Anda di halaman 1dari 23

REFFERAT

I
MANAJEMEN ANESTESI REGIONAL (EPIDURAL) PADA OBESITAS

Oleh:
NUR HAMAM PRAKOSA
Peserta PPDS 1 Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK-UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

PEMBIMBING MODERATOR

(dr. Sri Raharjo Sp.An, KNA, KAO) (dr. Ratih Kumala, Sp.An,M.Sc)

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
RSUP DR SARDJITO
YOGYAKARTA
2018

1
INTISARI

Masalah obesitas tidak hanya banyak ditemukan di negara maju, namun juga di
negara berkembang seperti Indonesia. Obesitas berkaitan erat dengan berbagai macam
penyakit seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperlipidemia, dan obstructive sleep
apnea (OSA). Kondisi seperti ini tentu sangat berperan besar dalam menentukan
manajemen anestesi. Sangat sulit untuk mengukur lemak tubuh secara langsung,
sehingga sebagai penggantinya dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa
tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan berlebih dan obesitas pada orang dewasa.
Menurut rekomendasi WHO lingkar pinggang (LP) juga harus dihitung untuk menilai
adanya obesitas sentral dan komorbid obesitas terutama pada IMT 25- 34,9 kg/m2 .
Teknik anestesi regional jika dibandingkan dengan anestesi umum lebih sedikit
menyebabkan atau memperburuk depresi kardio-pulmonal yang sudah ada
sebelumnya. Namun terlepas dari keuntungan dari Anestesi Regional, terdapat
beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh Anestesiologi agar anestesi regional
tersebut sukses.
Kata kunci: Obesitas, Regional, Anestesi
ABSTRACT
The problem of obesity is not only found in developed countries, but also in
developing countries like Indonesia. Obesity is closely related to various diseases such
as hypertension, diabetes mellitus, hyperlipidemia, and obstructive sleep apnea
(OSA). This condition certainly plays a major role in determining the management of
anesthesia. It is very difficult to measure body fat directly, so as a replacement used
body mass index (BMI) to determine excess body weight and obesity in adults.
According to WHO recommendations waist circumference should also be calculated
to assess the presence of obesity especially in BMI 25-34.9 kg/m2. Regional anesthesia
techniques when compared with general anesthesia cause less or exacerbate pre-
existing cardio-pulmonary depression. But despite the advantages of Regional
Anesthesia, there are several challenges that Anesthesiology must confront in order
for the regional anesthesia to succeed
Keyword: Obesity, Regional Anesthesia

2
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan pola hidup, maka tidak
dapat dipungkiri lagi jika obesitas merupakan masalah yang sering ditemui dalam
praktik kesehatan. Masalah obesitas tidak hanya banyak ditemukan di negara maju,
namun juga di negara berkembang seperti Indonesia. Pada tahun 2014, World Health
Organization (WHO) mencatat bahwa terdapat lebih dari 1.9 milyar penduduk dunia
yang memiliki BMI ≥ 25kg/m2 (overweight), diantaranya terdapat lebih dari 600 juta
penduduk memiliki BMI ≥ 30kg/m2 atau mengalami obesitas1
Di Indonesia, prevalensi berat badan berlebih (overweight) pada tahun 2013
adalah sebesar 13.5% sedangkan obesitas sebesar 15.4%. Prevalensi penduduk laki-
laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun
2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18
tahun) 32%, naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan 17% dari tahun 2010 (15%).
Selain itu, Departemen Kesehatan Indonesia juga melakukan pendataan status gizi
berdasarkan nilai lingkar perut dengan kriteria WHO Asia Pasifik, dimana nilai LP >
90cm pada laki-laki dan LP > 80cm pada perempuan dinyatakan sebagai obesitas
sentral. Secara nasional, prevalensi obesitas sentral adalah 26.6%, lebih tinggi dari
prevalensi pada tahun 2007 (18,8%).2
Obesitas berkaitan erat dengan berbagai macam penyakit seperti hipertensi,
diabetes mellitus, hiperlipidemia, dan obstructive sleep apnea (OSA).3 Kondisi-
kondisi seperti ini tentu sangat berperan besar dalam menentukan manajemen anestesi.
Seorang dokter anestesi harus mampu membuat keputusan medis bagi pasien obesitas
yang hendak menjalani operasi mulai dari penilaian pra-operasi, manajemen anestesi,
hingga pada saat pasien berada di ruang pemulihan. Penggunaan anestesi regional
terutama epidural menjadi semakin populer pada pasien obesitas. Keuntungan dari
anestesi epidural termasuk intervensi minimal pada saluran napas, kurangnya depresi
kardiopulmoner, kurangnya mual dan muntah paska operasi, manajemen analgetik
post operatif yang lebih baik, dan masa rawatan di ruang pemulihan dan rumah sakit
yang singkat.. Oleh karena itu pemahaman tentang teknik anestesi regional pada
obesitas sangat diperlukan untuk tercapainya hasil yang optimal

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Obesitas


Sangat sulit untuk mengukur lemak tubuh secara langsung, sehingga sebagai
penggantinya dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk
menentukan berat badan berlebih dan obesitas pada orang dewasa. Pengukuran ini
merupakan langkah awal dalam menetukan derajat adipositas, dan dikatakan
berkorelasi kuat dengan jumlah massa lemak tubuh. Untuk penelitian epidemiologi
digunakan IMT atau indeks Quetelet yaitu berat badan dalam kg dibagi tinggi badan
dalam meter kuadrat (m2). Karena IMT menggunakan tinggi badan, maka
pengukurannya harus dilakukan dengan teliti. Disamping IMT, menurut rekomendasi
WHO lingkar pinggang (LP) juga harus dihitung untuk menilai adanya obesitas sentral
dan komorbid obesitas terutama pada IMT 25- 34,9 kg/m2.3
Klasifikasi IMT yang direkomendasikan untuk digunakan adalah klasifikasi
yang diadopsi dari the National Institute of Health (NIH) dan World Health
Organization (WHO), yang tertera pada tabel 2.1 di bawah ini.

Kategori IMT (kg/m2)


Berat badan kurang < 18.5
Kisaran normal 18.5 – 24.9
Berat badan berlebih > 25
Pra-obes 25.0 – 29.9
Obes tingkat I 30.0 – 34.9
Obes tingkat II 35.0 – 39.9
Obes tingkat III (morbid) > 40.0
Tabel 2.1 Klasifikasi berat badan berlebih dan obesitas berdasarkan IMT1

Karena definisi berat badan berlebih dan obesitas sangat tergantung pada ras,
maka wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah menggunakan klasifikasi dan kriteria
obesitas sendiri seperti yang terdapat didalam tabel 2.2. Hingga saat ini masih terdapat
perdebatan menentukan ”cut-off ” yang digunakan sebagai patokan batas obesitas pada

4
populasi Asia. Beberapa negara seperti Jepang dan Cina sudah menggunakan batasan
yang lebih rendah sebagai kriteria obesitas.
Risiko Komorbiditas
Lingkar Pinggang
Klasifikasi IMT (kg/m2)
< 90 cm (pria) ≥ 90 cm (pria)
< 80 cm (wanita) ≥ 80 cm (wanita)
Berat badan kurang < 18.5 Rendah Sedang
Kisaran normal 18.5 – 22.9 Sedang Meningkat
Berat badan berlebih ≥ 23.0
Berisiko 23.0 – 24.9 Meningkat Sedang
Obes I 25.0 – 29.9 Sedang Berat
Obes II ≥ 30.0 Berat Sangat berat
Tabel 2.2 Kategori berat badan berdasarkan klasifikasi Asia-Pasifik4

Obesitas juga terbagi menjadi obesitas android dan obesitas ginekoid.


1. Tipe android (obesitas sentral)
Pada obesitas android, umumnya laki-laki, distribusi lemak terpusat pada badan
(sentral) disebut juga obesitas abdominal. Pada tipe ini jaringan lemak dominan di
tubuh bagian atas (distribusi trunkal) dan berhubungan dengan peningkatan komsumsi
oksigen dan peningkatan insiden penyakit kardiovaskuler.5

2. Tipe ginekoid (obesitas perifer)


Pada tipe ini jaringan lemak dominan terdapat di paha, gluteal dan pinggul (lemak
secara metabolik kurang aktif sehingga kurang berhubungan erat dengan penyakit
kardiovaskuler). Deposit lemak abdominal lebih aktif dalam metabolisme daripada
lemak perifer (pada panggul, bokong, paha) yang terdapat pada obesitas ginekoid,
umumnya perempuan. Karena sifat yang lebih aktif metabolismenya, obesitas android
berhubungan dengan insidens yang lebih tinggi penyakit komplikasi metabolik seperti
disiplidemia, intoleransi glukosa, diabetes mellitus, penyakit jantung iskemik,
penyakit jantung kongestif, stroke dan peningkatan konsumsi O2 dibandingkan dengan
obsesitas ginekoid.5

5
Untuk memastikan bahwa kita termasuk mempunyai perut buncit atau tidak,cara
termudahnya adalah dengan menggunakan pengukuran Rasio lingkar pinggang dan
panggul (RLPP).
RLPP merupakan metode untuk membedakan lemak tubuh bagian perut bawah
dan pada bagian perut atas atau pinggang. Lemak yang lebih banyak terdapat di bagian
bawah disebut obesitas gynoid yang banyak terjadi pada wanita, sebaliknya bila lemak
lebih banyak terdapat di bagian perut abdomen maka disebut obesitas android dan
lebih banyak terjadi pada laki-laki. Lemak tubuh yang diukur dengan rasio lingkar
pinggang - panggul adalah lemak subcutan dan visceral. Simpanan lemak subcutan
banyak terdapat di bagian pinggul.6

Pengukuran RLPP dilakukan dengan mengukur bagian pinggang pada lingkar


terkecil, biasanya tepat diatas pusar dan mengukur bagian panggul pada lingkar
terbesar mengitari pantat.1

Tabel 2.3 Rasio Lingkar Pinggang dan Panggul.1

2.2 Perubahan Fisiologi yang Terjadi Pada Pasien Obesitas


Efek Distribusi Lemak
Obesitas dikaitkan dengan hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung iskemik,
diabetes mellitus (DM), osteoarthritis, penyakit liver dan asma. Body Mass Index

6
adalah prediktor untuk komorbiditas, prosedur pembedahan, dan kesulitan anestesi.
Distribusi lemak pada pinggang atau lingkar leher lebih prediktif untuk menentukan
komorbiditas kardiorespirasi dari pada BMI. Pada obesitas tipe android pembedahan
intra abdomen lebih sulit dilakukan dan hal ini juga berkaitan dengan peningkatan
penumpukan lemak di sekitar leher dan saluran napas yang menyulitkan manajemen
jalan nafas dan ventilasi paru. Selain itu, obesitas android dikaitkan dengan risiko
timbulnya komplikasi metabolik dan kardiovaskular yang lebih besar.7

Sistem Kardiovaskular
Obesitas berhubungan dengan bertambahnya volume darah dan cardiac output
sebesar 20 - 30 ml untuk setiap kilogram lemak yang berlebih. Peningkatan cardiac
output ini disebabkan oleh dilatasi ventrikel dan bertambahnya volume sekuncup.
Dilatasi ventrikel mengakibatkan bertambahnya stress pada dinding ventrikel kiri yang
menyebabkan hipertrofi ventrikel. Hipertrofi dari ventrikel kiri ini akan menurunkan
compliance dan fungsi diastolik ventrikel kiri. Pada keadaan ini akan terjadi gangguan
pengisian ventrikel, elevasi dari LVEDP (left ventricular end diastolic pressure) dan
edem paru. Kapasitas dilatasi untuk ventrikel juga memiliki batasan, sehingga jika
penebalan dinding ventrikel kiri tidak dapat mengiringi dilatasi maka fungsi sistolik
akan terganggu dan terjadilah kardiomiopati obesitas.8
Pasien obesitas cenderung memiliki berbagai macam penyakit sistem
kardiovaskular seperti iskemia, hipertensi, hingga gagal jantung. Hipertensi ringan
sampai sedang terjadi pada 50-60% pasien obesitas dan hipertensi berat pada 5-10%
pasien. Diduga hipertensi pada pasien obesitas terjadi karena pengaruh faktor genetik,
hormonal, renal, dan hemodinamik. Terdapat peningkatan tekanan sistolik sebesar 3-
4 mmHg dan diastolik 2 mmHg untuk setiap kenaikan berat badan 10 kg. Adanya
cairan pada ekstraseluler akan berakibat terjadinya hipervolemia dan peningkatan
cardiac output. Hiperinsulinemia sebagai karakteristik pada obesitas juga memberikan
kontribusi dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik yang menyebabkan retensi
sodium. Selain itu, resistensi insulin juga bertanggung jawab terhadap aktivitas
norepinefrin dan angiotensin II.9
Selain hipertensi, obesitas (terutama obesitas sentral) juga merupakan faktor
risiko terjadinya iskemia jantung. Faktor lain seperti diabetes mellitus,
hiperkolesterolemia dan rendahnya HDL (High Density Lipoprotein) menambah
beratnya risiko penyakit ini.9

7
Pasien obestias juga cenderung mengalami aritmia jantung. Terdapat beberapa
faktor presipitasi yang menyebabkan hal ini diantaranya hipoksia, hiperkapnia,
ketidakseimbangan elektrolit akibat terapi dengan diuretik, penyakit jantung koroner,
bertambahnya konsentrasi katekolamin dalam sirkulasi, obstructive sleep apnea,
hipertrofi miokard, dan penumpukan lemak dalam sistem konduksi.7

Sistem Respirasi
Kenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan bernapas. Pada
kasus berat, penurunan kemampuan bernapas dapat mencapai tiga puluh persen.
Kombinasi dari tekanan intraabdomen, reduksi dari compliance, dan meningkatnya
kebutuhan metabolik dengan gerakan otot dada, menghasilkan gerak inefisien dari otot
dada tersebut, sehingga pada orang tersebut terjadi usaha bernapas lebih berat.
Walaupun terdapat akumulasi jaringan lemak di dalam dan sekitar dinding dada yang
berakibat tertahannya gerak dinding dada (restriksi), namun beberapa penelitian
mengemukakan bahwa hal ini disebabkan oleh peningkatan volume darah paru.
Tertahannya gerak dinding dada juga berhubungan dengan penurunan FRC,
terhimpitnya saluran napas, dan kegagalan pertukaran gas. Perubahan compliance dan
resistensi thorax terlihat dengan adanya napas cepat dan dangkal, frekuensi yang
meningkat dan berkurangnya kapasitas paru. Selain hal-hal di atas, ambilan oksigen
dan pelepasan karbondioksida pada penderita obesitas juga meningkat sebagai hasil
dari aktivitas metabolik karena jumlah lemak yang berlebih dan bertambahnya
simpanan pada jaringan. Aktivitas metabolik basal (Basal Metabolic Activity atau
BMA) berhubungan dengan luasnya permukaan tubuh.5
Penurunan kapasitas residu fungsional (Functional Residual Capacity atau
FRC), volume ekspirasi cadangan (Expiratory Reserve Volume atau ERV) dan
kapasitas total dari paru-paru merupakan masalah yang dihadapi penderita obesitas
seiring dengan peningkatan berat badan. Kapasitas residu fungsional menurun akibat
penyempitan saluran napas, ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi, shunt dari kanan
ke kiri, dan hipoksemia arteri. Pemberian anestesi dikatakan menurunkan FRC sebesar
50% pada penderita obesitas, sedangkan pada orang normal terjadi penurunan FRC
sebesar 20%. Karena kurangnya FRC, pada penderita obesitas terjadi kegagalan
toleransi ketika terjadi apnea, disamping itu juga terjadi desaturasi oksigen segera
setelah induksi anestesi.5

8
Banyak manifestasi sindrom obstruksi jalan napas selama tidur pada pasien
obesitas. Hal ini dapat diklasifikasikan atas tiga kategori,
- Obstructive sleep apnea (OSA)
Terhentinya aliran udara lebih dali sepuluh detik yang terjadi lebih dari empat
kali dalam 1 jam tidur, adanya usaha respirasi melawan penutupan glotis, dan
disertai penurunan saturasi oksigen lebih dari 4%.
- Obstructive sleep hypopnea
Penurunan 50% aliran udara selama >10 detik yang terjadi >14 kali selama satu
jam tidur, berhubungan dengan snoring dan disertai desaturasi 4%.
- Upper airway resistance
Timbulnya respon meningkatkan resistensi jalan nafas tanpa peningkatan Apnea
hypopnea index (AHI). Apnea hypopnea index adalah jumlah periode apnea dan
hypopnea perjam yang digunakan untuk menilai derajat beratnya OSA. Berat
jika lebih dari 30, ringan jika antara 5-15 dan sedang jika antara 16-30 [10]

2.3 Manajemen Anestesi Pada Pasien Obesitas


Pra-operasi
Obat-obatan premedikasi yang diberikan pada pasien obesitas harus
dipertimbangkan dengan baik. Opioid dan obat sedatif dapat menyebabkan depresi
napas pada pasien obesitas, maka obat-obatan jenis ini sebaiknya dihindari. Obat-
obatan yang dimasukan dengan cara injeksi intra-muskular dan sub-kutan juga
sebaiknya tidak digunakan karena absorbsinya yang tidak dapat diprediksi. Jika akan
dilakukan intubasi sadar dengan serat optik, maka pasien harus diberikan
antisialogogue.8
Karena pasien obesitas memiliki risiko aspirasi asam lambung yang tinggi, maka
seluruh pasien obesitas sebaiknya diberikan profilaksis berupa kombinasi H2 blocker
(ranitidin 150mg per oral) dan prokinetik (metoklopramid 10mg per oral) 12 jam dan
2 jam sebelum pembedahan. Jika pasien menderita diabetes, maka perlu diberikan
regimen insulin-dekstrosa. Pasien obesitas juga lebih memilki risiko untuk mengalami
infeksi pada luka paska-operasi, maka pemberian antibiotik sebagai profilaksis dapat
dipertimbangkan.
Sebagian besar pasien obesitas tidak dapat bergerak setelah operasi dan akan
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami thrombosis vena dalam, oleh

9
karena itu, heparin dosis rendah dapat diberikan sebagai profilaksis dan diteruskan
setelah operasi sampai pasien dapat bergerak.
Evaluasi pasien obesitas yang akan menjalani operasi mayor harus dilakukan
untuk mengukur cadangan kardiopulmoner. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara
lain adalah roentgen dada, EKG, dan analisis gas darah arteri. Tekanan darah harus
diukur dengan ukuran manset yang sesuai. Lokasi potensial untuk akses intravena dan
intraarteri harus dicari dan ditentukan sebagai antisipasi saat keadaan gawat. Tebalnya
lapisan lemak di jaringan dan sulitnya memposisikan pasien mungkin akan membuat
regional anestesi dengan peralatan dan teknik biasa sulit dilakukan. Untuk menilai
sistem respirasi, kemampuan pasien untuk bernapas dalam dan patensi dari jalan napas
harus diperiksa. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
darah lengkap, foto thoraks, gas darah, fungsi paru dan oksimetri. Pasien yang
dicurigai menderita OSA disarankan melakukan tes polysomnografi. Pasien juga harus
diingatkan risiko spesifik dari anestesi, kemungkinan dilakukannya intubasi dalam
kesadaran penuh, pemberian ventilasi pascaoperasi, dan bahkan trakeostomi
mengingat pasien obesitas mungkin sulit untuk diintubasi karena pergerakan sendi
temporomandibular dan antlantooksipital yang terbatas, jalan napas yang sempit, dan
jarak mandibular dan bantalan lemak sternum yang pendek. Perlu diingat pula, setiap
penderita obesitas yang akan menjalani operasi harus diperiksa gula darahnya, baik
gula darah sewaktu atau dapat juga dilakukan tes toleransi glukosa. Respon katabolik
selama operasi mungkin mengindikasikan pemberian insulin pascaoperasi untuk
mengontrol konsentrasi glukosa dalam darah. Kegagalan dalam menjaga konsentrasi
ini akan berakibat tingginya risiko infeksi pada luka operasi dan infark miokard pada
periode iskemia miokard.9
Tabel 2.4 : Anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan
penyakit yang berhubungan dengan kegemukan

Hipertensi, penyakit jantung


iskemik, penyakit serebrovaskuler
Kardiovaskuler
dan pembuluh darah tepi, Deep
Vein Trombosis (DVT)

Obstruktif sleep apneu, sindroma


Respirasi
Hipoventilasi

Endokrin DM, cushing sindrom

10
Gastrointesinal Hiatus hernia, gallstones

Investigasi pre operatif11 :


1. Berat badan dan tinggi badan diukur (bukan diestimasi) dan dicatat untuk
menghitung BMI.
2. Darah lengkap.
3. Urea dan elektrolit.
4. Tes fungsi hati, fungsi hati mungkin menurun karena infiltrasi lemak.
5. Gula darah untuk mendeteksi DM tipe II.
6. Radiografi toraks

2.4 Epidural pada Pasien Obes


a. Keuntungan Anestesi Regional pada Pasien Obes
Teknik anestesi regional jika dibandingkan dengan anestesi umum lebih sedikit
menyebabkan atau memperburuk depresi kardio-pulmonal yang sudah ada
sebelumnya. Ketika anestesi regional digunakan baik sebagai anestesi tunggal atau
sebagai tambahan untuk anestesi umum, maka akan menurunkan kebutuhan
penggunaan opiat pasca operasi. Penggunaan narkotika dosis tinggi dikaitkan dengan
meningkatnya resiko depresi pernapasan pasca-operasi dan hipoksemia pada
obesitas.Dengan kata lain, pengurangan penggunaan opiat dapat mengurangi
kemungkinan komplikasi pernapasan.12
Dengan menghindari manipulasi saluran napas, dapat menurunkan risiko potensial
terjadinya pneumonitis aspirasi. Teknik-teknik regional telah terbukti mengurangi
mual dan muntah pasca-operasi (PONV), dan juga dapat menurunkan lama tinggal
baik di unit perawatan pasca-anestesi (PACU) maupun ruang perawatan biasa di
rumah sakit.12

b. Kesulitan Yang Dihadapi Dengan Teknik Anestesi Regional


Meskipun teknik anestesi regional memberikan manfaat yang signifikan kepada pasien
obesitas dibandingkan dengan anestesi umum, namun tidak terlepas dari bermacam-
macam tantangan seperti12:
1. Pemilihan posisi pasien yang tepat sebelum dan setelah selesainya blok
2. Kesulitan identifikasi yang tepat dari tanda anatomi (landmark)
3. Peralatan yang tidak memadai seperti jarum Epidural atau Spinal dengan panjang
yang tidak memadai

11
4. Tingkat komplikasi salah letak yang lebih tinggi saat penusukan jarum
5. Insiden gagal blok yang lebih tinggi, termasuk kejadian onset lama atau bahkan
memerlukan konversi menjadi anestesi umum dalam kondisi kurang optimal
6. Multiple puncture mungkin diperlukan sebelum blok yang sukses tercapai

c. Pertimbangan Khusus Untuk Teknik Anestesi Epidural


Jarak dari kulit ke ruang epidural tiap pasien berbeda, secara signifikan meningkat
pada pasien dengan IMT yang tinggi, Ini juga bervariasi dengan perubahan posisi
pasien. Jarak dari kulit ke ruang epidural paling pendek dalam posisi duduk fleksi, ini
yang menjadikannya posisi duduk fleksi lebih disukai untuk penempatan kateter
epidural. Jarak kulit-epidural meningkat ketika pasien obesitas duduk tegak atau
berbaring dalam posisi dekubitus lateral. Ketika pasien mengubah posisi, dari duduk
ke posisi dekubitus lateral misalnya, kateter epidural yang sudah difiksasi ke kulit
dapat bermigrasi keluar dari ruang epidural. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko
dislodgement kateter, disarankan posisi pasien obesitas disesuaikan pada posisi duduk
tegak atau posisi dekubitus lateral sebelum dilakukan fiksasi ke kulit.
Pada populasi pasien hamil dengan obesitas, dosis rendah dan pengurangan volume
anestesi lokal disarankan untuk mendapatkan tingkat blokade anestesi epidural yang
sama dibandingkan dengan ibu melahirkan non-obesitas. Faktor penting dalam
perbedaan ini adalah ruang epidural yang lebih kecil pada pasien obesitas, yang
dihasilkan dari peningkatan kadar lemak sekitar ruang epidural, serta pembuluh darah
epidural membesar yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraabdominal dan
volume darah yang lebih tinggi. Keberhasilan penempatan kateter pada pasien obesitas
meningkat dengan bantuan USG atau bantuan fluoroscopic13.
Teknik anestesi epidural meliputi 4P, yang meliputi persiapan, posisi, proyeksi, dan
tusukan.
1. Persiapan pasien.
Diskusikan pilihan, risiko, dan manfaat. Jelaskan apa yang akan terjadi selama
anestesi epidural. Putuskan apakah akan menggunakan suntikan tunggal, kateter
kontinu, atau teknik bolus intermiten. Untuk prosedur bedah, teknik kateter kontinyu
sering digunakan. Jarum Crawford cocok untuk teknik satu tembakan, sedangkan
jarum Tuohy tepat untuk penyisipan kateter epidural. Tentukan teknik untuk
mengidentifikasi ruang epidural. Pilihan termasuk hilangnya resistensi dan teknik
menjatuhkan menggantung.

12
2. Pemosisian
Ada 2 posisi yang biasa digunakan untuk pemberian anestesi epidural: lateral
dekubitus, dan duduk.
 Lateral Decubitus : Memungkinkan penyedia anestesi memberikan sedasi
terlebih dahulu untuk memposisikan pasien. Caranya Pasien diposisikan
dengan punggung paralel dengan sisi meja Operasi. Paha ditekuk, dan leher
ditekuk ke depan (posisi janin).Keuntungan posis ini memungkinkan untuk
pemeliharaan jalan napas paten,namun pendekatan ini akan lebih sulit
dilakukan jika dilakukan pada pasien obese

Gambar 1. Posisi Lateral Decubitus


 Duduk : mungkin merupakan posisi yang paling sesuai untuk pasien obesitas,
dan merupakan tantangan pada pasien dengan anatomi yang abnormal pada
tulang belakang. Caranya : tempatkan kaki pasien di atas bangku. Minta pasien
duduk tegak, dengan kepala tertekuk, lengan memeluk bantal atau meja di
depan mereka. Pastikan pasien tidak terlalu condong ke depan. Instruksi yang
tepat dapat membantu pasien memahami posisi yang harus mereka lakukan.
Misalnya, “tolong lengkungkan punggung Anda agar menyerupai huruf C; atau
melengkungkan punggungmu seperti kucing gila ”. Ini akan memaksimalkan
"pembukaan" dari interspaces vertebral

Gambar 2. Landmark pada Posisi Duduk

13
3. Penentuan Landmark Manual
Pada obesitas ekstrim, petunjuk anatomis tidak mungkin untuk di identifikasi
secara manual. Untuk pemberian anestesi spinal dengan pendekatan lumbar,
pasien yang koperatif dapat ditanyakan untuk mengidentifikasi midpoint dari
tubuhnya. Jika pasien mampu menempatkan jari pada pungung atau
pinggangnya, secara kasar titik ini biasanya dekat atau jatuh pada interspasi
L2-3 atau L3-4. Metode ini dapat dilakukan dan berhasil pada pasien dengan
BMI hingga 88 kg/m2 yang akan dilakukan operasi section caesarean dengan
regional anestesi. 2

Gambar 3 : Penentuan landmark secara kasar dan sederhana

d. Strategi Epidural
USG dapat digunakan untuk mengidentifikasi ruang epidural, melokalisasi
midline, memperkirakan kedalaman dari kulit ke ruang epidural, dan memperkirakan
titik penyisipan dan sudut penyisipan jarum.
penggunaan USG untuk penempatan kateter epidural pada ibu hamil yang
obes, ditemukan korelasi positif antara perkiraan kedalaman jarum dari kulit ke ruang
epidural dan kedalaman aktual jarum, dan diturunkan dalam persamaan kedalaman
epidural/ Epidural Depth Equation(EDE)14

NB.
1 cm = 0,39 inch
1 kg = 2,2lbs

Berbagai metode yang disebutkan dalam literatur untuk mengidentifikasi EDS


(Epidural Space) dikategorikan menjadi beberapa bagian15:
1. Mengarahkan jarum ke EDS,
2. Mengidentifikasi titik masuk ke dalam EDS

14
1. Mengarahkan jarum ke ruang epidural

Saat ini, sebagian besar ahli anestesi memandu jarum epidural EDS dengan
cara konvensional, dan keberhasilan tergantung pada keahlian proseduralis. Titik
penyisipan jarum sebagian besar diidentifikasi dengan palpasi landmark permukaan,
yang bisa sulit pada pasien yang mengalami obesitas atau yang memiliki abnormalitas
anatomi vertebral. Keberhasilan bervariasi tergantung pengalaman operator dan
variabilitas yang tak terduga sehingga berpotensi menyebabkan kegagalan15.
a) Teknik guiding ultrasound : Ultrasonografi dapat digunakan untuk pencitraan
pra-prosedur untuk menggambarkan anatomi vertebra maupun untuk panduan
ultrasound real-time prosedur. Prescanning dapat membantu mengidentifikasi
garis tengah (midline) dan jarak intervertebral, identifikasi intervertebral lebih
akurat jika menggunakan ultrasonografi daripada menggunakan palpasi
landmark. Tidak seperti pemindaian preprosedural, ultrasonografi real-time tidak
terpengaruh oleh perubahan posisi pasien dan dengan demikian akan lebih akurat.
b) Terobosan Baru USG [15]:
 Metode pelacakan jarum (Needle Tracking)

Salah satu keterbatasan utama menggunakan USG real-time dua dimensi (2D)
untuk anestesi regional adalah kesulitan dalam memvisualisasikan jarum atau
ujungnya, dan bidang jaringan yang ditargetkan dalam gambar yang sama. Metode
pelacak jarum ini meningkatkan visualisasi real-time jarum. Sistem navigasi
menggunakan pelacakan elektromagnetik seperti yang digunakan dalam ablasi radio
frekuensi tumor hati, biopsi transbronkial, vertebroplasti, pemasangan stent karotid16.

 Sistem penentuan posisi untuk anestesi regional (SonixGPS)

Sistem penentuan posisi menggunakan sistem pelacakan gerakan


elektromagnetik, terdiri dari pemancar dan satu atau lebih sensor. Sensor-sensor ini
menentukan posisi jarum sehubungan dengan gambar ultrasound. Sensor posisi
terletak di pusat jarum dan transduser ultrasound, melacak posisi yang memungkinkan
pengguna untuk mendapatkan gambaran virtual dari lintasan jarum dan posisi
ujungnya. Perangkat ini dapat digunakan untuk pemindaian preprocedural seperti
metode USG real time. Ketika ujung jarum berada pada titik masuk kulit yang
diinginkan, Sistem navigasi GPS dapat digunakan untuk mengarahkan jarum

15
sedemikian rupa sehingga lintasan jarum yang diproyeksikan mencapai
kompleks posterior. Scan preprocedural ini akan memberikan informasi titik masuk,
arah masuk dan juga perkiraan kedalaman, memanfaatkan perhitungan di layar.
Meskipun menjanjikan, teknologi ini membutuhkan jarum khusus, yang saat ini belum
cocok untuk insersi epidural

Gambar 4: (A) Visualisasi gambar menggunakan SonixGPS, (B) Pengambilan


gambar real-time menggunakan SonixGPS, (C) Pemindaian preprocedure dengan
jarum GPS

 Ultrasonografi Real-time tiga dimensi / empat dimensi


Kecepatan komputasi yang tinggi dari mesin modern telah dibuat mungkin
untuk mendapatkan gambar USG tiga dimensi (3D) dan menampilkannya secara real-
time empat dimensi (4D). Selain penggunaan ultrasonografi 3D dalam
echocardiography dan untuk pencitraan janin, terobosan ini telah terbukti
memfasilitasi regional anestesi, dimana penggunaan probe USG 3D / 4D dapat
memvisualisasikan jarum secara real-time umtuk lokalisasi EDS. Ada beberapa
masalah yang terkait dengan memperoleh kualitas gambar yang baik dari USG 3D /
4D, dari tulang belakang karena anatomi kompleks dan bayangan tulang yang sangat
bervariasi dan artefak yang ditemui. Selain itu, ada masalah resolusi yang buruk,
pengurangan frekuensi gambar, dan jarak pandang jarum yang buruk. Keterbatasan
penting lainnya adalah kompleksitas dan biaya yang mahal. Dengan demikian,
manfaat dari panduan USG 3D / 4D dibanding dari cara tradisional untuk menentukan

16
landmark EDS saat ini masih belum jelas. Namun, dengan pengembangan teknologi
lebih lanjut, peningkatan kejelasan gambar, dan kecepatan komputasi yang lebih baik,
ini bisa menjadi alat yang berguna di masa depan15.

 Pencitraan ultrasound dengan preacquired tiga dimensi gambar tulang


belakang

Karena kelemahan dari penggunaan ultrasound 3D / 4D real-time teknologi


saat ini, para peneliti telah mencoba merekonstruksi anatomi vertebral 3D pasien.
Preprocedure off-line rekonstruksi dapat menghasilkan gambar 3D beresolusi tinggi
yang detail, tidak seperti ultrasonografi 3D real time. Ini kemudian berfungsi sebagai
template 3D, yang dapat digunakan selanjutnya untuk lokalisasi EDS. Dikembangkan
ultrasound panorama 3D di mana mereka awalnya mendapatkan gambar 3D dari
tulang belakang menggunakan USG 2D standar. Gambar preacquired dikaitkan
dengan gambar ultrasound 2D real-time, kemudian beri tanda menggunakan spidol
pada kulit pasien. Dalam evaluasi awal mereka, teknik ini dilaporkan membantu dalam
menentukan titik penyisipan dan lintasan jarum dan kedalaman EDS. Namun,
prakuisisi dari gambar resolusi tinggi ini kompleks, mahal, dan menyita waktu.
Perubahan pada posisi pasien saat prosedur bisa mengubah keakuratan15.

Gambar 5: Rekonstruksi ultrasound tulang belakang dengan kamera pada probe

17
 Ultrasound melalui jarum
Dengan kemajuan teknologi ultrasound, tercipta desain probe transduser
ultrasound yang sangat kecil. Diameter probe 0,7 mm, transduser 40 MHz yang
ditempatkan dalam Jarum Tuohy 18G untuk mendapatkan gambar A-scan dari ujung
jarum. Sinyal itu diperoleh dari proyeksi dura dan ligamentum flavum (LF),
memberikan informasi tentang posisi ujung jarum. Metode ini memiliki kelebihan
memberikan panduan real-time dan dapat dilakukan oleh satu operator. Meski
menjanjikan, namun belum ada penelitian yang dilakukan kepada manusia.

Gambar 6: Ultrasound transducer dan jarum epidural Tuohy 18G standar

c) Pencitraan impuls radiasi akustik

Kelemahan penting teknologi ultrasonik adalah kesulitan masuk mendapatkan


gambaran yang jelas tentang jarum, dan diferensiasi yang jelas dari saraf dan jaringan
lunak sekitarnya, dimana memiliki kesamaan impedansi akustik. Pencitraan impuls
radiasi akustik membedakan jaringan berdasarkan elastisitasnya, tidak seperti
tradisional ultrasonografi yang membedakan jaringan berdasarkan akustik impedansi.
Modulus elastisitas tinggi dari jarum baja, dibandingkan dengan jaringan sekitarnya,
dapat membantu visualisasi dalam sonoanatomi kompleks vertebral. Teknologi ini
masih dalam tahap pengembangan.
.
d) Fluoroskopi
Fluoroskopi telah digunakan secara rutin dalam praktik nyeri kronis untuk
memandu jarum dan mengidentifikasi EDS. Namun, perannya dalam pengaturan
perioperatif kurang populer. Peneliti tertentu telah mengevaluasi penggunaan panduan
fluoroscopic dalam lokalisasi EDS toraks dan lumbal untuk penempatan pra operasi
kateter epidural. Meskipun lokalisasi epidural bisa mudah dilakukan dengan
bimbingan fluoroscopic, penggunaan rutin dibatasi oleh ketersediaan fluoroskopi. Ada
kekhawatiran risiko tambahan karena paparan radiasi dan belum ada studi yang
dipublikasikan yang membuktikan keuntungannya.

18
Gambar 7. Fluoroskopi Epidural

Tabel 1. Metode Mengarahkan Jarum Epidural

2. Mengidentifikasi titik masuk ke dalam EDS

a) Modifikasi teknik LOR (loss of resistance)


 Teknik membran dalam syringe
Saline lebih disukai oleh beberapa ahli anestesi untuk mendapatkan LOR
karena berbagai laporan tentang komplikasi yang terjadi dengan suntikan udara ke

19
EDS. Namun demikian, udara memberikan rasa kompresibilitas yang lebih baik
dengan memunculkan sensasi "Bounce" saat jarum epidural menembus ligamentum
Flavum. Sedangkan penggunaan saline memberikan sensasi yang kurang. Untuk
menghindari masalah ini,ditemukan teknik yang mempertahankan kompresibilitas
udara tetapi pada saat yang sama mencegah injeksi udara ke dalam EDS ketika
mendapatkan LOR. Teknik "membran dalam syringe" ini membagi jarum suntik LOR
menjadi dua kompartemen yang dibatasi oleh membran plastik, satu diisi dengan
saline dan lainnya dengan udara. Kompartemen salin terletak di sebelah nozzle
sedangkan kompartemen udara berada di sebelah plunger semprit. Namun, membran
ini belum tersedia secara komersial.15
 Balon epidural
Macintosh pertama kali mendeskripsikan penggunaan balon epidural untuk
identifikasi EDS. Dia menggunakan balon kecil yang dilekatkan di ujung jarum
epidural sambil memajukan jarum epidural. Masuknya ujung jarum ke dalam EDS
akan menyebabkan balon kolaps karena tekanan yang relatif negatif di EDS. Baru-
baru ini, Fyneface-Ogan dan Mato menguji modifikasi dari balon Macintosh dan
menemukan metode yang lebih cepat dari teknik LOR tradisional. Metode ini terdiri
dari konektor berbentuk Y yang terpasang ke jarum epidural dengan satu ujung
memiliki balon dan ujung lainnya melekat pada jarum suntik untuk mengisi balon
dengan udara.15
 Epidrum
Perangkat ini terdiri dari drum kecil dengan diafragma pada salah satu dari
sisinya. Perangkat ini disisipkan di antara jarum Tuohy dan spuit dan diisi dengan
udara. Penetrasi pada EDS menimbulkan tekanan negatif dan mengakibatkan
kolapsnya diafragma epidrum. Dibandingkan dengan LOR tradisional, penggunaan
epidrum menghasilkan waktu prosedur yang lebih singkat dan lebih sedikit jumlah
puncture yang dilakukan.

20
Gambar 8. Epidrum
 Episure Autodetect
Perangkat ini adalah jarum suntik LOR dengan pegas internal, menerapkan
tekanan konstan pada plunger untuk mengosongkan syringe. Udara atau Saline
dimasukkan kedalam Episure Autodetect, sambungkan dengan jarum Tuohy, jika
jarum menembus Ligamentum Flavum dan masuk ke ruang epidural maka plunger
akan bergerak maju. Ini memungkinkan operator untuk menggunakan dua tangan
sambil memajukan jarum15.

Gambar 9. Episure Autodetect

b) Bioimpedansi
Bioimpedansi adalah pengukuran perbedaan gelombang aliran arus bolak-balik. Alat
ini dapat digunakan untuk membedakan beberapa jenis jaringan termasuk otot dan
lemak, Ruang epidural memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi daripada struktur
sekitarnya seperti ligamentum flavum dan kompartemen subarachnoid atau intratekal.
Kelebihan teknik ini
adalah dapat dilakukan oleh operator tunggal dan membutuhkan peralatan yang lebih
murah. Ini bisa berfungsi sebagai alat pelengkap selama lokalisasi EDS posisinya
masih meragukan. Namun, perannya sebagai salah satu metode untuk lokalisasi EDS
perlu diteliti lebih lanjut15

21
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Obesitas merupakan salah satu penyulit anestesi yang prevalensinya memiliki
kecenderungan untuk meningkat.Pasien obes mengalami perubahan anatomi, fisiologi,
dan biokimia yang berpengaruh terhadap anestesi dan pembedahan. Patofisiologi
obesitas meliputi sistem respirasi, kardiovaskuler, endokrin, farmakokinetik, dan
farmakodinamik. Dengan pemeriksaan pra-anestesi dapat diperkirakan kesulitan yang
akan ditemui saat anestesi. Pemilihan teknik anestesi tergantung kondisi pra-anestesi
dan jenis pembedahan dengan memperhitungkan risiko dan keuntungan masing-
masing teknik.
Anestesi regional menawarkan keuntungan antara lain relatif lebih murah,
pengaruh sistemik yang lebih kecil, menghasilkan analgetik yang cukup adekuat dan
kemampuan mencegah respon stres. Jika dilakukan dengan baik pada pasien obesitas,
regional anesesi akan meminimalkan intervensi jalan nafas, depresi kardiopulmonar,
tingkat komplikasi mual dan muntah postoperative jika dibandingakan anestesi umum.
Akan tetapi teknik anestesi regional epidural khususnya pada pasien obesitas juga
mempunyai beberapa kesulitan seperti susahnya memposisikan pasien dan kesulitan
tekniknya, sehingga kegagalan blok tidak jarang mengharuskan dilakukannya anestesi
umum dengan intubasi endotrakeal. Hal itu dapat diatasi dengan pendekatan
penghitungan landmark yang mendekati, pemilihan teknik yang akan digunakan,
hingga mengunakan alat bantu seperti USG dan metode modern lain untuk
mempermudah pemberian anestesi epidural pada pasien obesitas.

22
Daftar Pustaka

1. WHO, "Obesity and Overweight Fact Sheets," January 2015.


2. B. P. d. P. Kesehatan, "Riset Kesehatan Dasar 2013," Kementrian Kesehatan
RI, Jakarta, 2013.
3. Adam, Murphy, "Obesity in Anesthesia and Intensive Care," Brithish
Journal, British, 2013.
4. M. D. Association, "Clinical Practice Gideline on Management of Obesity,"
Malaysia, 2003.
5. Barash PG, Cullen FB, Calahan MK, Stock MK, Clinical Anesthesia,
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2009.
6. G. R.S, Principle of Nutritional Assesment, New York: Oxford University
Press, 2005.
7. Abe KK, Yamatomo LG, Itoman EM, Nakasone TAF, Kanayama SK, "Lumbal
Puncture Needle Length Determination," vol. 23, no. 6, 2005.
8. Jr. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, "Anesthesia for Patient With
Wndocrine Disease: Obesity," in Clinical Anesthesiology, United state,
Mcgraw-Hill Companies, 2013.
9. S. S, "Obesitas," in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, Interna
Publishing, 2009.
10. Ogunnaike BO, Whitten CW, "Evaluation of the Obese Patient," in
Anesthesiology, New York, Mc Graw, 2008.
11. Donnel O, Prasad A, "Ultrasound-Assisted in obese Patient," vol. 4, no. 770-
2, 2013.
12. R. CA, Clinical Technique of Regional Anesthesia: Spinal and Epidural Block.
3rd Edition, AANA Publishing, 2007.
13. Vilma E, Jeanine Wiene-Kronish, Perioperative Anesteic Care of The Obese
Patient, New York: Informa Healthcare, 2005.
14. Sukhdip Singh, Keith M.Wirth, Amy L.Phelps, Manasi H.Badve, Tanmay
H.Shah, "Epidural Catheter Placement in Morbidly Obese Parturients With
the Use of an Epidural Depth Equation Prior to Ultrasound Visualization,"
Clinical Study, vol. 13, no. 695209, p. 6, 2013.
15. Hesham Elsharkawy, Abraham Sonny, Ki Jinn Chin, "Localization of
Epidural Space: A review of Available Technologies," joacp.org, vol. 202, no.
43, 2017.
16. Cullen A, Ferguson A, "Perioperative Management of the Severely Obese
Patient," Springer.com, no. 974-96, 2012.

23

Anda mungkin juga menyukai