Tinjauan Pustaka
Catatan penting :
- Laparoskopi memiliki berbagai keuntungan postoperative, sehingga akan
mempercepat proses penyembuhan dan menurunkan waktu perawatan di RS.
- Pneumoperitonium CO2 dapat menyebabkan perubahan ventilasi dan respirasi
dan emfisema subkutis.
- Laparoskopi tanpa gas dapat menurunkan perubahan patofisiologi akibat
pneumoperitoneum CO2+ namun hal ini dapat mempersulit operator dalam
melakukan prosedur laparoskopi.
- Kapnografi dapat mendeteksi peningkatan PaCO2 secara akurat.
- Pada pasien yang keadaannya kurang baik, gangguan kardiorespirasi dapat
meningkatkan PaCO2 secara drastic dan meningkatkan gradient antar PaCO2
dengan PETCO2
- Insflasi pentoneum akan mengakibatkan perubahan hemodinamik yang dapat
dramatis pada pasien yang memiliki risiko tinggi gangguan kardiovaskuler.
- Laparoskopi dapat dilakukan dengan aman pada wanita hamil kurang dari 23
minggu (mencegah terjadinya hiperkarbia). Laparooskopi terbuka harus
dihindari karena ditakutkan dapt mencederai uterus.
- Anestesia uterus dengan ventilasi kendali dianggap sebagai teknik teraman
untuk tindakan laparoskopi operatif.
PENDAHULUAN
Laparoskopi adalah suatu proses inspeksi bagian dalam rongga perut
dengan menggunakan esdoskop melalui akses yang minimal. Untuk mendapatkan
lapang pandang yang baik dalam rongga perut diperlukan pnreumoperitoneum,
yaitu insulflasi ronga peritoneum dengan gas CO2. Prosedur ini, ditambah dengan
posisis pasien yang seringkali ekstrim, membawa dampak fisiologik yang
bermakna. Pengetahuan dan pemahaman mengenai hal ini sangat penting untuk
manajemen anesthesia yang baik.
Penggunaan teknik laparoskopi telah sangay maju dan dapat diteapkan
untuk banyak prosedur. Saat ini laparoskopi telah menjadi prosedur operasi
tersering bagi pasien rawat jalan. Pembedahan laparoskopik disukai karena
minimally invasive dan dihubungkan dengan penyembuhan luka yang lebih cepat,
Meski demikian pada pasien dengan kondisi buruk tindakan laparoskopi
mungkinsulit untuk dilakukan karena perubahan-perubahan fisiologik diatas.
Anestesia harus dilakukan secara berhati-hati dan disesuaikan dengan jenis
operasi dan kondisi pasien.
BEDAH LAPAROSKOPIK
Tindakan laparoskopi sudah dikenal sejak pertengahan 1950an ketika ahli
ginekologi memperkenalkan teknik yang aman untuk mendiagnosis nyeri pinggul.
Awal 1980an, tindakan ini mulai dilakukan pada prosedur kolesistektomi dan
terus berkembang dengan pesar. Sekarang laparoskopi telah dilakukan untuk
bedah vascular (bypass aortomesenterika), bedah urologi dengan komplikasi
(nefrektomi pda malformasi anteriovena renal besar), prostatektomi radikal,
pankreatomi distal dan reseksi hepar, bahkan telah dilakukan pada anak-anak.
Cepatnya perkembangan bedah laparoskopik dikarenakan tindakan ini merupakan
teknik operasi minimal invasive yang mempunyai beberapa keuntungan
dibandingkan dengan operasi terbuka, antara lain mengurangi trauma dan
berkurangnya nyeri pasca bedah, waktu rawat yang singkat memungkinkan
cepatnya dapat kembali melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
Efek Pneumoperitoneum
Keadaan pnuemoperitoneum dapat meningkatkan tekanan intra-
abdomen (intraabdominal pressure / IAP) yang kemudian mempunyai efek pada
kardiovaskular, respirasi dan neurologi.
Kardiovaskular
Efek mekanik dari pneumoperitoneum akan memengaruhi
hemodinamika secara umum dan regional. Secara umum, peningkatan IAP akibat
peritoneum pada awalnya mengakibatkan penekanan pada vena sehingga
meningkatkan preload dan kemudian diikuti oleh penurunan preload yang
menetap. Sedangkan kompresi pembuluh darah arteri akan meningkatkan
afterload dan juga mengakibatkan peningkatan SVR. Peningkatan IAP ini
berhubungan langsung dengan penurunan CI dan curah jantung. Dexter dkk
melaporkan bahwa pada pengamatan dengan menggunakan Doppler transesofagus
didapatkan curah jantung berkurang sebanyak 28% pada tekanan insuflasi
15mmHg dan pada tekanan insuflasi 7 mmHg tidak ditemukan perubahan dari
curah jantung.
Airway pressure Increased Paw No change Increased Paw Increased Paw No Change
Respirasi
Banyak dari komponen laparoskopi yang berpengaruh terhadap fungsi
paru, peningkatan IAP dan efek volum yang dihasilkan pneumoperitoneum dapat
menyebabkan naiknya diafragma. menurunnya kapasitas paru, meningkatnya
tekanan jalan nafas, dan
menurunnya komplians paru sampai 35-40%.Hal ini tidak berpengaruh pada
pasien yang sehat, namun dapat mengakibatkan gangguan fungsi paru pada pasien
obes atau pasien yang memiliki penyakit paru sebelumnya.
Release of neuronumoral
factor (a) vasopressin
calchal…)
Systemic vascular
Venous retum ?? resistance
Artenal pressure
Cardiac output
Pada pneumotoraks yang terjadi akibat gas yang sangat mudah berdifusi
seperti CO2 atau N2O tanpa trauma paru, resolusi spontan terjadi dalam 30-60
menit tanpa perlu dilakukan torakosentesis. Positive End Expiratory Pressure
(PEEP) dapat dilakukan sebagai alternative dari torakosintesis a[da capnothorax.
Namun apabila yang terjadi adalah pneumotoraks sekunder akibat rupturnya
bultae, PEEP tidak boleh dilakukan dan torakosintesis harus segera dilakukan.
Intubasi Endobronkial
Penekanan diafragma ke arah atas (cephalad) saat pneumoperitoneum
akan mengakibatkan pergeseran karina ke arah cephalad pula. Hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya intubasi endobronkial. Hal ini ditandai dengan
penurunan saturasi O2 pada puls oxymetri dan peningkatan tekanan jalan nafas.
KOMPLIKASI LAIN
Emboli Gas
Walaupun jarang, emboli gas adalah komplikasi paling menakutkan dan
berbahaya pada prosedur laparoskopi dengan mortalitas 28%. Komplikasi ini
paling sering terjadi sewaktu permulaan insulflasi gas peritoneum terutama pada
pasien yang sudah pernah dilakukan diagnosis emboli gas adalah dengan cara
mendeteksi adanya emboli gas dijantung kanan dan/atau dari klinis pasien . Pada
keadaan dini (0.5 mL/kg gas atau kurang) terjadi perubahan suara Doppler dan
peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Akibat ukuran emboli meningkat menjadi
> 2mL/kg gas, dapat terjadi takikardia artimia, hipertensi, meningktanya CVP
bunyi jantung tambahan (millwheel murmur), sianosia dan perubahan EKO
sebagai akibat dari beban jantung kanan yang berlebih. Namun tanda-tanda ini
tidak selalu ada.
Teknik Anestesia
Anestesia umum, local dan regional semuanya telah terbukti aman dilakukan pada
tindakan laparoskopi.
Anestesia Umum
Anestesia umum direkomendasikan untuk pasien yang akan menjalani
operasi laparoskopik dalam waktu lama. Obat-obatan yang digunakan pada
anastesia umum untuk laparoskopi terdiri atas obat inhalasi, intervena dan
pelumpuh otot (muscle relaxant). Diantara anestetika inhalasi yang banyak
digunakan adalah nitrogen okida (nitrous oxide), iso fluran, desfluran dan
sevofluran. Obat induksi intravena yang digunakan adalah propofol, thiopental,
etomidat. Propotol merupakan obat yang mempunyai keuntungan dalam
sedikitnya kejadian post operative nausea and vomiting (PONV) pada prosedur
rawat jalan, sedangkan otomidat sebaliknya. Pelumbuhan otot yang digunakan
adalah suksinikolin, mivakuronium, atrakurium dan vekuronium. Suksinilkolin
sering dihubungkan dengan kejadian nyeri otot pascabedah suplementasi opioid
seperti fentanyl, remifgentanil dan suferntanil biasanya digunakan untuk
mengatasi nyeri.
Anastesis umum dengan intubasi endotrakeal dan ventilasi kendali
merupakan teknik teraman dan tersering untuk digunakan pada laparoskkopi.
Namun pada prosedur laparoskopi yang berjangka singkat, IAP yang rendah serta
derajat kemiringan posisi pasien yang minimal. Penggunaan laryngeal mask
airway (LMA) lebih dipilih. LMA dapat mengurangi nyeri tenggorok dibanding
dengan intubasi endotrakeal, namum LMA tidak dapat memberikan perlindungan
terhadap aspirasi lambung. LMA jenis ProSeal dapat mengatasi hal tersebut
karena batas airway seal nya adalah 30 mmHg.
Pada saar pneumoperitoneum, ventilasi kendali harus diatur sedemikian
rupa agar Prtco2, dapat tetap berada pada 35-40 mm Hg. Hal ini hanya
membutuhkan peningkatan ventilasi semenit sebesar 10-25% saja,kecuali bila
terjadi emfisema Co2 subkutis. Peningkatan laju pernafasan lebih dipilih daripada
peningkatan volum tidal pasien PPOK dan pasien yang memiliki riwayat
pnreumotoraks spontan atau emfisema bulosa. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi hiperinflasi alveolus dan pneumotoraks.
Selama laparoskopi berlangsung IAP harus dimonitor dan diperhatikan
serendah mungkin untuk mengurangi perubahan respirasi dan hemodinamik. Studi
tekini merekomendasikan IAP dibawah atau sama dengan 12 mmHg. Untuk
mempertahankan status eukpapnia, volum ventilasi per menit harus meningkat 15-
25%. Penggunaan positive end respiratory pressure (PEEP) dapat memperbaiki
pertukaran gas di paru-pary dan mempertahankan osigensi arterial selama
prosedur yang lama. Namun kombinasi PEEP dan peningkatan IAP dapat
meningkatkan tekanan intratorakal sehingga mengurangi cardial output. Oleh
karenanya penggunaan PEEP yang tinggi harus dihindari pada pasien dengan
gangguan jantung atau hemodinamik yang tidak tidak stabil.
Pemberian cairan intravena perioperative secara umum dapat menurunkan
kemungkinan perubahan hemodinamik akibat pneumoperitoneum, PONV dan
memperbaiki pemulihan pascabedah. Atropin harus tersedia karena potensi
peningkatan reflex vegal sat laparoskopi infus obat vasodilator seperti nikardipin,
agonis reseptor a2 adrenergik dan remifentanil dapat menurunkan gangguan
hemodinamik akibat pnreumoperitoneum dan mempermudah penatalaksanaan
pasien dengan riwayat jantung.
Anestesia Regional
Anestesia regional menyediakan beberapa keuntungan seperti waktu pulih
yang cepat, menurunnya PONV, komplikasi dapat lebih dini diketahui dan
perubahan hemodinamik yang lebih sedikit. Selian itu anesthesia regional dapat
menurunkan angka pemakaian narkotika dan obat sedative, menurunkan respon
metabolic, mengakibatkan relaksasi otot yang lebih baik dan dapat dilakukan
untuk prosedur laparoskopi lain selain sterilisasi. Namun pada tindakan anesthesia
ini, operator harus berhati-hati dalam memanipulasi organ abdomen atau pelvis.
Karena alas an ini, anesthesia regional secara rutin dipadukan dengan sedasi
intravena. Efek kombinasi arteri. Oleh karenana prosedur laparoskopik yang
kompleks tidak boleh ditatalaksana dengan anestesioa regional.
Teknik anesthesia regional dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu blok
sarafperifer, blok theuroaksial dan infiltrasi anestetik okal. Blok saraf perifer
terdiri atas recturs sheaaflm blok rectus sheath dan mesoslpinx, blok ingunal, blok
kavum douglasi dan blok paravertebral Blok neuroaksial terdiri atas teknik
epidural, spinal, kombinasikan dengan posisi Trendelenburg, dapat digunakan
untuk laparoskopi ginekoplogik tanpa menyebabkan gangguan ventilasi yang
bermakna. Sedangkan infiltrasi anestetika local digunakan pada teknologi serat
optic yang hanya membutuhkan akses sangat kecil yaitu 1-2-2-2 mm (disebut
laparoskopi).
Selama awal periode pascabedah, laju respirasi dan ETCO2 pasien yang
bernapas spontan lebih tinggi setelah laparaskopi dibandingkan dengan oeprasi
terbuka. Tambahan CO2 dapat menyebabkan hiperkapnia meskipun pada periode
pascabedan pasien dengan penyakit paru akan mempunyai masalah dalam
mengekskresi CO2 yang kemudian akan memperparah hiperkapnia dan dapat
berakhir dengan gagal nafas. Selain itu terdapat peningkatan kebutuhan O2 setelah
laparoskopi. Walaupun laparoskopi dianggap sebagai prosedur bedah minor,
pemberian O2 pascabedah tetap harus dilakukan, bahkan bagi pasien yang sehat.
Pencegahan dan penatalaksanaan nyeri dan PONV sangat penting terutama bagi
pasien rawat jalan. Anti nyeri yang dapat digunakan adalah nonstraroidal anti-
infammatory drugs (NSAID), opioid antikolinergik, tramadol, asetaminofen dan
σ2 antiemetik. Antiemetik yang dapat digunakan adalah antagonis 5HT
(ordansetronm dolasetronm granisetron). Deksametason dosis tunggal dapat
mengurangi PONV dalam 24 jam pertama setelah laparoskopi untuk stentiasasi
dan mengurangi kebuuhan untuk menggunakan antiemetic lain.
PENUTUP
Laparoskopi semakin popular saat ini karen adihubungkan dengan banyak
keunungan antara lain trauma pembedahan yang minimal dan fase pemulihan
yang lebih cepat. Namun demikian, tindakan ini juga membawa potensi masalah
baik intra maupun pascabedah.
Komplikasi terbanyak bedah laparoskopik berhubungan dengan
digunakannya gas CO2 untuk inufasi. Komplikasi dapat berupa perubahan
fisiologik langsung karena insulflasi gas, maupun perubahan fisiologik tak
langsung akibat masuknya gas CO2 ke dalam sirkulasi.
Seorang ahli naestesiologi harus memahami risiko yang dihadapi pada
setiap tindakan laparoskopik. Meskipun tindakan ini disukai dari sisi pembedahan,
namun jika risiko yang dihadapi pasien terlalu besar harus dihindari.