
tampak menimbulkan gejala pada sebagian kecil pasien tetapi kemudian akhirnya
meningkat menjadi hampir 85% kasus. Lesi ginjal yang khas dari Wegener’s
granulomatosis adalah granulomatosis fokal dan segmental. Penyakit ini dapat
berkembang menjadi progresif seperti necrotizyng crescentic glomerulonephritis
yang berkembang menjadi gagal ginjal. Tetapi bagaimanapun, tahapan penyakit
ginjal dapat terlihat pada <10% pasien. Hipertensi jarang sekali terlihat
- Mata:
Hampir separuh dari jumlah pasien memiliki gejala pada mata, beberapa di
antaranya adalah proptosis (dari retroorbital pseudotumor), conjunctivitis,
dacryocystitis, scleritis, dan cavernous sinus thrombosis.

Sistem Organ Yang Terserang Pada Wegener Granulomatosis


Sistem Organ Keberadaan (%) Tingkat Serangan (%)
Paru-paru 71 95
Sinus 67 90
Ginjal 51 85
Persendian 44 67
Hidung 33 64
Telinga 25 61
Mata 16 58
Kulit 15 45

Gejala yang kurang lazim pada Wegener’s granulomatosis termasuk artralgia (artritis
jarang ditemukan), nodul pada kulit, purpura yang sangat jelas, granulomatous
prostatitis, dan parotitis. Mononeuritis multiplex terlihat pada <15% dari jumlah
pasien, gejala lain termasuk cranial neuropathy (II, V, VII, IX, XII) dan
polyneuropathy.

Pengujian Diagnosis:

122
Kebanyakan pasien menunjukkan normochromic normocytic anemia, lekositosis
tanpa eosinofilia, laju endap darah meningkat, hypergammaglobulinemia, dan kadar
komplemen normal.
- ANCA:
Sebuah pemeriksaan untuk pasien penderita Wegener’s granulomatosis merupakan
gambaran antibody antineutrophil cytoplasmic atau ANCA. Antibodi ini mengikat
proteinase-3, sebuah enzyme cytoplasmic. Menurut perkembangan penyakit, 50%
hingga 90% dari jumlah pasien penderita Wegener’s granulomatosis positif
terhadap tes C-ANCA. Pengujian ini relatif spesifik karena C-ANCA tidak lazim
ditemukan dalam penyakit-penyakit yang lain. Dalam konteks gejala klinis,
banyak ahli menggunakan keberadaan C-ANCA sebagai monitor diagnostik dan
pengobatan. Konsentrasi C-ANCA sangat bervariasi tergantung perkembangan
penyakit, beberapa pasien terajadi penurunan konsentrasi C-ANCA akibat terapi
yang berhasil dilaksanakan, dan konsentrasi meningkat dengan aktivitas penyakit
yang aktif kembali, tetapi bagaimanapun, aktivitas Wegener’s granulomatosis
tidak dapat hanya sepenuhnya digambarkan dengan mengikuti konsentrasi C-
ANCA.

Diagnosis Banding:
Sindroma paru-paru atau ginjal yang lainnya, seperti pada Goodpasture’s syndrome,
bacterial endocarditis sub akut, dan SLE, merupakan diagnosis yang harus
dibedakannya. Serangan pada saluran pernafasan bagian atas mungkin menyerupai
polychondritis yang membaik dan granuloma tahap pertengahan. Bentuk Wegener’s
granulomatosis pada paru-paru menunjukkan sarkoidosis atau vaskulitis (misalnya
Churg-Strauss syndrome), proses infeksi granulomatous (misalnya tuberculosis,
histoplasmosis, blastomycosis), dan penyakit neoplastic (misalnya limfomatoid
granulomatosis, limfoma).

Diagnosis:
Wegener’s granulomatosis dapat di-diagnosis dengan beberapa cara. Pemeriksaan
histopathologi dari granulomatous vasculitis pada contoh biopsi saluran pernafasan
menghasilkan diagnosis yang tepat. Contoh-contoh biopsi pada paru-paru sebaiknya
didapatkan dengan biopsi paru-paru terbuka daripada transbronchially karena cara
kedua diagnosis ini yang mempunyai hasil lebih rendah dan mungkin terjadi

123
pendarahan yang tidak terkendali. Biopsi ginjal jarang bersifat diagnostik atau
spesifik untuk Wegener’s granulomatosis dapat mendukung diagnosis dan tergantung
pada gejala lain pada organ tubuh yang terkena. ACR memiliki kriteria penggolongan
formulasi yang dapat membedakan pasien penderita Wegener’s granulomatosis dari
pasien lain dengan jenis vasculitis yang lain (tabel dibawah)
Seorang pasien dapat digolongkan mengidap Wegener’s granulomatosis apabila
ditemukan dua kriteria atau lebih (sensitifitas, 88,2%; spesifisitas, 92%).

Terapi:
Sebelum penggunaan obat-obatan immunomodulator, Wegener’s granulomatosis
biasanya merupakan sebuah penyakit yang fatal dengan tingkat bertahan hidup sekitar
6 bulan dan lebih 80% akan meninggal dalam waktu satu tahun. Pemberian
prednisone yang diperpanjang menyebabkan tingkat bertahan hidup hingga kira-kira
satu tahun. Sebelumnya, standar perawatan juga termasuk penggunaan obat-obatan
cytotoxic, sebagian cyclophosphamide, dengan tingkat kesembuhan yang memanjang
melebihi 90%.
Terapi biasanya termasuk corticosteroids dosis tinggi (contohnya 1 mg/kg/hari
prednisone) dalam penggabungan dengan cyclophosphamide pada dosis 1 hingga 2
mg/kg/hari. Pemberian intravenous cyclophosphamide tidak menunjukkan perbedaan
sebagaimana dosis oral harian.
Bilamana penyakit berkembang baik, dosis prednisone dapat dikurangi. Pada
umumnya, cyclophosphamide dilanjutkan paling tidak dalam satu tahun setelah
penyakit tidak menyebar. Untuk pasien yang tidak memberikan respon, atau tidak
dapat menerima terapi dengan cyclophosphamide, MTX bisa dan sudah berhasil
digunakan. Dalam laporan tidak resmi, trimethoprim/sulfamethoxazole dilaporkan
memiliki nilai yang mungkin dapat digunakan dalam merawat Wegener’s
granulomatosis, khususnya ketika terbatas pada saluran pernafasan bagian atas.
Perawatan jangka panjang dengan pengurangan antibiotik dapat sedikit memperbaiki
aktivitas penyakit. Tetapi bagaimanapun, terapi ini tidak seharusnya dipertimbangkan
sebagai pengganti terapi immunomodulatory pada pasien penderita Wegener’s
granulomatosis aktif. Penggunaan penghambat TNF masih diteliti.

Penggolongan Kriteria Rematologi Untuk Wegener’s Granulomatosis Tahun


1990 Dari American College Rheumatology

124
Kriteria Uraian
1. Peradangan hidung/mulut Pemborokan mulut atau purulent atau hidung
2. Sinar-x dada tidak normal mimisan
3. Hematuria Sinar-x dengan gumpalan, lubang, atau
4. Radang Granulomatous perembesan
Microhematuria (>5 RBC/hpf) atau sel darah
merah
Perubahan histologi pada contoh biopsi yang
menunjukkan peradangan granulomatous dalam
dinding arteri atau pada daerah perivascular

Prognosis:
Secara umum Wegener granulomatosis dapat kambuh, tapi lebih 45% dari jumlah
pasien yang dirawat mengalami kesembuhan; waktu perawatan menuju kesembuhan
adalah 42 bulan. Peluang sembuh tidak pasti, dengan demikian, semua pasien
sebaiknya ditindaklanjuti sampai sembuh. Adanya kasus kambuhan menambah faktor
kecacatan dan kematian. Pemberian kortikosteroid harus diperhatikan efek samping
misalnya diabetes, keretakan tulang , osteonekrosis, osteoporosis, katarak.Pemakaian
cyclophosphamide mempunyai efek samping, misalnya rambut rontok, hemorrhagic
cystitis, kanker kantong kemih, myelodysplasia.
Kematian biasanya berkaitan dengan penyakit gagal ginjal atau paru-paru, infeksi,
atau timbulnya keganasan.

125
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci AS, Haynes BF, Katz P, et al. Wegener’s granulomatosis: prospective clinical and
therapeutic experience with 85 patients for 21 years. Ann Intern Med 1983; 98: 76-85.
2. Hoffman GS, Kerr GS, Leavitt RY, et al. Wegener’s granulomatosis: an analysis of 158
patients. Ann Intern Med. 1992; 116: 488-498.
3. Langford CA. Wegener’s granulomatosis: current and upcoming therapies. Artritis Res Ther
2003; 5:180-191.
4. Leavitt RY, Fauci AS, Bloch DA, et al. The American College of Rheumatology 1990 criteria
for the classification of Wegener’s granulomatosis. Artritis Rheum 1990; 33: 1101-1107.
5. Regan MJ, Hellmann DB, Stone JH. Treatment of Wegener’s granulomatosis. Rheum Dis Clin
North Am 2001; 27: 863-886.
6. Talar-Williams C, Hijazi YM, Walther MM, et al. Cyclophosphamide-induced cystitis and
bladder cancer in patients with Wegener’s granulomatosis. Ann Intern Med 1996; 124: 477-
484.

126
PENUTUP

Alhamdulillahirobbil’alamin, selesai sudah buku jilid III Reumatologi Praktis,


klinis, diagnosis, dan terapi dalam waktu yang tidak terlalu lama dari buku yang
sebelumnya. InsyaAllah penulis akan berusaha untuk terbitnya buku-buku yang lain
dalam bidang reumatologi dengan edisi yang disesuaikan terhadap perkembangan
reumatologi terkini. Harapan yang besar dari para pembaca untuk merespon positif
buku praktis ini, yang penulis meyakini masih jauh dari kualitas yang baik dan
lengkap, tapi semoga bermanfaat bagi perkembangan pelayanan dalam bidang
reumatologi
Semoga terbitnya buku ini tercatat oleh bangsa sebagai andil di bidang ilmiah
kedokteran dan yang lebih penting dicatat Allah SWT sebagai amal ilmiah yang tiada
putusnya
Semoga Allah SWT meridloi kita semua

Penulis

127

Anda mungkin juga menyukai