Anda di halaman 1dari 10

KEPERAWATAN ANESTESI PADA PASIEN DIABETES MELITUS YANG AKAN MENJALANI OPERASI

CHOLESISTEKTOMI PERLARARASCOPY.
Sri sulami S kep, MM/ pert ke 11.
Metodologikeperawatananestesi

A. Keperawatan anestesi pre operasi.


Rencana keperawatan anestesi pada pasien diabetes mellitus yang akan menjalani
laparascopy cholesistektomi yaitu dengan tehnik anestesi umum dengan pemasangan
ETT atau sesuai dengan kondisi pasien dan kebutuhannya pada saat operasi dengan
pertimbangan memperkecil kemungkinan terjadinya komplikasi selama tindakan
perioperatif.

1. Pertimbangan anestesi pada pasien diabetes mellitus akan menjalani cholesistektomi


per laparascopy.
1. Kendali ketat diabetes mellitus sebelum dan selama operasi adalah wajib dan insulin
harus diberikan pada pasien diabetes mellitus tipe 1 meskipun dipuasakan.
2. Pasien diabetes tanpa memandang terapi yang diberikan harus dimonitor gula
darahnya secara berkala sebelum operasi, karena hipoglikemia dapat menyebabkan
kerusakan otak yang irrevesible.
3. Penderita-penderita yang tidak dapat insulin tetapi tidak terkontrol dengan terapi
anti diabetika oral tidak memerlukan tindakan khusus tetapi sebaiknya
menghentikan obat-obat premidikasi.
4. Apabila sedang dalam pengobatan anti diabetika oral sebaiknya dihentikan dan
diganti dengan anti diabetika parenteral (insulin).
5. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hiperglikemia, maka pemberian insulin
dapat diberikan setelah dilakukan pemasangan jalur intravena dengan pemberian
cairan dektrose 5% (1,5 ml/kg/jam) dan pemeriksaan kadarg lukosa pagi.
6. Pengosongan saluran pencernaan untuk mencegah aspirasi karena
regurgitasi/muntah pada operasi elektif pasien dewasa dipuasakan selama 6-8 jam
sebelum operasi.
7. Untuk operasi elektif kadar gula darah pasien harus <200 dan untuk operasi cyto
gula darah harus <250.

2. Anamnesa.
Anamnesa dilakukan dengan pasien sendiri atau dengan keluarga/pengantarnya, yang
meliputi:
1. Identitas pasien yang terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, alamat, nomer medical
record, diagnose medis, pekerjaan, agama dan sebagainya.
2. Anamnesa khusus yang berkaitan dengan cholesystektomi.
3. Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang memungkinkan menjadi
penyulit selama tindakan anestesi pada system endokrin diabetes melitus, yaitu
apakah diabetes mellitus stabil atau tidak, serta sudah berapa lama menderita
penyakit diabetes mellitus.
4. Pasien diabetes tanpa memandang terapi yang akan diberikan, harus dimonitor
kadar gula darahnya secara berkala sebelum operasi, karena hipoglikemi dapat
menyebabkan kerusakan otak yang bersifat irreversible.
5. Tanyakan pada pasien apakah urine yang keluar banyak, karena itu merupakan
komplikasi dari hiperglikemia.
6. Riwayat kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengarui tindakan anestesi
seperti merokok, meminum alcohol dan mengunakan obat-obatan “ tertentu “
harus di berhentikan minimal dua minggu sebelum operasi.
7. Menanyakan kepada pasien apakah memakai gigi palsu, jika ya gigi palsu harus
dilepas untuk menghindari patah/lepas pada saat tindakan laringoskopi yang dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas.
8. Riwayat obat antidiabetik yang meliputi riwayat allergi obat, intoleransi obat dan
obat yang sedang digunakan karena dapat menimbulkan interaksi dengan obat
anestesi.
9. Pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan terapi oral harus menghentikan
penggunaan obatnya 12 – 24 jam sebelum operasi.
10. Informed consen, (SIA dan SIO) dijelaskan terhadap pasien dan keluarga, bahwa
pasien akan dilakukan tindakan anestesi umum (Pembiusan total) dengan berbagai
resiko. Resiko dari tindakan pembedahan laparoskopi cholesystektomi yaitu
hipotensi, caediac arrest, pneumothoraks, emboli gas, hiperglikemia, hipoglikemia,
trauma pembuluh darah retroperitoneal, trauma pembuluh darah pada dinding
abdomen, trauma usus, trauma urologi.

3. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang.


Pemeriksaan fisik dan penunjang, yaitu:
1. Penilaian status metabolic, status volume, dan status jantung.
2. Pemeriksaan jalan napas.
3. Pemeriksaan pada system urinarius, apakah sudah terjadi komplikasi hiperglikemia
yang menyebabkan polyuria atau belum.
4. Pemeriksaan laboratorium seperti kadar gula darah, keton bodies, ureum, kreatinin,
haemoglobin, hematocrit, leukosit, trombosit, eritrosit, laju endap darah, masa
pembekuan dan masa perdarahan, serta dapat dilakukan pemeriksaan analisa gas
darah, hemostatis lengkap, dan elektrolit.
5. Pemeriksaan chest film dan foto torax umumnya hasil pemeriksaannya adalah
normal dan hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya dilakukan bila ada
kecurigaan adanya proses patologi paru atau adanya komplikasi asma seperti
pneumuthorax, atelektasis dan pneumonia.
6. EKG, jika umur diatas 40 tahun atau mempunyai indikasi untuk pemeriksaan EKG

4. Penentuan Status ASA


Status fisik penderita (keadaan umum penderita). Status fisik penderita dibagi
berdasarkan ASA = American Society of Anesthesiologists, untuk pasien
cholesistektomy ditemukan pada klasifikasi ASA 2 dan 3 tergantung penyakit diabetes
melitus yang diderita mendapat penanganan sesuai dengan pengobatan atau tidak
terkontrol.

5. Persiapan Alat Anestesi


Pasien pembedahan cholesistektomy operasinya berlangsung sekitar 1 sampai 2
jam, menggunakan teknik anestesi umum dengan intubasi endotrakea, persiapan alat
yang terdiri dari STATICS antara lain:
1. S = Scope (stetoskop dan Laringoskop).
2. T = Tube (ETT)
3. A = Airway (Orafaringeal airway / nasofaringeal airway dan Facemask
4. T = Tape (plester)
5. I = Introducer (mandrin)
6. C= Connector
7. S = Suction

6. Persiapan Obat-Obatan
Persiapan obat-obatan anestesi pada pasien diabetes melitus yang akan
menjalani cholesistektomi per laparascopy terdapat :
1. Premedikasi
Pertimbangan pemberian obat premedikasi untuk pasien cholelithiasis dapat
diberikan:
a. Pemberian obat anti emetic berupa Ondansentrone 4 mg untuk
Mencegah terjadinya mual - muntah.
b. Golongan benzodiazepin (diazepam / midazolam) efektif untuk mengatasi
kecemasan.
2. Obat Trias Anestesi
a. Golongan Hipnotik Sedative
1) Ketamin/IV, dosis : 1-3 mg/kg BB
2) Propofol / IV, dosis : 2-2,5 mg/kg BB
b. Golongan Opioid
1) Fentanyl / IV, dosis : 1-3 mcg/kgBB
2) Petihdin / IV, dosis : 0,6-1 mg/kgBB
c. Golongan Muscle Relaxant
1) Atracurium / IV, dosis : 0,5 mg/kgBB
2) Rocuronium/ IV, dosis : 0,6-1 mg/kgBB
3. Obat-Obat Inhalasi
a. Halothane : 0,72 vol%
b. Isoflrane : 1,12 vol%
c. Sevoflurane : 2,05 vol%
4. Obat-obat emergency yang harus ada dalam kotak emergency
a. Sulfas Atropin
b. Epedrin
c. Aminofilin
d. Asam tranexamat, Adrenalin dan Lidokain

B. Keperawatan Anestesi Intra Operatif


1. Pelaksanaan Anestesi
Teknik anetesi yang digunakan pada pasien diabetes melitus yang akan menjalani
cholesistektomy per laparaskopi adalah anestesi umum dengan tehnik intubasi
menggunakan Endotracheal tube denganbalon, dan dilakukan ventilasi control
dengan tekanan positif, karena operasi daerah abdomen biasanya 1-2 jam.
2. Induksi Anestesi
Pemberian oksigenasi 2-3 liter melalui facemask untuk mengatasi kesulitan napas
atau apnea karena pemberian agen induksi (trias anestesi). Pasien yang akan di
lakukan intubasi maka induksinya bias dilakukan dengan obat inhalasi, intravena
ataupun dengan combine anestesia.
Pertimbangan penggunaan obat induksi anestesi, meliputi :
a. Agen Inhalasi
Untuk agen inhalasi yang biasanya digunakan adalah Sevoflurane karena
merupakan pilihan gas anyesi untuk pasien cholesotektomy per laparascopy.
Sevoflurane dapat menyebabkan tekanan darah dan denyut jantung yang relatif
stabil, tidak menimbulkan aritmia, proses induksi dan pemulihannya paling cepat
dari semua obat inhalasi, sevoflurane tidak berbau, tidak iritatif sehingga baik
untuk induksi inhalasi dan memiliki efek bronkhodilator. Pada operasi
laparaskopi halothane sebaiknya dihindari karena menyebabkan aritmia dengan
adanya
hiperkarbi. Gas N20 dapat diberikan dengan konsentrasi tidak lebih dari 50%
b. Obat-obat induksi Intravena
- Hipnotik
Propofol dapat digunkan untuk mencegah bronkokontriksi melalui
mekanisme utamnya yaitu penekanan pada neural, melalui penekanan
langsung pada aktivitasotot polos airway. Propofol
Dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB dapat menurunkan insidensi wheezing
setelah intubasi, dan lebih menguntungkan karena onset yang cepat dan
akhir yang cepat pula.
- Analgetik
Fentanyl adalah obat analgesik yang sangat kuat berupa cairan isotonic
steril untuk penggunaan secara IV, zat sintetik seperti petidin dengan
kekuatan 100x dari morfin. Fentanyl memiliki onset yang sangat cepat
dan lama aksi yang sangat singkat. Dosis fentanyl adalah 1-3 mug/kgBB,
fentanyl tidak menyebabkan histamine realese, berbeda dengan petidine
dan morfin yang menyebabkan histamine realese sehingga dapat memicu
kejadian asma pada saat induksi anestesi.

- Muscle Relaxant
Pertimbangan pemilihan pelumpuh otot adalah disesuaikan dengan
kebutuhan relaksasi dan lamanya operasi. Dapat digunakan atrakurium.
Atrakurium memiliki sifat histamine release, sehingga pemberiannya
secara lambat dan minimal. Dosis yang tinggi (0,5 mg/kgBB) dapat
menimbulkan pelepasan histamine sedang, penurunan tekanan arteri
dan peningkatan nadi. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam
penggunaan muscle relaxant adalah perlu tidaknya melakukan reverse.

3. Intubasi
Setelah dilakukan induksi dan onset dari obat telah tercapai dan pasien
sudah apnea dan rileks kemudian dilakukan tindakan intubasi secara smooth
agar tidak terjadi reflek vagal, pegang laringoskop dengan tangan kiri dan
masukan laringoskop ke kanan geser lidah kekiri saat ujung blade sudah di
pangkal lidah kemudian angkat sampai epiglottis terlihat dan masukan ETT
diberi udara perlahan-lahan setelah ETT masuk kemudian balon menggunakan
spuit 5 cc, sambungkan dengan curigated dengan ETT, seksaura
nafas/auskultasi pada paru-paru kanan, paru kiri kemudian ke epigastrium,
jika suara lebih besar di paru kanan, tarik ETT sedikit karena ETT terlalu
masuk ke kanan dan jika suara kiri dan kanan sama ETT difiksasi, setelah
terintubasi control pernafasan pasien menggunakan ventilator dengan tidal
volume disesuaikan dengan BB pasien 6-8/kgBB. Setelah di intubasi
dilakukan pemasangan NGT dan kateter urine untuk dekompresi.
4. Posisi
Posisi pasien supine. Perhatikan pada titik tekanan dan mata ditutup pakai
plester agar mata tidak iritasi akibat lampu operasi, pada operasi laparaskopi
pada saat insensi Veress needle dan kanula pasien di posisikan trendelenburg,
posisi pasien selanjutnya disesuaikan dengan prosedur operasi yang akan di
jalani.
5. Pemeliharaan Anestesi
Pemeliharaan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena atau dengan
inhalasi. Pemeliharaan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu
tidur ringan (hipnotik) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar
pasien selama pembedahan tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik
yang cukup. Bedah lama biasanya menggunakan opioid, pelumpuh otot dan
pola nafas kendali (ventilator). Untuk mengembangkan paru digunakan
inhalasi N20 dan 02 dengan perbandingan 50:50 di tambah sevoflurane
dengan MAC 2,05 Vol%.
6. Monitoring Anestesi
Selama pembedahan dilakukan pemantauan bagi setiap pemberian anestesi
dan analgesi untuk meningkatkan kualitas penatalaksanaan pasien,
diantaranya :
- Jalan Nafas
Keutuhan jalan nafas dengan intubasi ETT dipantau secara ketat dan
kontinyu, pada pola nafas spontan, pemantauan dilakukan melalui
auskultasi terdengar suara patologis, gerakan kantong reservoir terhenti
atau menurun, tampak gerakan dada paradoksial, pada nafas kendali
adanya tekanan inflasi terasa berat, tekanan positif inspirasi meningkat.
- Oksigenasi
Memastikan kadar udara atau gas inspirasi didalam darah, dilakukan
dengan cara memeriksa kadar oksigen gas inspirasi menggunakan pulse
oxymetry yang mempunyai alarm batas minimum dan maksimum.
Oksigen darah diperiksa secara klinis dengan melihat warna darah luka
operasi dan permukaan mukosa secara kualitatif dengan alat oksimeter
denyut serta pemeriksaan analisa gas darah bila diperlukan.
- Ventilasi
Memantau kekuatan ventilasi secara diagnostic fisik yang dilakukan
secara kualitatif dengan mengawasi gerak naik turunnya dada, kembang
kempisnya kantong reservoir atau auskultasi suara nafas. Analisa gas
darah untuk menilai tekanan parsial CO2 (karbondioksida).
- Sirkulasi
Memastikan fungsi sirkulasi pasien adekuat dilakukan dengan
menghitung denyut nadi secara teratur, kemudian mengukur tekanan
darah secara non invasive menggunakan tensimeter, diukur secara sering
dan teratur. Selain itu secara invasif, EKG, disertai dengan oksimeter
denyut. Produksi urin ditampung dan diukur volumenya setiap jam
menggunakan kateter urine.
Monitoring anestesi pada teknik laparascopy yang harus diperhatikan :

 Perhatikan tanda-tanda vital pasien pada saat dilakukan insufiasi gas


CO2 terhadap kemungkinan vagal reflek akibat peregangan
peritoneum.
 Apabila terjadi vagal reflek berikan vagolitik.
 Tekanan intra abdominal saat insuflasi dibatasi tidak lebih dari 15
mmHg untuk mengurangi perubahan fisiologi akibat
pneumoperitoneum.
 Durante operasi dilakukan monitoring terhadap tekanan darah, laju
nadi, saturasi, diuresis, EKG dan end tidal CO2. Disamping monitoring
mekanik harus dilakukan pola monitoring visual dan taktil dengan
menilai warna kulit, turgor kulit, capillary refil time, edema pada
konjungtiva dan kornea akibat posisi, emfisema sub kutan pada dada.
Pemeriksaan ini harus dilakukan secara periodic karena selama
laparaskopi dapat terjadi perubahan yang mendadak.
 Selama operasi harus di pantau tanda-tanda adanya komplikasi
emboli dan pneumotoraks.
 Berikan profilaksis terhdap PONV.
7. Terapi Cairan
a. Pilihan Cairan
Pada laparaskopi tidak terjadi evaporasi dan perpindahan cairan yang
besar keruang ketiga, sehingga pemberian cairan pengganti dibatasi
dengan pemberian RL 2,5-4 ml/kgBB/jam ditambah dengan cairan
maintenance. Pengganti kehilangan cairan selama operasi seperti
Dextrose 5%, NaCl dan berikan insulin intra operasi dengan dosis 0,1
mg/kgBB/jam secara intravena.
b. Kebutuhan Cairan
- Kebutuhan cairan rutin (maintenance) meliputi :
4 ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg pertama.
2 ml/kgBB/jam tambahan untuk berat badan 10 kg kedua.
1 ml/kgBB/jam tambahan untuk sisa berat badan
- Koreksi cairan selama operasi diperhitungkan sebagai berikut :
Rumus : Berat Badan x Jenis Operasi
6-8 ml/kgBB untuk bedah besar
4-6 ml/kgBB untuk bedah sedang
2-4 ml/kgBB untuk bedah kecil
- Koreksi cairan deficit puasa adalah :
Rumus : Kebutuhan Cairan Rutin (maintenance) x Lama Puasa
Jam I : ½ Defisit + Maintenance + Cairan Pemeliharaan/jam
Jam II : ¼ Defisit + Maintenance + Cairan Pemeliharaan/jam
Jam III : ¼ Defisit + Maintenance + CairanPemeliharaan/jam
Jam IV : Maintenance + Cairan Pemeliharaan/Jam
8. Pengakhiran Anestesi
Setelah operasi berakhir, tindakan selanjutnya adalah melakukan
ekstubasi ETT dan pengakhiran anestesi. Pilihan ekstubasi yang dilakukan
yaitu ekstubasi bangun. Ekstubasi bangun adalah ekstubasi dilakukan saat
sadar penuh dan reflek proteksi jalan nafas telah pulih. Hemodinamik pasien
harus stabil, suhu tubuhnya hangat, kooperatif. Obat pelumpuh otot sudah
ternetralisir penuh sebelum ekstubasi dengan pemberian oksigen 100% dan
reverse jika perlu dengan sulfas atropine 0,25 mg dan prostigmine 0,5 mg dan
kembalinya fungsi paru yang adekuat. Hentikan obat inhalasi anestesi dan
berikan oksigen murni 100%. Bersihkan rongga mulut, apabila diperlukan
suction lender dari dalam ETT, buka fiksasi ETT dan cabut/keluarkan ETT
apabila sudah diyakini nafas adekuat.

C. Keperawatan Pasca Anestesi


Pasca anestesi merupakan periode kritis dimulai setelah pembedahan dan
anestesi diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh anestesi. Pasien pindah dari kamar
operasi keruang pemulihan secara hati-hati karena pasien belum sadar penuh, posisi
kepala diatur sedemikian rupa agar jalan nafas tetap adekuat sehingga ventilasi
terjamin. Monitoring selama pasien berada di RR, meliputi :
 Insulin continue diperiksa 1-2 jam
Sebagai control gula darah agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan seperti
hipoglikemi dan hiperglikemi.
 Kesadaran
Pemulihan kesadaran merupakan salah satu penyulit yang paling sering dihadapi
karena gelisah dan berontak penyebabnya seperti nyeri hebat, hipoksiam buli-buli
penuh, pemakaian ketamin, stress yang berlebihan prabedah. Kriteria dari
kesadaran meliputi bangun sadar penuh, dapat menjawab pertanyaan, berespon
apabila di panggil nama, dan tidak ada respon.
 Respirasi
Respirasi yang harus dinilai adalah suara nafas, frekuensi nafas irama nafas, volume
tidal, kapasitas vital. Perhatikan komplikasi-komplikasinya seperti sumbatan jalan
nafas karena lidah jatuh kebelakang, benda asing, spasme bronkus atau depresi
nafas akibat efek sisa opiat, hipokapnea, hipotermi dan hipoperfusi.
 Sirkulasi
Hemodinamik yang harus diperhatikan yakni hipotensi yang disebabkan oleh
perdarahan, defisitcairan, dilatasi pembuluh darah yang berlebihan.
 Aktifitas motoric
Pemulihan aktifitas motorik berhubungan dengan fungsi respirasi, karena pelumpuh
otot pasien mengalami hipoventilasi dan aktifitasmotorik yang lainnya belum
kembali normal. Berikan oksigen 3-5 liter, reverse dengan atropine 0,25 mg dan
prostifmine 0,5 mg dan pantau selama 15 menit.
 Pemantauan pasca anestesi dan kriteia pengeluaran
Kriteria pengeluaran pada pasien cholesostektomy perlaparaskopi dengan
menggunakan aldrete score, penilaian dilakukan pada saat masuk ke ruang
pemulihan, dan di catat setiap 5 menit tercapai nilai minimal 8 dan total 10, maka
pasien boleh dipindahakan keruang perawatan.

1. Analgetik Pasca Anestesi


Analgetik pasca pembedahan yang digunakan adalah Tramadol 100 mg di drip
dalam tutofusin/ringer lacktat 20 tetes per menit, karena tramadol diberikan
untuk pasien dengan nyeri sedang sampai berat pasca operasi yang diberikan
secara intravena yang mempunyai kemampuan sama dengan pethidine.

DAFTAR PUSTAKA
1. Robertshaw, H.J., Hall, G.M. Anaesthetic Management of Patients with diabetes
Mellitus, Dalam : Terjemahan British Journal of Anaesthesia : 2010
2. Smeltzer, susan c. Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 12.
EGC : Jakarta. 2014. 186-214.
3. Rehatta, N. Margarita et al. Anestesiologi dan Terapi Intensif Buku Teks KATI-
PERDATIN. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. 2019. 258-263. 525-532.
4. Soegondo, Sidartawan et al, Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2018, 273.
5. Tanto, Chris et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ke-4 Jilid II. Media
Aesculapius : Jakarta. 2014.
6. Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. PT Gramedia Pustaka
Utama : Jakarta. 2018.
7. Sinardja, Cynthia D et al. Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Laparaskopi.
Fk Unud/ Rsup Sanglah; Bali. 2016.
8. Zollinger, Robert M. Zollinger's Atlas of surgical Operation 8th edition,
international edition : USA. 2003.
9. Cole, DJ et al. Adult Peruoperative Anesthesia : The Requesites in Anesthesiology
: Mosby. 2004.
10. Hadibroto, Budi R. Laparaskopi Operatif. FK Universitas Sumatera Utara :
Medan. 2007
11. Latief, Said A. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi kedua. FK Universitas
Indonesia : Jakarta. 2001.
12. Wargahadibrata, A.Himendra.Anestesiologi untuk Mahasiswa Kedokteran, SAGA
Olahcitra : Bandung. 2007.
13. Mangku, Gde et al. Buku Ajar IlmuAnestesia dan Reanimasi. PT.Macanan Jaya
Cemerlang : Jakarta Barat. 2010.
14. Pramo, Ardi. Buku Kuliah Anestesi. EGC : Jakarta. 2017.
15. Soerasdi, Erasmus. Obat-obatan Anesthesia Sehari-hari. Bandung 2016.
16. Medical. Anesthesia dan Intensive Care. 2019.
17. Keat, Sally et al. Anaesthesia on the move. PT.Indeks : Jakarta. 2013.

Anda mungkin juga menyukai