Anda di halaman 1dari 8

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF

DAN MANAJEMEN NYERI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
TUGAS TAMBAHAN

Perioperatif Pasien dengan Riwayat Hipertensi dan Pertimbangan Obat


Hipertensi
TERAPI CAIRAN,terhadap
ELEKTROLITPembiusan
DAN METABOLIK

Oleh :
Fiqih Eka Putra
C135221012

Pembimbing :
Dr. Syafruddin Gaus, Ph.D, Sp.An-TI, Subsp.MN(K), Subsp.N.An(K)

DIKERJAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
Perioperatif Pasien dengan Riwayat Hipertensi

Hipertensi adalah kondisi yang umum pada pasien yang akan menjalani
pembedahan. Hipertensi dijumpai pada sepertiga pasien dewasa yang
menjalani prosedur bedah non-kardiak dan dua pertiga pasien yang
menjalani revaskularisasi koroner. Hipertensi adalah keadaan di mana
tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
lebih dari 90 mmHg

Patofisiologi Hipertensi

Penyebab hipertensi dikategorikan menjadi dua, yaitu idiopatik (esensial)


atau sekunder karena Penyakit lain seperti penyakit ginjal, stenosis arteri
renalis, hiperaldosteronisme primer, penyakit Cushing, akromegali,
feokromositoma, kehamilan, atau terapi estrogen. Hipertensi esensial
merupakan penyebab dari 8046 hingga 9546 kasus dan mungkin
berhubungan dengan peningkatan nilai dasar curah jantung, resistensi
vaskular sistemik, atau keduanya.

Pada hipertensi yang disebabkan peningkatan resistensi vaskular sistemik,


fungsi diastolik jantung dapat terganggu akibat hipertrofi ventrikel kiri.
Kerusakan organ akhir yang ireversibel juga dapat terjadi akibat
terjadinya remodelling arteri besar dan kecil serta disfungsi endotel.
Beberapa organ akhir yang sering terlibat pada hipertensi lanjut adalah
susunan saraf pusat, pembuluh darah, jantung, dan ginjal
MANAJEMEN ANESTESI

1. Manajemen Prabedah

Pasien hipertensi yang tidak diobati atau pada pasien dengan


hipertensi yang kurang terkontrol cenderung memiliki
peningkatan risiko intrabedah berupa iskemia miokardia, aritmia,
atau bahkan ketidakstabilan hemodinamik. Meskipun demikian,
hipertensi moderat prabedah (tekanan diastolik »90 - 110 mm Hg),
pada beberapa penelitian, tidak memiliki hubungan statistik yang
jelas terkait terjadinya komplikasi pascabedah.

Pada pasien hipertensi dengan tekanan sistolik «180 mmHg atau


diastolik «110 mmHg, tidak didapatkan manfaat jika pembedahan
ditunda untuk mengoptimalkan terapi hipertensinya dulu. Alasan
penundaan pembedahan biasanya karena tekanan darah tidak
terkontrol dengan sistolik >180 mmHg atau diastolik >110
mmHg, adanya kerusakan endorgan yang belum diterapi, dan
hipertensi sekunder yang belum jelas penyebabnya.

Obat antihipertensi harus dilanjutkan hingga saat operasi, kecuali


pada kasus tertentu. Masih terdapat kontroversi perlunya obat
ACE inhibitor dan ARB dihentikan atau diteruskan pada hari
operasi. Penggunaan ACE inhibitor dan ARB sering dihubungkan
dengan peningkatan insiden hipotensi intrabedah. Penghentian
pemakaian ACE inhibitor dan ARB berhubungan dengan
peningkatan risik terjadinya hipertensi perioperatif dan
peningkatan kebutuhan obat antihipertensi parenteral. Idealnya
yang diperbolehkan menjalani bedah elektif hanya pasien-pasien
yang berhasil mencapai normotensi, namun dalam mencapai
kondisi tersebut dalam waktu Singkat tidak selalu memungkinkan
atau bahkan tidak diinginkan, terutama pada pasien hipertensi
yang sudah mengalami perubahan otoregulasi serebral.

Obat a2 agonis seperti klonidin tidak direkomendasikan untuk


dilanjutkan hingga saat operasi karena dapat menyebabkan
hipotensi dan kurang bermanfaat dalam mengurangi risiko infark
miokardia perioperatif. Golongan calcium channel blocker
bermanfaat dalam mengurangi iskemia dan mencegah terjadinya
takikardi supraventrikel perioperatif. Namun, hati-hati
pemberiannya pada pasien yang sudah mengalami gagal jantung,
karena diltiazem dan verapamil memiliki efek inotropic negatif."
Pasien dengan hipertensi juga sering mendapat terapi diuretik,
secara umum dapat dilanjutkan pemberiannya selama perioperatif.
Namun, harus diperhatikan bila disertai dengan imbalans
elektrolit, hipovolemia dan hipotensi.
a. Riwayat Pasien
Dalam anamnesis perlu ditanyakan derajat dan durasi
hipertensi, terapi obat yang saat ini diberikan, dan ada atau
tidaknya komplikasi hipertensi. Komplikasi yang
ditanyakan menyangkut gejala organ akhir yang sering
terlibat pada hipertensi lanjut, antara lain ada tidaknya
gejala nyeri dada, bagaimana toleransi pasien terhadap
aktivitas tertentu, sesak napas (terutama pada malam hari),
edema, rasa melayang saat perubahan posisi, syncope,
gangguan visual episodik atau gejala neurologis episodik,
dan ada tidaknya claudicasio.

b. Pemeriksaan Fisis dan Evaluasi Laboratorium


Pemeriksaan tekanan darah dapat dilakukan dengan posisi
duduk dan berdiri. Adanya perbedaan tekanan darah pada
posisi berdiri dan duduk dapat disebabkan oleh Penurunan
volume, vasodilatasi berlebihan, atau terapi obat
simpatolitik. Bising karotid asimtomatik sering
berhubungan dengan arterosklerosis pada sirkulasi
koroner, sehingga perlu penyelidikan lebih lanjut.
Perubahan vaskularisasi retina, yang diamati dengan
ophthalmoscope, biasanya juga sebanding dengan derajat
keparahan dan perkembangan arteriosklerosis serta
kerusakan akibat hipertensi di organ lain. Pada
pemeriksaan jantung dapat ditemukan suara gallop S4 pada
pasien dengan LVH (left ventricular hypertrophy). Gagal
jantung kongestif dapat dijumpai bila ditemukan adanya
suara gallop disertai ronkhi
basah paru.

Fungsi ginjal dievaluasi dengan mengukur kadar kreatinin


serum. Pada pasien yang mengonsumsi diuretik dan
digoxin serta pada pasien dengan gangguan ginjal,
pemeriksaan konsentrasi elektrolit serum kalium (K') harus
dilakukan. Hipokalemia ringan sampai sedang (3-3,5
mEg/L) sering terjadi pada pasien yang mengonsumsi
diuretik, dan tidak memiliki efek samping yang merugikan.
Substitusi kalium harus diberikan pada pasien hipokalemia
simtomatik atau pada pasien yang mengonsumsi diuretik
Bersama dengan digoxin. Hiperkalemia dapat ditemukan
pada pasien yang mengonsumsi obat diuretik yang hemat
kalium atau obat ACE inhibitor, terutama pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Hipomagnesemia sering
muncul pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal dan mungkin menjadi
penyebab terjadinya aritmia perioperatif.

c. Premedikasi
Midazolam dapat diberikan untuk mengurang kecemasan
prabedah pada pasien denga hipertensi. Hipertensi
prabedah ringan sampa sedang sering hilang setelah
pemberian premedikasi.

2. Manajemen Intrabedah
a. Tujuan
Anestesi selama periode intrabedah harus dapat menjaga
kestabilan tekanan darah selama periode intrabedah.
Tekanan darah arteri biasanya harus dijaga dalam kisaran
20% dari tekanan darah prabedah. Target tekanan darah
disesuaikan dengan kondisi pasien. Pasien dengan
hipertensi yang lama atau tidak terkontrol dengan baik
membutuhkan rerata tekanan darah intraoperasi yang lebih
tinggi dari tekanan darah normal

b. Pemantauan
Mayoritas pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan
intrabedah khusus. Pemantauan elektrokardiografi harus
difokuskan untuk mendeteksi tanda-tanda iskemia. Output
urine dipantau melalui pemasangan kateter urine, terutama
pada pasien dengan riwayat gangguan ginjal atau yang
akan menjalani prosedur operasi dengan durasi lebih dari 2
jam. Pemantauan tekanan intra-arteri invasif harus
dilakukan pada pasien dengan kemungkinan perubahan
tekanan darah yang besar intraoperasi dan pada pasien
yang menjalani prosedur bedah mayor di mana dapat
terjadi perubahan signifikan preload atau afterload jantung.

c. Induksi

Induksi anestesi dan intubasi endotrakea sering dikaitkan


dengan ketidakstabilan hemodinamik pada pasien
hipertensi. Pasien hipertensi dapat mengalamiagen tunggal.
Stimulasi simpatis dan hipertensi yang dicetuskan ketamin
dapat berkurang atau menghilang bila ketamin diberikan
bersamaan dengan benzodiazepin atau propofol.

Anestesi dapat dipertahankan agar aman dengan


menggunakan anestesi inhalasi atau intravena. Bila perlu,
dapat diberikan penambahan dosis anestetik inhalasi atau
vasodilator untuk mengendalikan tekanan darah
intrabedah.

c. Manajemen Pascabedah

Hipertensi pascabedah adalah hal yang sering terjadi dan harus


diantisipasi pada pasien yang memiliki tekanan darah dasar yang
kurang terkontrol. Hipertensi yang terjadi pada periode pemulihan
dapat disebabkan gangguan pernapasan, kecemasan dan rasa sakit,
overload cairan, distensi kandung kemih, atau kombinasi dari hal
tersebut. Hipertensi pascabedah dapat menyebabkan hematoma
pada luka dan gangguan jahitan pembuluh darah vaskular.
Pemantauan tekanan darah secara seksama harus dilakukan baik di
unit perawatan pascaanestesi dan selama periode awal
pascabedah. Bila dijumpai hipertensi pascabedah, factor penyebab
harus dikoreksi dan obat antihipertensi parenteral harus diberikan
jika diperlukan. Apabila pasien telah kembali mendapat asupan
oral, maka obat antihipertensi prabedah harus dimulai kembali.

Anda mungkin juga menyukai