Anda di halaman 1dari 18

BAB II

Tinjauan Pustaka

Catatan penting :
- Laparoskopi memiliki berbagai keuntungan postoperative, sehingga akan
mempercepat proses penyembuhan dan menurunkan waktu perawatan di RS.
- Pneumoperitonium CO2 dapat menyebabkan perubahan ventilasi dan respirasi
dan emfisema subkutis.
- Laparoskopi tanpa gas dapat menurunkan perubahan patofisiologi akibat
pneumoperitoneum CO2+ namun hal ini dapat mempersulit operator dalam
melakukan prosedur laparoskopi.
- Kapnografi dapat mendeteksi peningkatan PaCO2 secara akurat.
- Pada pasien yang keadaannya kurang baik, gangguan kardiorespirasi dapat
meningkatkan PaCO2 secara drastic dan meningkatkan gradient antar PaCO2
dengan PETCO2
- Insflasi pentoneum akan mengakibatkan perubahan hemodinamik yang dapat
dramatis pada pasien yang memiliki risiko tinggi gangguan kardiovaskuler.
- Laparoskopi dapat dilakukan dengan aman pada wanita hamil kurang dari 23
minggu (mencegah terjadinya hiperkarbia). Laparooskopi terbuka harus
dihindari karena ditakutkan dapt mencederai uterus.
- Anestesia uterus dengan ventilasi kendali dianggap sebagai teknik teraman
untuk tindakan laparoskopi operatif.

PENDAHULUAN
Laparoskopi adalah suatu proses inspeksi bagian dalam rongga perut
dengan menggunakan esdoskop melalui akses yang minimal. Untuk mendapatkan
lapang pandang yang baik dalam rongga perut diperlukan pnreumoperitoneum,
yaitu insulflasi ronga peritoneum dengan gas CO2. Prosedur ini, ditambah dengan
posisis pasien yang seringkali ekstrim, membawa dampak fisiologik yang
bermakna. Pengetahuan dan pemahaman mengenai hal ini sangat penting untuk
manajemen anesthesia yang baik.
Penggunaan teknik laparoskopi telah sangay maju dan dapat diteapkan
untuk banyak prosedur. Saat ini laparoskopi telah menjadi prosedur operasi
tersering bagi pasien rawat jalan. Pembedahan laparoskopik disukai karena
minimally invasive dan dihubungkan dengan penyembuhan luka yang lebih cepat,
Meski demikian pada pasien dengan kondisi buruk tindakan laparoskopi
mungkinsulit untuk dilakukan karena perubahan-perubahan fisiologik diatas.
Anestesia harus dilakukan secara berhati-hati dan disesuaikan dengan jenis
operasi dan kondisi pasien.

BEDAH LAPAROSKOPIK
Tindakan laparoskopi sudah dikenal sejak pertengahan 1950an ketika ahli
ginekologi memperkenalkan teknik yang aman untuk mendiagnosis nyeri pinggul.
Awal 1980an, tindakan ini mulai dilakukan pada prosedur kolesistektomi dan
terus berkembang dengan pesar. Sekarang laparoskopi telah dilakukan untuk
bedah vascular (bypass aortomesenterika), bedah urologi dengan komplikasi
(nefrektomi pda malformasi anteriovena renal besar), prostatektomi radikal,
pankreatomi distal dan reseksi hepar, bahkan telah dilakukan pada anak-anak.
Cepatnya perkembangan bedah laparoskopik dikarenakan tindakan ini merupakan
teknik operasi minimal invasive yang mempunyai beberapa keuntungan
dibandingkan dengan operasi terbuka, antara lain mengurangi trauma dan
berkurangnya nyeri pasca bedah, waktu rawat yang singkat memungkinkan
cepatnya dapat kembali melakukan aktivitas rutin sehari-hari.

Pilihan gas Insuflasi


Pilihan gas yang ideal untuk insuflasi harus memenuhi persyaratan berikut,yaitu :
- Absorbs peritoneal yang minimal
- Jka terabsorbsi, efek sistemik yang timbul minimal
- Jika terabsorbsi, ekskresi gas cepat terjadi
- Tidak mudah terbakar
- Efekminimal jika terjadi embolisasi intravskular
- Kelarutan yang tinggi dalam darah
Gas yang digunakan untuk insuflasi adalah CO2+ helium, nitrogen dibanding gas-
gas lain :
CO2 hampir memenuhi persyaratan ideal gas insulflasi dan karenanya
paling sering digunakan. Kelarutan gas CO2 paling baik di dalam darah dan residu
CO2 dapat dieliminasi secaa cepat. Oleh karena sifat ini, pasien relative cepat
kembali dalam keadaan normal bila terjadi emboli CO2. Dosis letal emboli CO2
adalah kira-kira lima kali volum emboli udara.

PERUBAHAN FISIOLOGIK SELAMA LAPAROSKOPI


Konsekuensi fisiologis dari laparoskopi berkaian dengan insuflasi
rongga abdomen yang akan mengakibatkan pneumoperitoneu, absorbs gas CO2
dan posisi pasien saat operasi.

Efek Absorbsi Gas CO2


Gas CO2 yang berdifusi di dalam darah lebih banyak saat insuflasi
ekstraperitoneal disbanding intraperitoneal tanpa dipengaruhi durasi insuflasi
intraperitoneal. Insuflasi ekstraperitoneal CO2 menyebabkan peningkatan PaCO2
(tekanan CO2 di arteri) pada periode postoperative. Di dalam intraperioneal, CO2
dipengaruhi oleh peningkatan tekanan intraperitoneal diatas tekanan vena
sehingga mencegak resorbsi CO2 dan kemudian menyebabkan hiperkapnia dan
mengaktivasi sistem saraf simpatis sehingga meningkatkan tekanan darah, laju
hantung kontraktilitas meskondial, dan menyebabkan aritmia.

Efek Pneumoperitoneum
Keadaan pnuemoperitoneum dapat meningkatkan tekanan intra-
abdomen (intraabdominal pressure / IAP) yang kemudian mempunyai efek pada
kardiovaskular, respirasi dan neurologi.
Kardiovaskular
Efek mekanik dari pneumoperitoneum akan memengaruhi
hemodinamika secara umum dan regional. Secara umum, peningkatan IAP akibat
peritoneum pada awalnya mengakibatkan penekanan pada vena sehingga
meningkatkan preload dan kemudian diikuti oleh penurunan preload yang
menetap. Sedangkan kompresi pembuluh darah arteri akan meningkatkan
afterload dan juga mengakibatkan peningkatan SVR. Peningkatan IAP ini
berhubungan langsung dengan penurunan CI dan curah jantung. Dexter dkk
melaporkan bahwa pada pengamatan dengan menggunakan Doppler transesofagus
didapatkan curah jantung berkurang sebanyak 28% pada tekanan insuflasi
15mmHg dan pada tekanan insuflasi 7 mmHg tidak ditemukan perubahan dari
curah jantung.

Secara regional, peningkatan tekanan IAP akan menyebabkan


berkurangnya aliran darah vena femoralis tanpa diikuti adaptasi tubuh terhadap
menurunnya aliran darah vena femoralis sehingga terjadi stasi vena. Pada ginjal
terjadi pengurangan sekitar 50% dari urine output, aliran plasma ginjal dan
GFR.Kecepatan aliran darah orak akan meningkat dengan pmeumoperitoneum
CO2 sebagai respon dari meningkatnya PaCO2.

Respon fisiologis kardiovaskuler yang utama adalah terjadinya


peningkatan tahanan vaskuler sistemik (terjadinya peningkatan tahanan vaskuler
sistemik (systemic vascular resistance / SVR), tekanan darah arteri rata-rata (mean
arterial pressure / MAP) dan tekanan pengisian miokardium (myocardial filling
pressure) disertai dengan penurunan cardiac index (CI) pada awal-awal
laparoskopi dan perubahan laju jantung yang minimal. Perubahan fisioogi
kardiovaskuler selain bergantung pada IAP juga bergantung pada volum CO2
yang diabsorbsi, volum intravascular pasien, teknik ventilasi, kondisi operasi dan
obat-obatan anestetik yang digunakan.
Studi yang dilakukan Joris dkk pada pasien sehat yang menjalani
kolesistektomi laparoskopik dilaporkanterjadi penurunan CI yang bermakna yaitu
25% - 40% saat induksi anesthesia. Jika pasien diposisikan anti Trendelenburg,
maka penurunan tersebut akan menjadi lebih drastic menjadi 50% dari baseline.
Kemudian CI dan SVR akan kembali secara perlahan setelahnmya.

Capnography Increased PaCO2 Decreased PaCO2

No Yes Yes Yes Yes

Pulse eximetry Desaturation No change Desaturation Desaturation Desaturation

Airway pressure Increased Paw No change Increased Paw Increased Paw No Change

Chlinical examination Yes


Yes
a) Restuced air entry No No Yes Yes Mumur
b) Hyperrasonance No No Possibly Yes Hypotension
c) Semilling and Yes Possibly ECG change

Endobronchia Subcutaneous Capnothorax Pneumothorax Massive CO2


l intubation emphysema embolism

Gambar Diagram skematis dari berbagai mekanisme yang akan menyebabkan


menurunnya curah jantung saat penumoperitoneum pada laparoskopi

Respirasi
Banyak dari komponen laparoskopi yang berpengaruh terhadap fungsi
paru, peningkatan IAP dan efek volum yang dihasilkan pneumoperitoneum dapat
menyebabkan naiknya diafragma. menurunnya kapasitas paru, meningkatnya
tekanan jalan nafas, dan
menurunnya komplians paru sampai 35-40%.Hal ini tidak berpengaruh pada
pasien yang sehat, namun dapat mengakibatkan gangguan fungsi paru pada pasien
obes atau pasien yang memiliki penyakit paru sebelumnya.

Pada keadaan pneumoperitoneum CO2 dalam tindakan laparoskopi dengan


nafas kendali PaCO2 akan meningkat terus sampai mencapai masa plateunya di
menit ke 15 sampai 30. PaCO2 yang masih meningkat setelah periode ini,
menandakan suatu kondisi yang normal seperti emfisema CO2 subkutis. Oleh
karena itu PaCO2 dipertahankan pada rentang fisiologik dengan menggunakan
ventilasi mekanis. Koreksi dari peningkatan PaCO2 dapat dicapai dengan
meningkatkan ventilasi alveolar sebesar 10-25%, kecuali pada kasus-kasus
tertentu emfisema CO2 subkutis.

Neurologi dan neurohumoral


Peningkatan tekanan intracranial yang terjadi bersamaan dengan
menurunnya tekanan perfusi serebral ditemukan ketika terjadi hiperkapnia,
peningkatan SVR, posisi kepala ke bawah dan peningkatan IAP setelah
karenanya, tidak dianjurkan untuk melakukan laparoskopi pada pasien dengan
penurunan komplians intracranial.
Mediator-mediator yang terlibat dalam peningkatan SVR pada saat terjadi
pnreumoperitoneum adalah katekolamin dna vasopressin. Katekolamin dilepaskan
karena adanya stimulasi sistem saraf simpatis akibat hiperkapnia dan
pneumpperitoneum, Sementara vasopressin diproduksi seiring dengan aktifnya
sistem RAA (Renin-Angiotensin-Aldosteron), Joris dkk. Melaporkan peningkatan
vaspression plasma secara cepat yang terjadi setelah insulflasi peritoneu pada
pasien sehat dengan profil serta jumlah vasopression parallel dengan perubahan
SVR O’Leary dkk melaporkan peningkatan kadar plasma renin dan aldosterone
empat kali kadar plasma normal yang berkolerasi dengan meningkatnya MAP.
POSISI PASIEN
Lokasi dimana insisi dilakukan pada tubuh pasien menentukan posisi
pasien saat laparoskopi. Posisi kepala lebih rendah dari kaki (Trendelenburg)
digunakan untuk prosedur pelvis dan inframesokolik seperti kistektomi ovarium
dan appendektomi. Posisi kepala lebih tinggi dari kaki (anti reverse
Trendelenburg) digunakan pada operasi supramesokolik seperti kolesistektomi.
Posisi ini dapat berpengaruh terhadap perubahan hemodinamik yang dikaitkan
dengan prosedur laparoskopi.

Efek kardiovaskular dari posisi Trendelenburg bersifat multifactorial


dihubungkan dengan derajat turunnya kepala pasien, usia pasien, status volum
intravascular, gangguan jantung yang dimiliki pasien, teknik ventilasi dan teknik
anesthesia yang dilakukan. Pada pasien yang sehat, posisi Trendelenburg akan
meningkatkan aliran balik vena dan curah jantung. Jika baroreseptor berfungsi
baik, akan terjadi penurunan laju jantung dan vinlilateral. Namun pada pasien
dengan coronary arterial desease (CAD) peningkatan volum darah sentral dapat
meningkatkan kebutuhan O2 otot jantung seiring dengan meningkatnya vultum
ventraksi.

Posisi reverse Trendelenburg dapat menyebabkan menurunnya aliran balik


vena yang bermanifestasi sebagai penurunan MAP dan curah jantung. Pada pasien
yang sehat penurunan ini tidak bermakna, Namun pada pasien dengan riwayat
gangguan jantung perubahan ini dapat berbahaya yaitu mengurangi lagi curah
jantung yang sudah berkurang dan mengakibatkan penurunan perfusi ke organ-
organ tubuh secara bermakna.

Posisi lateral decubitus efeknya minimal terhadap hemodinamika pasien.


Terkadang penggunaan posisi ini dapat melawan efek hemodinamika reverse
Trendelenburg. Namun pasien lateral decubitus kanan yang ekstrim dapat
mengobstruksi aliran vena kaya dan menyebabkan penurunan aliran balik vena.
KOMPLIKASI
Komplikasi Kardiovaskular
Pada pasien dengan gangguan jantung ringan sampai berat akan terjadi
perubahan MAP curah jantung dan tahanan vascular sitemik (SVR) secara
bermakna. Studi yang melibatkan pasien dengan ASA III atau IV, emlaporkan
terjadi penurunan 5VO, sebesar 50%walaupun telah dilakukan optimalisasi
hemodinamika prabedah dengan kateter arteri pulmonalis (PAC). Pasien yang
mengalami gangguan hemodinamik paling berat adalah pasien yang curah
hantung dan tekanan CVP prabedahnya rendah serta MAP dan SRV pabedahnya
tinggi. Hal tersebut menandakan volum intravascular yang rendah. Peneliti
menyarankan pemberian cairan sebagai preload untuk menghindari perubahan
hemodinamik yang berhubungan dengan peningkatan IAP pada pasien dengan
gangguan jantung tertentu. Dhoste dkk melaporkan bahwa dengan menggunakan
IAP yang rendah (10mmHg) dan insulflasi yang lambat (1L/menit) tidak
ditemukan gangguan hemidinamik pada pasien tua dengan ASA III. Beberapa
studi juga melaporkan perubahan hemodinamik pada pneumoperitoneum dapat
ditoleransi dengan baik pada pasien obes.

Refleks vagal dapat diakibatkan oleh peregangan peritoneum yang


mendadak atau akibat elektrokoagulasi dari tuba falopi. Akan terjadi bradikardia,
aritmia hinga asistol. Stimulasi vagal dapat lebih mudah terjadi bila anesthesia
kurang dalam atau bila pasien mengkonsumsi β-bloker. Keadaan ini dapat diatasi
dengan mudah dan baik dengan menghentikan insulfasi pemberian atropine dan
memperdalam anesthesia setelah denyut jantung kembali normal.
Kejadian aritmia tidak berhubungan dengan tingkat PaCO2 dan dapat
terjadi pada awal intufasi ketika peningkatan PaCO2 belum terjadi. Aritmia
mungkin sekali disebabkan oleh intervensi terhadap perubahan hemodinamik di
awal insuflasi terutama pada pasien dengan riwayat gangguan jantung. Selain itu
emboli gas dapat menyebabkan aritma.
Komplikasi Respirasi
Pada pasien yang sehat, peningkatan PaCO. Diperkirakan adalah akibat
dari absorbs Co2 dari peritoneum dan hal ini dapat diatasi oleh mekanisme
ventilasi paru yang baik. Sementara pada orang dengan gangguan kartiorespirasi,
PaCO2 dan ∆a-ETCO2 akan meningkatkan lagi dikarenakan secara signifikan pada
pasien dengan status ASA II dan III bila dibandingkan dengan status ASA I. Hal
ini juga telah didokumentasikan pada pasien dengan penyakit parus obstruktif
kronik (PPOK) dan pasien anak yang menderita kelainan jantung kongenital
sianotik. Retensi CO2 postoperatif akan menyebabkan meningkatkan laju nafas
dan PETCO2 pada pasien yang bernafas spontan setelah tindakan laparoskopi.
Emfisema CO2 subkutis dapat terjadi karena insulfiasi ekstraperitoneal
yaitu pada beberapa jenis tindakan seperti operasi hernia, operasi ginjal dan
limfadenektomi pelvis, pada keadaan ini PaCO2+ VCO2+ dan PETCO2akan
meningkat. Pada beberapa keadaan peningkatan VCO2 tidak dapat
mengkompenasi peningkatan PaCO2+ sehingga operaso harus dihentikan dan
dilakukan deflasi. Setelah eliminasi CO2 dan PaCO2 kembali dalam kisaran
normal. Laparoskopi dapat dilanjukan dnegan tekanan insulflasi lebih rendah.
Intra-abdominal pressure

Pooling of blood in the Caval Caval Intrathoracic Simulation Vasc resistance of


legs compression compression pressure peritoneal acceptor intraabd irgans

Release of neuronumoral
factor (a) vasopressin
calchal…)

Systemic vascular
Venous retum ?? resistance

Artenal pressure
Cardiac output

Gambar Diagnosis Dari komplikasi pernafasan saat laparoskopi ECG,


electrocardiographic; grow, airway pressure PETCO2 end-tidal carbon dioxide
tension

Perpindahan gas saat terbentuknya pneumoperitoneum juga dapat


mengakibatkan pneumomediastinum, penumotoraks unilateral atau bilateral dan
penumokardium. Defek di diafragna atau adanya titik lemah pada hiatus
esophagus dan aorta dapat juga mengakibatkan aliran gas ke toraks. Penumotoraks
dapat juga terjadi akibat robekan peritoneum visceral, robekan pleura parietal
pada saat melakukan reesksi di sekitar esophagus atau akibat dafek kongenital
pada diafragma sehingga dapat dilalui gas CO2. Komplikasi ini dapat
mengakibatkan akibat yang serius seperti gangguan hemodinamik dan respirasi.
Pneumototaks harus dibedakan dnegan capnothorax, yang diakibatkan
oleh difusi CO2 keruangan intrapleura. Capbothorax dapat dicurigai jika tekanan
rata-rata jalan nafas (mean airway pressure)meningkat dengan penurunan SpO2
dikonfirmasi dnegan pemeriksaan foto Rontgen. Pneumotoraks dan capnothorax
yang terjadi bersamaan akan mengakibatkan peningkatan ETCO2.

Pada pneumotoraks yang terjadi akibat gas yang sangat mudah berdifusi
seperti CO2 atau N2O tanpa trauma paru, resolusi spontan terjadi dalam 30-60
menit tanpa perlu dilakukan torakosentesis. Positive End Expiratory Pressure
(PEEP) dapat dilakukan sebagai alternative dari torakosintesis a[da capnothorax.
Namun apabila yang terjadi adalah pneumotoraks sekunder akibat rupturnya
bultae, PEEP tidak boleh dilakukan dan torakosintesis harus segera dilakukan.

Pneumocardium dapat terjadi ketika CO2 dipaksa ke mediastimum dan


pericardium. Selain itu dapat terjadi jika CO2 masuk melalui defek pada bagian
membrane diafragma, sehinggaterdapat hubungan antara pericardium dan rongga
peritoneal.

Intubasi Endobronkial
Penekanan diafragma ke arah atas (cephalad) saat pneumoperitoneum
akan mengakibatkan pergeseran karina ke arah cephalad pula. Hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya intubasi endobronkial. Hal ini ditandai dengan
penurunan saturasi O2 pada puls oxymetri dan peningkatan tekanan jalan nafas.

KOMPLIKASI LAIN

Emboli Gas
Walaupun jarang, emboli gas adalah komplikasi paling menakutkan dan
berbahaya pada prosedur laparoskopi dengan mortalitas 28%. Komplikasi ini
paling sering terjadi sewaktu permulaan insulflasi gas peritoneum terutama pada
pasien yang sudah pernah dilakukan diagnosis emboli gas adalah dengan cara
mendeteksi adanya emboli gas dijantung kanan dan/atau dari klinis pasien . Pada
keadaan dini (0.5 mL/kg gas atau kurang) terjadi perubahan suara Doppler dan
peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Akibat ukuran emboli meningkat menjadi
> 2mL/kg gas, dapat terjadi takikardia artimia, hipertensi, meningktanya CVP
bunyi jantung tambahan (millwheel murmur), sianosia dan perubahan EKO
sebagai akibat dari beban jantung kanan yang berlebih. Namun tanda-tanda ini
tidak selalu ada.

Kapnometri dan kapnografi berguna untuk mendeteksi emboli gas secara


dini dan menggambarkan tingkat keparahan dari emboli. Untungnya kejadian
emboli gas yang mengancam jiwa jarang terjadi pada laparoskopi sehingga
penggunaan alat-alat invasive dan monitoring ekstensif tidak rutin dilakukan.

Penatalaksanaan emboli CO2 terdiri dari penghentian insulflasi segera.


Pasien diletakkan dalam posisi Durant (Trendelenburg dan left lateral decubitus).
Posisi ini akan mengurangi jumlah gas yang masuk ke sirkulasi pulmonial.
Penghentian N2O dan pemberian O2 100% dapat memperbaiki hipoksemia dan
mengecilkan ukuran gas emboli beserta komplikasinya. Hiperventilasi dilakukan
untuk mempercepat ekskresi CO2. Apabila tindakan ini tidak membuahkan hasil,
pemasangan CVP atau kateter pulmonalis dpat dilakukan untuk mengaspirasi gas.
Resusitasi jantung paru harus segera dilakukan apabila ada indikasi.Pemijatan
jantung eksternal dapat membantu memecah-mecah emboli gelembung besar
menjadi emboli gelembung-gelembung kecil. Gelembung CO2akan diabsorbsi
karena kelarutan CO2 didalam darah tinggi. Hal ini merupakan mekanisme dari
perbaikan kondisi pasien yang cepat pada pasien yang segera mendapat
pertolongan.

Aspirasi Isi Lambung


Pasien yang menjalani laparoskopi memiliki risiko untuk regurgitasi akibat
peningkatan tekanan lambung karena peningkatan IAP. Namun kenyataannya
selama keadaan pneumoperitoneum, tonus sfingter esophagus bawah (lower
esophageal sohincer/LES) melebihi tekanan dalam lambung risiko regusgitasi
menurun. Posisi Trendelenburg juga akan mencegah risiko aspirasi cairan
regurgitas.

EVALUASI PRABEDAH DAN PREMEDIKASI


Evaluasi praoperatif bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi akut yang
sedang berlangsung atau kondisi kronik yang dapat menjadi masalah untuk
anesthesia. Kondisi yang perlu mendapat perhatian misalnya peningkatan tekanan
intrakarnial atau intrakular, dengan masalah jantung, ginjal dan pernafasan.
Pada prosedur laparoskopi, pneumoperitoneum merupakan hal yang dpat
berbahaya pada pasien dengan peningkatan tekanan intracranial (misalnya pada
tumor, hidrosefalus, trauma kepala) dan hypovolemia. Laparoskopi dapat
dilakukan dengan amand pada pasien dengan VP shunt atau peritoneojugular
shunt asalkan pada selangnya terdapat kjatup searah yang resisten terhadap
peningkatan IAP. PAda kasus glaucoma efek dari peningkatan intraocular tidak
dapat begitu bermakna secara klinis, namun membutuhkan konfirmasi lebih
lanjut.
Pada pasien dengan gangguan jantung, fungsi jantung harus selalu
dievaluasi karena kemungkinan dari perubahan hemodinamik akibat
pneumoperitoneum dan posisi pasien. Selama laparoskopi, pasien dengan gagal
jantung kongestif berat dan insulfisiensi katup jantung memiliki risiko
mendapatkan komplikasi jantung yang lebih besar dibantingkan dengan p[asien
yang hanya memiliki riwayat penyakit jantung iskemik. Pada pasien dengan gagal
ginjal, perlu dilakukan optimalisasi kondisi hemodinamik pasien tersebut selama
pneumoperitoneum. Selain itu penggunaan obat-obat yang bersifat nefrotoksik
harus dihindarkan. Dan pada pasien dengan gangguan pernafasan, laparoskopi
lebih dipilih dari laparotomy karenagangguan fungsi pernafasan pascabedah lebih
kecil.
Premedikasi harus dipertimbangkan sesuai dengan lama tindakan
laparoskopi dan keperluan cepatnya masa pemulihan bagi pasien rawat jalan.
Pemberian NSAID prabedah dapat menurunkan nyeri pascabedah dan kebutuhan
oploid. Pemberian klonidin dan dexmedetomidine akan mengurangi respon stress
intraoperative dan meningkatkan stabilitas hemodinamik. Sedangkan pada
keadaan tertenti, dapat diberikan profilaksis gastrointestional seperti antasida oral,
agen motilitas dan antagonis H2 yang dilanjutkan dengan induksi sekuens cepat
dengan tekanan krikoid. Selain itu karena adanya risiko statis vena di kaki
sewaktu laparoskopi, perlu diberikan profilaksis seperti fraksi heparin. Sedasi
ringan seperti short acting benzodiazepine dapat diberikan.

PEMANTAUAN DAN POSISI PASIEN


Pemantauan sangat diperlukan untuk mendeteksi dan mencegah
komplikasi pada saat prosedur laparoskopi dilakukan. Sewaktu laparoskopi,
tekanan darah dan arteri, laju denyut jantungm EKG,kapriometri dan pulse
oximetry harus selalu dipantau, Hal ini ditunjukan untuk mendeteksi aritmia ,
emboli gas, emfisema CO2 subkutis dan pneumotoraks secara dini.
Pada pasien yang tidak stabil, pasien dengan masalah kardiobaskular dan
pasien obes perlu pemantauan kardiovaskular, gas darah dan produksi urin secara
ketat. Pemantauan hemodinamika invasive pada pasien dengan gangguan jatung
dapat terganggung dengan meningkatnya tekanan intratoraks. Transesophageal
echocardiography dapat menjadi alternative utama dalam hal tersebut PETCO2
harus dipantau secara hati-hati untuk menghindari hiperkapnia dan untuk
mendeteksi symbol gas. Karena ∆a-ETCO2 dapat meningkat pada pasien dengan
gangguan jantung dan gangguan paru, maka analisis gas darah dapat mengukur
kadar PaCO2 secara langsung.
Selain itu pasien harus diposisikan sedemikian rupa untuk menghindari
cedera pada saraf. Pemberian padding dan shouler braces pada prosesus korakoid
akan menghindarkan kompresi saraf. Pasien dirimiringkan sedemikian rupa
namun tidak melebihi 15-20 derajat.Pemiringan pasien harus dilakukan perlahan
untuk menghindari perubahan hemodinamik dab respirasi yang mendadak. Posisi
dari pipa endotrakea harus diperiksa pada setiap perubahan posisi pasien.
Insulflasi dan deflasi pneumoperitoneum harus dilakukan dengan halus dan pelan-
pelan. Ventilasi dengan sungkup sebelum intubasi dapat mengakibatkan lambung
terisi udara dan udara tersebut harus diaspirasi sebelum penggunaan trocar untung
menghindari risiko perforasi gaster terutama pada tindakan laparoskopi
suipramesokolik. Kandung kemih harus dikosongkan sebelum tindakan
laparoskopi pada daerah pevis atau tindakan laparoskopi yang lama.

Teknik Anestesia
Anestesia umum, local dan regional semuanya telah terbukti aman dilakukan pada
tindakan laparoskopi.

Anestesia Umum
Anestesia umum direkomendasikan untuk pasien yang akan menjalani
operasi laparoskopik dalam waktu lama. Obat-obatan yang digunakan pada
anastesia umum untuk laparoskopi terdiri atas obat inhalasi, intervena dan
pelumpuh otot (muscle relaxant). Diantara anestetika inhalasi yang banyak
digunakan adalah nitrogen okida (nitrous oxide), iso fluran, desfluran dan
sevofluran. Obat induksi intravena yang digunakan adalah propofol, thiopental,
etomidat. Propotol merupakan obat yang mempunyai keuntungan dalam
sedikitnya kejadian post operative nausea and vomiting (PONV) pada prosedur
rawat jalan, sedangkan otomidat sebaliknya. Pelumbuhan otot yang digunakan
adalah suksinikolin, mivakuronium, atrakurium dan vekuronium. Suksinilkolin
sering dihubungkan dengan kejadian nyeri otot pascabedah suplementasi opioid
seperti fentanyl, remifgentanil dan suferntanil biasanya digunakan untuk
mengatasi nyeri.
Anastesis umum dengan intubasi endotrakeal dan ventilasi kendali
merupakan teknik teraman dan tersering untuk digunakan pada laparoskkopi.
Namun pada prosedur laparoskopi yang berjangka singkat, IAP yang rendah serta
derajat kemiringan posisi pasien yang minimal. Penggunaan laryngeal mask
airway (LMA) lebih dipilih. LMA dapat mengurangi nyeri tenggorok dibanding
dengan intubasi endotrakeal, namum LMA tidak dapat memberikan perlindungan
terhadap aspirasi lambung. LMA jenis ProSeal dapat mengatasi hal tersebut
karena batas airway seal nya adalah 30 mmHg.
Pada saar pneumoperitoneum, ventilasi kendali harus diatur sedemikian
rupa agar Prtco2, dapat tetap berada pada 35-40 mm Hg. Hal ini hanya
membutuhkan peningkatan ventilasi semenit sebesar 10-25% saja,kecuali bila
terjadi emfisema Co2 subkutis. Peningkatan laju pernafasan lebih dipilih daripada
peningkatan volum tidal pasien PPOK dan pasien yang memiliki riwayat
pnreumotoraks spontan atau emfisema bulosa. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi hiperinflasi alveolus dan pneumotoraks.
Selama laparoskopi berlangsung IAP harus dimonitor dan diperhatikan
serendah mungkin untuk mengurangi perubahan respirasi dan hemodinamik. Studi
tekini merekomendasikan IAP dibawah atau sama dengan 12 mmHg. Untuk
mempertahankan status eukpapnia, volum ventilasi per menit harus meningkat 15-
25%. Penggunaan positive end respiratory pressure (PEEP) dapat memperbaiki
pertukaran gas di paru-pary dan mempertahankan osigensi arterial selama
prosedur yang lama. Namun kombinasi PEEP dan peningkatan IAP dapat
meningkatkan tekanan intratorakal sehingga mengurangi cardial output. Oleh
karenanya penggunaan PEEP yang tinggi harus dihindari pada pasien dengan
gangguan jantung atau hemodinamik yang tidak tidak stabil.
Pemberian cairan intravena perioperative secara umum dapat menurunkan
kemungkinan perubahan hemodinamik akibat pneumoperitoneum, PONV dan
memperbaiki pemulihan pascabedah. Atropin harus tersedia karena potensi
peningkatan reflex vegal sat laparoskopi infus obat vasodilator seperti nikardipin,
agonis reseptor a2 adrenergik dan remifentanil dapat menurunkan gangguan
hemodinamik akibat pnreumoperitoneum dan mempermudah penatalaksanaan
pasien dengan riwayat jantung.

Anestesia Regional
Anestesia regional menyediakan beberapa keuntungan seperti waktu pulih
yang cepat, menurunnya PONV, komplikasi dapat lebih dini diketahui dan
perubahan hemodinamik yang lebih sedikit. Selian itu anesthesia regional dapat
menurunkan angka pemakaian narkotika dan obat sedative, menurunkan respon
metabolic, mengakibatkan relaksasi otot yang lebih baik dan dapat dilakukan
untuk prosedur laparoskopi lain selain sterilisasi. Namun pada tindakan anesthesia
ini, operator harus berhati-hati dalam memanipulasi organ abdomen atau pelvis.
Karena alas an ini, anesthesia regional secara rutin dipadukan dengan sedasi
intravena. Efek kombinasi arteri. Oleh karenana prosedur laparoskopik yang
kompleks tidak boleh ditatalaksana dengan anestesioa regional.

Teknik anesthesia regional dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu blok
sarafperifer, blok theuroaksial dan infiltrasi anestetik okal. Blok saraf perifer
terdiri atas recturs sheaaflm blok rectus sheath dan mesoslpinx, blok ingunal, blok
kavum douglasi dan blok paravertebral Blok neuroaksial terdiri atas teknik
epidural, spinal, kombinasikan dengan posisi Trendelenburg, dapat digunakan
untuk laparoskopi ginekoplogik tanpa menyebabkan gangguan ventilasi yang
bermakna. Sedangkan infiltrasi anestetika local digunakan pada teknologi serat
optic yang hanya membutuhkan akses sangat kecil yaitu 1-2-2-2 mm (disebut
laparoskopi).

Pemulihan dan Pemantauan Pascabedah


Pemantauan hemodinamika tetap harus dilakukan di PACU. Perubahan
nemodinamik yang disebabkan oleh pneumoperitoneum, terutama peningkatan
tahanan vascular sistemik, tetap ada setelah pneumoperitoneum dihentikan.
KEadaan hiperdinamik pada pasien dengan riwayat gangguan jantung setelah
laparoskopi harus diwaspadai.

Selama awal periode pascabedah, laju respirasi dan ETCO2 pasien yang
bernapas spontan lebih tinggi setelah laparaskopi dibandingkan dengan oeprasi
terbuka. Tambahan CO2 dapat menyebabkan hiperkapnia meskipun pada periode
pascabedan pasien dengan penyakit paru akan mempunyai masalah dalam
mengekskresi CO2 yang kemudian akan memperparah hiperkapnia dan dapat
berakhir dengan gagal nafas. Selain itu terdapat peningkatan kebutuhan O2 setelah
laparoskopi. Walaupun laparoskopi dianggap sebagai prosedur bedah minor,
pemberian O2 pascabedah tetap harus dilakukan, bahkan bagi pasien yang sehat.
Pencegahan dan penatalaksanaan nyeri dan PONV sangat penting terutama bagi
pasien rawat jalan. Anti nyeri yang dapat digunakan adalah nonstraroidal anti-
infammatory drugs (NSAID), opioid antikolinergik, tramadol, asetaminofen dan
σ2 antiemetik. Antiemetik yang dapat digunakan adalah antagonis 5HT
(ordansetronm dolasetronm granisetron). Deksametason dosis tunggal dapat
mengurangi PONV dalam 24 jam pertama setelah laparoskopi untuk stentiasasi
dan mengurangi kebuuhan untuk menggunakan antiemetic lain.

PENUTUP
Laparoskopi semakin popular saat ini karen adihubungkan dengan banyak
keunungan antara lain trauma pembedahan yang minimal dan fase pemulihan
yang lebih cepat. Namun demikian, tindakan ini juga membawa potensi masalah
baik intra maupun pascabedah.
Komplikasi terbanyak bedah laparoskopik berhubungan dengan
digunakannya gas CO2 untuk inufasi. Komplikasi dapat berupa perubahan
fisiologik langsung karena insulflasi gas, maupun perubahan fisiologik tak
langsung akibat masuknya gas CO2 ke dalam sirkulasi.
Seorang ahli naestesiologi harus memahami risiko yang dihadapi pada
setiap tindakan laparoskopik. Meskipun tindakan ini disukai dari sisi pembedahan,
namun jika risiko yang dihadapi pasien terlalu besar harus dihindari.

Anda mungkin juga menyukai