Anda di halaman 1dari 15

LAPAROSKOPI KOLESISTEKTOMI

Gde Candra Yogiswara

PENJELASAN LAPAROSKOPI KOLISESTEKTOMI


Laparoskopi kolesistektomi telah dengan cepat menjadi prosedur pilihan
untuk pembuangan kandung empedu yang dilakukan secara rutin dan saat ini
menjadi prosedur mayor abdomen yang paling umum dilakukan di negara-
negara barat.
Profesor Muhe dari Boblingen, Jerman melakukan kolesistektomi
laparoskopi pertama kali pada tanggal 12 September 1985. Prosedurnya
melibatkan penggunaan endoskopi pandangan samping dengan saluran
instrumentasi yang disisipkan melalui umbilikus setelah sebelumnya membuat
pneumoperitoneum dengan teknik jarum Veress. Setelah enam prosedur
menggunakan pneumoperitoneum, dia mengadaptasi teknik yang menggunakan
akses saluran dan sayatan sebesar 2,5 cm pada batas kosta tanpa menggunakan
pneumoperitoneum. Kontribusinya tidak diterima dengan baik di Jerman atau
Prancis, dan pada awalnya artikel beliau ditolak oleh American Journal of Surgery
pada tahun 1990. Namun, pada tahun 1992, dia menerima Penghargaan German
Surgical Society Anniversary Award dengan komentar Presiden Franz Gall
sebagai "salah satu dari prestasi terbesar kedokteran Jerman dalam sejarah
baru-baru ini. "Dia tidak pernah mempublikasikan karyanya dalam bahasa
Inggris. SAGES mengakui kontribusi awalnya pada tahun 1999, dan dia diundang
untuk memberikan Kuliah Karl Storz tahunan di bidang Teknologi Baru yang
berjudul "Koloistektomi Pertama: Mengatasi rintangan di Jalan Menuju Masa
Depan," di San Antonio, Texas tahun itu.

McKernan dan Saye melakukan kolesistektomi pertama di Amerika


Serikat di Marietta, Georgia pada tanggal 22 Juni 1988. Seiring dengan Reddick
dan Olsen dari Nashville, Tennessee, mereka adalah guru utama teknik ini untuk
ribuan ahli bedah selama dekade berikutnya.

Pelopor lain dalam kolesistektomi laparoskopi meliputi: [1]

1
Mouret (Lyon, Prancis) 1987
Dubois (Paris, Prancis) April, 1988
Reddick (AS) September 1988
Berci (Australia) September 1988
Perissat (Bordeaux, Prancis) November, 1988
Cuschieri (Inggris) Februari 1989
Kolesistektomi Laparoskopi telah menggantikan posisi kolesistektomi
terbuka untuk kebanyakan kejadian pada keadaan patologi kandung empedu.
Pengalaman telah memberikan kemungkinan adanya pengembangan nuansa
teknis yang sudah mapan pada saat ini, dan adanya pelatihan-pelatihan telah
meningkatkan derajat kinerja sehingga kolesistektomi Laparoskopi dapat
dilakukan dengan lebih aman. Jika kolesistektomi yang aman tidak dapat
dilakukan karena adanya peradangan akut, maka tindakan penggantian tube
harus dilakukan. Pendekatan sistematis dalam setiap kasus untuk membuka
ruang di luar segitiga Calot, sampai ke hati, sangatlah penting untuk
menyelesaikan operasi dengan aman.1
Laparoskopi itu sendiri adalah sebuah prosedur pembedahan minimally
invasive dengan memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk
membuat ruang antara dinding depan perut dan organ viscera, sehingga
memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut.2
CO2 merupakan gas pilihan untuk insuflasi oleh karena CO2 tidak mudah
terbakar, tidak membantu pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane,
mudah keluar dari paru-paru, mudah larut dalam darah dan risiko untuk
terjadinya emboli CO2 kecil. Level CO2 di dalam darah mudah diukur, dan
pengeluarannya dapat ditambah dengan memperbanyak ventilasi.2 Namun CO2
dapat menyebabkan iritasi peritoneal langsung dan rasa sakit selama
laparoskopi karena CO2 membentuk asam karbonat saat kontak dengan
permukaan peritoneum. Bila terjadi kekurangan sel darah merah CO2 tidak
terlalu larut pada darah, oleh karena itu CO2 bisa saja tersisa di intraperitoneum
dalam bentuk gas setelah laparoskopi, sehingga menyebabkan sakit pada bahu.
Saat kapasitas CO2 dalam darah melampaui batas hal ini dapat menyebabkan
terjadinya Hiperkarbia dan respiratory acidosis. Tapi selama persediaan
O2 cukup, konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir. Dan selain hal itu, CO2 dapat

2
menimbulkan efek lokal maupun sistemik, sehingga dapat terjadi hipertensi,
takikardi, vasodilatasi pembuluh darah serebral, peningkatan CO, hiperkarbi,
dan respiratory acidosis.2
CO2 endogen dapat diproduksi pada tingkat basal dan pada olahraga
maksimal, namun berapa banyakah yang mampu diproduksi oleh tubuh?.
Karbon dioksida dan air merupakan produk akhir dari proses metabolisme
aerobik di mitokondria sel. Asam karbonat, atau asam utama yang diproduksi di
dalam tubuh, secara unik mudah berubah dan karena itu, sebagian besar harus
dihilangkan oleh paru-paru (Asam lainnya dieliminasi oleh ginjal). Pada tingkat
basal, rata-rata orang dewasa memproduksi kira-kira 200 mL CO2 per menit
(sambil mengkonsumsi 250 mL O2) atau 12 L CO2 (35 g) per jam. Pada tingkat
metabolisme maksimal, diperkirakan tubuh dapat memproduksi, mengangkut,
dan mengeluarkan 90 sampai 100 L / jam, meningkat 800% dari tingkat basal.
Tubuh mengandung sekitar 120 L karbondioksida. (Ini kira-kira 100 kali jumlah
oksigen yang tersimpan). CO2 dalam darah berada dalam ekuilibrium dengan
CO2 di berbagai jaringan. Tingkat pengambilan dan distribusi CO2 dari darah
tergantung pada perfusi dan kapasitas penyimpanan dari jaringan yang berbeda.
Situs penyimpanan ini berfungsi untuk menyangga dan menstabilkan kadar CO2
darah karena mereka menyediakan tempat untuk kelebihan CO2 untuk "parkir"
hingga proses ventilasi mampu mengejar dan mengembalikan keseimbangan.
Peningkatan penyimpanan CO2 selama laparoskopi diilustrasikan secara klinis
dengan perlambatan laju kenaikan PETCO2 meskipun terjadi inkontinensia
terus-menerus.2
Perbedaan fungsi paru setelah laparoskopi kolesistektomi dibandingkan
dengan kolesistektomi terbuka adalah fungsi pulmonal secara substansial
terganggu setelah insisi abdomen atas besar, seperti pada kolesistektomi
terbuka. Ditandai dengan adanya disfungsi diafragma yang terjadi pasca operasi,
hal ini disebabkan oleh kedua perubahan refleks diafragma dan nyeri insisi.
Kapasitas vital dan kapasitas residu fungsional (FRC) dapat dikurangi 20%
sampai 40% dari nilai praoperasi, dan kemungkinan tidak kembali normal
sampai 2 sampai 3 hari setelah operasi. Insisi kecil laparoskopi kolesistektomi
menyebabkan hilangnya fungsi paru dan diafragma yang jauh lebih sedikit, serta
ileus yang lebih kecil.2

3
INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI
Indikasi kolesistektomi ditandai dengan adanya trauma empedu, kanker
empedu, akut kolesistisis dan komplikasi lain dari empedu. Elektif
kolesistektomi adalah indikasi lain yang kontroversial. Kolesistektomi
diindikasikan pada kebanyakan pasien dengan kolesistisis simptomatik
terutama kepada pasien dengan empedu yang tidak berfungsi. Kolesistektomi
tidak diindikasikan kepada pasien dengan batu asimptomatik.3
Kontraindikasi absolut untuk laparoskopi kolesistektomi termasuk
adalah ketidakmampuan dalam mentoleransi anestesi umum dan koagulopati
yang tidak terkontrol. Pasien dengan penyakit obstruksi paru berat atau gagal
jantung kongesif mungkin tidak mentoleransi pneumoperitoneum carbon
dioksida dan mungkin sebaiknya dilakukan kolesistektomi terbuka jika
kolesistektomi benar-benar harus dilakukan. 7
Ada juga beberapa kondisi yang menjadi penyulit dalam dilakukannya
tindakan ini antara lain;
Kegemukan, hal ini memicu masalah peningkatan tekanan intraabdomen
pada posisi Trendelenburg. Berat dan tekanan yang berlebihan pada
diafragma dan dasar paru-paru dapat menyebabkan kelainan ventilasi
dan perfusi yang ditandai, sulitnya memasukkan trocars, pengangkatan
patina ke atas (mengarah ke kemungkinan intubasi endobronkial),
barotrauma, dan sebagainya.
Prosedur Laparoskopi ini sendiri, yang mana posisi dasar laparoskopik
Trendelenburg dan volume intraperitoneal yang meningkat dan tekanan
lumpuh pasien, serta ventilasi mekanis yang mengakibatkan terjadinya
disfungsi pernafasan. Tekanan insuflasi tidak boleh melebihi 12 sampai
15 mmHg. Tekanan yang lebih rendah sangat menguntungkan pada
pasien dengan ASA III (American society of Anestesiologist) dengan
cadangan kardiopulmoner yang berkurang. Selain itu, peningkatan beban
CO2 mungkin memerlukan volume menit pernafasan yang begitu besar
sehingga terjadi kompromi kardiopulmoner berkelanjutan.
Usia, fungsi paru menurun seiring dengan usia apalagi pada pasien denga
usia lebih dari 70 tahun.

4
Riwayat merokok atau Penyakit Paru Menahun(PPOK) merokok dapat
meningkatkan pengeluaran sekret trakeobronkial dengan menurunkan
fungsi transport siliaris. Keadaang tersebut mungkin sudah
mengakibatkan disfungsi paru yang signifikan, yang mungkin diwujudkan
dengan toleransi olahraga yang berkurang. Forced Vital Capacity (FVC)
dapat berkurang pada penyakit paru yang membatasi, sedangkan forced
exfired volume dalam 1 detik (FEV1) cenderung mengalami penurunan
pada penyakit paru obstruktif.
Overhidrasi, beberapa pasien sering mengalami oliguria saat laparoskopi.
Terjadinya hal ini kemungkinan karena hidrasi yang tidak cukup, dan
terjadi transversuasi relatif. Penyebab gangguan pernapasan ringan atau
sedang di unit perawatan pascaanestesi (PACU) mungkin tidak dikenali
tanpa pemeriksaan X-ray jika terjadi edema paru yang jernih.2
Kanker empedu harus dipertimbangkan sebagai kontraindikasi untuk
dilakukan laparoskopi kolesistektomi. Jika kanker empedu didiagnosa
intraoperatif, maka operasi harus dilakukan/diganti dengan prosedur terbuka.
Secara teori, prosedur terbuka membuat aktivitas lebih mudah dikontrol, dengan
kemungkinan kecil terjadi tumpahan, dan juga kelenjar getah bening dapat
dijadikan sampel secara intraoperatif untuk mengatasi penyakit ini. 4
Banyak kondisi yang pernah dirasakan sebagai kontraindikasi untuk
laparoskopi kolesistektomi (misalnya gangrene, empyema , fistula bilioenterik,
obesitas, kehamilan, shunt ventrikuloperitoneal, prosedur perut bagian atas
sebelumnya, sirosis, dan koagulopati) sudah tidak lagi dipertimbangkan sebagai
kontraindikasi namun diakui memerlukan perawatan khusus dan persiapan
pasien oleh ahli bedah dan pertimbangan risiko yang ketat terhadap manfaat.
Ahli bedah sudah memiliki pengalaman dalam tekhnik laparoskopi ini, dan
kontraindikasi ini sudah diabaikan, serta sudah banyak kasus yang dilaporkan
telah sukses dilakukan. 5,6
Tiga kekuatan utama yang secara unik mengubah fisiologi pasien selama
laparoskopi adalah peningkatan tekanan dan volume intraabdomen
(pneumoperitoneum), posisi ekstrem pasien, karbon dioksida dan hipercarbia.
Sangatlah penting bahwa ahli anestesi memiliki pemahaman menyeluruh
tentang konsekuensi fisiologis dari perubahan pada ketiga gaya ini. Secara

5
terpisah atau kombinasi, mereka memiliki efek mendalam pada fungsi
hemodinamik, pernapasan, dan tiruan pasien. Bagaimanapun, tiga kekuatan yang
sama ini dapat menghasilkan perubahan fisiologis yang signifikan pada
laparoskopi yang panjang dan kompleks pada pasien yang lebih tua yang tidak
mampu mengompensasi.2

KOMPLIKASI
Kolesistektomi laparoskopi tetap merupakan prosedur yang sangat aman,
dengan mortalitas 0,22-0,4%. Komplikasi meliputi:
Cedera Trocar/jarum Veress
Perdarahan
Sindrom postcholecystectomy
Kecelakaan atau penyempitan CBD
Infeksi luka atau abses
Ileus
Tumpahan batu empedu
Deep vein thrombosis
Tiga bagian umum yang harus diketahui tentang upaya untuk meminimalkan
atau mencegah komplikasi selama laparoskopi antara lain;
Pneumoperitoneum dan masalah yang berkaitan dengan penyebab,
pemeliharaan dan konsekuensinya.
Karbon dioksida, yang termasuk sebagai bahan kimia dan fisika, hingga
efek samping lokal dan sistemik yang dapat ditimbulkan.
Posisi di meja operasi, yang dalam hal ini dilakukan dengan posisi
Trendelenburg dengan elevasi sisi bolak-balik.2

KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN


Keuntungan dilakukannya laparoskopi dapat meliputi hasil kosmetik
berupa sayatan kecil yang tidak membelah otot, mengurangi kehilangan darah,
mengurangi rasa sakit dan ileus pasca operasi, rawat inap dan pemulihan yang
lebih pendek, dan pada akhirnya dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh
pasien. Fungsi otot pernafasan postoperatif akan kembali normal lebih cepat
daripada operasi terbuka, terutama pada kolesistektomi laparoskopi dan

6
prosedur perut bagian atas lainnya. Komplikasi luka seperti infeksi dan
dehiscence jarang terjadi, dan mekanisme pertahanan host mungkin lebih besar
dalam laparoskopi daripada operasi terbuka. 2
Kelemahannya meliputi kurva belajar yang panjang untuk ahli bedah
(sebagian besar komplikasi terjadi pada 10 laparoskopi pertama), bidang visual
dua dimensi yang menyempit pada video, kebutuhan akan anestesi umum, dan
durasi yang sering lebih lama. Idealnya, ahli bedah harus memiliki kemampuan
laparoskopi yang lebih maju, terutama dalam mengikat simpul, penjahitan dan
bekerja dengan dua instrumen secara bersamaan. Penggunaan simulator untuk
meningkatkan keterampilan ini juga dianjurkan.2

PADA KEHAMILAN
Pada pasien hamil kolesistektomi laparoskopi sekarang lebih sering
dilakukan daripada kolesistektomi terbuka. Tujuan menyeluruh dilakukannya
operasi laparoskopi maupun operasi terbuka adalah untuk menjaga kesehatan
janin dan ibu dan untuk mencegah persalinan prematur. Selain masalah umum
anestesi untuk mencegah persalinan prematur, ahli anestesi juga harus
mempertimbangkan masalah spesifik yang diakibatkan oleh interaksi antara
perubahan anatomis dan fisiologis kehamilan serta anatomi dan fisiologis
pneumoperitoneum, hiperkarbia, dan perubahan posisi. Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam pengelolaan pasien hamil meliputi kesadaran akan
adanya peningkatan volume darah, peningkatan curah jantung, penurunan
tahanan vaskular sistemik (SVR), hiperkoagulabilitas, sindroma hipotensi
supine, peningkatan volume menit pernapasan, penurunan volume residual,
penurunan kapasitas residu fungsional (FRC), peningkatan konsumsi oksigen,
mildhypocapnia, peningkatan risiko aspirasi, dan penurunan kebutuhan
anestesi. Kombinasi faktor ini cenderung mendorong hipercarbia dan
hipoksemia. Namun, hiperventilasi ekstrem dapat menyebabkan penurunan
perfusi uteroplasenta. Pemantauan gas darah arteri telah disarankan untuk
mendeteksi asidosis janin karena capnografi tidak dapat mengungkapkan arteri
besar pada perbedaan pasang surut akhir di CO2. Dalam semua kasus,
pemantauan janin dan uterus pra operasi dan pasca operasi sangat penting.2

7
ANESTESI PADA LAPAROSKOPI KOLESISTEKTOMI
Persiapan dan Perioperatif
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan anestesi,
antara lain : usia, jenis kelamin, status fisik, jenis operasi, keterampilan operator
dan peralatan yang akan dipakai, ketrampilan/kemampuan pelaksana anestesi
dan sarananya, status rumah sakit, dan permintaan pasien. 2
Kemudian untuk tes dasar pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
harus mencakup hitung darah lengkap (CBC), urinalisis, fungsi pembekuan,
elektrokardiogram (EKG) dan golongan darah dan skrining. Selain itu, elektrolit
dasar, kimiawi dan tes fungsi ginjal (nitrogen urea darah [BUN], kreatinin) harus
dilakukan karena kemungkinan akan terjadi oliguria selama laparoskopi yang
cukup lama. Tes fungsi paru dasar, pengukuran gas darah arterial, dan nilai
saturasi oksigen sambil bernapas dalam ruang udara akan sangat membantu
pada pasien ini. Nilai abnormal yang tampak mungkin menunjukkan perlunya
bronkodilator, antibiotik, drainase postural, dan keterlambatan dalam operasi
sampai fungsi paru optimal untuk pasien tertentu ini. Foto dada (chest x-ray)
dasar dilakukan tidak hanya untuk menyingkirkan penyakit aktif tetapi juga
untuk perbandingan perubahan akut pascaoperasi seperti emfisema subkutan
atau mediastinum, pneumotoraks atau edema interstisial atau paru. 2
Prosedur tambahan harus dilakukan sebelum operasi meliputi beberapa
hal yang cukup penting. Meskipun operasi ini digambarkan sebagai minimal
invasif, namun pasien juga harus siap untuk operasi maksimal invasif jika
memang diperlukan. Oleh karena itu, pasien harus mematuhi perintah pra
operasi mengenai;2
1. Diet, yang harus terdiri dari cairan bening sehari sebelum operasi. Dan
tidak ada makanan lewat mulut setelah tengah malam.
2. Persiapan usus yang lengkap sangat diperlukan.
3. Antibiotik sebelum operasi, oleh dokter bedah.

INTRAOPERATIF
Monitor intraoperatif yang biasa dilakukan termasuk standar
elektrokardiogram 5 lead (EKG) dengan tren ST, tekanan darah sistemik (BP)

8
menggunakan automatic oscillometri, pulse oxymetri, capnografi, stimulator
saraf dan juga diperlukan indikator fraksi oksigen terinspirasi, ventilasi menit
dan tekanan jalan napas puncak. Probe esofagus dapat digunakan untuk
pemantauan suhu (lebih optimal pada kerongkongan distal) juga bisa untuk
pemantauan suara nafas, jantung dan suara murmur (pada tingkat jantung).
Suhu tubuh harus tetap dijaga dengan menggunakan selimut penghangat paksa,
cairan intravena yang hangat, atau cara lain. Tekanan vena sentral (central
venous pressure / CVP), tekanan arteri pulmonal, tekanan baji kapiler paru
(PCWP) dan curah jantung sangat jarang dapat diukur pada pasien dengan
kelainan jantung atau paru yang cukup parah. Monitor bispectral index (BIS)
juga dapat digunakan. Kemungkinan alat lain termasuk Doppler,
echocardiography transesophageal dan penilaian output jantung yang tidak
invasif menggunakan bioimpedansi toraks atau ultrasound toraks. Jalur arteri
lebih disarankan untuk prosedur laparoskopi yang lebih lama dan lebih rumit
pada pasien dengan kondisi sakit yang lebih berat (American Society of
Anesthesiologists [ASA] kelas III dan IV).2
Stoking antiembolic kompresibel harus seketika dipasang. Penopang
bahu digunakan untuk menopang posisi Trendelenburg. Setelah pasien tertidur,
tabung nasogastrik atau orogastrik dan kateter Foley dimasukkan untuk
dekompresi lambung dan kandung kemih. Namun, penggunaan tabung
orogastrik bukanlah pilihan. Tabung orogastrik tidak boleh dijepit setelah
penempatan awal, dan pengisapan intermiten harus dilanjutkan karena gas CO2
terus berdifusi ke dalam perut dan membuatnya distendasikan.2
Selain pemantauan mekanis, pemantauan visual dan taktil juga
diperlukan selama laparoskopi. Warna kulit, turgor kulit dan CRT harus dipantau
secara berkala, karena bisa berubah secara tiba-tiba. Kepala, leher, dan dada
bagian atas mungkin akan menunjukkan warna keunguan pada posisi yang lebih
rendah, terutama saat hiperkarbia. Dinding dada bagian atas harus diperiksa
secara berkala untuk mengetahui adakah emfisema subkutan. Kornea dan
konjungtiva juga harus diperiksa secara berkala untuk melihat edema, terutama
pada posisi Trendelenburg dan juga kapanpun terjadi oliguria oleh karena
adanya edema dapat mempengaruhi keputusan anda kapan harus melakukan
ekstubasi.2

9
Sangat penting untuk menjaga data tentang volume cairan yang
diinfuskan dan output urin per jam atau setengah jam pasien dengan akurat
bersamaan dengan pengamatan pada warna dan konsentrasinya. Meskipun ada
hidrasi yang adekuat, namun oliguria tetap sering terjadi pada
pneumoperitoneum, terutama pada tekanan intraabdominal yang mendekati
atau melebihi 15 mmHg. Pemasangan jalur intravena bore besar harus dilakukan
karena kemungkinan adanya perdarahan mayor. Jumlah cairan infus sangat
penting, terutama pada orang dengan usia yang lebih tua. Oliguria transien
selama laparoskopi cukup sering terjadi. Pada kasus awal, kita dapat
meningkatkan jumlah infus sebagai respons terhadap penurunan output urin
dan kita dapat melakukan rehidrasi pada kasus laparoskopi intraperitoneal
seolah-olah mereka adalah kasus intraperitoneal terbuka.2
Sejak diketahuinya bahwa anestesi umum inhalasi dengan pemasangan
pipa endotrakheal membuat jalan nafas dapat dikontrol dengan baik sepanjang
waktu operasi, maka operasi sekitar kepala, leher, dada, dan abdomen dilakukan
lebih sering dengan metode ini.7 Dan pilhan anestesi untuk tindakan laparoskopi
kolesistektomi ini adalah anestesi umum dengan endotracheal tube karena
diyakini dengan berbagai alasan seperti dibawah ini;2
1. Durasi tindakan mungkin panjang.
2. Pasien mungkin merasa cemas.
3. Posisi Trendelenburg dapat menyebabkan kompromi pernafasan dan
dyspnea saat terbangun atau pada pasien yang bernafas spontan di
bawah tekanan isi perut. Pasien yang obesitas mungkin sangat tidak
nyaman dalam posisi ini.
4. Tabung nasogastrik atau orogastrik sulit disisipkan pada pasien sadar,
namun diperlukan untuk dekompresi perut dan meminimalkan risiko
aspirasi atau perforasi oleh trocars. Karbon dioksida bersama dengan
N2O, dapat berdifusi ke dalam perut.
5. Namun, mungkin alasan terpenting berkaitan dengan relaksasi otot.
Relaksasi dan kelumpuhan otot diperlukan karena peningkatan tekanan
intraabdomen dan sekat diafragma membuat pernapasan spontan
menjadi sulit. Ini menyediakan bidang bedah yang lebih tenang dan
penelusuran bedah yang lebih baik. "Bucking" meningkatkan tekanan

10
negatif di dada, yang meningkatkan risiko pneumotoraks atau
pembedahan gas. Selain itu, relaksasi otot juga diperlukan untuk
mengendalikan dan meningkatkan ventilasi agar dapat mengkompensasi
hipercarbia dan asidosis pernapasan yang diakibatkan oleh penyerapan
CO2.2
Untuk pencegahan terjadinya aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu
dilakukan pemasangan pipa endotrakeal. Dan pada saat terjadinya peningkatan
tekanan intraabdomen karena pneumoperitoneum, pipa endotracheal dapat
digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi positif untuk mencegah
terjadinya hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan CO2 yang
diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat menyebabkan posisi pipa endotrakeal
berubah pada pasien dengan trakea yang pendek, yang mana ketika carina
bergerak ke atas, pipa endotrakeal bisa masuk ke salah satu bronkus sehingga
pemasangan pipa endotrakeal sebaiknya dilakukan pada pertengahan trakea dan
disarankan untuk mengecek lebih sering posisi pipa endotrakeal pada pasien.7
Biasanya, pasien menjalani prosedur laparoskopi menggunakan anestesi
umum dengan menggunakan monitor standar. Pengukuran tekanan darah
noninvasive dan kapnografi penting untuk mengikuti efek hemodinamik dan
pneumoperitoneum pada respirasi dan perubahan posisi. Anestesi regional tidak
digunakan rutin pada prosedur laparoskopi, karena iritasi yang
mengenai diafragma dari insuflasi CO2 bisa menyebabkan sakit pada bahu,
ditambah lagi waktu untuk proses penyembuhan kembalinya fungsi secara
lengkap kemungkinan lebih lama. Dalam situasi tertentu, sebaiknya dilakukan
tindakan monitor pengukuran tekanan arteri. Indikasi tindakan monitor tekanan
arteri secara invasif antara lain: penyakit paru berat, end tidal CO2, arteri yang
sangat tinggi dan fungsi ventrikel yang menurun. Sama halnya dengan monitor
pengukuran tekanan vena sentral, pemasangan kateter arteri paru atau
transesofageal echocardiografi bisa berguna untuk pasien dengan gangguan
fungsi jantung atau hipertensi paru.7
Obat anestesi yang biasanya digunakan berupa volatile agent, opioid
intravena dan obat pelumpuh otot. Hampir semua kombinasi obat yang
menyebabkan amnesia, analgesia dan kelumpuhan otot sangat sesuai. Karena
mungkin penutupan prosedur laparoskopi dilakukan secara tiba-tiba, karena

11
pasien mungkin akan segera dipulangkan setelah operasi dan karena tidak ada
sayatan besar yang menyakitkan (tidak menentu), jadi kombinasi yang paling
umum bisa saja termasuk agen inhalasi, narkotika durasi menengah dan
relaksan otot intermediate. Halothane adalah satu-satunya anestesi yang
mungkin harus dihindari karena dapat menyebabkan aritmia yang terjadi saat
hiperkarbia. Hipnotik dan obat penenang harus digunakan dengan hati-hati pada
orang dewasa yang lebih tua karena durasinya sering berkepanjangan.2
Sebuah studi mengatakan bahwa N2O sebaiknya dihindari selama
prosedur laparoskopi, karena ini dapat meningkatkan pelebaran usus dan resiko
mual pasca operasi. Penggunaan klinis N2O ini masih menjadi perdebatan. Dalam
memeriksa masalah distensi usus dengan N2O, perhatikan hal berikut. Kapasitas
difusi N2O kira-kira 15 kali dari O2 dan 30 kali nitrogen. Oleh karena itu, dalam
ruang tertutup yang berisi udara, N2O masuk lebih cepat dari N2 yang bisa
keluar, sehingga hal ini akan memperbesar ukuran ruang tertutup. Volume
kantong udara tertutup telah dihitung dapat berlipat ganda dengan menghirup
50% N2O dan empat kali lipat dengan menghirup 75% N2O dalam beberapa jam.
Namun, selama laparoskopi hal yang diperhatikan adalah kantong CO2. Karena
N2O memiliki kapasitas difusi hampir sama besar dengan CO2, maka N2O akan
menyebar dari aliran darah ke kantong intraperitoneal CO2 100% pada tingkat
yang ditentukan oleh kelarutannya dalam air, kapasitasnya berdifusi melalui
membran berair dan gradien tekanannya. Dalam situasinya pada kantong udara
di usus, diketahui bahwa N2O akan berdifusi sesuai dengan gradiennya, sehingga
akan menyebabkan pembesaran kantong. Namun, sedikit yang menyadari bahwa
meski dengan tidak adanya N2O, CO2 juga akan menyebar ke dalam kantong ini
dan menyebabkan pengembangan kantong dengan cara yang secara klinis tidak
dapat dibedakan dari N2O. Kedua hal tersebut (N2O dan CO2) dapat membaur
dan menyebabkan pembusukan pada usus. Dan jikapun N2O harus digunakan,
maka disarankan agar penggunaannya dibatasi tidak lebih dari 50% campuran
terinspirasi selama laparoskopi.2
Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan Trendelenburg
atau Reverse Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien sebaiknya dihindari
dengan mengamankan dan membantasi seluruh ekstremitas. Tekanan

12
pernafasan bisa meningkat dengan perubahan posisi dan ventilasi, biasanya hal
ini akan butuh penyesuaian.7
Adanya perubahan hemodinamik juga harus diantisipasi dan
dimanajemen selama prosedur laparoskopi dilakukan. Jika tekanan darah
meningkat maka pemberian kadar obat anestesi inhalasi dapat ditingkatkan dan
dapat ditambahkan dengan pemberian obat seperti nitropusside (nitropusside
menyebabkan reflek tackikardi, berpotensi untuk menimbulkan keracunan
sianida), esmolol, atau calcium channel blocker. Pengobatan dengan alpha
agonist seperti clonidine atau dexmedetomidine adalah strategy lain (alpha
agonist dapat menyebabkan penurunan MAC untuk anestesi inhalasi, berpotensi
menjadi bradikardi). Pada pasien yang sehat mereka dapat mentoleransi
perubahan hemodinamik, namun pada pasien dengan fungsi jantung yang buruk
hal ini bisa dipengaruhi sehingga menjadi lebih buruk. Hal ini dapat dicegah
dengan penggunaan monitor secara invasif (arterial line, central line,
transesofageal ochocardiografi) selama prosedur berlangsung.7

PASCAOPERASI
Tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi
dengan anestesi umum adalah untuk menjaga agar pasien tetap dalam keadaan
normokapnia dan mencegah terjadinya ketidakseimbangan hemodinamik.
Hiperkapnia biasanya terjadi beberapa menit setelah insuflasi CO2.. Untuk
menormalkan kembali CO2 ini, biasanya ventilasi ditingkatkan dengan
meningkatkan RR (respiratory rate) dengan volume tidal yang tetap. Jika
hiperkapnia memburuk, misalnya pada kasus sulit prosedur bedah diubah
menjadi prosedur bedah terbuka seperti yang telah disampaikan diatas.7
Pada ruang pemulihan pasca anestesi, insiden mual muntah pasca operasi
laparoskopi dilaporkan cukup tinggi yaitu mencapai 42%.2 Dan hiperkapnia bisa
tetap terjadi selama 45 menit setelah prosedur selesai. Mual muntah pasca
operasi setelah prosedur laparoskopi dapat dipengaruhi oleh tipe dari prosedur
yang dilakukan, sisa dari pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Pada
beberapa obat, baik itu tunggal maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan
mengobati komplikasi ini dapat berupa metoclopramide, ondansentron, dan
dexamethasone. Untuk menurunkan insiden mual dan muntah pasca operasi

13
dapat dilakukan dengan meminimalkan dosis opioid dan mempertimbangkan
pemberian propofol untuk anestesi. Karena banyak prosedur laparoskopi yang
direncanakan pada pasien rawat jalan, maka diperlukan juga evaluasi untuk
pasien yang akan pulang.7
Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih
sedikit dibandingkan dengan sesudah tindakan bedah terbuka. Penggunaan
analgesik harus menghilangkan nyeri yang bisa terjadi karena insisi, visceral,
atau akibat gas residu dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri diawali
sebelum atau selama prosedur pembedahan. Pemberian opioid intravena
(misalnya fentanyl, morfine) dalam kombinasi dengan NSAID intravena dapat
membantu agar pasien merasa lebih nyaman pada akhir dari prosedur.7

DAFTAR PUSTAKA

14
1. Litwin DE, Cahan MA. Laparoscopic cholecystectomy. Surg Clin North Am.
2008 Dec. 88(6):1295-313, ix. [Medline].
2. Yao, F.S.F, Artusio, Anesthesiology, Problem Oriented Patient
Management. Lippincott Williams and Wilkins, USA. 2001
3. Potts JR 3rd. What are the indications for cholecystectomy?. Cleve Clin J
Med. 1990 Jan-Feb. 57(1):40-7. [Medline].
4. Roa I, Araya JC, Wistuba I, Villaseca M, de Aretxabala X, Gmez A, et al.
[Laparoscopic cholecystectomy makes difficult the analysis of gallbladder
mucosa. Morphometric study]. Rev Med Chil. 1994 Sep. 122(9):1015-
20. [Medline].
5. Kiviluoto T, Sirn J, Luukkonen P, Kivilaakso E. Randomised trial of
laparoscopic versus open cholecystectomy for acute and gangrenous
cholecystitis. Lancet. 1998 Jan 31. 351(9099):321-5. [Medline].
6. Kwon YJ, Ahn BK, Park HK, Lee KS, Lee KG. What is the optimal time for
laparoscopic cholecystectomy in gallbladder empyema?. Surg Endosc.
2013 May 4. [Medline].
7. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition.
McGraw Hill. New York. 2006.

15

Anda mungkin juga menyukai