Anda di halaman 1dari 6

3.

1 Evaluasi

1. Penilaian Status Present

Penilaian status present diantaranya termasuk pemeriksaan kesadaran dengan GCS/Glassgow Coma
Scale, frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status
gizi/BMI. Riwayat penyakit yang dapat menjadi faktor risiko tindakan anestesi (asma, hipertensi, penyakit
jantung, penyakit ginjal, gangguan pembekuan darah), riwayat operasi/ anestesi sebelumnya, riwayat
alergi, riwayat pengobatan, dan ada kebiasaan merokok/ minum alkohol/ memakai obat-obatan.
Anamnesis dalam ilmu anestesia berpatokan dengan mnemonic AMPLE (Allergies, Medication, Past
Illness, Last Meal, dan Event Leading to Injury). Berdasarkan hasil penilaian anamnesis dan status
present, maka dapat menentukan klasifikasi American Society of Anesthesiologists (ASA) pada pasien,
dimana klasifikasi ini dapat dijadikan pertimbangan risiko relatif pasien terhadap sedasi dan anestesia
yang dilakukan selama pembedahan.

2. Evaluasi Status Generalis dengan Pemeriksaan Fisik dan Penunjang yang lain sesuai dengan Indikasi

Pemeriksaan fisik umum yang dilakukan antara lain, seperti pemeriksaan psikis (gelisah, takut,
kesakitan), saraf (otak, medulla spinalis dan saraf tepi), respirasi, hemodinamik, penyakit darah,
gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital serta saluran kencing, endokrin dan metabolik, otot rangka,
integumen. Pemeriksaan penunjang lain yang dilaukan seperti darah lengkap (Hb, Ht, eritrosit, leukosit
dan trombosit, gula darah sewaktu, ureum, SGPT, SGOT).

3. Evaluasi Khusus terhadap Fungsi Ginjal dan Penyulit lain apabila disertai dengan Gagal Ginjal Kronis

Diperlukan suatu penilaian awal untuk menentukan etiologi dan tipe gagal ginjal kronis serta evaluasi
faktor komorbid, diantaranya riwayat pasien dan riwayat keluarga, pemeriksaan fisik, tekanan darah dan
pengukuran berat badan. Pemeriksaan laboratorium harus disertai pemeriksaan serum elektrolit dan
glukosa, dan profil lipid. Urinalisis juga harus dilakukan untuk evaluasi sedimen uin dancreatinin/albumin
urin atau rasio protein/kreatinin. Pemerikasaan ultrasonografi renal juga dapat dilakukan untuk
mengevaluasi ukuran ginjal dan ada atau tidak abnormalitas.

Persiapan Praoperatif

1. Persiapan Rutin

Mencari riwayat medis keseluruhan, melaksanakan pemeriksaan fisik dan investigasi kembali diperlukan
pada tahap ini. Pada tahapan ini sebaiknya memberitahu faktor-faktor yang menyebabkanmeningkatnya
resiko yang terjadi dan faktor apa yang menguntungkan pasien sebelum dilakukan operasi. Perlu
dijelaskan juga terhadap pasien mengenai puasa preoperative, rencanakan waktu terakhir makan dan
minum. Salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan mortalitas dan morbiditas akibat

anestesi adalah aspirasi konten gastik. Selain itu memberikan informasi ke pasien dan mendapat
persetujuan untuk dilakukanya tindakan operasi harus diperoleh dari individu yang paham akan prosedur
dan risiko yang akan terjadi. Agar persetujuan menjadi valid pasien harus mampu melakukan terapi,
menerima informasi yang cukup untuk membuat keputusan, serta persetujuan yang harus dilakukan
secara sadar. Selanjutnya perlu disiapkan rencana transfusi darah, yang bertujuan transfusi darah untuk
memastikan oksigen yang terbawa ke jaringan menjadi adekuat.7

2. Persiapan Khusus

Persiapan khusus untuk analisis preoperatif pada pasien dengan fungsi ginjal sangat terbatas. Rata-rata
penyakit batu kalsium muncul pada usia dekade ke 3 sampai ke 5. Biasanya disertai dengan penyakit
komorbid seperti obesitas, hipertensi, hiperparatiroid. Penilaian pre anestesi pada pasien harus ke
beberapa masalah spesifik yang membutuhkan koreksi sebelum anestesi dilakukan diantaranya
keseimbangan cairan, gangguan elektrolit, efek terhadap kardiovaskular, hematologi dan faktor lainnya.
Pada cidera ginjal akut, kelebihan cairan dapat terjadi mendadak dan tidak terkompensasi. Pada gagal
kronis, kelebihan cairan dapat diterapi dengan diuretik atau dialisis. Cairan yang berlebihan dapat
menyebabkan edema paru dan hipertensi. Retensi sodium dapat terjadi pada gagal ginjal seiring
meningkatnya sekresi ADh, diikuti oleh retensi air, edema dan hipertensi. Pada pasien dengan
hipokalemia akibat terapi diuretik serta pasien hiperkalemia perlu dilakukan pengukuran serum
potasium, dan kadar kalsium saat preoperatif. Akibat retensi fosfat dan vitamin D pada gagal ginjal
menyebabkan hiperparatiroid. Edema periperal dan pulmoner juga bisa terjadi karena kombinasi
kelebihan cairan, penyakit hipertensi dan hipoproteinemia. Gangguan elektrolit dan pergantian cairan
yang terlalu cepat dapat menyebabkan edema serebral. Pasien dengan penyakit ginjal kronis dapat
menyebabkan terjadinya pendarahan gastrointestinal yang dapat menyebabkan kekurangan zat besi
serta rentan terhadap infeksi. Kanulasi vena sentral digunakan untuk nutrisi parenteral total yang
menggunakan kanulasi jangka panjang. Kanulasi dilakukan melalui vena subklavikula atau vena jugularis
interna. Pada jangka pendek, kanulasi dilakukan melalui vena di daerah ekstrimitas atas secara tertutup
atau terbuka dengan seksi vena. Pasien dengan operasi elektif, kadar Hb pasien harus mencapai 10 g%.
Apabila dijumpai kasus prabedah elektif dengan kadar Hb kurang dari 10% segera rencanakan transfusi
darah prabedah. Rendahnya kadar Hb pasien dapat terjadi akibat defisiensi faktor pembekuan
komponen darah yang lain.

3.Premedikasi

Pada lingkungan preoperatif, menggunakan sedasi saat anestesi berupa lorazepam 1-2 mg po 1-2 jam
sebelum operasi, midazolam 1-2 mg. Midazolam digunakan untuk menggantikan diazepam sebagai obat
preoperatif. Midazolam tiga kali lebih poten dari diazepam, dimana afinitas midazolam 2 kali lebih besar
dari diazepam. Apabila dibandingkan dengan golongan bensodizepin lain, efek amnestik midazolam lebih
poten dari efek sedatifnya. Jadi setelah pasien administrasikan midazolam, pasien masih ingat kejadian
dan pembicaraan (tentang instruksi postoperative) untuk beberapa jam.
4 Pilihan Anestesi

Sekitar 10-20% prosedur urologi memerlukan tindakan anestesi. Pasien yang menjalani prosedur urologi
kebanyakan berasal dari usia tua, meskipun kenyataannya semua umur dapat mengalaminya. Pada
endourologi anestesi regional (spinal dan epidural) maupun anestesi umum dapat dipergunakan
tergantung tipe dan durasi operasi, usia pasien, riwayat penyakit sekarang, dan keinginan pasien.
Managemen anestesi bervariasi sesuai umur dan jenis kelamin pasien. Pilihan anestesi yang dapat
digunakan antara lain anestersi umum dan anestesi regional. Pada prosedur endourologi anestesi
regional (spinal dan epidural) maupun teknik anestesi umum dapat dipergunakan, tergantung tipe dan
durasi operasi, usia pasien, riwayat penyakit sekarang, dan keinginan pasien. Anestesi regional dan renal
berinterasi secara kompleks, tergantung dari status kardiovaskular, renal, dan cairan dari pasien.9 Untuk
anestesi regional, blokade sakral diperlukan untuk prosedur urethral (T9-T10 level untuk prosedur yang
melibatkan bladder dan setinggi T8 untuk ptosedur yang melibatkan ureter). Untuk anestesi spinal
menggunakan bupivakain 10-12 mg. Untuk operasi berdurasi pendek gunakan bupivakain dosis rendah
(0.075% 7.5mg), mepivakain (1.5%,45 mg) atau procaine (10%, 100-150 mg). Lidokain dapat digunakan,
namun dapat menyebabkan gejala neurologis transien. Anestesi lumbar epidural menggunakan 1.5-2.0%
lidokain dengan epineprin 5 mcg/mL, 15-25, suplementasi dengan 5-10 mL bolus apabila diperlukan.
Suplementasi IV sedasi juga diperlukan. Pada pembedahan pielolitotomi dan ureterolitotomi anestesi
umum lebih direkomendasikan daripada anestesi regional karena posisi pasien yang dapat menyebabkan
pasien merasa tidak nyaman dan nyeri pun timbul dari stimulasi diafragmatik (anestesi umum dapat
digabungkan dengan regional opiat untuk kondisi ini).

Pada anestesi umum dilakukan induksi dengan induksi standar. Intubasi endotrakeal tidak diperbolehkan
untuk prosedur operasi yang durasinya pendek, penggunaan LMA lebih disarankan untuk kondisi ini.
Untuk induksi gunakan propofol 1.5-2.5 mg/kg IV secara bertahap. Rasa nyeri pada injeksi akan
berkurang dengan terlebih dahulu memasukkan lidocaine 1% 5-10 mL via oklusi vena.3 Apabila kadar
kalium plasma pasien normal, berikan suksinil Kolin (dosis 1-2 mg/kgBB IV) untuk fasilitasi intubasi,
sedangkan apabila kadar kalium plasma pasien tinggi gunakan atrakurium. Gunakan laringoskopi
kemudian semprotkan lidokain 4% 3-5 kali ke dalam laring-faring dan trakea agar refleks batuk pada saat
intubasi dapat ditekan. Kemudian lanjutkan dengan intubasi endotrakeal dengan ukuran pipa yang
sesuai. Setelah selesai, atur posisi lateral ekstensi sesuai kebutuhan operator. Anestesi umum biasanya
menjadi pilihan bila ada kontraindikasi dari anestesi regional yaitu, pasien menolak anestesi regional,
peningkatan tekanan intrakranial, infeksi pada lokasi jarum disuntikkan, gangguan koagulasi, syok
hipovolemik berat, dan kelainan katup jantung berat. Pasien biasanya lebih memilih tertidur selama
operasi sehingga menyebabkan general anestesi lebih sering digunakan. Kelebihan anestesi epidural
adalah menjaga hemodinamik lebih stabil selama operasi , dosis obat dapat diberikan ulang melalui
kateter dan sekaligus dapat digunakan pada tatalaksana nyeri pasca operasi. Kekurangan dari epidural
adalah teknik yang lebih sulit serta waktu pemasangan dan onset yang lebih lama dengan risiko blok
parsial. Apabila operasi berlangsung lama dan membutuhkan patensi jalan nafas maka kombinasi
anestesi epidural dan anestesi general dapat dijadikan pilihan. Anestesi Spinal memiliki keungulan
dimana onsetnya yang lebih cepat, pelaksanaan yang mudah, akan tetapi mengganggu hemodinamik
intraoperatif. Kebanyakan dokter anestesi lebih memilih spinal karena onset anestesinya yang hanya
membutuhkan 5 menit atau kurang . Kontraindikasi relatif anestesi regional diantaranya pasien tidak
kooperatif, sepsis, deformitas tulang belakang pasca operasi tulang belakang, dan terdapat defisit
neurologis ektremitas bawah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kuzgunbay et al. tidak ada
perbedaan bermakna antara lama rawat PCNL menggunakan anestesi regional dan umum.10

5 Pemeliharaan Selama Anestesia dan Reanimasi

Anestesi inhalasi (N2O, sevoflurane/desflurane) digunakan untuk operasi dengan durasi pendek. Teknik
IV berupa penggunaan propofol 100200 mcg/kg/min ditambah dengan N2O ± anestesi volatile
±remifentanil. Penggunaan pelumpuh otot tidak disarankan pada prosedur PCNL dan URS. Narkotika
yang bekerja jangka panjang (seperti morfin) tidak diperbolehkan karena rasa nyeri setelah operasi
biasanya bersifat minimal pada prosedur PCNL dan URS. Apabila digunakan pendekatan intraperitoneal
atau laparoskopi pada pielolitotomi dan ureterolitotomi usahakan untuk membatasi N2O untuk
mencegah distensi pada usus dan gangguan di daerah sekitar operasi. Diperlukan pemantauan pola
nafas kendali selama tindakan berlangsung.

6 Pemantauan selama Anestesia dan Reanimasi

Pemantauan yang perlu dilakukan pada kondisi pasien anestesia adalah jalan nafas, oksigenasi, ventilasi,
dan sirkulasi pasien harus dievaluasi teratur. Pemantaun jalan nafas digunakan untuk mempertahankan
keutuhan jalan nafas. Oksigenasi dipantau untuk memastikan kadar zat asam di dalam udara/gas
inspirasi dan didalam darah. Ventilasi dipantau untuk keadekuatan ventilasinya. Sirkulasi juga harus
adekuat. Serta suhu tubuh pasien harus dipantau.Diperlukan pemantauan khusus pada tekanan vena
sentral, sebab tekanan vena sentral mencerminkan keseimbangan antara volume intravaskular, kapasitas
vena, dan fungsi ventrikular kanan. Ratarata normal tekanan vena sentral adalah 1-7 mmHg. Produksi
urin, elektrolit, dan analisis gas darah pada kasus gagal ginjal juga harus dilakukan pemantauan.

7 Terapi Cairan dan Transfusi Darah

Ketika pendarahan yang terjadi < 20% dari perkiraan volume darah pasien, berikan cairan pengganti
kristaloid atau koloid, akan tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan volume darah pasien,
berikan transfusi darah. Tujuan dari cairan pengganti antara lain untuk penggantian air tubuh yang hilang
karena sekuestrasi atau proses patologi seperti dehidrasi dan perdarahan saat pembedahan. Cairan
pengganti yang digunakan adalah kristaloid seperti NaCl 0.9% dan ringer laktat atau koloid seperti
Dextrans 40 dan 70. Cairan nutrisi juga digunakan untuk nutrisi parenteral bagi pasien yang tidak ada
nafsu makan, dilarang makan dan tidak bisa makan peroral.

8 Pemulihan Anestesia

Segera setelah operasi selesai, hentikan aliran obat anestesi, berikan pasien obat penawar pelumpuh
otot yaitu neostigmine (0.03-0.07 mg/kg) atau edrophonium (0.5-1 mg/kg) bersamaan dengan agen anti
kolinergik (glikopirulat, 0.01 mg/kg, atau atropin 0.01-0.02 mg/kg). Untuk anestesi general pantenkan
jalan nafas, tanda tanda vital, oksigenasi, dan level kesadaran pasien harus tetap di evaluasi saat pasien
sudah berada di ruang perawatan. Pengukuran yang kontinyu dari tekanan darah, denyut nadi, dan

laju pernafasan dilakukan setiap 5 menit selama 15 menit atau sampai stabil, dan setiap 15 menit
setelahnya. Oximetri harus di monitor pada semua pasien. Semua pasien yang dalam pemulihan anestesi
umum harus mendapatkan suplementasi oksigen dan monitor oximetri.Untuk pasien sedasi berat dan
hemodinamiknya tidak stabil akibat anestesi regional harus mendapat suplementasi oksigen di ruang
pemulihan. Sensori dan motorik harus di catat regresi dari blokadenya. Tekanan darah harus di monitor
pada anestesi spinal dan epidural. Jalan nafas dibersihkan dengan kateter suction. Setelah pasien nafas
spontan dan adekuat, lakukan ekstubasi.

9. Pasca Anesthesia / Bedah

Usaha penanggulangan nyeri ringan sampai sedang dapat diterapi secara oral dengan acetaminophen,
ibuprofen, hidrkortison, dan oksikodon. Selain itu, acetaminophen (15 mg/kg, atau 1g jika pasien >50 kg)
dapat di masukkan secara intravena. Nyeri sedang sampai berat pasca operasi lebih sering di terapi
dengan opioid lewat oral atau parenteral. Untuk prosedur PCNL dan URS dengan nyeri ringan dapat
diberikan morfin 2-4mg IV,, fentanyl 25-50 mcg IV, dan ketororac 15-30 mg IM atau IV. Sementara untuk
prosedur pyelolitotomi dan ureterolitotomi dapat diberikan morfin 0.1-0.3 mg/kg IV sebagai dosis
apabila menggunakan tambahan anestesi epidural. Patient Controlled Anesthesia (PCA) dapat digunakan
pada pasien pielolitotomi dan ureterolitotomi berusia >5 tahun. Lockout time diatur di 10 menit, pada
fentanyl dapat lebih cepat menjadi 5 menit. Obat yang biasa digunakan pada PCA antara lain morfin,
hidromorfon, dan fentanyl. Apabila penggunaan PCA tidak memungkinkan (pada anak kecil yang tidak
mengerti PCA) infusi intravena kontinyu dengan opiat dapat digunakan. Pasien dikirim kembali ke
ruangan setelah memenuhi kriteria pemulihan. Pasien dianalisis segera pasca bedah sesuai standar ASA
untuk perawatan post anestesi yaitu monitor parameter ganda selama fase pemulihan termasuk
respirasi dan fungsi jantung, fungsi neuromuskular, status mental, suhu tubuh, nyeri, mual dan muntah,
drainase dan pendarahan, dan output urin. Frekuensi dan durasi monitoring tergantung status klinis
pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Barash P, Cullen B, Stoelting R, Cahalan M, Stock M, Ortega R. Clinical Anesthesia. 7th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2013.

2. Türk C, Knoll T, Petrik A, Sarica K, Seitz C, Straub M. Guidelines of

Urolithiasis. European Association of Urology. 2011.

3. Jaffe RA. Anesthesiologist's manual of surgical procedures. Lippincott Williams & Wilkins; 2014.

4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Kleinman W, Nitti GJ, Nitti JT, Raya J, Bedford RF, Bion JF,
Butterworth J, Cohen NH. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-hill; 2002.

Anda mungkin juga menyukai