Anda di halaman 1dari 23

Referat

Tatalaksana Rheumatoid Arthritis

Disusun Oleh :
Meliaranti Thesya
H1AP20018

Pembimbing :
dr. Zaini Dahlan, Sp.PD., FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN PENYAKIT DALAM TERINTEGRASI
RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Meliaranti Thesya


NPM : H1AP20018
Fakultas : Kedokteran
Judul : Rheumatoid Arthritis
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam
Pembimbing : dr. Zaini Dahlan, Sp.PD., FINASIM

Bengkulu, 2 Juni 2021


Pembimbing

dr. Zaini Dahlan, Sp.PD., FINASIM


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus,
Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Zaini Dahlan, Sp.PD., FINASIM sebagai pembimbing utama yang
telah bersedia membimbing penulis, meluangkan waktu, dan telah
memberikan masukan-masukan, dan petunjuk serta bantuan dalam
penyusunan tugas ini.
2. Teman-teman koas penyakit dalam yang telah memberikan bantuan baik
material maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun referat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, maka
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis sangat
berharap agar referat ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bengkulu, 2 Juni 2021


Penulis

Meliaranti Thesya
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iv
DAFTAR TABEL............................................................................................................v
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................1
2. Rheumatoid Arthritis.................................................................................................1
2.1. Definisi................................................................................................................1
2.3. Manifestasi Klinis...............................................................................................4
2.4. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................5
2.5. Diagnosis.............................................................................................................5
2.6. Tatalaksana..........................................................................................................7
2.7. Prognosis...........................................................................................................12
BAB III. KESIMPULAN...............................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis Menurut American College of Rheumatology


(ACR).......................................................................................................................7
Tabel 2.2. DMARD untuk Terapi RA...................................................................11
BAB I. PENDAHULUAN

Penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui dan ditandai oleh


sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan
jaringan ekstraartikular merupakan Rheumatoid Arthritis (RA). Perjalanan
penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian
besar kasus perjalananya kronik fluktuatif yang mengakibatkan kerusakan sendi
yang progresif, kecacatan dan bahkan kematian dini.1,2
Insiden dan prevalensi penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan
lainya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar
1% pada kaukasia dewasa; Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar
0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar
1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-
50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000.3-4 Di Indonesia dari hasil
survey epidemiologi di Bandung dan Jawa Tengah didapatkan prevalensi RA 0,3
%,5 sedang di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan
prevalensi RA 0,5 % di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten.6 Di
Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000
kasus baru Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru.
Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan 9% dari seluruh kasus
reumatik baru pada tahun 2000-2002.4
Dalam referat ini, penulis merangkum wawasan tentang penyakit
Rheumatoid Arthritis (RA) serta panduan klinis maupun tatalaksananya.

1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2. Rheumatoid Arthritis
2.1. Definisi
Penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui secara pasti dan
ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai
keterlibatan jaringan ekstra artikular merupakan Rheumatoid Arthritis (RA).1 Kata
arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang artinya sendi, dan “itis” yang
artinya peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Penyakit
RA terdiri dari 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Rheumatoid
arthritis merupakan penyakit autoimun pada persendian yang mengalami
peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri, dan seringkali menyebabkan
kerusakan pada bagian dalam sendi.2

2.2. Patogenesis
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun
komplek dan reaksi imunitas selular. Terjadi pembentukan faktor reumatoid, suatu
antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek
(autoimun). Proses autoimun dalam patogenesis dikatakan terjadi berbagai peran
yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran
imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan.
Semua peran ini, satu sama lainnya saling terkait dan pada akhirmya
menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau
mungkin organ lainnya. Sitokin merupakan protein mediator yang dapat
menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel dalam proses
keradangan. Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-
1, yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi
dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta
merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix
metalloproteases (MMPs).12
Sel B, sel T, dan sitokin proinflamasi berperan penting dalam patofisiologi
RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan

1
IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah
peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi.
Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen,
kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi
dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut
menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel
fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus
tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit
dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat
juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit
jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-
pituitaryadrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi. 13

Gambar 1.1. Patogenesis Rheumatoid Arthritis

Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan

2
di bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan
penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara
klinis sudah jelas, secara makro akan terlihat sinovium sangat edema dan
menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili. Secara mikro terlihat
hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan badan residual.
Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena,
penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA
kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan
tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang
mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena
adanya Pannus yang dapat dilihat pada gambar berikut.12

Gambar 2.2. Patogenesis Rheumatoid Arthritis

3
2.3. Manifestasi Klinis
Keluhan RA biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau
bulan. Sering kali pada keadan awal tidak menunjukkan gejala yang jelas.
Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi, dan keluhan
diluar sendi.3
1. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan. 3
2. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan
tangan, lutut, dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti
sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, dan pergelangan kaki. Kelainan tulang
belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari,
pembengkakan, dan nyeri sendi. 3

3. Kelainan diluar sendi


a. Kulit : nodul subkutan (nodul rematoid)
b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun
40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard.
c. Paru: kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan
kelainan pleura (efusi pleura dan nodul subpleura)
d. Saraf: berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering
terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan
gejala foot or wrist drop.
e. Mata: terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa
kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans
f. Kelenjar limfe: sindrom felty adalah RA dengan splenomegali,
limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan neutropenia. 3

4
2.4. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi: laju endap darah (LED) dan C-Reactive Protein
(CRP) meningkat.
b. Rheumatoid Factor (RF): 80% pasien memiliki RF positif namun RF
negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP): biasanya digunakan dalam
diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas
70%, namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak
konsisten.
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang
sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi
sendi.6

Gambar 2.3 Erosi dan fusi sendi

5
2.5. Diagnosis
Penyakit RA terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini. Hal ini
dikarenakan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil
pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa. Meskipun
demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis
RA dengan ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987
memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang digunakan dalam
mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik. Sebagai contoh IgM
Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan sensitivitas hanya 54%.9
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1
jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah
sendi atau lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu
pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal),
MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
4. Arthritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi
misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal),
atau MTP (metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan
atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi
yang terlibat
Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas
dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain kriteria diatas,
dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA berdasarkan skor dari American
College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti

6
menderita RA. Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin memenuhi kriteria RA
secara prospektif (gejala kumulatif) maupun retrospektif (dari ke empat domain
didapatkan dari riwayat penyakit).12

Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis Menurut American College of


Rheumatology (ACR/Eular)
Distribusi Sendi (0-5) Skor
1 sendi besar 0

2-10 sendi besar 1

1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 2

4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 3

Serologi (0-3)
RF negatif DAN ACPA negatif 0

Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA 2

Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA 3


Durasi Gejala (0-1)
<6 minggu 0

≥6 minggu 1
Acute Phase Reactant (0-1)
CRP normal dan LED normal 0

CRP abnormal atau LED abnormal 1

7
2.6. Tatalaksana
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan
pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas,
mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.10
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi.
NSAID yang dapat diberikan antara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen,
piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi
kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi. Aspirin atau asam
asetilsalisilat adalah sejenis obat turunan dari salisilat yang sering digunakan
sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri minor), antipiretik
(terhadap demam), dan anti-inflamasi (peradangan).  Ibuprofen adalah
turunan asam propionat yang mempunyai aktivitas antiinflamasi, analgesik, dan
antipiretik dengan mekanisme sebagai inhibitor non-selektif dari siklooksigenase
1 (COX-1) dan siklooksigenase 2 (COX-2). 14
Naproksen juga merupakan turunan asam propionat dengan efek
sampingnya relatif rendah. Piroksikam juga merupakan turunan asam propionat
dengan efek yang lebih panjang. Diklofenak merupakan obat golongan anti-
inflamasi nonsteroid (NSAID) dengan efek analgesik, antiinflamasi, dan
antipiretik. Diklofenak merupakan inhibitor COX yang relatif non spesifik. 14
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses
destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu:
hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, penisilamine, leflunomide,
cyclosporine dan azathioprine. DMARD dapat diberikan tunggal maupun
kombinasi. Hidroksiklorokuin membantu mengurangi peradangan yang terkait dengan
RA dan penyakit autoimun lainnya dengan menghambat sekresi sitokin, enzim lisosomal
dan fungsi makrofag. Methotrexate bekerja dengan mengubah cara sel imun dalam
memproses protein yang berperan dalam mengurangi peradangan. Sulfasalazine
merupakan kombinasi dari salisilate dan antibiotik. Sulfasalazin bekerja dengan

8
cara menekan timbulnya peradangan dengan menghambat sel B angiogenesis.
Azathioprine berfungsi mengobati pembengkakan sendi. Penicilamine bekerja
dengan menghambat sel Th dan angiogenesis. Cyclosporin bekerja dengan
menghambat sintesis IL-2 dan sitokin sel T lainnya. Leflunomide berkerja
dengan menghambat sintesis pirimidin. 14
3. DMARD biologik (bDMARD)
Pengobatan rheumatoid arthritis yang dirancang untuk menghambat
komponen spesifik sistem kekebalan tubuh yang memainkan peran penting dalam
peradangan. Contoh obat bDMARD yaitu: Adalimumab, Etanercept, Infliximab,
Cetrolizumab pegol (CDP870), Golimumab, Rituximab, dan Tocilizumab.15
TNF merupakan suatu sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh monosit
yang teraktivasi yg diupregulasi di sinovium pada RA yang aktif. Penghambatan
terhadap TNF telah dihubungkan dengan perbaikan gejala klinis dan juga
mengurangi progresifitas gambaran radiologi. ada lima agen biologi yang
kerjanya menghambat TNF yang telah digunakan dalam terapi RA yaitu:
Infliximab (INF), Etarnecept (ETN), Adalimumab (ADA), Golimumab (GLM)
dan Certolizumab (CMZ). 16
Infliximab merupakan obat golongan TNF inhibitor. Etarnecept yang
merupakan soluble dimer dari reseptor p75 TNF berikatan dengan komponen Fc
IgG1, yang fungsinya adalah mencegah TNF berikatan dengan sel. Etarnecept
juga mempunyai kemampuan menetralkan lymphotoxin (sebuah sitokin
proinflamasi yang berikatan dengan reseptor TNF p55 dan p75). Adalimumab
merupakan fully humanized antibodi monoklonal terhadap TNF. Golimumab juga
merupakan fully humanized antibody monoklonal terhadap TNF. Certolizumab
merupakan fully humanized antibodi monoklonal terhadap TNF, yang berikatan
dengan 2 molekul polyethylene glycol (PEG). Molekul PEG ini berfungsi untuk
meningkatkan waktu paruh certolizumab dan meningkatkan distribusi dari
certolizumab ke dalam jaringan inflamasi. Walaupun berbeda dengan penghambat
TNF lainnya karena tidak mempunyai komponen Fc, yang akibatnya pada
ketidakmampuan untuk membentuk kompleks imun dengan TNF, oleh karena itu
certolizumab tidak mengaktivasi proses lisis sel melalui prose complement-

9
dependent cell atau antibody-dependent toxicity. Certolizumab juga tidak dapat
membunuh sel dengan cara berikatan pada TNF.16
Tocilizumab merupakan fully humanized antibodi monoklonal yang
bekerja langsung pada resptor IL-6. IL-6 merupakan sitokin pleiotropik yang
dihasilkan oleh beberapa sel dan telah menunjukkan peranannya pada proses
inflamasi yang terjadi pada RA. IL-6 terlibat dalam proses differensiasi sel B
menjadi sel plasma dan sel T menjadi sel T sitotoksik, induksi differensiasi
osteoklast, aktivasi osteoklast, produksi reaktan fase akut khususnya C-reactive
protein (CRP). Semua proses ini berperan dalam terjadinya sinovitis dan destruksi
tulang pada RA. Proses inflamasi kronik pada RA dihubungkan dengan
peningkatan produksi IL-6 dan reseptor IL-6. Rituximab bekerja dengan
mengambat antibody antisel B (CD20). 17
4. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid yang mana berfungsi dengan menekan sistem
kekebalan tubuh sehingga dapat mengurangi peradangan dengan memberikan
kortikosteroid dalam jangka waktu sesingkat mungkin dan dosis serendah
mungkin yang dapat mencapai efek klinis. Dikatakan dosis rendah jika diberikan
kortiksteroid setara prednison < 7,5 mg sehari dan dosis sedang jika diberikan 7,5
mg – 30 mg sehari. 18
5. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui
pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri
berkurang dapat mulai dilakukan fisioterapi.19
6. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan,
maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya
sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya. Sinovektomi
radiasi adalah teknik terapi dengan cara penyuntikan sediaan radiofarmaka ke
daerah persendian. Arthrodesis merupakan tatalaksana bedah yang disebut
dengan fusi sendi. Bertujuan untuk menahan sendi secara permanen dalam posisi

10
tetap, dan memungkinkan tulang tumbuh di sepanjang sendi itu. Total Hip
Replacement (THR) merupakan tindakan operasi penggantian sendi hip, setelah
terjadinya kerusakan kronis pada acettabulum dan caput femur.14

Tabel 2.2. DMARD untuk Terapi RA

Obat Onset Dosis Keterangan


Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500 mg/hari/iu Digunakan sebagai lini
ditingkatkan setiap pertama
minggu hingga
4x500 mg/hari
Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 Diberikan pada kasus
mg/ minggu/IV lanjut dan berat. Efek
atau peroral samping: rentan infeksi,
12,517,5 mg/minggu intoleransi GIT,
dalam 8-12 minggu gangguan fungsi hati dan
hematologik

Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping: penurunan


tajam penglihatan, mual,
diare, dan anemia
hemolitik

Azathioprine 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan


hati, gejala GIT, dan
peningkatan TFH

D-penisilamin 3-6 bulan 250-750 mg/hari Efek samping: stomatitis,


proteinuria, dan rash

11
Leflunomide 4-12 100 mg/hari p.o Mual, diare, ruam,
minggu alopesia

Cyclosporine 2-4 bulan 2,5-5 mg/KgBB p.o Mual, parathesia, tremor,


per hari sakit kepala, hipertrofi
gusi

Tabel 2.3. DMARD biologi untuk Terapi RA

Obat Onset Dosis Efek samping


Adalimumab Beberapa 40 mg s.c setiap 2 Reaksi infus, peningkatan
hari ± 4 minggu risiko infeksi termasuk
bulan reaktifasi TB, gangguan
demyelinisasi

Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 Diberikan pada kasus


mg/ minggu/IV lanjut dan berat. Efek
atau peroral samping: rentan infeksi,
12,517,5 mg/minggu intoleransi GIT,
dalam 8-12 minggu gangguan fungsi hati dan
hematologik

Etanercept Beberapa 25 mg s.c dua kali per Reaksi ringan pada tempat
hari ± 12 minggu atau 50 mg s.c suntikan, kontraindikasi
minggu per minggu pada infeksi, demyelinisasi

Infliximab Beberapa 3 mg/KgBB i.v infus Reaksi infus, peningkatan


hari-4 bulan pelan pada minggu risiko infeksi termasuk
ke-0, 2 dan 6 reaktivasi TB, gangguan
kemudian setiap 8 demyelinisasi
Golimumab 16 minggu minggu
50 mg atau 100 mg s.c Infeksi Tb,demielinisasi
setiap 2 atau 4 minggu saraf

12
Rituximab 3 bulan 1000 mg setiap 2 Reaksi infus, aritmia
minggu x 2 dosis jantung, hipertensi,
reaktivasi hepatitis B

2.7. Prognosis
Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan ditentukan dari ketaatan
pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga tujuh
puluh lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun.
Selebihnya dengan prognosis yang lebih buruk. Kejadian mortalitas juga
meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan mereka yang tidak mengalami
RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang berat, kematian
dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas, gagal ginjal, dan
gangguan saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami hendaya dalam 10
tahun ke depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala
awal menunjukkan hasil remisi yang lebih baik. Indikator prognostik buruk
berupa banyak sendi yang terserang, LED dan CRP tinggi, RF (+) tinggi dan anti
CCP (+), erosi sendi pada awal penyakit dan sosial ekonomi rendah.7

13
BAB III. KESIMPULAN

Rheumatoid arthritis merupakan suatu penyakit autoimun pada


persendian mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri, dan
seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam. Diagnosis RA
berdasarkan skor dari American College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010.
Ditegakkan bila ditemukan jika skor ≥6. Pengobatan terhadap RA mencakup
terapi farmakologi, rehabilitasi dan pembedahan.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Rheumatology Ad Hoc Commitie on Clinical


Guidelines. Guidelines for the management of Rematoid arthritis. Arthritis
Rheum 1996; 39: 713 –31.
2. American College of Rheumatology Subcommittee on Rematoid Arthritis
Guidelines. Guidelines for the Management of Rematoid Arthritis 2002
Update. Arthrits Rheum 2002; 46: 328-46.
3. Silman AJ, Hochberg MC. Descriptive epidemiology of Rematoid arthritis.
Dalam: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH
(eds). Rematoid Arthritis. Mosby: Philadelphia. 2009; 15-22
4. Tobon GJ, Youinou P, Saraux A. The environment, geo-epidemiology, and
autoimmune disease: Rematoid arthritis. J Autoimmun 2010; 35(1): 10-4
5. Darmawan J. Rheumatic condition in the northern part of Central Java. An
epidemiological survey. 1988: 97-111.
6. Kalim H. Pengembangan reumatologi dalam menjawab tantangan masalah
kesehatan pada pembangunan jangka panjang tahap II. Pidato pengukuhan.
1994 : 4-6.
7. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan
Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
punan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan Artritis
Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN.
8. Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid
Arthritis Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo.
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
9. Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

15
10. Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment.
The Journal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12.
11. Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta:
Media Aesculapius, pp 835-839.
12. Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
13. Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The
Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of
the British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11.
14. Guo, Q., Wang, Y., Xu, D., Nossent, J., Pavlos, N. J., & Xu, J.
(2018). Rheumatoid arthritis: pathological mechanisms and modern
pharmacologic therapies. Bone Research, 6(1). doi:10.1038/s41413-018-
0016-9.
15. Bykerk VP, Akhavan P, Hazlewood GS, Schieir O, Dooley A, Haraoui B, et
al. Canadian Rheumatology Association recommendations for
pharmacological management of rheumatoid arthritis with traditional and
biologic diseasemodifying antirheumatic drugs. J Rheumatol.
2012;39:1559±82.
16. Fleischmann R, van Vollenhoven RF, Smolen JS, et al. Long-Term Outcomes
of Early Rheumatoid Arthritis Patients Initiated with Adalimumab Plus
Methotrexate Compared with Methotrexate Alone Following a Targeted
Treatment Approach. Arthritis Rheum. 2012;64(Suppl):S335±6.
17. Smolen JS, Kay J, Doyle MK, Landewé R, Matteson EL. Golimumab in
patients with active rheumatoid arthritis after treatment with tumor necrosis
factor alpha inhibitors (GO-AFTER study): a multicentre, randomised,
double-blind, placebo-controlled, phase III trial. Lancet. 2009;374:210±221.
18. SIGN (Scottish Intercollegiate Guidelines Network). 2011. Management of
Eraly Rheumatoid Arthrtis : A national clinical guideline. Hal 7-12.
19. Vlie Vlieland TPM. Rehabilitation of people with rheumaroid arthritis.Best
Practise and Research. Clinical Rheumatology.2003; 17(5):847-861.

16
17

Anda mungkin juga menyukai