Overweight didefinisikan sebagai BMI ≥25 kg/m2, obesitas BMI ≥ 30, dan morbit obesitas
(obesitas ekstrim) ≥ BMI 40.
Pertimbangan anestesi
Preoperative
Pasien obesitas pada peningkatan risiko untuk pneumonia aspirasi. Rutin pretreatment
dengan antagonis H2 dan metoklopramid harus dipertimbangkan.
Evaluasi pra operasi pasien sangat gemuk menjalani operasi harus dinilai radiografi
dada, ECG, analisa gas darah arteri, dan tes fungsi paru.
Tanda-tanda gagal jantung (misalnya, edema) mungkin sulit untuk diidentifikasi. tekanan
darah harus diambil dengan menset sesuai ukuran.
Tempat akses Intravena dan intraarterial harus diperiksa untuk mengantisipasi kesulitan
teknis. Perhatian khusus harus diberikan pada saluran napas pada pasien obesitas
karena mereka sering sulit untuk intubasi sebagai akibat dari mobilitas terbatas sendi
temporomandobula dan atlantooccipital, jalan napas bagian atas yang menyempit, dan
jarak yang pendek diantara bantalan lemak rahang bawah dan sternum.
Gejala OSA seperti mendengkur, episode apnea saat tidur, mengantuk
di siang hari, sakit kepala di pagi hari, dan sering bangun tidur harus dicari
Intraoperative
Karena risiko aspirasi, pasien obesitas biasanya di intubasi dengan agen anestesi umum
tetapi dengan durasi yang lebih pendek.
Jika intubasi tampaknya akan sulit, awake intubating dengan bronkoskop serat optik
sangat dianjurkan. Jangan lupa menyediakan set sulit intubasi
Pemberian zat hidrofilik seperti relaksan otot harus didasarkan pada berat badan tanpa
lemak, karena konsentrasi plasma puncaknya tidak tergantung pada volume distribusi,
yang sangat meningkat pada pasien obesitas
Untuk mencapai blokade neuromuskular yang mendalam dan memfasilitasi intubasi,
pemberian suksinilkolin harus didasarkan pada berat badan total daripada berat badan
tanpa lemak
Kesulitan teknis terkait dengan anestesi regional telah disebutkan. Meskipun dosis
persyaratan untuk anestesi epidural dan spinal sulit diprediksi, pasien obesitas biasanya
membutuhkan anestesi lokal kurang 20-25% karena lemak epiduraldan distended vena
epidural. Tingkat blokade yang tinggi dengan mudah dapat membahayakan pernafasan.
Anestesi continous epidural memiliki keuntungan meredakan nyeri dan menurunkan
komplikasi pernafasan pada periode pasca operasi.
Pascaoperasi
Perhitungan kebutuhan cairan pada pasien obesitas harus didasarkan pada berat badan
tanpa lemak, dengan tujuan euvolemia
Ekstubasi trakea dipertimbangkan ketika pasien obesitas sepenuhnya sadar dan sadar
dan telah pulih dari efek depresan anestesi
Kecukupan ventilasi harus dinilai dan dipantau setidaknya 24-48 jam pasca operasi.
Morbiditas dan mortalitas pascaoperasi lebih tinggi pada pasien obesitas dibandingkan
pasien nonobesitas. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya penyakit medis yang
sudah ada sebelumnya dan risiko aspirasi selama intubasi endotrakeal
Karena depresi ventilasi yang diinduksi opioid menjadi perhatian, pendekatan multimodal
untuk kontrol nyeri pasca operasi biasanya digunakan
dexmedetomidine, agonis reseptor 2 selektif, dan clonidine, agonis reseptor 2 yang
kurang selektif, telah terbukti mengurangi kebutuhan opioid jika diberikan melalui infus
kontinu pada periode perioperative
Ketamin telah terbukti meningkatkan efek analgesik morfin dengan menghambat aktivasi
opioid reseptor NMDA. Diberikan dalam dosis kecil pasca operasi, ketamin dapat
mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kesadaran dan saturasi oksigen
REFERENSI
1. Morgan GE.Clinical Anesthesiology, 6th ed. New York: Mc Graw-Hill Companies, Inc;
2018
Perubahan hemostatik berubah seiring dengan penyakit Hepar, hiperkoagulasi dan thrombosis,
yang akan meningkatkan resiko perdarahan. Penyebab darah perdarahan yang massif ,
terutama melibatkan trombositopenia, disfungski endotel, portal hipertensi, gagal ginjal dan
sepsis.
Penyakit hepar kronis bercirikan kegagalan sintesis dari factor koagulasi, menyebabkan
pemanjangan PT dan INR
Pasien dengan hepatitis beresiko penurunan fungsi hepar dan menimbulkan komplikasi dari
gagal hepar seperti encephalopathy, coagulopathy, or hepatorenal syndrome.
Operasi harus ditunda sampai hepatitis akutnya sembuh, yang diindikasikan dengan normalnya
tes fungsi hepar. Penelitian memperkirakan adanya peningkatan morbiditas (12%) dengan
mortalitas (hingga 10% dengan laparatomi) pada preoperative selama hepatitis viral akut.
Meskipun resiko dengan hepatitis alkoholik tidak sebesar itu, keracunan alcohol akut sangat
mempersulit penanganan anestesi. Lagipula, eliminasi alcohol selama pembedahan bias
dihubungkan dengan rata-rata mortalitas sebesar 50%. Hanya pembedahan yang betul-betul
darurat yang seharusnya dipertimbangkan dalam kasus ini. Pasien hepatitis mempunyai resiko
penurunan fungsi hepar dan berkembangnya komplikasi kegagalan hepar, seperti
encephalopathy, coagulopathy, atau hepatorenal syndrom.
Pemeriksaan laboratorium harus meliputi nitrogen urea darah, serum elektrolit, kreatinin,
glukosa, transaminase, bilirubin, alkali fosfatase, dan albumin sebaik protrombin time (PT) dan
pletelet count. Serum juga seharusnya dicek untuk HBsAg kapanpun hal itu mungkin
Pertimbangan Intraoperatif
Cairan penggunaan koloid lebih dipilih untuk mencegah overload natrium dan meningkatkan
tekanan plasma onkotik.
Teknik Anestesi boleh pakai regional anestesi kalo tidak ada kontra indikiasi seperti
koalgulopati . pada saat induksi , propofol dapat digunakan , untuk maintenance boleh pakai
Isoflurane dan sevoflurane. Suplementasi opioid dapat diberikan . untuk muscle relaksan yg
lebih dipilih adalah cisatracurium
Respon obat diperlukan loading dose yang lebih besar daripada normal, karena ada nya
kompartemen cairan ekstraseluler yang meluas, menyebabkan resistensi yang diakibtakan dari
meningkatnya volume distribusi obat yang terionisasi tinggi, namuntunuk maintenance
digunakan dosis yang lebih kecil pada muscle relaksan yang tergantung dari eliminasi hepar
( pancuronium, rocuronium , dan vecuronium)
REFERENSI
1. Morgan GE.Clinical Anesthesiology, 6th ed. New York: Mc Graw-Hill Companies, Inc;
2018
MANAJEMEN ANESTESI PADA HIPERTENSI
Definisi
Definisi hipertensi sistemik berubah-ubah tetapi biasanya dianggap sebagai peningkatan
tekanan darah diastol yang menetap lebih dari 90–95 mmHg atau tekanan sistol lebih besar dari
140–160 mmHg. Skema klasifikasi yang biasa digunakan terdapat pada Tabel 20–4. Hipertensi
borderline dinyatakan ada ketika tekanan diastol 85–89 mmHg atau tekanan sistol 130–139
mmHg. Hipertensi malignan adalah suatu darurat medis yang ditandai oleh tekanan darah
tinggi yang berat (>210/120 mmHg) ditandai adanya papilledema dan, sering, encephalopathy.
Obat Antihipertensi
Alur Perioperatif Pasien Hipertensi
Preoperative
Idealnya pasien-pasien yang akan mengalami operasi elektif hanya jika dalam keadaan
normotensive. Tidak direkomendasikan pasien hipertensi dengan tekanan darah sistolik
>180mmHg dan atau tekanan darah diastolik >110 mmHg atau dengan end organ disfungi yang
dapat memperburuk dengan penurunan tekanan darah yang agresif.
Manajemen Intraoperasi
Tekanan darah arteri biasanya dijaga supaya berada di kisaran 10–20% dari ukuran preoperatif.
Monitoring
Monitoring langsung tekanan darah intraarterial, Electrokardiografi terfokus pada
deteksi tandatanda iskemia, produksi urin perlu dimonitor ketat dengan kateter urin yang terus
terpasang pada pasien-pasien gagal ginjal yang sedang mengalami prosedur operasi lebih dari 2
jam.
Induksi
Salah satu dari beberapa teknik yang bisa digunakan sebelum intubasi untuk mengurangi
respon peningkatan tekanan darah :
• Memperdalam anesthesia dengan volatil yang kuat
• memberikan opioid secara bolus (fentanyl, 2,5–5 μg/kg; alfentanil, 15–25 μg/kg; sufentanil,
0,25–0,5 μg/kg; atau remifentanil, 0,5–1 μg/kg).
• Memberikan lidokain, 1,5 mg/kg intravena atau intratrachea.
• Memblokade β-adrenergik dengan esmolol, 0.3–1.5 mg/kg; propranolol, 1–3 mg; atau
labetalol, 5–20 mg.
Hipertensi Intraoperasi
Hipertensi intra operasi yang tidak berespon dengan memperdalam anestesi (terutama dengan
volatil) dapat diatasi dengan beberapa obat parenteral. Pastikan bahwa penyebab yang
reversibel –seperti kedalaman anestesi yang tidak adekuat, hipoxemia, atau hipecapnia sudah
disingkirkankan sebelum mulai mengobati hipertensi.
Sumber :
Bready, L., Noorily, S. & Dillman, D., 2007. Hypertension. In: Decision making in anesthesiology
: an algorithmic approach. Philadelphia: Elsevier
Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JD. (2018). Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 6th ed. New York: Mc Graw Hill,
Hines, L. Roberta & Marschall, E. Katherine. 2018. Stoelting's Anesthesia and Co-Existing
Disease. Philadelphia: Elsevier
ALUR PENANGANAN PASIEN OPERATIF DENGAN HIPERTIROID
A. Evaluasi Klinis
Evaluasi apakah hipertiroid sudah terkontrol atau belum dengan melihat tanda dan gejala
dari hypermetabolic state.
Efek pada kardiovaskular takikardi, hipertensi, aritmia, angina, dan gagal jantung.
Jika ada goiter, periksa hasil CXR atau penunjang radiologi lain untuk mengevaluasi adanya
massa yang menekan trakea. Jika ukuran goiter besar, bisa beresiko terjadi obstruksi jalan
nafas.
Evaluasi faal tiroid (laboratorium), medikasi (PTU, methimazole, beta bloker)
B. Premedikasi
Hindari tindakan pembedahan elektif jika fungsi tiroid tidak normal, hanya prosedur darurat
yang menghalangi menunggu keadaan eutiroid (yang biasanya membutuhkan 1 sampai 3
bulan pengobatan). Setelah eutiroid, kadar TSH mungkin akan tetap rendah meskipun
kadar tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) normal; kondisi ini tidak menunda operasi.
Persiapan cepat mungkin diperlukan untuk prosedur darurat: berikan kombinasi beta-
blocker,
kortikosteroid, thionamide, yodium, dan asam iopanoat (mengandung yodium dan
menghambat pelepasan hormon tiroid).
C. Persiapan dan Monitoring
Pantau EKG, tekanan darah, suhu, dan efek neuromuskular blokade (perhatikan miopati
tirotoksik). Jika hipertiroidisme tidak terkontrol dengan baik ABP dan CVP.
Pasang selimut pendingin dan cairan dingin harus tersedia. Titrasi beta-blocker ke HR < 90.
Pertimbangkan pemberian kortikosteroid karena cadangan kortikosteroid di adrenal
mungkin rendah.
D. Pemilihan Teknik Anestesi
Jika dipilih GA pada goiter, pertimbangkan awake intubation dan gunakan armored tube.
Lindungi mata, dan awasi tanda dari thyroid storm
Jika dipilih LA atau RA LA tanpa epinefrin, awasi tanda thyroid storm
E. Komplikasi yang berpotensi terjadi saat intraoperatif dan postoperatif
Thyroid storm jarang namun sangat mengancam nyawa jika terjadi dan harus segera
dikenali serta diterapi awal untuk menghindari tingginya tingkat mortalitas. Tanda dan gejala
seperti demam, restlessness, agitasi, takikardi, gagal jantung, dan dehidrasi. Tangani
thyroid storm dengan thionamide, diikuti dengan beta blocker, iodine, kortikosteroid, dan
terapi suportif (terapi cairan, selimut dingin, acetaminophen, atau sedasi), atau
plasmapheresis (Dosis dapat dilihat di bagan).
Daftar Pustaka
Bready, L., Noorily, S. & Dillman, D., 2007. Hyperthyroidism. In: Decision making in
anesthesiology : an algorithmic approach. Philadelphia: Elsevier, pp. 188-189.
Butterworth, J., Mackey, D. & Wasnick, J., 2018. Anesthesia for Patients with Endocrine
Disease. In: Morgan & Mikhail's Clinical Anesthesiology. United States: Lange Mc Graw Hill.
References
Bready, L., Noorily, S. & Dillman, D., 2007. Hyperthyroidism. In: Decision making in
anesthesiology : an algorithmic approach. Philadelphia: Elsevier, pp. 188-189.
Butterworth, J., Mackey, D. & Wasnick, J., 2018. Anesthesia for Patients with Endocrine
Disease. In: Morgan & Mikhail's Clinical Anesthesiology. United States: Lange Mc Graw Hill.
DIABETES MELLITUS
Manifestasi Klinis
Diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia dan glikosuria yang timbul akibat gangguan
metabolisme karbohidrat. Penyebabnya adalah defisiensi insulin absolut atau relatif atau
responsivitas insulin. Diagnosis didasarkan pada peningkatan glukosa plasma puasa lebih
besar dari 126 mg/dL atau hemoglobin terglikasi (HbA1c) sebesar 6,5% atau lebih besar. Nilai
kadang-kadang dilaporkan untuk glukosa darah, yang berjalan 12% sampai 15% lebih rendah
dari glukosa plasma.
Dua teknik umum untuk manajemen insulin perioperatif pada diabetes mellitus.
Target yang masuk akal untuk pemeliharaan glukosa darah intraoperatif adalah kurang dari 180
mg/dL dan lebih besar dari 85 mg/dL.
Sumber
Bready, L., Noorily, S. & Dillman, D., 2007. Hypertension. In: Decision making in anesthesiology
: an algorithmic approach. Philadelphia: Elsevier
Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JD. (2018). Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 6th ed. New York: Mc Graw Hill,
TATALAKSANA HIGH REGIONAL BLOCK
(HIGH & TOTAL SPINAL)
DEFINISI:
High Spinal: Penyebaran obat anestesi lokal hingga diatas T4
Total spinal: Penyebaran obat anestesi lokal hingga intracranial yang menyebabkan hilangnya
kesadaran
PENYEBAB:
1. Dosis pemberian berlebih
2. Gagal menurunkan dosis pada pasien khusus (geriatric, gravida, obesitas atau
perawakan sangat pendek)
3. Sensitivitas terhadap anestesi lokal yang tidak umum
4. Obat epidural tidak sengaja masuk intratekal
PENCEGAHAN:
1. [Epidural] Gunakan dosis lebih rendah pada pasien khusus
2. [Epidural] Selalu periksa ketinggian blok saat top up regimen
3. [Subarachnoid Block] Selalu hitung ketinggian dan dosis yang dibutuhkan untuk jenis
operasi
4. [Subarachnoid Block] Saat menggunakan obat anestesi local hiperbarik, jika melakukan
head down, segera evaluasi ketinggian dan kembalikan pada posisi netral
5. [Subarachnoid Block] Selalu menghitung kecepatan penyuntikan
‘
ALOGARITMA HIGH REGIONAL BLOCK
(HIGH & TOTAL SPINAL)
MANAGEMENT AWAL
1. STOP pemberian anetesi lokal
2. Beri O2 via facemask
3. Jika memungkinkan, lalukan head up (Reverse Trendelenburg) pada pasien
Sumber:
Hermanowski, Jane, Total and High Spinal, England National Health Service, 2020
Morgan and Mikhail Clinical Anesthesiology 6th Ed Chapter 45, 2020
VENTILASI MEKANIK
Ventilator mekanik adalah mesin otomatis yang dirancang untuk menyediakan seluruh atau
sebagian pekerjaan yang harus dilakukan tubuh untuk mengeluarkan dan mengeluarkan gas dari paru-
paru (Ventilasi)
MEKANISME PERNAPASAN
Pertukaran periodik gas alveolus dengan gas segar dari saluran napas atas mereoksigenasi darah
yang terdesaturasi dan menghilangkan CO2
OTAK kontrol pernapasan di batang otak, terutama medula dan pons
SARAF
OTOT PERNAPASAN rongga dada, diafragma dan otot interkostal
paru-paru alveolus
INDIKASI
Hipoksia
Hipoventilasi/hiperkarbia
Peningkatan kerja pernapasan
Lainnya (mis. resusitasi serebral, syok, pasca ROSC)
JENIS VENTILASI MEKANIK
Paru-Paru Besi (Ventilasi Tekanan Negatif)
Tc = Ti + Te
MODE VENTILASI MEKANIK
SETTING VENTILASI
LUNG PROTEKTIF STRATEGI
WEANING VENTILASI
TANDA-TANDA GAGAL WEANING
Agitasi, anxietas, diaphoresis atau perubahan status mental
RR > 30 - 35/men
SpO2 < 90%
> 20% ↑ atau ↓ HR atau HR > 120 - 140/men
TD sistolik > 180 atau < 90 mmHg
Abdominal paradox, use of accessory muscle, dyspnea
Referensi:
1. Marino's The ICU Book 4th Edition
2. Barash Clinical Anesthesia, 8e
3. Morgan & Mikhail's Clinical Anesthesiology (6e) - John Butterworth, David Mackey, John
Wasnick
LAST Management
Deskripsi klasik dari toksisitas sistemik anestesi lokal (local Anesthetic Systemic
Toxicity (LAST)) secara umum digambarkan dengan sekumpulan gejala dan tanda neurologi
memburuk secara progresif yang segera terjadi setelah injeksi obat anestesi lokal dan disertai
dengan peningkatan konsentrasi anestesi lokal dalam darah, dengan kondisi puncak dapat
menjadi kejang dan koma. Pada kasus yang ekstrim, dapat diikuti dengan tanda
ketidakseimbangan hemodinamik yang berakhir kepada kegaglan sistem kardiovaskular (Guido
Di Gregorio, 2010).
Reaksi toksik bisa timbul apabila konsentrasinya dalam darah sangat tinggi dan terjadi
secara mendadak. Hal ini bisa terjadi karena dosis yang diberikan berlebihan, penyuntikan
langsung ke dalam sirkulasi, absorbsinya terlalu cepat dan detoksifikasi terlambat misalnya pada
penyakit hati.
Pada toksisitas ringan: pasien tampak pucat, gelisah, mual, pasien merasakan rasa seperti
logam, telinga berdenging, mata berkunang-kunang, selanjutnya diikuti kejang-kejang,
bradikardi, hipotensi dan depresi napas. Pada toksisitas berat akan terjadi kolaps kardiovaskular,
henti napas dan koma (Wolfe, 2011).
Secara umum, toksisitas pada anestesi lokal mempengaruhi dua sistem terpenting pada
tubuh pasien, yaitu sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskular toksisitas tersebut dapat terbagi
dalam beberapa fase (Gde Mangku, 2010).
Manifestasi toksisitas anestetik lokal muncul 1-5 menit setelah injeksi, namun onset dapat
berkisar dari 30 detik hingga 60 menit. Secara klasik, penderita mengalami gejala eksitasi SSP,
sedangkan toksisitas jantung tidak akan terjadi tanpa didahului toksisitas SSP (Guido Di
Gregorio, 2010).
Ventilation support
Ventilasi dengan oksigen 100%
Hindari ventilasi berlebihan
Jalan napas lanjutan jika dibutuhkan
Kontrol Kejang
Disarankan menggunakan Benzodiazepine
Hindari menggunakan Propofol dosis tinggi
Dukungan Kardiovaskuler
Terapi hipotensi dan bradikardi
Turunkan epinefrin bolus hingga 1 mcg/Kg
Hindari vasopressin, kalsium channel blockers, beta blockers, atau obat lokal anestesia lainnya
Rekomendasi Tambahan
Lanjutkan Monitoring minimal 4-6 jam jika terdapat masalah pada kardiovaskular
Monitor minimal 2 jam setelah pembatasan kondisi CNS
Jangan melebihi 12 mL/Kg emulsi lemak
Jumlah volume dari emulsi lemak bisa mendekati 1 L pada resusitasi yang lama (>30 menit)
Referensi:
NYSORA. Spinal anesthesia. [Internet]. Spinal Anesthesia - NYSORA The New York School of
Regional Anesthesia. 2018. Available from: https://www.nysora.com/spinal-anesthesia
ALGORITMA HENTI JANTUNG DEWASA
HENTI JANTUNG PADA
KEHAMILAN DI RUMAH SAKIT
ALGORITMA HENTI
JANTUNG PEDIATRI
PEDIATRI
BRADIKARDI
DENGAN
NADI
ALGORITMA
TAKIKARDI PEDIATRI
DENGAN NADI
Kualitas RJP
Tekan kuat (minimum 2 inci (5 cm]) dan
cepat (100-120/menit) dan beri
kesempatan dada untuk rekoil sempurna.
Minimalkan interupsi dalam kompresi.
Hindari ventilasi berlebihan.
Algoritma Sirkular Henti Jantung Dewasa Ganti kompresor tiap 2 menit. atau lebih
awal jika kelelahan.
Mulai CPR Jika belum terpasang saluran napas
Berikan oksigen lanjutan, rasio kompresi-ventilasi 30:2.
Pasang monitor/defibrilator Kapnografi gelombang kuantitatif
Jika PETCO2 rendah atau menurun, taksir
ulang kualitas CPR.
C Energi shock untuk defibrilasi
ek
Ri Bifasik: ikuti rekomendasi produsen
t
Jika VF/pVT
(misalnya, dosis awal 120-200 J): jika tidak
m
e
shock diketahui, gunakan dosis tertinggi yang
Terapi medikamentosa tersedia. Dosis kedua dan seterusnya
Infus IV/IO sebaiknya sama, dan pertimbangkan dosis
Epinefrin tiap 3-5 menit
Amiodaron atau lidokain untuk yang lebih tinggi
VPpVT refrakter Monofasik: 360 J
Terapi obat
Pertimbangkan pemasangan alat bantu nafas
Kapnografi waveform kuantitatif Dosis IV/IO epinefrin: 1 mg tiap 3-5 menit
Dosis IV/IO amiodarone:
Terapi penyebab reversibel Dosis pertama: 300 mg bolus.
Dosis kedua: 150 mg.
atau
Dosis IV/IO Lidocaine:
Dosis pertama: 1-1,5 mg/kg.
Dosis kedua: 0.5-0,75 mg/kg.
Saluran Napas Tingkat Lanjut
• Intubasi endotrakeal atau alat bantu napas
lanjutan supraglotik
• Kapnografi gelombang atau kapnometri
untuk mengonfirmasi dan memantau
posisi endoktrakea
• Jika saluran napas tingkat lanjut telah
terpasang, berikan 1 napas tiap 6 detik 10
napas/menit dengan kompresi dada terus-
menerus
Kembalinya sirkulasi spontan ROSC
Nilai nadi dan tekanan darah
Peningkatan mendadak PETCO2 yang
dipertahankan (biasanya ≥ 40 mm Hg)
Gelombang tekanan arterial spontan dengan
pemantauan intra-arterial
Penyebab yang reversibel
Hipovolemia
Hipoksia
Ion Hidrogen (asidosis)
Hipo-/hiperkalemia
Hipotermia
Tensi pneumotoraks
Tamponade, jantung
Toksin
Trombosis, paru
Algoritma Bradikardia Dewasa
Apakah bradiaritmia
persisten menyebabkan:
Hipotensi
Tidak Perubahan status
Monitor dan
observasi mental akut
Tanda-tanda syok
Nyeri dada iskemik Dosis
Gagal jantung akut Atropin IV
Dosis pertama bolus 1mg
Ulangi setiap 3-5 menit
Ya Dosis maksimal 3mg
Dopamin IV drip
Atropin Laju drip 5-20mcg/kgBB per
Jika atropin tidak efektif menit. Titrasi sesuai respons
Pacu jantung pasien
transkutan dan/atau Epinefrin
Dopamin infus atau Laju drip 2-10mcg/menit
Titrasi sesuai respons pasien
Epinefrin infus
Penyebab
Iskemia/infark miokard
Pertimbangkan Obat-obatan/toksin contohnya
Konsultasi ahli golongan penghambat kanal
Pacu jantung kalsium, penghambat beta,
digoksin
transvena
Hipoksia
Gangguan elektrolit, misalnya
hiperkalemia
Algoritma Takikardia Dewasa dengan Nadi