Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang kardiovaskular


yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat.1 Hipertensi krisis ditandai dengan
peningkatan tekanan darah secara akut dan sering berhubungan dengan gejala
sistemik yang merupakan konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini
merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan hipertensi dan
menyebabkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam
jiwa.2
Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien
hipertensi krisis. Dari 60 juta penduduk Amerika Serikat 30% diantaranya
menderita hipertensi dan hampir 1 – 2% akan berlanjut menjadi hipertensi krisis
disertai kerusakan organ target. Data mengenai hipertensi krisis di Indonesia
masih belum banyak diteliti, namun studi Multinational Monitoring of Trends and
Determinants in Cardiovacular Disease (Monica) yang dilakukan di Jakarta pada
tahun 1988 menempatkan hipertensi sebagai faktor risiko utama kejadian
kardiovaskular.2
---------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Terdapat perbedaan beberapa penulis mengenai terminologi peningkatan
tekanan darah secara akut. Terminologi yang paling sering dipakai adalah :
Hipertensi urgensi (mendesak) yaitu peningkatan tekanan darah sistolik >
180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg secara mendadak tanpa disertai kerusakan
organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24
jam dengan memberikan obat – obatan anti hipertensi oral. Hipertensi emergensi
(darurat) yaitu peningkatan tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau diastoik >
120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ terget. Hipertensi
emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam satu jam dengan
memberikan obat – obatan anti hipertensi intravena.1,3,4
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis antara lain.3
1. Hipertensi refrakter: respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan
darah > 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif
(triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.

2. Hipertensi akselerasi: peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg


disertai dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut
ke fase maligna.

3. Hipertensi maligna: penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah


diastolik > 120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai

2.2. Etiologi dan Patofisiologi


Faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum
dipahami. Peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi
vaskular dipercaya menjadi penyebab.4,5 Peningkatan tekanan darah yang
mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol
kemudian berdampak pada kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan
kerusakan fungsi autoregulasi.1
2.3. Mekanisme Autoregulasi
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap
kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi
terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi
pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika
tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran
darah orak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60 – 70
mmHg.6 Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan
mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah
yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan
manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop.3
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskuar dan usia tua, batas
ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva,
sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih
inggi (lihat gambar 02).3

Gambar 02. Kurva autoregulasi pada tekanan darah.

Straagaard pada penelitiaanya mendapatkan MAP rata-rata 113 mmHg pada


13 penderita hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan 73 mmHg pada orang
normotensi. Penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara
group normotensi dan hipetensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi
terkontrol cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal.3
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun
hipertensi, diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira –
kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi
krisis, penurunan MAP sebanyak 20 – 25% dalam beberapa menit atau jam,
tergantung dari apakah emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada
penderita diseksi aorta akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri
dilakukan dalam tempo 15 – 30 menit dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan
hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan tekanan
darah 25% dalam 2 – 3 jam. Untuk pasien dengan infak serebri akut ataupun
perdarahn intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6 – 12
jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170 – 180/100
mmHg.3

2.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubunga dengan kerusakan organ target
yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda – beda setiap pasien. Sakit
kepala, perubahan tingkat kesadaran dan atau tanda neurologi fokal bisa terjadi
pada pasien dengan hipertensi ensefalopati. Pada pemeriksaan fisik pasien bisa
saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi
maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular
bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal
jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan
oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi.5
Gambar 03. Papiledema. Perhatikan adanya pembengkakan dari optik disc
dengan margin kabur.8
Hipertensi Urgensi (mendesak).3
Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg, tetapi
dengan minimal atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak
dijumpai keadaan pada tabel 03.
1. Funduskopi KW I atau KW II
2. Hipertensi post operasi
3. Hipertensi tak terkontrol/tanpa diobati pada perioperatif

Tabel 03. Hipertensi emergensi (darurat).3


Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg disertai
dengan satu atau lebih kondisi akut berikut:
1. Perdarah intra kranial atau perdarahan subaraknoid
2. Hipertensi ensefalopati
3. Diseksi aorta akut
4. Oedema paru akut
5. Eklamsi
6. Feokhromositoma
7. Funduskopi KW III atau IV
8. Insufisiensi ginjal akut
9. Infark miokard akut
10. Sindrom kelebihan katekolamin yang lain: sindrom withdrawal
obat anti hipertensi.

2.5. Pendekatan Diagnosis


Kemampuan membedaan antara hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat
dilakukan dengan cepat dan segera agar dalam penatalaksaan tidak terlambat yang
berakibat peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien.1
Catatan riwayat penyakit harus dilaporan untuk mengetahui kegawatan
hipertensi, obat – obatan yang diminum terakhir baik yang diresepkan oleh dokter
maupun tidak terutama obat – obatan monoamine oxidase inhibitors, kokain,
amfetamin dan phencyclidine. Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit
kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi. Tanda – tanda neurologik harus
diperiksa seperti sakit kepala dan kejang.1
Pemeriksaan laboratorium seperti hitung jenis, elektrolit, kreatinin dan
urinalisa harus disertakan pada pasien hipertensi krisis. Foto thorax, EKG dan
CT-scan kepala sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesak nafas,
nyeri dada atau perubahan neurologis. Pada keadaan gagal jantun kiri dan
hipertrofi ventrikel kiri pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan. 1 Berikut
adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi:

Gambar 04. Alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi.1,4

2.6. Penatalaksanaan
1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi
tidak membutukan obat-obatan parenteral. Pemberan obat-obatan oral aksi cepat
akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal
(Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%). Pada fase
awal goal standar penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110
mmHg.1,4
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral mauun oral bukan tanpa
resiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral anti
hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami
hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral
merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.1,4

B. Obat – obatan spesifik untuk hipertensi urgensi


 Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE)
inhibitor dengan onset mulai 15 – 30 menit. Captopril dapat diberikan 25
mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50 – 100 mg setelah
90 – 120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi,
hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan
stenosis pada arteri renal bilateral).4

 Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering


digunakan pada psien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang
dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi urgensi secara random
terhadap penggunaan nicardipin atau plasebo. Nicardipin memiliki
efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan plasebo yang mencapai 22%
(P=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap
8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang
sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.4

 Labetolol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan


memiliki waktu kerja mulai antara 1 – 2 jam. Dalam penelitian labetolol
memiliki dose range yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam
penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap group
ada yang diberikan dosis 100, 200 dan 300 mg secara oral dan
menghasilkan penurunan tekan darah sistolik dan diastolik secara
signifikan. Secara umum labetolol dapat diberikan mulai dari dosi 200 mg
secara oral dan dapat diulangi setiap 3 – 4 jam kemudian. Efek samping
yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala.4

 Clonidin adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergic


receptor agonist) yang memiliki onset kerja antara 15 – 30 menit dan
puncaknya antara 2 – 4 jam. Doasi awal bisa diberikan 0,1 – 0,2 mg
kemudian berikan 0,05 – 0,1 setiap jam sampai tercapainya tekanan darah
yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. efek samping yang sering
terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.4

 Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak


kerja antara 10 – 20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh
FDA untuk terapi hipertensi urgensi kerana dapat menurunkan tekanan
darah yang mendadak dan tidak dapat diperidisikan sehingga berhungan
dengan kejadian strok. Pada tahun 1995 National Heart, Lung, and Blood
Institute meninjau kembali bukti keamanan tentang penggunaan obat
golongan Ca channel blocker terutama nifedipine kerja cepat harus
digunakan secara hati-hati terutama pada penggunaan dosis besar untuk
terapi hipertensi.4

2.7. Prognosis
Sebelum ditemukannya obat anti-hipertensi yang efektif harapan hidup
penderita hipertensi maligna kurang dari 2 tahun, dengan penyebab kematian
tersering adalah strok, gagal ginjal dan gagal jantung.[11] Kematian disebabkan
oleh uremia (19%), gagal jantung kongestif (13%), cerebro vascular accident
(20%), gagal jantung kongestif disertai uremia (48%), infark miokard (1%) dan
diseksi aorta (1%). Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang
efektif dan penanggulangan yang tepat pada dekade terakhir.3

BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang kardiovaskular
yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi emergensi (darurat),
yaitu peningkatan tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg
secara mendadak disertai kerusakan organ terget sedangkan hipertensi urgensi
(mendesak), yaitu peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi
namun tanpa disertai kerusakan organ target.
Faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum
dipahami. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas
endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol kemudian berdampak pada kerusakan
vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi
tidak membutukan obat-obatan parenteral. Pemberan obat-obatan oral aksi cepat
akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal
(Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%). Terapi
hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan
organ target. Managemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral
secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring
tekanan darah bisa dikonrol dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal
penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi Penurunan Mean Arterial
Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2 – 3 jam berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rampengan SH. Krisis Hipertensi. Hipertensi Emergensi dan Hipertensi
Urgensi. BIK Biomed.2007. Vol.3, No.4 :163-8.
2. Saguner AM, Dür S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE, et al. Risk Factors
Promoting Hypertensive Crises: Evidence From a Longitudinal Study. Am J
Hipertensi 2010. 23:775-780.
3. Majid A. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. USU Digital Library
[database on the internet] 2004. [cited February 2013, 21]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1999/1/ fisiologi-abdul % 20
majid.pdf.
4. Vaidya CK, Ouellette JR. Hypertensive Urgency and Emergency. Hospital
Physician Article [article on the internet] 2007. [cited February 22, 2013]. pp.
43 – 50. Available from: http://www.turner-white.com/memberfile. php?
PubCode=hp_mar07_hypertensive.pdf.
5. Varon J, Marik PE. Clinical Review: The Management of Hypertensive crises.
Critical Care Journals [data base on the internet] 2003. [cited on February 21,
2003]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/
articles/PMC270718/pdf/cc2351.pdf.
6. Immink RV, Born BH, Montfrans GA, Koopmans RP, Karemaker JM, et al.
Impaired Cerebral Autoregulation in Pasient with Malignant Hypertension.
Journal of the American Heart Association [database on the internet] 2004.
[cited February 24, 2013]. 110:2241-2245. Available from:
http://circ.ahajournals.org/content/110/15/2241.full.pdf.
7. Thomas L. Managing Hypertensive Emergency in the ED. Can Fam Physician
[article on the internet] 2011. [cited February 2013, 22]. 57:1137-41. Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3192077/pdf/0571137.pdf.
8. Hopkins C. Hypertensive Emergencies in Emergency Medicine. Medscape
Article [data base on the internet] 2011. [cited on February 22, 2003].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1952052overview?
pa=3QEKRWRb083C64sgKB3xlATWV3tEcYgMKwy9Z49iwNgDq
%2FiI01G9ar41BQtDWBtiLCEJNCrbkqLWYvqLrhntWA%3D
%3D#showall.
9. Bisognano JD. Malignant Hypertension. Medscape Article [data base on the
internet] 2013. [cited February 22, 2013]. pp. 43 – 50. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/241640-overview#showall

Anda mungkin juga menyukai