Anda di halaman 1dari 22

Indikasi Pemasangan DC (Dower Cateter)/Kateter Urin

Dalam tatalaksana stroke waktu merupakan hal yang sangat penting mengingat jendela terapinya hanya berkisar antara 3 sampai 6 jam. Tindakan di gawat darurat untuk stroke akut sebaiknya ditekankan pada hal-hal berikut: 1. Stabilisasi pasien 2. Pemeriksaan darah, EKG dan rontgen toraks 3. Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik 4. Pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI sesegera mungkin Pendekatan yang dilakukan di gawat darurat sebaiknya singkat dan terfokus pada hal-hal berikut: 1. Apa saja gejala yang muncul? 2. Kapan gejala tersebut muncul? 3. Bagamana tanda vital pasien? 4. Apakah pasien mempunyai riwayat hipertensi, diabetes melitus atau penyakit jantung? 5. Apakah pasien memakai aspirin atau warfarin? Tindakan yang harus segera dilakukan di gawat darurat : 1. Pemasangan jalur intravena dengan cairan normal salin 0,9% dengan kecepatan 20 ml/jam. Cairan hipotonis seperti dekstrosa 5% sebaiknya tidak digunakan karena dapat memperhebat edema serebri. 2. Pemberian oksigen melalui nasal kanul. 3. Jangan memberikan apapun melalui mulut. 4. Pemeriksaan EKG 5. Pemeriksaan rontgen toraks. 6. Pemeriksaan darah: Darah perifer lengkap dan hitung trombosit Kimia darah (glukosa, ureum, kreatinin dan elektrolit) PT (Prothrombin Time)/PTT (Partial Thromboplastin time) 7. Jika ada indikasi lakukan pemeriksaan berikut:

Kadar alkohol Fungsi hepar Analisa gas darah Skrining toksikologi

8. Pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras 9. Pasien dengan kesadaran yang sangat menurun (stupor/koma) ataupun dengan gagal nafas perlu dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan intubasi sebelum CT Scan. Hal yang harus selalu diingat adalah komplikasi tersering yang dapat menyebabkan kematian. Herniasi transtentorial dapat terjadi pada infark yang luas ataupun perdarahan luas dengan perluasan ke ventrikel atau perdarahan subarakhnoid. Pneumonia aspirasi juga penyebab kematian yang cukup sering pada stroke akut. Semua pasien stroke akut harus diperlakukan sebagai pasien dengan disfagia sampai terbukti tidak. Komplikasi lainnya adalah infark miokard akut, sekitar 3% penderita stroke iskemik mengalami komplikasi ini.

Tabel 1. Penyebab stroke 1. Infark (80%) a. Emboli a) Emboli kardiogenik


Fibrilasi atrium atau aritmia lainnya Trombus mural ventrikel kiri Penyakit katup mitral atau aorta Endokardditis (infeksi atau non infeksi paradoksal Emboli (foramen arkus ovale paten) aorta Aterotrombotik

b) Emboli c) b. a) Ekstrakranial

Karotis interna Arteri vertebralis

b) Intrakranial

Ateri karotis interna Arteri serebri media Arteri basilaris

c. Lakunar (oklusi arteri perforans kecil) 2. a. b. c. Angiopati amilod Perdarahan Malformasi intraserebral (15%) Hipertensi artei-vena

3. Perdarahan subarakhnoid (5%) 4. Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan) a. Trombosis sinus dura b. Diseksi arteri karotis atau vertebralis c. Vaskulitis sistim saraf pusat d. Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intrakranial yang progresif) e. Migren f. Kondisi hiperkoagulasi g. Penyalahgunaan obat (kokain atau amfetamin) h. Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisitemia atau leukemia) i. Miksoma atrium Penatalaksanaan stroke iskemik Konsep tentang area penumbra merupakan dasar dalam penatalaksanaan stroke iskemik. Jika

suatu arteri mengalami oklusi, maka bagian otak yang mengalami infark akan dikelilingi oleh area penumbra. Aliran darah ke area ini berkurang sehingga fungsinya pun akan terganggu, akan tetapi kerusakan yang terjadi tidak seberat area infark dan masih bersifat reversibel. Jika aliran darah ke area ini cukup adekuat selama masa kritis, maka area ini dapat diselamatkan. Pada studi eksperimental, didapatkan aliran darah ke otak yang rendah hanya dapat ditolerir selama periode waktu yang singkat. Sedangkan aliran darah ke otak yang cenderung tinggi masih dapat ditolerir selama beberapa jam tanpa menyebabkan infark. I. Terapi umum dan komplikasi akut Oksigenasi Oksigenasi yang adekuat sangat penting selama fase akut stroke iskemik untuk mencegah hipoksia dan perburukan neurologis. Penyebab tersering gangguan oksigenasi diantaranya obstruksi jalan nafas partial, hipoventilasi, pneumonia aspirasi ataupun atelektasis. Pasien dengan kesadaran menurun dan stroke batang otak beresiko mengalami gangguan oksigenasi. Tindakan intubasi harus dilakukan pada pasien dengan ancaman gagal nafas. Secara umum, pasien yang memerlukan tindakan intubasi mempunyai prognosis yang buruk, kurang lebih 50% nya meninggal dalam 30 hari. Monitoring dengan oksimetri sebaiknya dilakukan dengan target saturasi oksigen > 95%. Suplementasi oksigen diberikan pada pasien dengan hipoksia berdasarkan hasil analisa gas darah atau oksimetri. Indikasi pemasangan pipa endotrakeal: PO2 <50-60 mmHg PCO2 >50-60 mmHg Kapasitas vital < 500-800 mL Resiko aspirasi pada pasien yang kehilangan refleks proteksi jalan nafas Takipneu >35 kali/menit Dyspneu dengan kontraksi muskulus asesorius Asidosis respiratorik berat Indikasi trakeostomi: Koma dengan pemakaian ventilator lebih dari 14 hari Proteksi bronkial/bronkial cleansing Gangguan menelan dengan resiko aspirasi Obstruksi laring Pemakaian ETT lama Hipertensi pada stroke iskemik akut Hipertensi sering kali dijumpai pada pasien dengan stroke akut bahkan pasien yang sebelumnya normotensi sekalipun pada fase akut dapat mengalami peningkatan tekanan darah yang sifatnya transient. Pada 24 jam pertama fase akut stroke, lebih dari 60% pasien datang dengan tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan lebih dari 28% memiliki tekanan darah diastolik > 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah pada stroke iskemik merupakan respon otak yang bertujuan untuk meningkatkan tekanan perfusi otak sehingga aliran darah ke area penumbra pun akan meningkat. Diharapkan dengan respon tersebut kerusakan di area penumbra tidak bertambah berat. Akibatnya, penurunan tekanan darah yang terlalu agresif pada stroke iskemik akut dapat

memperluas infark dan perburukan neurologis. Tetapi tekanan darah yang terlalu tinggi, dapat menimbulkan infark hemoragik dan memperhebat edema serebri. Monitoring tekanan darah 1. Pengukuran TD dilakukan pada kedua lengan 2. Pastikan perbedaan TD antara kedua lengan tidak lebih dari 10 mmHg, jika terdapat perbedaan > 10 mmHg maka TD yang dipakai adalah yang lebih tinggi 3. Gunakan lengan yang paresis 4. Lengan harus setinggi jantung 5. Manset yang digunakan harus sesuai dengan besar lengan 6. Frekuensi pengukuran TD:

Dua jam pertama setiap 15 menit Dua sampai delapan jam berikutnya setiap 30 menit Sembilan sampai 24 jam selanjutnya setiap 1 jam

AHA/ASA merekomendasikan penatalaksanaan hipertensi pada stroke iskemik akut sebagai berikut: A. Pasien yang tidak akan diberikan terapi trombolisis TD sistolik < 220 atau diastolik < 120 Observasi kecuali jika ditemukan kegawatdaruratan hipertensi non neurologis seperti infark miokard akut, edema paru kardiogenik, ensefalopati hipertensi, retinopati hipertensi, diseksi aorta). Berikan terapi simptomatis (sakit kepala, nausea, muntah, agitasi, nyeri). Atasi komplikasi stroke lainnya seperti hipoksia, peningkatan tekanan intrakranial, kejang, hipo ataupun hiperglikemi. TD sistolik < 220 atau diastolik 121-140 Labetolol 10-20 mg IV selama 1-2 menit. Dapat diulang setiap 10 menit (maksimal 300 mg) atau Nicardipin 5 mg/jam IV infus (dosis inisial), dititrasi sampai efek yang diinginkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit sampai maksimal 15 mg/jam. Penurunan TD 10-20% dari TD sebelumnya TD diastolik > 140 Nitroprusid 0,5ug/KgBB/menit IV infus (dosis inisial) dengan monitoring TD kontinyu. Penurunan TD 10-20% dari TD sebelumnya B. Pasien kandidat terapi trombolisis Praterapi, sistolik > 185 atau diastolik >110 Labetolol 10-20 mg IV selama 1-2 menit. Dapat diulang satu kali atau nitropasta 1-2 inchi Selama/setelah terapi. 1. Monitor TD Periksa TD setiap 15 menit selama 2 jam setelah mulai terapi lalu setiap 30 menit selama 6 jam, selanjutnya tiap 60 menit sampai 24 jam. 2. Diastolik > 140 Sodium Nitroprusid 0,5 ug/KgBB/menit IV infus (dosis inisial) dititrasi sampai TD yang diinginkan. 3. Sistolik > 230 atau diastolik 121-140 Labetolol 10ug IV selama 1-2 menit.

Dapat diulang setiap 10 menit sampai maksimum 300 mg atau berikan dosis inisial lalu lanjutkan dengan drip 2-8 mg/menit. Atau Nicardipin 5 mg/jam IV infus (dosis inisial) dititrasi sampai efek yang diinginkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit sampai maksimal 15 mg/jam. 4. Sistolik 180-230 atau diastolik 105-120 Labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit. Dapat diulang setiap 10 menit sampai maksimum 300 mg atau berikan dosis inisial lalu lanjutkan dengan drip 2-8 mg/menit. Selain terapi seperti diatas, obat anti hipertensi oral yang dapat digunakan adalah captopril atau nicardipin. Pemakaian nifedipin sublingual sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang drastis. Hiperglikemia Broderick et al, Weir CJ et al, Kawai N et al membuktikan bahwa hiperglikemi reaktif maupun non reaktif selama iskemia otak akut menimbulkan efek yang berbahaya dan keluaran klinis yang lebih buruk terutama pada stroke non lakuner. Konsentrasi glukosa yang meningkat di area iskemik akan meningkatkan konsentasi laktat dan menyebabkan asidosis. Hal ini akan meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen yang akan merusak neuron-neuron. Hiperglikemia juga memperparah edema, meningkatkan pelepasan neurotransmiter excitatory amino acid dan melemahnya pembuluh darah di area iskemik. Batas kadar gula darah yang dianggap masih aman pada fase akut stroke iskemik non lakunar adalah 100-200 mg% (Hack W, et al, 1997). Indikasi dan syarat pemberian insulin 1. Stroke hemoragik dan non hemoragik dengan IDDM atau NIDDM 2. Bukan lakunar stroke dengan diabetes melitus. Kontrol gula darah selama fase akut stroke Insulin reguler diberikan subkutan setiap 6 jam dengan cara skala luncur atau infus intravena terus menerus. Insulin reguler dengan skala luncur Gula darah (mg/dL) Insulin tiap 6 jam SC/ sebelum makan < 80 Tidak diberikan insulin 80-150 Tidak diberikan insulin 150-200 2 unit 201-250 4 unit 251-300 6 unit 301-350 8 unit 351-400 10 unit >400 12 unit Bila kadar gula darah sulit dikendalikan dengan skala luncur, diperlukan infus kontinyu dengan dosis dimulai 1 unit/jam dan dapat dinaikkan sampai 10 unit/jam. Kadar gula darah harus dimonitor dengan ketat setiap 1-2 jam sehingga kecepatan infus dapat disesuaikan.

Hiperglikemia yang hebat >500 mg/dL, diberikan bolus pertama 5-10 unit insulin reguler tiap jam. Setelah kadar gula darah stabil dengan infus kontinyu atau skala luncur dilanjutkan dengan pemberian insulin reguler subkutan (fixdosed). Demam Peningkatan suhu tubuh pada stroke iskemik akut berhubungan dengan buruknya keluaran neurologik. Hal ini diduga karena peningkatan kebutuhan metabolik, meningkatnya pelepasan neurotransmiter dan radikal bebas. Antipeiretik dan selimut dingin dapat digunakan untuk mengatasi demam. Pada pasien stroke peningkatan suhu dapat disebabkan oleh efek sentral akan tetapi hal ini lebih sering disebabkan karena infeksi sekunder. Oleh karenya, mencari penyebab demam adalah hal yang penting dan antibiotik harus segera diberikan jika memang diperlukan. II. Terapi stroke iskemik akut Trombolisis rt-PA intravena Trombolisis rt-PA intravena merupakan pengobatan stroke iskemik akut satu-satunya yang disetujui oleh FDA sejak tahun 1996 karena terbukti efektif membatasi kerusakan otak akibat stroke iskemik. Terapi ini meningkatkan keluaran stroke pada kelompok penderita yang telah diseleksi ketat dan terapi diberikan dalam waktu 3 jam sejak onset stroke. Komplikasi terapi ini adalah perdarahan intraserebral (hanya ditemukan pada 6,4% pasien bila menggunakan protokol NINDS secara ketat). Karakteristik pasien yang dapat diterapi dengan trombolisis rt-PA intravena. Kriteria inklusi: 1. Stroke iskemik akut dengan onset tidak lebih dari 3 jam. 2. Usia >18 tahun 3. Defisit neurologik yang jelas 4. Pemeriksaan CT Scan, tidak ditemukan perdarahan intrakranial 5. Pasien dan keluarganya menyetujui tindakan tersebut dan mengerti resiko dan keuntungannya Kriteria eksklusi: 1. Defisit neurologis yang cepat membaik 2. defisit neurologik ringan dan tunggal seperti ataksia atau gangguan sensorik saja, disartria saja atau kelemahan minimal 3. CT Scan menunjukkan perdarahan intrakranial 4. Gambaran hipodensitas > 1/3 hemisfer serebri pada CT Scan 5. Riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya atau perkiraan perdarahan subarakhnoid 6. Kejang pada saat onset stroke 7. Riwayat stroke sebelumnya atau trauma kapitis dalam waktu 3 bulan sebelumnya 8. Operasi besar dalam waktu 14 hari 9. Pungsi lumbal dalam 1 minggu 10. Perdarahan saluran cerna atau urin dalam 21 hari 11. Infark miokard akut dalam 3 bulan 12. TD sistolik sebelum terapi > 185 mmHg atau TD diastolik > 110 mmHg 13. Gula darah < 50 mg/dL atau > 400 mg/dL 14. Penggunaan obat antikoagulan oral atau waktu protrombin > 15 detik, INR > 1,7

15. Penggunaan heparin dalam 48 jam sebelumnya dan masa tromboplastin parsial memanjang 16. Trombosit < 100.000/mm Pemberian trombolisi rt-PA intravena: 1. Infus 0,9 mg/kgBB (maksimum 90 mg), 10% dari dosis diberikan bolus pada menit pertama, 90% sisanya infus kontinyu selama 60 menit. 2. Pemantauan dilakukan di ICU atau unit stroke. 3. Lakukan analisa neurologik setiap 15 menit selama infus rt-PA dan setiap 30 menit dalam 6 jam, selanjutnya setiap jam sampai 24 jam pertama. 4. Jika timbul sakit kepala hebat, hipertensi akut, nausea atau vomiting, hentikan infus dan segera lakuan pemeriksaan CT Scan. 5. Ukur TD setiap 15 menit dalam 2 jam pertama, tiap 30 menit dalam 6 jam berikutnya, tiap 60 menit sampai 24 jam pertama. 6. Lakukan pengukuran TD lebih sering jika TD sistolik > 180 mmHg atau diastolik > 105 mmHg. 7. Jika TD sistolik 180-230 mmHg atau diastolik 105-120 mmHg pada 2 atau lebih pembacaan selang 5-10 menit, berikan Labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit. Dosis dapat diulangi atau digandakan tiap 10-20 menit sampai dosis total 300 mg atau berikan bolus pertama diikuti labetolol drip 2-8 mg/menit. Pantau TD tiap 15 menit dan perhatikan timbulnya hipotensi. 8. Jika TD sistolik > 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg pada 2 atau lebih pembacaan selang 5-10 menit, berikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit. Dosis dapat diulangi atau digandakan tiap 10 menit sampai dosis total 300 mg atau berikan bolus pertama diikuti labetolol drip 2-8 mg/menit. Jika TD tidak terkontrol dapat dipertimbangkan infus sodium nitroprusid. 9. Bila TD diastolik > 140 mmHg pada 2 atau lebih pembacaan selang 5-10 menit, infus sodium nitroprusid 0,5 ug/kgBB/menit. 10. Tunda pemasangan NGT dan kateter. 11. jangan lakukan pungsi arteri, prosedur invasif atau suntikan IM selama 24 jam pertama. Terapi perdarahan pasca trombolisis rt-PA intravena 1. Hentikan infus trombolitik 2. Lakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, fibrinogen, masa protrombin/INR, masa tromboplastin parsial dan trombosit. 3. Siapkan tranfusi darah (PRC), FFP, kriopresipitat atau trombosit atau darah segar bila perlu. 4. Berikan FFP 2 unit setiap 6 jam selama 24 jam. 5. Berikan kriopresipitat 5 unit. Jika fibrinogen < 200 mg% ulangi pemberian kriopresipitat. 6. Berikan trombosit 4 unit. 7. Lakukan CT Scan otak segera. 8. Konsul bedah saraf jika perlu tindakan dekompresi. Antikoagulan dan antiplatelet Joint Guideline Statement from the AHA and th AAN merekomendasikan: 1. Aspirin 160-325 mg/hari harus diberikan pada pasien stroke iskemik dalam 48 jam setelah onset untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas (pada pasien yang tidak diterapi dengan trombolisi rt-PA intravena). 2. Subkutan unfractionated heparin, low molecular weight heparin dan heparinoid dapat dipertimbangkan sebagai terapi profilaksis pada pasien dengan resiko DVT (deep vein

thrombosis). Efektifitasnya dalam mencegah edema pulmonal belum terbukti, sehingga perlu dipertimbangakan resiko perdarahan yang dapat ditimbulkan. 3. Pemakaian subkutan unfractionated heparin untuk menurunkan resiko kematian, morbiditas dan kekambuhan tidak direkomendasikan. 4. Unfractionated heparin dengan dosis yang disesuaikan juga tidak direkomendasikan untuk menurunkan morbiditas, mortalitas dan kekambuhan pada pasien dengan stroke akut (48 jam pertama) karena bukti-bukti menunjukkan terapi ini tidak efektif dan meningkatkan resiko perdarahan. LMWH/ heparinoid dosis tinggi juga tidak direkomendasikan. 5. IV unfractionated heparin, LMWH/heparinoid dosis tinggi tidak direkomendasikan pada pasien stroke iskemik akut dengan kardioemboli, aterosklerotik pembuluh darah besar, vertebrobasiler ataupun progresing stroke karena data-data yang mendukung dianggap masih kurang. Neuroprotektan Sampai saat ini penggunaan neuroprotektan masih kontroversial. III. Perawatan rumah sakit dan terapi komplikasi neurologik Sekitar 25% pasien stroke fase akut akan mengalami perburukan dalam 24-24 jam setelah onset. Meskipun demikian sulit untuk menentukan pasien mana yang akan mengalami perburukan. Oleh karena itu pasien stroke pada fase akut dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Tujuan perawatan rumah sakit adalah: 1. Pemantauan pasien untuk persiapan tindakan/terapi selanjutnya 2. Pemberian terapi medikamentosa maupun pembedahan untuk meningkatkan keluaran 3. Mencegah komplikasi subakut 4. Pengobatan terhadap penyakit sebelumnya atau faktor resiko yang ada 5. Merencanakan terapi jangka panjang untuk mencegah stroke berulang 6. Memulai program neuro-restorasi Perawatan umum Pemantauan tanda vital dan status neurologik harus sering dilakukan dalam 24 jam setelah pasien masuk rumah sakit. Umumnya pasien yang dirawat dianjurkan untuk tirah baring, akan tetapi mobilisasi sebaiknya dilakukan sesegera mungkin jika kondisi pasien sudah dianggap stabil. Mobilisasi yang segera dapat mencegah komplikasi pneumonia, DVT, emboli paru dan dekubitus. Latihan gerakan pasif dan full range of motion pada sisi yang paresis dapat dimulai dalam 24 jam pertama. Miring kanan-miring kiri, pemakaian pressure mattresses serta perawatan kulit dapat mencegah timbulnya dekubitus. Nutrisi Nutrisi yang adekuat diperlukan selama perawatan stroke, karena kondisi malnutrisi dapat menghambat proses penyembuhan. Kebutuhan kalori dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Harris-Benedict: BEE (pria)= 66,47 + 13,75 x BB + 5,0 X TB 6,76 x umur [kcal/hari] BEE (wanita)= 655,1 + 9,56 x BB +1,85 X TB 4,68 x umur [kcal/hari] Faktor stress (dikalikan dengan BEE untuk memperkirakan kebutuhan kalori) Sakit berat F= 1,25

Pneumonia F= 1,5 Infark luas F= 1,75 Demam F= 1,13/1oC *BEE = Basal Energy Expenditure, Umur dalam tahun Kebutuhan protein lebih tinggi dari orang normal (1,2-1,5 g/kgBB), normal 0,8 g/ kgBB. Disfagia cukup sering dijumpai pada pasien stroke oleh karenanya semua pasien stroke harus diperlakukan sebagai pasien dengan gangguan menelan sampai terbukti tidak. Skrining test yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan disfagia adalah dengan tes menelan. Test ini dilakukan pada pasien tanpa penurunan kesadaran. Pasien diminta untuk menelan satu sendok teh air putih dengan posisi setengah duduk dan kepala fleksi ke dapan sampai dagu menyentuh dada. Perhatikan apakah pasien tersedak, batuk atau muncul perubahan suara. Jika tidak ada tandatanda aspirasi dapat dicoba untuk minum air dalam jumlah yang lebih besar langsung dari gelas. Pasien dengan kesadaran meurun atau tes menelan negatif sebaiknya dipasang pipa nasogastrik. Infeksi Pneumonia merupakan penyebab kematian yang cukup sering pada pasien stroke. Biasanya terjadi pada pasien dengan imobilisasi atau dengan kemampuan batuk yang menurun. Pneumonia harus dipikirkan jika timbul demam setelah serangan stroke dan antibiotik yang sesuai harus diberikan. Infeksi saluran kemih juga cukup sering terjadi pada pasien stroke dan dapat menyebabkan sepsis pada sekitar 5% pasien. Kateter urin menetap sebaiknya hanya dipakai dengan pertimbangan khusus (kesadaran menurun, demensia, afasia global). Pada pasien yang sadar dengan gangguan berkemih, kateterisasi intermiten secara steril setiap 6 jam lebih disukai untuk mencegah kemungkinan infeksi, pembentukan batu dan gangguan sfingter vesika. Latihan vesika harus dilakukan sedini mungkin bila pasien sudah sadar. Trombosis vena Faktor resiko terjadinya DVT antara lain: 1. Usia tua 2. Imobilisasi 3. Paresis ekstremitas bawah 4. Paresis yang berat 5. Fibrilasi atrium Antikoagulan dapat diberikan untuk mencegah DVT dan emboli paru pada pasien stroke. Beberapa penelitian menunjukkan efektifitas unfractinated heparin, enoxaprine dan danaparin dalam menurunkan kejadian emboli paru. Pasien dengan imobilisasi lama yang tidak dalam pengobatan heparin IV dapat diberikan heparin 5000 unit setiap 12 jam selama 5-10 hari untuk mencegah pembentukan trombus. Pilihan lain LMWH (enoxaparine atau nadroparine) 2 kali 30 mg subkutan. IV. Terapi komplikasi neurologik akut Komplikasi penting neurologik akut pada pasien stroke adalah: 1. Edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan herniasi atau kompresi batang otak.

2. Kejang 3. Transformasi hemoragik. Edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial Tujuan penatalaksanaan edema serebri: 1. Menurunkan tekanan intrakranial 2. Mempertahankan perfusi serebral yang adekuat untuk mencegah bertambahnya lesi iskemik 3. Mencegah kerusakan otak akibat proses herniasi Terapi peningkatan tekanan intrakranial terdiri atas: Terapi medikamentosa/konservatif Terapi pembedahan Terapi konservatif 1. Hiperventilasi Penurunan pCO2 5-10 mmHg akan menurunan tekanan intrakranial 25-30%. Hiperventilasi menyebabkan kadar CO2 menurun sehingga terjadi vasokonstriksi dan menurunkan volume darah otak dan tekanan intrakranial. PCO2 sebaiknya dipertahankan 25-30 mmHg. Efek hiperventilasi tidak bertahan lama maka diperlukan intervensi tambahan lain untuk mengontrol peningkatan tekanan intrakranial. 2. Osmoterapi Diuretik osmotik menurunkan tekanan intrakranial dengan menaikkan osmolalitas serum sehingga cairan akan ditarik keluar dari sel otak. Manitol dapat digunakan dengan dosis 0,25-0,5 g/kgBB IV selama 20 menit, tiap 6 jam. Tidak dianjurkan menggunakan manitol untuk jangka panjang. Manitol diberikan bila osmolalitas serum tidak lebih dari 310 mOsm/ l. Furosemid 40 mg IV/hari dapat memperpanjang efek osmotik serum manitol. Beberapa studi menunjukkan kortikosteroid tidak bermanfaat dalam menurunkan tekanan intrakranial pada pasien stroke. 3. Barbiturat intravena Barbiturat dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan menurunkan CMRO2 (cerebral metabolism rate of oxygen), menyebabkan vasokonstriksi dan menghambat radikal bebas/ Dosis yang digunakan, inisial 10 mg/kgBB pentobarbital selama 30 menit, rumatan 3-5 mg/kgBB/jam. Pemakaian barbiturat sangat terbatas mengingat efek sampingnya berupa hipotensi, depresi cardiac, hepatotoksik dan predisposisi infeksi. Schwab, 1997, melaporkan barbiturat tidak memperbaiki keluaran peningkatan tekanan intrakranial. Terapi pembedahan Jika terapi medikamentosa gagal menurunkan tekanan intrakranial tindakan dekompresi dapat dipertimbangkan. Ventrikulostomi dapat dilakukan pada pasien dengan hidrosefalus obstruksi yang disertai dengan penurunan kesadaran. Kejang Kejang biasanya muncul dalam 24 jam pertama pasca stroke dan biasanya parsial dengan atau tanpa berkembang menjadi umum. Kejang berulang terjadi pada 20-80% kasus. Penggunaan antikonvulsan sebagai profilaksis kejang pada pasien stroke tidak terbukti bermanfaat. Terapi kejang pada pasien stroke sama dengan penanganan kejang pada umumnya.

Transformasi perdarahan Beberapa penelitian menduga pada hampir semua kejadian infark selalu disertai komponen perdarahan berupa petekie. Dengan menggunakan CT Scan 5% dari kejadian infark dapat berkembang menjadi transformasi perdarahan. Lokasi, ukuran dan etiologi stroke dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi ini. Penggunaan antitrombotik, terutama antikoagulan dan trombolitik meningkatkan kejadian transformasi perdarahan. Terapi pasien dengan infark berdarah tergantung pada volume perdarahan dan gejala yang ditimbulkannya. V. Pencegahan stroke dan pengelolaan faktor resiko Stroke, penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat merupakan penyakit yang menyebabkan kecacatan neurologis dan merupakan penyakit neurologis yang paling banyak memerlukan perawatan rumah sakit. Meskipun penatalaksanaan stroke akut dapat menurunkan angka kematian dan kecacatan akan tetapi tindakan pencegahan ternyata lebih efektif dalam menurunkan angka tsb. Tindakan pencegahan dibedakan atas pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah stroke pada mereka yang belum pernah terkena stroke. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mereka yang pernah terkena stroke termasuk TIA. Faktor resiko stroke dibedakan atas: 1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi:

Umur Jenis kelamin Ras/etnis Riwayat keluarga

2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi:


Hipertensi Merokok Diabetes melitus Stenosis karotis asimtomatis Penyakit sel sabit Hiperlipidemia Fibrilasi atrium (non valvular) Obesitas Inaktivitas fisik Pola makan yang tidak sehat Alkoholisme Hiperhomosisteinemia Penyalahgunaan obat Hiperkoagulabiliti Terapi sulih hormon Kontrasepsi oral

Proses peradangan

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi Umur Dengan meningkatnya usia resiko stroke juga turut meningkat. The Farmingham Study menunjukkan resiko stroke meningkat sebesar 22%, 32%, 83% pada kelompok umur 45-55, 5564, 65-74 tahun. Stroke iskemik kebanyakan muncul pada pasien yang berusia lebih dari 65 tahun. Jenis kelamin Stroke lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Akan tetapi karena angka harapan hidup wanita lebih tinggi dari pada laki-laki, tidak jarang pada studi-studi tentang stroke didapatkan pasien wanita lebih banyak. Ras/etnis Orang kulit hitam, Hispanic American, Cina dan Jepang memiliki insiden stroke yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih. Riwayat keluarga Riwayat keluarga pernah mengalami serangan stroke, maternal maupun paternal, berhubungan dengan meningkatnya insiden stroke. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya faktor genetik, pengaruh budaya dan gaya hidup dalam keluarga, interaksi antara genetik dan pengaruh lingkungan. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi Hipertensi Hipertensi merupakan faktor resiko stroke yang utama, baik iskemik maupun hemoragik. Mengendalikan hipertensi terbukti menurunkan insiden stroke. Klasifikasi tekanan darah menurut 7th report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure (JNC 7). Klasifikasi TD Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) Normal <120 Dan < 80 Prehipertensi 120-139 Atau 80-89 Hipertensi stage 1 140-159 Atau 90-99 Hipertensi stage 2 > 160 Atau > 100 Follow-up TD pada orang dewasa tanpa kerusakan target organ (Rekomendasi JNC 7) TD awal (mmHg) Follow-up Normal Cek ulang dalam 2 tahun Prehipertensi Cek ulang dalam 1 tahun dengan anjuran memperbaiki gaya hidup Hipertensi stage 1 Konfirmasi ualgn dalam 2 bulan dengan anjuran memperbaiki gaya hidup Hipertensi stage 2 Evaluasi atau rujuk ke spesialis dalam 1 bulan. Jika TD lebih tinggi evaluasi dan segera terapi.

Waktu follow-up dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi klinis pasien termasuk resiko kardiovaskular lainnya dan kerusakan target organ. Obat-obat antihipertensi yang dianjurkan (JNC 7) Antihipertensi yang direkomendasikan Indikasi penyerta Diuretic BB ACEI ARB CCB Aldo ANT

Gagal jantung Pasca MCI Resiko tinggi jantung koroner Diabetes CKD (chronic kidney disease) Pencegahan stroke ulang

BB: Beta Blocker, ACEI: angiotensin-converting enzyme inhibitor, ARB: angiotensin reseptor blocker, CCB: calcium channel blocker, Aldo ANT: aldosterone antagonist. Algoritma penatalaksanaan hipertensi Modifikasi gaya hidup meliputi:

Menurunkan berat badan: Mengupayakan berat badan normal Pola makan yang tidak memicu hipertensi: Mengkonsumsi buah-buahan, sayuran dan produk susu rendah lemak serta mengurangi konsumsi lemak jenuh. Diet rendah garam: Mengurangi intake garam < 100 mmol/hari (2,4 gr Na atau 6 g NaCl) Aktifitas fisik: Aktivitas fisik rutin seperti jalan santai min 30 menit/hari. Mengurangi konsumsi alkohol

Merokok Merokok telah lama diketahui sebagai faktor resiko stroke. patofisiologi efek rokok bersifat multifaktorial baik pada pembuluh darah sistemik maupun reologi darah. Rokok menyebabkan kekakuan pembuluh darah. Rokok juga berhubungan dengan meningkatnya kadar fibrinogen, agregari trombosit, menurunnya HDL dan meningkatnya hematokrit. Dengan berhenti merokok resiko stroke menurun 50%. Diabetes Insulin-dependent diabetics meningkatkan resiko stroke: 1) meningkatkan prevalensi aterosklerosis dan 2) meningkatkan prevalensi faktor resiko lain seperti hipertensi, obesitas dan hiperlipidemia. Beberapa penelitian menunjukkan pengontrolan tekanan darah pada penderita diabetes lebih efektif menurunkan resiko stroke dibandingkan pengontrolan ketat kadar gula darah. Dianjurkan target TD pada penderita diabetes <130/80 mmHg. Sedangkan pengontrolan gula darah direkomendasikan untuk mengurangi komplikasi mikrovaskular. Stenosis karotis asimptomatis Cardiovascular Health Study menunjukkan stenosis karotis >50% ditemukan pada 7% laki-laki

dan 5% perempuan yang berusia > 65 tahun. Iskemik serebral lebih sering ditemukan pada pasien dengan stenosis karotis berat (75%), stenosis artei karotis progresif, penyakit jantung dan pada laki-laki. Enarterektomi dapat dipertimbangkan pada secara selektif pada kasus dengan karotis stenosis > 60% dan < 100% yang dilakukan oleh ahli bedah yang memiliki mortalitas dan morbiditas < 3%. Seleksi pasien didasarkan pada kondisi komorbid: angka harapan hidup, pertimbangan pasien dan faktor individual lainnya. Fibrilasi Atrium Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang sering terjadi dan merupakan faktor resiko stroke yang sering. Pemakaian antikoagulan oral jangka panjang dapat menurunkan resiko stroke sampai 68%. Rekomendasi Umur < 65 tahun, tanpa faktor resiko Aspirin Umur < 65 tahun, dengan faktor resiko Warfarin (target INR 2,5; range 2,0-3,0) Umur 65-75 tahun, tanpa faktor resiko Aspirin atau Warfarin Umur 65-75 tahun, dengan faktor resiko Warfarin (target INR 2,5 range 2,0-3,0) Umur >75 tahun, dengan atau tanpa faktor resiko Warfarin (target INR 2,5 range 2,0-3,0) Faktor resiko fibrilasi atrium: hipertensi, DM, fungsi ventrikel kiri yang buruk, penyakit jantung rheuma, riwayat TIA atau stroke, emboli sistemik atau stroke, katup jantung prostetik (target INR lebih tinggi) Hiperlipidemia Resiko stroke dan ateroma karotis dapat diturunkan dengan menurunkan kadar kolesterol. National Cholesterol Education Program II merekomendasikan pengelolan pasien dengan kolesterol meningkat SBB: Lipid Target Rekomendasi Evaluasi awal (tidak ada PJK) TC < 200 mg/dL dan HDL > 35 mg/dL Ulang TC dan HDL dalam 5 tahun atau dengan latihan fisik TC < 200 mg/dL dan HDL < 35 mg/dL Analisa lipoprotein TC 200-239 mg/dL dan HDL > 35 mg/dL dan <2 faktor resiko PJK Modifikasi pola makan, evaluasi ulang 1-2 tahun TC 200-239 mg/dL dan HDL < 35 mg/dL atau <2 faktor resiko PJK Analisa lipoprotein TC > 240 mg/dL Analisa lipoprotein Evaluasi LDL Tidak ada PJK dan <2 faktor resiko PJK LDL < 160 mg/dL Modifikasi pola makan selama 6 bulan. Medikamentosa bila LDL tetap > 190 mg/dL Tidak ada PJK tetapi > 2 faktor resiko PJK LDL < 130 mg/dL Modifikasi pola makan selama 6 bulan. Medikamentosa bila LDL tetap > 160 mg/dL PJK atau aterosklerotik lain LDL < 100 mg/dL 6-12 minggu modifikasi pola makan. Medikamentosa bila LDL > 130 mg/dL PJK: penyakit jantung koroner. Faktor resiko PJK: laki-laki > 45 tahun, perempuan > 55 tahun atau menopause lebih cepat tanpa terapi sulih hormon, riwayat keluarga dengan prematur PJK, merokok, hipertensi, HDL < 35 mg/dL, DM.

Pasien dengan PJK dan LDL yang meningkat perlu dipertimbangkan untuk mendapat terapi statin. Obesitas Obesitas (body mass index [BMI] > 30 kg/m2) merupakan faktor predisposisi penyakit kardiovaskular dan stroke. Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan usia selain itu obesitas juga berhubungan dengan meningkatnya tekanan darar, gula darah dan lemak. Pengendalian berat badan pada mereka dengan berat badan berlebih direkomendasikan untuk mencegah timbulnya komorbid yang dapat menjadi faktor resiko stroke. Inaktivitas fisik Aktifitas fisik rutin telah terbukti dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskular dan juga stroke. Centers for Disease Control and Prevention and the National Institutes of Health merekomendasikan latihan fisik rutin (> 30 menit /hari latihan fisik moderat) sebagai bagian dari gaya hidup sehat untuk mengurangi komorbid yang dapat menjadi faktor resiko stroke. Pola makan/nutrisi Data tentang hubungan antara status gizi dengan resiko stroke masih sangat terbatas. Suplemen vitamin E dan C juga tidak terbukti menurunkan resiko stroke. Diduga buah-buahan dan sayursayuran lebih bermanfaat dalam mencegah stroke. Makanan sehat yang mengandung 5 porsi buah-buahan dan sayuran dapat menurunkan resiko stroke. Alkohol Efek alkohol sebagai faktor resiko stroke iskemik masih kontroversial dan diduga tergantung pada dosis yang dikonsumsi. Sedangkan pada stroke hemoragik alkohol memiliki efek langsung yang juga tergantung pada dosis. Mengurangi konsumsi alkohol terbukti dapat menurunkan resiko stroke. Hiperhomosisteinemia Hosistein dikatakan normal bila kadar dalam plasma (puasa) antara 5 dan 15umol/L. Kadar >16 umol/L diklasifikasikan sebagai hiperhomosisteinemia. Banyak studi kasus kontrol yang menunjukkan hubungan antara hiperhomosisteinemia dengan kejadian stroke. Asam folat, vitamin B6 dan B12 ternyata efektif dalam mencegah hiperhomosisteinemia akan tetapi belum ada RCT yang menunjukkan keefektifan penegendalian hiperhomosisteinemia dengan menurunnya resiko stroke. Dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan folat (400 ug/hari), vitamin B6 (1,7 mg/hari) dan vitamin B12 (2,4 ug/hari) dengan mengkonsumsi sayur-sayuran, buahbuahan, daging, ikan, sereal. Pada pasien dengan peningkatan kadar homosistein dapat dipertimbangkan pemberian suplemen asam folat dan vitamin B. Penyalahgunaan Obat Termasuk di dalamnya pemakaian amfetamin, kokain dan heroin. Beberapa studi menunjukkan resiko stroke meningkat 7 kali pada para penyalah guna obat-obatan tsb. Meskipun demikian ada pula studi lain yang menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara pemakaian obat-obat tsb dengan stroke. Patogenesis stroke karena penyalahgunaan obat bersifat multifaktorial, kemungkinan karena perubahan tekanan darah yang tiba-tiba, vaskulitis dan abnormalitas

hemostasis dan hematologi yang dapat menyebabkan peningkatan viskositas darah agregasi trombosit. Pencegahan sekunder Ditujukan pada pasien yang pernah mengalami stroke dan TIA. Stroke Council of the American Heart Association merekomendasikan: Faktor resiko Target Rekomendasi Hipertensi TD sistolik < 140 dan diastolik < 90 mmHg TD sistolik <135 dan diastolik <85 mmHg bila ada kerusakan target organ Modifikasi gaya hidup dan terapi antihipertensi Merokok Berhenti Edukasi untuk menghentikan kebiasaan merokok, konseling, pengganti nikotin. DM GD <126 mg/dL (6,99 mmol/L) Diet, obat anti diabetik, insulin Lemak LDL < 100 mg/dL (2,59 mmol/L) HDL > 35 mg/dL (0,91 mmol/L) TC < 200 mg/dL (5,18 mmol/L) TG < 200 mg/dL (2,26 mmol/L) Diet AHA step II: < 30% lemak, < 7% lemak jenuh, < 200 mg/hari kolesterol, pengendalian berat badan dan aktifitas fisik. Jika target tidak tercapai tambahkan terapi medikamentosa (mis: statin) jika LDL > 130 mg/dL (3,37 mmol/L) dan pertimbangkan medikamentosa bila LDL 100-130 mg/dL. Alkohol Mengurangi konsumsi alkohol Edukasi pasien dan keluarga untuk mengurangi atau menghentikan kebiasaan minum alkohol Aktifitas fisik 30-60 menit dalam 3-4 kali/minggu Latihan fisik sedang ( jalan santai, jogging, bersepeda atau aerobik). Program dengan supervisi medis bagi pasien dengan resiko tinggi ( penyakit jantung) Obesitas < 120% dari BB ideal berdasarkan tinggi Diet dan latihan fisik AHA: American Heart Association, HDL: high density lipoprotein, LDL: low density lipoprotein, TC: total cholesterol, TG: trigliseride Penatalaksanaan Stroke Hemoragik Stroke hemoragik terjadi pada 23-25% kejadian stroke yang terdiri dari perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Perdarahan intraserebral terjadi karena adanya ektravasasi darah kedalam jaringan parenkim yang disebabkan ruptur arteri perforantes dalam. Kerusakan pembuluh darah ini sebagai akibat dari hipertensi kronik atau angiopati amiloid. Adanya produk darah dalam parenkim serebral menyebabkan rusaknya traktus dari substansia alba dan neuronneuron dari nukleus atau korteks serebral yang permanen. Adanya perdarahan intraserebral menyebabkan terjadinya penambahan volume dalam ruang intrakranial, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakrnaial yang dapat menambah luas kerusakan yang disebabkan terjadinya hipoperfusi. Iskemik selular akan memicu terjadinya edema serebral yang dapat menambah peningkatan terkanan intrakranial. Hidrosefalus dapat terjadi pada perdarahan serebelar, selain itu perdarahan yang luas pada daerah ganglia basal dapat menyebabkan pembesaran sistim ventrikel. Pada stroke hemoragik, tatalaksana ditujukan untuk mengurangi efek massa dan mencegah penambahan volume perdarahan atau rebledding.

Penatalaksanaan stroke hemragik Pada stroke hemoragik, manifestasi perdarahan yang terjadi dapat berupa: 1. Perdarahan intraserebral 2. Perdarahan subarakhnoid 1. Perdarahan intraserebral A. Medikamentosa Pada fase akut perdarahan intraserebral hal yang menjadi perhatian meliputi jalan nafas, tekanan darah dan perfusi serebral. Pada pasien dengan GCS 8 sebaiknya dilakukan pemasangan endotracheal tube. Pada fase akut biasanya disertai peningkatana tekanan darah, hal ini menjadi suatu hal yang menjadi perhatian dalam tatalaksanya, karena disatu sisi penambahan volume darah akan terjadi jika tidak dilakukan penanganan hipertensi sedangkan terjadinya iskemik pada daerah perihematom juga menjadi perhatian dalam menurunkan tekanan darah. Hal tersebut dapat diatasi jika penurunan tekanan darah sekitar 20% dari MABP. Perfusi serebral dipengaruhi oleh tekanan intrakranial, semakin tinggi tekanan intrakranial semakin rendah perfusi sehingga disarankan tekanan intrakranial >70mmHg. a. Penatalaksanaan tekanan darah pada stroke hemoragik Hipertensi Labetalol : 5-100 mg/jam secara bolus berkala 10-40 mg atau 2-8 mg/min perdrip Esmolol : Loading : 500 g/kg; Maintenance : 50-200 g/kg/min Nitroprusside : 0,5 10 g/kg/min Hidralazine : 10-20 mg tiap 4-6 jam Enalapril : 0,625-1,2 mg tiap 6 jam Algoritme penatalaksanaan hipertensi pada perdarahan intraserebral:

Sistolik > 230mmHg atau Diastolik >140mmHg dapat diberikan nitroprusside Sistolik > 180- 230mmHg atau Diastolik >105-140mmHg atau MABP 130mmHg dapat diberikan labetalol,esmolol,enalapril atau preparat intravena lainnya yang dapat dititrasi seperti diltiazem, lisinopril dan verapamil. Sistolik < 180mmHg atau Diastolik <105mmHg hindari penggunaan antihipertensi. Pertahankan tekanan perfusi serebral > 70mmHg

Hipotensi Pada keaadaan awal penanganan penurunan tekanan darah sistolik <90mmHg dapat dilakukan loading cairan koloid atau salin isotonik. Jika tekanan darah tetap rendah dapat digunakan phenylephrine 2-10 g/kg/min atau dopamine 2-20 g/kg/min atau Norepinephrine yang dititrasi dari 0,05-0,2 g/kg/min. b. Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial pada stroke hemoragik Peningkatan tekanan intrakranial sebagai akibat adanya volume perdarahan dan terjadinya edema serebri diatasi dengan osmoterapi yang menggunakan manitol (0,25-0,5 g/kg tiap 4 jam) dan furosemid (10 mg tiap 2-8jam). Pemantauan osmolaritas serum dan kadar natrium dilakukan tiap 2 kali sehari dengan target osmolaritas <310mOsm/L.

Penggunaan sedatif seperti propofol,benzodiazepine atau morfin dengan paralisis neuromuskular dapat menurunan tekanan intrakranial tetapi diperlukan pemantauana yang intensif. B. Operatif Tindakan operatif ditujukan untuk mengurangi efak massa serta mengurangi efek neurtoksik dari bekuan darah. Dengan kemajuan teknik operatif, angka kematian semakin rendah dibandingkan dengan menggunakan modalitas medikamentosa. Mortalitas pada suatu penelitian pada perdarahan intraserebral yang dilakukan operatif pada 12 jam setelah onset sekitar 18%. Pemilihan pasien dengan perdarahan intraserebral yang memerlukan tindakan operatiff tergantung dari ukuran dan lokasi perdrahan dan defisit yang diakibatkan. Tindakan operatif dapat dilakukan pada pasien dengan perdarahan serebelar dengan volume > 3cm3 dengan penurunanan nerulogis atau adanya penekanan batrang otak atau adanya hidrosefalus atau pada dewasa muda dengan perdarahan lobar yang sedang atau besar. Perdarahan pada daerah pons,medula oblongata dan mesensefalon tidak dilakukan tindakan operatif. 2. Perdarahan subarakhnoid A. Perawatan umum: Tekanan darah Hipertensi setelah onset perdarahan subarakhnoid merupakan fenomena kompensasi guna mempertahankan perfusi serebral dan sebaiknya tidak dilakukan penurunan tekanan darah yang agresif. Pada beberapa penelitian yang berusaha menurunkan tekanan darah, didapatkan kejadian re-bleeding yang menurun tetapi kejadian serebral infark yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan penanganan hipertensi pada perdarahan subarakhnoid menjadi sulit. Pemberian antihipertensi sebaiknya digunakan pada pasien dengan hipertensi berat yang disertai kerusakan target organ lainnya seperti gangguan ginjal dan jantung atau dengan rerata tekanan arteri >130. Preparat yang disarankan: Diaxozide 50-150 mg IV bolus, diulang tiap 5-10 menit atau 15-30 mg/menit perdrip. Dosis maksimal 600mg Labetalol hidroklorida 20-80mg IV bolus tiap 10 menit atau 2mg/menit perdrip. Dosis maksimal 300mg Nitroprusid dianjurkan penggunaannya pada krisis hipertensi tetapi bukan merupakan pengobatan lini pertama karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Cairan dan elektrolit Terapi cairan pada perdarahan subarakhnoid untuk mencegah penurunan volume plasma yang dapat menyebabkan terjadinya serebral iskemia. Sekitar 30% kasus perdarahan subarakhnoid terjadi penurunan volume plasma sekitar 10% antara hari kedua dan kesepuluh onset. Hal ini terkait dengan balans negatif natrium. Fludrokortisone asetat 0,02mg dalam 200ml D5%/12jam digunakan pada pasien dengan hiponatremi. Penggunaan cairan yang dianjurkan adalah normal salin 0,9% 3 liter perhari. Pada pemberian makanan enteral, jumlah tesebut harus dikurangi karena kebanyakan makanan enteral mengandung 1-2 kalori/ml. Pemantauan kebutuhan cairan dengan melihat tekanan vena sentral (central venous pressure) yang dipertahankan diatas 8mmHg tetapi biasanya penghitungan balans carian yang dilakukan 4 kali sehari selama 10 hari dapat memperkirakan jumlah cairan yang dibutuhkan.

Nutrisi Pemberian nutrisi secara oral dapat diberikan pada pasien dengan refleks menelan yang baik. Usahakan pemberian makanan yang dapat menjaga konsistensi feses tetap lunak, pemberian cairan yang adekuat dan pengurangan makanan yang mengandung susu dan pemberian laxative dapat dilakukan. Pada pasien yang menggunakan selang nasogastrik, pemberian makanan enteral dilakukan pada hari kedua perawatan dengan menghindari asparasi dengan cara pemberian makanan pada posisi duduk dan mengecek kembali residu gaster tiap jam. Peningkatan tekanan intrakranial Nyeri dan manuver yang meningkatkan tekanan intraabdomen seperti batuk, mengedan dan bersin dapat memicu peningkatan tekanan intrakranial sehingga hal tersebut harus dihindari agar tidak menambah buruk keadaan pasien terutama kemungkinan terjadinya re-bleeding. Pasien perdarahan subarachnoid yang diterapi secara medikamentosa sebaiknnya dirawat dalam ruangan perawatan yang tenang dengan lampu penerangan yang minimal sehingga pasien dapat tirah baring secara maksimal. Pemantauan derajat kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma Scale dapat digunakan untuk menduga adanya serebral iskemi, re-bleeding, hidrosefalus akut atau komplikasi lainnya. Nyeri kepala kadang dapat diatasi dengan analgetik ringan seperti parasetamol 500 mg tiap 3-4 jam dengan atau tanpa dextropropoxiphene, pada nyeri kepala hebat penggunaan kodein 20mg peroral atau morfin 1-2 mg IV atau tramadol 50-100mg tiap 4 jam dapat ditambahkan. Penggunaan pelunak feses pada kejadian konstipasi lebih dianjurkan dibandingkan enema karena dapat meningkatkan tekanan abdominal dan memicu peningkatan tekanan kranial. B. Pencegahan perdarahan berulang (re-bleeding) Perdarahan berulang terjadi pada 15% kasus perdarahan subarakhnoid yang ditandai dengan penurunan kesadaran. Pada suatu penelitian dikatakan 20% re-bleeding terjadi pada hari pertama onset dan pada beberapa kasus terjadi pada 6 jam setelah onset. Hijdra dkk mengatakan bahwa pada kasus yang telah melewati hari pertama onset, 40% rebleeding masih dapat terjadi dalam 4 minggu berikutnya dengan puncaknya pada minggu ketiga. Perdarahan berulang diyakini sebagai akibat dari lisis bekuan darah didaerah aneurisma yang pecah. Penaganganan aneurisma secara surgical masih merupakan sesuatu yang kontroversial karena belum didukung oleh data yang cukup. Penggunaan antifibrinolitik seperti asam traneksamat (1g IV atau 1,5g peroral tiap 4-6 jam) atau asam epsilon-aminokaproat (3-4g tiap 3 jam IV atau peroral) dapat menurunkan kejadian rebleeding, tetapi efek kerja sebagai antifibrinolitik baru tercapai setelah 36 jam. Seperti halnya tindakan surgical, pemberian antifibrinolitik juga sesuatu yang controversial. Pada beberapa penelitian dikatakan, kejadian serebral iskemi meningkat (OR 2,03; 95% IK 1,40-2,94) dengan pemberian antifibrinolitik, sehingga penggunaanya ditinggalkan. C. Pencegahan iskemik serebral Berbeda dengan kejadian stroke lainnya dimana berasal dari gangguan pada arteri intracranial atau ektrakranial, pada perdarahan subarakhnoid iskemik tidak berdasarkan teritori dari salah satu arteri serebri atau percabangannya tetapi bersifat menyeluruh. Delayed cerebral ischemic atau vasospasm terjadi dengan puncak kejadiannya dihari ke 5 hingga hari ke 14. Pencegahan dilakukan dengan menghindari pemberian antihipertensi sehingga tekanan darah sedikit hipertensi, pemberian cairan dan natrium yang adekuat serta pemberian kalsium antagonis dan setelah oklusi aneurisma diberikan preparat antitrombotik seperti aspirin. Kalsium antagonis

seperti nimodipine bekerja dengan menghambat kontraksi otot polos pada arteri serebral serta sebagai neuroprotektor dengan mencegah kerusakan sel lebih lanjut setelah kejadian iskemik. Nimodipine digunakan peroral dengan dosis 60mg tiap 4 jam yang diberikan selama 3 minggu. Pada pasien yang menggunakan selang nasogaster, preparat dibuat puyer dan diberikan melalui selang dengan menggunakan cairan normal salin 0,9%. Pada kasus hipotensi pemberiannya dapat dikurangi hingga setengahnya. D. Penanganan perdarahan berulang (re-bleeding) Penurunan kesadaran merupakan manifestasi utama dari terjadinya re-bleeding. Sekitar 30% kasus disertai adanya sefalgia. Penurunan kesadaran dapat disertai henti nafas, sehingga resusitasi dan ventilator assisted diperlukan hingga nafas spontan. Pemeriksaan pencitraan ulang perlu dilakukan untuk pemantauan volume perdarahan. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan tindakan operatif pada penanganan perdarahan berulang. E. Penanganan iskemik serebral a. Tanpa gejala klinis Pasang kateter vena sentral Pertahankan balans cairan tiap jam Pemberian cairan kristaloid Hindari penggunaan obat antihipertensi dan diuretik b. Dengan gejala klinis

Pemeriksaan angiografi Pemasangan kateter arteri pulmoner Pemberian bolus kristaloid atau albumin 5% hingga terjadi

peningkatan index stroke volume <10% tiap 2mmHg peningkatan tekanan kapiler pulmoner

Balans cairan, jika pengeluaran cairan >250ml/jam maka pemberian fludrokortison asetat 0,02mg/12jam Jika perbaikan belum terjadi, mulai dengan pemberian phenylephrine 10-20mg/menit hingga peningkatan tekanan rerata arterial 25% diatas batas normal atau > 120mmHg Pemberian dobutamin 5-10mg/kg/menit guna menaikan indeks kardiak > 3,5L/menit/m2. Pertimbangkan penggunaan norepinephrine jika phenylephrine tidak memberikan hasil optimal. Angioplasti dan infus papaverin merupakan modalitas yang dipakai jika hal diatas tidak memperbaiki vasospasm yang terjadi.

F. Penanganan hidrosefalus akut Hidrosefalus akut terjadi pada 20% kasus dan hanya 10-28% tanpa disertai penurunan kesadaran. Pemeriksaan pencitraan CT scan kepala dengan melihat index bikaudatus. Perbaikan spontan dapat terjadi pada 50% kasus dalam 24 jam pertama. Tindakan operatif dilakukan jika terdapat penurunan klinis atau dalam 24 jam tidak terjadi perbaikan klinis. Lumbal pungsi relatif aman pada kasus hidrosefalus akut yang tidak disertai pergeseran garis tengah dan diyakini tanpa adanya obstruksi intraventrikular. Drainase ekternal efektif dalam memperbaiki derajat

kesadaran tetapi beresiko dalam terjadinya re-bleeding dan infeksi pada penggunaan drain jangka lama. G. Penanganan unruptured aneurisma Terapi definitif aneurisma direkomendasikan untuk dilakukan sedini mungkin, terutama pada derajat I-III dari WFNS. Pilihan terapi yang dilakukan saat ini adalah kraniotomi dengan clipping atau transvaskular koiling. Sistim grading klasifikasi perdarahan subarakhnoid dari World Federation of Neurological Surgeons (WFNS) Grading GCS Defisit motorik I 15 Tidak ada II 14-13 Tidak ada III 14-13 Ada IV 12-7 Ada atau tidak ada V 6-3 Ada atau tidak ada

Anda mungkin juga menyukai