Anda di halaman 1dari 7

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF

DAN MANAJEMEN NYERI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
TUGAS TAMBAHAN

Perioperatif Pasien dengan Riwayat Kardiak pada Operasi Non Kardiak


TERAPI CAIRAN, ELEKTROLIT DAN METABOLIK

Oleh :
Fiqih Eka Putra
C135221012

Pembimbing :
Dr. Syafruddin Gaus, Ph.D, Sp.An-TI, Subsp.MN(K), Subsp.N.An(K)

DIKERJAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN YANG DIKETAHUI
ATAU DICURIGAI MENDERITA PENYAKIT JANTUNG
ISKEMIA YANG SEDANG MENJALANI PEMBEDAHAN NON-
KARDIAK

Kecemasan dapat menyebabkan takikardia danhipertensi pada


periode prabedah. Midazolam 1-4 mg sering diberikan sesaat sebelum
(dalam waktu 30 hingga 60 menit) atau selama induksi anestesi umum
sebagai ajuvan untuk mengurangi kecemasan.

Manajemen prabedah pasien dengan Penyakit jantung iskemia


atau dengan faktor risiko untuk penyakit jantung iskemia diarahkan untuk
tujuan sebagai berikut: menentukan luasnya Penyakit jantung iskemia dan
intervensi yang telah didapat sebelumnya (CABG, PCI), (2) menilai
tingkat keparahan dan stabilitas penyakit, dan (3) meninjau obat dan
antikoagulan yang telah didapat. Dua tujuan yang pertama merupakan hal
penting untuk menentukan besarnya risiko anestesi. Sebagian besar
iskemia miokardia terjadi selama pascabedah. Untuk pasien dengan
penyakit jantung iskemia pada risiko tinggi, pemantauan yang ketat di
PACU dan selama periode pascabedah harus dilakukan. Pasien dengan
gejala atau perubahan EKG yang menandakan iskemia atau infark
miokardia harus dipantau dengan EKG 12 lead dan pemeriksaan troponin.

STRATIFIKASI RISIKO

Untuk pasien dalam kondisi stabil yang sedang melakukan pembedahan


mayor elektif nonkardiak, stratifikasi risiko terjadinya komplikasi kardiak
dapat dilihat berdasarkan Revised Cardiac Risk Index (RCRI), yang
terdiri enam prediktor independent. Semakin banyak faktor risiko yang
ada pada pasien, semakin besar kemungkinan terjadinya komplikasi
kardiak perioperatif seperti kematian, henti jantung atau ventrikel
fibrilasi, blok jantung total, infark miokardia akut, dan edema paru.

MANAJEMEN SETELAH STRATIFIKASI RISIKO


Dengan stratifikasi risiko dapat diidentifikasi pasien risiko tinggi
mendapat komplikasi kardiak, sehingga pengelolaan pasien, baik secara
farmakologi maupun intervensional, dapat diarahkan untuk mengurangi
risiko atau keparahan komplikasi kardiak perioperatif. Tiga pilihan terapi
yang tersedia sebelum pembedahan elektif non-kardiak adalah (1)
revaskularisasi dengan pembedahan jantung, (2) revaskularisasi dengan
percutaneous coronary intervention (PCI), dan (3) mengoptimalkan
manajemen pengobatan. Pada pasien non-bedah, strategi penatalaksanaan
seperti PCI (dengan atau tanpa pemasangan stent), pembedahan coronary
artery bypass graft (CABG), dan terapi obat telah terbukti efikasinya
dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas jangka panjang. Pasien
dengan penyakit jantung iskemia signifikan yang datang untuk
pembedahan nonkardiak mungkin ditunda pembedahannya untuk
mendapatkan satu atau lebih pilihan terapi di atas. Intervensi koroner
disesuaikan dengan kondisi jantung pasien dan membutuhkan waktu
pemulihan pasca-revaskularisasi sehingga pembedahan bisa tertunda lebih
lama lagi.

Pada pasien yang mendapat intervensi coroner berupa pemasangan Drug


Eluting Stent (DES) direkomendasikan untuk ditunda pembedahannya
setelah 12 bulan. Sedangkan pada pemasangan Bare Metal Stent (BMS),
pembedahan dapat dilakukan idealnya setelah 3 bulan atau minimal 4
minggu. Untuk pembedahan setelah pemasangan balloon angioplasty
sebaiknya dilakukan 2 minggu setelah intervensi.

Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis karena disfungsi atau


kegagalan pompa jantung (supply) dalam memenuhi kebutuhan nutrisi
dan oksigen (demand) tubuh. Dapat diklasifikasikan menurut jenis
disfungsi (sistolik dan diastolik), menurut anatomi dan fisiologi (dilatasi,
hipertrofi, dan restriktif kardiomiopati), serta menurut etiologinya. "
Gagal jantung dapat terjadi karena iskemia jantung, penyakit katup
jantung, infeksi, atau berbagai macam kardiomiopati. Pasien dapat
mengalami gejala gagal jantung, seperti sesak napas dan kelelahan,
meskipun fraksi ejeksi tetap baik ataupun berkurang." Gagal jantung akan
terus memburuk dari waktu ke waktu.

Pada pasien gagal jantung, dengan pemeriksaan ekokardiografi, dapat


didiagnosis adanya defek jantung struktural, remodelling jantung,
menentukan fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan untuk menilai fungsi diastolik
jantung. Kompensasi tubuh terhadap kegagalan sistolik ventrikel kiri
berupa aktivasi saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosterone.
Dapat terjadi retensi garam, ekspansi volume, stimulasi simpatis, dan
vasokonstriksi. Dilatasi jantung disebabkan oleh upaya jantung untuk
menjaga volume sekuncup pada keadaan kontraktilitas yang menurun.
Seiring dengan berjalannya waktu, mekanisme kompensasi gagal dan
menyebabkan gejala-gejala gagal jantung (edema, takikardia, penurunan
perfusi jaringan).

Jantung dengan fungsi diastolik yang masih baik dapat menampung


volume yang cukup saat diastolic dengan peningkatan minimal pada
tekanan enddiastolic ventrikel kiri. Sebaliknya jantung dengan disfungsi
diastolik tidak dapat relaksasi dengan sempurna sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan end-diastolic pada ventrikel kiri. Peningkatan
tekanan ini diteruskan ke atrium kiri dan pembuluh darah paru-paru
sehingga menyebabkan gejala-gejala kongesti. Pasien dengan jantung
memiliki risiko lebih besar mendapat morbiditas perioperatif.”

Pembedahan dapat dilakukan pada pasien dengan gagal jantung sistolik


setelah pasien mendapatkan terapi diuretik, beta blocker, ACE inhibitor
atau ARB, dan antagonis aldosteron bila memungkinkan. Elektrolit serum
harus diperiksa dengan teliti karena diuretik dapat menyebabkan
hipokalemia. ARB atau ACE inhibitor dapat menyebabkan hipotensi pada
pasien gagal jantung yang menjalani pembedahan.
MANAJEMEN ANESTESI

1. Evaluasi dan Manajemen Prabedah

Gagal jantung adalah faktor risiko tunggal paling penting untuk


memprediksi morbiditas dan mortalitasperioperatif pada pasien
kardiak. Pasien gagal jantung memiliki risiko lebih tinggi untuk
menderita gagal ginjal, sepsis, pneumonia, dan henti jantung:
ventilasi mekanik yang lama, dan peningkatan mortalitas 30 hari
pascabedah. Seluruh faktor pencetus gagal jantung karenanya
harus dicari dan ditangani secara agresif sebelum pembedahan
elektif.

Pasien yang sedang dalam pengobatan gagal jantung biasanya


mengonsumsi beberapa obat yang dapat memengaruhi manajemen
anestesi. Secara umum disepakati bahwa diuretik harus dihentikan
pada hari pembedahan. Terapi B-blocker dapat dipertahankan,
karena beberapa penelitan menunjukkan bahwa P-blocker
mengurangi morbiditas dan mortalitas perioperatif. Pemakaian
ACE inhibitor dapat menyebabkan meningkatnya risiko hipotensi
intraoperasi. Hipotensi ini dapat ditangani dengan obat
simpatomimetik seperti efedrin, a-agonist (phenylephrine), atau
vasopressin. Meskipun efek hipotensi dapat terjadi akibat ACE
inhibitor maupun ARB, pedoman ACC/AHA 2014 pada evaluasi
kardiovaskular perioperatif dan manajemen pasien yang
melakukan pembedaan non-kardiak merekomendasikan untuk
tetap mempertahankan terapi ini selama periode perioperatif. Pada
evaluasi prabedah, hasil uji elektrolit terkini, fungsi ginjal, fungsi
hati, EKG, dan ekokardiogram harus ditinjau.

2. Manajemen Intrabedah
Dosis obat anestesi umum perlu untuk disesuaikan pada pasien
gagal jantung. Opioid sangat bermanfaat pada pasien gagal
jantung karena efeknya pada S-reseptor yang dapat menghambat
aktivasi adrenergic. Ventilasi tekanan positif dan tekanan akhir
ekspirasi positif (PEEP) dapat bermanfaat dalam mengurangi
sumbatan paru dan meningkatkan oksigenasi arteri.

Jenis pemantauan disesuaikan dengan kompleksitas pembedahan.


Pemantauan tekanan intra-arteri invasif dapat dilakukan pada
pembedahan mayor. Kelebihan cairan selama periode perioperatif
dapat mengakibatkan kondisi gagal jantung yang semakin parah.
Penggunaan kateter arteri pulmonal intrabedah dapat membantu
mengevaluasi kecukupan cairan, namun pada pasien dengan gagal
jantung diastolic dan pengisian ventrikel yang buruk, penilaian
volume diastolik akhir ventrikel kiri sulit dilakukan. TEE adalah
alternatif pemantauan yang baik untuk mengevaluasi pengisian
ventrikel, pergerakan dinding ventrikel, dan fungsi katup jantung.
Baru-baru ini, alat pemantauan non-invasif dan minimal invasif
untuk pemantauan curah jantung telah tersedia di praktik klinik.
Monitor doppler esofagus merupakan alat non-invasif yang terdiri
dari probe kecil yang diletakkan di esophagus sejajar dengan
aliran darah di aorta desenden, alat ini dihubungkan dengan
monitor yang menunjukkan data berkelanjutan volume sekuncup
dan curah jantung dan estimasi resistensi vaskular sistemik.

Penggunaan dari alat ini membutuhkan ahli yang terlatih. Alat ini
telah divalidasi untuk optimalisasi cairan pada situasi klinis
multipel. Alat invasif minimal lainnya meliputi FloTrac, LiDCO,
dan PiCCO. FloTrac memberikan parameter hemodinamik
berbasis aliran dan diukur melalui jalur arteri." Sistem LiDCO
menghitung curah jantung dengan metode dilusi warna,
menggunakan larutan litium sebagai “pewarna” Pengukuran ini
dapat dilakukan dengan menggunakan kateter vena perifer.

Alat PiCCO (pulse index continuous cardiac output)


membutuhkan kateter arteri dan kateter vena sentral. Alat ini
menggabungkan analisis kontur denyut dan teknik termodilusi
transkardiopulmonal. PiCCO dapat digunakan untuk mengukur
curah jantung, preload, afterload, kontraktilitas, volume responsif,
dan penilaian cairan paru ekstravaskular.

Anestesi regional pada pasien gagal jantung masih merupakan


kontroversi. Anestesi regional dapat menyebabkan penurunan
resistensi vaskular sistemik yang disebabkan oleh blokade
simpatis. Penurunan resistensi vaskular sistemik ini tidak selalu
dapat diprediksi dan dikendalikan. Perhatian khusus harus
diberikan kepada pasien pascatransplantasi jantung yang
membutuhkan pembedahan lain. Pasien ini mendapatkan terapi
imunosupresan jangka panjang dan berisiko tinggi terkena infeksi.
Teknik asepsis ketat diperlukan ketika melakukan prosedur invasif
seperti pemasangan jalur sentral atau blokade neuroaksial. Pada
transplantasi jantung, jantung didenervasi. Oleh karena itu, bila
dibutuhkan dapat diberikan B-adrenergic agonist kerja langsung
seperti isoproterenol dan epinefrin. Perubahan denyut jantung
tidak akan terjadi dengan pemberian atropin atau pancuronium.
Pascatransplantasi jantung, curah jantung tergantung pada volume
sekuncup.

Oleh karena itu, pasien pascatransplantasi jantung merupakan


preloaddependent dan membutuhkan volume intravascular yang
adekuat. Bila terjadi reaksi penolakan, dapat terjadi disfungsi
diastolik. Pemberian cairan intrabedah karenanya ditujukan untuk
pemberian preload adekuat, yang merupakan syarat agar jantung
pascatransplantasi dapat berfungsi optimal. Pemberian cairan yang
berlebihan dapat menimbulkan edema paru.

3. Manajemen Pascabedah

Pasien yang terbukti memiliki gagal jantung akut selama


pembedahan harus dikirim ke ICU setelah operasi sehingga
pengawasan invasif dan penanganan intensif dapat dilanjutkan
sesuai dengan waktu yang diperlukan. Nyeri harus secara adekuat
ditangani sebab dapat memperburuk kondisi gagal jantung.

Anda mungkin juga menyukai